My Bestfriend, My Husband Bab 6-10

0
0
Deskripsi

Cerita ini bisa dibaca gratis di wattpad chapter 1-31. Untuk chapter 32-42 bisa dibaca di sini. Enjoy reading… ^^

My Bestfriend, My Husband ini bagian dari seri Just be You, ya. Dan ini list seriesnya: 

Series Just Be You

  1. Marry Me or Be My Wife
  2. Just Be You
  3. Miss Trouble vs Mr Genius
  4. Marrying My Enemy
  5. A Proposal From Mr. Stranger
  6. Miss Trouble vs Mr Genius Extra Part + Epilog
  7. Fated to Marry You
  8. Fated to Meet You
  9. Fated to be Yours
  10. To Choose an Enemy
  11. My Bestfriend,  My Husband

***

-6-

Malam Pertama

 

Ketika Dino keluar dari kamar mandi, dilihatnya Merry duduk di atas tempat tidur hotel sambil menatap ponselnya lekat dan terdengar suara percakapan dengan bahasa yang dikenali Dino dengan bahasa Korea. 

“Buruan tidur, Mer,” tegur Dino. 

“Iya, habis satu episode ini,” balas Merry. “Uh, padahal di rumah aku udah nyiapin banyak camilan buat teman nonton. Tapi, aku udah capek banget mau pulang ke rumah.” 

“Kenapa nggak pesan? Di hotel kan ada minimarket?” sebut Dino. 

“Malas,” balas Merry tanpa mengalihkan tatap dari layar. 

Dino menghela napas dan pergi ke sofa. Saat itulah, Merry mendongak dan bertanya padanya, 

“Kamu nggak tidur?” 

“Ini mau tidur,” jawab Dino sembari berbaring di sofa. 

“Di situ? Nggak di sini?” Merry menepuk tempat tidur.

Dino mengerutkan kening. 

“Oh, kamu takut tidurmu keganggu gara-gara aku, ya?” Merry meringis. “Tapi, kamu tidur di sofa gitu pasti nggak nyaman. Apa kita pesan satu kamar lagi aja?” 

“Nggak perlu,” tepis Dino. 

Merry merengut. “Aku jadi nggak enak sama kamu, No.”

“Trus, kamu maunya gimana?” Dino pasrah. 

Merry menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu tidur di sini, deh. Pakai earpod kek, tutup kuping, kek.” 

Dino menghela napas. “Aku akan tidur di situ kalau kamu berhenti nonton drama Korea,” syaratnya. 

“Satu episode lagi, beneran. Kamu ikut nonton deh, sini. Biasanya aku ketiduran sambil nonton,” ajak Merry. 

Gadis itu tak tahu betapa berbahayanya berbaring dengan seorang pria di atas tempat tidur yang sama. Terutama jika pria itu suaminya. 

Namun, Dino menuruti Merry. Ia pergi ke tempat tidur dan duduk di sebelah Merry, bersandar di kepala tempat tidur. Dino menahan napas ketika Merry bergeser mendekat padanya dan membagi pandangan akan layar ponselnya pada Dino. 

“Nih, No, noona cantik yang mau aku tunjukin ke kamu. Cantik, kan?” Merry menunjuk tokoh perempuan yang sedang berbicara. 

Standar Merry dan Dino tentang kecantikan jelas berbeda. Namun, Dino tak mengatakan apa pun. Sementara, Merry bersandar di kepala ranjang di sebelahnya dan melanjutkan menonton. Namun, Dino tak bisa fokus menonton karena keberadaan Merry yang begitu dekat di sebelahnya. 

Di tengah kekhawatiran Dino akan fokusnya, tiba-tiba ia mendengar Merry terisak. Seolah situasinya sekarang belum cukup buruk, kini Merry juga menangis karena tokoh utama drama yang ditontonnya itu menangis. 

“Mer, itu cuma drama, nggak beneran,” hibur Dino sembari mengusap kepala Merry. 

“Tapi, tetap sedih banget, No …” isak Merry. Bahkan, isakannya semakin keras. 

Merry benar, kehebohannya ketika menonton drama Korea sudah upgrade. Dulu, Merry hanya menangis sendiri tanpa suara. Dulu, dia hanya meneteskan air mata beberapa kali. Namun, kali ini …. Dino menghela napas dan menarik Merry agar bersandar di bahunya. Dino mengusap lembut kepala Merry dalam usahanya menenangkan Merry. Siapa sangka, tugas pertamanya sebagai suami Merry adalah menenangkan Merry yang menangis karena drama Korea. 

Akhirnya, setelah empat puluh menit mereka menonton bersama dan Merry menangis selama tiga menit, Merry tertidur dengan posisi kepala bersandar di bahu Dino. Dino menunggu sampai Merry lebih lelap dalam tidurnya sebelum mengambil alih ponsel dari tangan Merry, mengamankannya di meja samping tempat tidur. Lalu, ia melepaskan kacamata Merry dan meletakkannya di samping ponsel gadis itu. 

Dino kemudian mengangkat Merry dan membenahi posisi tidurnya. Gadis itu sempat mengigau keras, membentak lebih tepatnya, mengatakan balonnya kurang, sepertinya balon untuk persiapan pernikahan mereka tadi. Dino tersenyum geli mengingat itu. Ia membaringkan Merry dengan hati-hati dan menyelimutinya. 

Setelahnya, Dino turun dari tempat tidur dan menatap Merry selama beberapa saat. Siapa sangka, di malam pertama pernikahannya ia akan menemani Merry menonton drama Korea sampai gadis itu tertidur. 

***

Ketika terbangun pagi itu, Merry sendirian di tempat tidur. Ia menoleh mencari kacamata yang absen dari matanya dan menemukannya di meja samping tempat tidur. Setelah memakai kacamata, Merry menatap sekeliling ruangan untuk mencari Dino dan terkejut melihat Dino tidur di sofa. Merry buru-buru turun dari tempat tidur dan menghampiri Dino. 

“Dino …” panggil Merry pelan. 

Dino hanya menggumam pelan, tapi belum membuka matanya. Tak ingin membangunkan Dino, Merry duduk di atas karpet di samping sofa tempat Dino berbaring. Ia memutuskan untuk menunggu sambil menatap Dino yang tertidur. Merry menunggu Dino bangun sambil memainkan karpet di bawahnya. 

Untungnya, sepuluh menit kemudian Dino mulai mengerjapkan matanya dan terbangun. Dino tampak terkejut ketika menatap Merry. 

“Mer …” Suara Dino terdengar berat dan serak. 

Merry tersenyum. “Pagi, Suami …” sapanya. 

Dino mengerjap.

“Kamu kenapa tidur di sini?” tanya Merry sembari menepuk pelan sofa itu. “Semalam aku ngigau keras banget, ya? Atau, aku nyanyi? Atau jangan-jangan … aku banyak gerak dan nendang kamu dari tempat tidur, ya?” cemas Merry. 

Dino mendengus geli, lalu beranjak duduk. Dia bergeser dan menarik Merry untuk duduk di sebelahnya. 

“Semalam aku ngapain kamu?” tanya Merry khawatir. 

Dino berdehem. “Semalam kamu tidurnya di tengah-tengah gitu.” 

“Ah …” Merry meringis menyesal. “Sorry,” ucapnya sungguh-sungguh. “Makanya, untung aja kita beli tempat tidurnya dua buat di kamar kita.” 

Dino tersenyum geli dan mengangguk. 

“Pasti nggak nyaman ya, tidur di sofa? Pegal, kan, badanmu?” Merry menepuk pundak Dino. 

Dino menggeleng. 

“Ah, sini aku pijatin, No,” tawar Merry seraya memutar bahu Dino. 

“Apa? Nggak usah, Mer. Lagian, kamu mana bisa mijat, sih?” tolak Dino. 

“Jangan ngeremehin. Aku sering spa. Aku tahu dikit, lah,” pamer Merry. 

“Mer, nggak perlu …” Dino sudah akan menarik diri, tapi Merry menahan bahunya. 

“Cobain dulu, deh.” Merry mulai memijat bahu Dino. 

Dino tampak kaku duduk di tempatnya. 

“No, kamu nggak pa-pa?” tanya Merry heran. 

Dino menggeleng. 

Merry mencondongkan tubuh ke depan hingga kepala mereka sejajar. “No?” 

Dino menoleh dan tampak kaget. Sangat kaget sepertinya, sampai-sampai dia mendorong Merry dan membuat Merry nyaris terjungkal dari sofa. 

“Dino!” pekik Merry kesal. 

Dino berdehem dan berdiri. “Sori, aku perlu ke kamar mandi.” 

Dino lalu berdiri dan berjalan cepat ke kamar mandi. Merry mendesis kesal dan menyusul Dino. 

“No, aku belum selesai! Coba sini …” Merry membuka pintu yang dilewati Dino beberapa saat lalu dan membeku ketika melihat Dino membuka kaus di depan matanya. 

Merry refleks berteriak dan menutup matanya rapat-rapat. 

“Merry, kamu tuh emang …” Dino terdengar geram. 

Sorry, I didn’t mean to …” Merry berjalan mundur, masih memejamkan mata. Namun, ia kemudian tersandung dan seketika oleng ke belakang. Merry memekik panik, tapi tak berani membuka matanya. 

Detik ketika ia jatuh ke belakang, ia merasakan sesuatu menahan kepalanya membentur lantai. Merry perlahan membuka mata dan terkejut melihat wajah Dino berada tepat di depan wajahnya. 

“Dino …” 

“Tutup matamu. Aku belum pakai baju.” Ucapan Dino seketika membuat Merry kembali menutup matanya rapat-rapat. 

Merry merasakan Dino mendaratkan kepala Merry perlahan ke atas lantai, lalu menarik tangannya. 

“Hitung sepuluh detik, dan jangan nyusul aku ke kamar mandi,” Dino berkata. 

Merry mengangguk, masih memejamkan matanya. Ia pun mulai menghitung sampai sepuluh, lalu berhati-hati membuka matanya. Pintu kamar mandi di depannya sudah tertutup dan Dino sepertinya sudah di dalam. Merry menghela napas lega dan perlahan bangun. 

Merry merengut menatap pintu kamar mandi. Seumur hidupnya, tak pernah terbayangkan ia akan melihat tubuh telanjang Dino. That’s so iyuh ….

***

 

-7-

Selamat Menempuh Hidup Baru

 

“Mer, ini harus banget kayak gini, ya?” tanya Dino sembari berjalan dalam keadaan kedua tangan Merry menutup matanya. 

“Biar surprise,” jawab Merry. “Aku sendiri nih, yang dekor rumah kita.” 

Dino terpaksa menurut. Meski ia harus berjalan agak miring karena Merry yang lebih pendek darinya. 

“Kita udah di dalam rumah, nih. Siapin hatimu,” beritahu Merry. 

Dino sudah menyiapkan hatinya sejak semalam. Sejak mereka diresmikan sebagai suami-istri. Sesungguhnya, ia tak begitu terkejut akan kelakuan aneh Merry kali ini. Dino sudah terbiasa dan ia selalu bisa mengikuti tingkah ajaib Merry. 

Ketika Merry akhirnya menarik tangannya, Dino menegakkan tubuh, lalu menatap sekeliling rumah barunya. Rumah yang minggu lalu masih kosong itu sudah terisi dengan perabotan bernuansa putih. 

“Ayo, kita tour rumah dulu.” Merry menggandeng tangan Dino. “Ini ruang tamu,” Merry menyebutkan, lalu mengajak Dino ke ruang tengah dengan sofa dan karpet nyaman untuk bersantai, dengan televisi layar datar di sana. 

Dari ruang tengah, Merry membawa Dino ke ruang makan dan dapur di sebelahnya. “Meski kita sama-sama nggak bisa masak, tapi kita bisa belajar masak bareng,” ucap Merry seraya tersenyum lebar. 

“Belajar masak bareng? Okay …” Dino tak dapat menahan senyum membayangkan betapa berantakannya dapur mereka nanti. 

“Sekarang, kita pindah ke ruang kerjamu,” Merry berkata sembari lebih dulu meninggalkan dapur. 

“Kamu nyiapin ruang kerjaku juga?” tanya Dino heran sembari mengikuti Merry. 

Merry mengangguk. “Dari barang-barang yang kamu kirim ke sini kemarin, ada banyak berkas-berkas kerja, buku-buku banyak juga. Jadi, aku siapin khusus ruang kerjamu di bawah. Dari jendelanya kamu bisa lihat langsung ke taman samping. Aku sendiri yang desain tamannya juga. Ada gazebo sama tempat buat duduk-duduk. Kita bisa sarapan di sana,” beber Merry. 

Dino mengikuti Merry yang masuk ke sebuah ruangan, ruang kerja Dino. Ruang kerjanya juga bernuansa putih. Dino berjalan ke meja kerjanya dan ia sempat tertegun melihat foto-foto berbingkai di meja kerjanya.

“Kemarin aku lihat kamu nyimpan foto bareng aku sama Syvia. Jadi, aku tambahin, deh,” beritahu Merry riang. 

Dino tersenyum melihat foto kelulusan mereka dari SD sampai SMA. “Thanks, Mer,” ucapnya tulus. 

Merry lalu menunjuk dinding kosong di depan meja kerja Dino. “Nanti di situ aku pajang foto pernikahan kita.”

Dino kembali tersenyum membayangkan itu. 

“Kamar-kamar lain di bawah cuma kamar tamu,” beritahu Merry ketika mereka keluar dari ruang kerja Dino. “Next, kita ke atas. Aku mau nunjukin home theatre-nya ke kamu. Aku udah lama pengen banget itu, tapi Papa nggak ngizinin ada home theatre di rumah soalnya aku pasti nggak akan pernah keluar dari sana dan lupa makan.” 

Dino mendengus pelan. “Nanti kalau kamu sampai keasyikan nonton dan lupa makan, aku bongkar, ya, home theatre-nya?” 

Merry seketika merengut. 

“Jangan sampai lupa makan, makanya,” Dino mengingatkan. 

Merry mengangguk kuat. “Aku udah nyiapin banyak camilan, kok.” 

“Makan, Mer, bukan camilan,” tegas Dino. 

“Iya, iya,” sahut Merry cepat. “Yuk, ke atas.” 

Merry menarik Dino menaiki tangga ke lantai dua. Merry membawa Dino ke home theatre. Begitu Merry membuka pintunya, ia langsung berseru, 

“Taraaa …” 

 Dino memperhatikan ruangan itu dan mengerutkan kening. Ruangan ini kedap suara. “Kamu kalau di sini jangan ngunci pintunya ya, Mer,” ia mengingatkan Merry. 

Merry menoleh heran padanya. “Kenapa?” 

“Ya, kalau ada apa-apa di dalam sini dan kamu kunci pintunya, aku kan nggak tahu. Kalau kamu ketiduran pas nonton, kamu teriak dari sini, kamu jatuh dan pingsan pas di sini, kan nggak kedengaran dari luar. Pastiin aja aku bisa ngecek kamu selama kamu ada di sini,” urai Dino. 

Merry manggut-manggut. “Oke. Next, kita ke kamar tidur!” seru Merry riang. 

Dino tak yakin Merry benar-benar memperhatikan apa yang ia katakan barusan. Namun, ia toh mengikuti Merry keluar dari ruangan itu dan pergi ke kamar tidur. Ketika memasuki kamar tidur, Dino sempat melongo di pintunya. 

Ruangan itu begitu luas, memiliki dua ruangan lain di dalamnya. Ruangan pertama adalah walk in closet dan pintu satunya menuju kamar mandi. Lalu, di pojok ruangan itu ada satu set sofa dan meja kaca. 

Sementara, ruangan besar bernuansa putih itu memiliki dua tempat tidur yang terpisah jauh, masing-masing di ujung ruangan. Setidaknya tempat tidur mereka terpisah lima meter. Di samping salah satu tempat tidur, ada rak yang penuh dengan buku-buku. Lebih tepatnya, novel. Jelas itu tempat tidur Merry. 

Merry lalu berlari dan melompat ke tempat tidurnya dan melambaikan tangan pada Dino ketika ia sudah berbaring. Dino mendekat pada gadis itu, lalu menoleh pada tempat tidurnya di ujung lain benua. 

“Ini … tempat tidur kita harus jauh banget gini ya, Mer?” tanya Dino. 

“Biar tidurmu nggak keganggu, No,” jawab Merry. 

“Tapi, nggak pa-pa nih, kita baru nikah udah pisah ranjang gini?” ungkit Dino. “Nanti kalau pelayan di rumah ini pada ngomong macam-macam gimana?” 

Merry mengibaskan tangan. “Aku udah jelasin ke mereka, kok, tentang kebiasaan tidurku. Aku juga udah nyuruh mereka buat nggak kaget kalau aku tiba-tiba nyanyi tengah malam. Kata Papa, sebagian dari mereka orang dari rumahku, jadi mereka tahu kebiasanku.” 

Dino hanya mengangguk-angguk. “Tapi, kalau tempat tidur kita jauhan gini, kan susah kalau kita mau ngobrol.” 

Merry mengangkat ponselnya. “Kan, bisa chat atau telepon.” 

“Di satu ruangan gini?” Dino menyangsikan. 

Merry mengangguk tanpa ragu. “Cobain deh, kamu ke sana, ke tempat tidurmu.”

Dino menghela napas dan menurut. Ia pergi ke tempat tidurnya, duduk di sana. Tiba-tiba, Merry bernyanyi Let It Go dari tempat tidurnya, lalu bertanya dengan suara keras pada Dino, 

“Kedengeran banget, nggak?” 

“Nggak,” dusta Dino. Meski tempat tidur mereka berjauhan, jika Merry berteriak, Dino tentu bisa mendengarnya. Namun, berbicara dengan nada normal juga tidak akan terlalu jelas terdengar. Terbukti Merry di seberang sana bertanya lagi dengan keras, 

“Kedengeran nggak, No?” 

“Nggak!” balas Dino sama kerasnya. 

Merry mengangguk-angguk percaya. Meski jika gadis itu lebih peka lagi, dia seharusnya tahu, jika Dino menjawabnya, itu berarti Dino mendengarnya. 

Detik berikutnya, ponsel Dino berbunyi. Merry menelepon. Dino mengangkat teleponnya dan mendengar Merry berbicara, “Kalau ngobrol kita bisa telepon kayak gini.” 

“Oke,” jawab Dino pendek.

Oh iya, nanti di samping sofa itu aku mau pasang foto pernikahan kita,” beritahu Merry. 

Dino menoleh ke arah yang disebutkan Merry dan mengangguk. “Oke.” 

Trus, di paviliun belakang itu ada kamar staf sama pelayan. Dan ada dapur kotor di belakang,” Merry berkata. “Kalau ruangan lain di lantai ini masih banyak yang kosong. Aku nggak tahu mau dipakai apa. Mungkin nanti kalau aku punya hobi baru, bisa aku pakai.” 

“Hobi baru macam apa, misalnya?” tanya Dino. 

Nyanyi, ngelukis, bikin kerajinan. Bisa jadi studioku nanti. Atau, nanti aku bikin perpustakaan aja kali, ya?” 

“Oke, terserah kamu aja,” jawab Dino sembari menatap Merry yang sudah duduk di sisi tempat tidur, menghadap Dino. 

Jadi, kamu suka kamar ini? Kamu suka hasil dekorku di rumah ini?” Merry bertanya antusias. 

Ketika melihat senyum Merry di seberang sana, Dino hanya bisa menjawab, “Suka banget. Makasih ya, Mer.” 

Merry tak menjawab, tapi ia menutup telepon dan menghampiri Dino sambil berlari, lalu duduk di sebelah Dino dan menoleh padanya. 

“Sama-sama, No.” Merry tersenyum lebar. “Mulai hari ini, aku akan jadi istri rasa sahabat terbaik buat kamu. Selamat menempuh hidup baru, Dino.” 

Dino tersenyum meski hatinya terasa getir. “Selamat menempuh hidup baru, Mer.” 

Entah, hidup baru macam apa yang akan dijalani Dino, tapi dengan Merry ada di sana bersamanya, Dino tak berhak untuk protes. Karena saat ini, salah satu impiannya sudah terwujud. Ia menikah dengan gadis yang ia cintai, cinta pertamanya. Meski gadis itu tak pernah tahu perasaan Dino padanya. 

Namun, dalam hati Dino bertekad. Ia akan berusaha membuat Merry jatuh cinta padanya. Ia ingin berbagi kebahagiaan yang ia rasakan ini bersama Merry. Berapa lama pun yang ia perlukan, Dino tak peduli. Meski ia butuh lima puluh tahun, seratus tahun, ia akan membuat Merry jatuh cinta padanya. 

Meski itu akan sulit, tapi Dino akan mencoba. Meski itu sangat tidak mungkin, tapi Dino akan mencoba. 

***

 

-8-

To Have a Wife

 

Dino terlonjak kaget ketika Merry sudah berdiri di depan pintu kamar mandi ketika Dino keluar. 

“Ya ampun, Mer, kamu ngapain, sih? Ngagetin aja,” tegur Dino kesal. 

Merry nyengir. “Sorry. Aku penasaran aja, semalam aku ribut, nggak?” 

Dino menghela napas sembari merapatkan jubah mandinya. “Kamu cuma ngigau aja. Kamu nyuruh aku ngambilin balon yang nyangkut di atap.” 

“Ah …” Merry meringis. “Sorry.” 

Dino tersenyum geli. “Nggak masalah, kok. Cuma itu aja kamu ngigaunya. Nggak ada nyanyi.” 

Merry manggut-manggut. “Tapi, pas aku bangun tadi, bantalku udah di lantai, lho. Untung banget kita nggak bareng tidurnya. Bisa jadi kamu yang jatuh di lantai.”

Dino mendengus geli. “Kalau kita tidur bareng, aku akan meluk kamu biar kamu nggak banyak gerak pas tidur.” 

“Iyuh …” Merry bergidik ngeri. “Awas, awas, aku mau ke kamar mandi.” Merry mendorong Dino minggir dan masuk ke kamar mandi. 

Dino keluar dan menutup pintu kamar mandi untuk Merry. Setelahnya, Dino pergi ke walk in closet untuk berganti pakaian. Begitu ia sudah berpakaian, Dino memutuskan untuk menunggu Merry di sofa sambil membaca email laporan tentang perusahaan keluarga Merry yang sekarang diurusnya. Seminggu sebelum pernikahannya, Dino diresmikan sebagai CEO di perusahaan papa Merry. 

Setelah dua puluh menit menunggu Merry, akhirnya gadis itu keluar dari kamar mandi dan berlari ke walk in closet sambil memanggil Dino dan memintanya menunggu untuk turun bersama. Memang itu yang dilakukan Dino sedari tadi. 

Setelah Merry keluar, dia langsung menghampiri Dino dan berdiri di depannya, memamerkan gaun santai selututnya yang berwarna biru. Merry lalu menunjuk dirinya sendiri dan menunjuk Dino. Dino mengerutkan kening tak mengerti. 

“Kita couple. Aku nyamain warna bajuku sama warna bajumu,” sebut Merry. 

Dino tersenyum geli dan mengangguk, lalu berdiri. “Ayo turun.” 

Merry mengangguk bersemangat dan berjalan bersisian dengan Dino meninggalkan kamar mereka. Ketika mereka turun ke bawah, dua orang pelayan dan seorang koki menunggu di ruang makan. Merry mengatakan jika mereka boleh pergi, lalu mengajak Dino ke dapur. 

“Kita mau ngapain ke sini? Kan, udah disiapin sarapannya di meja makan tadi,” heran Dino.

“Aku pengen bikinin sarapan buat kamu. ini akan jadi sarapan pertama yang aku bikin buat kamu sebagai istrimu,” ucap Merry riang. 

“Tapi, kamu kan nggak bisa masak,” sebut Dino. 

“Iya, makanya aku mau bikin roti aja. Tapi, rotinya spesial. Bentar, ya?” Merry tampak begitu bersemangat hingga Dino tak tega menolak. 

Dino akhirnya duduk di kursi dapur dan mengamati Merry yang menyiapkan roti tawar dan beberapa selai.

“Dino mau selai apa? Atau mau pakai meises?” tanya Merry. 

“Pakai mentega aja, Mer,” jawab Dino. 

Okay.” 

Merry kemudian tampak fokus melakukan sesuatu dengan roti tawarnya. Gadis itu menggunakan pisau buah ke rotinya, entah apa yang dilakukannya. Namun, beberapa saat kemudian, gadis itu tampak frustrasi dan mencari sesuatu, lalu ia melihat gunting. Dino sampai tersedak saking kagetnya ketika melihat Merry memotong rotinya dengan gunting. 

“Mer, kamu … apain rotinya?” tanya Dino ragu. 

Don’t worry, don’t worry. I’m almost done with it,” sahut Merry santai. 

Dino berdehem. Ia akhirnya sadar apa yang Merry lakukan ketika melihat roti tawar itu berganti bentuk menjadi hati. Merry lalu mengolesinya dengan mentega, menumpuknya, dan mengantarkannya pada Dino. Dino sudah akan membawa piringnya pergi ketika Merry menahan tangannya. 

“Aku belum selesai,” ucap Merry. “Aku mau bikin jus buah. Kamu mau jus apa?” 

Dino mau tak mau ragu untuk yang satu ini, tapi ia akhirnya menjawab, “Sama kayak kamu aja.” 

Okay. Stroberi, ya?” riang Merry. 

Gadis itu mengambil buah stroberi dari kulkas lalu pergi ke arah blender. Dino ternganga melihat Merry langsung memasukkan sekotak stroberi ke dalam blender. 

“Mer, kamu yakin bikinnya gitu?” Dino bertanya dengan sangat hati-hati. 

Merry mengangguk mantap. “Stroberi nggak perlu dikupas kali, No.” 

Iya, Dino tahu. Namun, langsung memasukkannya seperti itu juga rasanya … tidak benar. Dino bahkan melihat masih ada daun di pucuk stroberinya. Bahkan setelahnya, Merry langsung menutup blender. 

“Mer, itu nggak dikasih air? Atau sirup, atau apa gitu?” Dino juga tak tahu bagaimana membuat jus, tapi ia tak yakin apa yang dilakukan Merry itu benar. 

“Oh iya, air!” seru Merry. 

Gadis itu mengambil air dari teko di sebelahnya dan mengisi blender dengan air hingga setengahnya. Takaran yang meragukan, tapi Dino tak tega untuk protes. Merry menutup blendernya, menekan tombolnya, tapi tak ada yang terjadi. Merry mengerutkan kening bingung. 

“Kok nggak nyala ya, No? Masa rusak? Kan, baru beli.” Merry mengetuk-ngetuk blendernya. Namun, ketika tak ada yang terjadi, Merry memukulnya dengan keras. Sebentar lagi mungkin dia akan membantingnya. 

Sebelum itu terjadi, Dino menghampiri gadis itu dan memeriksa blendernya. Hingga ia menyadari satu hal. Dino mengangkat kabel blendernya. 

“Belum dicolokin, Mer,” beritahu Dino. 

“Oh … pantesan,” gumam Merry dengan polosnya. “Colokin, gih.” 

Dino menuruti Merry. Setelahnya, Merry menekan tombol blendernya dan blender itu bekerja. Merry tersenyum puas. 

“No, kamu duduk lagi deh, di sana. Jangan gangguin aku masak,” kata Merry tiba-tiba. 

Dino tahu itu adalah hal yang patut diperdebatkan, tapi ia mengalah lagi. Dino kembali ke kursinya tanpa mengatakan apa pun dan hanya mengamati Merry yang mengambil dua mug dengan motif kembar. Gadis itu memamerkan mug di tangannya pada Dino. 

Couple mug!” seru Merry riang. 

“Kayaknya pakai gelas kaca biasa ada deh, Mer,” ucap Dino. 

Merry menggeleng. “Bagusan pakai ini. Biar kita kayak couple.” Merry tersenyum lebar. Tentu saja, Dino lagi-lagi mengalah. 

Setelahnya, gadis itu mematikan blender dan menuangkan jus stroberinya ke dua mug kembar itu. 

“Kok nggak kayak yang biasanya di restoran atau kafe ya, No?” gumam Merry. 

Dino berdehem. “Yang kamu buat itu kayaknya lebih enak, Mer,” Dino berkata untuk menenangkan Merry. 

Merry tersenyum lebar dan mengangguk. “Ayo sarapan,” ajaknya sembari mengangkat kedua gelas berisi jus stroberi mereka. 

Dino mengangguk dan membawa piring berisi roti buatan Merry berbentuk hati tadi. Dalam perjalanan ke ruang makan, Dino melirik gelas di tangan Merry dan sempat melihat sesuatu berwarna hijau melayang di bagian atas jus stroberinya. 

Baiklah, sedikit daun stroberi tidak akan membunuhnya. Itu hanya daun. 

***

Merry mengernyit ketika merasakan daun stroberi di mulutnya. Merry mengambil tissue dan membersihkan lidahnya. 

“No, jangan diminum. Ada daunnya,” kata Merry. 

Dino mengangkat gelasnya dan menunjukkan isinya pada Merry. Sudah habis. Merry meringis. 

“Rasanya juga aneh. Kok kamu habis, sih?” heran Merry. 

Dino menggeleng. “Enak, kok.” 

Merry mengernyit aneh. “Seleramu aneh, tahu.” 

Dino hanya berdehem. “Rotinya enak. Makasih, ya.” 

Merry tersenyum mendengar itu. “Buruan dihabisin. Habis itu kita makan masakannya koki baru kita. Ini beda sama koki di rumahku. Kata Papa, masakannya enak.” 

Dino mengangguk. “Kamu makan duluan aja.” 

Merry menggeleng. “Aku nungguin kamu aja. Biar aku ambilin buat kamu, ya?” 

Tanpa menunggu jawaban Dino, Merry mengambil piring dan mengisinya dengan nasi putih. Satu sendok. Dua sendok. Tiga sen …

“Mer, cukup,” Dino berkata. 

“Oh … okay. Satu lagi, deh.” Merry memindahkan satu sendok nasi lagi ke piring Dino. “Kamu harus makan banyak biar makin gemuk, No. Katanya, cowok yang bahagia setelah nikah itu pada gemukan. Besok aku cariin susu penambah berat badan, ya?” 

Dino tersedak, lalu menggeleng keras. “Nggak … uhukk … perlu …” 

Merry meringis. “Selesaiin dulu makannya, baru ngomong,” tegur Merry sembari memberikan segelas air putih pada Dino. 

Dino mengangguk dan meneguk air putihnya. “Berat badan nggak menjamin kebahagiaan seseorang, Mer.” 

Merry berpikir sebentar. “Iya juga, sih. Kak Daniel juga berat badannya nggak tambah tapi dia bahagia-bahagia aja. Keluarganya Kak Daniel juga. Atau mungkin, mereka emang gen-nya nggak bisa gemuk ya, No?” 

“Anggap aja gitu,” balas Dino sebelum menelan potongan terakhir roti di piringnya. 

Merry manggut-manggut, lalu memeriksa lauk di meja makan. Ia kemudian memindahkan beberapa sendok daging tumis ke piring Dino. Lalu, ia mengambil sepotong telur mata sapi. Ada tumisan sayuran juga, entah daun apa itu, tapi Merry mengambilnya dan meletakkannya di piring Dino. Lalu, udang goreng tepung. Lalu …

“Mer, itu cukup,” Dino berbicara, menghentikan Merry yang akan mengambil ayam goreng mentega.

“Oh …” Merry menatap piring di tangannya, lalu menatap Dino, “okay.” Merry memberikan piring di tangannya pada Dino. 

Merry lalu mengambil nasi dan daging tumis untuk dirinya sendiri, lalu duduk di sebelah Dino. 

“No, kamu hari ini kerja, nggak?” tanya Merry. 

“Aku libur selama seminggu ini,” jawab Dino. 

“Harusnya kita bulan madu atau liburan gitu, ya?” Merry nyengir. 

“Kamu pengen liburan?” tanya Dino. 

Merry menggeleng, lalu berbisik pada Dino, “Kita kan, nggak mungkin pergi bulan madu.” 

Dino berdehem. 

Merry lalu memasang senyum terbaiknya. “Tapi, kalau kamu pengen liburan …” 

Okay. Kalau kamu pengen liburan, besok kita bisa pergi liburan,” ucap Dino. 

Yes!” pekik Merry senang. “Makasih, No.” Merry tersenyum lebar. “Sebagai ucapan makasihku, nanti malam aku masakin kamu, deh.” 

“Um … nanti malam aku mau ngajak kamu makan malam di luar,” balas Dino. 

“Oh, ya?” Merry tak bisa menahan rasa senangnya. 

Dino mengangguk. “Makan malam spesial.” 

Merry semakin antusias mendengarnya. “Okay, ayo kita makan malam di luar. Kemarin aku habis beli gaun bagus banget dan aku udah nggak sabar mau makainya. Nanti malam aku pakai, ya?” 

Dino tersenyum dan mengangguk. “Jangan lupa buat list kamu mau liburan ke mana dan apa yang pengen kamu lakuin selama liburan.” 

“Siap, Komandan!” seru Merry antusias. 

Ah, sudah lama ia tidak pergi liburan dengan Dino. Sungguh, sudah sangat lama.

***

 

-9-

Beda Server

 

Malam itu, semua berjalan lancar. Dino sudah menyiapkan makan malam romantis untuk Merry dan dirinya. Ada lilin di meja makan. Bahkan, Dino menyewa seluruh restoran malam itu. Merry terpukau ketika memasuki restoran yang berdekorasi romantis, sesuai pesanan Dino. Bahkan, gadis itu berseru gembira ketika melihat lilinnya. Mengingat ini bahkan bukan ulang tahunnya, seharusnya tidak perlu ada lilin. Menggemaskan, kan? 

Dino dan Merry sudah duduk di meja makan. Dino memakai pakaian terbaiknya, menata rambut pendeknya sedemikian rupa, dan di depannya Merry memakai gaun barunya yang cantik. Meski lagi-lagi bagian bahunya terbuka. Namun, Dino menahan diri untuk protes ketika Merry memakai jas putih di atas bahunya. 

“No, ini romantis banget. Kayak di drakor-drakor gitu,” ucap Merry antusias. 

Dino tersenyum. Memang itu tujuannya. Jika perlu, ia akan menciptakan semua adegan-adegan romantis di drama Korea kesukaan Merry. Hanya demi mendapatkan hati gadis itu. 

Namun, siapa sangka, Merry mematahkan harapan dan usaha Dino secepat ini. Dino sudah akan memanggil pelayan restoran ketika ia melihat rombongan keluarga kecil yang dikenalinya di pintu restoran. Dino mengerutkan kening ketika melihat Daniel dan Syvia yang menggendong Danish, masuk ke restoran itu. Apa Syvia juga menyewa restoran ini malam ini? Apa ada kesalahan untuk jadwalnya? 

“No, aku ngundang Kak Daniel sama Syvia.” Merry memberikan jawaban untuk tanya dalam hati Dino tadi, dengan ekspresi bahagia yang begitu polos. 

Oh, Merry, istrinya. Di drama Korea mana ketika tokoh utamanya makan malam romantis, mereka malah membawa rombongan keluarga kecil begini? 

“Mer … kamu yakin, ini makan malam spesial buat aku juga?” tanya Syvia ragu begitu ia berdiri di samping Merry. 

Merry mengangguk. “Kan, ini makan malam bareng pertama kita setelah aku sama Dino nikah. Makanya spesial.” Merry menoleh pada Dino. “Iya kan, No?” 

Dino hanya bisa mengangguk pasrah. Ia sempat melihat Daniel menunduk dan tertawa tanpa suara. Sementara, Syvia menatap Dino ragu. Dia menunjuk lilin dan bertanya pada Dino, 

“Kamu … beneran pengen aku ikut makan malam kayak gini?” 

Dino berdehem. “Sori, Vi. Beda server. Kamu tahu Merry.” 

Syvia berusaha menahan tawa. 

“Duduk deh, Vi, Kak,” tawar Merry. Namun, ketika gadis itu menoleh ke samping, dia menyadari tidak ada kursi selain kursinya dan kursi Dino. Tentu saja bukan Merry namanya jika begitu saja kehabisan akal. Dia pergi ke meja lain dan menggeser kursi. Beberapa pelayan dan manajer restoran langsung menghampiri meja mereka, sementara Daniel membantu Merry memindahkan kursinya. 

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang manajer restoran. 

“Kursinya kurang,” Merry menjawab. “Oh iya, sama tolong kursi bayinya satu, ya? We have a baby here.” Merry menunjuk Danish. 

Manajer restoran menatap Dino bingung. Tentu saja, ini bukan rencananya, tapi Dino mengangguk. Ia bahkan tak akan terkejut jika sepanjang acara makan malam nanti, Daniel dan Syvia akan sibuk menahan tawa untuknya. 

***

“No? Kamu nyiapin kue juga?” Mata Merry melebar melihat pelayan muncul dengan troli makanan, membawa kue berhias stroberi di atasnya. Merry menoleh pada Dino yang duduk di sampingnya, menuntut jawaban. 

Dino berdehem. “Buat dessert.” 

“Ya, tapi nggak harus kue utuh juga. Kan, sepotong juga cukup,” jawab Merry. “Tapi, makasih ya, No.” 

Dino menatap Merry selama beberapa saat.

“Kenapa? Makanku belepotan, ya?” Merry menutup mulutnya cemas. 

Dino menggeleng, lalu tersenyum. “Aku yang makasih. Buat kejutan spesialnya.” Dino mengedik ke arah Syvia dan Daniel di seberang meja. 

Merry tersenyum puas. Sementara, ia mendengar dengusan geli Daniel dan Syvia. Merry menatap mereka. “Apa yang lucu?” protesnya. 

Mereka kompak menggeleng. Daniel tiba-tiba sibuk bermain dengan Danish yang duduk di antara dirinya dan Syvia, sementara Syvia menyuapi Danish. 

Ketika pelayan memindahkan kuenya ke meja, Merry terpikir sesuatu. “Lilin,” sebutnya. “Pakai tiup lilin, yuk? Biar seru.” 

Dino sempat melongo ketika menatapnya, tapi pria itu kemudian mengangguk. Dino menoleh pada pelayan dan meminta lilin kecil untuk dipasang di kue. Tak lama, pelayan itu kembali membawa lilin dan menyalakan lilin yang sudah terpasang di atas kue itu. 

“Ayo make a wish dan tiup lilinnya bareng-bareng,” ajak Merry. 

Tak ada yang menjawab selain Danish yang tampak gembira melihat kue itu. Anak itu mengulurkan tangan ke depan, berusaha meraih kuenya, tapi Daniel menarik kursinya ke belakang. Danish seketika menatap protes pada papanya, tapi Daniel hanya tersenyum geli. 

“Ini … kita mau ngerayain apa, ya?” tanya Syvia. 

“Ngerayain persahabatanku sama Dino yang kembali seperti sedia kala. Ternyata, perjodohan nggak menghancurkan persahabatan kami, kok. Aku sama dia udah sepakat, meski kita nikah, kita akan selalu jadi sahabat yang baik,” ucap Merry bangga. 

“Wow …” gumam Daniel. “Kalian amazing.” 

Merry mengangguk setuju. “I think so. Sekarang, let’s make a wish.” 

Merry menutup mata, mengucapkan harapan dalam hatinya, berharap suatu hari ia bisa mengalami kejadian romantis seperti di drakor dan film yang ia tonton, lalu jatuh cinta dan bahagia selamanya. Merry membuka mata dan menatap Dino, Daniel, dan Syvia. 

“Udah, ya? Tiup lilinnya, ya?” Merry memastikan. Mereka mengangguk, lalu mereka meniup lilinnya bersama-sama. Setelahnya, hanya Merry dan Danish yang antusias bertepuk tangan. 

Merry lalu menoleh pada Dino, teringat harapannya tadi. “Seandainya aku sama Dino juga nikah karena jatuh cinta kayak Kak Daniel sama Syvia, it would be perfect.” 

 “Honestly, ada banyak hal yang lebih penting dari cinta dalam pernikahan,” ucap Syvia. 

“Semua bisa diselesaikan dengan cinta, Syvia,” debat Merry. 

“Cinta nggak se-simple itu, Mer. Apalagi pernikahan.” 

No. Kamu yang bikin ribet sendiri,” sahut Merry. 

Well, aku yang udah nikah.”

“Dan kamu bahagia,” imbuh Merry. “Aku juga udah nikah, anyway.” 

“Dan kamu juga bahagia. Itu yang terpenting, Mer,” tandas Syvia. 

Merry termenung. Bahagia? 

Merry menoleh pada Dino dan bertanya, “Kamu bahagia No, nikah sama aku?” 

Dino menatap Merry selama beberapa saat, lalu tersenyum dan menepuk puncak kepala Merry dengan lembut. “Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia, Mer,” ucapnya. 

Merry tersenyum haru. “Aku bahagia, No. Aku nikah sama orang yang tepat.” 

That’s the point,” cetus Syvia, membuat Merry menoleh padanya. “Kamu akan bahagia kalau kamu bersama orang yang tepat. Orang yang bisa membuat kamu merasa nyaman.” 

Merry tersenyum dan mengangguk. “Siapa yang butuh cinta kalau bisa nikah sama sahabat terbaik kayak Dino, ya, kan?” 

Syvia mendengus geli. “Percuma kamu nonton drakor sebanyak itu kalau kamu sepayah ini dalam cinta, Mer.” 

Merry mendesis kesal. “Masalahnya, di real life tuh jatuh cinta nggak semudah di drakor. Di drakor tuh, orang pada gampang aja jatuh cinta. Berantem, musuhan, eh tahu-tahu jatuh cinta. Ketemu, lihat-lihatan, eh, jatuh cinta. Di real life boro-boro.” 

“Ya, makanya, standarmu jangan ketinggian, dong. Percuma juga mau berantem, musuhan, atau lihat-lihatan sama seribu cowok, tapi nggak ada yang mirip oppa atau ahjussi kesukaanmu, kamu nggak akan jatuh cinta sama mereka,” timpal Syvia. 

Merry menghela napas. “Kayaknya aku nggak akan bisa jatuh cinta deh, Vi. Kamu benar. Standarku sekarang ketinggian banget.” Merry lalu menoleh pada Dino. “Untung aku nikahnya sama kamu, No. Kalau nggak, bisa-bisa aku langsung dicerai sama suamiku gara-gara kecanduan drakor.” Merry meringis. 

Dino tersenyum geli. “Asal kamu nggak sampai lupa makan gara-gara nonton drama Korea, aku nggak masalah.” 

Merry mengangguk, lalu menunjuk kue stroberi di tengah meja. “Mau itu, No,” pintanya.

Tanpa protes, Dino memotong kuenya untuk Merry dan memindahkan sepiring kue dan setumpuk stroberi ke depan Merry. 

Congratulation for our wedding, No,” ucap Merry pada Dino sembari tersenyum lebar. 

Dino tersenyum padanya. “Congratulation, Mer.”

Syvia mendengus pelan. “Congratulation for you, Guys.” 

Daniel mengikuti, “Yeah, congratulation.” 

Merry tersenyum puas. Perayaan malam ini sukses. Makan malam spesial yang disiapkan Dino sukses. 

***

 

-10-

As Long As You’re Here

 

“Aku nggak nyangka, aku akan liburan ke Korea sama kamu, No,” ucap Merry riang ketika mereka dalam perjalanan menuju bandara petang itu. Merry duduk di jok belakang dengan Dino di mobil Dino yang disetiri sopirnya. “Aku belum sempat ke sana sejak dua tahun terakhir. Papa nyuruh aku fokus kuliah biar cepat lulus, jadi nggak pernah ngasih izin aku liburan sebelum kuliahku selesai.” 

Dino tersenyum geli. “Kamu semangat banget. Semalam kamu hampir nggak tidur gara-gara sibuk bikin list tempat yang mau kamu kunjungin, kan?” 

Merry nyengir. “Aku udah nyiapin list banyak tempat menarik. Kamu juga pasti senang nanti.” 

Dino mengangguk. 

“Kamu selama di luar negeri pernah main ke Korea, No?” tanya Merry. 

“Tiga tahun lalu, aku pergi ke sana buat nemuin Kak Dito yang ada urusan di sana,” jawab Dino. 

Merry merengut. “Coba dulu aku nggak bikin masalah dan jauhin kamu, pasti kita udah liburan bareng di sana.” 

“Iya, sih. Mungkin tiap tahun kita udah liburan ke sana pas aku aku pulang,” sahut Dino. 

 “Huaaa … I regret it now,” sesal Merry seraya menunduk lesu. 

“Kita bisa mulai dari tahun ini. Liburan ke sana setiap tahun,” hibur Dino. 

Merry menoleh pada Dino dan tersenyum lebar sambil mengangguk. Saat itulah, ponsel Dino berbunyi. 

“Bentar,” pamit Dino sebelum mengangkat teleponnya. “Halo?” 

Dino mengerutkan kening sesaat, lalu melirik Merry. Dino menaikkan kacamatanya dan tampak khawatir. 

“Oke. Aku ke sana sekarang,” Dino berkata, lalu menutup teleponnya. 

“No, kenapa? Ada masalah apa?” tanya Merry, tak bisa menyembunyikan kecemasannya. 

Dino tersenyum. “Mer, kamu nanti berangkat dulu aja,ya? Aku akan langsung nyusul begitu urusanku selesai.” 

Merry terkejut mendengarnya. “Urusan apa?” 

“Um … kantor. Ada masalah dikit.” Dino tersenyum tak nyaman. “Maaf, ya? Aku harus balik dulu ke kantor. Nanti begitu selesai, aku langsung nyusul kamu.” Dino mengecek jam tangannya. “Kalau harus balik, kamu bisa telat nanti. Aku turun di depan aja. Maaf ya, aku nggak bisa ngantar kamu sampai bandara.”

Dino lalu berbicara pada sopir, meminta mobil ditepikan di depan. Namun, Merry refleks berbicara, 

“Nggak usah. Kita balik aja ke kantor.” 

Dino menoleh kaget padanya. “Mer, nanti penerbanganmu …” 

“Aku nggak mau pergi sendiri,” putus Merry. “Aku bisa ikut ke kantormu dan nanti kita berangkat bareng.” 

“Mer, kamu udah lama pengen liburan ini. Aku nggak mau ganggu rencanamu,” ucap Dino. 

Merry menggeleng. “Sekarang rencanaku berubah. Aku nggak mau liburan sendiri ke Korea. Aku mau ke sana sama kamu. Jadi, aku nggak akan pergi tanpa kamu.” 

“Mer, kamu nggak perlu ngelakuin itu buat aku,” debat Dino. 

Merry menggeleng. “I do it for myself. Aku nggak akan pergi ke mana pun tanpa kamu, No,” ucapnya penuh tekad. 

Dino mengangkat alis. “Oh, ya?” 

Merry mengangguk tanpa ragu. 

Dino tersenyum geli, lalu berbicara pada sopir untuk membawa mereka ke kantornya. Merry lalu mengamati Dino yang menghela napas dan tampak khawatir. Merry menepuk punggung tangan Dino. 

“Kamu pasti bisa beresin masalahnya,” Merry berkata. 

Dino tersenyum dan mengangguk, lalu membalik tangannya dan menautkan tangannya dengan tangan Merry. Merry menatap tangan mereka selama beberapa saat. Nyaman. Syvia benar. Merry menikah dengan orang yang tepat. 

***

Dino menghela napas lega ketika akhirnya berhasil menyerang kembali hacker yang menyerang perusahaannya. 

“Siapa yang ngelakuin ini, No?” tanya Pram, asisten sekaligus kepala tim keamanan perusahaannya. 

Dino menggeleng. “Nanti begitu semua data kita dapat, kamu cari tahu. Setelah itu, kita reset sistem keamanan kita,” perintahnya. 

Pram mengangguk, lalu menggantikan Dino di kursi monitor utama. Untungnya ada Pram yang mengulur waktu sampai Dino datang. 

“Nanti aku tes sendiri sistem baru kita,” Dino memberitahu Pram. 

“Kalau kamu, pasti bisa bobol tanpa kesulitan,” protes Pram. 

“Kamu juga sama, Pram. Kamu sengaja aja main-main sama pelakunya, kan?” tebak Dino. 

Pram nyengir. “Aku sengaja ngulur waktu sampai kamu datang biar kamu lihat sendiri lawan kita. Aku nggak nyangka aja, ada yang nyerang perusahaan istrimu kayak gini. Kayaknya ini bukan serangan biasa.” 

Dino menghela napas dan menepuk bahu Pram sebelum meninggalkan ruang kontrol keamanan. Ia pun pergi ke ruangannya, tempat Merry menunggu. 

Ketika Dino masuk ke ruangannya, ia berhenti di pintu melihat Merry duduk di sofa dalam keadaan mata tertutup. Gadis itu tertidur. Dino mengecek jam. Sudah jam sembilan. Ia terlalu sibuk menghalangi serangan cyber tadi bahkan membalas serangan mereka. 

Dino menghampiri Merry dan berlutut di samping sofa. Ia menatap wajah tidur Merry, seketika merasa bersalah. Ia ingin membuat Merry bahagia, mewujudkan semua yang gadis itu inginkan, tapi disinilah ia. Membuat Merry menunggunya bekerja, melewatkan liburannya, bahkan gadis itu belum makan malam. 

“Mer,” panggil Dino pelan. 

Merry mengigau pelan. 

“Mer, bangun. Ayo makan dulu,” ajak Dino lembut. 

Merry mengigau keras, “Aku liburan dulu sama Dino ya, Vi. Jangan kangen …”

Dino semakin merasa bersalah mendengar itu. Dino mengusap lembut rambut Merry. “Mer, maafin aku, ya?” 

Merry mengernyit, sebelum perlahan membuka mata dan mengerjap. Gadis itu tampak mengantuk. 

“Dino?” 

“Iya, aku. Maaf ya, aku bikin kamu nunggu sampai ketiduran di sini,” ucap Dino sarat penyesalan. 

Merry tersenyum dan menggeleng. “Gimana urusanmu? Udah selesai? Ada masalah apa sebenarnya?” 

Bahkan di saat seperti ini, gadis itu masih sempat-sempatnya menanyakan masalah Dino. Dino semakin merasa bersalah ketika menjawab, 

“Ada yang perlu aku pastiin lagi. Nanti aku pesanin penerbangan tercepat buat kamu dan kamu pergi duluan aja. Aku …” 

“Aku nggak mau,” potong Merry seraya merengut. 

“Mer, maaf, aku ngacauin liburanmu. Aku …” 

“Aku udah bilang, aku nggak mau pergi kalau nggak sama kamu,” tandas Merry. 

Dino tertegun, lalu tersenyum. Dino sudah akan membalas ketika terdengar ketukan di pintunya. Begitu pintu itu terbuka, Pram masuk. 

“Kamu udah tahu siapa pelakunya?” tanya Dino seraya berdiri. 

Pram mengangguk. “Dia … orang yang kita kenal.” Pram tampak tak nyaman. “Dan barusan dia ngirim pesan kalau … besok dia ke sini buat nemuin kamu.” 

Dino menghela napas. Sepertinya, ia tidak bisa pergi berlibur ke mana pun dalam waktu dekat. Dino lalu kembali berlutut di depan Merry yang sudah beranjak duduk. 

“Mer, aku kayaknya nggak bisa pergi ke mana pun dalam waktu dekat. Karena itu, kamu …” 

“Aku akan nunggu sampai masalahmu beres,” potong Merry. “Nggak usah khawatir sama aku. Aku selalu bisa nonton drakor biar nggak bosan.” 

Dino tersenyum dan menepuk puncak kepala Merry. “Aku janji, begitu masalah ini selesai, aku akan nurutin kamu pergi ke mana pun yang kamu pengen.” 

Deal,” sahut Merry riang. 

Dino sedikit lega melihat senyum itu. Hanya itu yang ia butuhkan. Selama Merry ada di sisinya dan tersenyum seperti itu, tak ada yang Dino khawatirkan. 

***

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya My Bestfriend, My Husband Bab 11-15
0
0
Cerita ini bisa dibaca gratis di wattpad chapter 1-31. Untuk chapter 32-42 bisa dibaca di sini. Enjoy reading… ^^My Bestfriend, My Husband ini bagian dari seri Just be You, ya. Dan ini list seriesnya: Series Just Be YouMarry Me or Be My WifeJust Be YouMiss Trouble vs Mr GeniusMarrying My EnemyA Proposal From Mr. StrangerMiss Trouble vs Mr Genius Extra Part + EpilogFated to Marry YouFated to Meet YouFated to be YoursTo Choose an EnemyMy Bestfriend,  My Husband*** 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan