Still Into You Chapter 1-5 (Dark Marriage Series #1)

1
0
Deskripsi

Dark Marriage Series #1

Still Into You 

 

Licia tidak pernah tahu jika Ed, si playboy menyebalkan yang baru pindah ke kantor tempat ia bekerja, akan berakhir menjadi tunangan pura-puranya. Demi bisa pergi dari rumah neneknya dan mendapatkan hidupnya sendiri, Licia harus meminta bantuan Ed. Namun ternyata, bertunangan dengan seorang playboy sama sekali bukan hal mudah. Playboy licik menyebalkan itu bahkan tak ragu untuk memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun.

But, Baby, we're meant to be
Inevitably.

***

-Chapter 1-

She’s different

But this feeling still the same

For her


Apa Kabar, Masa Lalu?

 

“Ini bahkan bukan cerita novel atau sinetron, jadi kaupikir apa yang kau lakukan dengan mengikutiku seperti ini?” Kejengkelan terdengar jelas dalam suara itu. 

Ed berusaha menahan senyum seraya bersandar di meja kerja wanita berambut hitam lurus sepunggung itu. Mata biru jernihnya tajam menatap Ed, yang tentu saja, sama sekali tidak gentar hanya dengan itu. Malah, ia suka melihat cara wanita itu menatapnya. Cara yang jauh berbeda dengan dua puluh tahun lalu. 

“Aku menyukaimu. Perlukah alasan lain?” Ed berkata santai, membuat sorot tajam di mata wanita itu berganti tatapan dingin. Bukan kemajuan, memang. 

“Bisakah kau berhenti bermain-main dan pergi saja bekerja?” sengit wanita itu. “Ini bahkan sudah dua minggu kau mengikutiku seperti ini. Kaupikir perusahaan membayarmu untuk bermain-main?” 

Ed harus menahan tawa mendengarnya. Ah, benar, masih dua minggu lagi sebelum semua orang tahu posisinya di sini. Toh, ia memang awalnya tidak berencana masuk ke perusahaan ini. Ia mampir ke perusahaan karena permintaan ayahnya, ketika tanpa sengaja melihat wanita ini. Takdir? Sebut saja begitu. 

Bahkan setelah dua puluh tahun, Ed masih bisa mengenalinya. Hanya dari anggur merah yang ada di mejanya, dan Ed langsung teringat akan sosok dari masa lalunya. Sosok yang bahkan tak pernah sekali pun lekang dari ingatannya. Meski sepertinya tidak begitu dengan wanita itu. 

“Alicia!” Seruan itu membuat wanita itu mengalihkan tatap dari Ed, menoleh pada sumber suara. “Kau mau makan siang di kafetaria atau di luar?” 

“Di luar,” Licia menjawab Tyas, salah satu rekan kerja mereka. 

“Mau mencoba restoran yang kusebutkan tadi pagi?” tawar Tyas seraya menghampiri meja Licia. 

Licia mengangguk. “Ayo,” ia berkata seraya menyambar ponsel dan dompetnya, tapi Ed mencengkeram pergelangan tangannya. 

“Aku kemari untuk mengajakmu makan siang. Lucu jika kau pergi seperti ini tanpaku,” ucapnya. 

“Tidakkah kau bahkan berpikir untuk menyerah? Kau membuang waktumu dengan sia-sia, kau juga tahu itu dengan baik, kan?” balas Licia seraya menarik tangannya dari cengkeraman Ed. 

“Apa kau baik-baik saja jika aku makan dengan wanita lain?” tanya Ed kemudian.

“Aku bahkan tidak peduli,” jawab Licia seraya berbalik. 

“Baiklah,” ucap Ed santai, sebelum ia berjalan ke arah yang sama dengan wanita itu, ke arah Tyas. Mendapati tatapan tajam Licia, Ed dengan santai berkata, “Aku akan makan dengan Tyas. Kau bilang, kau bahkan tidak peduli. Kau berubah pikiran?” 

Licia mendengus kasar. Ed bisa melihat dari tatapan matanya, betapa wanita itu ingin menempatkan tangannya di leher Ed. Bukan untuk adegan romantis, tapi untuk mencekiknya di sana. Ed tak bisa untuk tidak tersenyum karenanya. 

***

Licia melirik Ed yang duduk di sebelahnya, lengan kirinya bersandar di kursi Licia, sengaja memancing kekesalan Licia. Tidakkah pria itu lelah? Setidaknya, tak bisakah ia memberikan waktu pada Licia untuk makan siang dengan tenang? Playboy menyebalkan ini benar-benar ….

“Apa pun yang saat ini sedang kau pikirkan tentangku,” Ed berbicara, membuat Licia mendengus kasar, “itu …”

“Bukan hal yang patut untuk dibanggakan, omong-omong,” sela Licia sinis. 

“Setidaknya, kau memikirkanku. Itu cukup.” Ed mengangguk puas. 

Licia mendesis kesal seraya bangkit dari duduknya, tapi ia memekik kaget ketika Ed menarik lengannya, membuatnya kembali mendarat di kursinya. 

“Habiskan makananmu,” pria itu berkata. “Bahkan anak kecil saja tahu tentang aturan makan yang satu itu.” 

Licia mendengus tak percaya. “Tolong …” 

“Baiklah,” Ed menyela. 

Licia mengangkat alis. Tidak biasanya pria ini mau mengalah dengan mudah. Namun tentu saja, bukan itu yang dilakukan pria menyebalkan ini. Karena kemudian, ia mengulurkan tangan ke arah piring makan siang Licia, mengangkat sendok. 

“Kaupikir apa yang kau lakukan?” Licia berhasil menahan diri untuk tidak meneriakkan pertanyaan itu. 

Ed, dengan santai menatap Licia. “Menyuapimu. Tadi kau yang minta tolong, kan?” 

Licia memejamkan mata, merapatkan bibir untuk menahan teriakan kesalnya. 

“Berjanjilah kau akan makan malam denganku akhir pekan ini dan aku tidak akan mengganggumu hingga akhir pekan depan,” Ed menawarkan. 

“Oke,” sahut Licia tanpa berpikir. Bahkan meski hanya sehari, ia akan sangat bersyukur untuk itu. 

Karena selama dua minggu terakhir, Licia benar-benar hampir mati kesal, berkali-kali, karena playboy sialan satu ini. 

“Kau bisa membuka matamu sekarang. Aku toh tidak akan menciummu.” Kalimat Ed kontan membuat mata Licia terbuka, yang langsung melotot kesal pada pria yang sudah tergelak puas itu. 

Di depan mereka, Tyas hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia tahu Licia dan Ed. Yang satu sangat anti pria, dan yang satunya playboy tergila di perusahaan, atau mungkin, di dunia ini. 

***

 

Get Trapped in a Date

 

Akhirnya, hari yang sudah ditunggu Ed, yang di luar dugaannya, akan terjadi lebih lama dari rencananya, datang juga. Kencannya dengan Licia. Ah, tapi wanita itu hanya berpikir bahwa ini adalah acara makan malam. Yah, Licia bisa berharap. 

Ed sudah berdiri di depan pintu kamar apartemen Licia dan menunggu lima menit sebelum tepat jam enam, sebelum menekan belnya. Hal pertama yang dilihat Ed begitu pintu itu terbuka adalah wajah mengantuk Licia, yang tampaknya baru bangun tidur. Terbukti dari rambutnya yang meski tampak berantakan, tapi tak mengusik kecantikan wanita itu. Wajah tanpa make up memang adalah make up terbaik di dunia. 

“Kau …!” Wanita itu melotot menunjuk ke arah wajah Ed. 

Ed menggenggam jari telunjuk Licia dan menariknya turun. “Ya, aku. Selamat pagi, Licia.” 

Jam enam pagi bukan waktu yang terlalu pagi untuk kencan, kan?

Namun, sepertinya Licia sama sekali tidak setuju dengan itu. Karena wanita itu kemudian menarik tangannya dari Ed dan sudah akan membanting pintunya jika Ed tidak sigap menahan pintunya. Tentu saja, Licia kalah jika beradu kekuatan dengannya. 

“Kupikir kau dengan jelas menyebutkan tentang janji makan malam,” desis Licia dengan kekesalan tertahan. 

Ed mengangguk, membuka pintunya lebih lebar. Ia mendorong Licia menepi agar bisa masuk. Hebatnya, wanita itu bahkan tidak berusaha melawan. Tahu, itu akan sia-sia. Satu hal yang juga disukai Ed dari wanita itu, ia pintar. 

“Memang,” Ed menyahut santai, sebelum duduk di sofa ruang tamu. Ia meraih ke balik punggungnya ketika merasakan sesuatu mengganjal di sana. Ed berusaha menahan keterkejutan melihat rok kerja wanita itu di tangannya, yang detik berikutnya sudah berpindah tangan pada pemiliknya. 

Wajah Licia memerah ketika menyingkirkan rok itu ke balik punggungnya, dengan sia-sia. Ed hanya melemparkan senyum bijak. 

“Aku tidak tahu jika jam makan malammu berbeda dengan orang-orang normal pada umumnya,” sindir Licia setelah berhasil menguasai diri. 

“Maaf, tapi aku lupa menyebutkan tempatnya. Kita akan makan malam di luar kota, jadi …” 

“Apa kau gila?!” seru wanita itu, seolah Ed baru saja menawarinya untuk berkencan dengannya. Meski memang sebenarnya itulah niatannya. 

“Kau yang tidak bertanya dan langsung menyetujuinya waktu itu.” Ed melemparkan kesalahan pada wanita itu. “Atau jika kau tidak setuju, aku bisa mengubah tempatnya. Bagaimana dengan Jepang? Atau Australia?” 

Licia mendesis kesal. “Ke kota mana kita akan pergi, hingga kau sudah berada di sini sepagi ini? Kau tidak berencana mengajakku makan malam ke kota sebelah dengan berjalan kaki, kan? Karena sepertinya, hanya dengan begitu kita akan bisa tiba di sana tepat saat makan malam,” ketusnya. 

Ed tergelak mendengarnya. “Ide yang bagus,” katanya. “Tapi, tidak.” 

Mata Licia menyipit kesal. “Jadi …” 

“Aku akan memastikan kita tiba di tempat makan malam kita, tepat saat makan malam. Jadi, segera bersiaplah. Atau, kau berencana berangkat seperti itu? Aku sama sekali tidak keberatan, sebenarnya. Kau tampak seksi dengan wajah bangun tidurmu, jadi …” 

Licia bahkan tak menunggu Ed menyelesaikan kalimatnya ketika wanita itu berjalan ke arah ruangan di sebelah ruang tamu itu. Tanpa sungkan, Licia membanting pintunya menutup, tak lupa menguncinya, membuat Ed kontan tergelak. 

Samar, ia mendengar pintu lain terbuka, dan terbanting menutup di dalam sana. Licia pasti sudah berada di kamar mandi sekarang. Ed melompat berdiri dari duduknya, berniat membuat Licia kesal, lagi, dengan menerobos masuk ke kamar wanita itu. 

Meraih ke dalam saku celananya, Ed mengeluarkan pisau serba guna kesayangannya. Tadinya, ia berniat membobol pintu apartemen Licia jika wanita itu tak membukakan pintu untuknya. Syukurlah wanita itu terlalu mengantuk untuk mengecek tamu yang mengganggu tidurnya sepagi ini. 

Ed menyimpan pisaunya lagi setelah berhasil membuka pintu kamar Licia. Namun, ia masih berdiri di depan pintu selama beberapa saat. Ia mengamati ruangan itu, tersenyum menyadari betapa nyamannya tempat ini bagi Licia. Itu terbukti dari betapa berantakannya tempat ini. Hal yang sama yang selalu dilihat Ed di meja kerja Licia. 

Ed menarik napas dalam, sebelum melangkah masuk ke kamar Licia. Ia berjalan ke meja kerja Licia di samping jendela kamar. Sebuah foto yang dibingkai manis di atasnya menarik perhatian Ed, sekaligus membuat senyum getir muncul di bibirnya. 

Licia yang masih berusia sembilan tahun, sosok yang begitu lekat di benak Ed, tersenyum lebar ke arah kamera. Di belakangnya, seorang wanita berparas lembut, yang memiliki hidung dan mata persis dengan Licia, memeluk gadis kecil itu penuh kasih. Tangan Ed terulur, menyentuh wajah lembut wanita itu, dan emosi seketika mencekiknya. 

Suara shower yang dimatikan dari arah kamar mandi segera menyadarkan Ed. Ia menarik tangannya ke sisi tubuh, mengambil napas dalam, sebelum berbalik, tepat ketika pintu kamar mandi terbuka dan muncullah Licia yang hanya mengenakan sepotong handuk yang melilit tubuhnya. 

Ed bisa merasakan wajahnya panas, sementara wanita itu masih tak menyadari kehadiran Ed. Sampai ketika Licia berjalan ke arah tempat tidurnya, menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Lalu, tatapannya berputar ke arah Ed yang berdiri di sana. Wanita itu seketika meneriakkan makian kasar pada Ed. 

“Apa yang kau lakukan di situ, astaga?!” Licia meraih selimut dan menutupkan ke tubuhnya. 

Ed berdehem. “Surprise?” 

Licia melotot mendengar jawabannya. 

“Untung kau tadi masih mengenakan handuk. Siapa yang tahu, apa yang akan terjadi jika kau tadi …” 

Lemparan bantal yang terarah padanya memutus kalimat Ed. 

“Keluar dari kamarku, sekarang!” teriak wanita itu marah. 

Ed mendesah pelan, mengangguk. Ia berjalan ke arah pintu. Sebelum menutup pintu, ia masih sempat berkata, 

“Mana aku tahu jika kau suka berkeliaran di rumahmu tanpa pakaian?” 

Tepat ketika pintu itu tertutup, Ed mendengar makian marah Licia, diikuti lemparan benda lainnya, –mungkin bantal lainnya, ke arah pintu. 

Mungkin setelah ini, Ed akan lebih sering datang kemari. Siapa tahu ia beruntung. Yah, mungkin lain kali. 

***

Licia masih menggerutu kesal ketika menarik turun kaos putih melewati kepalanya. Ia menyisir rambut dengan cepat dan asal, sebelum keluar dari kamarnya, hanya untuk menemukan Ed sudah berbaring dengan nyaman di sofa ruang tamunya, menonton televisi. 

Pria ini tidak hanya menyebalkan, tapi juga gila. Seharusnya Licia tahu itu. Hanya namanya saja yang terdengar baik, meski pemiliknya benar-benar seorang playboy gila kurang ajar. 

“Menyingkirlah dari sofaku,” galak Licia seraya merebut remote televisi di tangan pria itu. Dan rumahku, tambahnya dalam hati. 

Ed mendongak menatapnya, mengabaikan peringatan Licia dan malah menatapnya dari atas ke bawah. 

“Kau benar-benar tidak berusaha sama sekali untuk kencan pertama kita, hm?” tanya pria itu. 

Licia mendengus kasar. Apa katanya? Kencan? 

“Kau mau keluar sendiri atau aku harus menendangmu keluar?” ancam Licia sepenuh hati. 

Ed mendesah berat, lalu melompat berdiri dari sofa. “Baiklah, ayo. Sepertinya kau sudah tidak sabar untuk memulai kencan kita, kan?” Pria itu bahkan tersenyum di akhir kalimatnya. 

Bukankah Licia sudah mengatakan, bahwa pria ini adalah playboy gila menyebalkan? Karena, ia benar-benar seperti itu. Jangan berpikir tentang yang lainnya. 

Licia mendorong pria itu menepi ketika hendak keluar dari pintu apartemennya. 

“Kau menghalangi jalanku,” Licia beralasan ketika pria itu menatapnya. 

“Jika kau ingin aku menggandeng tanganmu, katakan saja. Tidak perlu melakukan isyarat sekasar itu,” ucap pria itu seraya meraih tangan Licia, yang kontan ditepis Licia. 

“Aku tidak melakukan ini karena aku senang. Jadi, jangan menguji kesabaranku lagi.” Licia mendesis memperingatkannya. 

Pria itu mendesah berat, lalu mengangguk. Ia akhirnya berjalan meninggalkan Licia ke arah lift. Dengan terpaksa, dan sangat berat hati, Licia mengikuti pria itu. Licia memperhatikan penampilan pria itu yang juga tak tampak istimewa. Ia hanya mengenakan kaos NYC hitam yang ditutupi jaket baseball merah, dan sneakers hitam merah. Ia juga tidak tampak berusaha dengan penampilannya, mengingat acara utama mereka adalah makan malam. 

Meski harus Licia akui, pria ini tampak berbeda dengan penampilan biasanya di kantor. Pria yang berjalan di depannya itu tampak lebih muda dengan pakaian santai begitu. Ditambah dengan rambut cokelatnya yang biasa ditata ke atas, kali ini jatuh dengan alami, membuatnya tampak ... polos. Meski kata itu tidak pantas dipasangkan dengan playboy itu.

“Jika kau sudah selesai menilai penampilanku, kau bisa berjalan di sampingku sekarang.” Suara pria itu seketika menyadarkan Licia, membuatnya mengangkat tatap ke wajah pria itu yang sudah menoleh ke arahnya. 

Licia berdehem. “Hanya ingin mengatakan hal yang sama tentangmu,” ucapnya. “Kau juga tidak berusaha sama sekali untuk …” Licia menghentikan kalimatnya. Bukan kencan, ia mengingatkan dirinya sendiri, “acara makan malam kita yang agak sedikit terlalu pagi ini.” 

Ed tertawa pelan. “Kau tidak mencium wangi parfumku? Atau, perlukah aku memelukmu agar kau bisa menyadari betapa aku sudah sangat mempersiapkan diri untuk hari ini?” 

Licia kontan merentangkan tangan ke depan dan melangkah mundur ketika pria itu melangkah ke arahnya. “Tidak perlu, aku percaya kata-katamu,” katanya cepat. 

Ed menghentikan langkah, menelengkan kepala. “Aku bahkan menyisir rambutku, mandi, memakai parfum, memakai pakaian yang setidaknya tidak akan membuatmu malu berjalan di sebelahku, dan juga, sepatu ini. Kau akan terkejut jika aku benar-benar tidak menyiapkan diriku seperti ini.” 

Licia berdehem lagi. Pria itu tidak mengatakan, ia mungkin saja keluar hanya dengan kaos dan celana santai, dengan rambut berantakan, dan bahkan tanpa mandi, kan? 

“Meski tidak separah yang kau pikirkan, karena aku harus menjaga image-ku di depan para wanita yang menggilaiku, tapi kuyakinkan kau, aku benar-benar mempersiapkan diriku sebaik mungkin untuk hari ini,” ucap pria itu, tak terdengar bercanda. “Apa kau tahu berapa lama aku sudah menunggu hari ini?” 

Licia mengedikkan bahu cuek. “Dua minggu? Kau terus menggangguku sejak kau datang ke perusahaan.” 

Ed menyeringai. “Benarkah? Kau seyakin itu dengan jawabanmu?”

Licia mengerutkan kening. Apa maksudnya? 

“Ah, mungkin bukan hanya aku yang kau ganggu,” Licia menambahkan. 

Ed mendengus pelan. “Bahkan setelah aku menunggu hari ini, setelah sekian lama, kau bahkan tidak mengenakan make up. Kau tampak seolah akan pergi berbelanja ke pasar.” 

Licia melotot mendengarnya. Ia memang tidak berusaha, tapi ia mengenakan kaos yang tidak terlalu buruk, juga jeans tiga perempat, meski ia hanya mengenakan sandal santai. 

Licia tersentak pelan ketika tiba-tiba Ed sudah berdiri di depannya, mencondongkan tubuh ke arahnya. 

“Kau bahkan tidak memakai parfum,” ucap pria itu. 

Licia mendorong Ed seraya mengambil langkah mundur dari pria itu. 

“Kau bahkan nyaris tak menyisir rambutmu,” sebut pria itu, membuat tangan Licia refleks terarah ke rambutnya yang memang hanya ia sisir asal-asalan tadi.

Namun kemudian, ia tersadar, ia toh berada di luar sini bersama pria ini bukan karena keinginannya. Maka, ia menurunkan tangan dari rambutnya dan menatap Ed tajam. 

“Kenapa aku harus melakukan itu, ketika aku bahkan tak ingin berada di sini denganmu?” sengit Licia. “Bahkan meskipun aku keluar tanpa memakai apa pun, apa pedulimu?” 

Licia menyadari bahwa ia baru saja mengatakan hal yang bodoh ketika humor muncul di mata pria itu, sebelum pria itu tergelak. 

“Aku menanti yang satu itu,” katanya seraya berbalik. “Bolehkah aku berharap untuk kencan kita yang berikutnya? Aku akan menyiapkan tempat yang lebih pribadi untuk kita. Aku tentu tidak akan rela jika pria lain melihatmu tanpa memakai apa pun.” 

Licia membalas pertanyaan gila pria itu dengan umpatan pelan, sembari menyeret langkahnya, mengikuti pria itu. 

Namun, begitu mereka berada di dalam lift, Licia menyadari bahwa pria itu memang memakai parfum. Mendadak, ia terusik dengan posisinya yang memang tidak memakai parfum. Licia menoleh ke bahu kanannya, mengangkat bahunya sedikit, dan mendapati ia hanya mencium aroma sabunnya. 

Lagi-lagi, Licia dibuat tersentak kaget oleh Ed ketika ia kembali menatap ke depan. Bagaimana tidak? Pria yang berdiri di kirinya itu, entah sejak kapan, mencondongkan tubuh ke arahnya, membuat kepala mereka berdekatan, nyaris tanpa jarak. 

“Kau sudah cukup wangi tanpa parfum,” pria itu berkata. “Dan kau memang lebih cantik tanpa make up.” 

Licia menoleh pada pria itu tepat ketika lift berdenting, menandakan mereka sudah tiba di lantai tujuan mereka, bersamaan dengan pria itu yang menarik diri. Tanpa menoleh pada Licia, ia melangkah keluar lift

Mengingat kata-kata Ed barusan, Licia mendengus kesal. Siapa pula yang tadi protes tentang Licia yang tidak memakai parfum, tidak memakai make up? Ia ... tunggu! Kenapa Licia bahkan mau repot-repot memikirkan apa yang dikatakan maupun dipikirkan pria itu? Apa ia lupa? Ed adalah playboy gila menyebalkan. 

Sekarang, ia benar-benar yakin akan itu. 

***

 

Just a Little More

 

“Sebenarnya, kita akan pergi ke mana?” Licia terdengar jengkel. Pasalnya, mereka sudah berkendara lebih dari satu jam, tapi tak ada tanda-tanda bahwa mereka akan segera sampai. 

Ed melirik wanita itu. Ia benar-benar berbeda dengan dua puluh tahun lalu. Yah, apa yang Ed harapkan? Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Ed tak tahu apa saja yang dialami wanita itu selama dua puluh tahun terakhir ini. Setidaknya, belum dari mulut wanita itu sendiri. 

“Aku akan memberitahumu berapa lama lagi sebelum kita sampai jika kau mau menjawab pertanyaanku,” Ed akhirnya menawarkan. 

Licia meliriknya curiga. “Apakah masih lama?” 

Ed tak menjawab. Ia sudah menawarkan kesepakatan. 

Lalu, terdengar desahan lelah Licia. Ia mengalah. 

“Kenapa kau selalu menghindari para pria?” tembak Ed. 

Licia mengerutkan kening. Bukan pertanyaan yang akan dengan mudah dijawab wanita itu, Ed tahu. Namun, ia benar-benar ingin tahu, jika Licia masih mengingatnya atau tidak. 

“Kau membenci pria? Atau … seleramu memang berbeda dengan para wanita pada umumnya?” Ed meneruskan. 

Kali ini, Licia mendecakkan lidah kesal. “Apa aku harus punya alasan untuk tidak dekat dengan pria mana pun?” 

“Bukan hanya tidak dekat, tapi kau berusaha menghindari mereka. Setidaknya, begitulah rumor yang kudengar tentangmu. Anti pria? Semacam itu.” Ed mengedikkan bahu santai. 

“Seolah aku peduli akan apa yang orang-orang katakan tentangku,” dengus wanita itu. 

“Tapi, aku peduli,” tandas Ed. “Jadi, katakan padaku. Apa alasannya?” 

Licia menoleh pada Ed, menatapnya lekat. “Sepertinya aku perlu mengingatkanmu. Aku tahu kau adalah playboy, dan kau akan melakukan apa pun untuk mendapatkan wanita yang kau inginkan. Tapi, kurasa kau harus menyerah jika kau berencana melakukan teknik playboy-mu itu padaku. Apa pun yang kau lakukan …” 

“Lebih dari apa pun,” Ed memotong, “aku tahu itu dengan pasti.” 

Licia mengerutkan kening. 

“Bahkan meskipun aku menyatakan cinta padamu, memberimu cincin berlian, atau memberikan seluruh dunia kepadamu, kau tidak akan percaya padaku, kan?” tuduh pria itu. “Hanya karena aku ini pria.” 

Licia menahan napas, tapi ia tak mengatakan apa pun. Ia kembali menatap ke depan dan berkata dingin, “Terserah. Aku toh tak peduli dengan apa yang kau pikirkan tentangku. Selama kau tahu bahwa taktik playboy-mu tak akan berhasil denganku, itu cukup. Aku hanya perlu menunggu sampai kau bosan, kan?” 

Wanita itu bahkan tidak perlu berusaha untuk menghancurkan kepercayaan diri Ed. Apa pun yang Ed lakukan, tidak akan membuat wanita itu menatapnya. 

“Apa kau … punya seseorang yang kau cintai?” tanya Ed kemudian, sedikit ragu, dan takut, untuk menanyakan itu. 

Licia tidak segera menjawab, tapi ekspresi wanita itu seketika berubah. Sorot luka di matanya tampak begitu jelas, hingga tak mungkin Ed tak melihatnya. 

“Orang-orang yang berbicara tentang cinta. Mereka bilang, mereka mencintaimu selamanya, mereka akan selalu ada di sampingmu selamanya, mereka tidak akan pernah meninggalkanmu selamanya. Apa kau tahu, itu adalah kehobongan yang paling sering mereka ucapkan? Dan itu, adalah kebohongan yang paling kubenci di dunia ini.” Suara Licia terdengar begitu terluka. 

Ed mencengkeram setir erat, menahan tangannya untuk menggenggam tangan wanita itu dan menenangkannya, menghiburnya. Seharusnya ia senang, karena Licia masih mengingatnya. Namun, ini juga menghancurkannya, mendapati dirinyalah yang menyakiti wanita itu hingga seperti ini. 

“Jadi, jangan pernah membicarakan tentang omong kosong seperti itu lagi denganku,” tandas Licia, diikuti tatapan dingin yang terarah pada Ed, tegas melindas sorot luka di sana tadi. 

“Orang itu … apa aku mengenalnya?” tanya Ed lagi. 

“Tidak,” jawab wanita itu tanpa ragu. “Sepertinya, hanya aku yang mengenalnya. Meski sekarang aku tak tahu dia ada di mana, atau dia masih hidup atau tidak. Dan … bagaimana hidupnya sekarang …” Suara Licia menggantung, sebelum ia mengakhirinya dengan deheman dan kalimat dingin, “Tapi, aku tidak peduli lagi sekarang.” 

“Dia cinta pertamamu?” tanya Ed lagi. 

“Kupikir tadi hanya satu pertanyaan,” sahut Licia ketus. 

Ed menghela napas, mengangguk. “Kita sampai di tujuan pertama kita,” katanya seraya menepikan mobil, masuk ke parkiran kafe yang berada tepat di samping taman. Di sebelahnya, ia bisa mendengar Licia mendengus kesal, sebelum berkata, 

Playboy brengsek.” 

Ed, entah kenapa, justru mendapati dirinya tersenyum geli karena makian Licia. Yah, setidaknya ia tahu satu hal tentang perasaan Licia padanya. Meski ia mungkin tidak akan pernah bisa mengatakan pada wanita itu bahwa sosok yang telah menyakitinya itu, tanpa bisa menghibur atau meredakan sakit di hatinya, adalah dirinya. 

***

Licia menatap Ed lekat, tajam, penuh dendam, sepanjang acara sarapan mereka. 

“Jika kau terus menatapku seperti itu …” 

“Apa sebenarnya yang kau coba lakukan?” Licia memotong kalimat Ed dengan ketus.

Ed menunjuk piring yang sudah kosong di depannya. “Makan. Aku belum makan apa-apa sejak semalam. Jika aku sampai pingsan di tengah jalan karena tidak makan, kau mau tanggung jawab?” 

Licia mendengus kasar. Seolah itu mungkin. Ia bahkan bukan anak kecil. 

“Ke mana sebenarnya kau akan membawaku? Apa kau tahu, aku bisa menuntutmu atas tuduhan penculikan?” ancam Licia sungguh-sungguh. 

Ed menelengkan kepala, tampak tertarik. “Itu ide yang bagus juga,” Ed berbicara. “Bukankah dengan begitu, aku bisa melakukan apa pun yang kusuka padamu?” 

Licia melotot mendengarnya. “Kau …” Licia dengan cepat meraih ponselnya, hendak menghubungi Tyas untuk menjemputnya, tapi sebelum ia sempat menelepon siapa pun, ponselnya sudah berpindah tangan. 

Ed memutar ponsel Licia dengan seringaian di wajah, sebelum menyelipkan ponsel itu ke saku jaketnya. 

“Aku tidak ingin kencan kita diganggu. Oleh siapa pun,” ucap pria itu santai. 

Licia menyipitkan mata kesal. “Berhenti bermain-main, atau aku akan berteriak di sini bahwa kau menculikku,” ancamnya. 

Alih-alih gentar, Ed justru tergelak mendengarnya. “Cobalah, dan lihat jika ada yang peduli. Kau bahkan dengan patuh mengikutiku kemari.” 

Licia mendecakkan lidah kesal. “Setidaknya beritahu aku, ke mana tujuan kita?” frustrasinya. 

“Ceritakan padaku tentang cinta pertamamu, dan akan kuberitahu kau ke mana tujuan kita.” Ed kembali membuat penawaran bodoh sialan menyebalkan itu. 

Licia mendesis kesal. Ia tidak akan dengan mudah menuruti pria ini lagi. Ia bahkan masih menyesali betapa mudahnya ia membuka mulut tentang cerita masa lalunya di mobil tadi. 

“Baiklah.” Ed lantas bangkit dari duduknya. “Aku juga sudah memesan penginapan untuk kita karena …” 

“Berjanjilah satu hal padaku,” Licia menyela, memutuskan. 

Ed menunduk menatapnya. “Tergantung …” 

“Berjanjilah,” desak Licia. 

Ed menghela napas berat. “Baiklah, aku berjanji,” ucapnya, menuruti pinta Licia.

Licia mengangguk, lalu ikut berdiri dari kursinya. “Aku akan menceritakan alasanku yang sebenarnya, kenapa aku begitu membenci para pria, kenapa aku tak pernah bisa percaya pada mereka, dan kenapa aku terpaksa menuruti keinginan bodohmu ini. Sebagai gantinya, besok Senin di kantor, jangan menggangguku lagi. Bahkan, bersikaplah seolah kita tak saling kenal. Untuk seterusnya.” 

Ed tampak akan protes, tapi ketika tatapan tajam Licia mendarat tepat di mata cokelatnya, pria itu menahan protesnya. Ia akhirnya menanggapi dengan anggukan. Cukup puas dengan itu, Licia berbalik dan meninggalkan pria itu. 

Ketika mereka melanjutkan perjalanan, suasana di mobil menjadi lebih hening. Kali ini, bahkan Ed tak lagi seribut sebelumnya. Diam-diam, Licia melirik pria itu. Satu tangannya memegang roda kemudi, sementara tangannya yang lain melayang di rambutnya, mengacaknya sembarangan. Sementara wajahnya … tampak sedikit frustrasi. Apa yang …

“Apakah akhirnya kau menyadari betapa tampannya aku?” Suara Ed membuat Licia kontan melengos kasar. 

Ia menatap ke arah langit lewat jendela kaca mobil di sebelahnya, menimbang dengan serius, apakah ia akan menceritakan tentang masa lalunya. Namun, hanya itu satu-satunya cara untuk menyingkirkan pria ini. Karena satu hal yang Licia tahu tentang playboy sialan ini: ia selalu menepati janji. 

Menguatkan hatinya, Licia menarik napas dalam. Ia sudah membuka mulut, tapi sebelum satu kata pun lolos dari bibirnya, Ed sudah lebih dulu berkata, 

“Jangan sekarang.” 

Mendengar itu, kontan Licia menoleh. Pria itu masih menatap ke depan, tapi Licia bisa melihat dengan jelas ekspresi muramnya. 

“Besok, Licia. Bisakah aku meminta waktu sampai besok?” pinta pria itu tiba-tiba. 

Kesungguhan dalam suara pria itu membuat Licia ragu untuk menolak. Alih-alih, ia malah bertanya, 

“Kenapa?” 

Ed tersenyum, senyum getir. 

“Karena aku menyukaimu. Aku sudah mengatakan itu, kan? Berkali-kali, bahkan,” sahut pria itu. 

Licia memutar mata. “Kau mau aku percaya itu? Ketika kau yang mengucapkannya?” 

“Karena itu, tak peduli meski aku mengatakannya ribuan kali pun, bahkan jutaan kali sekalipun, kau tidak akan percaya, kan? Karena itu, beri aku kesempatan untuk membuktikannya. Hanya sehari lebih lama. Toh, besok lusa aku akan menepati janjiku padamu. Karena itu, bisakah kau menunggu sampai besok?” Harap dalam suara Ed membuat Licia merasa tidak enak menolaknya. Toh ini untuk terakhir kalinya. 

“Hanya sampai besok,” Licia menegaskan. 

Ed mengangguk, senyum kecil muncul di bibirnya. Namun, selama dua jam berikutnya, Licia tak lagi melihat senyum itu. Tidak pula ia mendengar suaranya. Selain pepohonan yang seolah tak berakhir di luar sana, Licia hanya bisa melihat wajah Ed yang tampak sendu. Berkali-kali pria itu menghela napas berat, seolah beban berat menghimpit dadanya. 

Ia tidak mungkin serius dengan kata-katanya tadi, kan? Tidak mungkin. Sejak pria ini datang, Licia sudah banyak mendengar tentangnya. Tentang betapa ahlinya ia merayu wanita, atau betapa brengseknya ia. Masalahnya, semua yang ia dengar itu … benar, kan? 

***

 

 

-Chapter 2-

Aku akan melakukan apa pun

Untuk menahanmu di sisiku

Benar-benar apa pun

 

Kenangan Tak Terkenang

 

“Aku tidak pernah tahu acara makan malammu bisa seheboh ini,” sinis Licia ketika lagi-lagi Ed menghentikan mobilnya di pelataran parkir agrowisata. 

“Aku sangat suka apel,” jawab Ed pendek. 

Licia memutar mata, tapi tak lagi protes dan mengikuti Ed masuk ke taman wisata kebun apel. Meski begitu, ketika mereka sudah berada di antara pohon apel, Licia mengambil jalan yang berbeda dari Ed, sengaja menjauh darinya. Ed tidak mencegahnya. Meski ia juga tak dapat menahan langkah untuk mengikuti wanita itu dari jarak aman. 

Ed tersenyum melihat betapa seriusnya Licia memetik apel. Bahkan, samar dari tempatnya berdiri, ia bisa mendengar Licia bergumam, mengomel kesal. Selama tiga minggu ia mengamati wanita itu, Ed sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Nyaris setiap waktu, wanita itu hanya mengomel dan menggerutu kesal, bahkan melemparkan kata-kata yang tidak hanya dingin, tapi kejam juga, kepadanya. 

Yah, ia bisa apa, jika wanita yang ia cintai bukanlah gadis kecil yang manis seperti yang dulu pernah ia kenal? Toh, ia tetap orang yang sama. Itu cukup untuk menjadi alasan Ed mencintainya. Itu pun jika memang ia butuh alasan untuk mencintai wanita itu. 

Ed memetik sebuah apel dan menggigitnya sementara tatapannya masih terus mengikuti Licia. Selama tiga minggu terakhir ini, wanita itu berhasil membuat hidup Ed jungkir balik demi bisa berada di dekatnya. Bahkan mungkin, meski Ed terus mengikutinya sepanjang tahun, itu tak akan mengubah keputusan wanita itu. Wanita itu, adalah satu-satunya wanita yang membuatnya menunggu selama ini. 

Ed mendengus geli menyadari itu. Ia hanya perlu menyebutkan siapa dirinya, dan ia tak akan perlu melakukan hal konyol seperti ini untuk mendapat perhatian Licia. Hanya saja, melakukan itu seperti memakan apel beracun. Ya, Ed menyukai apel, tapi itu akan membunuhnya juga. 

Ia selalu berharap, jika ia bisa terlahir kembali, ia ingin menjadi orang lain. Lalu, ia akan muncul di kehidupan Licia dengan cara yang biasa, berusaha mengejar wanita itu seperti normalnya orang jatuh cinta pada umumnya, berkencan dengan wanita itu seperti pasangan-pasangan lain. Karena, jika ia kembali ke masa lalunya, ia tidak hanya memakan apel beracun itu sendiri. Licia juga akan harus memakannya. Ed tentu tak akan pernah membiarkan itu terjadi. 

Atau, apa sebaiknya ia menyerah? Melepaskan wanita itu dan kembali ke kehidupannya sendiri? Bahkan meskipun ia mungkin akan gila karena merindukan wanita itu, setidaknya Licia tidak harus terluka. Hanya saja, kenapa rasanya Ed bahkan tak bisa membayangkan esok hari tanpa wanita itu? 

Setelah menunggu sekian lama, setelah mencari ke semua benua, haruskah ia pergi saja? Bahkan meski itu membunuhnya? 

Ed menghentikan langkah, saat Licia juga berhenti untuk menurunkan keranjangnya yang sudah hampir penuh. Wanita itu menurunkan keranjangnya ke tanah, lalu memijat pelan lengan kirinya yang tadi membawa keranjang. Namun, itu tak menghentikan Licia. 

Wanita itu kembali memetik beberapa buah apel, membawanya ke keranjangnya, dan mengangkat keranjang itu lagi. Ed mendengus geli melihatnya. Mempercepat langkahnya, Ed menyambar keranjang dari tangan Licia, membuat wanita itu tersentak kaget dan menoleh ke arahnya. 

“Apa yang kau lakukan?” protesnya. 

“Bukankah dalam situasi seperti ini, terima kasih seharusnya kata yang tepat?” cuek Ed. 

Licia mendengus. “Aku toh tidak meminta bantuanmu.” 

Ed mengangguk, mengakui. 

“Tapi … kau sama sekali tidak memetik apel?” Licia mengerutkan kening heran melihat tangan Ed yang hanya membawa keranjangnya. 

Ed mengangkat apel yang sudah separuh dimakannya di depan wajah wanita itu. “Mau?” ia menawarkan. 

Licia memutar mata seraya mendorong tangan Ed. Wanita itu kembali melangkah, memetik dua buah apel dan memasukkannya ke keranjang yang dibawa Ed.

“Kenapa kau membawaku kemari jika kau tidak memetik ap … tidak memetik sebanyak yang kau inginkan?” Licia meralat kalimatnya, tahu kesalahan kata sekecil apa pun akan digunakan Ed untuk meledek atau membuatnya kesal. “Kau bilang, kau suka apel.” 

“Tapi, aku lebih suka dirimu,” sahut Ed enteng, seketika mendapat tatapan tajam Licia. 

“Sepertinya memang percuma saja aku berbicara denganmu,” ketus wanita itu. 

“Aku toh tidak memintamu berbicara denganku,” enteng Ed. “Hanya berkencan denganku. Bagaimana? Itu lebih baik, kan?” 

Licia memutar mata seraya beranjak meninggalkan Ed. Kali ini, Ed sengaja tidak segera menyusul wanita itu. Tatapannya lekat ke arah punggung wanita itu sementara senyum getir terukir di bibirnya. 

“Bagaimana bisa semudah itu kau pergi dan menunjukkan punggungmu padaku, ketika aku bahkan tak sanggup mengalihkan tatapanku darimu? Tahukah kau, berbalik dan berjalan menjauh darimu adalah hal terberat yang kulakukan dua puluh tahun lalu? Dan kau berharap aku melakukan itu lagi?” Ed mendengus pelan, menertawakan dirinya sendiri. 

“Membunuhku pasti akan lebih mudah, Licia. Untukku, bukan untukmu,” gumam Ed sebelum ia menggigit apelnya dan menyusul Licia.

***

“Jadi akhirnya, kita benar-benar makan malam,” dengus Licia dengan nada meledek. 

Ed yang sama sekali tak terpengaruh dengan itu, malah tersenyum lebar. “Kau suka tempat ini?” Ia merujuk pada pemandangan malam di restoran yang berada di atas bukit itu. 

“Tidak buruk,” sahut Licia cuek seraya mulai memotong steak yang ada di piringnya. “Tempat ini …” Kalimatnya terputus oleh pekikan kagetnya. Ed tiba-tiba menarik piringnya, hanya untuk menukarnya dengan piring pria itu, dengan daging yang sudah dipotong. 

“Maaf mengecewakanmu, tapi aku pria dengan manner yang baik,” ucap pria itu bangga. 

Licia mendengus. “Apa kau sadar, kau nyaris membuatku menusukkan garpu di tanganku ini ke tanganmu?” 

Ed tertawa pelan. “Well, aku lebih suka jika kau berterima kasih dengan cara yang lebih anggun.” 

“Yah, kurasa kau bisa berharap tentang itu pada wanita-wanitamu. Mereka pasti seketika luluh karena kau melakukan hal seperti ini,” cibir Licia. 

“Bolehkah aku merasa senang karena kecemburuanmu?” tanya Ed dengan senyum lebar. 

“Teruslah bermimpi,” desis Licia seraya menusuk potongan steak di piringnya dengan agak sedikit berlebihan. 

“Kau benar-benar cemburu?” Suara Ed terdengar geli. 

“Tidak sama sekali. Aku hanya ingin makan dengan tenang, tapi kau terus menggangguku,” Licia beralasan. 

Ed tak membalas dan malah tergelak. Mengabaikan pria itu, Licia melanjutkan makan malamnya, bahkan tanpa menatap pria itu. Memangnya ia pikir ia siapa? Licia cemburu? Huh. Yang benar saja. 

Ia hanya tidak suka mendapati dirinya berada di antara wanita-wanita koleksi pria itu. Kenyataan bahwa playboy ini berhasil membawanya kemari, duduk di depannya untuk makan malam seperti ini, seperti yang mungkin biasa ia lakukan pada wanita-wanita lain yang ia rayu, itu membuat Licia jengkel. Lebih dari apa pun, ia membenci para pria karena ketidaksetiaan mereka, tapi di sinilah ia, terpaksa menelan makan malamnya di depan playboy paling gila dan menyebalkan di muka bumi ini. 

Hanya sampai besok, Licia menghibur dirinya. Besok terakhir kalinya. Ia akan menceritakan tentang satu-satunya orang yang ada di hatinya, kenangan terburuknya, dan playboy ini tidak akan mengusiknya lagi. Dengan pikiran itu, Licia berhasil menenangkan diri dan mulai menikmati makan malamnya. 

Pemandangan di sini terlalu indah untuk dilewatkan dengan suasana hati yang buruk. Bahkan meski Licia berada di sini di luar kehendaknya, setidaknya, ia harus menikmati hamparan bintang di atas sana. Ditambah, titik-titik cahaya lampu di bawah sana. Setidaknya, ini menghiburnya. Yah, meski ia harus mengabaikan dinginnya cuaca di atas sini. 

Namun, ketenangan Licia harus berakhir dengan cepat tatkala Ed yang entah kapan meninggalkan kursinya, sudah berdiri di belakangnya. Pria itu menempatkan kedua tangannya di kanan-kiri kursi Licia. 

“Jika kau melakukan ini untuk …” 

“Kenapa kau sama sekali tak mengeluh?” Ed menyela. 

Licia mengerutkan kening. 

“Kau bahkan tak sedikit pun merengek tentang betapa dinginnya di sini,” lanjut pria itu, membuat Licia kontan berdiri, bersiap menendang pria itu jika perlu. Licia bahkan sempat keluar dari tempat duduknya ketika merasakan sesuatu tersampir di bahunya. Sebelum Licia sempat melakukan apa pun, Ed sudah mendorongnya duduk. 

Licia yang tak siap, tentu saja terjatuh kembali di kursinya. Ia menoleh ke arah bahunya dan melihat jaket yang tadi dikenakan Ed kini ada di sana. Ia menoleh ke belakang, tapi sialan playboy itu, ia sudah berlalu dan kembali ke kursinya, seolah sengaja mengerjai Licia. 

“Trik playboy apa lagi ini?” sengit Licia, hendak menarik jaket pria itu. 

“Atau, kau lebih suka jika aku yang memelukmu?” Tawaran gila pria itu menghentikan usaha Licia. Tahu dengan pasti, Ed tidak pernah bermain dengan kata-katanya. “Di sini dingin. Harga diriku memaksaku untuk menunggu hingga kau setidaknya mengeluh tentang itu, lalu memohon padaku untuk memelukmu …” 

“Apa aku sudah gila?” desis Licia tajam. 

“Tapi, naluri gentleman-ku lebih kuat dari harga diriku, jadi aku memutuskan untuk mengalah,” lanjut Ed dengan nada bangga. 

Licia mendengus tak percaya. Naluri gentleman? “Trik playboy, maksudmu?” 

Ed menggeleng. “Trik playboy itu seperti ini,” pria itu berkata, lalu tiba-tiba, meraih tangan Licia dan menangkupnya dengan kedua tangannya. 

Melihat itu, kontan Licia menarik tangannya dari tangan pria itu. Di depannya, playboy gila itu sudah tergelak puas. 

“Dasar playboy,” desis Licia penuh amarah. 

“Aku hanya menunjukkan padamu. Karena itu, lain kali kau tidak yakin apakah aku menggunakan trik playboy-ku atau tidak, aku akan menunjukkannya padamu,” ucap pria itu seraya merentangkan lengan santai. 

Licia mendengus kasar. Seharusnya ia tahu, pria ini adalah playboy gila menyebalkan. 

***


 

Goodbye ... Or Not

 

Tiga puluh menit lebih berlalu sejak mereka tiba di apartemen Licia, tapi Ed sengaja tak membangunkan wanita yang tengah lelap di kursi sebelahnya itu. Jaket Ed yang masih dikenakan wanita itu membuat bibirnya tersenyum. Setidaknya wanita itu tidak membuangnya dalam perjalanan pulang tadi. 

Ia masih tersenyum ketika mencondongkan tubuh ke arah Licia, menatap wajah wanita itu lekat, mengaguminya, lagi-lagi terpesona padanya. Namun kemudian, senyumnya lenyap, berganti desahan berat tatkala teringat janjinya pada wanita itu. Bahwa ia tidak akan mengusik wanita itu lagi setelah besok mendengar cerita yang harus dipendam wanita itu sendiri, setelah Ed pergi darinya. 

Besok, ia akan tahu dari mulut wanita itu sendiri, apa yang terjadi padanya begitu Ed pergi dari hidupnya dua puluh tahun lalu. Apa yang membuat Licia begini membenci para pria, dan apakah wanita itu memiliki perasaan yang sama dengannya? Ia tak tahu, apa ia harus senang atau sedih jika memang Licia juga merasakan hal yang sama dengannya; kerinduan yang sama, rasa cinta yang sama. 

Bodoh jika ada yang mengatakan bahwa ia tidak senang jika orang yang ia cintai, juga mencintainya. Gila jika ada yang berkata bahwa ia sama sekali tidak berharap orang yang sangat ia rindukan, juga merindukannya. Bahkan meski kata-kata itu tak diucapkan, harapan itu terpendam kuat di dalam hati setiap orang. Bahkan hingga tak terlihat, tertutup ego untuk mengakui betapa menyedihkannya memiliki perasaan itu. 

Namun, Ed tahu, bahkan meskipun wanita itu memiliki perasaan yang sama dengannya, ia tidak akan bisa mengakui bahwa perasaan itu tertuju padanya. Ia hanya Ed, playboy yang selalu mengganggunya, bukan sosok dari masa lalu yang pernah menggenggam tangannya dan berjanji tak akan pernah meninggalkannya. 

Ed mengernyit ketika tusukan menyakitkan mendarat di dadanya tatkala ingatan akan kejadian dua puluh tahun lalu kembali membayanginya. Air mata Licia saat itu, keputusasaannya, kesedihannya, cukup untuk membunuh Ed selama dua puluh tahun terakhir ini.

Namun, ia sedikit pun belum bisa mengenyahkan mimpi buruknya itu, ketika ia harus melepas wanita ini lagi. Ed memejamkan mata, mengepalkan tangannya erat, mengabaikan rasa sakit di telapak tangannya yang bahkan tak sedikit pun sepadan dengan rasa sakit yang ia rasakan di dadanya. 

“Apa yang kau lakukan?” Suara dingin penuh kecurigaan Licia itu seketika membuat mata Ed terbuka. 

Ed bahkan belum sempat memundurkan tubuh ketika wanita itu sudah mendorongnya kasar. 

“Apa kau melakukan sesuatu padaku?” tuduh wanita itu seraya menunduk dan mengecek pakaiannya. 

Ed mendengus geli melihat itu. Setidak percaya itulah wanita itu padanya. 

“Aku tidak sebrengsek itu, Licia. Bahkan meskipun aku menginginkanmu, aku akan memastikan kita menikah lebih dulu sebelum aku …” 

“Cukup,” Licia memutus kalimat Ed, sekaligus mimpi kosongnya itu. “Memikirkan kemungkinan itu saja sudah cukup membuatku ingin muntah.” 

Ed meringis. Menakjubkan bagaimana wanita ini begitu membencinya. Benar-benar seratus persen membencinya. 

Ketika wanita itu menyadari bahwa mereka sudah tiba di depan gedung apartemennya, ia menatap Ed dengan tatapan menuduh. 

“Jangan menatapku seperti itu,” Ed berusaha membela diri. “Toh besok mungkin akan menjadi terakhir kalinya aku bisa pergi denganmu. Bahkan besok, kau mungkin tidak akan mau berlama-lama denganku. Kau bahkan tidak akan mau aku menjemputmu. Kau mungkin berencana menemuiku langsung di kafe.” Ed lalu menoleh ke belakang. “Kafe itu, mungkin,” sebutnya seraya mengedik ke arah kafe yang berada tak jauh dari gedung apartemen Licia. 

Deheman Licia kemudian membenarkan dugaannya. 

“Setidaknya, beri aku waktu untuk melihatmu lebih lama. Juga berada di sampingmu sedikit lebih lama, sebelum kau menendangku keluar dari hidupmu selamanya,” Ed meminta. 

Licia kembali berdehem, melirik Ed sekilas, lalu melepas seat belt-nya tanpa mengatakan apa pun lagi. Diam-diam Ed menghela napas berat seraya membuka seat belt dan membuka kunci pintu mobilnya. Ia sudah hendak turun ketika Licia mencegahnya, 

“Tidak usah turun.” 

Ed menoleh pada wanita itu. “Aku hanya akan mengambilkan apel yang kau petik tadi. Aku tidak akan memaksa masuk ke apartemenmu, aku janji,” Ed menenangkan wanita itu. 

Licia memalingkan wajah dari Ed saat berkata, “Kau bisa membawa pulang apel itu. Aku toh tidak suka apel.” 

Pengakuan Licia mengejutkan Ed. Ia memetik sebanyak itu … bukan untuk Ed, kan? Ed tahu alasan wanita itu tidak menyukai apel, tapi ia masih memetik sebanyak itu … untuk Ed? 

Licia menarik napas dalam. “Dan aku menghargai perasaanmu padaku, tapi maaf, aku tidak bisa membalasnya. Meski begitu, terima kasih karena sudah menyukaiku. Meskipun kau menunjukkannya dengan cara-cara yang paling mengesalkan.” Wanita itu mendengus pelan. “Tapi, terima kasih. Sampai besok. Untuk terakhir kalinya.” 

Licia menatap Ed sekilas, tersenyum padanya, senyum kecil, tapi tulus, sebelum wanita itu membuka pintu dan turun dari mobil Ed. Sementara, Ed masih membeku di tempat, terlalu terkejut karena kata-kata Licia barusan. Lantas kenyataan bahwa besok ia harus mengucapkan selamat tinggal pada wanita itu, menghantamnya. Ia tidak bisa. 

Memangnya kenapa jika Licia membencinya? Selama ia bisa berada di samping wanita itu, itu cukup. Bahkan meskipun untuk itu, ia mungkin tidak akan pernah tahu perasaan wanita itu yang sebenarnya kepadanya. 

Namun, memangnya siapa yang peduli tentang itu? Itu hanya masa lalu. Memangnya kenapa jika Licia memang menyukai dirinya di masa lalu? Toh ia juga tidak akan pernah mengatakan pada Licia siapa dirinya sebenarnya, kecuali ia ingin melihat air mata wanita itu lagi. 

Jadi, apa yang ia takutkan? Dan apa yang ia lakukan di sini? 

Ia sudah pernah merasakan hidup tanpa makna ketika pergi dari wanita itu. Ia pasti sudah gila jika sampai melepaskan Licia lagi. Setelah dua puluh tahun mencarinya, setelah takdir tanpa sengaja membawanya tepat di hadapan wanita itu, ia pasti sudah gila jika sampai melepaskan semua itu. 

Licia boleh membencinya, toh itu tak akan menghentikan Ed. Ia bahkan akan membuat wanita itu jatuh cinta padanya. Bukan sebagai dirinya di masa lalu, tapi sebagai Ed yang sekarang. Ia akan menghapus sosok masa lalu itu dari hati Licia, menggantinya dengan dirinya. 

Bahkan meskipun itu membutuhkan waktu selamanya, Ed tidak akan menyerah. Bagaimana bisa ia menyerah, ketika wanita itu adalah tujuan akhirnya? 

Tersadar akan kenyataan itu, Ed bergegas keluar dari mobil dan mengejar Licia ke apartemennya. Namun, langkahnya terhenti di ujung koridor tatkala dilihatnya seorang pria, yang tidak bisa dibilang muda, yang bahkan lebih tua darinya, berdiri di hadapan Licia di depan pintu kamar apartemennya. 

Wajah pucat Licia kemudian membuat Ed waspada. Tanpa ragu, Ed melangkah menghampiri wanita itu, menuju akhir tujuannya, yang hanya wanita itu, dan selalu wanita itu. 

***

“Nona.” Panggilan itu, suara itu, seketika membuat kaki Licia membeku. Urung membuka pintu apartemennya, ia memutar tubuh hanya untuk mendapati sosok paruh baya itu berdiri di koridor yang sama, membungkuk hormat, sebelum menghampirinya. 

Licia mengepalkan tangan, berusaha mengontrol ekspresinya. Tepat lima tahun. Licia tak pernah tahu, waktu bisa berjalan begitu cepat. 

“Saya kemari untuk menjemput Nona,” pria paruh baya itu kembali berkata. Kedua tangan pria itu terlipat sopan di depan badannya yang mengenakan stelan hitam resmi. “Nyonya Besar sudah menunggu di rumah,” lanjutnya. 

Saat itulah, pengendalian diri Licia runtuh. Ia bisa merasakan wajahnya memucat, sementara kepanikan seolah mencekiknya. Rumah itu … Licia tidak ingin kembali ke sana. Ia hanya akan mati tersiksa dan memalukan di rumah itu. Dengan begitu banyak orang membencinya .... 

Lalu, di tengah kepanikannya itu, ia merasakan gerakan dari ujung koridor di belakang Fransisco, orang kepercayaan neneknya. Saat itulah, harapan kembali muncul dalam dirinya. Saat Ed berjalan ke arahnya, dengan tatapan tertuju padanya. Tak menyiakan kesempatan itu, Licia tersenyum pada pria itu, sebelum ia juga menghampiri Ed, dan melemparkan diri memeluk pria itu. 

Licia bisa merasakan keterkejutan Ed, dan ia segera mengalungkan lengan ke leher pria itu, menarik pria itu menunduk dan berbisik, 

“Tolong.” 

Lalu, dengan suara lebih keras, Licia berkata, “Kenapa kau baru pulang sekarang? Aku sudah sangat merindukanmu.”

Licia bahkan mendaratkan ciuman ringan di pipi Ed. Ketika akhirnya tatapannya bertemu dengan Ed, pria itu tampak begitu terkejut, sebelum dengan cepat berganti dengan senyum santainya. Licia merasa sedikit lebih tenang ketika ia akhirnya melepaskan Ed. 

“Aku juga merindukanmu,” pria itu membalas, sebelum ia menunduk, dan mencium bibir Licia. 

Tentu saja, playboy gila ini tak akan melewatkan satu pun kesempatan seperti ini. Licia yang tadinya berpegangan di lengan pria itu karena serangan tiba-tibanya, harus menahan diri untuk tidak mendorongnya saat itu juga. Ia bahkan berhasil menahan diri saat tangan Ed menahan punggungnya, menariknya mendekat. Sementara, pria itu memperdalam ciumannya. Hanya karena tak ingin Fransisco curiga, Licia berusaha membalas ciuman pria ini. 

Di tengah kejadian tak terduga itu, Licia melihat Ed memejamkan mata, seiring air mata jatuh dari sudut matanya. Ciumannya … terasa begitu putus asa. Apa-apaan pria ini? 

Suara dehem di belakang Licia, segera menyadarkan Licia akan alasan ia melemparkan dirinya pada pria yang masih menciumnya ini. Syukurlah, Licia tidak perlu mendorong Ed untuk menghentikan pria itu. Namun, bahkan setelah ciuman itu berakhir, Ed tidak segera menarik diri dan malah menyandarkan keningnya di kening Licia. 

Sementara Licia, entah kenapa, melihat jejak air mata pria itu justru membuat tangannya bergerak untuk menghapus air matanya. Omong-omong, Licia tidak seburuk itu dalam berciuman, kan? Tidak perlu sampai meneteskan air mata juga, kan? 

Pikiran Licia terhenti saat Ed menangkup tangannya yang masih mengusap pipi pria itu. Sebelum Ed membawa tangan Licia ke bibirnya, menciumnya lembut. Licia mengernyit merasakan guncangan pelan di perutnya, yang seolah menjungkir balikkan isinya. 

Deheman kedua dari Fransiscolah yang akhirnya membuat Ed benar-benar menarik diri, diikuti desahan berat dan tatapan kesal pada Fransisco. 

“Apa yang kau lakukan di sini?” Ed bertanya pada Fransisco, lalu kembali menatap Licia. “Apa dia mengganggumu, Sayang?” 

Licia berhasil menahan dengusan kasarnya dan malah menggeleng. “Dia salah satu orang nenekku. Aku sudah menceritakan padamu, kan, tentang itu? Aku tidak mau pulang ke rumah itu dan ingin terus di sini bersamamu.” 

Tentu saja Ed tidak tahu. Licia tidak pernah mengatakannya pada siapa pun. Yah, kecuali pada pria brengsek yang justru membuat masalahnya semakin parah lima tahun lalu. 

Meski begitu, setidaknya Ed mengerti bahwa kehadiran Fransisco bukanlah hal yang membuat Licia senang. Karena pria itu kemudian meraih Licia dalam peluknya. 

“Tentu saja,” pria itu berkata. “Kau tidak akan pergi ke mana pun tanpaku. Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Licia. Kau tahu itu.” 

Jika mereka hanya berdua, Licia pasti sudah akan bertepuk tangan karena akting pria ini. 

“Maaf, Tuan. Tapi, ini perintah dari nenek Nona Licia. Nona Licia juga sudah berjanji untuk kembali ke rumah itu dalam lima tahun. Hari ini adalah waktu untuk menepati janjinya itu,” Fransisco berbicara. 

“Dia tidak akan pergi ke mana pun tanpaku,” Ed berkata, tegas, tanpa keraguan. 

“Kalau begitu, Tuan juga bisa ikut dengan Nona Licia,” saran Fransisco, seketika membuat Licia menarik diri dari pelukan Ed dan menatap orang kepercayaan neneknya itu dengan galak. 

“Tidak dia juga,” desis Licia. “Jika kalian ingin menyerangku, serang aku saja. Jangan pria ini juga.” 

“Nona.” Fransisco tampak terkejut dengan perlawanan Licia itu. 

“Kaupikir aku tidak tahu apa yang kalian lakukan pada Irvan lima tahun lalu?” dengus Licia kasar. “Tapi, kali ini tidak akan seperti itu. Aku sudah memutuskan untuk hidup dengan pria ini, jadi aku tidak akan membiarkan kalian mengambilnya juga dariku.” 

“Nona, Nyonya Besar tidak pernah melakukan hal yang akan menyakiti Nona. Karena itu …” 

“Karena itu, tolong biarkan aku pergi dari rumah itu!” seru Licia, frustrasi dan putus asa. Fransisco kembali terkejut dibuatnya. Licia menarik napas dalam. “Aku mencintai pria ini. Karena itu, tolong, biarkan aku hidup bahagia dengannya,” pintanya sepenuh hati. 

Fransisco mendesah berat. Mengangguk. Licia mengerutkan kening melihat reaksinya itu. 

“Jika memang seperti itu, Nona harus pulang dan menjelaskan sendiri kepada Nyonya Besar. Hanya dengan begitu, Nyonya Besar akan membiarkan Nona keluar dari rumah itu. Jika Nona memang sudah menemukan pria yang tepat, Nyonya Besar tentu juga akan bahagia dengan itu,” Fransisco berkata. 

Licia mendengus. “Bahagia? Tentu saja. Tapi, katakan pada nenekku, jika ini akan menjadi terakhir kalinya aku menginjakkan kaki ke rumah itu. Dan aku, tidak ingin kehidupanku bersama pria ini diganggu.” 

Fransisco mengangguk. “Saya akan menunggu kedatangan Nona pekan depan,” pria itu berkata, sebelum ia membungkuk hormat padanya dan akhirnya pergi dari sana. 

Begitu mendengar suara denting lift yang menandakan kepergian Fransisco, Licia merasakan kakinya lemas, kehilangan kekuatan. Namun, tangan Ed yang sudah menangkap pinggangnya menjaganya tetap berdiri. 

“Kau baik-baik saja?” Pria itu terdengar cemas. 

Licia tidak mengatakan apa pun, tapi ia membiarkan tubuhnya bersandar pada pria itu. 

“Sebentar saja. Tolong tetap seperti ini, sebentar lagi saja,” pinta Licia lemah. 

Ed tidak menjawab, tapi tidak menolak juga. Selama beberapa saat, mereka hanya berdiri seperti itu di sana. 

***
 

Let Me Stay

 

Ed melirik Licia, lagi, hanya untuk melihat wanita itu kembali menghela napas berat, tampak benar-benar tertekan. Sejak ia kembali bertemu dengan wanita ini, ini pertama kalinya ia melihat Licia seperti ini. Dan ia benci melihat Licia seperti ini. 

Sudah hampir satu jam mereka hanya duduk bersisian di sofa ruang tamu apartemen wanita itu, tapi tak satu pun dari mereka bicara. Tadinya Licia mengajak Ed masuk ke apartemennya untuk berbicara. Namun sejak mereka duduk di sini tadi, wanita itu masih tak mengatakan apa pun. 

Ed menarik napas dalam dan memutuskan, “Kurasa kita akan berbicara besok saja, begitu kau …” 

“Tidak,” sela Licia, tatapannya masih lurus ke arah karpet putih di bawahnya. “Aku mungkin akan berubah pikiran dan kehilangan keberanianku jika tidak sekarang,” ia berkata. 

Ed mau tak mau semakin penasaran dibuatnya. Apa yang ingin dikatakan wanita itu, yang membuatnya membutuhkan tekad dan keberanian sebesar itu? 

Licia lalu menarik napas dalam, menegakkan tubuh, kembali menarik napas dalam dengan mata terpejam, sebelum membuka mata dan memulai, “Aku … orang tadi … Fransisco … orang kepercayaan nenekku.” 

Neneknya? Ed hanya tahu sedikit tentang nenek Licia. Ketika ia mencari tahu tentang Licia, ia tidak begitu fokus dengan keluarganya. Saat itu, ia pikir, yang terpenting ia hanya menemukan Licia. Licia-nya. Apalagi setelah wanita itu menghilang tanpa jejak sejak dua puluh tahun lalu. 

Licia menghela napas berat. “Saat aku masih kecil, ayahku membawa aku dan ibuku pergi dari rumah nenekku. Tapi, dalam perjalanan, kami mengalami kecelakaan dan … ayahku meninggal.” Wanita itu terdiam, keningnya berkerut. “Aku ada di sana tapi … aku bahkan tidak ingat bagaimana …” 

Ed tahu. Ia pernah mendengar cerita itu. 

“Kau memang tidak seharusnya mengingat kenangan yang buruk, Licia,” Ed berusaha menghiburnya. 

Licia mengangguk, meski sedikit ragu. “Setelah itu … ibuku membawaku pergi ke luar negeri, dan kami tinggal di sana selama beberapa waktu. Aku masih ingat, ibuku dulu bekerja di panti asuhan dan ibuku selalu mengajakku ke sana, jadi aku juga punya banyak teman di sana. Tapi … suatu hari ibuku kecelakaan, dan meninggalkanku juga, dan … aku sendirian …” Licia kembali mengerutkan kening. Lalu, ia menunduk, memejamkan mata, sebelum kembali membuka mata dan menggeleng, seolah berusaha mengusir kenangan itu. 

Ed harus mengepalkan tangan agar ia tidak menarik wanita itu dalam peluknya. Ia tahu. Ia bahkan ada di sana saat itu. Saat …

“Lalu nenekku datang dan membawaku pulang,” Licia melanjutkan. “Tapi aku punya banyak sepupu, dan mereka tidak menyukaiku.” Wanita itu mengedikkan bahu cuek, seolah ia tak peduli. Namun, dari kecemasan di matanya, Ed tahu wanita itu punya masalah dengan keluarganya. 

“Hampir setiap hari mereka menggangguku. Lalu, nenekku akan memarahi mereka dan mereka semakin membenciku. Hingga aku berjanji pada diriku sendiri. Kelak, aku akan meninggalkan rumah itu dan menemukan kehidupanku sendiri. Tanpa gangguan dari mereka,” cerita Licia. 

“Tapi, nenekku tidak membiarkanku keluar dari rumah itu dengan mudah. Aku memang berhasil pergi saat kuliah dan akhirnya mendapatkan pekerjaan. Tapi, baru dua tahun bekerja, Nenek sudah memintaku pulang,” dengus Licia. “Itu bahkan bukan permintaan, jika diingat-ingat. Sama seperti sekarang. Itu perintah.” 

Sebenarnya, kehidupan macam apa yang dijalani wanita ini setelah Ed pergi dulu? Kenapa sepertinya … tak ada satu pun kenangan bahagia yang bahkan bisa diceritakannya pada Ed? 

“Lima tahun lalu, ketika aku akhirnya harus pulang, aku membawa seseorang bersamaku. Seorang pria yang … seharusnya menjadi tunanganku,” getir Licia. 

Tunangan? Omong kosong apa lagi ini? Apakah karena itu, selama ini Licia begitu membenci para pria? Bukan karena cinta pertamanya, yang kemungkinan adalah Ed? 

“Dia bilang dia menyukaiku dan dia terus mengikutiku seperti orang gila. Seperti kau sekarang ini.” Licia melirik Ed sekilas. “Aku memutuskan bahwa aku setidaknya bisa menggunakannya sebagai alasan untuk keluar dari rumah itu. Mungkin untuk selamanya.”

Licia menarik napas dalam lagi, terluka kini. 

“Tapi, aku terlalu bodoh untuk percaya pada pria. Pria itu bahkan tidak perlu berpikir dua kali untuk menerima tawaran dari sepupuku. Lima tahun lalu, dia benar-benar menusukku dari belakang, bukan hanya sekali. Tapi, dua kali.” Licia mengepalkan tangan, tampaknya masih begitu marah. 

“Pertama, dia jatuh dalam rayuan salah satu sepupuku. Setelah dia mengikutiku seperti orang gila, mengatakan bahwa dia tak bisa hidup tanpaku, mengumumkan pada semua orang bahwa dia menyukaiku dan hanya aku, dengan mudahnya dia dirayu oleh sepupuku.” Licia mendengus jijik. “Baiklah, mungkin bukan salahnya. Sepupuku cantik, omong-omong. Jauh lebih cantik dari aku.” 

Yah, wanita itu bisa membawa ribuan wanita yang menurutnya cantik ke hadapan Ed, dan Ed tetap akan memilih Licia. Ia bukan pria bodoh. 

“Jadi, yah … rencanaku untuk bertunangan dengannya gagal. Apalagi setelah itu, dia langsung setuju untuk meninggalkanku. Setelah salah seorang tanteku menawarkan sejumlah uang padanya,” lanjut Licia, kali ini benar-benar terdengar tak peduli lagi. “Syukurlah, dia langsung mengundurkan diri dari kantor esoknya begitu kami kembali kemari. Karena, jika aku harus bekerja di tempat yang sama dengannya, aku mungkin akan muntah karena jijik setiap harinya,” tambah wanita itu muak. 

Ed, meski ia turut bersimpati akan musibah itu, tapi ia tak dapat menahan senyum gelinya juga. Ia tidak ingin berbohong, ia senang karena pria itu pergi dari Licia. Meski ia mungkin akan mencoba mencari pria itu dan sedikit mengacaukan hidupnya. Hanya sedikit. Sungguh. 

“Jadi … saat itu hanya ada satu-satunya cara agar aku bisa pergi dari rumah itu lagi,” Licia berkata. “Aku menjanjikan lima tahun pada nenekku, berharap dalam waktu lima tahun, nenekku akhirnya akan menyerah dan melepaskanku. Tapi, ternyata … yah, seperti yang kau lihat, aku berada di sini, bersiap menghadapi nenekku minggu depan, dan menceritakan semua ini padamu.” 

Ed ingin mengatakan bahwa ia senang karena Licia mau menceritakan ini padanya, tapi ia tahu, Licia tidak akan sedikit pun merasakan hal yang sama. Namun omong-omong, kenapa Licia mengatakan semua ini kepadanya? 

“Kau mungkin bertanya-tanya, kenapa aku mengatakan semua ini padamu,” Licia berbicara, seolah bisa membaca pikiran Ed. 

“Yang jelas, bukan karena kau akhirnya memutuskan untuk berkencan denganku, kan?” cibir Ed. 

Licia mendesah pelan, menggeleng. “Tentang janji yang kuminta padamu … untuk pergi dariku setelah aku mengatakan tentang alasanku yang sebenarnya, kenapa aku begitu membenci para pria, kenapa aku tak pernah bisa percaya pada mereka. Aku …” 

Ed mengerutkan kening. “Alasannya … bukan pria yang hampir bertunangan denganmu itu?” 

Licia mendengus pelan, menggeleng. “Setidaknya, bukan sepenuhnya. Meski sejak saat itu, aku jadi semakin jijik dengan para pria. Tapi bukan sepenuhnya karena dia. Toh aku membawanya ke rumah nenekku hanya agar aku bisa menggunakannya, untuk jalan keluarku sendiri dari rumah itu.” 

Ed tergugu. Jangan-jangan, alasan itu memang adalah …

“Tapi maaf, aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang.” Ucapan Licia membuat Ed tersadar dan menatap wanita itu lekat, bingung. 

Setelah mengambil napas dalam lagi, Licia akhirnya menoleh dan menatap Ed. 

“Karena aku tidak bisa membiarkanmu pergi sekarang,” wanita itu berkata, sukses membuat jantung Ed berhenti berdetak selama sepersekian detik. 

Ia tidak salah dengar, kan?

“Karena itu jugalah, aku akan mengajukan penawaran lain kepadamu,” ucap wanita itu. 

Ed masih terlalu terkejut untuk menjawab, tapi Licia melanjutkan, 

“Aku akan memberikan apa pun yang kau minta. Benar-benar apa pun. Rumah, mobil, posisi di perusahaan, apa pun itu, aku akan memberikannya. Kau bahkan tidak perlu bekerja dan aku akan menanggungmu seumur hidup, sementara kau bebas mengejar para wanita yang kau sukai. Sebagai gantinya …” Licia sedikit ragu, tapi kemudian ia menetapkan hatinya dan melanjutkan, “kau harus menjadi tunanganku dan membawaku keluar dari rumah itu.” 

Ed hampir saja melompat dan memeluk Licia saat itu juga, tapi ia berhasil menancapkan kakinya di tempat. Melihat Licia sampai seputus asa ini, sampai mengambil keputusan seperti ini, bahkan setelah ia dikhianati pria brengsek sialan yang pernah hampir menjadi tunangan sialannya dulu, Ed tak bisa mencegah dirinya bertanya-tanya, 

“Apakah berada di rumah itu … seburuk itu?” 

Licia tersenyum pahit. “Kau toh akan tahu sendiri begitu kau setuju dengan penawaranku barusan. Jadi, apa keputusanmu?” 

Ed bahkan tak sedikit pun ragu saat menjawab, “Tentu saja jawabanku, ya. Kenapa kau bahkan masih bertanya?” 

Keterkejutan Licia kemudian membuat Ed tersenyum. 

“Ketika aku mengatakan bahwa aku menyukaimu, Licia, aku tidak bercanda. Aku serius tentang itu. Jadi, apa yang bisa lebih baik dari ini?” ucap Ed santai. 

Licia mengerjapkan mata, masih tampak bingung dan tak percaya. 

“Semudah itu?” Licia memastikan. 

Ed mengangguk. 

Namun kemudian, Licia mendengus. “Tunggu saja sampai kau melihat sepupu-sepupuku itu,” katanya. 

Ah, tentang mereka yang akan berusaha merayu Ed? 

“Jika sampai kau tergoda oleh mereka, atau oleh apa pun penawaran mereka, kau harus pergi. Dari hidupku, dari perusahaan, dan aku terbebas dari janjiku yang sebelumnya padamu, tentang cerita masa laluku itu,” ucap Licia lagi. 

Ed bahkan tak dapat menahan senyumnya kini. “Jadi, dari mana kita akan mulai? Kau akan memanggilku ‘Sayang’? Atau …” 

Kalimat Ed terputus ketika sebuah bantal sofa melayang ke wajahnya. 

“Seharusnya aku tahu kau akan seperti ini,” desis wanita itu, tapi ia tidak terdengar terlalu membencinya. Karena kemudian wanita itu berkata, 

“Malam ini, kau mungkin harus tidur di sini. Fransisco pasti meninggalkan beberapa orang di luar sana untuk mengawasiku. Aku lebih suka mereka melaporkan kedekatanku dengan tunanganku pada nenekku. Setidaknya, aku sudah mendapatkan satu poin sebelum masuk ke rumah itu minggu depan.” 

“Kau tidak takut dengan keberadaanku di sini?” tanya Ed takjub. 

Licia yang sudah berjalan ke arah kamarnya menghentikan langkah dan menoleh pada Ed, 

“Coba saja. Kau bisa memilih dilempar dengan vas bunga atau sepatu. Keduanya tidak terlalu buruk, kan?” 

Ed mendengus geli mendengarnya. Berapa banyak lagi sebenarnya kejutan yang disiapkan wanita itu untuknya? 

“Tidak bisakah kau bersikap manis pada tunanganmu?” Ed membalas. 

Licia mendengus kasar seraya masuk ke kamarnya. Saat ia keluar tak lama kemudian, dengan selimut dan bantal di pelukannya, wanita itu menjawab, 

“Kau masih bukan tunanganku, sampai kau menandatangani perjanjiannya.” 

“Perjanjian apa?” tanya Ed bingung. 

“Besok juga kau akan tahu. Aku akan bekerja keras dan membuatnya sebaik mungkin agar tak satu pun dari kita ada yang merasa dirugikan. Jadi, selama aku bekerja, tidurlah dengan nyenyak,” jawab wanita itu seraya melemparkan bantal dan selimutnya ke arah Ed. 

Ketika Licia berbalik, Ed tersenyum getir. Seberapa besar sebenarnya ketidakpercayaan wanita itu padanya? 

***

 

-Chapter 3-

I’ll walk over broken glass

I’ll run over the fire

And I’ll go through anything

If that will take me to your side

 

A Deal With The Devil

 

“Kau tidak membacanya?” tanya Licia kaget ketika Ed langsung membuka lembar terakhir dan menandatanganinya. 

Pria itu menoleh menatap Licia. “Kita resmi bertunangan sekarang?” 

Licia mengerutkan kening. Apa pria ini sudah gila? 

“Kau tidak mengeceknya?” Licia mengedik ke arah kontrak di meja di depan mereka. 

“Tidak ada larangan aku berada di dekatmu, kan?” balas Ed, masih sesantai sebelumnya. 

“Memang tidak, tapi …” Licia menatap pria itu takjub. “Kau … apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?” Ia menatap Ed tak mengerti. 

Pria itu membuka mulut, tapi urung mengatakan sesuatu dan kembali menutup mulut, lalu tersenyum. Bukan senyum jail, tapi senyum hangat, lega. 

“Kau … jangan-jangan yang kau inginkan adalah … tidur denganku?” tanya Licia hati-hati. 

Senyum Ed lenyap seketika. Matanya menyipit tak suka. 

“Jika aku menginginkan itu, apa kau akan melakukannya?” Pria itu terdengar … marah? 

Licia mengedikkan bahu. “Di kontrak memang tertulis, tidak ada skinship kecuali untuk situasi yang diperlukan. Tapi, aku berutang satu permintaan padamu jika nanti rencanaku ini berhasil dan aku bisa pergi dari rumah itu. Jika permintaanmu adalah …” 

“Berada di rumah sialan itu … benarkah seburuk itu?” geram Ed, marah. 

Licia menatap pria itu bingung, sebelum kembali mengulang pertanyaan pria itu dalam kepalanya. Berada di rumah sialan, –ya, sialan, itu, benarkah seburuk itu? Bahkan hanya membayangkan Licia akan terkurung di sana selamanya saja membuatnya bergidik. Teringat perlakuan para sepupunya, teringat mimpi buruknya, teringat suara-suara mengerikan di tengah malam ketika ia terbangun dari mimpi buruknya. Tidak. Licia tidak akan kembali ke rumah itu, tidak akan tinggal di sana, apa pun yang terjadi. 

“Ya.” Suara Licia bergetar. “Aku bahkan mungkin akan mati jika tetap tinggal di sana.” 

Licia tersentak pelan ketika tiba-tiba mendapati dirinya sudah berada dalam pelukan Ed. Ya, pria ini yang akan membawanya keluar dari rumah itu. Pikiran itu sedikit menenangkannya. 

“Kau akan baik-baik saja, Licia. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi padamu selama ada aku di sisimu,” pria itu berkata, terdengar begitu sungguh-sungguh. 

Licia mengerutkan kening. “Apa kau tahu bahwa aku bisa menuntutmu jika kau menyentuhku tanpa seizinku di luar situasi yang diperlukan, seperti yang kutuliskan di pasal enam perjanjian kita?” 

Terdengar desahan berat dari pria di depannya, sebelum pria itu menarik diri dan menatap Licia kesal. 

“Makanya, sudah kubilang kan, seharusnya kau membaca dulu kontraknya sebelum menandatanganinya,” tandas Licia. 

“Sudah berapa banyak pria yang kaubunuh dengan cara seperti ini?” desis pria itu kesal. 

Licia mengedikkan bahu. “Mungkin kau yang pertama. Mengingat aku tidak pernah membiarkan para pria mendekatiku sebelumnya.” 

Ekspresi puas tergambar jelas di wajah pria itu ketika ia mengangguk-angguk. 

“Apa ini? Kau senang karena aku akan menuntutmu?” tanya Licia geli. 

Ed menggeleng, lalu tersenyum. “Aku senang karena aku adalah pria pertama yang bisa berada sedekat ini denganmu.” 

Sesaat, benar-benar hanya sesaat, Licia merasakan sentakan aneh di perutnya saat melihat cara pria itu tersenyum. Namun detik berikutnya, ia segera mengusirnya dengan deheman keras. Ia lantas meraih tumpukan kertas yang dijepit rapi yang baru di-print-nya semalam dan melemparnya ke pangkuan Ed. 

“Ini apa? Perjanjian lainnya? Kau ingin aku membaca ini ketika aku bahkan tak mau membaca yang hanya belasan lembar itu?” Ed mendengus kesal. 

“Bukan,” Licia menyahut. “Itu informasi tentang keluargaku yang harus kau ketahui dan hafalkan. Kau juga, berikan aku informasi yang harus kuketahui tentang keluargamu sebelum hari Rabu. Akhir pekan depan, kita berangkat.” 

Ed menunduk dan mulai membuka lembar pertamanya, tempat foto seluruh keluarga besar Licia terpampang. 

“Ini sepupu-sepupumu?” Ed melingkari empat wanita cantik yang berdiri di sisi kiri gambar. 

“Ya. Mereka dari tante pertamaku. Ayahku adalah anak pertama, sementara kelima adiknya perempuan. Tante pertamaku punya empat orang putri, tanteku yang kedua, punya dua putri dan satu putra yang masih SD. Dia di asrama sekolahnya. Tante yang ketiga tidak punya anak tapi suaminya sangat ambisius. Tante keempat punya tiga putri dan dua dari mereka adalah aktris, sementara satu lainnya model. 

“Terakhir, tanteku yang kelima, punya satu putra dan satu putri. Dia single parent. Anaknya kembar dan keduanya masih kelas empat SD. Kau aman untuk bermain dengan mereka. Tapi, kurasa mereka pasti akan berada di sekolah asrama ketika kita ke rumah,” jelas Licia cepat. 

Licia tak tahu apakah Ed mendengarkan atau tidak, tapi tatapan pria itu tertuju lurus pada sepupu-sepupunya yang cantik itu dan …

“Hei!” protes Ed ketika Licia merebut berkas informasi di tangan pria itu. 

“Apa kau mendengarkanku?” Licia mendapati suaranya meninggi. 

“Aku mendengarkanmu. Ayahmu anak pertama, dan kelima saudaranya perempuan. Kebanyakan punya putri yang cantik, memang,” pria itu berkata. 

Tidak, tidak. Mereka bahkan belum mulai. Licia memutar tubuh menghadap Ed, lalu menangkup wajah pria itu dan menariknya mendekat. Mengabaikan keterkejutan Ed, Licia bertanya, 

“Apa kau benar-benar menyukaiku?” 

***

Ed nyaris terkena serangan jantung ketika Licia tiba-tiba menarik wajahnya mendekat. Namun, pertanyaan wanita itu membuat kening Ed berkerut bingung. 

“Apa kau benar-benar menyukaiku?” tanya Licia, tampak begitu serius. 

Ada apa dengan keingintahuan mendadak ini? Terlalu berharapkah jika Ed menduga Licia juga mulai menyukainya? 

“Aku … ya … aku menyukaimu dan …” 

“Dengar,” Licia memotong kalimat Ed. “Begitu aku berhasil keluar dari rumah itu, kau bisa mengejar wanita yang jauh lebih cantik dari sepupu-sepupuku. Kau bahkan tak perlu memikirkan tentang pekerjaan. Aku akan menanggungmu seumur hidupmu dan kau bisa bersenang-senang mengejar siapa pun wanita yang kau inginkan. Karena itu, sampai saat itu tiba, bertahanlah denganku. Kau bilang kau menyukaiku, jadi berhentilah menatap sepupu-sepupuku seperti itu dan fokuslah padaku, oke? Hanya sampai aku keluar dari rumah itu, Ed, kumohon … jangan melihat yang lain selain aku.” 

Keputusasaan tergambar jelas di wajah Licia. Ed bahkan tak sadar ketika tangannya sudah berada di tengkuk wanita itu, menariknya lebih dekat. Namun, sebelum Ed melakukan apa yang diperintahkan otaknya, ia merasakan sesuatu di dadanya. Lebih tepatnya, lutut Licia menahan dadanya, lalu dengan satu sentakan kuat, wanita itu mendorongnya hingga ke ujung lain sofa. Ed mengerang seraya mengusap dadanya yang terasa nyeri. 

“Kaupikir apa yang kau lakukan?” sengit Licia. 

“Kau! Yang seharusnya menjelaskan kau! Apa yang sebenarnya kau coba lakukan?! Justru aku bertindak sesuai inisiatif darimu, kan?!” Ed tak terima. 

“Apa kau sudah gila?” desis Licia. 

Ed mendesah lelah. “Dengar, kau begitu berkeras tentang aku yang tidak boleh menyentuhmu, jadi tolong, kau juga jangan melanggar aturanmu sendiri. Karena, lain kali kau melakukan hal seperti tadi, aku tidak bisa menjamin apa yang akan kulakukan padamu. Karena Licia, aku benar-benar menyukaimu. Dan akan kukatakan dengan jujur, aku sangat sangat ingin memeluk dan menciummu, karena aku ini pria normal. Karena itu, tolong … jika kau tidak tertarik dengan itu, setidaknya bantulah aku dengan pertahanan diri sialan ini yang bahkan tak lebih tebal dari kertas sialan itu.” 

Ed lalu mengambil berkas informasi keluarga Licia yang sudah tergeletak di atas karpet ruang tamu, lalu memutuskan untuk berpindah ke sofa yang lainnya. 

“Aku …” Licia tampaknya terkejut dengan pengakuan Ed, karena wanita itu masih terus menyebutkan aku, aku dan aku, hingga satu menit berikutnya. Sebelum akhirnya, ia bisa menyusun satu kalimat yang bisa dipahami Ed, “Hanya saja … tadi kulihat kau tampak tertarik dengan foto sepupu-sepupuku itu.” 

Ed mendengus mendengarnya. Tertarik? Ed hanya berusaha menghafal wajah mereka. Ya, mereka memang cantik, tapi tampak licik. Ed bahkan belum sempat mengatakan itu pada Licia ketika wanita itu menyerangnya tadi. 

“Kupikir, kita bahkan belum mulai dan kau sudah membiarkan dirimu jatuh pada pesona mereka. Aku hanya berusaha untuk membantumu fokus dengan tujuan kita ke rumah itu,” Licia beralasan. 

Membantunya fokus, astaga! Itu benar-benar kejutan. 

“Seperti yang kau lihat, sepupu-sepupuku sangat cantik dan …” 

“Licia,” Ed menyela, lelah dan muak mendengar bagaimana wanita itu agak sedikit terlalu memuja sepupu-sepupu sialannya itu. 

“Ya?” Suara wanita itu terdengar waspada. 

“Satu ciuman darimu sudah lebih dari cukup untuk membutakanku akan hal lain selain dirimu. Karena itu, jangan khawatirkan tentang sepupumu yang akan menggodaku. Mereka bisa membuang tenaga dengan sia-sia untuk itu,” dengus Ed kasar. “Jika sudah tidak ada lagi yang perlu kau khawatirkan, bisakah kau memesankan aku makanan? Setidaknya, isilah perutku sebelum kau memaksa otakku bekerja sekeras ini sepagi ini.” Ed bahkan tak berusaha menyembunyikan kekesalannya. “Kau bahkan dengan baik hatinya membantuku berolahraga sepagi ini, dengan perut kosong.” 

Licia berdehem. “Akan kubuatkan sarapan untukmu. Tunggu sebentar,” ucap wanita itu. 

Namun, penawaran wanita itu membuat perhatian Ed sepenuhnya kembali pada Licia.

“Kau akan memasak?” tanyanya, setengah tak percaya. 

“Kau keberatan jika sarapan roti?” Licia balik bertanya setelah mengecek isi kulkasnya. “Aku belum memasak nasi dan kupikir kau sudah cukup kelaparan untuk menunggu. Kurasa akan lebih cepat jika aku membuatkan roti saja untukmu. Bagaimana?”

“Tidak masalah,” jawab Ed cepat, secepat kekesalannya menguap hanya dengan melihat Licia yang mulai sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan untuknya. Dapurnya memang berada tepat di sebelah ruang tamu, hanya dibatasi meja makan. Dari sini, Ed bisa melihat kesibukan Licia memotong-motong entah apa dan mencampurnya dengan sesuatu. 

Wanita itu bahkan menyiapkan French toast untuknya, di samping beberapa tangkup roti yang tampaknya lezat. Dalam tiga puluh menit, wanita itu sudah kembali ke ruang tamu dengan dua piring yang masing-masing berisi roti tawar dan French toast

“Karena aku tidak tahu bagaimana makanan kesukaanmu, jadi aku menyiapkan ini. Jika kau tidak suka, aku bisa keluar sebentar dan membeli makanan di rumah makan terdekat. Atau …”

“Ini sudah cukup,” Ed menyela seraya mengambil setangkup roti tawar. “Kau mengisinya dengan apa?” tanya Ed setelah menggigit rotinya. 

“Sosis dan mentimun. Aku mengiris keduanya kecil-kecil dan mencampurnya dengan saus. Bagaimana?” Licia menunggu dengan antusias. 

Ed tersenyum. “Enak.”

Senyum lega Licia menyambut jawaban Ed. Wanita itu tiba-tiba berdiri.

“Kau mau keju? Aku lupa tidak memasukkannya tadi.” Licia tampak menyesal. 

Ed tersenyum geli. “Lain kali saja. Sekarang kau duduk dan makanlah. Kau juga belum makan, kan?” 

“Ah … iya,” sahut wanita itu seraya kembali duduk. Selama beberapa saat, keduanya larut dalam diam sembari melahap sarapan yang disiapkan Licia. 

“Ini pertama kalinya aku menyiapkan makanan untuk orang lain,” tiba-tiba Licia berbicara. 

Ed menoleh, sedikit terkejut, lalu tak dapat menahan senyum melihat ekspresi kosong Licia. Tampaknya wanita itu bahkan tak sadar apa yang dikatakannya. Meski begitu, Ed senang juga mendengar dirinyalah orang pertama yang mendapat kesempatan itu. 

Begitu Licia akhirnya tersadar, wanita itu berdehem canggung. Ia melirik Ed sekilas, sebelum menatap ke arah piring di depannya dan bertanya, 

“Jadi, bagaimana dengan keluargamu?” 

Ed mendesah pelan. Ia tidak ingin membicarakan ini dengan Licia. Namun toh ia menjawab, 

“Ibuku meninggal saat aku masih kecil dan aku tidak ingat. Aku tinggal hanya dengan ayahku sejak saat itu. Ayahku bekerja di perusahaan properti. Tidak ada yang istimewa.” Ed mengedikkan bahu, berusaha tampak sesantai dan secuek mungkin. 

Syukurlah, Licia tampaknya cukup puas dengan jawaban itu. Meski kemudian, wanita itu kembali bertanya, 

“Sebelum ini, kau tinggal di mana? Italia? Orang-orang bilang kau baru pindah dari Roma.” 

“Aku hanya beberapa minggu di sana. Sebelumnya aku tinggal di California. Ah, itu juga hanya beberapa bulan. Yang jelas, aku suka jalan-jalan keliling dunia. Tapi, bahkan setelah kau tahu tentang ini, kau tidak menyesal menawarkan untuk menanggungku seumur hidup?” Ed menggoda penawaran angkuh wanita itu padanya. 

“Tidak masalah,” sahut Licia. “Bahkan jika perlu, aku akan menjual seluruh saham yang kumiliki di perusahaan nenekku.” 

“Wow, wow.” Ed mengangkat tangan. “Apa kau selalu seserius ini?” 

“Aku tidak pernah bercanda dengan kata-kataku,” sahut Licia tegas. “Karena itu, kau juga …” 

“Aku tahu apa yang harus kulakukan, Licia,” Ed sudah lebih dulu berkata sebelum wanita itu lagi-lagi memperingatkannya tentang sepupu-sepupunya yang luar biasa cantik menurut wanita itu. Yah, Licia bisa berpendapat seperti itu, tapi ia bukan Ed. 

“Ceritakan lagi tentang keluargamu. Atau … apa pekerjaanmu sebelumnya hingga kau bisa bebas berkeliling dunia seperti itu? Bagaimana kau bisa masuk ke perusahaan dengan resume pekerjaan seperti itu, astaga?” Licia terdengar kesal kini. 

“Kau sedang mewawancaraiku untuk mengisi lowongan kerja di perusahaan atau …” 

“Maaf, maaf,” sela Licia cepat. “Terbawa suasana,” argumennya. 

Ed mendengus pelan. “Mengingat kau tadi menyinggung tentang saham, tentu kau juga tahu tentang investasi, kan? Yah, bisa dibilang aku cukup sukses dengan itu. Kau pernah dengar tentang putra-putri konglomerat yang tidak bekerja tapi bisa hidup foya-foya seumur hidup mereka? Ya, mereka punya sekian persen saham di perusahaan, meski dalam kasusku, aku berinvestasi.” 

Licia mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku akan mendengar yang lainnya nanti setelah kau memberikan informasi lengkap tentang dirimu, keluargamu, bahkan pendidikan dan pekerjaanmu. Jika kau sudah selesai …” Licia melirik piring yang sudah bersih di atas meja ruang tamu itu, “kau bisa pergi.” 

Ed seketika terbahak keras mendengar itu, sementara Licia sudah bangkit dari duduknya dan mengambil dua piring yang sudah kosong itu. 

“Licia,” panggil Ed, membuat wanita itu menoleh padanya. “Sikapmu yang seperti inilah yang membuatku semakin menyukaimu.” 

Licia mendengus kasar sebagai balasannya, sebelum wanita itu meninggalkan Ed dan pergi ke dapur. Namun kini, meski Ed hanya bisa melihat punggung wanita itu, ia bisa tersenyum. Karena ia tahu, nanti, wanita itu akan berbalik dan kembali padanya. Persis seperti apa yang selalu diimpikannya selama ini. 

“Tapi, Licia, kau yakin aku bisa pulang sekarang? Apa kau tidak takut jika nanti masih ada orang-orang nenekmu yang mengawasimu di luar?” tanya Ed, tak bisa untuk tidak berharap. 

Ketika wanita itu berbalik menatapnya, ia mendengus kasar. “Bahkan belum apa-apa, kau sudah mendukung musuhku?” 

Ed mengangkat tangan. “Adakah yang mengatakan jika harapan adalah kesalahan?” 

Ed bahkan tak dapat menahan senyum saat wanita itu menatapnya seolah ia sudah gila. Sadarkah Licia, itu karena siapa? 

***
 

Dear, My

 

Licia tak bisa lebih terkejut lagi ketika Senin pagi itu, Ed sudah datang ke mejanya, dengan membawa tumpukan kertas yang sudah dijilid rapi. Informasi tentang keluarganya. 

“Aku tidak tahu jika kau serajin ini,” sindir Licia, mengingat bagaimana pria itu lebih sering menghabiskan waktu mengekori Licia alih-alih menghadapi meja kerjanya. 

Pria itu tersenyum, lalu mencodongkan tubuh ke arahnya dan berkata, 

“Bukankah sudah kukatakan aku menyukaimu? Dan aku menyukai apa pun yang kulakukan selama itu berhubungan denganmu. Karena itu, meskipun kau memintaku untuk mengaku pada semua orang bahwa kita akan bertunangan, aku …” 

“Tutup mulutmu,” desis Licia, menghentikan kalimat, yang sebenarnya adalah ancaman. 

Ed melemparkan senyum santai pada Licia, sebelum memundurkan tubuhnya. 

“Tidak biasanya kalian tampak serukun ini.” Suara Tyas membuat Licia menoleh dari Ed. Licia belum sempat menanggapi ketika Tyas mengangkat kertas, sepertinya undangan, yang terbungkus plastik di tangannya. 

“Kau akan menikah?” Licia tak dapat menahan kaget. 

Tyas tertawa seraya menggeleng. “Manajer kita akan menikah.” 

Licia terbelalak tak percaya. “Pak Aryo?”

Tyas mengangguk, tersenyum geli. 

“Ada yang mau menikah dengan pria yang tidak bisa bicara tanpa berteriak itu? Apakah calon istrinya sudah mengansuransikan telinganya?” 

Tyas tergelak mendengar kalimat Licia. Sudah menjadi rahasia umum jika Pak Aryo suka sekali berteriak-teriak. Jika ada karyawan yang melakukan kesalahan, sulit untuk tidak mendengarnya. Bahkan, Licia dan Tyas pernah menjadi korbannya, hanya karena customer yang salah paham. 

Customer itu yang tidak memahami syarat yang diajukan perusahaan dan mengomel pada Licia, menuduh Licia menipunya. Ia bahkan sampai menjelek-jelekkan perusahaan ini di media sosial. Ingin rasanya Licia menuntutnya untuk pencemaran nama baik, tapi orang itu beruntung Licia tidak sejahat itu. 

Untungnya juga, saat itu Licia masih karyawan baru, jadi ia belum berani melakukan tindakan sejauh itu. Berbeda jika itu terjadi sekarang. Lagipula, posisi Licia sekarang sudah lebih baik, hingga manajer galaknya itu tidak lagi mengusiknya dan asal melemparkan kesalahan padanya. 

“Setidaknya dia bisa menikah tanpa harus menandatangani kontrak, kan?” Suara itu seketika mematikan kesenangan Licia. 

Ia menoleh pada Ed dengan tatapan tajam. Sementara di sebelahnya, Tyas sudah bertanya, 

“Apa katamu tadi?” 

“Bukan apa-apa. Aku hanya bertanya, apakah nanti Licia mau makan siang denganku,” Ed memperbaiki pertanyaannya. Tatapannya tertuju pada Licia dan pria itu tersenyum sok polos. 

Licia mendesis pelan, tapi tak punya pilihan selain menjawab, “Ya.” 

“Wow,” komentar Tyas kemudian. “Sungguh, ada apa dengan kalian juga? Kalian tidak sedang berkencan atau apa, kan?” tanya Tyas geli. 

Ed tergelak puas mendengarnya, sementara Licia menjawab, 

“Aku belum gila.” 

Namun faktanya, Licia bahkan lebih dari sekadar gila, karena menawarkan kontrak maut itu pada iblis seperti Ed. Seharusnya ia tahu, minggu ini tidak akan menjadi minggu yang mudah baginya. Apa yang ia harapakan, ketika ini adalah Ed? 

***

“Benar-benar tidak ada yang ingin kau tanyakan tentang keluargaku?” pancing Ed saat mereka makan siang. 

Licia mendengus seraya mengangkat jilidan rapi berisi informasi tentang Ed itu. Atau lebih tepatnya, tentang hal-hal sederhana tentang apa yang ia suka dan tidak, serta kekayaan ayahnya. Dalam bentuk angka. 

“Apa ini balasanmu ketika aku menawarkan bahwa aku akan menanggung hidupmu? Bahwa kau lebih dari sekadar mampu untuk menghabiskan hidupmu dengan mengejar para wanita di luar sana tanpa bekerja, meski tanpa bantuanku?” sinis Licia. 

Ed bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di dada dan tersenyum pada wanita itu. 

“Tentu saja, tidak. Aku tidak sesombong itu,” kata Ed, yang seketika mendapat dengusan kasar Licia. “Aku memberikan itu hanya untuk memberitahukan padamu, bahwa tawaranmu itu bukan hal yang menjadi alasanku mau menjadi tunanganmu.” 

Licia mengerutkan kening. “Ada hal lain yang kau inginkan?” 

“Kau. Hatimu. Jika aku meminta itu, apa kau bisa memberikannya?” sebut Ed. 

Licia agaknya terkejut karena Ed menyebutkan itu, tapi wanita itu segera menguasai diri dan berdehem. 

“Sudah kukatakan, aku …” 

“Aku tahu,” sela Ed. “Karena itu, aku akan memikirkan, apa yang akan kuminta padamu begitu aku berhasil membawamu keluar dari rumah itu. Kau bisa berharap.” 

Licia menyipitkan mata curiga. “Kau tidak akan meminta permintaan bodoh seperti menikah atau memintaku memperkenalkan diri pada keluargamu sebagai tunanganmu juga, seperti itu, kan?” 

Ed tersenyum. “Mungkin yang kedua. Tapi, tidak. Aku tidak mau hanya berpura-pura pada keluargaku jika membawamu pulang. Kau tidak perlu khawatir. Jika aku memang ingin kau menikah denganku, aku akan memintamu menikah denganku karena hatimu menginginkannya.” 

Licia mendengus. “Baguslah kalau begitu. Yang terburuk sudah terlewatkan. Kau bisa meminta apa pun, kalau begitu.” 

Ed menatap Licia lekat. Dan ia tahu, wanita ini benar-benar akan melakukan apa pun. 

“Dan Licia,” panggil Ed lagi, membuat wanita itu kembali menatapnya. “Aku memberikan informasi tentang apa yang kusukai dan tidak kusukai itu, bukan untuk sekadar kau tahu. Tapi, memperhatikannya. Karena lebih dari apa pun, aku tidak suka jika tunanganku dekat dengan pria lain, ataupun memikirkan pria lain. Karena itu, kau, harus berhenti berpikir tentang mantan tunangan sialanmu itu. Jika sekali lagi kau membandingkan aku dengannya, aku akan menciummu. Di mana pun kita berada saat itu.” 

Licia melotot kesal mendengar ancaman Ed, tapi wanita itu lagi-lagi segera menguasai diri dan membalas, 

“Itu berlaku juga untukmu. Jika sampai kau melirik wanita lain, terutama sepupuku, aku …” 

“Sudah kukatakan,” Ed menyela. “Cukup dengan kau menciumku, dan tak ada yang kupedulikan lagi selain kau. Mau mencobanya?” 

Ed sudah memajukan tubuh, tapi Licia justru memundurkan tubuhnya dan menatap Ed seolah ia sudah gila. 

“Apa yang membuatmu begitu takut akan ciuman?” cetus Ed, membuat mata Licia menyipit berbahaya. 

Ed kembali bersandar di kurisnya, hanya untuk jaga-jaga. Namun, ia masih melanjutkan, 

“Yah, mengingat bagaimana reaksimu saat aku menciummu malam itu …” 

“Tutup mulutmu,” desis Licia tajam. 

Ed seharusnya tidak tersenyum melihat wajah memerah Licia, tapi ia tak bisa menahan diri. 

“Maaf jika aku tidak seberpengalaman dirimu. Tapi, aku tidak akan berusaha memperbaikinya demi dirimu. Jadi, lain kali kau melakukan hal bodoh dan gila seperti itu, jangan berharap banyak. Aku tidak seperti wanita-wanita koleksimu,” sengit Licia. 

Ed mengangguk. “Tidak ada yang perlu diperbaiki,” ia berkata, tidak meledek, tidak menggoda. 

Faktanya, bagi Ed, ciuman Licia adalah ciuman termanis yang pernah dirasakannya. Manis dan polos. Bahkan sampai saat ini, Ed masih bisa merasakannya. Ia tidak akan mengelak, ia menginginkannya lagi. Maaf, ia pria normal. Pria normal mana pun akan berpikiran sama sepertinya jika berhadapan dengan Licia. 

Ah, tidak juga. Ia tidak akan membiarkan pria mana pun selain dirinya akan merasakan hal itu. Tidak dengan Licia. Omong-omong, siapa pria ciuman pertama Licia?

Memikirkan itu, mendadak Ed merasa perlu mencari orang itu, hanya untuk menghadiahkan tinju yang manis ke bibir siapa pun pria brengsek tidak tahu diri itu. Berani sekali dia …

“Bahkan meskipun kau mengamuk di sini sekalipun, aku tidak akan berubah pikiran tentang itu.” Suara Licia mengembalikan Ed ke hadapan wanita itu. 

Ed mendengus pelan, menertawakan dirinya karena tidak bisa mengontrol ekspresinya sendiri hanya karena … well, itu bukan hanya. Hanya saja … 

“Berapa banyak pria yang sudah kau cium, omong-omong?” Ed tak dapat menahan rasa penasarannya. 

Namun di depannya, Licia sudah menatapnya dengan tatapan membunuh itu. “Kupikir itu bukan urusanmu.” 

Ed menggeleng. “Apakah Tyas tahu? Haruskah aku bertanya padanya, siapa saja pria yang pernah kau cium selain aku?” 

Licia mendesiskan umpatan pada Ed, tapi tentu saja, Ed bahkan dengan senang hati menerima itu. Selama itu dari Licia. 

“Atau, haruskah aku mencari mantan tunanganmu itu dan bertanya tentang …” 

“Tidak ada yang lain,” Licia menyela dalam desisan penuh penekanan. “Hanya kau.” 

Ed hampir saja melompat dan mencium wanita itu di situ, saat itu juga. Namun, ia berhasil menahan diri dan tersenyum. Puas, dan bahagia, akan jawaban itu. 

“Bahkan setelah kau menghabiskan seumur hidupmu mencium para wanita dengan jumlah tak terhitung, kau masih bisa bertanya tentang itu padaku?” Licia menatapnya merendahkan. 

Ed memajukan tubuhnya lagi dan menjawab, 

“Kaulah ciuman pertamaku. Yang lain hanya latihan.”

Dengusan Licia adalah jawaban atas pengakuannya. Tidak percaya. 

Namun, Ed tidak merasa perlu untuk membantah itu. Hanya untuk memberi kesempatan pada wanita itu untuk penasaran tentang itu suatu saat nanti. Yah, berharap kan tidak ada salahnya? Mau bagaimana lagi, jika berhadapan dengan Licia, bahkan setipis apa pun itu, Ed tak bisa mencegah dirinya untuk berharap akan itu. 

***

 

-Chapter 4-

Tak perlu sekeras itu kau berusaha menggodaku

Keberadaanmu saja sudah cukup menjadi godaan terbesarku

 

Back to Memories

 

Ketika baru turun dari mobil yang berhenti di halaman depan rumah besar berlantai dua dengan cat putih itu, Ed langsung disambut pelukan erat Licia di lengannya. Ed menoleh ke samping dan dilihatnya wanita itu tampak begitu tegang. 

“Apa yang kau lakukan?” tanya Ed pelan. 

“Menunjukkan pada mereka bahwa kau tunanganku,” Licia berkata, tanpa menatap Ed. Tatapannya tertuju lurus ke arah pintu lebar di depan rumah itu. Pintu utama. 

Saat pintu itu terbuka, seorang wanita yang tampaknya sudah berusia di atas enam puluh tahun, keluar dari rumah itu, diikuti tante-tante, om-om dan sepupu-sepupu Licia. Ed menunduk, tersenyum geli mendapati Licia mencengkeram lengannya begitu erat. 

“Kau bisa mematahkan tanganku,” Ed berkata. 

“Jangan bercanda di saat seperti ini,” Licia membalas tajam. 

Ed mendengus pelan, lalu ia meraih dagu Licia, mendongakkan wajah wanita itu. Menjawab keterkejutan di wajah wanita itu, Ed menunduk dan mendaratkan ciuman singkat di bibirnya. Saat ia menarik diri, Licia masih tampak sama terkejutnya. 

Ed tersenyum dan berkata, “Itu adalah caraku menunjukkan pada mereka bahwa kau milikku.” 

Licia berdehem, membenahi ekspresinya, sebelum kembali menatap ke depan. Di depan sana, semua orang menunjukkan ekspresi yang sama dengan Licia tadi. Sepertinya itu adalah ekspresi yang menurun dalam keluarga. 

Begitu rombongan itu sudah berdiri di depan Licia, –bukannya menunggu Licia masuk ke dalam rumah dan malah menyusulnya ke halaman, Ed tersenyum pada nenek Licia. Wanita itu memiliki warna mata seperti milik Licia. Wanita itu menatap Ed selama beberapa saat, menilainya. Lalu, ia menatap Licia. 

Ketika neneknya maju mendekatinya, Licia berkata cepat, 

“Aku ingin istirahat, Nek.” 

Melihat dari tatapan mencela tante-tante dan om-omnya, Ed bisa mengerti kenapa Licia begitu ingin meninggalkan rumah ini. Namun sepertinya, neneknya tak sedikit pun tampak terganggu dengan itu dan malah menyahut, 

“Benar. Kau pasti lelah. Istirahatlah. Dan pria ini …” 

“Nenek pasti sudah tahu jika dia adalah pria yang kucintai. Kami sudah bertunangan dan bahkan tinggal bersama di apartemenku,” kata Licia tanpa ragu. 

Mata neneknya menyipit, tak terlalu suka mendengar itu. Sementara, di belakang neneknya, tante-tantenya tersenyum merendahkan. Begitu pun sepupu-sepupunya yang ada di sana. 

“Tidak perlu menyiapkan kamar tamu untuknya. Dia bisa tidur di kamarku,” Licia melanjutkan, kali ini mengejutkan Ed juga, meski ia tak menampakkannya. 

Licia sama sekali tidak mengatakan tentang ini padanya tadi. Apa katanya? Tidur di kamar wanita itu? Di kamar yang sama? Wanita ini benar-benar tak tahu apa pun tentang pria. Entah Ed harus bersyukur atau mengeluh untuk itu. 

“Kau tahu, kau tidak bisa melakukannya di rumah ini.” Suara neneknya menajam. 

“Karena itulah, aku berkeras tidak mau pulang kemari. Aku hanya ingin tinggal bersama pria ini. Jika Nenek tidak bisa menerimanya, untuk apa aku datang kemari?” balas Licia. 

Ed sama sekali tak menyangka, wanita itu akan memulai perang seawal ini. Mereka bahkan baru tiba dan Ed belum mengisi perutnya. Tak bisakah mereka berperang nanti saja, setidaknya setelah Ed tidur sebentar dan makan, atau setidaknya, minum air dingin? Meski rumah nenek Licia berasa di kawasan puncak, tapi di luar sini benar-benar panas. Karena tatapan laser keluarga Licia pada Ed. Entah kenapa Licia berkeras memulai perang di tengah halaman, di tengah semua tatapan laser ini. 

Nenek Licia berdehem. “Nenek akan mengatur kamar di samping kamarmu untuk ditempati tunanganmu ini. Tapi, hanya itu.” 

Licia mengangkat dagu. “Kamar itu adalah kamar yang berisi koleksi lukisan kesayangan Nenek.” 

“Nenek akan memindahkannya. Jadi, tunanganmu ini bisa menempatinya,” tegas nenek Licia itu. 

Licia sepertinya harus mengalah, karena kemudian wanita itu menoleh pada Ed dan berkata, 

“Tidak perlu khawatir. Jika kau merindukanku, kau bisa datang ke kamarku kapan pun kau ingin.” 

Ed ingin sekali merekam kata-kata Licia itu hanya agar ia bisa benar-benar melakukannya. Namun, ketika merasakan tatapan tajam nenek Licia ke arahnya, Ed dengan terpaksa, tak bisa menyetujui tawaran menggoda Licia dan berkata pada nenek Licia,

“Saya akan menahan diri selama kami tinggal di sini. Tapi, selain waktu tidur, tolong jangan berusaha menjauhkan kami juga. Saya seringnya tak bisa bernapas jika jauh dari Licia,” Ed berkata dengan meyakinkannya. 

Nenek Licia menyipitkan mata, tak terlalu suka mendengarnya. Namun, sepertinya tawaran itu lebih baik daripada tawaran Licia tadi sehingga wanita itu tidak membantahnya. 

“Kita akan membicarakan tentang ini lagi nanti. Kalian berdua bisa masuk dan beristirahat dulu,” ucap nenek Licia. 

Begitu neneknya berbalik dan pergi, anggota keluarga Licia yang lain menatap Licia tajam, penuh penghakiman, sebelum ikut pergi. Begitu semua orang itu pergi, Ed menunduk ke arah Licia dan berbisik, 

“Pesta penyambutan dalam keluargamu benar-benar unik. Dan panas.” 

Licia mendengus kasar. Ia mendongak dan berkata, 

“Jika kau berada di dalam kamarmu, pastikan kau mengunci pintunya. Jangan membukakan pintu untuk sepupu-sepupuku.” 

Ed mengangkat alis. Apakah hanya itu yang dicemaskan wanita itu saat ini? 

“Kau benar-benar beruntung karena nenekmu mencegah kita tidur di kamar yang sama. Karena sungguh, aku tak tahu apa yang akan kulakukan padamu jika kita berada di kamar yang sama sepanjang malam,” ucap Ed serius. 

Licia menatap Ed dengan kesal. 

“Jangan bercanda di saat seperti ini,” desis wanita itu. 

Ed mendengus pelan. “Mau mencobanya?” tantang Ed. 

Sorot gentar di mata Licia sudah cukup untuk Ed. Wanita itu tak menjawab ketika ia meraih tangan Ed, lalu menariknya ke arah rumah. 

“Ini baru awalnya. Jadi, persiapkan dirimu,” Licia memperingatkannya sebelum mereka memasuki rumah itu. 

“Tenang saja,” Ed menjawab. “Aku selalu siap menciummu di mana saja.” 

Kali ini, Licia bahkan tak bisa melemparkan tatapan membunuhnya pada Ed karena Fransisco sudah menunggu mereka di ruang depan. Ruang depan itu sangat luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal di tengahnya. Tiang-tiang besar tampak kokoh dan anggun menyanngga rumah itu. 

“Nyonya Besar sudah menunggu di ruang keluarga, Nona,” Fransisco berkata. 

Licia menghela napas berat, tapi ia mengangguk. Ed hanya menurut saja ketika Licia lagi-lagi menggandengnya, menyeretnya, ke arah ruang keluarga yang disebutkan Fransisco. 

Seorang pelayan di depan pintu membukakan pintu untuk Licia. Di dalam, tidak hanya nenek Licia, tapi lagi-lagi, anggota keluarga Licia yang lain sudah menunggu dengan manis di sana. Jadi, ini maksud Licia tentang tadi baru awalnya? 

Tadi itu, benar-benar hanya penyambutan. 

***

Licia nyaris saja menendang kaki Ed ketika pria itu membalas senyum Tiana, sepupunya yang seorang model. Namun, dengan begitu banyak mata tertuju padanya, ia harus menahan diri. 

“Jadi, kapan kalian berencana menikah?” adalah pertanyaan pertama yang disebutkan neneknya. 

Dan siapa yang tadi menyuruhnya masuk untuk beristirahat?

“Kupikir, tadi Nenek bilang padaku untuk istirahat,” keluh Licia. 

“Seharusnya begitu. Tapi, sementara para pelayan menyiapkan kamar untuk tunanganmu, kalian bisa menunggu di sini sambil beristirahat,” jawab neneknya. 

“Beristirahat? Dengan kalian semua ada di sini, siap menginterogasi tunanganku?” sengit Licia. 

Nenek Licia berdehem. “Kalau begitu, kau bisa mengatakan pada kami semua, siapa pria ini, bagaimana kau bertemu dengannya dan sejauh mana hubungan kalian. Juga,” neneknya menatap Licia tajam, “kapan kalian berencana menikah?” 

Licia melirik Ed sekilas dan pria itu ternyata juga menatapnya. Bahkan, ia tersenyum. 

“Saya tidak keberatan harus menikah dengan Licia kapan pun. Bahkan hari ini kami menikah pun tak masalah,” pria itu berkata, membuat Licia nyaris saja menyikut rusuknya. “Tapi, Licia selalu mengatakan bahwa dia ingin pernikahan yang sakral dan indah. Tentunya, bukan karena tekanan dari keluarganya.” Pria itu menatap ke depan, pada nenek Licia. Tak sedikit pun tampak gentar. 

Licia diam-diam mendesah lega karena keputusan pria itu. 

“Pertama kali kami bertemu, saya sudah terpesona pada Licia. Jadi, saya mengikutinya seperti orang gila. Saya, mati-matian mengejar cucu Nenek ini. Dia adalah wanita paling istimewa, dan paling berarti bagi saya. Jadi tolong, jangan berusaha sekeras itu untuk memisahkan kami. Karena saya akan mempertaruhkan nyawa saya demi mempertahankan wanita ini.” 

Ed bahkan tak ragu saat mengatakan semua itu, seolah ia benar-benar meniatkannya. Namun, Licia tidak keberatan. Saat ini, ia butuh meyakinkan neneknya dengan apa pun. Sementara, sepupu-sepupu cantiknya kini menatap Ed dengan tatapan terpesona dan mata berkilat seolah menemukan mangsa mereka. Licia bisa mengurus itu nanti. 

“Baiklah, seberapa dalam kau mencintai cucuku, aku bisa melihat itu nanti,” nenek Licia berkata. “Tapi, haruskah aku tetap tidak tahu siapa nama calon suami cucuku ketika ia berada di hadapanku?” 

Ed dan Licia bertukar tatap. 

“Edmund James,” Licia menyebutkan. Ia lalu menatap neneknya. “Ibunya meninggal saat ia masih kecil, dan ia hanya tinggal bersama ayahnya. Itu pun mereka tidak terlalu dekat. Karena itu, aku akan sangat menghargai jika Nenek tidak menyinggung itu lebih jauh lagi. Sama seperti aku yang tidak suka mengingat kenangan buruk masa laluku, dia juga begitu. Karena itu … jangan menyinggung masa lalunya.” 

Sesaat, Licia sempat melihat tatapan sedih neneknya, sebelum neneknya kembali memasang ekspresi datar. 

“Apa pekerjaan ayahnya? Dan apa pekerjaan tunanganmu ini?” neneknya kembali bertanya. 

“Ayahnya bekerja di perusahaan properti. Ed bekerja di tempat kerja yang sama denganku. Kalau Nenek khawatir dia hanya mendekatiku karena uang Nenek, itu sama sekali tidak perlu. Dia punya uang yang lebih dari cukup untuk berkeliling dunia sepanjang tahun. Karena itu,” Licia menatap tante-tante dan sepupu-sepupunya, “jangan mencoba menyuapnya dengan uang hanya untuk memisahkan kami. Dia tidak butuh uang kalian.” 

Tante pertamanya, Tante Dini, mendengus pelan. Neneknya sudah akan berbicara, ketika pintu ruang keluarga diketuk. Lalu, Fransisco masuk dan mengabarkan bahwa kamar di sebelah kamar Licia sudah disiapkan. Mendengar itu, Licia diam-diam mendesah lega. 

“Baiklah, kalian bisa pergi untuk istirahat. Tapi, pastikan kalian tidak terlambat untuk makan malam,” neneknya berbicara seraya berdiri. 

Licia mengangguk. Ia menatap kepergian neneknya, diikuti para tante, om dan sepupunya. Namun di belakang, Tiana sengaja melambatkan langkah dan memandang Ed lekat. 

Licia menoleh. Ia mendengus tak percaya ketika pria itu juga menatap sepupunya tanpa berkedip. Ini bahkan belum apa-apa, bisa-bisanya pria ini … 

***

 

Kiss Me, Kill Me

 

Ed sedang berusaha mengingat-ingat, di mana ia pernah bertemu dengan sepupu Licia yang model itu. Tiana namanya, jika Ed tidak salah ingat. Namun, di mana ia pernah melihatnya? Bukan hanya fotonya, tapi benar-benar dirinya. Di tengah usahanya itu, tiba-tiba ia merasakan Licia menarik wajahnya. Sebelum Ed sempat bertanya, apa yang wanita itu inginkan, Licia sudah mempertemukan bibir mereka.

Seketika, pikiran tentang di mana ia pernah bertemu Tiana, lenyap dari kepalanya. Ketika Licia hendak menarik diri, Ed tak membiarkannya. Jika Licia ingin menyalahkan seseorang, ia bisa menyalahkan dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia menyerang Ed tiba-tiba, ketika Ed begitu lelah dan lebih dari apa pun, ia menginginkan Licia. Dan Ed terlalu lelah, terlalu lapar, untuk melawan keinginannya itu. 

Ketika Ed melepaskannya, Licia terengah kehabisan napas. Ed tak dapat menahan senyum saat menunduk dan berbisik pada wanita itu, 

“Jika aku tidak menghentikannya tadi, kau mungkin akan berakhir pingsan, hm?” 

Licia menatap Ed dengan sorot kesal. 

“Jangan menatapku seperti itu. Kau yang menyerangku. Tak ada yang lebih kuinginkan daripada menciummu, Licia. Sungguh,” Ed meyakinkan wanita itu. 

“Aku melakukannya karena kau terus menatap Tiana tanpa berkedip. Sebentar lagi, bola matamu mungkin akan copot karena terus menatapnya,” desis Licia pelan, tajam. 

Ed terbahak mendengarnya. “Kuharap kau melakukan itu karena cemburu,” katanya pelan. 

“Aku tidak akan melarangmu berharap, kalau begitu,” ledek wanita itu, sebelum mendorong Ed menepi. 

Ed mengerti kenapa wanita itu bisa bersikap sekasar itu padanya di rumah ini ketika ia berbalik. Karena kini tidak ada siapa pun di ruangan itu selain mereka berdua dan pintu ruangan itu sudah tertutup kembali. Terima kasih pada siapa pun yang melakukannya. 

Di depan pintu ruangan, Licia menghentikan langkah, mungkin akhirnya ingat bahwa ia memerlukan Ed di sisinya, setiap saat, di rumah ini. Ed tak merasa perlu membuang waktu untuk menghampiri wanita itu. Namun, ketika lagi-lagi Licia memeluk lengannya dengan terlalu berlebihan, Ed menarik lepas tangan wanita itu, membuat tatapan tajam Licia kembali mendarat padanya. 

Ed tak mengatakan apa pun, tapi ia menautkan tangan mereka dan menunjukkannya di depan wajah wanita itu. Licia berdehem, tak membantah. Begitu mereka berjalan keluar dari ruangan, Ed tak menyiakan kesempatan untuk mengangkat tangan Licia yang bertaut dengan tangannya dan menciumnya. 

Saat Licia menoleh padanya, wanita itu menatapnya dengan pandangan penuh tanya, yang hanya dijawab Ed dengan senyuman. 

***

Ed baru saja selesai mandi ketika pintu kamarnya diketuk. Menarik sebuah kaos dari tumpukan pakaian yang sudah ditata rapi di dalam lemari di sisi ruangan, Ed berjalan ke arah pintu sembari memakai kaosnya. Saat Ed membuka pintu kamar, Licia, dengan rambut yang masih basah, sudah berdiri di hadapannya. Oh, dengan tatapan tajamnya itu. 

Ed mundur saat Licia mendorongnya, sebelum wanita itu ikut masuk ke kamarnya. Licia berbalik hanya untuk menutup pintu kamarnya, lalu menguncinya. Ed mengangkat alis saat Licia kembali menatapnya. 

“Ini masih siang, Licia. Tapi, aku tentu saja tidak keberatan.” Ed mengulurkan tangan ke wajah Licia, yang segera ditepis kasar oleh wanita itu. 

“Bukankah sudah kuperingatkan untuk mengunci pintumu dan tidak membukakan pintu sembarangan?” sembur wanita itu tajam. 

Ed menghela napas berat. Apa masalahnya sebenarnya? Jika yang mengetuk tadi memang salah satu sepupu Licia yang cantik itu, Ed hanya perlu menutup pintunya lagi, dengan kasar. Bahkan, hingga mematahkan hidung salah satu dari mereka, jika itu bisa menyenangkan Licia. Meski itu akan mengurangi nilai gentleman-nya. 

“Apa yang kau lakukan dengan rambutmu? Kau tidak berniat menggoda mereka juga, kan?” sengit Licia. 

Ed mengangkat tangan, mengacak rambutnya yang memang masih basah. Ia baru mandi, astaga. 

“Apakah itu yang kau lakukan?” Ed membalas. “Kau mencoba menggodaku?” Ed meraih rambut Licia yang juga belum kering. 

Licia hendak menepis tangan Ed, tapi kali ini Ed menangkap tangan wanita itu dan menariknya mendekat. Keterkejutan tampak jelas di wajah Licia. 

“Dengar, aku baru saja mandi dan setelah perjalanan darat yang panjang dan panas, ditambah ruang keluargamu yang begitu panas tadi,” Ed merujuk pada ciuman mereka, “aku perlu mendinginkan kepalaku juga. Tentang pintu sialan itu, aku tidak menguncinya karena kupikir kau akan mencariku. Aku tidak ingin membuat batas denganmu, karena itu aku membiarkannya tidak terkunci. Itu untukmu.” 

Licia tampak terkejut mendengarnya, tapi wanita itu masih bisa menjawab, “Aku tidak memerlukan kau melakukan itu untukku. Keselamatanmu dari rayuan para sepupuku lebih penting daripada itu, jadi kau bisa melewatkan alasan itu.” 

Ed tak dapat menahan dengusan karenanya. Sialan memang sepupu-sepupu wanita ini. “Alasan aku langsung membuka pintunya, karena jika yang berdiri di luar tadi adalah salah satu sepupumu, aku berencana menghantam wajahnya dengan pintu itu agar kau senang. Jika kau sudah selesai dengan sesi cemburu tak berdasarmu, bisakah kau kembali ke kamarmu dan mengganti pakaianmu? Aku nyaris bisa melihat semuanya dari kaos putihmu itu.” Ed menunduk, tak bisa menolak pemandangan yang tidak setiap hari bisa dinikmatinya itu. 

Licia ikut menunduk. Lalu, wanita itu kembali mendongak cepat, hanya untuk memalingkan wajah Ed. 

“Aku tidak sempat mengeringkan rambutku, jadi pakaianku ikut basah,” aku wanita itu. 

Saat ia melepaskan Ed, ia sudah berbalik, berjalan ke pintu. Namun, baru dua detik Licia keluar dari kamar itu, ia kembali masuk dengan tangan terlipat di dadanya, berusaha menutupi apa yang sudah dilihat Ed tadi. 

“Pinjamkan aku kaosmu saja. Nania dan Rania sedang berjalan kemari dan aku tidak akan pergi dari kamar ini,” tegas Licia. 

Ed menelengkan kepala. Seberapa jauh sebenarnya wanita ini meragukannya? 

Namun, Licia kemudian dengan santainya berjalan ke lemari pakaian Ed, mengeluarkan kaos berwarna merah. 

“Berbaliklah!” perintah wanita itu. 

Ed mendengus pelan, tapi menuruti wanita itu. Namun, ia tak mengatakan apa pun pada Licia saat ia bisa melihat bayangan wanita itu dari pintu kaca menuju beranda di depannya. Ia bukan seorang gentleman, oke. Namun, saat Licia benar-benar melepas kaos putihnya, Ed memejamkan mata juga. Dalam hati, Ed menertawakan dirinya sendiri. Mendadak menjadi seorang gentleman, benar-benar bukan dirinya. 

“Kenapa kau tidak mengganti pakaianmu di kamar mandi saja?” Ed mengeluh, protes karena wanita itu terus menggodanya. Meski Licia sama sekali tak menyadari apa yang telah ia lakukan pada Ed. 

Licia tidak menjawab. Namun, detik berikutnya, Ed mendengar pintu kamar itu terbuka dan Ed bergegas berbalik. Ia menghampiri Licia dan menarik wanita itu ke belakangnya. Ed mendesah lega ketika itu hanya sepupu Licia. Dua nama yang tadi disebutkan Licia. Rania dan Nania. 

“Karena mereka. Dan aku berharap mereka melihatku telanjang di sini, omong-omong,” bisik wanita itu belakangnya. 

Ed tak dapat menahan senyum. “Aku juga berharap kau benar-benar melakukannya di depanku, Licia.” 

Playboy mesum,” desis Licia pelan, tapi itu tak mencegah Ed tersenyum geli. 

Begitu Licia berpindah ke sisinya, ia sudah memakai kaos Ed. Kaos putihnya disampirkan di lengan kirinya. 

“Kurasa kalian sudah melupakan apa yang kalian pelajari di sekolah tata krama kebanggaan kalian itu,” sengit Licia. 

Rania mendengus. “Katakan itu pada dirimu sendiri. Apa yang barusan kau lakukan?” Ia menatap Licia dengan tatapan merendahkan. 

Licia mengangguk. “Benar juga. Aku barusan bermesraan dengan tunanganku di bawah atap yang sama dengan Nenek. Apa kalian akan mengusirku untuk itu?” 

Mata Nania menyipit tak suka. “Kau benar-benar menjijikkan.” 

“Setidaknya, aku melakukannya dengan tunanganku, bukan dengan tunangan orang lain,” Licia berkata. “Jika kalian sudah selesai, bisakah kalian pergi? Kami belum selesai, omong-omong,” lanjut Licia seraya menggelayut manja pada Ed. 

Rania dan Nania melemparkan tatapan kebencian pada Licia, sebelum berbalik. Namun, sebelum mereka keluar, Licia masih sempat berkata, 

“Lain kali, tolong ketuk pintunya sebelum kalian masuk kamar ini. Atau kalian mungkin akan melihat aku dan pria ini berada di atas ranjang tanpa pakaian.” 

Bantingan di pintu kamar Ed adalah jawaban dari sepupu Licia. Sementara, Ed nyaris saja membanting Licia ke atas tempat tidur karena kata-katanya barusan. 

“Haruskah kau merendahkan dirimu sendiri seperti itu karena mereka?” Ed tak terlalu suka ketika sepupu-sepupu atau tante-tante Licia menatap wanita itu dengan tatapan jijik atau merendahkan. Bahkan ciumannya pun masih terasa begitu polos. 

“Aku tak pernah peduli akan apa yang mereka katakan tentangku,” balas Licia seraya melepaskan pelukan di lengan Ed. “Selama kau masih tampak begitu sempurna di mata mereka.” 

Ed mendengus tak percaya. “Aku juga ingin mengatakan hal yang sama padamu. Tentangmu.”

“Jangan bodoh,” tukas Licia seraya naik ke atas tempat tidur Ed. “Semakin aku tampak buruk di mata mereka, semakin bagus itu untukku.” 

“Tapi, apa yang kau lakukan di atas tempat tidurku? Apa kau sedang berusaha merayuku juga?” Ed berhasil menahan diri untuk tidak berteriak. 

Licia menatap Ed, tampak mempertimbangkan. “Boleh juga. Akan lebih baik jika nanti mereka menemukan kita di atas tempat tidurmu. Jika Nenek tahu, Nenek pasti akan sangat marah. Siapa tahu aku beruntung dan Nenek akan mengusirku hari ini juga?” 

Ed mendengus kasar, lalu menghampiri Licia. Bahkan saat Ed menunduk di atasnya, wanita itu tampak terkejut dan panik. 

“Kau … apa yang berusaha kau …” 

“Bukankah ini yang kau inginkan?” Ed menunduk, nyaris menghilangkan jarak di antara wajah mereka. 

Hanya dua senti sebelum bibir Ed menyentuh bibir Licia, wanita itu memalingkan wajah. 

“Maksudku, hanya berpura-pura. Kau bisa berpura-pura tidur di sebelahku, semacam itu,” wanita itu berkata. 

Ed mendengus, lalu menarik diri. “Jika kau masih setakut ini, jangan menantangku, Licia. Sungguh, pengendalian diriku tidak sekuat itu. Jika kau menawarkan kita tidur bersama, aku bisa meyakinkanmu bahwa itu nanti bukan hanya pura-pura bagiku.” 

Licia berdehem. “Kalau begitu, pergilah. Aku akan memikirkan pura-pura lain yang lebih aman.” 

Ed tersenyum juga mendengarnya. Pura-pura lain yang lebih aman? Wanita itu bisa mencoba dan melihat sendiri. Sadarkah ia, bahwa bagi Ed, Licialah godaan terbesar itu? 

“Aku akan istirahat di sini sampai jam makan malam. Mungkin setelah ini, Lea atau Karen yang akan datang kemari. Kau tidak perlu mengunci pintunya agar mereka bisa melihat apa yang memang seharusnya mereka lihat. Berani sekali mereka mencoba menggoda tunanganku,” Licia menggerutu seraya menarik selimut menutupi tubuhnya. 

Ed mendengus pelan, geli, tapi tidak protes. Menuruti kata-kata Licia, Ed membiarkan pintunya tidak terkunci. Lalu, Ed melompat ke sofa nyaman di kamar itu dan berbaring di sana. Sungguh, apa yang ia lakukan di sini ketika ada wanita cantik yang menunggunya di atas tempat tidur? Ed tak bisa mencegah dirinya memaki kebodohannya sendiri. 

***

 

My Sweet Princess

 

Suara ketukan ringan di pintu kamarnya membuat mata Ed seketika terbuka. Namun, ia masih berbaring di sofa ketika pintu kamar itu terbuka. Apakah di rumah ini sudah menjadi kebiasaan untuk sembarangan membuka pintu? Mereka bahkan hanya merasa perlu mengetuk sekali dan membukanya begitu saja. Pantas saja Licia berkeras meminta Ed mengunci pintu kamarnya. 

Namun, saat melihat siapa yang berdiri di pintu kamarnya, Ed segera melompat berdiri. Fransisco yang tadi membuka pintu menepi dan nenek Licia masuk ke kamar. Mata wanita itu menyipit marah saat tatapannya mendarat di atas tempat tidur Ed. 

“Dia hanya tidur di sana. Kami tidak melakukan apa pun,” Ed buru-buru berkata, mengakibatkan tatapan tajam nenek Licia tertuju padanya. 

“Aku tahu cucuku. Tapi, kuharap kau bisa menahan dirimu,” ucap nenek Licia tajam. 

Ed mengangguk. Entah kenapa ia merasa bersalah. Bukan ia yang tidak berusaha menahan diri, tapi Licia yang tiada henti menyerang Ed. Dan Ed masih pria normal, astaga! 

“Maaf, Tuan. Tadi saya pergi ke kamar Nona Licia untuk memanggilnya makan malam, tapi Nona tidak ada di kamar. Ketika saya melapor pada Nyonya Besar, Nona Nania mengatakan bahwa Nona Licia ada di kamar Tuan,” Fransisco menjelaskan, meski itu tak membantu Ed sama sekali. 

Ed berdehem. “Licia hanya beristirahat di sini. Seperti yang kalian tahu, beberapa sepupunya menyempatkan mampir kemari. Karena itulah, Licia merasa perlu menemani saya di sini. Sebenarnya, saya juga terganggu dengan kunjungan mendadak sepupu-sepupu Licia kemari. Mereka bahkan masuk tanpa mengetuk pintu. Sekarang saya mengerti, kenapa Licia mengingatkan saya untuk selalu mengunci pintu kamar saya.” 

Nenek Licia tampak terkejut mendengar cerita Ed. Wanita itu lalu berdehem. 

“Bangunkan dia. Semua sudah menunggu di ruang makan,” nenek Licia berkata. 

“Maaf, tapi Licia tampaknya sangat lelah. Mungkin kami akan makan nanti saja,” Ed menjawab. 

“Maaf, Tuan. Tapi, di rumah ini, seluruh anggota keluarga diharuskan makan bersama,” Fransisco menerangkan. 

Ed menghela napas berat. “Baiklah. Kami akan makan di luar saja. Saya bukan anggota keluarga ini. Belum. Dan saya berencana mengajak Licia makan malam bersama saya.” 

“Jangan membuat masalah ini menjadi semakin besar dan bangunkan dia!” nenek Licia memberi perintah. “Fransisco.” Ia memanggil orang kepercayaannya itu. 

Fransisco sudah berjalan ke arah tempat tidur, tapi Ed menghalangi jalannya. 

“Apa kalian tidak sadar, sejak dia datang kemari, kalian sudah menyambutnya dengan luar biasa? Licia sedang sangat lelah. Jadi tolong, jangan ganggu istirahatnya. Dia toh sudah menuruti kalian untuk datang ke rumah ini betapa pun dia tidak menginginkannya,” ungkap Ed. 

Giliran Fransisco yang terkejut karena kata-katanya. Sementara, nenek Licia tak mengatakan apa pun lagi dan berbalik. Fransisco lalu membungkuk padanya, sebelum mengikuti nenek Licia meninggalkan kamar itu. 

Ed menghela napas ketika memutar tubuh menatap Licia yang masih lelap di atas tempat tidurnya. Wanita itu sepertinya benar-benar lelah, hingga perang yang terjadi hanya beberapa meter dari tempatnya saja tak mengusiknya. 

Ed berjalan ke tempat Licia masih tidur. Ia tersenyum lembut saat menyentuh helaian rambut Licia yang jatuh di wajahnya. Menyingkirkan helaian rambut itu, Ed lalu menunduk di atas wanita itu. Ia harus mati-matian menahan diri untuk tidak menyentuh bibir Licia. Di tengah perang batinnya, mata Licia terbuka. 

“Kaupikir apa yang akan kau lakukan?” 

***

Licia bahkan tidak heran ketika Ed malah tersenyum ketika Licia memergokinya, entah apa yang akan dilakukannya jika Licia tak membuka matanya tadi. 

“Aku baru saja akan memberimu ciuman untuk membangunkanmu,” ucap pria itu. 

Licia mendengus seraya mendorong dada pria itu. “Jika bukan karena kau melakukan tugasmu dengan baik tadi, aku pasti sudah menendangmu ke seberang ruangan sekarang.” 

“Kau tidak tidur?” tanya Ed. 

“Untuk mengetes, apa aku bisa mempercayaimu,” sahut Licia seraya beranjak duduk. 

“Dan hasilnya?” 

“Tidak sepenuhnya, mengingat apa yang akan kau lakukan barusan,” sebut Licia. “Aku juga malas berdebat dengan nenekku. Aku penasaran, seberapa jauh dia bisa marah padaku. Tapi sepertinya, bahkan meskipun aku hamil di luar nikah denganmu pun, itu tak akan membuatnya menendangku dari rumah ini.” 

Licia mendengus kasar seraya menendang selimutnya. 

“Ugh! Aku juga malas duduk di meja makan dengan sepupu-sepupu tersayangku. Aku khawatir aku akan memuntahkan makananku di wajah mereka,” gerutunya seraya mendorong Ed menepi agar ia bisa turun. 

“Apakah itu berarti kita akan makan malam di luar?” tanya Ed. 

“Tentu saja. Ada teman yang ingin kukunjungi, omong-omong,” sahut Licia seraya berjalan ke arah pintu. “Aku akan siap dalam sepuluh menit, jadi pastikan kau sudah rapi saat aku kembali nanti.” 

Namun, ia menghentikan langkah di pintu saat teringat kata-kata neneknya tadi. Ia memutar tubuh dan menatap Ed yang masih berdiri di samping tempat tidur. 

“Apa yang kau lakukan hingga nenekku begitu percaya bahwa kau sangat menginginkanku? Nenekku mungkin bahkan belum sepenuhnya percaya jika kau adalah tunanganku. Tapi, mengingat bagaimana dia memintamu menahan diri, sepertinya kau berhasil meyakinkannya bahwa kau memang benar-benar menginginkanku,” sebut Licia seraya tersenyum puas. 

Namun, dari tempatnya berdiri, Ed tak sedikit pun tersenyum saat membalas, 

“Karena aku memang menginginkanmu. Benar-benar menginginkanmu.” 

Licia mengerutkan kening. “Apa kau lupa, teknik playboy-mu itu …” 

“Mau kutunjukkan?” tantang Ed seraya berjalan menghampiri Licia. 

“Tidak, terima kasih,” tolak Licia sebelum ia membuka pintu di belakangnya dan bergegas meninggalkan ruangan itu. 

Apakah semua playboy seperti itu? Mereka akan melakukannya dengan siapa pun selama itu adalah wanita? Apa mereka selalu menginginkan setiap wanita yang ada di depan mereka? Jika begitu … maka sepupu-sepupu Licia itu pasti akan dengan mudah merayu Ed dan …

Licia kembali masuk ke kamar Ed untuk mengingatkan pria itu untuk mengunci pintunya saat ia melihat Ed bertelanjang dada di tengah ruangan. 

“Apa yang kau lakukan?” Licia berhasil menahan diri untuk tidak menjerit, tidak ingin menarik perhatian neneknya, atau yang lain. 

Ed tampak tak terganggu dengan keadaannya yang tak berpakaian dan malah menghampiri Licia. 

“Inilah yang akan kau dapatkan jika kau tidak mengetuk pintu lebih dulu,” ucap Ed santai. 

“Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk mengunci pintunya,” desis Licia. “Begitu aku keluar, pastikan kau mengunci pintunya.” 

Licia memalingkan wajah saat Ed sudah berdiri tepat di hadapannya. 

Ed mendengus pelan. “Aku akan dengan senang hati mengunci pintunya sekarang, ketika kau berada di dalam sini, dengan aku yang sudah setengah telanjang.” 

Licia menatap Ed tajam. “Sudah kubilang, jangan menggunakan teknik playboy-mu pada …” Kalimat Licia terhenti ketika tiba-tiba Ed mendorongnya ke arah pintu, mengurungnya di sana dengan kedua lengannya di kanan-kiri Licia. 

“Kau … apa yang kau lakukan?” Licia gagal menyembunyikan kepanikannya. 

“Bagaimana bisa kau menyebutkan tentang tidur bersama dan hal-hal vulgar lainnya ketika kau bahkan tak bisa menatapku saat ini?” Ed berkata, suaranya terdengar begitu dekat. Licia tak berani menoleh ke depan. 

“Satu hal lagi. Aku bisa membuktikan padamu, bahwa kau adalah satu-satunya wanita yang bisa membuatku menginginkanmu. Tapi sayangnya, kau pasti akan terkejut jika aku benar-benar menunjukkannya padamu. Jadi, jangan pernah lagi menantangku untuk yang satu itu. Karena, Licia ...” Suara pria itu semakin dekat. Licia bisa merasakan hangat napasnya di leher Licia. “Aku benar-benar menginginkanmu. Hanya dirimu.” 

“Aku ta …” Kalimat Licia berganti pekikan kaget ketika ia berusaha mendorong Ed, tapi mendapati tangannya langsung menyentuh kulit pria itu. 

“Lihat ini.” Suara pria itu terdengar geli. 

Licia berdehem. “Awas. Aku masih ingin mandi sebelum kita keluar,” katanya.

Ed mendengus pelan, geli, tapi ia memundurkan tubuhnya. “Sama. Aku juga butuh mandi. Mandi air dingin. Karenamu. Tapi, kau sepertinya juga tak akan mengerti apa yang kumaksudkan.” 

Suara meledek Ed membuat Licia melemparkan tatapan tajamnya. Namun, itu tak sedikit pun menggentarkan pria itu. Ia malah dengan percaya dirinya berkacak pinggang di hadapan Licia, dengan senyum miring yang angkuh dan menyebalkan di wajahnya. 

Playboy sok keren menyebalkan,” desis Licia sebelum bergegas membuka pintu di belakangnya dan meninggalkan kamar itu. Dan playboy gila di dalamnya. 

Omong-omong ... kenapa mendadak hawa di sekelilingnya terasa panas? 

***

 

-Chapter 5-

Jangan melihat yang lain

Ketika aku berada di sampingmu

Karena aku tak bisa melihat yang lain

Selain dirimu

 

The War Begins

 

Saat Licia dan Ed turun dari kamar, mereka berpapasan dengan nenek Licia dan anggota keluarganya yang lain di depan tangga, saat mereka baru keluar dari ruang makan. 

“Hanya lima tahun berada di luar dan kau sudah melupakan semua peraturan di rumah ini?” Suara meledek Rania menyapa Licia. 

“Kau sendiri, hampir tiga puluh tahun tinggal di rumah ini, tapi masih belum mempelajari aturan di rumah ini?” nenek Licia yang membalas, dengan tajam. 

“Nenek?” Rania agaknya terkejut karena tiba-tiba neneknya berkata seperti itu. 

“Kau pikir aku tidak tahu jika kau dan Nania masuk ke kamar tunangan Licia bahkan tanpa mengetuk? Apa aku perlu mengirim guru tata krama untuk mengajari kalian di rumah ini?” Nenek Licia bahkan tak terdengar main-main. 

Tidak ada jawaban. 

“Bu, maafkan kedua putriku. Mungkin mereka salah masuk kamar. Mereka pikir itu mungkin kamar Licia,” Tante Disya berusaha membela putrinya. 

“Salah masuk kamar? Ketika selama puluhan tahun tak ada satu pun yang berani masuk ke ruangan itu tanpa izinku?” sengit nenek Licia. 

Ya, ruangan yang memang dulunya berisi koleksi lukisan kesayangan neneknya itu adalah kamar keramat bagi semua orang di rumah ini. Licia sendiri hanya pernah melihatnya beberapa kali ketika ia lewat saat pintu kamar itu terbuka, atau saat Fransisco keluar dari kamar itu. Yang ia tahu, kamar itu hanya berisi lukisan-lukisan kesayangan neneknya yang berharga ratusan juta, atau bahkan lebih.

“Aku benar-benar malu pada tamu kita karena kelakuan kalian,” kata nenek Licia lagi. 

Tidak ada lagi yang berbicara. Ketika Licia sudah akan pergi, ia mendengar Nania berteriak, 

“Licia juga ada di kamar itu dan mereka sedang bermesraan tadi!” 

Licia sudah akan menjawab bahwa ia berhak melakukannya, ketika Ed sudah lebih dulu menjawab, 

“Karena dia datang ke kamarku hanya memakai kaos putih yang transparan. Dia mungkin tidak sadar, tapi itu menyulitkanku. Karena itulah, aku memintanya berganti pakaian dengan kaosku. Karena aku menghargai aturan di rumah ini. Neneknya tentu tidak akan suka melihat cucunya berkeliaran dengan pakaian begitu menggoda, kan? Setidaknya di mata para pria. Terutama, aku.” 

Licia menoleh, terkejut mendapati pria itu bahkan merendahkan dirinya seperti ini di depan keluarganya. 

“Karena jujur, apa pun yang dikenakan Licia, dia tampak sangat cantik di mataku dan itu menyulitkanku. Sulit untuk tidak tergoda, karena aku benar-benar mencintainya dan aku menginginkannya.” 

Licia menahan napas, tak menyangka Ed akan membuat pernyataan seperti itu di depan keluarganya. 

“Jika kalian sudah selesai melemparkan tuduhan kejam pada wanitaku, bisakah aku membawanya pergi? Kami belum makan sejak siang tadi, omong-omong,” ucap Ed santai. 

Neneknya mengangguk, tapi dari belakang, ada seseorang berbicara, 

“Kudengar kau tidak butuh uang, tapi melihat tangan Licia masih bersih, itu bukan karena kau tidak punya uang, kan?” 

Tante Hani. Tantenya yang ketiga. Sama seperti suaminya, Om Sando, mereka sangat ambisius dan gila harta. Tidak heran. Bukankah dulu saat mereka menikah, ia menghabiskan uang paling banyak? Mungkin jika Om Sando dulu bukanlah putra dari direktur perusahaan yang sekarang sudah menjadi anak perusahaan nenek Licia, tantenya itu tidak akan mau menikah dengannya. 

Omong-omong tentang cincin, mengingat mereka sudah bertunangan, Licia sama sekali tidak memikirkan itu. Ia terlalu fokus pada sepupu-sepupunya sehingga … 

“Bukan karena aku tidak menyiapkannya, tapi karena Licia tidak menginginkannya,” Ed sudah menyahut. “Bagiku, cinta Licia saja sudah cukup. Begitu pun dengannya. Kami tidak perlu cincin emas, berlian, atau rumah mewah. Selama aku mencintainya dan dia mencintaiku, itu cukup bagi kami.” 

Dengusan meledek terdengar hampir dari semua orang. 

“Kaupikir di dunia ini ada orang yang seperti itu? Cinta tidak memberimu makan di atas meja,” sengit Tante Fika, tantenya yang kedua.

“Memang tidak,” Ed membalas. “Tapi, wanita ini memberiku segalanya, yang bahkan tak akan kutukar dengan dunia sekalipun.” 

Licia terkejut ketika Ed menarik sesuatu di lehernya. Sebuah kalung. Saat ia mengeluarkannya, Licia bisa melihat sebuah cincin yang cantik, dan jelas mahal, tergantung di kalung itu. 

“Licia memang tidak membutuhkan ini. Tapi, jika ini adalah syarat bagi keluarga ini untuk menerimaku, kurasa aku tidak punya pilihan lain, kan? Karena aku akan melakukan apa pun untuk Licia,” Ed berkata, begitu sungguh-sungguh. 

Pria itu lalu melepaskan kalungnya dan memakaikannya di leher Licia. 

“Aku tidak akan memaksanya memakainya. Karena aku tahu, lebih dari apa pun, Licia benci hal-hal seperti ini. Dia tidak membutuhkannya, selama aku mencintainya,” Ed berkata. “Jika kalian masih tidak bisa menerimaku, perlukah aku menyebutkan harganya? Atau, perlukah aku mengirimkan kalung berlian untuk kalian satu-persatu? Tapi, jika aku melakukannya, tidakkah itu akan membuat suami kalian tampak buruk?” 

Tatapan geram dari hampir semua orang kini tertuju pada Ed. Licia segera mengambil alih. 

“Aku benar-benar tidak butuh apa pun selain pria ini. Karena itu, tolong jangan menyulitkannya lagi,” ia berkata. 

“Sudah, sudah,” neneknya melerai. “Melihat kejadian ini, sepertinya aku memang perlu memanggil guru tata krama untuk kalian. Bagaimana bisa kalian mengatakan hal seperti itu pada tamu kita, dengan keadaan seperti ini?” 

Ekspresi canggung dan kesal muncul di wajah-wajah di depannya. 

Licia mendengus pelan saat ia menunduk dan melihat cincin yang tergantung di kalungnya. Kapan Ed menyiapkan ini?

“Aku benar-benar minta maaf atas kelakuan keluargaku,” nenek Licia bicara. “Dan maaf, karena kami menunda waktu makan kalian.” 

“Licia sudah mengingatkan saya tentang ini,” Ed menjawab, membuat Licia tak dapat menahan senyum. “Saya akan memastikan kami sudah berada di rumah sebelum jam sepuluh. Itu juga aturan di rumah ini, kan?” 

Ed bahkan sempat mengerdip pada Fransisco, sebelum ia mengangguk sopan pada nenek Licia dan menarik Licia pergi dari sana. Sesaat, sekilas, Licia sempat melihat neneknya tersenyum, tapi sepertinya itu hanya halusinasinya. Namun, saat ia berada di mobil berdua dengan Ed, Licia tak dapat menahan senyumnya. 

“Kapan kau menyiapkan semua itu?” tuntut Licia. 

“Yang mana? Jawabanku? Cincin itu? Atau aturan di rumah itu?” jawab Ed seraya menyalakan mesin mobil. 

“Semuanya,” sahut Licia. 

Ed menoleh ke samping, tersenyum padanya, lalu mencondongkan tubuh ke arahnya tiba-tiba, mengejutkan Licia. 

“Aku hanya tidak suka melihatmu berusaha merendahkan dirimu di depan orang-orang itu. Aku tidak suka mereka menjelek-jelekkanmu ketika mereka bahkan tak tahu betapa polosnya dirimu,” sebut pria itu, kontan membuat wajah Licia memerah. 

Ed tersenyum saat ia mundur. Licia menunduk mendapati seat belt-nya sudah terpasang. Oleh pria itu. 

“Mengenai cincin itu, aku sudah menyiapkannya sejak minggu lalu. Sejak kau memintaku menjadi tunanganmu. Tapi, aku tidak sempat memberikannya padamu. Aku ingin memberikannya dengan cara yang romantis, tapi kau selalu berhasil menggagalkannya. Jadi, aku memanfaatkan semua anggota keluargamu untuk membuatnya menjadi sedikit bertema action.”

Licia tak dapat menahan tawanya. “Action?

Ed mengangguk seraya melajukan mobil, meninggalkan halaman rumah itu. “Apa kau tidak lihat bagaimana tante-tante, om-om dan bahkan sepupumu mengarahkan pedang dan pistol ke arahku?” 

Licia tersenyum geli. “Oke, aku mengakui itu. Lalu, aturan di rumah itu …” 

“Fransisco,” sebut Ed. “Aku bersiap lebih cepat dan menghabiskan lima menit untuk merecoki Fransisco tentang itu. Kudengar, dulu saat kau masih kecil, kau dilarang berkeliling rumah mengenakan celana atau kaos pendek, ya?” 

Licia berdehem. “Dulu memang rumah itu sangat kuno, kolot.” 

“Tapi, kurasa aku lebih suka peraturan yang dulu itu,” Ed membalas, membuat Licia mendesis kesal ke arahnya. 

“Kau tidak boleh berlari, berteriak-teriak di dalam rumah, tertawa terlalu keras. Wah … rumah itu benar-benar mengerikan. Pantas saja kau tidak betah di sana,” sebut Ed. 

Licia tersenyum geli mendengarnya. “Dan aku tidak boleh berteman dengan anak-anak petani kebun atau karyawan peternakan.” 

Ed mengerutkan kening. “Apa dulu kau bahkan punya teman?” 

“Tentu saja. Ini kita akan pergi ke restorannya,” jawab Licia bangga. 

“Dia anak pemilik restoran? Restoran mewah? Karena itu kau boleh berteman dengannya?” Ed terdengar begitu penasaran. 

“Tidak. Dulu dia anak salah satu penjaga istal di peternakan. Dia juga yang mengajariku berkuda. Tapi, tidak ada yang tahu tentang itu dulu,” kata Licia geli, mengenang lucunya masa-masa kecilnya dulu. 

“Aku bertemu lagi dengannya saat kuliah dan kami mengambil jurusan yang sama. Begitu lulus, ternyata dia sudah bekerja di restoran mewah. Sekarang dia sudah punya restorannya sendiri,” Licia dengan bangga menceritakannya. 

“Hebat sekali,” gumam Ed. “Apakah dia cantik?” 

Licia mendengus. “Dia tampan,” jawabnya. “Bahkan menurutku, dia lebih tampan darimu.” 

Seketika, Ed menepikan mobil. “Apa?” Ia menoleh pada Licia. 

Licia menatap pria itu. “Nanti kau juga akan tahu sendiri jika melihatnya. Dan bagaimana kau bisa tahu jika kita sudah sampai?” 

Licia bahkan tak menunggu Ed ketika ia melepas seat belt dan melompat turun dari mobil. Lalu, ia setengah berlari ke restoran di seberang jalan. Di depan restoran, seorang pria tinggi tegap bertopi hitam melambai riang ke arahnya. 

Licia bisa merasakan kebahagiaan membuncah di dadanya saat melihat pria itu. Sudah lima tahun mereka tidak bertemu. Begitu Licia melompat dalam pelukannya, Licia tertawa saat pria itu memutarnya. Selalu menyenangkan memang jika bersama pria ini. 

Satu-satunya pria yang masuk pengecualian dari alerginya terhadap pria. 

***

 

Her World 

 

Ed mencelos demi melihat Licia masuk dalam pelukan siapa pun pria brengsek itu. Bergegas Ed mematikan mesin mobil dan turun dari mobil. Ketika pria itu memutar tubuh Licia, ingin rasanya Ed memutar kepala pria itu, mematahkan lehernya. Saat Ed tiba di sana, syukurlah mereka sudah tidak lagi berputar-putar seperti komidi putar, tapi Licia masih memeluk pria itu. Ed bahkan tak perlu menunggu satu detik pun untuk menarik wanita itu menjauh dari siapa pun pria yang ingin Ed patahkan lehernya itu. 

“Dan mereka bilang kau ini anti pria?” Ed tak bisa menyembunyikan kesinisan dalam suaranya. 

Licia memutar mata. “Pria ini pengecualian,” sahut wanita itu enteng. Ia lalu menatap kembali pada pria yang ingin Ed remukkan hidungnya itu dan bertanya, “Apa kabar? Kau tampak lebih tampan, Er.” 

Pria itu tersenyum lebar, tapi tak urung melirik Ed juga. “Aku baik-baik saja, tapi sepertinya sebentar lagi statusku akan berganti karena temanmu ini.”

“Aku bukan temannya,” sela Ed tajam. “Aku tunangannya.” 

Licia mendesis kesal. “Abaikan saja dia,” ucap pria itu. 

Licia sudah menggandeng pria itu, tapi Ed kembali menarik wanita itu. Ia membungkam bibir Licia dengan ciuman marah. Licia tampak terkejut saat Ed menarik diri. 

“Sudah kukatakan, aku tidak suka jika kau dekat dengan pria lain,” desis Ed.

Licia mengerjap. “Tapi … dia hanya teman dekatku.” 

“Tapi, dia pria,” Ed menekankan. 

“Dan dia sudah menikah,” tambah Licia. 

Ed mengerjap. Sekali. Tiga kali. Empat kali. 

“Aku hanya sedang ingin menciummu tadi,” Ed beralasan seraya melepaskan Licia. 

Licia mendengus tak percaya. Ia lantas kembali menggandeng siapa pun pria yang syukurlah sudah menikah itu, dan mengajaknya masuk ke dalam restoran. Restoran itu bahkan bukan milik Licia. 

***

“Jadi … ini tunanganmu?” Erwin bertanya saat mereka sudah duduk di salah satu meja di samping jendela. 

Licia mengangguk. Meski ia cukup dekat dengan Erwin, meski Erwin tahu tentang masalahnya dengan keluarganya, tapi Licia tidak berencana membiarkannya tahu tentang hubungannya yang sebenarnya dengan Ed. 

“Dan pria ini …” Suara Ed menggantung, penasaran. 

“Dia temanku saat aku masih kecil. Aku dulu tidak punya teman saat pertama kali datang kemari. Bahkan anak-anak keluarga kaya lainnya juga tidak mau bermain denganku. Jadi, aku sering sembunyi-sembunyi pergi ke perkebunan atau peternakan. Di peternakan, aku bertemu dengan Erwin. Meski awalnya aku tidak mau berteman dengannya, tapi dia berjanji dia akan mengajari naik kuda jika aku mau berteman dengannya,” jelas Licia. 

Ed menatap Erwin tajam. “Kau sudah selicik itu sejak kecil?” 

Licia kontan menyikut Ed, sementara Erwin sudah tergelak di depannya. 

“Sejak dia datang, semua orang sudah mengenalnya sebagai gadis kecil yang pemurung. Dia selalu mengurung diri di kamar. Maka, ketika aku melihatnya di peternakan, aku menawarinya untuk berteman dan mengajarinya berkuda,” cerita Erwin. “Jika kau memang begitu mencintainya, kenapa kau tidak datang padanya sejak dulu?” 

Licia mendengus geli. Namun di sebelahnya, mendadak ekspresi Ed menjadi begitu serius. 

“Ada apa?” Licia menyenggol lengan Ed. 

Pria itu menoleh, sedikit terkejut. Ia tersenyum tipis, menggeleng. “Hanya teringat masa lalu. Temanmu ini benar. Seharusnya aku datang padamu sejak dulu, ya kan?” Ed tersenyum lagi, tapi kini senyum getir. 

Licia mengerutkan kening heran. “Dia hanya bercanda. Kenapa kau menanggapinya seserius ini?” 

Ed tidak menjawab. Namun kemudian, ia meraih tangan Licia, menautkan tangan mereka dan menggenggamnya erat. Licia mengerutkan kening bingung. 

“Oh, itu Natasha!” Erwin berseru. 

Licia menoleh dan melihat wanita itu membawa nampan penuh berisi makanan. Erwin sudah berdiri untuk membantu Natasha. Licia juga ikut berdiri, ingin ikut membantu. Namun, ia merasakan Ed menarik tangannya, membuatnya berakhir di pelukan pria itu. 

“Ed, apa yang …” Licia menghentikan kalimatnya saat merasakan pelukan erat Ed. “Ada apa?” Licia bertanya lagi, tapi Ed masih tak menjawabnya dan semakin erat memeluknya. 

Licia tak tahu apa yang terjadi, tapi ia mengulurkan tangan ke punggung pria itu dan mengusapnya lembut. Ia teringat, tadi Ed menyebutkan tentang dirinya teringat masa lalunya. Licia penasaran, apakah pria ini juga punya masa lalu yang mengerikan?

“Tidak apa-apa,” Licia berkata, masih mengusap punggung Ed lembut. “Itu hanya masa lalu. Tidak apa-apa.” 

Licia terus mengatakan itu, sampai Ed melepaskannya. Saat pria itu menarik diri, ia menatap wajah Licia lekat. 

“Apa kau bahkan tahu kenapa aku melakukan itu tadi?” tanya pria itu. 

“Eh?” Licia menatap pria itu dengan bingung. “Kau … bukankah kau tadi sedang memikirkan masa lalumu?” 

Ed mendengus pelan. “Aku hanya ingin memelukmu. Apa kau lupa? Pria itu tadi memelukmu begitu lama. Jika bukan karena dia sudah punya istri, saat ini dia pasti sudah ada di rumah sakit dengan leher patah.” 

Licia melongo mendengar penuturan Ed. Pria ini, sempat-sempatnya ….

***

“Bagaimana dia mau berteman denganmu?” Ed menatap Erwin penasaran. “Apa dia menyukaimu?” 

Erwin tergelak mendengar itu. Ia lalu menunjuk istrinya, Natasha. “Saat pertama kami bertemu, Licia tidak mau mendekatiku, seolah aku ini wabah mematikan.” 

Ed meringis. Sejak saat itu, Licia sudah menghindari para pria? 

“Tapi, ketika Natasha datang dan mengajaknya bermain, dia mau bermain bersama kami. Lebih tepatnya, dengan Natasha. Tapi suatu hari, Natasha sakit dan tidak ikut ke peternakan. Licia tidak mau bermain denganku dan malah menangis. Jadi, aku berjanji akan mengajarinya berkuda jika dia berhenti menangis dan mau bermain denganku.” Erwin menatap Licia geli. 

“Bahkan dulu, ketika aku berjanji akan mengajarinya, dia memintaku berjanji setidaknya sepuluh kali,” tambahnya. 

Ed mencelos. Wanita itu bahkan tak lagi percaya pada janji? 

“Sudah kubilang, sebelum aku pulang ke negara ini, aku terlalu banyak dikhianati orang-orang terdekatku,” singgung Licia. “Ayah dan ibuku juga berjanji tidak akan pernah meninggalkanku. Tapi kenyataannya, mereka meninggalkanku di luar sana sendirian.” 

Erwin menghela napas berat. “Aku sudah berusaha mencari tahu apa yang terjadi di hari kecelakaan itu, seperti yang kau minta lima tahun lalu,” ucap Erwin. 

Ed mengerutkan kening. Apa maksudnya? 

“Maaf, karena merepotkanmu seperti ini. Aku tahu betapa berbahayanya itu.” Licia tampak menyesal. 

Erwin tersenyum. “Aku senang bisa membantu. Keputusanmu mencari tahu sepertinya adalah hal yang benar. Karena memang, malam itu, dari laporan salah seorang pelayan yang pernah bekerja di rumah itu, ayahmu tampak aneh sebelum membawa kau dan ibumu pergi dari rumah itu.” 

Licia mengerutkan kening. “Aneh bagaimana?” 

Erwin melirik Ed. 

“Tidak apa-apa, dia juga sudah tahu tentang masalah keluargaku,” ujar Licia.

Erwin mengangguk. “Ayahmu sempat berdiri di depan pintu ruang kerja nenekmu, sebelum pergi ke ruangan kerjanya dengan panik dan cemas. Dia bahkan sampai menabrak pelayan. Setelah itu, seperti yang kau tahu, ayahmu membawa kau dan ibumu pergi dari sana malam itu juga, tapi … kecelakaan itu …” 

Licia mengangguk, ekspresinya tampak terluka. “Jadi, apa pun penyebab ayahku membawa aku dan ibuku pergi malam itu, adalah karena apa yang didengarnya dari ruang kerja nenekku?” 

“Kurang lebih seperti itu,” ucap Erwin. “Kenapa kau tidak bertanya saja langsung kepada nenekmu, Licia?” 

Licia menarik napas dalam. “Karena ada kemungkinan, nenekkulah yang membunuh ayahku.” 

Ed menoleh ke arah Licia, terkejut mendengarnya. “Apa maksudmu?” 

Ketika Licia tak menjawab, Ed mengguncang lengannya. “Apa maksudmu dengan …”

“Itu bukan urusanmu,” Licia menepis tangan Ed. “Aku akan membereskan masalahku sendiri.” 

Selama beberapa saat, tak ada satu pun dari mereka yang berbicara, tapi Ed masih menatap Licia lekat. Kening wanita itu berkerut dalam, menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu. 

“Tapi, Licia,” panggil Erwin, “apa sampai sekarang, kau masih tidak bisa mengingat apa yang terjadi pada malam kecelakaan itu?” 

Licia menghela napas berat, menggeleng. “Hanya satu hal yang aku ingat. Seseorang membawa ayahku pergi,” getirnya. 

Jangan katakan … ayah Licia meninggal bukan karena kecelakaan, tapi karena perbuatan seseorang? Lalu, wanita ini … mencurigai neneknya? 

“Licia,” Natasha memanggilnya pelan. 

Licia mendongak dan menatap wanita itu. 

“Apa kau yakin, tidak apa-apa jika tunanganmu ini mendengar ini?” tanya wanita itu ragu. “Tunanganmu sebelumnya …” 

“Tolong jangan samakan aku dengan bajingan pengecut itu,” Ed menyela tajam, tak terima. 

Natasha meringis. “Maaf, aku hanya …” 

“Bukan salahmu,” Licia menyela wanita itu. “Aku juga sempat meragukan pria ini, tapi sekarang aku tahu. Dia ada di sampingku bukan demi hartaku. Setidaknya, itu cukup.” 

Ed mengernyit. Brengsek. Sebenarnya sudah berapa pria yang mendekati wanita ini hanya demi hartanya? 

“Dan aku mencintaimu,” Ed angkat bicara. “Tidakkah itu lebih dari cukup?” 

Licia menoleh padanya, tampak terkejut, tapi kemudian wanita itu tersenyum.

“Aku juga mencintaimu,” ucapnya. Bohong. 

Ed masih menatap Licia lekat ketika Erwin berbicara, 

“Wah, aku sama sekali tak menyangka kau akan mengatakan kata-kata itu juga, Licia.” 

Sementara mereka bertiga membicarakan masa kecil mereka serta masa kuliah mereka, Ed masih menatap Licia sembari mendengarkan cerita itu. Mengisi kepalanya dengan memori yang tak dimilikinya dengan wanita itu. 

***

 

A Crazy Apologize

 

“Aku terkejut kau membiarkanku tahu tentang masalah kecelakaan ayahmu itu,” Ed berbicara saat mereka berkendara dalam perjalanan pulang. 

“Bukan masalah besar,” sahut Licia enteng. “Aku toh berencana melemparkan itu pada Nenek jika rencana kita ini gagal.” 

Ed mengerutkan kening. “Jika rencana ini gagal?” 

“Aku harus menyiapkan rencana dari A sampai Z jika memang berniat pergi dari rumah itu,” aku Licia. “Lagipula, aku masih belum mendapatkan motif pastimu kenapa kau mau membantuku seperti ini.” 

“Kau bilang kau akan mengabulkan satu permintaanku,” sebut Ed. 

Licia mendengus. “Kau pikir aku percaya itu? Ketika kau punya uang lebih dari cukup untuk menghabiskan waktu seumur hidupmu hanya untuk mengejar siapa pun wanita yang kau inginkan, bahkan tanpa bekerja?” 

“Tidakkah sudah kukatakan padamu, bahwa aku menginginkanmu?” sebut Ed. 

Licia mengangguk. “Kurasa aku bisa percaya itu. Karena Nenek bisa tertipu olehmu, kurasa kau memang benar menginginkanku. Tapi, jika kau hanya menginginkanku, bukankah itu berarti kau akan pergi juga begitu kau mendapatkan apa yang kau inginkan? Apakah semalam cukup?” 

Ed menyipitkan mata tak suka mendengar cara wanita itu mengucapkannya. 

“Tidak perlu khawatir. Jika memang hanya itu yang kau inginkan, aku bisa memberikannya. Begitu kau berhasil membawaku keluar dari rumah nenekku,” Licia melanjutkan. 

Ed mencengkeram erat roda kemudi. Ia berusaha mengendalikan emosinya, menyadari ia sedang mengemudi dan Licia ada di sebelahnya. 

Namun, begitu mereka tiba di rumah wanita itu, Ed tak lagi menahan diri. Ia menarik Licia turun, mengabaikan tanya bingung wanita itu dan menariknya ke lantai atas. Ia mendorong Licia masuk ke kamar wanita itu, lalu menutup pintu di belakang mereka dan menguncinya. 

“Apa yang kau lakukan?” Licia menatapnya bingung. 

Ed tak mengatakan apa pun, tapi ia lantas melenyapkan jarak di antara mereka. Ia meraih ke belakang dress santai yang dikenakan Licia dan menarik turun ritsletingnya. Ed memperhatikan ekspresi terkejut di wajah Licia. Saat Ed menurunkan dress itu dari bahunya, Licia memejamkan mata. Namun, wanita itu sama sekali tak berusaha melawan. Dengan satu tangan mencengkeram erat ponselnya, sementara tangan yang lain terkepal erat di sisi tubuhnya. 

Ed mendesiskan umpatan marah sebelum berbalik dan keluar dari kamar wanita itu. 

Sungguh, bagaimana bisa dengan mudahnya Licia … menyerahkan dirinya seperti itu pada pria asing playboy gila kurang ajar sepertinya? Apa yang sebenarnya telah dilakukan rumah ini pada wanita itu? Apa yang membuat wanita itu sampai begitu putus asanya mau menyerahkan hidup dan jiwanya pada Ed, yang bahkan baru tiga minggu dikenalnya, hanya demi keluar dari rumah ini? 

Ed membanting pintu kamarnya menutup dan bersandar di sana. Ia memejamkan mata saat air mata jatuh ke pipinya. Sebenarnya, apa yang telah terjadi ketika Ed pergi dari hidup wanita itu dua puluh tahun yang lalu? Lebih dari kapan pun, saat ini Ed menyesal karena pernah meninggalkan wanita itu. Seharusnya, ia tak pernah meninggalkan Licia. Bahkan meski wanita itu membencinya, meski wanita itu akan ingin membunuhnya, tapi setidaknya, Ed bisa menjaganya, di sisinya. 

***

Licia jatuh terduduk di atas lantai kamarnya. Gaun santainya melorot turun dari bahunya, tapi ia abaikan. Tangannya berada di pangkuan, gemetar. Licia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. 

Sebenarnya, Licia juga penasaran, apa Ed benar-benar mendekatinya hingga mau melakukan ini, karena pria itu menginginkannya? Begitu menginginkannya? Licia penasaran, begitu pria itu mendapatkan apa yang diinginkannya, apakah ia akan pergi? 

Sungguh, ketidakpastian tentang pria itu membuat Licia tak tahu bagaimana ia akan menjalankan rencananya. Apa yang sebenarnya diinginkan pria itu? Apa alasan sebenarnya ia berada di sini bersama Licia? Tak ada satu pun jawaban pasti di kepala Licia untuk pertanyaan-pertanyaan itu. 

Ketika Licia memutuskan untuk membawa Ed pulang ke rumah neneknya, ia tidak benar-benar memikirkan alasan pria itu menyetujuinya. Ia pikir, pasti ada yang pria itu inginkan darinya dan ia pikir ia bisa memberikannya. Namun, semakin hari, ia semakin tak tahu apa yang sebenarnya diinginkan pria itu. 

Meski begitu, Licia tak punya pilihan lain. Karena Fransisco sudah melihatnya bersama Ed, ia tidak bisa membawa pria lain. Lagipula, kemungkinan rencananya ini sukses jika Ed yang datang bersamanya kemari. Ia hanya memikirkan rencananya, tak sekali pun berusaha memikirkan alasan sebenarnya pria itu ikut kemari dengannya. 

Bahkan pria mana pun di dunia ini, tidak akan mau semudah itu setuju dengan rencana Licia, tanpa menginginkan sesuatu. Ed jelas tidak menginginkan hartanya. Tadi juga … pria itu pergi begitu saja. Benarkah ia menginginkan Licia? 

Licia tersentak pelan ketika mendengar ponsel di pangkuannya berdering. Licia segera mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa peneleponnya. Namun, ia tak sanggup menjawab ketika mendengar suara Ed di seberang sana. 

“Licia?” pria itu memanggilnya lagi. 

Licia berdehem. “Ada apa?” tanyanya sesantai mungkin, sedatar mungkin. 

Terdengar desahan berat. “Pakailah pakaian hangat dan keluarlah ke beranda kamarmu.” 

Licia tidak sempat bertanya ketika pria itu sudah menutup telepon. Selama beberapa saat, Licia memandangi ponselnya dengan kening berkerut. Namun, ia segera menguasai diri dan beranjak bangun. Satu tangan menahan gaunnya agar tidak jatuh ketika ia berjalan ke arah lemari. 

Dengan cepat, Licia mengganti gaun itu dengan celana santai dan kaos. Tak lupa, ia menarik keluar jaket dan memakainya sebelum keluar ke beranda kamarnya. 

Suara siulan dari sisi kiri membuat Licia menoleh. Ia terbelalak melihat Ed duduk di pagar beranda kamarnya, menghadap ke arah beranda Licia yang berjarak setidaknya dua meter. Kakinya tergantung di udara. 

“Jika aku melompat ke sana, apa kau akan memaafkanku?” tiba-tiba pria itu berkata. 

“Aku … apa? Kau … tidak, maksudku … kenapa kau mau melompat? Ke sini? Maksudmu … dari sana ke sini?” Licia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika memahami kata-kata Ed barusan. 

Ed mengangguk. “Apa kau akan memaafkanku?” 

“Aku … tidak … maksudku, aku tidak tahu, kenapa aku harus memaafkanmu. Kau tidak melakukan apa pun yang memerlukan maafku. Aku …” 

“Aku baru saja bertingkah seperti bajingan gila di kamarmu tadi,” sebut pria itu. 

Licia ternganga, tak percaya akan bagaimana pria itu menyebut dirinya sendiri. 

“Apa itu masih terlalu bagus? Bajingan sampah?” sebut pria itu lagi. 

Licia kontan menggeleng. “Tidak, tidak. Aku mengerti. Aku …” Licia menoleh ke beranda kamar lain, khawatir jika yang lain mendengar mereka. 

“Aku akan ke sana,” putus Ed. Saat Licia kembali menoleh ke beranda kamar pria itu, ia menjerit kaget melihat Ed memanjat pagar dan sedang berjalan meniti tepian pot di dinding antara beranda mereka. 

Licia menahan napas hingga Ed benar-benar sudah tiba di berandanya. Bergegas ia menghampiri pria itu untuk memukul lengannya keras-keras. 

“Kaupikir apa yang kau lakukan?!” amuk Licia. 

Ed malah tersenyum di depannya. “Apa ini berarti kau memaafkanku?” 

“Apa itu bahkan penting sekarang? Kau bisa saja jatuh dan mematahkan lehermu, astaga!” geram Licia. 

Ed masih tersenyum. “Melihat kau begitu mengkhawatirkanku, jadi kau benar-benar memaafkanku?” 

Licia menatap pria itu dongkol. Ia memelankan suara saat berkata, 

“Bukan salahmu. Aku yang sepertinya mendesakmu terlalu jauh hanya karena aku penasaran dengan apa yang sebenarnya kau inginkan dariku. Tapi tadi, kau bahkan pergi begitu saja. Apa kau memang benar-benar menginginkanku, sekarang aku kembali ragu akan itu. Aku tidak tahu, apa yang kau inginkan dariku hingga …” 

Kalimat Licia terputus ketika bibir Ed membungkam bibirnya. Licia terkejut, tapi ia tak menarik diri. Ketika Ed menariknya semakin dekat, Licia berpegangan di lengan pria itu. Ia merasakan bibir pria itu bergerak lembut di bibirnya. Licia mendadak merasakan perutnya bergolak aneh. Lagi. 

Ketika pria itu memperdalam ciumannya, Licia tak lagi bisa memikirkan alasan apa pun yang mungkin diinginkan pria itu. Saat ini, waktu seolah berhenti. Tak ada hal lain selain mereka berdua. 

Saat perlahan Ed mengakhiri ciuman mereka, pria itu tidak langsung menarik diri. Dengan jarak yang tak lebih dari tiga senti di antara mereka, Ed mencium pucuk hidung Licia. 

“Dengarkan aku, Alicia Verayya William,” pria itu menyebutkan nama Licia. “Aku benar-benar menginginkanmu, sangat menginginkanmu, lebih dari yang bisa kau pikir atau bayangkan. Tapi, aku tidak menginginkan tubuhmu saja. Aku menginginkanmu, hatimu, segala hal dari dirimu. Karena itu, jangan lagi bertanya-tanya kenapa aku mau melakukan ini, atau apakah aku benar-benar menginginkanmu. Karena aku melakukan ini karena aku memang menginginkanmu, secara keseluruhan.

“Tapi, aku tahu kau tidak akan bisa memberikanku itu. Karena itu, tolong beri aku waktu, beri aku kesempatan, untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Kau tak perlu melakukan apa pun. Hanya beri aku kesempatan untuk berada di sisimu dan berusaha mendapatkan apa yang kuinginkan. Apakah itu sulit?” 

Licia sama sekali tak menyangka akan pengakuaan pria ini. 

“Tapi, kau … adalah playboy yang …” Lagi-lagi kalimat Licia terputus karena ciuman pria itu, meski hanya ciuman singkat. Licia menatap Ed kesal karena interupsinya. 

“Siapkan dirimu untuk kencan kita besok,” ia berkata. 

“Kencan?” Licia membeo. 

Ed mengangguk. “Tolong jangan pakai gaun. Aku hampir tidak bisa menahan diriku tadi.” 

Licia mendengus tak percaya. Sempat-sempatnya ia …

“Sampai jumpa besok, kalau begitu,” pamit pria itu seraya menarik diri. 

“Kau mau ke mana?” tanya Licia saat Ed melompat naik ke pagar beranda kamarnya. 

“Sebenarnya aku juga ingin tidur di kamarmu, tapi aku sedang berusaha mendapatkan restu dari nenekmu. Jadi, aku tidak boleh membuat nilai minus di raporku, kan?” Ed berkata santai. 

Licia mendengus tak percaya. “Jangan main-main dan turunlah. Kau bisa keluar lewat kamarku. Aku …” Kalimat Licia berganti teriakan panik dan takut, saat Ed memutar tubuh dan melompat ke pot di tembok dengan kaki kirinya. Lalu, ia mendarat di pagar beranda, sebelum melompat ke beranda dan berbalik. 

“Kau ini benar-benar …” geram Licia. 

“Aku tahu kau akan memimpikanku malam ini, karena aku pun begitu. Aku benar-benar akan bermimpi indah malam ini,” Ed berkata. “Kurasa tidak masalah meski kita tidak tidur sekamar. Toh malam ini aku masih bisa mendapatkanmu di sisiku.” 

Licia mengerutkan kening. Apa …

“Dalam mimpiku,” Ed menambahkan seraya mengerdip, membuat Licia melepas sepatu dan melemparnya ke arah pria itu. 

Ed tertawa seraya menangkap sepatu Licia. “Sampai bertemu dalam mimpiku, Licia,” katanya seraya melangkah mundur. 

Licia mendesis kesal. Memangnya apa yang ia harapkan dari pria itu? Licia memastikan kekesalannya saat ia membanting pintu kaca berandanya saat kembali ke kamar. Namun kemudian, ia mendengus pelan dan tersenyum juga. Ia menggigit bibir, teringat ciuman mereka tadi. Seketika, ia merasakan wajahnya memanas. 

Licia menggeleng, mengusir bayangan itu dan melepas sepatu kirinya. Lalu, ia melangkah ke kamar mandi. Ia perlu mencuci wajah, menyegarkan pikirannya dari segala hal tentang playboy menyebalkan itu. 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Still Into You Chapter 6-10
0
0
-Chapter 6-Tak perlu kau tahu Seberapa besar aku mencintaimuCukup kau tahuKaulah hidupku Trust Me “Siang ini, kami akan pulang.” Licia langsung mengumumkan saat ia baru saja bergabung di ruang makan. Ia bisa merasakan seluruh mata menatapnya di ruangan itu. “Besok aku harus bekerja,” Licia berkata. “Maaf, tapi aku tidak bisa hidup hanya mengandalkan uang Nenek, kan?” Sindiran Licia menimbulkan ekspresi kesal di wajah tante, om dan sepupunya yang memang bekerja di perusahaan neneknya. ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan