The Crazy CEO Bab 11-15

0
0
Deskripsi

The Crazy CEO chapter 1-25, bisa dibaca gratis di Wattpad Ally Jane (@AllyParker8).

The Crazy CEO ini series ke-5 dari seri I See You yang juga bisa dibaca di wattpad.

List Series; 

  1. I See You
  2. I'm With You
  3. Still, You
  4. Always, You
  5. The Crazy CEO

Bab 11

Sad Story of the Devil

 

Pikiran menyedihkan Devon tadi terus mengusik Vely sepanjang perjalanan menuju ruang rapat. Vely tahu, ia punya keluarga terbaik. Mereka peduli dan menyayangi Vely tanpa syarat. Namun, keluarga memang sudah seharusnya seperti itu, kan? Seharusnya begitu. 

Lalu, bagaimana dengan Devon? Mama kandungnya bahkan menyebutnya monster. Meski dia adalah orang paling kurang ajar yang pernah ditemui Vely, tapi … kenyataan tentang keluarganya tetap saja tampak begitu sedih di mata Vely. 

Entah kenapa, Vely jadi penasaran dengan keluarga pria itu. Kenapa sampai mamanya menyebutnya monster? Vely ragu wanita itu adalah mama kandung Devon. Namun, Devon juga menceritakan tentang mamanya yang berselingkuh, bahkan hingga punya anak. 

Vely bergidik. Ia tak bisa membayangkan, keluarga macam apa yang dimiliki Devon. Apa itu bahkan bisa disebut keluarga?

Namun, ketika Vely memasuki ruang rapat, seseorang yang juga akan masuk menyenggolnya, membuat suara pikiran orang itu menggaung keras di kepala Vely, menyentakkannya. 

Harusnya aku bunuh aja Devon sialan itu!

“Kamu nggak pa-pa?” Pertanyaan itu datang dari Devon yang sudah menangkap tubuh Vely yang sempat oleng. 

Vely segera menarik diri dari pegangan pria itu. “Nggak pa-pa. Aku cuma … ngerasa canggung aja, soalnya nggak kenal orang-orang yang ada di sini,” Vely beralasan. 

Namun, Vely langsung menyesali alasannya itu ketika Devon dengan baik hatinya memperkenalkan orang-orang itu padanya. 

“Yang duduk di baris yang sama kayak mamaku itu, orang-orang di pihak dia. Di sampingnya itu anaknya mamaku, Avan, sampingnya ada direktur operasional, Darmo, sampingnya lagi ada direktur keuangan …” 

Begitulah, Devon memperkenalkan seisi ruangan pada Vely, seketika membuat kepala Vely penuh dengan pikiran orang-orang itu. 

“Kamu beneran nggak pa-pa?” tanya Devon. “Wajahmu pucat.” 

Jangan sampai nih bocah pingsan di sini dan ngerepotin aku,’ ucap Devon dalam kepalanya. 

Vely mendecak kecil dan menggeleng. “Aku nggak pa-pa,” jawabnya ketus. 

Sementara Devon duduk di kursinya, Vely duduk di deretan kursi untuk sekretaris, bersama Arya dan sekretaris lainnya. Begitu rapat dimulai, Vely ingin fokus mengikuti rapat itu, tapi kepalanya begitu penuh dengan pikiran orang-orang itu. Namun, itu bukan pikiran-pikiran biasa. Ada begitu banyak kebencian di sana. 

Sial, Devon ngusulin rapat ini pasti buat nyingkirin aku!

Aku harus waspada. Aku nggak tahu kapan dia akan nyingkirin aku kayak dia nyingkirin adiknya.’

Benar-benar monster. Bahkan adiknya sendiri dia hancurkan.

Gimana caranya aku nyingkirin monster itu untuk selamanya?

Bagus. Dengan gini, semua orang akan semakin memusuhi Devon.

Aku harus nyingkirin dia sebelum dia nyingkirin aku juga.

Kenapa belum ada juga yang berhasil membunuh iblis nggak punya hati itu?

 Vely memejamkan mata ketika mendadak ia merasakan pusing yang teramat sangat di kepalanya. Ia juga mulai merasakan sesak dan kesulitan bernapas. Vely belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Ia belum pernah … menghadapi kebencian sebanyak ini sebelumnya. 

Papa …’ Hanya itu yang bisa dipikirkan Vely sebelum ia kehilangan kesadaran. 

***

Devon melompat dari kursinya dan langsung berlari menghampiri Vely yang tiba-tiba jatuh dari kursinya. 

“Vely!” panggil Devon sembari menyandarkan Vely di lengannya. Namun, tak ada jawaban. Devon mencelos demi melihat mata gadis itu terpejam rapat, wajahnya pucat, dan keningnya basah oleh keringat. “Dia kenapa?” tanya Devon pada Arya. 

Arya menggeleng. “Saya juga nggak tahu, Pak. Dia tiba-tiba jatuh dan …” 

“Siapin mobil,” potong Devon sembari mengangkat Vely dalam gendongannya.

“Tapi, rapatnya …”

“Siapin mobil sekarang!” bentak Devon. Mengabaikan kasak-kusuk protes di ruangan itu, Devon membawa Vely keluar dari sana. 

Apa yang terjadi sebenarnya? Ketika Devon menjemputnya tadi pagi, Vely tampak baik-baik saja. Bahkan sampai beberapa saat lalu pun, dia masih baik-baik saja. Namun, Devon kemudian ingat tadi Vely tampak pucat ketika memasuki ruang rapat. Dia sempat bilang jika dia merasa canggung karena tak mengenal orang-orang di ruang rapat. Apa dia terlalu gugup sampai pingsan?

Devon tiba di lobi dan tampak Arya sudah membawa mobilnya di depan pintu kantor. Arya sudah membuka pintu belakang, tapi sebelum Devon sempat memasukkan Vely ke mobilnya, tiba-tiba serombongan pria berpakaian serba hitam muncul. 

“Dari sini, kami yang akan mengurus Nona Vely,” ucap salah satu dari mereka. 

Devon tentu kaget mendengar itu. “Kalian siapa?” 

Orang yang tadi berbicara, mengangkat ponsel dan menyalakan mode loud speaker. Ada panggilan aktif di sana. Devon akhirnya berbicara, 

“Halo?” 

Biarkan mereka membawa Vely.” Itu suara Zelo Dirgantara. 

“Baik, Om,” Devon mengalah. “Saya …” 

Tuuut … tuuut …

Sambungan terputus. Devon berdehem dan menatap orang yang membawa ponsel itu. “Di mana mobil kalian? Aku akan mengantar Vely ke sana.”

Orang itu berjalan lebih dulu ke sebuah mobil van hitam yang sudah terparkir tepat di belakang mobilnya yang dibawa Arya tadi. Mereka tiba di sini seolah mereka sudah tahu apa yang terjadi pada Vely. Jangan-jangan … Zelo memasang kamera mata-mata di tubuh Devon atau Vely. Atau, dia malah memasang mata-mata di kantor Devon. 

Devon harus mencari tahu tentang itu nanti. Saat ini, yang terpenting adalah Vely. Jika sampai sesuatu terjadi pada Vely, hidup Devon bisa berakhir. 

Setelah memindahkan Vely ke mobil van hitam itu, Devon langsung naik ke mobilnya dan melesat mengikuti mobil yang membawa Vely itu. Mereka pergi ke rumah sakit. Namun, ketika Devon turun, dilihatnya Zelo sudah berada di depan pintu masuk rumah sakit bersama seorang wanita yang mengenakan jas dokter. 

Devon menghampiri Zelo dan menjelaskan, “Tadi Vely tiba-tiba pingsan dan …” 

“Aku tahu,” potong Zelo. 

Lalu, rombongan pria berbaju hitam tadi datang bersama petugas medis yang mendorong brankar dengan Vely di atasnya. Sembari mengikuti petugas medis itu menuju ruang IGD, Zelo tampak berbicara pelan dengan wanita berjas dokter itu. Devon tak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Namun, samar ia mendengar tentang pikiran, kebencian, tekanan. Apa maksudnya? 

Namun, setelah percakapan pelan mereka itu, si Dokter langsung menginstruksi, 

“Lakukan CT scan kepala.” Ia kemudian menoleh pada Zelo. “Kamu tunggu di sini aja. Yang lain pasti khawatir banget.” 

Zelo mengangguk, lalu menghentikan langkah. Devon akhirnya ikut berhenti. 

“Kamu pergi aja,” usir pria itu tiba-tiba. 

Nggak bapak, nggak anak, sama-sama suka seenaknya, nih,’ keluh Devon dalam hati. 

“Kamu nggak dibutuhkan di sini, jadi kamu bisa pergi sekarang,” ucap Zelo tak ramah. 

“Saya tahu Om kesal karena saya nggak bisa jagain Vely, sampai dia masuk rumah sakit gini, tapi …” 

“Pergi,” potong Zelo tajam. 

Devon akhirnya terpaksa mengalah dan mengangguk. Ia sudah berbalik dan akan pergi ketika melihat serombongan orang menghampiri Zelo dengan wajah cemas. Sebagian besar, ia mengenal mereka. Namun, sebagian lagi tak dikenalnya. 

Mulai dari Valent Dirgantara, Leo Winstown dan istrinya, Alena Dirgantara, hingga Zane Dirgantara dan Darrel Winstown, serta dua pria lain yang tak dikenali Devon, tapi ia ingat mereka juga hadir di pesta ulang tahun Vely di mall milik Dirgantara beberapa waktu lalu. 

Vely benar-benar beruntung bisa memiliki keluarga seperti ini. 

***

 

Bab 12

The Girl That Makes Me Crazy

 

Vely membuka mata dan langsung tahu dirinya ada di rumah sakit. Ruangan serba putih dan bau rumah sakit yang menyebalkan. Namun, tidak hanya ruangan itu saja yang putih, melainkan pikiran Vely juga. 

Vely menoleh ke samping dan melihat papanya berdiri di samping ranjang rumah sakit. Vely menghela napas. “Pa …” 

“Bukan cuma Papa,” sergah papanya, yang mengedik ke sisi lain ranjang. 

Vely menoleh dan melihat keluarganya duduk di sofa kamar rawat VIP itu. Meski Alena, Alex, papa mereka, dan Valent tampak melakukan hal lain, mulai dari Alena yang membaca majalah, Alex yang membaca entah apa dari ponselnya–Vely tak bisa melihat dalam kepalanya, Zane yang mengawasi Alex, atau lebih tepatnya membaca dari pikiran Alex, hingga Valent yang melipat pesawat kertas, dan dia sudah membuat setumpuk pesawat kertas. 

“Kamu mau kukirimin koleksi pesawat kertasku ke pikiranmu?” tawar Valent tanpa mendongak dari kertas yang dilipatnya. 

Vely mengerang protes menatap papanya. “Kenapa aku harus punya kakak kayak dia, Pa?”

Papanya tersenyum geli dan mengusap kepalanya lembut. “Sayangnya, itu bukan hal yang bisa Papa ubah.” 

“Terusin aja, mumpung Mama nggak di sini,” sahut Valent santai. 

Vely seketika teringat. “Mama!” 

“Mamamu sama Tante Ellena lagi perjalanan ke sini, dijemput Leo sama Aries. Tante Athena sama Om Darrel di bawah nunggu mereka buat jelasin kondisimu,” jawab papanya. “Untungnya, nggak ada masalah serius sama kepalamu, kata Tante Athena.” 

Vely meringis. “Aku cuma …” 

Shock?” sambung papanya. Papanya menghela napas. “Maaf, harusnya Papa lebih tahu, betapa mengerikannya orang-orang di perusahaan.” 

Vely kemudian tersadar. “Apa Papa, Om Zane, Kak Valent sama Kak Alex selalu dengar hal kayak gitu?” tanyanya khawatir. 

“Itu bukan hal baru,” tukas omnya yang sudah berdiri dan menghampirinya. “Tapi, kami terbiasa sama itu. Dan kami nggak bisa ngebiarin kamu menghadapi hal kayak gitu. Karena itu, nggak seharusnya kamu kerja di luar perusahaan keluarga kita.”

“Om, aku bukan anak SMP lagi,” protes Vely. 

“Tapi, kamu tetap Vely,” balas omnya. “Kamu pasti tahu kan, gimana kami semua berusaha begitu keras buat jagain kamu?” 

“Tapi, aku udah bukan anak kecil. Itu semua berlebihan sekarang, Om,” debat Vely. 

“Karena kamu sangat berharga buat kami semua.” Omnya tersenyum dan mengetuk keningnya. “Kamu adalah keajaiban, Vel.” 

Vely ingin melihat ke dalam pikiran omnya, tapi boro-boro melihat, saat ini pikirannya seolah buta. Tak bisa melihat atau mendengar apa-apa. Vely mendesis kesal pada papanya, sementara omnya tertawa terhibur. 

“Suatu saat, kamu akan ngerti,” kata omnya. 

Vely mencibir. “Kenapa nggak sekarang dikasih ngertinya?” 

“Omong-omong, bosmu gimana, tuh?” Tiba-tiba Valent berbicara. “Dari tadi siang dia belum makan. Diusir Papa juga nggak pergi-pergi, tuh.” 

Vely mengerutkan kening. “Devon?” 

Valent mengangguk. “Aku khawatir bosmu nantinya benar-benar jatuh cinta sama kamu,” katanya geli. “Dia pasti patah hati banget kalau sampai itu terjadi.” 

Vely mendecih pelan. “Dia pasti sekarang kerepotan karena takut Papa akan bunuh dia.”

“Papa nggak pernah ngancam buat ngebunuh dia, kok,” balas papanya santai. 

“Kalau Kak Eve ada di sini, dia pasti udah ngehajar Devon,” desah Vely. “Tapi, Kak Eve masih belum ngasih kabar juga, Kak?” Vely kembali menatap Valent. 

Kakaknya itu menggeleng, masih sambil melipat kertas pesawat. Namun, kali ini dia melakukan kesalahan ketika melipat kertasnya. 

“Kak Eve … baik-baik aja, kan?” tanya Vely. 

“Dia baik-baik aja,” papanya yang menjawab. “Eve nggak akan pernah ngecewain mamamu, jadi dia akan baik-baik aja.” 

Vely juga berharap seperti itu.

“Sekarang yang terpenting, kamu harus fokus sama pemulihanmu, Vel,” ucap Alena yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping ranjangnya. “Jangan makai pikiranmu dulu. Selama dua puluh empat jam, kami akan bergantian jagain kamu dan mastiin pikiranmu aman.” 

Vely mengerang mendengar itu. Namun, protes pun akan percuma. Di ruangan ini, tak ada satu pun yang ada di pihaknya. 

Vely mendengar dengusan geli dari semua orang di ruangan itu. Lihat! Mereka bahkan tak berusaha untuk berpura-pura ada di pihak Vely!

***

 Setelah mengirim Arya pulang sore tadi, Devon tetap berjaga di rumah sakit. Setidaknya sampai ia tahu jika Vely baik-baik saja. Hidupnya benar-benar bisa berakhir jika sampai sesuatu terjadi pada Vely.

Devon bersandar di dinding koridor dan mendongak. Ia bahkan baru mulai. Belum juga ia membuat Vely jatuh cinta. Devon mengacak rambutnya frustrasi. Lupakan tentang membuat Vely jatuh cinta, ia benar-benar akan disingkirkan dari perusahaannya sendiri, dan kali ini tak ada yang akan membantunya. 

“Devon?” Suara itu membuat Devon menoleh dan betapa terkejutnya ia melihat mama Vely ada di sana. 

“Tante Veryn,” sapa Devon sembari mengangguk sopan. 

“Kamu kenapa di sini? Nggak masuk ke dalam?” tanya mama Vely. “Vely katanya udah siuman.” 

Devon menoleh ke pintu kamar rawat VIP di sebelahnya. “Ah … saya takut ganggu istirahatnya Vely, Tante.” 

Mama Vely tersenyum. “Ayo masuk bareng Tante,” ajak wanita itu. “Kamu dari tadi di sini?”

Devon mengangguk. “Tante, maaf … karena saya nggak merhatiin Vely, saya …” 

“Tante tahu, itu bukan salahmu,” sela Veryn. “Ayo ke dalam dulu.” 

Devon menghela napas dan mengangguk. Mama Vely datang bersama seorang wanita yang tak dikenal Devon, seorang wanita berjas dokter, Darrel, Leo, dan seorang pria yang juga tak dikenal Devon. Ah, ia harus mempelajari lagi silsilah keluarga Dirgantara-Global-Diamond ini. 

Namun, belum sempat mereka masuk, pintu ruangan itu sudah terbuka. Valent. 

“Halo, Ma. Tante Ellena, hai,” Valent menyapa mamanya dan melambaikan tangan pada wanita yang datang bersama mamanya. “Halo juga Tante Athena,” dia menyapa wanita berjas dokter itu, kemudian menoleh pada pria di samping Darrel. “Halo juga, Aries.” 

Valent kemudian menoleh pada Devon. “Kalau Om Darrel sama Kak Leo, kamu udah tahu, kan? Kalian pasti pernah ketemu buat urusan kantor,” ucapnya pada Devon. 

“O-oh … iya …” jawab Devon canggung. 

“Kamu ngapain, sih?” tegur mamanya. 

Valent mengedik pada Devon. “Dia masih bingung sama silsilah keluarga kita.” Valent kembali menatap Devon. “Iya, kan?” 

Devon berdehem dan mengangguk. “Maaf …” 

“Kenapa kamu terus minta maaf?” tegur mama Vely. “Udah. Ayo masuk,” ajaknya sembari menggandeng Devon. 

Devon menarik napas dalam, berusaha mempersiapkan diri karena ia tahu, di balik pintu itu ada Zelo yang sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya. Ditambah lagi, masih ada keluarga Vely yang lain. Begitu Devon memasuki ruangan, ia bisa merasakan semua tatapan tertuju padanya. 

Selama beberapa saat, hanya ada hening yang canggung. Hingga Valent memecahkan suasana dengan, 

“Devon, yang berdiri di samping Vely itu Om Zane, kamu udah kenal, kan? Nah, yang di sampingnya itu Kak Alena, istrinya Kak Leo. Yang mukanya paling dingin di sofa itu, Alex, adiknya Kak Alena.” 

Devon meringis dan mengangguk. 

“Oh, ada satu lagi yang kamu belum tahu. Cewek yang kamu lihat pas pertama kali kamu ketemu Vely di mall,” sebut Valent. “Yang rambut merah. Yang galak, tapi cantik itu. Itu Eve, cewekku.” Valent tersenyum bangga. 

“Cewek, apanya? Jelas-jelas ditolak Kak Eve,” cibir Vely, ditanggapi senyum geli yang lainnya. 

“Nggak, ya!” sembur Valent tak terima. 

Namun, perhatian Devon sepenuhnya tertuju pada Vely. Syukurlah, sepertinya gadis itu baik-baik saja. 

***

 

Bab 13

Yang Tertolak

 

Ketika Devon pamit pulang malam itu, Veryn yang duduk di samping ranjang pasien memanggilnya, menahannya. 

“Kamu belum makan kan, dari tadi?” tanya wanita itu. 

Devon menggeleng. “Saya … terlalu panik tadi, jadi nggak kepikiran …” 

“Ya udah, makan bareng aja,” ajak wanita itu. “Tante udah nyiapin makan malam.” 

Devon menatap orang-orang yang ada di ruangan itu. Makan malam … bersama orang-orang ini?

“Atau, kamu mau makan malam berdua sama Vely aja?” Penawaran itu datang dari Valent yang duduk di sofa, tampak asyik dengan ponselnya. 

“Jangan mimpi,” seseorang menukas tajam. Alex. Pria itu juga duduk di sofa, tampak fokus dengan ponselnya ketika mengatakannya. 

Devon berdehem. 

“Kalian ini kenapa, sih? Jangan gangguin Devon lagi. Dia ini udah repot-repot bawa Vely ke rumah sakit sampai rapat pentingnya berantakan,” mama Vely membela Devon. 

“Siapa yang ngasih tahu itu ke Mama?” tanya Vely penasaran. 

“Kak Alena,” jawab Valent dengan nada kesal. 

Devon menoleh pada wanita itu. Bagaimana dia bisa tahu? Apa … dia juga mengirim mata-mata di kantor Devon?

“Posisi Devon di kantor sekarang juga sulit gara-gara itu,” lanjut mama Vely. 

Wah, orang-orang ini … bisa-bisa mereka tahu semua yang ada di pikiran Devon. 

“Aku pengen banget ngasih tahu dia,” celetuk Valent. 

Devon mengerutkan kening. Memberitahu apa?

“Valent.” Mama Vely menatap putra sulungnya itu tajam. 

Valent menatap mamanya sekilas dan mengangkat satu tangan. “Bercanda, Ma.” 

Veryn kemudian tersenyum pada Devon. “Ayo duduk. Tante ambilin dulu makan malamnya buat kamu.” 

Devon akhirnya terpaksa mengangguk. Namun, ia kemudian bingung hendak duduk di mana. Di ruangan VIP itu ada satu meja makan dengan empat kursi yang ketiga kursinya sudah terisi oleh para wanita, selain mama Vely yang duduk di samping ranjang. Bergabung dengan para wanita di meja makan sepertinya agak …

Devon mengalihkan tatapan. Di sofa, ada Alex, Aries, dan Valent yang masing-masing asyik dengan ponsel, sementara Zane, Darrel, Leo, dan Zelo yang juga duduk di sofa, tampak membicarakan sesuatu dengan serius dengan suara pelan. Sudah tak ada tempat lagi di sana.

Seolah bisa membaca pikiran Devon, mama Vely kemudian berdiri dari kursinya. “Kamu di sini aja, temenin Vely makan di sini.” 

“Mama!” protes Vely. 

Namun, mama Vely menegur putrinya, “Kamu udah bilang makasih belum sama Devon?” 

Vely merengut, tapi tak lagi protes. 

Mama Vely menghampiri Devon dan menggandengnya ke ranjang pasien. “Tolong kamu siapin meja makan buat Vely, ya?” pinta wanita itu sembari tersenyum. 

Devon tak kuasa menolak dan melakukan seperti yang diminta mama Vely. Ia menata meja sambil sesekali melirik Vely. Namun, gadis itu hanya menatapnya datar. Setelah Devon selesai menata meja, mama Vely kembali membawa sepiring nasi dengan potongan ikan bersaus merah dan semangkuk bubur yang sepertinya dicampur sayuran dan daging.

“Yang ini buat Vely,” mama Vely mendekatkan buburnya ke arah Vely, lalu memberikan piring nasinya pada Devon. “Yang ini buat Devon.” 

Devon tersenyum. “Makasih, Tante.” 

Namun, Vely mengerang protes. “Mama!” 

“Velyan Dirgantara!” Seruan itu datang dari Athena di meja makan. 

“Argh! Aku nggak kenapa-napa, Tante! Kenapa harus makan kayak pasien, sih?!” Vely merengek. 

“Kalau nggak mau dirawat kayak pasien, ya jangan jadi pasien,” balas Athena enteng. 

Benar juga, sih …

“Devon pro Tante Athena, nih,” celetuk Valent. 

Devon menoleh kaget. Apa-apaan …

“Aku tahu dia akan kayak gitu,” sinis Vely. 

Devon menatap Vely dan berdehem. “Kamu nggak perlu khawatir tentang pekerjaanmu. Kamu fokus aja sama perawatanmu di sini. Aku bisa kasih kamu cuti, seminggu, sebulan … berapa lama pun yang kamu butuhkan.” 

Vely memasang ekspresi shock. “Pak Devon berharap saya dirawat di sini seminggu, bahkan sebulan?” 

Devon menggeleng panik. Kenapa jadi seperti itu kesimpulannya? “Bu-bukan gitu. Aku cuma …” 

“Dia cuma bercanda, Devon,” ucap mama Vely geli. “Maaf, ya, anak-anak Tante memang suka keterlaluan kalau bercanda.” 

Devon yakin, mereka semua tidak bercanda. Hanya mama Vely saja yang terlalu baik dan bersikap positif tentang itu. 

Devon tersentak kaget karena mendengar tawa serentak yang tiba-tiba dari Vely dan Valent. Devon menatap mereka berdua bergantian dengan ngeri. Ada apa dengan keluarga ini sebenarnya? 

***

Vely berdehem, berusaha mengakhiri tawanya ketika melihat tatapan menegur mamanya. Valent pun melakukan hal yang sama, tapi dia masih berani berbicara pada Devon,

“Maaf, tadi itu beneran ada yang lucu.” 

Kakaknya memang pemberani. 

Valent mendongak menatapnya setelah mendengar pikirannya itu dan tersenyum pamer. Vely hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kakaknya. Ia turut berduka untuk orang tuanya karena punya anak seperti dia. 

Kali ini, Alena dan Alex yang mendengus geli. Bahkan papanya pun mengangguk-angguk setuju. 

“Aku yakin, aku pasti anak angkat,” gerutu Valent. 

Aku yakin, keluarga ini nggak normal,’ pikir Devon serius. 

Vely refleks tertawa mendengar pikiran pria itu. 

Makasih, Kak,’ ucap Vely sungguh-sungguh di pikirannya karena Valent meloloskan pikiran Devon untuk didengarnya.

Namun, Devon kembali menatap Vely, kaget dan ngeri. 

Aku tahu keluarga ini aneh, tapi aku benar-benar nggak bisa terbiasa sama ini,’ batin Devon kesal. 

“Udah, udah. Cepat habisin makanan kalian!” perintah mama Vely. “Dan jangan ganggu Devon lagi.”

“Ya, Ma …” jawab Vely sembari mengangkat sendoknya. 

Namun, setelah mamanya pergi ke meja makan untuk menyiapkan makan malam untuk yang lainnya, Vely kembali meletakkan sendoknya dan merengut menatap buburnya. Vely melirik piring maka malam Devon dengan iri. 

Mengejutkan Vely, Devon tiba-tiba meletakkan piring makanannya di meja Vely. Pria itu menatap Vely dan tersenyum. 

“Kamu mau tukar makan malam sama aku?” tawar pria itu tiba-tiba. 

Apa lagi ini? 

Aku harus fokus. Yang terpenting, sekarang aku harus bikin bocah ini jatuh cinta. Masa bodoh meski dia punya keluarga yang aneh. Selama aku bisa dapatin apa yang aku butuhin, yang lainnya nggak penting.

Wah, pria licik ini … dia benar-benar mencari masalah. 

Vely mencondongkan tubuh ke arah Devon untuk menjawab pelan, “Aku emang nggak suka makan bubur. Tapi, aku mending makan itu daripada makan makanan yang dikasih kamu.” Vely menutup penuturannya dengan senyum sok manis. 

Di depannya, Devon tersenyum canggung, tapi dalam hati mengumpat, ‘Iblis kecil sialan! Bahkan dalam situasi kayak gini, dia masih bisa bersikap semenyebalkan ini! Apa dia terlahir seperti ini?

“Kamu!” Seruan tak terima itu datang dari papa Vely yang sudah berdiri dan menuding Devon. 

Devon sampai berdiri saking kagetnya. Pria itu panik ketika menyadari arah yang ditunjuk papa Vely adalah dirinya. “Sa-saya, Om?” tanya pria itu. 

Mama Vely menatap papa Vely dengan alis terangkat. “Devon kenapa, Sayang?” 

Papa Vely menghela napas, lalu berkata pada Devon, “Jangan nukar makananmu sama Vely. Kamu nggak dengar apa kata dokternya tadi?”

Devon menatap Athena, lalu menatap Vely, dan kembali menatap papa Vely. “Maaf, Om. Soalnya Vely nggak mau makan. Saya jadi khawatir.” 

Tentu saja khawatir. Dia pasti ketakutan setengah mati karena Vely tiba-tiba pingsan di kantornya. Meski begitu, dia masih berusaha begitu keras untuk membuat Vely jatuh cinta. Ah, kasihan sekali bosnya ini. Dia sedang memperjuangkan hal yang tidak mungkin.

***

 

Bab 14

Minds Open

 

Siapa sangka acara makan malam di rumah sakit bisa menjadi acara makan malam semenyenangkan ini? Padahal tadinya Devon pikir, ia akan mati tersedak karena terlalu canggung bergabung di makan malam keluarga besar ini. Namun, sama seperti ketika Devon sarapan di rumah Vely, makan malam di kamar rumah sakit itu sama menyenangkannya. Keluarga itu lagi-lagi menunjukkan pada Devon, bagaimana sebuah keluarga seharusnya. 

Mereka yang tadinya asyik dengan ponsel, meninggalkan ponsel dan menikmati makan malam sambil mengobrol. Mereka yang tadinya sibuk berdiskusi serius, kali ini makan sambil mengobrol santai, membicarakan hal-hal remeh seperti ban mobil yang bocor, laptop baru yang harus diservis, hingga lampu rumah yang mati. 

Setelah selesai makan malam, Devon terkejut mendapati dirinya enggan pergi hanya agar bisa berada di sana sedikit lebih lama lagi, merasakan kehadiran keluarga. Bahkan meski saat ini Devon berada di rumah sakit, rasanya begitu hangat. Jauh lebih hangat dari rumahnya yang kosong dan dingin. 

“Kamu mau di sini sampai kapan?” tegur Vely. “Kalau udah selesai makan, kamu pergi, deh.”

Devon berdehem menanggapi usiran gadis itu. Ia bangkit dari kursinya, lalu membawa piringnya yang sudah kosong dan mangkuk bubur Vely yang juga sudah kosong, meski gadis itu sempat merengek tadi, dan mengantarnya ke meja makan, tempat yang lain mengumpulkan piring kotor. Devon takjub, bagaimana bisa mereka menyiapkan piring sebanyak ini di rumah sakit? Namun, ia kemudian ingat jika salah satu dari Dirgantara-Global-Diamond sudah membeli rumah sakit ini. Entah yang mana. 

“Tante, makasih …” ucap Devon ketika meletakkan piringnya di meja. 

Veryn tersenyum padanya. “Tante juga makasih, ya, Devon, kamu udah nepatin janjimu buat jagain Vely.”

Jika yang mengucapkan kalimat itu papa Vely, Devon pasti sudah berpikir jika itu hanya sindiran atau sarkasme. 

Devon kemudian menoleh pada Vely yang saat ini sedang bermain-main dengan selimut. Gadis itu berusaha melempar selimutnya ke udara setinggi mungkin, berkali-kali. Tanpa sadar, Devon sudah mendengus geli melihat itu. Syukurlah, dia benar-benar baik-baik saja. 

Devon kembali menatap mama Vely untuk pamit. “Kalau gitu … saya pamit pulang dulu, Tante, biar Vely bisa istirahat.” 

Mama Vely mengangguk, lalu berseru memanggil putra sulungnya, “Valent, kamu antar Devon sampai ke mobilnya.” 

“Ngapain sih, Ma?” protes Valent. “Emangnya dia siapa pakai harus diantar-antar segala?”

“Nggak perlu, Tante,” tolak Devon. “Saya …” 

“Aku aja yang antar.” Suara itu membuat Devon seketika merinding. Ia menoleh ke asal suara dan melihat Zelo sudah berdiri, tatapannya lurus pada Devon. 

Kepala Devon seketika memikirkan segala macam skenario. Sejak awal, pria itu sudah tak menyukai Devon. Setelah kejadian ini, tentu dia semakin tidak suka pada Devon. Apa dia ingin membatalkan kesepakatan mereka?

“Eng-enggak usah repot-repot, Om …” Devon sampai terbata saking gugupnya. 

“Nggak repot. Ini sebagai ungkapan terima kasih karena kamu udah jagain Vely dengan baik.” 

Kali ini sarkasme. Devon bisa mendengarnya dengan jelas. Bahkan, Valent, Alex, dan Zane mendengus geli, menyadari sarkasme yang digunakan pria itu. 

Namun, sang Malaikat di keluarga itu, Veryn, dengan polosnya berkata pada suaminya, “Ya udah, kamu aja yang antar dia.” 

Zelo tersenyum pada istrinya itu dan mengangguk, lalu menghampiri Devon. Devon menelan ludah. Malam ini … ia bisa pulang ke rumah, kan? Bukan pulang ke tempat lain? 

Devon terus berdoa dalam hati ketika akhirnya meninggalkan kamar rawat Vely dengan Zelo di sebelahnya. Selama lima detik setelah meninggalkan kamar Vely, tidak ada yang terjadi. Namun, ketika mereka tiba di depan lift dan pintu lift sudah terbuka, papa Vely itu tidak masuk. Devon pun akhirnya urung masuk. 

“Kamu masih ingat kan, aturannya?” Zelo tiba-tiba berbicara. Meski tatapan pria itu lurus ke depan, tapi Devon tahu pria itu berbicara padanya. 

“Apa ini tentang membuat Vely jatuh cinta, Om?” tanya Devon. 

Zelo menoleh pada Devon, menatapnya dingin. “Kamu nggak boleh jatuh cinta pada Vely.” 

“Oh, itu Om nggak perlu khawatir. Saya …” 

“Jangan ngerasa nyaman di samping putriku. Jangan menyukainya sedikit pun. Dan jangan pernah mengkhawatirkannya dalam situasi apa pun,” ucap Zelo penuh peringatan. 

Devon mengernyitkan kening. “Om, saya …” 

“Jangan,” potong Zelo tajam. “Jangan pernah ngelanggar laranganku itu.” 

Devon bisa percaya diri tentang tidak merasa nyaman di samping Vely. Siapa yang merasa nyaman setelah rambutnya dicat seperti bola tenis? Menyukai Vely? Mana mungkin. Gadis itu punya hobi menyebalkan mengacaukan hidup Devon. Devon pasti sudah gila kalau sampai menyukai Vely. Namun, mengkhawatirkan Vely? Bagaimana bisa Devon tidak mengkhawatirkan Vely jika nasibnya di perusahaan bergantung pada gadis itu kini?

“Apa pun yang terjadi sama Vely, aku nggak akan pernah nyalahin kamu. Dan apa pun yang terjadi sama putriku, aku akan ngelindungi dia. Kamu udah lihat sendiri apa yang terjadi hari ini,” ucap Zelo. 

Memang benar. Papa Vely itu lebih dari mampu untuk melindungi Vely di mana pun Vely berada. Bahkan di tengah situasi yang membuat Devon panik setengah mati tadi pagi, pria itu masih bisa begitu tenang melakukan semuanya. Mulai dari menjemput Vely, menunggunya di rumah sakit, hingga mengurus perawatan Vely. 

“Kalau gitu … boleh saya tahu satu hal tentang Vely?” tanya Devon. 

Zelo mengernyit, tampak tak suka. 

“Seenggaknya saya harus tahu apa yang terjadi pada Vely hari ini dan gimana keadaan dia sekarang,” Devon melanjutkan. “Apa Vely punya penyakit sejak kecil, atau penyakit yang seharusnya orang lain nggak tahu …” 

“Aku baru aja ngingatin kamu buat nggak khawatirin Vely,” potong Zelo. “Apa pun yang terjadi sama dia, aku nggak akan nuntut pertanggungjawaban dari kamu. Jadi …” 

“Vely sakit ketika bersama saya, Om. Anak yang tadinya baik-baik aja, tiba-tiba jatuh pingsan di depan saya. Gimana saya nggak khawatir? Seenggaknya saya harus tahu masalahnya untuk mastiin itu nggak terulang lagi. Saya harus tahu apa yang menjadi ancaman buat Vely, jadi saya bisa jagain dan ngelindungin dia.” 

Devon pasti sudah gila dan kehilangan rasa takut sampai berani mengucapkan hal seperti itu pada Zelo Dirgantara. 

“Sekali lagi kamu tanya tentang kondisi Vely, aku benar-benar akan ngebatalin kesepakatan kita. Saat ini, tanpa bantuanku, kamu akan kesulitan di perusahaanmu, jadi tentukan sikapmu,” ketus Zelo. “Aku rasa, aku udah cukup jauh ngantar kamu, dan kamu pasti nggak akan tersesat di rumah sakit ini.” 

Pria itu kemudian berbalik dan berjalan kembali ke kamar rawat Vely. Sementara Devon, alih-alih pergi, ia justru semakin memikirkan Vely. 

Jika sampai Zelo berbicara seperti ini, itu berarti memang ada sesuatu tentang kondisi Vely. Devon teringat bagaimana semua orang di keluarga itu memperlakukan Vely. Ia mengingat kecemasan orang-orang itu ketika datang kemari mencari Vely. Dan lagi, untuk apa belasan orang berada di rumah sakit hanya untuk menemani gadis yang kata Zelo baik-baik saja? Itu menjelaskan kenapa keluarganya membiarkan Vely melakukan semua hal sesukanya. Jelas ada sesuatu tentang kondisi kesehatan Vely.

Devon mengernyit ketika bayangan saat Vely memainkan selimutnya tadi berputar di kepalanya. Detik berikutya, Devon merasakan kakinya melangkah mengejar Zelo. Ia menghadang langkah Zelo. 

“Separah apa sakit Vely sebenarnya?” tuntut Devon. 

Zelo menatap Devon tajam, tapi Devon benar-benar harus tahu tentang ini. Jika memang keadaan Vely begitu buruk …

“Keadaannya nggak seburuk yang kamu pikir,” Zelo berbicara. “Seenggaknya, selama aku dan keluargaku ada di sampingnya dan jagain dia.” 

“Saya tahu Om ngirim orang buat jagain Vely. Bahkan, mungkin Om masang kamera tersembunyi di kantor saya, atau bahkan mata-mata, tapi menurut saya, itu nggak cukup untuk melindungi Vely. Saya yang ada di samping Vely, jadi kalau sesuatu terjadi sama dia, saya yang harus melakukan tindakan pertama. Karena itu, saya harus tahu kondisi Vely yang sebenarnya,” Devon menekankan. 

Zelo menelengkan kepala. “Kamu yakin kamu mau dengar kondisi Vely yang sebenarnya?” 

“Ya,” jawab Devon tegas. 

Zelo mendengus meremehkan. “Kalau aku bilang, dia bisa lihat dan baca semua yang ada di sini …” Zelo mengetuk pelipisnya, “apa yang akan kamu lakuin?” 

Devon mengerutkan kening bingung. Apa pula maksudnya itu?

“Keluargaku punya kemampuan itu. Orang-orang akan nyebut kami monster kalau mereka tahu. Karena memang kemampuan kami semengerikan itu.” Zelo tersenyum dingin. “Aku bisa lihat dan baca apa yang ada di pikiranmu sekarang. Itu berlaku juga buat keluargaku.”

Devon mengernyit. Apa-apaan …. Apa Zelo sedang mengerjainya? Apa Zelo pikir, kebohongan seperti ini akan menakuti Devon? Lagipula, mana ada hal seperti itu? Pria itu hanya ingin mengusir Devon dengan segala cara, tapi …

“Ya, aku berusaha ngusir kamu dengan segala cara,” Zelo berkata. 

Devon mengerjap kaget. Dia tidak mungkin bisa mendengar pikiran Devon. Itu tidak mungkin. 

“Itu mungkin, buat keluargaku,” ucap Zelo lagi. “Aku emang lagi nakutin kamu, tapi aku nggak bohong tentang kemampuanku.” 

Devon menggeleng tak percaya. 

Iblis kecil. Gitu, kan, biasanya kamu manggil Vely?” sebut Zeo. 

Devon terbelalak. Zelo tidak mungkin tahu. Devon hanya mengucapkan itu dalam kepalanya. Pria itu tidak mungkin …

“Ini mungkin dan ini kenyataan,” Zelo berbicara, seolah menjawab pikiran Devon.

“Dan aku memang ngejawab pikiranmu,” ucap pria itu lagi. 

Devon menggeleng dan mundur. Lalu, ia teringat Vely. Apa Vely juga …? 

“Ya, Vely juga bisa lihat dan dengar apa yang ada di kepalamu.” Lagi-lagi papa Vely itu menjawab pertanyaan yang hanya diucapkan Devon dalam kepalanya. 

“Dan alasan Vely jatuh sakit adalah karena orang-orang di kantormu. Ada terlalu banyak pikiran kebencian di sana. Kamu juga … meski kamu nggak bisa dengar atau lihat pikiran orang, tapi pastinya tahu, kan, isi kepala orang-orang di perusahaanmu seperti apa. Dan pikiran itu, Vely bisa melihatnya, mendengarnya, merasakan kebenciannya.” 

Devon mengernyit, menggeleng, tapi ia kemudian berbalik dan berlari ke kamar Vely. Ia bisa merasakan tatapan kaget semua orang ketika melihat kehadirannya. Devon menatap orang-orang di ruangan itu satu-persatu. Apa mereka semua … bisa melihat dan mendengar pikiran Devon juga?

Tatapan Devon kemudian tertuju pada Vely. Jika memang benar yang dikatakan Zelo tadi, apa sekarang gadis itu baik-baik saja? Dia pasti mendengar dan melihat banyak hal mengerikan di sana tadi. Dia pasti …

“Kamu … nggak pa-pa?” tanya Devon pada Vely. 

Namun, gadis itu tak menjawabnya dan malah menatapnya dengan ekspresi terkejut. Devon melangkah mendekati Vely, tapi kakinya tiba-tiba terasa lemas. Begitu pun seluruh tubuhnya. Devon sempat mendengar seruan-seruan panik memanggil namanya sebelum ia terjatuh dalam kegelapan. Dengan sangat keras. 

***

 

Bab 15

Shock 

 

“Apa yang kamu lakuin sama Devon sampai dia kayak gitu?” tuntut mama Vely sambil berkacak pinggang dan menatap galak papa Vely. 

Papa Vely berdehem. “Kami cuma ngobrol, Sayang. Tentang perusahaan dia. Aku bilang, aku akan bantuin dia di perusahaannya. Trus, aku nggak sengaja ngasih tahu dia tentang kemampuanku.” 

Sayang sekali, Vely tidak bisa melihat, itu kebohongan atau bukan. Saat ini, pikirannya benar-benar diblokir. Meski begitu, Vely menikmati menonton perdebatan orang tuanya sembari memakan potongan buah yang disiapkan Alena. 

“Kamu benar-benar bersenang-senang,” Alena berkomentar geli. 

Vely nyengir lebar. Tentu saja. Ini salah satu momen favoritnya. 

“Kamu nggak penasaran dengan keadaan bosmu?” tanya Alena. 

“Sebenarnya, apa yang terjadi, Kak?” Vely balik bertanya. “Apa semua yang diucapin Papa itu benar?” 

Alena tak menjawab. 

Vely mendecakkan lidah frustrasi. “Kalau Kak Alena nggak mau ngasih tahu, seenggaknya jangan ngeblokir pikiranku!” 

“Maaf, ini perintah doktermu,” jawab Alena santai. 

Vely mendengus sebal. Ia lalu menatap ke sofa di ruangan itu yang tadinya penuh, kini kosong. 

“Dan di mana orang-orang itu?” singgung Vely. 

“Orang-orang yang kamu sebut itu, maksudmu keluargamu?” Alena mendengus geli. 

“Meski mereka nyebelin, tapi ya, mereka keluargaku,” aku Vely, masih dengan sebal. 

“Mama setuju sama kamu, Sayang,” celetuk mama Vely yang berpindah ke sofa, meninggalkan perdebatan dengan papanya dengan kesal. 

“Sayang, aku melakukan ini untuk Vely,” bujuk papa Vely yang menyusul mamanya. 

“Jangan percaya, Ma. Aku nggak bisa dengar pikiran Papa dan Kak Alena nggak mau ngasih tahu aku,” lapor Vely. 

Alena mendengus geli, sementara papa Vely berkomentar, “Vely Sayang, Papa akan senang banget kalau kamu nonton dengan tenang dan nggak manas-manasin mamamu.”

“Kali ini aku di pihak Mama karena aku nggak bisa dengar atau lihat apa pun.” Vely mengedik. “Tapi, omong-omong, Papa nyulik bosku ke mana?” 

Papa Vely melotot menegur Vely. “Siapa yang nyulik dia? Papa justru ngerawat dia dengan baik. Lihat itu, di kamar dia sekarang ada Om Zane, Alex, bahkan Valent buat mastiin pikiran Devon aman. Ada Tante Athena juga. Yang lain juga …” 

“Itu Papa ngerawat atau menjarain dia? Kenapa masang banyak banget penjaga?” potong Vely. “Setelah Papa ngasih tahu rahasia keluarga kita ke dia, sekarang Papa bingung, kan? Gimana kalau nanti dia ngasih tahu orang lain?” 

“Papa nggak ngawatirin itu. Apa pun yang dia omongin, orang lain nggak akan percaya. Papa ngelakuin itu buat kamu,” tegas papanya. “Meski sekarang kamu nggak bisa lihat dari pikiran orang lain, bukan berarti kamu bisa berpikiran buruk tentang orang lain, Sayang,” tegurnya lembut. 

“Ya, mau gimana lagi? Aku baru aja lihat pikiran orang-orang yang ‘sebenarnya’,” sarkas Vely. 

Papanya menghela napas. “Papa ngelakuin itu biar kamu nggak ngerasa bersalah sama dia.”

Vely mengerutkan kening. 

“Itu bukan salahmu,” ucap papanya. “Dia cuma shock.”

Vely mendengus geli. “Aku tahu, Pa. Aku nggak ngerasa bersalah, kok. Toh dia kayak gitu bukan gara-gara aku, tapi gara-gara Papa,” cibir Vely. 

Papanya berdehem. “Papa mau ngecek keadaan dia dulu.” Papanya menoleh ke mamanya. “Sayang, aku …” 

“Kalau kamu ngelakuin hal aneh-aneh tanpa sepengetahuanku, aku benar-benar akan marah sama kamu, Zelo,” mama Vely mengingatkan tajam. 

“Iya, Sayang,” jawab papanya sembari memeluk mamanya dan mengecup keningnya. “Maaf, aku udah ngecewain kamu. Aku sayang kamu.” 

Untuk dua kalimat terakhir, Vely tak perlu melihat ke dalam kepala papanya untuk tahu jika papanya tidak berbohong. 

Papanya melepas pelukan mamanya dan menoleh pada Vely. “Kamu sebentar aja di luar sana dan pikiranmu udah terkontaminasi!” tudingnya. 

Vely hanya nyengir menanggapinya. 

***

Devon langsung terduduk ketika kesadarannya kembali. Rumah sakit. Ia berada di salah satu kamar rawat rumah sakit. Devon menatap sekeliling dan terkejut melihat banyaknya orang di ruangan itu. 

Devon yang panik berusaha untuk turun dari tempat tidur, tapi sebuah suara yang baru datang dari pintu kamar, menghentikannya, 

“Tetap di tempatmu.” 

Devon menoleh dan melihat Zelo yang menghampirinya. Seketika, Devon mematung. 

“Jangan masang ekspresi kayak gitu. Orang-orang bisa mikir kalau aku mau bunuh kamu di sini,” celetuk Zelo. 

Devon memaksakan senyum canggung, berusaha sesantai mungkin, tapi gagal. Ia berusaha keras untuk tak memikirkan apa pun saat ini. Ingin rasanya ia tak percaya tentang apa yang didengarnya dari Zelo tadi. Bahkan, sampai beberapa saat lalu pun, ia bermimpi buruk dalam tidurnya. Mimpi tentang kejadian di koridor rumah sakit tadi. Devon menggeleng ketika tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Sepertinya ia terlalu banyak berpikir. 

“Jangan ganggu dia, Zel,” ucap wanita berjas dokter. Athena. “Dia shock berat. Dia sampai demam.” 

Apa? Demam? Devon? 

Devon memegang keningnya sendiri. Ia juga tak percaya dirinya sampai demam. Kenapa? Bagaimana bisa? Karena apa? Shock berat? Itu lucu. 

“Nggak. Itu nggak lucu,” komentar Zelo.

Devon menatap Zelo dengan ngeri. Benar. Pikirannya. 

“Aku udah dengar semuanya, jadi kamu nggak perlu nyembunyiin apa pun lagi,” ucap Zelo. 

Apa? Dia sudah mendengar semuanya? Tidak perlu menyembunyikan apa pun lagi? Apa pria itu gila? Bagaimana …

Devon segera memutus pikirannya teringat kenyataan yang baru diketahuinya tentang pria yang kini berdiri di samping ranjangnya itu. Jadi, dia dan keluarganya … Vely! Nama itu seketika tercetus. 

“Vely … baik-baik aja kan, Om?” tanya Devon. 

Zelo menatapnya tak ramah. “Bukannya aku udah ngingatin kamu tentang itu?” singgungnya. “Sekarang, kamu udah tahu kan, alasan kamu nggak seharusnya khawatirin dia?” 

Devon menarik napas dalam. “Jadi, Vely kemarin sampai pingsan karena pikiran orang-orang di kantor saya, itu kan, yang Om katakan?” 

Zelo mengangguk. 

Dan Devon juga salah satu dari orang-orang yang ada di kantornya. Seketika, semua kata-kata yang ia ucapkan dalam pikirannya saat bersama Vely bergaung di kepalanya. 

Tunggu sampai aku menjadikanmu milikku. Setelah mendapatkan perusahaan keluargamu, aku akan menendangmu dari hidupku selamanya!’

Jangan sampai nih bocah pingsan di sini dan ngerepotin aku.

Yang terpenting, sekarang aku harus bikin bocah ini jatuh cinta. Masa bodoh meski dia punya keluarga yang aneh. Selama aku bisa dapatin apa yang aku butuhin, yang lainnya nggak penting.’

‘Iblis kecil sialan!’

Apa Vely … benar-benar bisa mendengar itu semua?

“Ya. Dia bisa dengar semuanya,” jawab Zelo. 

Devon mengernyit. 

“Jadi, kamu nggak perlu repot-repot nemuin dia dan minta maaf, atau ngelakuin apa pun yang kamu pikirin sekarang. Kamu nggak perlu ngerasa bersalah. Aku cuma butuh kamu buat bikin Vely jatuh cinta. Setelah dia ngerasain cinta dan bosan, kamu harus menyingkir dari hidupnya,” ucap Zelo tegas. “Aku nggak butuh rasa bersalah atau penyesalanmu. Semua itu nggak berguna buatku. Toh aku udah tahu semua isi kepalamu.” 

“Jadi, kamu bisa fokus bikin Vely jatuh cinta sama kamu, sampai dia bosan dan nggak mau lihat kamu lagi.” Zelo menatap Devon dingin. “Cuma sampai situ aja kamu bisa ada di hidup putriku. Nggak lebih, dan nggak akan pernah bisa lebih. Sejak awal, aku ngizinin kamu ada di samping Vely bukan untuk menetap. Jadi, jangan pernah berpikir buat ngelakuin itu.”

Zelo kemudian mendengus. “Lagian, yang kamu butuhin kan, bukan Vely. Tapi, dukungan buat kamu di perusahaan. Kamu akan dapatin itu dari aku kalau kamu menepati kesepakatan kita.” 

Devon hanya terdiam mendengar kalimat papa Vely itu. Ya, memang benar. Begitulah rencana Devon mendekati Vely pada awalnya. Seharusnya pun, keinginan Devon hanya berhenti sampai di situ. Seharusnya …

Devon menghentikan pikirannya ketika teringat lagi tentang kemampuan Zelo. Devon akhirnya kembali berbaring di ranjang dan memejamkan mata, membiarkan kepalanya hanya terisi kegelapan. 

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
The Crazy Ceo
Selanjutnya The Crazy CEO Bab 16-20
0
0
The Crazy CEO chapter 1-25, bisa dibaca gratis di Wattpad Ally Jane (@AllyParker8).The Crazy CEO ini series ke-5 dari seri I See You yang juga bisa dibaca di wattpad.List Series; I See YouI'm With YouStill, YouAlways, YouThe Crazy CEO
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan