I'm Single and I Know It Bab 1-5 (Akhlakless Series #3)

0
0
Deskripsi

Dear Beloved Readers, 

Untuk chapter 1-22 cerita ini bisa dibaca di wattpad I'm Single and I Know It, ya… Chapter yang dipublish di sini cuma 5 chapter awal dan chapter yang ada di full version, di novel dan ebook. Enjoy reading! ^^

Oh iya, makasih buat semua support-nya, ya… Semoga menjadi berkah buat kalian.. ^^ 

***

Jodoh tak ada yang tahu, katanya. 

Kalau jodoh, tak lari ke mana, katanya. 

Apalagi jodoh Nugie. Bucinnya setengah mati, bukannya berjodoh, malah diselingkuhi. Bucin...

Bab 1

Wanita Bergaun Hitam

 

“Di, nanti pas lempar bunga, jangan lupa ditangkap ya, bunganya? Habis ini kan, giliran kita yang nikah,” Nugie mewanti-wanti kekasih hatinya, pujaan hati tercinta, Diana. Satu-satunya cinta dalam hidupnya. 

Diana tersenyum dan mengangguk. Mana senyumnya manis sekali. Bukan apa-apa, Nugie takut diabetes saja. 

Hingga tabrakan keras di bahu Nugie membuat Nugie terdorong ke depan. Nugie menoleh dan siap menyemprot pelakunya, tapi pelakunya dengan santainya melenggang melewati Nugie.

“Heh!” panggil Nugie. 

Pelaku yang menabraknya tadi, ternyata seorang wanita. Itu pun, dengan gaun serba hitam. Wanita gila macam apa yang memakai pakaian serba hitam di pesta pernikahan? Tentunya, wanita yang sekarang berbalik dan menatap Nugie itu. 

Gila! Lipstick-nya pun warna hitam. Mungkin sebelum ke sini dia minum tinta cumi lebih dulu. 

“Seenggak bergunanya manusia, harusnya kamu nggak bikin orang lain susah, kan?” ucap wanita itu tiba-tiba. 

“Apa? Lo bilang gue nggak berguna, gitu?” Nugie meradang. 

Wanita gila itu tersenyum miring. “Hotel ini punyaku. Kamu barusan ngehalangin jalanku. Di hotelku. Beruntung kamu nggak kuusir sekarang. Dasar nggak berguna.” 

Nugie saking shock-nya sampai mematung, tak bisa bergerak, tak bisa berkata-kata. Nih, pasti satu spesies kayak Adel sama Danita, nih! Nugie membatin ngeri. 

Dahlah, daripada diusir. 

“Kamu nggak pa-pa?” tanya Diana dengan lembut sembari memegangi lengan Nugie. 

Nugie menoleh pada Diana dan menggeleng sambil tersenyum menenangkannya. Seharusnya wanita itu seperti Diana begini. Lembut, perhatian, bukan kayak setan. 

Nugie menegakkan tubuh dan menggandeng Diana ketika melanjutkan langkah, dengan bangga hadir sebagai tamu undangan pernikahan itu, karena pernikahan berikutnya yang akan ia hadiri, adalah pernikahannya sendiri. Tentu saja, dengan wanita pujaan hatinya tercinta. 

***

Ketika memasuki ruang tunggu mempelai wanita, di samping Alin, sang Mempelai Wanita, sudah ada dua sahabat Reva yang lainnya, Viona dan Manda. Reva menghampiri mereka sembari celingukan. 

“Si Kembar mana, Vi?” Reva menatap Viona yang sedang membenahi make up Alin. 

“Sama papanya,” jawab Viona. 

“Berguna juga suami lo,” komentar Reva. 

Viona hanya geleng-geleng kepala mendengar komentar itu. 

“Bumil lagi ngidam apa?” tanya Reva sembari duduk di sebelah Manda yang tengah hamil muda. 

“Udah nggak ngidam. Lo jangan aneh-aneh, deh,” tegur Manda. “Nyesal gue ngasih tahu lo gue ngidam mangga waktu itu.” 

“Kenapa emangnya? Gue kan, cuma beliin lo mangga yang lo pengen.” Reva menyilangkan kaki. 

“Ya, tapi nggak satu pick up juga, Rev! Lo pikir gue mau jualan mangga?!” omel Manda. 

“Ck, ck, ck … lo tuh, harus mikirin masa depan anak dalam kandungan lo. Kalau lo ngidam mangga dan gue beliin mangga sebiji-dua biji, apa fungsinya? Kan, kalau dibeliin banyak, sekalian biar anak dalam kandungan lo belajar berbisnis,” Reva menerangkan niat baiknya. 

“Reva emang gila, sih,” celetuk Alin. “Lihat aja, datang ke nikahan gue pakai gaun hitam, lipstick hitam.” Alin meliriknya kesal. 

“Ini armor gue,” balas Reva. “Biar nggak ada cowok bego yang berani sok cakep depan gue.” 

“Lo nggak usah pakai lipstick hitam gitu juga orang-orang udah pada takut lihat lo, Rev!” sembur Alin. 

“Calon manten nggak boleh marah-marah, ntar batal nikahnya,” komen Reva asal. 

“Mulut kalau ngomong emang selalu ngajak ribut, ya!” geram Alin. 

Reva mengerdip menanggapi kekesalan sahabatnya itu. “Guntur mana? Mau gue ledekin, tapi dari tadi gue nggak lihat dia.” 

Baru saja kalimat Reva selesai, pintu ruangan itu terbuka dan muncullah calon suami Alin, Guntur, bersama seorang wanita yang dikenal Reva sebagai tante Alin. 

“Lho, sudah ada teman-temannya Alin di sini,” sambut wanita paruh baya itu sembari menghampiri mereka. 

“Guntur, what the f***? Lo mau nikah brewokan gitu? Ngerasa ganteng lo, hah? Ngaca sana!” Reva langsung beraksi. 

Guntur melotot memperingatkan, sementara tante Alin itu tampak kaget. Namun, Reva bisa mendengar dengusan geli Manda di sebelahnya. Reva menoleh. 

“Amit-amit jabang bayi, Man!” Reva mengingatkannya. “Malah ngetawain. Kasihan bayi lo kalau keluarnya model dia.” 

Viona tampak menunduk dalam untuk menyembunyikan tawanya, sementara Alin berkomentar,

“Gue kemarin udah bilang gitu ke Guntur, tapi dia bilang, dia lebih keren kayak gitu.” 

“Tahu gitu tadi gue bawain hadiah kaca sepuluh meter buat ditempel di setiap dinding rumah baru kalian, ya?” celetuk Reva asal. 

Tante Alin menanggapi itu dengan dengusan. “Tapi, Reva, semua temanmu sudah menikah, kamu kapan?” Dari nada bicaranya saja sudah jelas jika wanita itu meledek Reva. Memangnya, hanya dia yang bisa melakukannya?

Reva menghela napas dan mendongak menatap wanita paruh baya yang berdiri di depan Alin itu. 

“Tante, Reva turut berduka cita atas meninggalnya suami Tante bulan lalu,” Reva berkata. 

Tante Alin itu seketika memasang tampang sok berduka.

“Tapi …” Reva melanjutkan, “Tante kapan?” 

Di belakang tante Alin yang sudah melotot ngeri, Guntur menepuk jidat, sementara Manda dan Alin nyaris menyemburkan tawa, tapi Viona lebih parah. Dia tiba-tiba membungkuk dalam dan membekap mulutnya sendiri, tapi bahunya bergetar. Mustahil jika dia menangis, bisa dipastikan dia sedang tertawa. 

“Karena kamu seperti ini, makanya nggak ada laki-laki yang mau sama kamu!” tuding tante Alin. 

Reva sok kaget dan terkesiap dramatis. “Justru itu yang Reva harapkan, Tante. Nggak ada laki-laki yang cukup pantas buat bersanding sama Reva.” Reva tersenyum menang. 

Tante Alin itu menggeram kesal, lalu berbalik dan pergi begitu saja. Guntur menghela napas dan geleng-geleng kepala. 

“Kamu tuh, emang suka cari masalah ya, Rev,” omel Guntur. 

“Yang benar dong, kalau ngomong. Gue nggak suka cari masalah. Gue cuma terlalu jujur aja,” Reva membela diri. “Lagian, kalian semua juga tahu. Dia nikah sama omnya Alin kan, nguber duit doang. Bahkan, dia nggak pernah malu minta-minta duit ke orang tuanya Alin. Heran, mungut pengemis dari mana sih, Om lo?” Reva menoleh pada Alin. 

Alin mendengus geli. “Kalau Mama lihat, pasti Mama yang paling keras ketawanya,” komentarnya. “Mama juga sebal banget sama dia. Gara-gara dia, om gue berubah. Padahal, dulu Mama sama Om dekat banget. Mama ngerasa nyesal banget di hari Om pergi karena hubungan mereka yang merenggang.” 

Reva menghela napas. “Lo juga hati-hati, makanya. Pastiin lo kalau nikah, suami lo ntar nggak kayak tante lo itu.” 

“Aku di sini, Rev!” geram Guntur. 

“Iya, gue ngomong langsung di depan lo, nih!” balas Reva. “Daripada gue ngomong di belakang lo, kan? Biar lo tahu, kalau sampai lo bikin Alin nangis, lo berurusan sama gue. Dan lo tahu, I’m the crazy bitch here.” 

Guntur mendengus pelan, lalu tersenyum. “Kamu nggak perlu khawatir tentang itu. Aku nggak mau jadi musuh orang gila kayak kamu. Alin udah ngewanti-wanti aku sejak pertama kami kenalan.” 

“Aku udah ngingatin kamu ya, Yang, kalau aku punya pawang super galak,” Alin berkata geli. 

Reva memperhatikan bagaimana Alin dan Guntur saling menatap, lalu tersenyum, seperti idiot. Memang, bodohnya orang-orang yang jatuh dalam ilusi bernama cinta itu tak ada obat. 

***

 

Bab 2

Hadiah Pernikahan 

 

Ketika semakin banyak tamu yang datang untuk menemui Alin di ruang tunggu mempelai wanita, Reva pamit keluar. Ia benci keramaian. Reva pergi ke taman di depan pintu grand ball room hotel itu. Reva mengeluarkan sebuah rokok elektrik dari tas hitam kecil di tangannya, tapi tiba-tiba rokok itu meluncur jatuh dari tangannya. Reva mengepalkan tangan, lalu membukanya lagi, dan melakukan itu sampai beberapa kali, sebelum berlutut untuk mengambil rokoknya. 

Saat itulah, ia mendengar suara bentakan seorang pria, “Trus, kamu akan nikah sama dia?!” 

Reva menyibakkan semak-semak di depannya untuk mengintip keributan itu. Ia suka menonton keributan. Tampak seorang pria dengan pakaian staf hotelnya berkacak pinggang di depan wanita yang … sepertinya pernah dilihat Reva. 

Ah, Reva ingat. Wanita itu datang dengan pria menyebalkan yang menghalangi jalannya di depan ball room tadi. 

“Kenapa kamu belum juga putus sama dia, Di? Bukannya kamu cuma cinta sama aku?” tuntut pria itu. 

Reva tersenyum ketika terpikirkan ide menyenangkan lainnya. Reva mengeluarkan ponsel dari tasnya dan mulai merekam kejadian itu. 

“Aku memang cuma cinta sama kamu, Bas, dan aku pasti akan nikah sama kamu. Tapi, aku nggak bisa putusin Nugie sekarang,” ucap wanita itu. 

Wow! Drama ini seru sekali!

“Aku nggak suka lihat kamu sama dia, Di!” si Pria tampak frustrasi. 

“Aku juga nggak suka sama dia!” si Di itu membalas. “Tapi, sebelum aku mutusin dia, aku harus dapatin apa yang seharusnya aku dapatin karena udah bersusah-susah bertahan di sampingnya selama ini.” 

“Apa maksudmu?” tanya si Pria tak mengerti. 

“Dengar, Bas, dia udah ngasih aku cincin tunangan. Cincin itu nanti bisa kita jual dan beliin cincin baru. Dia juga udah ngasih aku uang buat belanja keperluan acara tunangan. Dia bilang, setelah tanggal pernikahan kami ditentukan, dia akan ngasih aku tabungan pernikahannya buat belanja keperluan pernikahan. Nanti, begitu aku udah dapat uang itu, aku akan putusin dia.” 

Reva ingin sekali bertepuk tangan mendengar ide cerdas wanita itu. Namun, Reva tak ingin mengganggu pertunjukan itu. Pertunjukan yang kemudian berakhir dengan ucapan cinta, pelukan mesra, bahkan ciuman menggebu-gebu. Lagi-lagi para idiot yang terjebak ilusi cinta. Mereka tak tahu, apa yang akan mereka hadapi setelah ini. 

***

Nugie tersenyum lebar ketika Diana kembali duduk di kursi di sebelahnya. Wanita itu tersenyum pada Nugie dan menggenggam tangan Nugie. 

“Oh iya, Di, tadi aku lihat mamamu,” Nugie berkata. “Tapi, pas aku sapa tadi, mamamu kayaknya nggak dengar, soalnya dia lewat aja gitu tanpa noleh.” 

“O-oh, ya?” Diana tersenyum canggung. “Maaf, ya … Mama pasti hectic. Ini kan, nikahannya sepupuku.” 

 Nugie manggut-manggut. “Tapi, sepupumu pasti tajir banget, ya? Acara nikahnya mewah banget.” Nugie menatap meja-meja bundar yang ditutup taplak putih di ruangan itu. “Tapi, pernikahan itu yang penting bukan mewahnya. Iya kan, Di?” 

Diana tersenyum kecil dan mengangguk. 

“Aku tuh, pengennya kita nikah nggak usah mewah-mewah, tapi sakral.” Nugie nyengir lebar. “Daripada dipakai buat nyewa gedung mewah gini, mending duitnya buat nanti keperluan setelah kita nikah. Apalagi kalau nanti kita punya anak. Pasti makin banyak keperluannya.” 

Nugie tak bisa menahan senyum membayangkan kehidupan pernikahannya dengan Diana nanti. Setelah pernikahan sederhana yang sakral, undangan khusus keluarga dan sahabat dekat, lalu mereka akan tinggal di rumah Nugie yang sederhana bersama ibu Nugie. 

Namun, impian Nugie itu dibuyarkan oleh suara lantang yang terdengar dari stage di depan sana. Nugie ternganga melihat wanita bergaun hitam yang menabraknya tadi berdiri di atas podium, berbicara di mic. Mau apa wanita itu di sana? Menyanyi lagu kematian?

“Perkenalkan, saya sahabat mempelai wanita yang paling bahagia hari ini,” urai wanita itu. “Saya ingin memberi hadiah kecil untuk sahabat saya.” 

Seketika, perhatian para tamu di meja-meja bundar di ruangan itu tertuju pada wanita itu. Dengan gaun hitam, bibir hitam, wanita itu tampak seolah dia akan mengutuk pernikahan ini. 

Namun, Nugie salah. Bukan pernikahan ini yang dikutuk wanita itu. Melainkan Nugie. Dan kutukan itu terjadi ketika wanita itu memutar video yang konon katanya adalah hadiah kecil untuk sahabatnya. Dan ternyata, itu adalah video di mana ada seorang wanita yang mirip pujaan hati Nugie, merencanakan pengkhianatan yang kejam dengan pria yang tak dikenal Nugie. Adapun korban rencana kejam mereka itu adalah seseorang bernama Nugie, yang sialnya, itu adalah namanya. 

Nugie menoleh pada Diana, sang Pujaan Hati. 

“Gie, aku bisa jelasin …” Diana berkata. 

“Jelasin apa, Di?” tanya Nugie dengan ekspresi memelas. “Yang di video itu bukan kamu, kan?” Nugie berharap, meski ia tahu itu harapan bodoh, tolol, dan gila. Anggap saja Nugie rabun. Cinta itu rabun. 

Jika ada ketiga teman tak berakhlaknya di sini, mereka pasti sudah menertawakan Nugie dengan heboh. Dibanding pengkhianatan Diana, Nugie lebih sulit menerima ledekan, bully­-an, cacian, dan segala macam penghinaan dari ketiga teman tak berotaknya itu. Tahukah Diana betapa Nugie selalu mengagungkan Diana di depan ketiga manusia sampah itu? 

“Ini nggak mungkin terjadi!” Nugie berdiri dari kursinya dan bergegas pergi ke depan, ke tempat wanita bergaun hitam itu berada. 

Tak hanya Nugie, ada satu wanita lagi yang maju ke depan, tapi Nugie tak memperhatikan siapa dia. Nugie berhenti di sebelah wanita bergaun hitam itu, sementara wanita lain yang maju tadi berdiri di sisi lain wanita bergaun hitam itu. 

“Kamu …” Kalimat Nugie terputus karena tamparan keras yang mendarat di wajahnya. 

Nugie memegang pipinya yang terasa panas. Parah nih, gamparan tangannya berasa digampar gaban. Nugie sampai merasa lehernya seolah terkilir akibat gamparan super itu. Ketika ia menatap ke depan, dilihatnya wanita yang tadi maju bersamanyalah yang menampar Nugie, dan Nugie mengenalinya sebagai mama Diana. Sementara, wanita bergaun hitam tadi sudah membungkuk untuk menghindari tamparan yang sepertinya ditujukan untuknya itu. Dan Nugie yang menjadi tumbalnya. 

“Berani-beraninya kamu mempermalukan anakku!” seru mama Diana pada wanita bergaun hitam itu. 

Hebatnya, wanita bergaun hitam itu masih berani menjawab, “Tante, anak Tante itu yang mempermalukan dirinya sendiri. Tante punya mata dan pastinya bisa lihat rekaman video tadi. Kalau Tante nggak bisa lihat itu, mending Tante buruan periksa ke dokter.” 

Sadis sekali mulut wanita itu!

Namun, mama Diana lebih sadis lagi karena tiba-tiba menuding Nugie, “Pasti kamu kan, yang mau menjebak anakku?!” 

Mantap sekali tuduhannya. Nugie yang patah hati, Nugie juga yang dituduh di sini. 

Untungnya, Diana kemudian datang dan menarik mamanya, “Ma, udah! Jangan bikin aku makin malu!” 

Nugie menatap Diana yang tampak tak berani menatap Nugie. Pujaan hatinya itu lantas pergi bersama mamanya, meninggalkan Nugie berdiri di sana, di depan semua tamu undangan, seperti orang bodoh. 

Seolah itu belum cukup, wanita bergaun hitam itu tiba-tiba bertanya, “Kamu suka hadiahku?”

Nugie seketika melotot pada wanita itu. “Aku sumpahin kamu patah hati selama seribu tahun!” 

Sebagai balasannya, Nugie mendapat tamparan lain, dan wanita itu beralasan, “Ah, maaf. Tanganku kepeleset.” 

Nugie menahan tangis dan langsung kabur dari sana. Malu lah, kalau nangis di depan semua tamu undangan itu, terlebih di depan wanita iblis bergaun hitam itu. 

***

 

Bab 3

Nugie si Bocah Ingusan

 

Kegemparan terjadi ketika tiba-tiba Nugie minta bertemu di apartemen Awan dengan kondisi berderai air mata macam lagi main sinetron. Begitulah, cerita patah hati Nugie dimulai.

“Hah? Gimana, gimana, Gie? Lo ditampar siapa sama siapa?” Wiki tampak ragu mendengar cerita sedih Nugie yang konon katanya kena double kill. Awan pun tak percaya Nugie mengalami hal memalukan dan mengerikan seperti itu. 

“Nyokapnya pujaan hati gue sama cewek iblis yang gue nggak kenal,” tangis Nugie. 

“Gie, udahan dulu nangisnya. Muka lo udah jelek jadi tambah kayak gembel. Itu ingusnya … pasti asin …” celetuk Awan sembari mengulurkan tangan pada Ramli. 

“Apa? Minta sumbangan?” Ramli bertanya dengan dongonya. 

“Tisu, sapu tangan, kain, serbet, lap pel, apa kek, buat ngelap ingusnya Nugie,” sentak Awan tak sabar. 

Ramli mengangguk, lalu menatap sekeliling dan menyambar seonggok kain, lalu memberikannya pada Awan, dan Awan menyerahkannya pada Nugie si Bocah Ingusan. 

Nugie menerima kain itu dan mengusapkannya ke wajahnya, bahkan menyusut ingus di sana juga. Lalu, Wiki berteriak panik, 

“Woy, jaket gue itu!” 

“Ramli yang ngambilin,” balas Awan tanpa dosa. 

“Ya, gimana? Kirain serbet. Mirip. Tuh, kotak-kotak juga, kayak kain serbet di rumah Babeh,” jawab Ramli dengan polosnya. 

Wiki melemparkan makian kasar pada Ramli dan Awan, sementara Nugie semakin bersemangat menyusut hidung di jaket Wiki. Wiki mengembuskan napas lelah, seolah mengungkapkan, 

Dahlah, pasrah aja punya teman yang akhlaknya nggak pernah kelihatan hilalnya.’ 

“Tapi, gimana ceritanya lo bisa dapat double kill begitu?” tanya Awan penasaran. “Mana satunya dari camer, satunya dari cewek nggak dikenal pula. Aneh-aneh pasti lo, ya …” tuduh Awan. Tuduh dulu, dibuktikan kemudian. 

“Enak aja lo nuduh gue aneh-aneh!” Nugie melempar jaket Wiki bekas ingusnya pada Awan, seketika Awan melempar itu pada Ramli, lalu Ramli melemparnya pada Wiki. 

“Gue lempar kalian semua dari lantai ini, ya!” Wiki meledak juga menghadapi tingkah manusia-manusia purba itu. 

“Elo, Wik, ada temannya sedih bukannya dihibur malah diancam,” tegur Ramli sok benar. 

Wiki sudah akan menerjang ke arah Ramli, tapi ditahan Awan. 

“Sabar, Bro, udah tahu otak separuh lo ladenin, sih …” Awan berkata. 

“Gini-gini gue CEO Wonderland, tahu!” pamer Ramli sembari sok-sokan memasang pose menyangga dagu layaknya bos. 

“Teman model begini kayaknya halal dibunuh, Bro,” dengus Wiki. “Nggak pa-pa, gue ikhlas bunuh dia.” 

“Mulut lo, ya! Sembarangan main bunuh-bunuh! Gue trauma tahu, berhadapan sama pembunuh!” sambar Ramli. 

Mendengar itu, Wiki akhirnya mengalah dan kembali duduk dengan tenang. 

“Gue kalau jadi lo juga mungkin trauma, Ram,” timpal Awan. “Sampai diculik gitu, kan, ya, lo sama bini lo.” 

“Bukan masalah itu,” debat Ramli. “Gue sempat ditabok bini gue sendiri pake sepatu soalnya.” 

Mendengar itu, Wiki kembali akan menerjang Ramli sambil meraung, “Matiin aja yang begini, matiiiiin!” 

Awan kerepotan menahan Wiki, dikata saklar lampu asal matiin aja. Anak sultan itu. Sementara, Nugie kembali menangis sambil menunduk di pangkuan Awan, tapi ternyata itu hanya modus untuk mengelap ingus di sana. 

“Gie, gue bunuh juga lo habis ini!” ancam Awan kesal. 

‘Punya teman nggak ada yang bener otaknya, heran deh …’ gerutu Awan dalam hati. 

***

“Gila! Jadi, maksud lo … si Diana selama ini selingkuh dan dia berencana morotin duit lo, baru mutusin lo dan nikah sama cowoknya?” tanya Awan. 

Nugie mengangguk lesu. 

“Gila, sih! Lo yang bucinnya abadi aja diselingkuhin. Nggak ada otak kali tuh, cewek!” geram Wiki. Tak biasanya dia semarah ini. “Seenggaknya, balikin lah, semua duit dan barang pemberian lo buat dia. Kalo gue sih, nggak sudi ya, harus mengikhlaskan pemberian ke mantan yang udah selingkuh dan sengaja morotin gitu.” 

“Ya, lo nggak pernah punya mantan, mana ngerti, sih, Wik?” celetuk Awan. 

Wiki melotot kesal pada Awan, mau protes, tapi kok, benar. 

“Padahal, duit nggak seberapa aja diporotin. Jahat banget pujaan hati lo itu, Gie,” ucap Ramli sedih. 

“Nggak usah pakai ngehina bisa, nggak?” Wiki menegur Ramli. 

“Ya, emang jahat itu ceweknya, ngehina gimana?” protes Ramli. 

Dahlah, mending Wiki diam saja kalau lawannya Ramli. 

“Trus, lo mau gimana?” tanya Awan. “Mau balas dendam ke mantan lo itu atau mau nuntut nyokapnya?” 

Nugie tiba-tiba menyipitkan mata tajam, penuh tekad. “Gue mau balas cewek iblis yang udah ngehancurin hubungan gue sama Diana.” 

“Ngehancurin gimana?” celetuk Ramli. “Justru dia itu udah nyelamatin elo dari orang yang salah, harusnya lo malah makasih sama dia.” 

Wiki menatap Ramli heran. “Tumben bener ngomongnya.” 

Ramli menunjuk bluetooth earphone di telinganya. “Itu kata Tata. Ini dari tadi dia ikut dengerin kita ngobrol.” 

“Sumpah, Ram, gue capek banget punya teman model lo. Pengen gue hibahin aja, tapi pasti nggak ada yang mau,” ucap Wiki lelah. 

“Sembarangan aja sama laki orang!” bentak Ramli tiba-tiba, sebelum dia menambahkan, “Kata Tata.” 

Wiki mendengus sinis. Dasar para bucin, tiada akhlaknya sepasang juga! 

***

“Udah gila lo ya, Rev!” teriak Alin begitu pesta pernikahannya usai. Sahabatnya itu bahkan sampai repot-repot menyusul ke suite Reva hanya untuk mengomel. 

Reva yang duduk bersandar di kepala tempat tidur sembari menonton televisi, menguap sambil menggaruk kuping. “Gue udah ngantuk, jadi lo tunda dulu deh, ngomelnya. Besok aja, bisa?” Reva tersenyum tanpa niat pada Alin. “Lagian, lo kan, mau malam pertama. Jangan buang-buang energi lo di sini.” 

Sebagai balasannya, Alin menyambar bantal di samping Reva dan memukulkannya ke arah Reva berkali-kali. 

“Bisa-bisanya lo ngacauin pesta pernikahan gue kayak gitu! Lo tuh sahabat gue apa musuh gue, sih?” omel Alin berkali-kali. 

Reva melompat turun dari tempat tidur dan berdiri di seberang tempat tidur dari tempat Alin berdiri. 

“Whoa whoa, hold up, hold up!” Reva berusaha menenangkan Alin. “Ada yang harus dikoreksi dari pernyataan lo itu. Gue nggak ngacauin pesta pernikahan lo, tapi gue ngelakuin hal baik.” 

Alin mendengus tak percaya. “Hal baik?” 

Reva mengangguk tanpa ragu. “Gue udah bantu orang yang terjebak ilusi cinta sampai jadi idiot yang dimanfaatin ceweknya.” 

“Tapi, harus banget lo ngelakuin itu di pesta pernikahan gue?! Terlebih, cewek brengsek itu sepupu gue! Malu-maluin gue yang ada!” bentak Alin. 

“Ah, sorry. Sebenarnya, gue tadinya nggak tahu kalau dia sepupu lo sampai tante lo nyamperin gue dan nampar cowok malang korban sepupu lo itu,” terang Reva. 

Alin terbelalak ngeri. “Tante gue … nampar dia?” 

“Gue juga, sih,” aku Reva. “Soalnya dia pakai nyumpahin gue segala. Tangan gue emosi, deh.” Reva mengedik cuek. 

“Gila emang lo, ya!” Alin memanjat tempat tidur untuk menyeberang ke tempat Reva sambil mengayun bantal, tapi Reva sudah kabur lebih dulu ke kamar mandi dan mengunci pintunya. 

“Lin, sabar, Lin! Manten baru kok kayak cewek PMS!” seru Reva dari dalam kamar mandi.

“Sabar pala lo tuh, sabar! Udah habis sabar gue ngadapin kelakuan brutal lo!” bentak Alin. 

Sementara, Alin masih terus mengomel, Reva menghela napas. Ia menoleh ke arah bath up dan akhirnya memutuskan untuk berendam air hangat dulu sebelum tidur. Sembari menunggu Alin pergi, Reva akan berendam air hangat sambil menyalakan lilin aromaterapi. 

Damai sekali hidup Reva. 

***

 

Bab 4 

Misi Berat Nugie

 

Sudahlah kemarin patah hati terberat Nugie, niatnya hari Senin itu Nugie mau bolos dan menikmati patah hatinya di kamar sambil mendengarkan lagu sedih, eh, dipanggil Pak Bos ke kantor. Ketika Nugie tiba di ruangan Farrel, pria yang masih jomblo di umur hampir kepala empat itu tampak mondar-mandir gelisah, gundah-gulana. Padahal yang patah hati Nugie. 

“Pak Farrel nyari saya?” tanya Nugie. 

 Farrel mengangguk dan menyuruh Nugie duduk di sofa tamunya di pojok ruangan. Nugie duduk di sana, lalu melihat ada secangkir kopi yang tampak masih panas di sana. Tanpa bertanya, Nugie langsung mengangkat cangkir itu dan menyeruput kopinya. 

“Itu punya saya, Gie,” ucap Farrel dengan nada agak kesal. 

Nugie menatap Farrel yang baru akan duduk, lalu menyodorkan cangkir itu. “Pak Farrel mau minum bekas saya?” 

Farrel mengembuskan napas kesal. “Kamu habiskan saja!” Lalu, pria itu duduk di sofa tunggal di sebelah Nugie. 

“Saya ada tugas buat kamu, Gie,” ucap bosnya itu. 

Nugie menatap bosnya sambil masih menyeruput kopinya, membuat suara ‘slurp slurp’ dan Nugie berhenti ketika Farrel menatapnya kesal. Nugie lalu menenggak kopi panas itu dan langsung melet-melet karena lidahnya terbakar. 

Farrel geleng-geleng kepala dan berkomentar, “Itulah akibatnya kalau kamu sembarangan ngerebut milik orang lain.” 

“Iya, Pak, saya setuju. Semoga yang suka sembarangan ngerebut milik orang lain lidahnya kebakar air panas,” timpal Nugie. 

Farrel menatap Nugie bingung, tapi akhirnya hanya mengangguk. 

“Tapi, ada apa, nih, Pak Farrel panggil saya? Apa saya mau naik gaji, Pak?” tembak Nugie. Usaha dulu lah, yang penting. Siapa tahu rezeki yang habis patah hati. 

Namun, Farrel menjawab, “Kamu akan saya angkat menjadi Kepala Editor kalau kamu bisa melaksanakan tugas dari saya ini.” 

Nugie seketika antusias. Mantap sekali. Habis tenggelam cintanya, terbitlah jabatannya. 

“Saya akan ngelakuin apa pun, Pak!” jawab Nugie semangat. Akan dia buktikan pada cinta abadinya, bahwa dia masih bisa berdiri tegak dan sukses setelah hatinya dihancurleburkan macam remukan rengginang. 

“Kamu tahu Miss Evil? Penulis novel kita yang paling populer itu?” sebut Farrel. 

“Ah, tahu, Pak. Tahu namanya aja. Miss Evil.” Nugie nyengir. “Tapi, kan, orangnya nggak pernah ke kantor, Pak. Misterius juga, nggak pernah mau datang kalau diundang acara gathering atau fanmeet, padahal banyak fans-nya.” 

Farrel menghela napas. “Nah, itu dia. Sekarang, fans-nya neror kita di website resmi penerbit, minta lanjutan novel series dia yang jadwalnya terbit bulan kemarin, tapi sampai hari ini belum terbit juga.” 

Nugie manggut-manggut. “Tapi, masalahnya apa, Pak? Apa dia pindah ke penerbit lain, Pak?” 

Farrel menggeleng. “Itu nggak mungkin. Tapi masalahnya, sejak bulan lalu, dia nggak bisa dihubungi. Jadi, kamu harus nemuin dia dengan segala cara, gimanapun caranya. Pokoknya, masuk dulu ke rumah dia, lalu tanyain tentang naskah novelnya. Dan ingat, pas kamu sampai di rumah dia, jangan bilang kalau kamu dari kantor ini.” 

Nugie manggut-mangut. “Jadi, yang terpenting saya masuk ke rumahnya dulu, Pak?” Nugie memastikan. 

Farrel mengangguk. “Setelah kamu masuk ke rumahnya, ajak dia bicara. Yang terpenting itu.” 

“Tapi … kenapa nggak Pak Farrel aja yang ke sana?” tanya Nugie bingung. 

“Kalau saya bisa, ya, saya yang ke sana. Masalahnya, setiap saya ke sana, nggak pernah sekali pun saya dibukain pintu,” ucap Farrel kesal. 

“Tapi … Pak Farrel sepertinya kenal dekat dengan Miss Evil, ya?” heran Nugie. 

Farrel menghela napas. “Dia sepupu saya, makanya dia selalu seenaknya kalau sama saya. Dan juga investor penerbit ini. Ditambah lagi, penjualan bukunya adalah yang terbaik di perusahaan kita. Karena itu, kamu harus melakukan yang terbaik buat dapatin naskah novelnya. Kamu mengerti, Nugie?” 

Nugie langsung memasang pose hormat. “Siap, Bos!” 

Begitulah, akhirnya Nugie bertolak meninggalkan kantornya menuju medan perang, ke rumah penulis famous sekaligus sepupu bosnya, Miss Evil. Nugie sebenarnya penasaran dengan Miss Evil ini. Selama ini, dia yang memegang naskah novelnya sebagai editor. Nugie sendiri menikmati kebucinan yang ditulis di novelnya. Seolah itu adalah gambaran dirinya. 

Namun, sepertinya Farrel tidak dekat dengan sepupunya itu. Atau lebih tepatnya, dia kalah power dari sepupunya itu. Ya, jelas saja. Sepupunya itu investor di perusahaannya. Dengan kata lain, dia adalah bos besar Nugie. 

Setelah berkendara dengan motornya, akhirnya Nugie tiba di depan sebuah gedung tinggi apartemen. Seketika, Nugie teringat Adel. Entah kenapa, sejak mengenal Adel, Nugie merasa, apartemen menjadi tempat yang agak keramat. Penghuni macam apa lagi yang akan ia temui kini?

Namun, Nugie harus berjuang keras. Demi menyukseskan misi yang akan menjaga keutuhan dan keberlangsungan perusahaannya. 

Ketika Nugie masuk ke lobi apartemen itu, dia celingukan. Ia menoleh ke meja resepsionis, tapi tak ada siapa pun di sana. Namun, Farrel sudah memberitahu Nugie untuk langsung naik ke lantai kamar apartemen Miss Evil saja. Jika ditahan satpam, tinggal sebutkan nama Farrel. Namun, sepertinya Nugie bisa langsung naik saja. 

Sepertinya tidak susah-susah amat. Nugie bisa dengan mudah tiba di depan pintu unit apartemen tujuannya. Nugie memencet belnya. 

“Pakeeet!” seru Nugie. 

Tak lama, pintu di depannya terbuka. Nugie langsung menyerobot masuk. 

“Permisi, boleh minta minum? Saya dehidrasi,” ucap Nugie sembari duduk berselonjor di depan pintu masuk apartemen itu. Seperti pesan Farrel, yang penting masuk rumahnya dulu. 

“Apa kamu udah gila?” 

Suara itu … terdengar tak asing. 

“Pasti Farrel yang ngirim kamu ke sini, kan?!” bentak suara itu. 

Nugie perlahan mendongak. Ia terbelalak kaget melihat wajah yang sudah dikenalinya itu. Meski saat ini, bibir itu tak berpoles lipstick hitam, tapi Nugie masih mengenalinya. Wanita bergaun hitam, berbibir hitam … wanita iblis itu!

“Kamu!” Nugie menuding wanita itu, bersamaan dengan wanita itu juga menudingnya. 

“Ngapain kamu di sini?!” Wanita itu melotot galak pada Nugie. “Kamu mata-matain aku? Dan sekarang, kamu berani nerobos masuk rumahku?!” 

Nugie menggeleng cepat. “Bu-bukan gitu, aku …” Kalimat Nugie belum selesai ketika tiba-tiba wanita itu menyambar tongkat … tidak, tombak, lebih tepatnya, dari pojok belakang pintu, lalu mengayunkannya ke arah Nugie. 

Seketika, Nugie berguling dan berdiri, lalu berlari terbirit-birit mengelilingi ruang tamu yang cukup lapang itu, sementara wanita itu terus mengejar sembari mengayunkan tombaknya. 

Gila nih, cewek! Jangan-jangan prajurit Amazon, nih!

“Tolooong!” Akhirnya Nugie berteriak. 

Nugie menoleh ke belakang dan langsung melotot ngeri ketika tombak itu dilemparkan ke arahnya. Dikata Nugie ini hewan buruan apa, dilempar tombak segala?!

Panik, ngeri, takut, Nugie langsung menjatuhkan tubuh, merebahkan diri di lantai yang keras, dan tombak meluncur di atasnya, lalu menghantam … televisi LED 60 inch

NOOO!” Ganti wanita iblis itu yang berteriak. 

Nugie mau balas yes, takut kepalanya digabrukin ke lantai. Mending pura-pura mati aja, dah. 

***

 

Bab 5 

Budak Yang Mulia Reva

 

Reva duduk dengan kaki menyilang dan tangan terlipat di dada, tatapan tajamnya bergantian menatap Farrel yang duduk di sofa seberangnya dan manusia terbodoh sedunia yang berlutut di samping sofa tempat ia duduk itu. 

“Aku akan ganti semua kerugian kamu, termasuk TV kamu …” 

“Lo pikir itu yang gue butuhin?” sengit Reva. 

“Aku akan turutin apa pun yang kamu mau, asal kamu segera kirim naskah novel lanjutan series-mu itu,” ucap Farrel. 

Reva menyipitkan mata dan mencondongkan tubuh ke depan, lalu berbicara, “Dengar ya, jangan pernah coba-coba bernegosiasi sama gue. Gue nggak suka diatur. Gue bisa nyerahin naskah itu kapan pun gue mau dan lo nggak punya hak buat ngatur gue. Lo ngerti?” 

“Tapi, Rev, fans kamu udah nungguin kamu …” 

Reva mendengus meledek mendengar kata-kata Farrel itu. “Sejak kapan lo peduli sama fans gue? Lo cuma peduli sama duit mereka, lo pikir gue nggak tahu?” 

Farrel berdehem. 

“Makanya, lo kerja yang benar. Jangan cuma minta duit dari fans gue, tapi kasih juga fan service. Kasih versi komiknya, kek, apa kek. Lo tuh owner penerbit, kreatif dikit bisa nggak, sih?” serang Reva. 

“Aku akan usahain itu, tapi untuk naskah novelnya …” 

“Kalau gitu, ada syaratnya,” Reva berkata. 

Farrel menatap Reva. “Ya, sebutin syaratnya. Aku kasih apa pun yang kamu minta,” ucapnya tanpa ragu. 

Reva menunjuk manusia bodoh di sebelah sofanya yang sedari tadi hanya menunduk seperti mencari recehan di lantai. 

“Mulai besok, dia harus kerja di sini. Bersihin rumah gue, siapin makanan gue, dan ngelakuin semua perintah gue,” Reva berkata. 

“Cuma itu?” tanya Farrel. 

Cuma? Tentu saja, karena bukan dia yang harus menderita, itu pasti tak berarti apa pun baginya. Maka, Reva mengangguk. 

“Ya. Oke. Mulai besok, Nugie akan kerja di sini dan jadi asisten pribadimu. Kamu bisa nyuruh dia apa aja yang kamu mau,” Farrel berkata. 

Sementara, manusia bodoh bernama Nugie yang sedari tadi menunduk itu akhirnya merasa terpanggil dan menoleh pada Farrel. 

“Apa, Pak? Saya kenapa, Pak?” tanya manusia bodoh itu. 

Lalu, seolah itu perlu, Farrel menjelaskan, “Mulai besok, kamu bekerja sebagai asisten pribadi Reva. Kamu nggak perlu ke kantor, tapi kamu ke sini aja.” 

Reva menikmati ekspresi manusia bodoh itu. Mulutnya ternganga lebar, pandangan mata melotot tak percaya, sempurna menampakkan kebodohannya. 

“Kamu udah dengar, kan?” Reva berbicara pada Nugie. “Mulai besok, kamu jadi budakku.” Reva tersenyum miring pada manusia bodoh itu. 

***

“APA? JADI BUDAK?” 

Ketiga sahabat Nugie itu kompak berteriak. Pecah-pecah deh kuping Nugie. Biarlah. Hatinya pun sudah pecah duluan. 

“Parah sih, dari budak cinta jadi budak beneran …” gumam Awan dengan takjub. 

“Itu berarti ada perkembangan ya, Gie?” tanya Ramli. 

Dahlah, jangan dijawab. Bikin emosi. 

“Tapi … kok lo mau aja sih, Gie?” protes Wiki. 

“Ya, gimana? Bos gue sendiri yang nyuruh gue. Daripada dipecat,” balas Nugie pasrah. “Mau naik pangkat aja begini amat.” Nugie menghela napas. 

“Tapi, si … siapa namanya tadi?” Awan bertanya Nugie. 

“Reva,” sebut Nugie. 

“Nah, iya, si Reva. Dia udah minta maaf sama lo belum soal dia nampar lo itu?” tanya Awan.

“Ngapain dia minta maaf?” Adel yang sedari tadi hanya menemani Axel bermain di sisi lain ruang tamu apartemen itu, angkat suara. 

Kontan Nugie dan ketiga sahabatnya menoleh pada istri akhlak-less Awan itu. 

“Harusnya Nugie yang makasih sama dia, udah diselamatin dari cewek lintah itu,” sebut Adel dengan kejamnya. Cewek lintah, katanya. 

Namun, Ramli manggut-manggut. “Tata juga kemarin bilang gitu.” Ramli lalu menatap Nugie. “Lo udah bilang makasih sama dia belum, Gie?” 

Nugie melayangkan tendangan ke kepala Ramli, tapi berhasil ditahan Awan. 

“Sabar, Bro, makin lo hantam kepalanya, makin nggak bener otaknya, ntar,” kata Awan. 

Nugie menarik napas dalam untuk menenangkan diri. 

“Tapi, kebetulannya gila banget, nih,” celetuk Wiki. “Masa lo ketemu cewek iblis yang udah menghancurkan hubungan lo sama mantan yang lo bucinin mati-matian, eh, sekarang lo malah jadi budak dia.” 

“Paling juga jodoh,” celetuk Adel dengan santainya. 

“Sembarangan!” sentak Nugie seketika. 

Tatapan tajam Adel padanya kemudian membuat Nugie keder juga. 

“Ya … kalau ngomong tolong hati-hati, Bu …” Nugie berkata dengan nada kalem. “Masa jodohnya sama cewek jahat, kejam, macam iblis begitu?” 

Adel mengangkat alis. “Justru dia yang harusnya protes kalau dapat jodoh kamu,” sebut Adel. “Hebatnya kamu apa? Tajir? Enggak. Cakep? Enggak. Pintar? Enggak. Sementara dia? Penulis populer, investor, duitnya banyak, dia juga baik, mau bantuin kamu terlepas dari cewek lintah itu.” 

Maha benar Adel dengan segala argumennya. 

Jelas saja dibela. Orang mereka satu spesies. 

Nugie? Ya, cuma kicep. Mau protes pun tak berani, mana yang diomongin Adel banyak benarnya. Salahnya cuma satu. Nugie. Nugie doang yang salah, yang lain benar. Dahlah. 

“Tapi, kalau lo jadi budaknya si Reva itu, ntar lo manggil dia gimana? Yang Mulia Reva, gitu?” tanya Ramli dengan polosnya. 

Nugie menatap kepala Ramli. Enak disleding apa ditempeleng pakai meja, ya? 

Sepertinya halal di-headshot teman yang model begitu. 

***

Reva membaca profil Nugie yang dikirim Farrel. Ternyata dia editor yang memegang naskahnya selama ini. Dia sudah bergabung di penerbitan sejak pertama perusahaan dibuka. Bisa dibilang, dia adalah salah satu yang memulai dari nol bersama penerbitan itu. 

Tidak mengherankan jika dia sampai dikhianati kekasihnya. Tipe cowok setia yang mudah dibodohi dan dibohongi. Reva bahkan tidak terkejut jika perempuan yang mengkhianatinya itu adalah satu-satunya kekasih yang pernah dia miliki. 

Meski begitu, Reva salut dengan keloyalan pria itu. Bodoh, memang, setia pada sesuatu yang tak pasti. Namun, bagi Reva sendiri, cinta dan kesetiaan adalah hal yang tak masuk akal. Mustahil. Ia tak pernah melihat itu langsung seumur hidupnya. 

Kesetiaan dan cinta hanyalah ilusi yang hanya ia lihat di film-film atau di novel roman picisan. Seperti yang ia tulis. Tentu saja, itu semua adalah kebohongan. Di dunia nyata, tidak ada cinta maupun kesetiaan seperti itu. 

Bagaimana seseorang bisa tetap jatuh cinta setelah dihancurkan berkali-kali? Bagaimana bisa seseorang setia hanya pada satu pasangan untuk selamanya?

Itu tidak masuk di akal Reva. Ia tak pernah melihatnya secara nyata. Ketiga sahabatnya? 

Orang lain mungkin melihat mereka sebagai pasangan yang bahagia, tapi tidak dengan Reva. Semua kebahagiaan yang mereka dapatkan saat ini melalui perjuangan rasa sakit, luka, air mata, dan hati yang patah berkali-kali. 

Jika cinta benar-benar ada, bagaimana bisa ada hati yang terluka? Cinta itu tidak ada. Itu hanya ilusi. Orang-orang terjebak dalam ilusi itu untuk menghibur diri mereka sendiri, mengurung dan mengikat diri mereka sendiri, pada hubungan yang menyakiti mereka. 

Reva masih tak mengerti … kenapa orang-orang mau terikat pada hubungan yang menyakitkan? Apakah bahagia yang mereka dapatkan sebanding dengan itu? Apa mereka lupa berapa banyak air mata yang mereka tumpahkan untuk hubungan itu? 

Reva tidak mengerti, kenapa orang-orang percaya pada ilusi?

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya I'm Single and I Know It Bab 21-30
0
0
Bab 21Alasan Pernikahan  “Maaf, ya, Gie,” ucap ibunya setelah Nugie memberitahukan tentang berakhirnya hubungan Nugie dan Diana. “Kenapa Ibu minta maaf?” protes Nugie. “Diana … mungkin keberatan karena ada Ibu,” ucap ibunya. “Bu, bukan itu alasannya …” Lidah Nugie terasa kelu. Ia tak mungkin mengatakan tentang pengkhianatan Diana, tapi …“Dari awal kamu ngenalin Diana ke Ibu, Ibu udah khawatir kalau-kalau Ibu jadi penghalang hubungan kalian,” ucap ibu Nugie. “Apalagi Ibu ini kerjanya cuma jual gorengan.” Nugie mengerjap, matanya terasa panas. “Ibu kenapa ngomong gitu, sih? Justru Nugie bangga sama Ibu. Ibu berhasil ngebesarin Nugie sendirian dengan kerja keras Ibu.” *** 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan