A Deal With Mr Playboy Chapter 1-5 (Dark Marriage Series #2)

1
0
Deskripsi

Dark Marriage Series #2

A Deal With Mr Playboy

 

Menjadi pengawal dari wanita angkuh yang sombong, bukan masalah besar bagi Jason. Namun, apa yang akan ia lakukan jika wanita itu menawarkan pernikahan padanya? Terlebih, wanita pemilik nama Irene Alastair itu adalah wanita pencuri yang sukses mencuri perhatian Jason sejak pertemuan pertama mereka.

Ketika nyawa menjadi taruhannya, akankah Jason bersedia menerima tawaran Irene? Sanggupkah ia melindungi Irene dari orang-orang yang berniat menyingkirkan...

 

-Prolog-

 

Matanya menangkap sosok wanita, –ia yakin itu seorang wanita, memanjat dinding samping rumah itu, ketika ia baru keluar dari keramaian pesta pernikahan di dalam sana. Menggunakan ukiran di dinding sebagai pijakan, wanita itu naik sampai ke lantai tiga. Lantai tiga, astaga! 

Bergegas menyusulnya, Jason memanjat tembok rumah hingga ke beranda lantai tiga. Tanpa suara, ia melangkah masuk lewat pintu yang sudah terbuka. Ruangan yang dimasuki Jason sepertinya adalah ruang kerja. 

Ia tak dapat menahan keterkejutan demi melihat si penyusup membuka-buka map yang berisi entah apa dari laci meja kerja di sebelah pintu, dengan bantuan pencahayaan senter kecil yang digigitnya. Penyusup itu, yang benar-benar seorang wanita, juga tampak sama terkejutnya ketika menyadari keberadaan Jason. 

Jason nyaris tersenyum mendengar wanita itu mengumpat kasar sembari melempar kembali map di tangannya ke dalam laci. Wanita itu berdiri dan bergegas berjalan ke arah pintu keluar ruangan itu untuk menghindari Jason yang masih berdiri di depan pintu menuju beranda. 

“Aku tidak akan memberitahukan ini kepada pemilik rumah,” Jason berkata, menghentikan langkah wanita itu. “Jika kau tidak mencuri atau merusak barang-barang yang ada di sini, aku tak punya alasan untuk melaporkanmu pada pemilik rumah ini. Jadi, apa yang kau lakukan di sini, Nona?” 

Wanita itu memutar tubuh, memperlihatkan Jason rambut cokelat gelapnya yang tertata rapi, cantik, di satu sisi lehernya. Dengan bantuan cahaya dari pintu di belakangnya, Jason juga sekarang bisa melihat dengan jelas jika wanita itu memakai gaun pesta warna ungu muda, dengan belahan samping hingga pahanya. Godaan besar, seharusnya. Namun, lebih dari itu, sosok wanita yang memanjat dinding rumah dan menyelinap masuk ke rumah ini, lebih menggoda Jason. 

“Kau bukan orang rumah ini?” Mata wanita itu menyipit. 

Jason tersenyum, menggeleng. “Kau orang rumah ini?” ia balik bertanya. 

Wanita itu tak menjawab, secara tak langsung memberikan jawaban untuk pertanyaan Jason barusan. Entah ia pencuri atau penyusup. Ia menatap Jason lekat, matanya berwarna agak kehijauan, atau itu hanya bayangan Jason?

Ketika Jason sibuk menebak warna matanya, wanita itu berbalik cepat. Dalam hitungan detik, ia sudah keluar dari ruangan. Jason mendengus pelan, geli, sebelum melangkah lebar mengejar wanita itu. Namun mengejutkannya, hanya dua meter dari pintu tempat ia keluar, wanita itu membeku di tempat, matanya menatap ke satu titik. 

Jason mendekati dan mengikuti arah tatapannya, untuk melihat dua orang yang sepertinya pengawal rumah itu, berjalan ke arah mereka. Sebelum Jason sempat bertanya apa rencana wanita itu, ia merasakan wanita itu memutar bahunya. Detik berikutnya, Jason mendapati bibir lembut wanita itu di bibirnya, membuat ia menahan napas, seolah itu ciuman pertamanya. 

Jason bisa merasakan keterkejutan wanita itu ketika Jason membalas ciumannya, dengan sangat menggebu. Jason bahkan menarik wanita itu merapat pada tubuhnya sementara ia memperdalam ciuman, ketika wanita itu berusaha mendorongnya. Samar, Jason mendengar suara dehem dari sampingnya. 

Dengan sangat enggan dan amat sangat terpaksa, Jason mengakhiri ciuman mereka. Ia menoleh pada para pengawal. Dari sudut mata, ia mendapati wanitanya sudah bergerak ke balik punggungnya, mungkin berusaha bersembunyi. 

“Aku hanya butuh tempat untuk berduaan dengan kekasihku,” Jason memberi alasan pada kedua pengawal itu. 

“Maaf, Tuan, tapi tamu tidak diizinkan memasuki area ini,” salah seorang dari mereka berkata. 

Jason mengangguk. “Maaf kalau begitu. Tapi, bisakah kalian memberi kami waktu sebentar lagi saja? Aku hanya akan membantunya merapikan penampilannya yang berantakan karena ulahku.” Jason mengerdip. 

Kedua pengawal itu saling berpandangan, lalu yang tadi berbicara kembali berkata, 

“Kami akan pergi memeriksa bagian timur rumah. Saya harap saya tidak akan melihat Tuan dan Nona lagi di sini saat kami kembali.” 

“Tentu saja,” Jason menyahut. “Terima kasih untuk pengertiannya.” 

Kedua pengawal itu berbelok di ujung koridor, menuju ke arah timur. Jason menatap mereka, memastikan mereka benar-benar sudah pergi, hingga tak kelihatan lagi, sebelum ia berbalik dan … wanita itu lenyap. 

Jason mendengus tak percaya. Jadi, haruskah ia mulai mencari Cinderella-nya sekarang?

***


 

-Chapter 1-

She’s different

And I think I’m in love

With her

 

Hi, Again

 

“Kurasa, hanya aku yang bebas mengancam kalian semua. Mengingat kalian belum menemukan Achilles heel-ku,” Rico berbicara dengan angkuhnya. 

Jason tak dapat menahan diri untuk membalas, “Kudengar, kau sedang sibuk mencari cinta pertamamu.” Ia lalu menatap teman-temannya, Luke, Leo, Ben, Tyler, Rico dan Reina. “Dan kalian belum menemukan Achilles heel-ku, omong-omong.” 

Rico mendengus, lalu mengedik ke arah kiri. Ketika Jason mengikuti arah kedikan Rico, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Wanita itu …. 

“Selamat ulang tahun, Alicia.” Irene Alastair yang baru tiba tampak canggung dan kaku saat berdiri di hadapan Licia. 

Sementara, Licia justru tampak senang ketika melihat wanita itu. “Oh, terima kasih, Irene. Aku … tidak pernah melihatmu lagi sejak kita lulus SMA. Bagaimana kabarmu?” tanya Licia. Meski Jason tahu, Licia lebih penasaran tentang hal lain, mengingat istri Luke itu sudah tahu tentang masalah Irene dari Jason. 

Sejak pertemuan pertamanya dengan Irene di rumah tempat pernikahan teman Licia, Jason segera mencari tahu tentang wanita itu. Namun, apa yang ia temukan tentang wanita itu sukses membuatnya takjub. 

“Aku …” Irene tampak ragu selama beberapa saat. Wanita itu menarik napas dalam, menatap Licia lekat sebelum melanjutkan, “Aku butuh bantuanmu.” 

Jason mengerutkan kening. Apa ini? Jason sudah tahu bagaimana Irene berusaha sendiri selama ini, jadi kenapa tiba-tiba …

“Bantu aku mengambil perusahaanku dari Nadine,” ucap Irene penuh tekad. 

Kakak tirinya. Sialan. Sepertinya orang-orang itu mulai bergerak. Alasan Irene mengambil langkah ini, pasti karena orang-orang yang menginginkan dirinya lenyap, mulai bergerak. 

“Jika kau mau membantuku, aku akan memberikan setengah sahamku … tidak, aku akan memberikan semuanya padamu, jika kau mau membantuku. Aku harus tahu siapa yang membunuh papaku. Karena itu …” Irene bahkan tak bisa berbicara dengan jelas. 

Jason mengepalkan tangan marah. Orang-orang itu benar-benar ….

“Aku akan membantumu, Irene,” Licia kemudian berkata. Tangannya menggenggam tangan Irene, menenangkan wanita itu. “Kau tidak perlu memberikan apa pun padaku. Aku masih berutang padamu.” 

Jawaban Licia membuat Irene terkejut. Jason teringat satu kenyataan menyedihkan; Irene tidak punya teman. Tidak punya. Tidak ada seorang pun yang akan membantunya. Namun, di sinilah ia sekarang. Meminta pada Licia, yang bahkan tidak dianggapnya teman. Jason tahu, Licia peduli pada Irene. Licia pasti akan membantu Irene. 

“Kurasa, aku bisa membantumu untuk menyelesaikan masalah temanmu ini, Licia,” Jason akhirnya angkat bicara. 

Saat itulah, akhirnya Irene menoleh dan melihat Jason. Butuh waktu lama untuk wanita itu bisa menyadari keberadaan Jason di sana. Keterkejutan wanita itu membuat Jason ingin tersenyum. Irene sudah akan pergi, tapi Jason lebih dulu menahan tangannya. 

“Katakan padaku, kenapa kau menyelamatkanku waktu itu?” Jason akhirnya bisa mengungkapkan rasa penasaran yang mengikatnya begitu erat pada wanita itu. 

Kepanikan Irene membuat Jason semakin penasaran. 

“Apa maksudmu? Kalian sudah pernah bertemu selain di pesta pernikahan itu?” Licia bertanya bingung, agak kaget. 

Jason menoleh pada Licia dan mengangguk. Sementara, Irene berusaha sekuat tenaga melepaskan pegangan Jason di tangannya. Khawatir menyakiti Irene, Jason melepaskan pegangan di tangan wanita itu. Sebagai gantinya, ia menarik Irene ke arahnya dan merangkul bahu wanita itu erat. 

“Aku akan membantu mengurus masalahnya, Licia. Kau tidak perlu khawatir,” Jason berbicara pada Licia, mengabaikan usaha Irene untuk menarik diri. “Aku juga perlu tahu, apa alasan wanita ini menyelamatkanku waktu itu, ketika salah satu ommu nyaris mencelakaiku.” 

Licia menahan napas. 

“Maaf, aku tidak mengatakannya padamu waktu itu karena aku tahu kau akan khawatir. Tapi, sekarang kau tidak perlu khawatir. Aku akan mengurus itu sendiri dengan temanmu ini,” kata Jason lagi. 

Jason mendengar umpatan kasar Irene. Sebelum Jason sempat mengomentari itu, ia merasakan Irene menangkap lengannya, lalu memitingnya ke punggung Jason. Jason mengerang menahan sakit, sementara teman-temannya sudah tertawa. Jason lalu mendengar penolakan keras Irene, 

“Aku akan menghubungimu lagi, Licia. Dan tolong, jangan libatkan orang ini. Dia hanya akan membuatku repot jika aku harus menyelamatkannya lagi ketika dia berada dalam bahaya.” 

Irene mendorong Jason ketika akhirnya melepaskan Jason, membuatnya terhuyung. Bahkan, Jason berakhir menabrak Luke yang tersenyum geli seraya menariknya hingga ia berdiri tegak. Jason berbalik hendak membalas kata-kata Irene, tapi wanita itu sudah berjalan pergi, dengan angkuhnya. 

“Jadi, itu Achilles heel Jason?” Tyler angkat bicara. 

“Yep. Aku yang membantunya mencari informasi tentang wanita itu,” Rico menyahut. 

Sialan pengkhianat itu. 

Jason bahkan mendengar Reina mendengus geli. Ingin rasanya ia mendorong wanita itu ke arah Tyler.

“Apa sesuatu yang buruk terjadi di perusahaan Irene?” Licia terdengar cemas. 

“Aku akan membantunya, Licia,” Jason berkata. “Aku sudah memiliki saham di perusahaan itu. Jadi, tolong kau bujuk dia untuk membiarkanku membantunya,” ia meminta. 

Licia melongo. “Kau … benar-benar jatuh cinta padanya atau apa?” 

Jason mendecak pelan, menolak menjawab. Pasti ini ulah Reina. Ia meracuni pikiran Licia juga. Jason hanya penasaran dengan Irene. Ia penasaran dengan alasan wanita itu memanjat lantai tiga saat itu, juga alasan ia menyelamatkan Jason. Ada banyak hal tentang Irene yang membuat Jason penasaran. Yang terpenting adalah kenyataan bahwa wanita itu tak mau keluar dari kepala Jason. Tak peduli apa pun yang Jason lakukan, ia tak bisa mengenyahkan pikiran tentang Irene dari kepalanya. Mendadak, ia mendapati seluruh dunianya terpusat pada wanita itu. 

Namun, jatuh cinta? Entahlah. Jason bisa mencari tahu itu nanti. Yang terpenting, saat ini ia harus berada di samping Irene dan memastikan keselamatan wanita itu. 

***

Bagaimana bisa pria itu ada di sana?

Irene terus mengulang tanya itu dalam kepalanya sejak meninggalkan rumah Licia. Irene mengatur napas begitu mobilnya tiba di rumah. Ia menatap rumah utama keluarganya dan menarik napas dalam. 

Ia benar-benar harus segera mengambil alih perusahaan dari Nadine. Pertama, karena ia harus mencari tahu misteri kematian papanya. Ia akan mencari tahu tentang itu. Ia harus tahu. 

Papanya baik-baik saja saat mereka melakukan video call terakhir, tapi besoknya … papanya meninggal di rumah sakit. Di meja operasi. Irene bahkan tak tahu jika papanya sakit. Setelah itu, terjadi pergantian staf besar-besaran di rumah sakit. 

Jelas ada sesuatu yang terjadi di sana dan Irene harus tahu itu. Hanya saja, bertanya pada Nadine bukan pilihan. Dan itu memberi alasan kedua bagi Irene untuk merebut perusahaan dari Nadine. Ia tahu, kakaknya berusaha mengambil saham yang dimilikinya. Sebelum itu terjadi, Irene akan masuk ke perusahaan, meminta dukungan orang-orang perusahaan dan mengambil perusahaan dari Nadine. 

Jika Nadine mendapatkan sahamnya, Irene tidak tahu ke mana Nadine akan mengirimnya nanti. Mungkin ke luar negeri, ke pulau terpencil, atau yang terburuk … membunuhnya. Irene tidak akan sekhawatir ini, jika bukan karena salah seorang pengasuh masa kecilnya yang masih ada di rumah itu, memberitahunya tentang rencana Nadine untuk menyingkirkannya. 

Padahal seandainya Nadine meminta pada Irene, Irene tidak akan keberatan mendukung kakak tirinya itu di perusahaan. Namun, ketika ia mendengar apa yang Nadine rencanakan padanya, itu pun setelah ia kehilangan papanya, ia tak punya pilihan lain selain melawan. Ia tidak akan lari. Tidak lagi. 

Namun, saat Irene memasuki ruang tengah rumahnya, ia melihat beberapa direktur perusahaan ada di sana. Mereka baru saja keluar dari ruang tamu bersama Nadine. Kakak tirinya itu tersenyum padanya, sementara para direktur membungkuk kecil saat menyapanya. Irene mengepalkan tangan melihat beberapa direktur yang dulu adalah orang kepercayaan papanya juga ada di sana. Pengkhianat!

“Kau sudah pulang, Irene?” Nadine bertanya dengan nada sok manis. “Aku baru saja membicarakan tentang masalah perusahaan dengan para direktur. Lebih tepatnya, tentang pemilihan Direktur Utama tiga bulan lagi. Kau juga tahu kan, saat ini akulah yang menjadi Direktur Sementara?” 

Irene melengos kasar, tanpa mengatakan apa pun, ia naik ke kamarnya. Samar ia mendengar Nadine meminta maaf pada direktur lain karena sikap kasar dan kekanakan Irene. 

Kasar? Kekanakan? Dasar wanita ular! 

Irene membanting pintu kamar dan mengeluarkan ponsel dari tas. Ia bahkan belum mendapatkan nomor Licia. Bagaimana ia akan menghubungi Licia sekarang? 

Argh! Ini semua gara-gara pria itu! Irene bahkan tak tahu siapa pria itu. Irene baru dua kali, tiga kali dengan tadi, bertemu pria itu. Itu pun bukan pertemuan yang menyenangkan. 

Pertama, di pesta pernikahan direktur baru Rumah Sakit Edelweis milik grup perusahaannya. Saat itu, tidak ada seorang pun yang tahu jika Irene ada di sana. Bahkan tak ada satu orang pun yang boleh tahu jika Irene sudah kembali dari luar negeri. Ia berusaha mencari jejak, berkas, atau apa pun tentang hubungan direktur baru Rumah Sakit Edelweis dengan Nadine. 

Saat itu, ia hampir saja ketahuan, jika bukan karena kehadiran pria itu. Meski Irene dengan cepat menyesali keputusannya mencium pria itu. Irene belum pernah bertemu dengan pria sebrengsek itu. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan seperti itu. Pengecut brengsek! 

Namun ternyata, itu bukanlah pertemuan terakhir mereka. Beberapa waktu lalu, ketika Irene mendengar bahwa Licia sudah menikah dan kembali ke rumahnya. Irene berniat meminta bantuan Licia, tapi ia melihat pria itu lagi, dalam bahaya. Irene bahkan tidak peduli padanya, tapi ia tidak bisa membiarkan orang lain tewas di depan matanya. 

Yang ia tidak tahu adalah bahwa pria itu kenal dengan Licia. Sialnya, ia harus bertemu dengan pria itu lagi. Sungguh, lebih dari apa pun, Irene benci pria brengsek sepertinya. Mengingat apa yang pria itu lakukan pada Irene di depan Licia tadi … rasanya Irene ingin menghajarnya. Sungguh. 

Bagaimana bisa pria itu mengenal Licia? Apa hubungannya dengan Licia? Ah, tidak, seharusnya Irene tidak memikirkan itu. Bagaimana caranya menghubungi Licia sekarang? Ia benar-benar membutuhkan Licia agar bisa masuk ke perusahaan.

Dengan reputasinya, akan sulit baginya untuk masuk ke perusahaan. Saat ini, lebih dari apa pun, ia butuh dukungan Licia. Hanya Licia yang bisa membantunya. Wanita itu punya kekuasaan dan Irene kenal dengannya. Tidak kenal dekat, tapi Irene tahu Licia. Ia tidak akan mengkhianati Irene. Itu yang terpenting. 

Irene benar-benar membutuhkan bantuan Licia saat ini. 

***


 

Come to You

 

“Irene dalam bahaya?” tanya Licia kaget setelah Jason menceritakan semua informasi terakhirnya tentang Irene. 

“Setelah ayahnya meninggal, dia berada dalam bahaya,” sebut Jason. “Kau tahu dia punya kakak tiri, kan?” 

Licia mengangguk. 

“Dia yang berusaha menyingkirkan Irene. Bahkan meski dia sudah menjabat sebagai Direktur Sementara di perusahaan, dia masih belum puas dengan itu. Dugaanku, dia pasti menginginkan saham yang ada di tangan Irene. Dia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan itu. Karena itu, Irene dalam bahaya,” urai Jason. 

“Apa karena itu dia meminta bantuanku tadi? Untuk merebut perusahaan dari Nadine?” Licia memastikan. 

Jason mengangguk. “Nadine pasti sudah mulai bergerak. Dia pasti sudah menyebutkan tentang saham itu pada Irene.” 

Licia meremas tangannya cemas. “Irene … apa yang bisa kulakukan untuk membantunya?” 

Luke meraih bahu Licia dan merangkul istrinya lembut. “Tenanglah, Licia. Irene akan baik-baik saja. Aku dan Jason akan mengatur itu.” 

Licia menoleh pada Luke. Ia lantas menatap teman-teman Luke yang ada di sana. Jason, Rico, Leo, Ben, Tyler dan Reina. “Kalian harus membantunya,” pinta Licia. 

Luke dan teman-temannya tersenyum. 

“Tentu saja. Kau begitu mengkhawatirkannya, jadi akan kupastikan kau tidak perlu khawatir lagi tentangnya,” Luke berkata. 

“Dia adalah satu-satunya orang yang membantuku dan menguatkanku ketika sepupu-sepupuku menindasku,” ungkap Licia. “Kau tahu apa yang dia katakan padaku dulu?” 

Licia tersenyum sendu ketika mengenang masa lalunya dengan Irene. “Jangan menjadi lemah atau kau akan kalah,” ucap Licia. “Begitu katanya. Berkat kata-katanya itu, aku berani melawan sepupuku. Aku bahkan berani keluar dari rumah itu. Bahkan meski hidupku sangat menyedihkan, setidaknya aku harus berjuang, kan?” 

Luke memeluk Licia, menghibur wanita itu akan masa lalunya, akan keluarganya. 

“Lalu, kau datang membawaku keluar dari kehidupan menyedihkan itu,” lanjut Licia. “Kurasa aku harus meminta bantuanmu juga tentang Irene.” 

Luke tertawa pelan ketika melepas pelukannya. 

“Kurasa Jason akan dengan senang hati membantu, Licia,” ucapnya. 

Jason mengangguk menyetujui. “Kau bisa menghubungi wanita itu, mengajaknya bertemu dan membicarakan rencananya. Ah, aku dan Tyler akan mencari tempat yang aman dulu. Kurasa kakak tirinya pasti mengawasinya dengan ketat.” 

Licia tersenyum. “Kurasa aku benar-benar bisa mempercayakan Irene padamu, Jas.” 

Jason mengangguk mantap. “Jadi, cepat hubungi dia. Aku juga sudah penasaran untuk mendengar alasannya menyelamatkanku waktu itu.” 

Licia tersenyum geli. “Bilang saja kau merindukannya,” tuduhnya, yang entah kenapa tidak bisa dibantah Jason. 

Licia lalu pamit keluar dari ruang keluarga untuk mengambil ponsel di kamarnya. 

“Tapi, di pernikahan Tyas waktu itu, bukankah kau bilang seharusnya Irene ada di luar negeri?” tanya Luke kemudian. 

“Itu juga yang membuatku penasaran. Dia masuk ke negara ini sembunyi-sembunyi,” ujar Jason. “Bahkan saat dia menyelamatkanku, ada dia di luar negeri. Entah siapa yang dia bayar untuk menjadi dirinya di luar negeri itu. Sepertinya dia ahli dalam hal seperti itu.” Jason tersenyum geli. 

Yeah, aku tidak meragukan itu,” Rico menyahut. “Melihat bagaimana dia bisa dengan mudahnya menyusup ke hatimu dan membuatmu gila.” 

Jason memutar mata saat menatap Rico. “Tunggu sampai aku menemukan cinta pertamamu itu, Federico,” ancamnya. 

Rico mendengus. “Aku akan sangat berterima kasih jika kau bisa melakukannya. Dia seolah menghilang ditelan bumi dan aku tak bisa untuk tidak cemas karenanya.” 

“Bukankah kau bertemu dengannya saat kalian masih SMA?” Leo bertanya. 

“Bertemu dalam misi,” Ben menyahut. “Rico yang pergi.” 

Rico menatap Ben jengkel, jelas Rico menyesali keputusannya untuk pergi. Namun di organisasi, ia tak punya pilihan lain. Berbeda dengan Jason yang sudah keluar dari organisasi, Rico sampai saat ini masih ada di bawah naungan organisasi. Ayahnya adalah salah satu petinggi di organisasi. Dengan ayah Reina juga. 

Jika berhubungan dengan organisasi, mereka harus memilih: cinta atau organisasi. Jason harus keluar dari organisasi karena ia keras kepala dan tak mau memilih. Toh, pada akhirnya ia harus keluar juga ketika kehilangan orang yang dicintainya. 

Pikiran Jason akan masa lalunya segera ia singkirkan begitu Licia kembali dan meminta nomor Irene pada Jason. 

“Kau punya nomornya? Kenapa tidak kau saja yang menghubunginya?” tanya Reina. 

“Aku kan, menyelidikinya, tentu aku punya nomornya. Tapi, jika aku menghubunginya dan dia tahu ini nomorku, dia tidak akan mau mengangkat semua telepon dariku. Lebih baik jika Licia yang meneleponnya,” Jason membela diri. 

“Karena itu aku mengambil ponselku,” Licia membalas. “Pertama, Irene tidak terlalu suka berurusan dengan orang lain. Kedua, aku ingin dia percaya padaku sepenuhnya.” 

Jason tersenyum mendengarnya. “Kau sangat mengerti dia, Licia,” pujinya. 

Licia mengangguk. “Dia bahkan tidak mau berteman denganku. Tidak dengan siapa pun. Apa kau tahu betapa senangnya aku ketika dia datang padaku tadi?” 

Jason tersenyum geli. 

“Aku ingin dia tahu, berteman denganku tidak seburuk itu,” ucap Licia. “Jadi, kau, pastikan kau melakukan tugasmu dengan benar dalam menjaganya.” 

Jason mengangguk mantap. “Kau tidak perlu khawatir, Nyonya Westwood.”

Licia tersenyum, mengangguk. Ia menyerahkan ponselnya pada Jason, meminta nomor Irene. Jason memasukkan nomor Irene. 

“Kau bahkan menghafal nomornya?” dengus Ben. 

“Biarkan saja. Dia kan, sedang jatuh cinta, jadi biarkan saja dia,” Reina membalas. 

Jason mengabaikan komentar teman-temannya dan mengembalikan ponsel Licia pada pemiliknya. 

Licia menghubungi nomor Irene dan memasang loud speaker mode. Ketika mendengar suara Irene berbicara di seberang, meski hanya, “Halo,” Jason mendapati dirinya tersenyum. 

“Irene, ini aku, Licia,” Licia membalas. 

Selama beberapa saat, Irene tak membalas, mungkin terkejut karena Licia bisa mendapatkan nomornya. 

“Oh, Licia …” akhirnya Irene berkata. “Maaf, aku tadi tiba-tiba pergi begitu saja. Tapi, jika kau ada waktu, bisakah kita bertemu di luar? Aku akan mentraktirmu makan malam. Kita toh sudah lama tidak bertemu sejak kelulusan.” Keakraban tiba-tiba Irene itu membuat Licia mengerutkan kening bingung, tapi ia toh tersenyum juga. 

Apa itu berarti semua pembicaraan lewat telepon di rumah itu tidak aman? Irene sepertinya juga tahu tentang itu. Apa wanita itu dipenjara di rumahnya sendiri?

“Oke. Aku punya rekomendasi restoran yang bagus. Akan kukirimkan padamu alamatnya,” Licia berkata. 

“Baiklah. Kalau begitu, sampai jumpa nanti malam,” pamit Irene. 

Licia sudah akan menjawab, tapi Irene kembali berbicara, 

“Dan tolong jangan bawa temanmu tadi.” 

Jason tak dapat menahan seringaian mendengar itu. Irene benar-benar lucu, kan? 

Licia melirik Jason, tersenyum geli, lalu membalas, “Sampai jumpa nanti malam, Irene.” 

Begitu sambungan telepon terputus, Reina berkomentar, 

“Wanita itu pasti sangat membencimu, Jas.” 

“Setidaknya dia mengakui keberadaanku,” balas Jason santai. 

“Masokis,” dengus Reina meledek. 

Jason mengangguk menyetujui. Ia lalu menatap Tyler. 

“Jadi, kita punya waktu setidaknya … enam jam untuk menyiapkan tempatnya. Ayo bersiap-siap, Ty.” Jason menepuk bahu Tyler sebelum lebih dulu berjalan ke pintu ruangan. 

“Kenapa aku harus selalu terlibat dengan masalah cinta kalian? Dulu Luke dan Licia. Sekarang kau dan wanitamu,” protes Tyler di belakangnya. 

“Aku juga akan membantumu tentang Reina,” balas Jason enteng, membuat umpatan kasar Reina terdengar di belakangnya. 

“Maaf tentang itu, Jas,” Tyler berkata. “Jika aku ada di dekatnya, tentu aku sudah menciumnya untuk membungkamnya.” 

Jason tergelak. “Dan kau akan babak belur dihajarnya.” 

***

Irene mendesah lega setelah menutup telepon dari Licia. Ia benar-benar bersyukur karena Licia pintar. Wanita itu langsung menyadari akting Irene dan mengikuti skenario Irene. Karena Nadine memasang penyadap di rumah ini untuk mengawasi Irene, ia pasti mendengarkan semua telepon masuk di ponsel Irene. Karena itu jugalah, Irene dan pengasuh masa kecilnya, Bi Nonik hanya bisa berkomunikasi lewat surat. 

Omong-omong, dari mana Licia mendapatkan nomor Irene? Ia tentunya tidak tahu nomor Irene, kecuali … ia menyelidiki Irene. Tidak, bukan Licia. Ah, pria itu? Ia menyelidiki Irene? Jika memang benar seperti itu, Irene tidak akan tinggal diam. Siapa pria itu sebenarnya? 

Sayangnya, berada di rumah ini benar-benar membatasi pergerakan Irene. Ia tidak bisa menyelidiki apa pun atau siapa pun, kapan pun ia ingin. Karena itulah, ia mengumpulkan semua informasi tentang perusahaannya sebelum pulang kemari. Itu jugalah alasan Irene pergi ke luar negeri setelah pemakaman papanya. 

Ia perlu mencari banyak informasi tentang perusahaan, tentang rumah sakit itu. Ia bahkan harus menyembunyikan kepulangannya, keberadaannya, demi menyelidiki itu sendiri. Karena ia tahu, Nadine tak akan membiarkannya jika tahu apa yang Irene coba lakukan. 

Rumah ini sudah seperti penjara bagi Irene. Namun, ada yang lebih ia takutkan. Ia takut, jika Nadine mengusirnya dari rumah ini. Ia takut jika ia tak lagi bisa tinggal di rumah tempat di mana kenangan bersama papanya berada. 

***

 

-Chapter 2-

Don’t hate me too much

I can’t even stop myself

From going to you

 

Believe Me

 

Ketika Irene turun dari mobil, wanita itu melirik cemas ke belakang. Tidak menoleh, hanya melirik, tanda ia tahu bahwa dirinya diikuti. Benar saja, beberapa mobil dari mobil Irene, ada mobil lain yang baru parkir. Tampak seorang pria keluar dari mobil itu, mengenakan jaket kulit hitam. 

“Kau bisa mengacaukannya dari sini, kan?” Jason memastikan. 

“Jangan khawatir,” Tyler membalas seraya menyerahkan sebuah chip kecil dalam lingkaran karet pada Jason. “Pasang ini ke mobil orang itu sebelum kau masuk,” pinta Tyler.

Alat pelacak. “Baiklah, kuserahkan padamu,” kata Jason sebelum ia keluar dari mobil. 

Jason lebih dulu berbelok ke mobil orang tadi. Setelah memastikan tidak ada orang di mobil itu, Jason memasang alat pelacaknya di bagian bawah belakang mobil. Ketika Jason masuk ke restoran, dilihatnya Irene sudah duduk bersama Licia dan Luke. Sementara Licia memperkenalkan Luke pada Irene, orang yang mengikuti Irene tadi melewati tempat Irene duduk, pura-pura tersandung di sana untuk menempelkan penyadap di bawah meja. Orang itu lalu mengambil tempat cukup jauh dari Irene untuk menghilangkan kecurigaan. Meski ia sudah gagal sejak awal. 

Ketika Jason akhirnya bergabung dengan Licia dan Luke, Irene melotot kaget, tak rela. Meski begitu, ia tak protes. Wanita itu seharusnya berterima kasih pada Jason. Jika bukan karena Jason, kakak tirinya pasti akan tahu rencana pemberontakannya. Jason mengambil tempat di sebelah Irene, membuat wanita itu menyipitkan mata tajam ke arahnya, yang dibalas Jason dengan senyum menawan. 

Irene adalah wanita pertama yang tak terpengaruh dengan senyum menawan Jason. Karena kemudian, wanita itu menanggapi senyum Jason dengan sorot membunuh di mata hijaunya. Ya, hijau. 

“Ini teman suamiku dan temanku juga. Namanya Jason,” Licia memperkenalkan Jason, yang tidak ditanggapi Irene. Licia tersenyum geli. “Kau bisa mengatakan semuanya padaku,” Licia berkata pada Irene kemudian. “Temanku sudah mengacaukan sinyal penyadapnya.” 

Irene tampak terkejut. “Aku … tadinya kupikir kau akan membawaku ke ruangan pribadi atau di mana.” 

Licia tersenyum geli. “Kenapa repot-repot? Lebih menyenangkan begini, kan? Dia bisa melihat kita, tapi tak bisa mendengar apa pun.” 

Irene mendengus pelan, sebelum tersenyum. “Aku tidak tahu, kau terbiasa dengan hal-hal seperti ini juga.” 

“Terima kasih pada om dan tante-tanteku,” sahut Licia. 

Irene mengerutkan kening. “Kudengar, beberapa dari mereka dipenjara karena menggelapkan uang perusahaanmu. Beberapa lagi pergi ke luar negeri. Mereka semua …” 

“Ya,” sela Licia. “Mereka bekerja sama untuk mengambil perusahaan dari Nenek. Suamiku yang membantuku waktu itu. Juga teman-temannya.” Licia mengedik pada Jason. “Tapi, mereka melakukan lebih dari sekadar penggelapan uang, Irene. Hanya karena mereka masih keluargaku, aku tidak menjebloskan mereka semua ke penjara. Bagaimanapun, aku juga harus memikirkan perasaan nenekku, kan?” 

Irene menatap Licia takjub. “Kau benar-benar menjadi wanita yang kuat, Licia.” 

Licia tersenyum bangga. “Kau bilang padaku untuk tidak menjadi lemah,” sebutnya. 

Irene tersenyum kecil, mengangguk. “Kau mendengarkanku dengan sangat baik.” 

“Jadi, apa yang terjadi padamu setelah kau memintaku untuk tidak menjadi lemah? Apa ini? Kau dipenjara di rumahmu sendiri?” cibir Licia. 

Irene meringis. “Ketika aku menyadari apa yang terjadi, semua sudah di luar kendaliku,” ucapnya muram. “Aku kehilangan Papa dan … aku mungkin akan harus kehilangan perusahaanku, Licia.” 

Licia meraih tangan Irene dan menggenggamnya. “Itu tidak akan terjadi, Irene. Aku tahu kau wanita yang tangguh. Kau akan bisa melewati ini. Kali ini, aku yang akan menguatkanmu.” 

Irene tersenyum haru. Wanita itu menunduk saat menggumamkan terima kasih. Ternyata, ia tahu juga cara berterima kasih. 

“Tapi, sebagai gantinya,” Licia menambahkan, membuat Irene kembali mendongak. 

“Kau bisa memiliki semua sahamku, Licia,” ucap Irene tanpa ragu. 

Licia menggeleng, tersenyum geli. “Bukan itu,” tepisnya. “Sebagai gantinya, mulai hari ini, kita berteman. Bagaimana?” 

Jason memperhatikan Irene ternganga, benar-benar terkejut. 

“Aku … aku …”

“Kuanggap itu sebagai ya,” Licia melanjutkan. “Karena kita sudah berteman, mulai sekarang, kau akan menceritakan semua masalahmu padaku. Dengan begitu, aku juga bisa membantumu. Oke?” 

Irene mengernyit. “Kenapa … kau melakukan ini?” 

Licia tersenyum. “Saat aku jatuh, kau adalah orang pertama yang mengulurkan tangan padaku. Jadi kali ini, beri aku kesempatan untuk melakukan hal yang sama untukmu.” 

Irene mendengus pelan. “Kau benar-benar keras kepala, ya?” ucapnya. Namun, ia tersenyum juga. 

“Itu, aku sudah membuktikannya,” Luke menyahut, membuat Licia menyikutnya. 

Irene tersenyum. “Mendadak aku merasa bodoh,” ucap Irene. 

Licia menatap Irene bingung. 

“Aku membuang-buang begitu banyak kesempatan untuk mendapatkan teman sepertimu,” sebut Irene. “Untuk pertama kalinya aku tahu, berteman itu … tidak buruk juga.” 

Licia tersenyum geli. “Hanya ‘tidak buruk’?” 

“Aku masih perlu melihat lebih jauh lagi,” sahut Irene. 

Licia mengangguk. “Baiklah. Bisa kuterima. Mengingat kau bahkan tak punya satu pun teman selama ini.” 

Irene menyipitkan mata. “Kau … sepertinya tahu terlalu banyak tentangku.” 

Licia mengedik ke arah Jason, membuat tatapan tajam Irene tertuju pada Jason setelahnya. 

“Berkat itu kan, Licia bisa menghubungimu lebih dulu tadi?” Jason menyebutkan pembelaan. 

Irene mendengus tak percaya, tapi tak mendebat. 

“Aku juga sudah tahu tentang masalahmu dengan kakak tirimu,” Licia melanjutkan. “Dengar, Irene, aku akan membantumu. Suamiku dan teman-temannya akan membantumu, jadi tolong percaya pada kami.” 

Irene menatap Licia lekat. “Bagaimana bisa kau tahu tentang itu juga?” 

Licia mengangkat alis. 

“Aku butuh orang yang bisa kupercaya,” ucap Irene pelan, “untuk menceritakan semua itu.” 

Dada Jason terasa sakit untuk wanita itu. Apakah itu berarti ... tak ada seorang pun yang ada di sisinya dan melindunginya?

“Aku tahu. Karena aku juga dulu begitu,” Licia menyahut. “Ketika ada masalah di keluargaku dulu, aku juga sepertimu. Aku tak tahu siapa yang bisa kupercaya. Aku benar-benar mempertaruhkan segalanya untuk percaya pada suamiku kala itu. Tapi sekarang, kepercayaan itu yang membawaku sampai di sini.” 

Para wanita ini benar-benar menakjubkan. Mereka tidak hidup di dunia yang keras seperti Jason atau teman-teman Jason lainnya. Namun, melihat bagaimana mereka memandang sebuah kepercayaan benar-benar menakjubkan. Berapa banyak, berapa kali, mereka mendapat pengkhianatan, hingga kepercayaan menjadi hal seberharga itu, seolah itu pegangan terakhir mereka? 

Sekarang Jason bisa mengerti, kenapa dulu Licia sampai mengamuk pada Luke ketika berpikir Luke mengkhianati kepercayaannya. Pegangan terakhirnya. Kali ini, Irene sepertinya juga begitu. Jason berjanji, apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Irene kehilangan pegangan terakhirnya itu. 

“Kau benar-benar bisa mempercayaiku, Irene,” Licia menegaskan. 

Irene tersenyum. “Karena itu, aku di sini,” sahutnya. “Aku mempertaruhkan nyawaku dengan datang ke sini dan menemuimu, Licia. Jika Nadine tahu …” 

“Dia tidak akan tahu,” Jason menyela. “Jadi, kau bisa memberitahukan semuanya pada kami, bagaimana situasimu dan apa rencanamu.” 

Irene menatap Jason cukup lama, lalu bertanya, “Apa aku bisa mempercayaimu?” 

“Bahkan meskipun aku mati, aku tidak akan mengkhianatimu,” ucap Jason tanpa ragu, membuat keterkejutan memenuhi sorot mata wanita itu. 

Ketika Irene menatap Licia lagi, wanita itu menarik napas dalam. Sepertinya ia sudah memutuskan. Toh saat ini, hanya Licia satu-satunya orang yang bisa membantunya. 

***

 

When a Man Fall in Love

 

“Alasan aku pergi ke luar negeri dan tidak terlibat dengan perusahaan adalah karena Papa memintaku begitu,” Irene mulai bercerita. “Papa bilang, jika aku tidak terlibat dengan perusahaan, aku akan baik-baik saja dan aku bisa melakukan apa pun yang kusuka.”

Irene menarik napas dalam. “Ya, aku memang tidak pernah tertarik dengan perusahaan. Aku lebih suka melakukan hal lain di luar sana. Berfoya-foya, kata orang-orang di sekitarku. Itulah yang Papa ingin aku tunjukkan pada orang-orang, agar mereka tak menyentuhku ataupun sahamku. Karena mereka akan berpikir, aku tak tahu apa pun tentang saham dan perusahaan. 

“Aku melakukan itu semua karena permintaan Papa. Tapi, aku tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba ada kabar jika Papa meninggal di meja operasi. Aku bahkan tidak tahu jika Papa sakit. Malam itu, aku masih sempat berbicara dengan Papa lewat video call, tapi besoknya … mereka bilang Papa meninggal di meja operasi.” Irene mendengus. 

Bahkan hingga saat ini, Irene masih tak percaya. Ini tidak masuk akal. 

“Tapi, semua rekam medisnya menunjukkan jika memang Papa sakit. Nadine bilang, Papa menyembunyikan penyakitnya dariku. Papa terkena kanker hati. Mereka bilang mereka akan mengoperasi Papa, tapi saat operasi … Papa meninggal. Papa bahkan selalu melakukan check up rutin, tapi bagaimana bisa …” Irene mendengus geli kali ini. 

“Ini benar-benar omong kosong tergila yang pernah kudengar. Jadi, aku berusaha menyelidikinya. Tapi … tidak ada jejak sama sekali. Staf rumah sakit diganti. Ketika aku bertanya pada Nadine apa alasannya, dia bilang, mereka harus bertanggung jawab karena tak bisa menyelamatkan Papa.” Irene tertawa pelan. 

“Ini benar-benar gila, kan?” Irene menatap Licia yang menatapnya simpati, dengan tatapan berkaca-kaca.

“Kau baik-baik saja?” tanya Licia. 

Irene tersenyum. “Tentu saja.” 

“Kau tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku, Irene. Aku tahu kau sedang berduka, jadi kau bisa menangis di depanku, kau bisa bersedih di depanku,” Licia berkata. 

Irene tersenyum lebar. “Tapi, aku baik-baik saja, sungguh.” 

Irene merasakan bahunya diputar dan ia menatap tajam pada pria brengsek bernama Jason, yang menjadi pelakunya. 

“Apa kau selalu seperti ini?” tanya pria itu tiba-tiba. 

“Apa maksudmu?” sengit Irene. 

“Menyembunyikan emosimu seperti ini,” sebut pria itu. 

Irene menepis tangan Jason dan kembali menatap Licia. 

“Aku perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Papa ketika aku tak di sini,” Irene berkata. “Kurasa aku butuh bantuanmu untuk itu juga.” 

Licia mengangguk. “Aku akan membantumu mencari tahu.” 

“Juga,” Irene menambahkan, “aku perlu kau membantuku masuk ke perusahaan.” 

“Kau tahu itu akan berbahaya, kan?” tanya Luke. 

Irene mengangguk. “Aku tidak punya pilihan lain. Jika aku tidak masuk ke perusahaan, Nadine akan mengincar sahamku. Daripada aku menyerahkan sahamku padanya, lebih baik aku menggunakannya sendiri untuk melindungi perusahaan.” 

“Kakak tirimu mungkin akan mengamuk jika kau masuk ke perusahaan,” Jason angkat suara. 

Tell me something I don’t know.” Irene tak dapat menahan kesinisan dalam suaranya. 

“Kau bahkan tak tahu apa pun tentang perusahaan,” Jason berkata lagi. 

“Kau tak perlu mengingatkanku tentang itu,” ketus Irene. 

“Lalu, apa rencanamu? Kau pikir duduk di kursi direktur itu hanya duduk-duduk saja?” Jason melanjutkan. 

Irene tak bisa menahan diri dan menatap Jason kesal. 

“Aku bisa belajar,” tandasnya. 

“Kau pikir mereka akan membiarkanmu masuk perusahaan begitu saja hanya karena kau sudah belajar? Apa kau juga mempelajari itu ketika kau kuliah?” kejar Jason. 

“Karena itu kan, aku meminta bantuan Licia,” desis Irene jengkel. 

“Lalu, apa rencanamu dengan meminta bantuan Licia? Dia toh tidak bisa menempatkanmu di kursi direktur hanya karena dia ingin, kan?” Jason masih membalas. 

Irene mendengus tak percaya. Kenapa pula Licia harus membawa pria menyebalkan ini? 

Menyerah berbicara dengan Jason, Irene kembali menatap Licia. 

“Ada perusahaan fashion milik grup perusahaanku yang nyaris bangkrut,” Irene menyebutkan. “Aku bisa masuk ke perusahaan lewat itu. Aku dulu belajar tentang fashion dan aku cukup bagus dengan itu. Tapi, aku butuh seseorang untuk membawaku ke sana. Kau … bisa melakukannya, kan?” 

Irene tak bisa untuk tidak ragu kali ini. Ia tahu Licia punya kekuasaan, tapi perusahaan fashion-nya nyaris bangkrut. Jika Licia berinvestasi ke perusahaan itu, dia mungkin …

“Apa kau ingin Licia membuang uangnya untuk perusahaan yang sudah bangkrut?” Jason berbicara. 

Irene mendesah berat. “Karena itu, aku akan memberikan sahamku padamu,” Irene berkata pada Licia. “Jika aku yang memulai perbaikan di sana, mereka tidak akan mendukungku. Mereka akan langsung menghalangiku dan aku akan membuang uangku dengan sia-sia. Aku lebih baik memberikan sahamku padamu daripada menyerahkannya pada Nadine,” ungkap Irene putus asa. 

“Irene.” Suara Licia terdengar sedih. 

“Karena itu … bantu aku, Licia,” pinta Irene. Seumur hidupnya, ini pertama kalinya ia meminta, memohon, pada seseorang. 

Licia tersenyum. “Aku akan membantumu,” ucapnya, tak sedikit pun ragu. “Tapi, masalahnya bukan uangku, Irene.” 

Irene mengerutkan kening.

“Nadine tidak akan membiarkanmu begitu saja jika kau masuk ke perusahaan. Kau harus melindungi dirimu sendiri,” sebut Licia. “Dia akan mencoba menyerangmu, tidak hanya di perusahaan.” 

“Aku sudah siap menghadapi itu,” Irene berkata. “Aku bisa menggunakan media …”

“Kekuatan Nadine lebih besar darimu,” sela Jason. “Dia bisa membeli media.” 

Irene menatap pria itu kesal. “Lalu, kau ingin aku menyerah karena itu?” 

Jason menggeleng. “Aku akan menjadi pengawalmu.” 

Pernyataan Jason membuat Irene melongo. Apa katanya tadi? Pengawal? 

“Dia juga bisa membantumu dengan masalah perusahaan,” Luke menyambung. 

Irene menatap Luke, berharap pria itu menarik kata-katanya tadi, tapi suami Licia itu hanya tersenyum. 

“Dia juga membantuku di perusahaan. Dalam masalah perusahaan dan di luar itu juga,” Luke berkata lagi. 

“Itu menjadi syarat keduaku,” Licia menambahi. 

Irene menatap Licia tak mengerti. 

“Aku akan membantumu. Dengan syarat, Jason ada di sampingmu. Dia akan membantumu, melindungimu, di perusahaan, dan di luar perusahaan,” Licia berkata. 

Irene menggeleng tak setuju. Sejak awal melihat pria ini, ia sudah membencinya. Sungguh. Bahkan Irene tidak terlalu suka gagasan ia menyelamatkan pria itu dulu. Ia hanya terpaksa. 

“Kau tahu hanya aku yang bisa membantumu, Irene. Jadi, biarkan aku membantumu,” ucap Licia lembut, berusaha meyakinkan Irene. 

Ya, Irene tahu itu. Namun, dengan Jason ….

“Kau bisa menghajarnya jika kau ingin,” Licia berujar. “Kapan pun kau ingin, kau bisa menghajarnya. Bagaimana?” 

“Licia, yang benar saja!” protes Jason di sebelah Irene. 

“Aku tahu dia menyebalkan dan aku bisa mengerti jika dia membuatmu kesal. Jadi, aku memberikan hak itu padamu,” ucap Licia lagi. “Kau bisa melemparkan kata-kata paling kejam, paling kasar sekalipun pada Jason.” 

“Seperti yang kau lakukan pada Luke?” Jason menyerang Licia. 

Licia menyipitkan mata kesal pada Jason. “Itu dulu,” sengit Licia. 

“Bukan berarti itu akan menghapus masa lalu,” sahut Jason dengan nada meledek. 

Licia menatap Irene lagi. “Kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan pada pria ini, asal kau membiarkannya ada di sampingmu,” kata Licia dengan lebih meyakinkan. “Toh apa pun yang kau lakukan, itu tak akan membuatnya pergi.” 

Irene mengangkat alis. “Apa dia punya utang kepadamu?” 

Licia menatap Jason sekilas, lalu menjawab Irene, “Itu, kau bisa tanyakan sendiri padanya. Itu pun, jika kau mau.” 

Irene mendengus geli. “Kau tahu jawabannya,” balas Irene. “Baiklah, aku setuju dengan penawaranmu.” 

Licia tersenyum senang mendengar itu. “Kurasa, besok kita harus bertemu di tempat terbuka lagi,” Licia berkata. 

Irene tersenyum geli, mengangguk. “Setidaknya sampai aku masuk ke perusahaan, Nadine tidak boleh tahu rencanaku ini.” 

Licia mengangguk. “Aku akan berbicara dengan direktur lain yang cukup kuat, yang tidak berada di pihaknya.” 

Irene mengangguk. “Kau juga tahu tentang masalah perusahaan sekarang?” 

Licia mengedik pada Luke.

“Terkadang dia bisa terlalu penasaran. Setelah kejadian dengan om dan tante-tantenya, dia jadi begitu bersemangat belajar tentang manajemen perusahaan. Termasuk perangnya,” Luke menjelaskan. 

Irene tersenyum geli. “Dia beruntung bertemu suami sepertimu.” 

“Kau juga beruntung mendapatkan Jason di sampingmu,” Luke membalas. 

Senyum Irene seketika lenyap. 

“Dia juga sama menyebalkannya dengan Jason,” Licia berkata untuk menghibur Irene. “Abaikan saja dia.” 

Luke mendengus geli. “Sayang, kupikir untuk masalah perusahaan kau sudah menyerahkannya kepadaku?” 

Licia mengangguk. “Memang, tapi untuk yang satu ini, aku ingin belajar lebih banyak tentang perusahaan.” 

“Padahal kau bisa belajar hal lain yang lebih menarik,” ucap Luke. 

Licia mengangkat alis, bertanya tanpa kata. 

“Belajar menggoda suamimu, misalnya,” sebut Luke, membuat Licia menyipitkan mata tajam. “Yah, walaupun kau sudah cukup menggoda,” Luke menambahkan. 

“Jason benar-benar mengajarkanmu hal yang tidak penting,” dengus Licia. Ia menatap Irene dan berkata, “Jason adalah playboy sejati, kuingatkan kau.” 

Di sebelahnya, Jason protes tak terima, tapi Irene mendengus pelan. Sekarang semuanya masuk akal. 

Irene menoleh menatap Jason yang menggeleng tak terima. Pantas saja ia berani membalas ciuman Irene seperti itu ketika Irene hanya …. Wah, playboy brengsek ini benar-benar ….

“Kau yang menciumku lebih dulu waktu itu!” Jason tiba-tiba menyebutkan. 

Irene mendengus tak percaya. “Aku hanya menempelkan bibirku ke bibirmu. Hal yang bisa kulakukan pada tembok sekalipun.” 

“Kau tidak mencium tembok, Sayang,” balas Jason, membuat Irene menyipitkan mata karena panggilan pria itu. “Bahkan pria normal pun akan membalas ciumanmu itu, astaga!” 

“Aku tidak menciummu!” desis Irene tak terima. 

“Mau kutunjukkan padamu, apa yang kau lakukan padaku kala itu? Itu bukan ciuman, kan?” Jason mencondongkan tubuhnya ke arah Irene. Kontan Irene menahan dada pria itu. 

“Apa kau sudah gila?” Irene melotot galak. 

Jason memundurkan tubuh dan tersenyum. “Aku memang hebat dalam berciuman, tapi bukan berarti aku playboy,” pria itu berkata. 

Irene memutar mata dan kembali menatap ke depan, hanya untuk melihat Licia melongo. 

“Aku tidak tahu jika kalian memiliki hubungan seperti itu,” ucap Licia. 

“Bukan seperti yang kau pikirkan, jadi singkirkan pikiran bodoh itu,” Irene menepis dugaan Licia. 

“Tenanglah. Kau ciuman pertamanya,” Luke berkata. 

Irene pasti sangat bodoh jika percaya hal seperti itu. 

“Yang lainnya hanya latihan,” sambung Luke. “Jason mengajarkan itu padaku.” 

“Sudah kuduga,” celetuk Licia. 

“Kau benar-benar yang pertama, Sayang,” Luke berbicara pada Licia. “Aku hanya belajar dari Jason, bukan menjadi playboy sepertinya. Meski ciuman pertamaku denganmu sangat hebat, tapi kau …”

“Kurasa kita sudah bisa memesan sekarang,” Licia memotong kalimat Luke sementara wajahnya memerah. 

“Memesan kamar?” Luke menyahut, membuat Licia menendang kakinya, terbukti dari suara berisik di bawah dan erangan kesakitan Luke. 

“Kau benar-benar mengajarinya dengan baik,” desis Licia kesal pada Jason. 

“Yang itu, aku tidak mengajarinya, Licia,” debat Jason. Pria itu menatap Irene. “Percayalah padaku.”

Apa pria ini sudah gila? 

Mengabaikan Jason, Irene mulai memeriksa buku menu yang sudah ada di sana. Ia benar-benar akan membalas playboy brengsek ini. 

***

“Kau benar-benar sudah menciumnya?” Suara Licia sarat tuduhan. 

Di sebelah Jason, Tyler yang sedang menyetir mendengus geli. 

“Jatuh cinta pada ciuman pertama, Dude?” ledek Tyler. 

“Tutup mulutmu, Ty,” desis Jason. 

“Jangan main-main dengan Irene, Jason,” ucap Licia penuh peringatan. 

“Aku tidak main-main, Licia,” balas Jason. “Bahkan meski aku kehilangan nyawaku, aku tidak akan meninggalkannya.” 

“Kau benar-benar mencintainya?” selidik Licia. 

“Terserah bagaimana kau menyebutnya,” balas Jason. 

“Bagaimana bisa?” Licia masih tak berhenti. 

Tak bisakah Luke membantu Jason sedikit saja dengan mencium istrinya itu agar dia diam? 

“Apa karena dia menyelamatkanmu?” buru Licia. 

Tentu saja Luke tak akan membuat ini mudah bagi Jason. 

“Apa yang terjadi padamu waktu itu? Bagaimana dia menyelamatkanmu? Apa kau terluka? Apa dia terluka?” Licia melanjutkan bombardirnya. 

“Aku baik-baik saja, terima kasih pada Irene. Dan dia …” Jason menghentikan kalimatnya. 

“Dia terluka?” Licia setengah menjerit, membuat Jason mengusap telinganya. “Kau tidak melakukan ini karena itu, kan? Kau tidak menciumnya karena merasa bersalah padanya, kan?” 

“Siapa juga yang mencium seseorang karena rasa bersalah?” geram Jason. 

“Mungkin, kau,” tuduh Licia. 

“Apa kau juga mencium Luke karena rasa bersalah?” cibir Jason. 

“Kita membicarakan kau dan Irene.” Licia tidak goyah. 

“Aku menciumnya karena itu yang kuinginkan, Licia. Aku menciumnya karena aku pria normal. Apa itu cukup?” Jason akhirnya mengaku juga. 

“Belum,” jawab Licia dengan entengnya. “Jadi, bagaimana bisa kau jatuh cinta padanya?” 

“Kalau menurutmu, jatuh cinta itu bagaimana?” Jason balik bertanya. 

“Dia menjadi pusat duniamu. Hidupnya lebih penting dari dirimu. Kau tak bisa berhenti memikirkannya. Dan kau … mencintainya,” jawab Licia enteng.

“Tiga poin pertama, itu terjadi padaku,” Jason menyebutkan. “Apa kau puas sekarang?” 

Jason melihat Licia melongo di belakang dari kaca spion tengah. 

“Apa kau bahkan butuh alasan untuk jatuh cinta?” Jason bertanya lagi. 

Licia menggeleng. 

“Jadi, kenapa kau bertanya padaku?” lempar Jason. 

“Aku hanya … penasaran, bagaimana kau bisa jatuh cinta padanya …?” Licia masih terdengar tak percaya. 

Baiklah, Jason sendiri tak percaya akan apa yang ia lakukan ini. Namun, ia tak bisa mencegah dirinya untuk mengkhawatirkan dan memikirkan Irene. Entah apa alasannya, entah bagaimana. Yang Jason tahu, dunianya berpusat pada Irene. Saat ini pun, ia hanya ingin memastikan keselamatan Irene. Lebih dari keselamatannya sendiri.

Jika memang ini cinta, Jason bisa apa? Jika memang ia jatuh cinta, lalu apa? Ia toh tak bisa mengendalikan perasaannya. Licia berharap Jason akan melakukan apa?

“Satu hal yang pasti,” Luke berbicara. “Ini pertama kalinya Jason memperhatikan, memedulikan, sekaligus mengkhawatirkan seseorang selain aku, Tyler, dan yang lain, Licia. Dia memang playboy, tapi bukan berarti dia tidak bisa jatuh cinta, kan?” 

“Dan dia memilih Irene?” Licia masih membalas. 

Jason memutar mata. “Jika kau begitu ingin menemukan orang untuk disalahkan, kau bisa menyalahkan teman barumu itu, Licia. Karena aku sendiri juga tak tahu, apa yang dia lakukan, sampai membuatku tak berdaya seperti ini.” 

“Tak perlu khawatir. Aku tidak akan menyalahkanmu. Bagaimana bisa aku menyalahkanmu?” Licia mendengus pelan. “Kau hanya jatuh cinta.” 

Baiklah. Jason jatuh cinta.

***


 

-Chapter 3-

You can try to push me away

But I won’t go anywhere

Without you 

 

Love is Crazy

 

Irene menahan langkah di anak tangga pertama ketika Nadine memanggilnya dari ruang tengah. Sepertinya ia sudah menunggu Irene. Ia juga pasti tak puas karena tak bisa mendengarkan percakapan Irene dengan Licia di restoran tadi. 

“Aku tidak tahu jika kau dekat dengan cucu pemilik Kingdom Group,” Nadine berkata. 

Irene berbalik dan tersenyum pada kakak tirinya. “Kami dulu satu SMA. Mungkin, dia satu-satunya temanku.” Irene tak dapat menahan senyum teringat bagaimana Licia mengajaknya berteman tadi. 

“Kami berpisah saat kuliah. Dia juga setelah itu bekerja jauh dari sini. Aku pun pergi ke luar negeri. Kami kehilangan kontak,” cerita Irene. “Karena itu, ketika mendengar dia sudah pulang ke rumahnya, aku mengunjunginya. Hari ini tadi hari ulang tahunnya.” 

Irene seketika teringat jika ia tak membawakan kado apa pun untuk Licia. Oke, itu bisa ia pikirkan nanti. Hanya saja ... kenapa mendadak ia terpikirkan tentang kado? Karena Licia temannya. Oke, alasan itu bisa diterima. Licia tidak akan berpikir Irene berlebihan jika memberikan kado padanya, kan? 

“Kau … tadi pergi ke mana dengannya?” Nadine tampak penasaran. 

Irene tersenyum. “Hanya makan malam. Tadi aku sudah berpesan pada Pak Nando jika aku akan makan malam di luar. Pak Nando tidak menyampaikan apa pun padamu?” tanya Irene sok polos. Pak Nando adalah kepala pelayan di rumah itu. 

Nadine tampak salah tingkah. “Ah, mungkin dia lupa.” 

Irene mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku naik dulu,” pamit Irene seraya berbalik. Tanpa menunggu jawaban Nadine, ia melangkah menaiki tangga, menuju kamarnya. 

Begitu Irene berada di kamar, ia tak dapat menahan senyum. Nadine takut pada kekuasaan Kingdom Group. Apa dia juga tahu jika suami Licia adalah pemilik Westwood Property? Nadine pasti tidak menyangka jika Irene mengenal Licia. 

Irene melempar tas ke tempat tidur, sebelum ia menyusul. Ia berbaring menatap langit-langit kamar. Memikirkan percakapannya dengan Licia tadi, Irene lagi-lagi tersenyum. Ia tak ingat kapan terakhir kali ia tersenyum. 

Ia benar-benar berterima kasih pada Licia. Bahkan dengan semua resiko itu, dia mau membantu Irene. Suaminya pun tampaknya tak keberatan. Hanya ada satu masalah. Jason. 

Apa yang akan Irene lakukan dengan pria itu? 

Sejak awal, ia sudah tidak menyukai Jason. Namun sekarang, ia harus terjebak dengan pria itu. 

Ini demi Papa, demi perusahaan. Irene mengingatkan dirinya sendiri. Ya. Sudah waktunya ia yang berjuang untuk papanya. Toh selama ini, ia hanya bersembunyi dan berlari. Seharusnya dulu, ia berkeras untuk ikut membantu papanya di perusahaan. Seharusnya …. 

Irene mengusir penyesalannya dengan cepat. Hanya menyesal tidak akan menyelesaikan apa pun. Hanya menyesal tidak akan membawanya ke mana pun. Jika ia ingin bergerak, ia harus berjalan. Jika ia ingin melawan dan bertahan, ia harus kuat.

***

Ketika baru tiba di rumah Luke dan Licia, Jason disambut dengan keributan di ruang makan. Licia dan Luke bergegas ke ruang makan, sementara Jason menoleh ketika Tyler memanggilnya. 

“Nenek Licia mengamuk?” tuduh Tyler. 

Jason mendengus geli, menggeleng. “Kurasa, istri Leo.” 

“Sellena?” Tyler mengangkat alis. 

Jason mengangguk. Pasangan itu benar-benar mengerikan. Bahkan setelah Sellena hamil pun … yah, Ben bilang wanita itu semakin mengerikan. 

Seperti dugaan Jason, saat mereka tiba di ruang makan, Licia tampak duduk di sebelah Sellena. Ia berbicara kalem pada istri Leo. 

“Kau tidak suka makanannya?” tanya Licia. 

“Aku tidak mau makan,” jawab Sellena dingin. 

“Kau harus makan, astaga!” desis Leo tak sabar. “Kau harus memikirkan bayi dalam kandunganmu, Sellena! Sekarang kau …” Leo menghentikan kalimatnya ketika Licia menatapnya tajam. 

“Kau mau makan di luar? Atau makan di taman?” tawar Licia kalem. 

Sellena menggeleng. 

“Apa kau akan makan jika aku mengusir Leo?” Licia kembali menawarkan. “Kau belum makan sejak tadi siang. Jika kau selemah ini, kau tidak akan bisa melawan Leo, kan?” 

Ah, sepertinya Luke sudah memberi tahu pada Licia tentang hubungan Leo dan Sellena. 

“Aku tidak ingin makan. Aku tidak merasa ingin makan,” kata Sellena pelan. “Aku juga tidak tahu kenapa.” 

“Baiklah,” Licia mengalah dengan cepat. Ia lantas berdiri dan menghampiri Leo. “Apa makanan kesukaanmu?” tanya Licia pelan, tapi Jason masih bisa mendengarnya.

Leo tentu saja kaget Licia tiba-tiba bertanya seperti itu. 

“Cepat katakan,” desak Licia. 

“Itu … tidak ada yang spesial, hanya … telur. Omelette. Semacam itu.” Leo mengedik pasrah. 

Jason bahkan tak tahu jika Leo punya makanan kesukaan. 

“Dia menyukainya karena Sellena yang membuatnya,” Ben berkata pelan di sebelahnya. 

Jason mendengus pelan. 

Licia kembali duduk di sebelah Sellena, lalu berkata pada Luke, “Maukah kau memasakkan omelette untukku?” 

Sellena seketika mendongak menatap Licia. 

“Kau juga mau?” tanya Licia pada Sellena. 

Mengejutkan Jason, Sellena mengangguk. “Mendadak aku ingin makan itu ketika kau menyebutkannya tadi.” 

Licia tersenyum lebar dan mengangguk. “Kalau begitu, aku akan membuatkannya untukmu juga. Spesial untukmu.” 

Sellena tersenyum. “Kau tidak perlu repot-repot …” 

“Aku hanya ingin berduaan dengan suamiku,” sela Licia, membuat Sellena tersenyum geli dan mengangguk. 

Penasaran dengan apa yang terjadi di depan matanya tadi, Jason mengikuti Licia dan Luke ke dapur. Leo bahkan mengikuti mereka juga. 

“Dia benar-benar tidak mau makan apa pun ketika aku menawarinya tadi,” Leo mengadu. 

“Pertama, karena itu kau yang menawari,” Licia menjawab. “Kedua, sepertinya karena kehamilannya, nafsu makannya berkurang. Nenek pernah bercerita padaku jika ibuku dulu sangat kurus ketika mengandung aku.” 

“Tapi, dia langsung mau ketika kau menawarinya omelette,” Leo terdengar tersinggung. 

“Itu karena bayinya. Bayinya yang menginginkannya,” Licia menjelaskan. “Kata nenekku, ayah dan ibuku dulu juga begitu. Ibuku sama sekali tidak ingin makan apa pun, tapi ketika melihat ayahku makan makanan kesukaannya, ibuku langsung ingin makan itu.”

“Itu … bagaimana bisa seperti itu?” Leo menatap Licia takjub. 

“Karena itu bayimu juga, Leo. Kau dan Sellena punya hubungan yang sangat kuat lewat bayi kalian itu,” Licia berkata. “Bahkan ada kasus di mana sang suami mual dan muntah atau mengidam karena kehamilan istrinya.” 

Wah, hubungan Leo dan Sellena benar-benar sudah berada di tingkat yang berbeda. Jason takjub. 

“Bagaimana kau bisa tahu sebanyak itu?” Luke merangkul Licia yang sedang memasak omelette

“Aku membaca dari buku. Nenek juga menceritakan sebagian padaku,” jawab Licia. “Aku sudah terlambat hampir tiga minggu, jadi aku akan memeriksakannya besok,” Licia berbisik pada Luke. 

Seketika, Luke melotot kaget. Kemudian, ia tertawa keras, memeluk Licia, mencium puncak kepala Licia berkali-kali hingga Licia harus mendorongnya. 

“Belum positif, Luke,” Licia berkata. 

Luke sepertinya tidak peduli, melihat bagaimana ia menyeringai layaknya idiot

“Selamat untuk kalian,” ucap Leo. 

Licia menoleh pada Leo dan membalas, “Belum kupastikan.”

“Toh cepat atau lambat akan terjadi juga, jadi kuucapkan selamat lebih dulu,” sahut Leo enteng. 

Licia mendengus pelan. 

“Dan terima kasih tentang Sellena,” Leo menambahkan. 

Licia tersenyum. “Jika kau memang begitu mencintainya, kenapa kau tak mengatakan itu padanya?” 

Leo tak menjawab. 

“Apa kau tahu apa yang kulakukan pada Luke bahkan setelah ia menyatakan perasaannya padaku?” Licia berkata. 

Leo menatap Licia. 

“Aku berharap dia mati,” sebut Licia, membuat Leo melotot kaget. 

“Aku juga mengucapkan kata-kata kejam lainnya pada Luke,” lanjut Licia. “Tapi, itu toh tak membuat Luke pergi. Pada akhirnya, aku yang melihat perasaannya dan mulai menyadari perasaanku padanya. Jadi kau juga, nyatakan perasaanmu padanya. Memangnya kenapa jika dia menolakmu? Itu toh tak akan membuatmu menjauh darinya. Kau hanya perlu mengucapkannya lagi dan lagi. Sampai dia mendengarmu, sampai dia menerimamu.” 

Keterkejutan Leo perlahan berganti senyum. “Benar kata Luke,” ucapnya. “Kau sama keras kepalanya dengan Sellena.” 

Licia tersenyum. “Karena itu, jangan menyerah. Sekeras kepala apa pun Sellena, sama sepertiku, dia nanti akan melihat perasaanmu. Karena, Leo, tidak ada yang bisa mengingkari perasaan tulus seseorang.”

Leo tersenyum dan mengangguk. “Luke benar-benar beruntung,” ucap Leo. 

“Begitu pun denganku,” balas Licia seraya memindahkan omelette ke piring. 

“Aku juga harus berterima kasih pada nenekmu atas pengertiannya karena sikap Sellena. Nenekmu bahkan tadi makan malam dan pergi lebih dulu, agar Sellena bisa makan sendirian dengan tenang,” Leo menyebutkan. 

“Nenek tahu Sellena sedang hamil. Juga …” Licia menatap Leo sekilas. “Nenek tahu hubunganmu dengan Sellena yang sebenarnya.” 

Leo melongo. 

“Aku memberitahukan pada Nenek tentang itu sebelum aku berangkat untuk makan malam di luar tadi. Aku sudah berpesan pada Nenek untuk melerai kalian jika kalian bertengkar, tapi sepertinya Nenek memilih untuk melarikan diri,” kata Licia geli. “Ah, bukan melarikan diri, tapi sepertinya Nenek memberimu kesempatan,” ralat Licia. 

Leo mendengus tak percaya. “Kesempatan untuk apa?” 

“Untuk menyatakan perasaanmu pada Sellena, untuk bersikap manis pada Sellena, untuk membujuk Sellena,” Licia menyebutkan dengan santai. “Tapi, kau bahkan tak melakukan satu pun dari itu.” 

Sementara Leo masih tampak terkejut dan tak percaya, Licia membawa piring berisi omelette ke ruang makan. Bahkan setelah mengenal Licia selama beberapa waktu, Jason masih bisa takjub dengan wanita itu. 

Jason lalu teringat apa yang tadi dikatakan Licia pada Irene. 

“Toh apa pun yang kau lakukan, itu tak akan membuatnya pergi.”

Licia benar tentang itu. Apa pun yang dilakukan Irene, apa pun yang dikatakannya pada Jason, itu tak akan bisa membuat Jason pergi dari wanita itu.

***

 

Gift of a Friend

 

Sore itu, Irene dan Licia bertemu lagi di restoran yang sama. Restoran itu ternyata milik teman dekat Licia. Namun, ketika Irene baru tiba, Licia tiba-tiba berdiri dan memeluk Irene, untuk berbisik, 

“Kita hanya akan mengobrol tentang hal-hal selain perusahaan kali ini. Masalah yang lain, nanti kau cek di tasmu.” 

Lalu, Irene merasakan seseorang mengambil alih tasnya. Saat Licia melepaskan pelukannya, Irene melihat Jason yang sudah duduk memangku tasnya. Itu pemandangan yang lucu sebenarnya, tapi Irene tak berkomentar apa pun dan menyambar tasnya dari Jason sebelum duduk. 

“Selama kau pulang, apa kau sudah jalan-jalan di kota ini?” tanya Licia. 

Irene menggeleng. 

“Kita bisa jalan-jalan ke perkebunan tehku. Luke sudah memperbaikinya dan tempatnya jadi lebih bagus lagi. Pemandangannya benar-benar indah di sana. Ah, Luke juga membangun resort-nya di sana,” cerita Licia. 

“Aku tentu akan senang sekali jika bisa pergi ke sana. Sejak aku pulang kemari, aku tidak pergi ke mana pun. Untung kau pulang ke sini,” ucap Irene. 

Licia tersenyum. “Kau harus main ke rumahku lagi. Kita bisa berkuda di peternakan atau ke rumah kaca. Kau bisa mengambil mawar putih sesukamu. Luke menanam mawar putih di rumah kaca.” 

Irene menatap Luke dan tersenyum. “Suamimu orang yang romantis, sepertinya.” 

“Aku sangat romantis, sebenarnya,” Luke menekankan. “Oh, jika kita ke peternakan, Licia tidak akan bisa berkuda. Dia sedang hamil.” 

Irene terbelalak, lalu berseru senang, “Wow, selamat Licia!” 

Licia tersenyum lebar. 

“Wow,” gumam Irene, menatap Licia takjub. “Kau hamil, wow.” 

“Itu karena dia sudah menikah. Apa istimewanya jika dia hamil?” celetuk Jason di sebelah Irene, membuat Irene dan Licia menatapnya galak. 

“Oke, oke, terserah kalian,” Jason mengalah. 

“Ketika aku melihatmu lagi, rasanya baru kemarin kita lulus SMA. Dan sekarang, kau sudah akan menggendong bayi,” ucap Irene haru. 

“Kalian sudah lulus SMA sejak bertahun-tahun lalu,” Jason menyahut. 

Irene melemparkan tatapan tajam pada pria itu. 

“Jika kau bosan, kau bisa bermain di luar,” Irene berkomentar. 

“Kau mau bermain denganku?” tanya pria itu dengan gilanya. 

“Tidak,” tolak Irene tegas. 

“Kalau begitu, aku juga tidak,” balas Jason enteng. 

Astaga, pria ini ….

“Dia bisa sangat kekanakan dan menyebalkan, kadang-kadang,” Licia mengadu. 

“Oh, sama-sama, Licia,” Jason masih bisa membalas, membuat Licia mendesis kesal. 

Lalu setelahnya, mereka hanya mengobrol tentang keseharian mereka. Irene menceritakan tentang kehidupannya di Amerika. Pesta-pestanya, tempat-tempat favoritnya. 

“Sebulan ada tiga puluh hari dan kau berpesta lebih dari tiga puluh kali dalam sebulan,” celetuk Jason di tengah cerita Irene. 

Yeah. Karena di bulan tertentu ada tiga puluh satu hari,” jawab Irene. 

Jason tersenyum geli dan Irene memalingkan wajah, menolak melihat senyum pria itu. Pria itu punya senyum yang menyebalkan. 

***

“Kakak tirinya benar-benar mengerikan,” Tyler berkata saat Jason masuk ke dalam mobil. Di belakang, Luke dan Licia juga ikut masuk. 

“Dia merencanakan sesuatu lagi?” Jason waspada. 

Tyler mengangguk. “Tadi pagi, sebelum Rico dan yang lain pulang, Rico dan Ben pergi untuk mencari tahu siapa tangan-tangan kotor kakak tiri Irene. Mereka adalah pembunuh sekelas dirimu, Jas. Wanita itu, jika Nadine menginginkannya, dia bisa langsung mati.” 

Jason mengumpat kasar. “Beri aku informasi tentang orang-orang itu,” pintanya. 

“Kau mau membunuh mereka atau apa?” tanya Luke di belakang. 

“Aku harus menyingkirkan mereka sebelum mereka menyentuh Irene,” tandas Jason. 

“Jangan bodoh,” tepis Tyler. “Jika kau menyingkirkan mereka, Nadine akan mencari pembunuh baru lagi yang kita tidak tahu. Begini lebih baik. Kita bisa mengawasinya.” 

Jason mendesah berat. 

“Jika Nadine tahu aku membawa Irene ke perusahaan, bagaimana jika dia melakukan hal yang buruk pada Irene?” cemas Licia. 

“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Licia,” tegas Jason. “Kurasa, aku harus ikut bersamanya di rumah itu.” 

“Kecuali kau menikah dengannya, kau tidak akan bisa masuk ke rumah itu,” Luke berkata. 

“Kurasa itu boleh juga,” Licia berkata. “Kau bisa menikah dengan Irene dan melindunginya di sampingnya. Seperti yang dilakukan Luke padaku dulu.” 

“Aku sama sekali tidak keberatan dengan itu, Licia,” balas Jason enteng. “Tapi, begitu aku mengungkapkan gagasan itu, temanmu itu akan mencekikku. Aku bisa menjamin itu.” 

Luke mendengus geli. “Kenapa dia begitu membencimu? Bahkan sepertinya, dia tidak butuh alasan untuk membencimu.” 

“Tidak masalah,” Jason membalas. “Setidaknya, aku juga tidak butuh alasan untuk melakukan semua ini untuknya. Untuk mengkhawatirkannya, memikirkannya, memaksa berada di sampingnya.” 

Tyler terkekeh. “Ketika dia menyelamatkanmu, separah apa dia terluka sebenarnya?” tanyanya penasaran. 

“Benar,” tandas Licia. “Jika kau melakukan ini karena berutang budi padanya …” 

“Aku tidak mencium seseorang karena merasa berutang budi padanya, Licia,” sela Jason. “Dan aku tidak setiap hari mengorbankan nyawaku untuk wanita yang kucium.” 

“Oke, kalau begitu,” Licia mengalah dengan cepat. 

“Berapa lama lagi sampai Irene akan masuk ke perusahaan?” tanya Jason. 

“Aku akan bertemu dengan salah satu direktur di perusahaan Irene minggu depan. Tidak lama lagi, tentunya,” Licia menjawab. 

“Setelah itu, aku yang akan mengambil alih, Licia,” Luke berkata. 

“Luke, ayolah ....” Licia mengerang protes. 

“Berada di dekat Irene akan sangat berbahaya. Jika kau lupa, kau sedang hamil bayi kita. Aku tahu kau peduli pada Irene, dan aku berjanji, aku akan memastikan dia selamat,” Luke mengucapkan. 

Licia mendesah berat, masih tak terima, tapi ia tak protes. 

“Aku akan membawa Irene sering-sering bermain ke rumah kalian nanti,” janji Jason. 

Licia mendengus pelan, lalu tersenyum kecil. 

“Kurasa aku akan semakin mengerti perasaan Sellena,” cetus Licia, membuat Jason dan Luke menatapnya bingung. “Karena kehamilannya, Leo tak bisa meninggalkan Sellena sendiri, tak bisa membiarkan Sellena jauh darinya. Karena ia takut Sellena dan bayinya akan terluka.” 

“Ya, Licia, aku juga takut jika sesuatu terjadi padamu dan bayi kita. Tapi, lebih dari itu, aku lebih suka jika kau ada di sampingku. Leo juga, pasti merasakan itu,” sahut Luke. 

“Tapi, aku terkejut melihat bagaimana Sellena begitu membenci Leo. Dia benar-benar tidak mencintai Leo. Bagaimana bisa?” tanya Licia penasaran. 

Jason meringis. Karena Leo melakukan hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Sudah untung sekarang Sellena tak lagi mencoba membunuh Leo di setiap kesempatan. 

Jason tak bisa mencegah untuk berharap, semoga ia dan Irene tidak perlu melewati jalan seterjal itu. 

***

Sekembalinya Irene ke rumah, ia segera mencari ke dalam tasnya. Ia menemukan sebuah flashdisk warna merah di sana. Segera ia mengecek isi flashdisk itu. 

Di flashdisk, ternyata Licia memasukkan informasi tentang mall milik perusahaan suaminya yang akan menyediakan tempat baru untuk perusahaan fashion Irene. Selain itu juga, Licia sudah menyiapkan investasi untuk perusahaan itu, bahkan menyiapkan model-model dari perusahaannya. 

Nenek Licia pasti sangat menyayangi Licia, melihat bagaimana ia membiarkan Licia melakukan semua ini. Beruntungnya Licia, karena memiliki banyak orang yang mendukungnya. 

Sementara di sini, Irene harus menghadapi pengkhianatan kakak tirinya, dan orang-orang kepercayaan ayahnya juga. Tak ada yang bisa ia percaya di rumah ini, selain Bi Nonik. Namun, Bi Nonik toh tak mengerti tentang masalah perusahaan. 

Pikiran Irene terputus ketika ia membaca tulisan di halaman terakhir informasi yang diberikan Licia. 

“Betapa pun beratnya ini nanti, jangan menyerah, Irene. Karena aku ada di sini. Jadi, jangan takut, jangan menyerah. Kita akan melewati ini bersama-sama.”

Irene tersenyum haru. Bahkan hingga detik ini, ia masih tak percaya, ia bisa mendapatkan teman seperti Licia. Dulu, pasti terasa sangat berat bagi Licia. Seandainya Irene bisa memutar ulang waktu, ia benar-benar akan bersikap lebih baik pada Licia, menjadi teman yang baik untuknya. Jadi setidaknya, ia tidak perlu merasa semalu ini untuk menerima semua bantuan dan kebaikan Licia. 

***
 

My Beautiful Thief 

 

“Apa ini?” tanya Licia bingung ketika Fransisco memberikan padanya sebuah kotak yang terikat pita pink

“Nona Alastair mengirimkan ini untuk Nyonya Licia,” Fransisco berkata. 

“Westwood, Fransisco,” Luke mengoreksi. “Kau harus mulai menerima kenyataan jika dia sekarang adalah istriku.” 

Fransisco mengangguk, hanya mengangguk. Seperti biasanya. Namun, besok dia akan mengulangi itu lagi. Sepertinya, dia senang membuat Luke kesal karena masalah itu. 

“Irene mengirimkan ini … untukku?” Licia terdengar tak percaya. 

Fransisco mengangguk. Jason jadi penasaran juga dengan hadiah dari Irene. 

“Kenapa dia tidak memberikannya langsung saja saat bertemu denganmu tadi?” tanya Jason penasaran. 

Licia tersenyum. “Aku bahkan tak bisa meminta lebih dari ini,” balasnya. 

Licia membawa kotak itu ke ruang keluarga, tak sabar untuk membukanya. Begitu Licia membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya, Jason bisa melihat sebuah one piece dress selutut warna putih berbahan sifon yang sangat cantik. Gaun santai tanpa lengan itu tampak sederhana, tapi cantik. 

Ketika melihat sebuah kartu ucapan di kotak itu, Jason mengambil dan membacanya lebih dulu. 

Selamat ulang tahun, Licia. 

Aku tidak tahu apa kau akan suka, tapi aku mengerjakan ini sejak semalam, dan terburu-buru. Hasilnya tentu tidak begitu bagus, tapi ini hadiah pertamaku untukmu. Lain kali, akan kubuatkan yang jauh lebih bagus. Kudengar, teman memberikan hadiah kapan pun dia ingin. Jadi, aku akan begitu juga. 

Aku sedang belajar untuk berteman, jadi tolong bersabarlah denganku, oke? Aku akan belajar dengan cepat dan menjadi teman yang baik untukmu.

Wanita itu bahkan tak memberikan namanya di sini. Jason menyerahkan kartu di tangannya pada Licia dan Licia tersenyum haru setelah membaca itu. 

“Kau benar-benar harus memastikan dia tidak terluka, Jason,” Licia berkata.

Jason tersenyum. “Bahkan tanpa kehadiran bayimu, kau sudah cukup emosional. Luke pasti akan kesulitan nanti.” 

Licia mendesis kesal pada Jason. Jason berkomentar, 

“Gaunnya cantik. Sayang, aku tak bisa memakainya.” 

Licia tertawa pelan. “Ini untukku, Jason. Bukan untukmu. Dan kurasa, Irene tidak akan mencium seseorang yang memakai gaun.” 

Good point. Kau bisa memiliki gaun itu,” kata Jason sebelum ia berbalik dan lebih dulu meninggalkan ruang keluarga.

Ada yang harus ia lakukan dengan Tyler. 

***

Irene tak dapat menyembunyikan kebingungannya ketika pagi itu, Bi Nonik memberitahukan jika seseorang yang mengaku temannya mencarinya. Namun, saat ia menuruni tangga menuju ruang tengah, kebingungannya segera berganti keterkejutan demi melihat Jason di sana. 

“Ayo jalan-jalan,” ajak Jason dengan santainya. 

Pria itu berjalan ke arah tangga, menunggu Irene di anak tangga terbawah. 

“Kau bilang kau belum sempat jalan-jalan sejak pulang dari luar negeri,” Jason berkata lagi. Pria itu mengulurkan tangan. 

Irene mendengus pelan, tapi ia melangkah turun. Tanpa menyambut uluran tangan Jason, dilewatinya pria itu sembari berkata, 

“Ayo.” 

Irene mendengar dengusan pelan Jason di belakangnya, sebelum pria itu menyusul, menjajari langkahnya. 

“Kau ingin pergi ke mana hari ini?” tanya Jason. 

“Aku tidak tahu banyak tempat di sini,” jujur Irene. 

“Mau main ke mall Luke?” tawar Jason. 

Irene tersenyum. Sekalian melihat tempat di mana brand fashion-nya akan dipajang. “Tentu,” jawab Irene riang. 

Mungkin Irene yang terlalu senang, tapi ia tidak protes meski ia harus berdua saja dengan Jason di mobil pria itu. Sepanjang jalan, ia bisa santai melihat-lihat kanan-kiri jalanan yang ia lewati. Sampai Jason mengajaknya bicara, 

“Kau sudah sarapan?” 

“Jangan mengajakku bicara,” putus Irene. 

Ia mendengar dengusan tak percaya pria itu, tapi Irene tak begitu peduli. 

“Sebelum kita pergi ke mall, kita harus melakukan sesuatu,” Jason berbicara, membuat Irene seketika menoleh padanya. 

Apa maksudnya?

“Ada terlalu banyak penggemar yang mengikutimu,” ucap Jason lagi seraya melihat spion tengah. 

Irene mengerutkan kening ketika melihat sebuah mobil tepat di belakang mobil Jason. 

“Bukan hanya itu,” Jason berkata. “Kakak tirimu itu siap melenyapkanmu jika dia melihat tanda-tanda pemberontakanmu.” 

Irene mengernyit. 

“Nanti akan kutunjukkan padamu siapa saja yang harus kau waspadai,” Jason memberitahu. “Tapi sekarang, kita harus melacak keberadaan mereka semua.” 

“Apa maksudmu melacak mereka?” Irene menatap Jason bingung. 

Jason tersenyum sembari menatapnya sekilas. “Kita akan memancing mereka semua keluar. Orang-orang dari pihak kita akan mengikuti mereka dan memasang pelacak. Jadi, kita akan tahu pergerakan mereka setelah ini.” 

Irene mendesah berat. “Aku benar-benar dipenjara, ya?” dengusnya kemudian. 

Irene menatap keluar jendela, mendadak merasa iri pada gerombolan burung yang terbang di langit di atasnya. 

“Kau akan bebas, Irene. Aku berjanji,” Jason berkata di sebelahnya. 

Irene mengernyit, tapi ia tak menatap pria itu, berusaha untuk tak peduli. Namun, ia tahu, kata-kata pria itu membuatnya berharap. 

***

Setelah Tyler melapor jika mereka sudah mendapatkan posisi semua mata-mata Nadine, barulah Jason berhenti berputar-putar dan membawa Irene ke mall

“Wah, aku baru tahu jika mall-nya sejauh ini,” Irene berkomentar ketika mereka turun dari mobil, tapi wanita itu tak terdengar kesal. 

Jason tersenyum dan ikut turun. “Ke mall ini rencana Licia. Yang tadi rencanaku. Membawamu berkeliling kota.” 

Irene menoleh padanya, tampak terkejut. Jason tersenyum. 

“Jangan terpesona padaku sekarang. Aku bahkan belum melakukan apa pun.” Jason menggoda wanita itu, membuat Irene memutar mata dan melangkah lebih dulu meninggalkannya. 

“Licia dan Luke masih di jalan,” Jason berkata seraya menyusul Irene. “Jadi, sambil menunggu mereka, aku akan menemanimu jalan-jalan. Jika ada barang yang ingin kau beli nanti, katakan saja padaku. Aku akan mentraktirmu.” 

Irene menghentikan langkah dan menoleh padanya. “Benarkah?” 

Jason mengangguk. 

Irene mengangkat dagu angkuh. “Baiklah.” 

Jason mendengus geli melihat tingkah wanita itu. Dari basement parkir, mereka masuk ke lift. Jason lebih dulu membawa Irene ke lantai tempat outlet pakaian bermerk di sana. 

“Kau mau menunjukkan sainganku padaku?” Irene menyipitkan mata tajam. 

“Kubilang, aku akan mentraktirmu,” Jason membalas. “Kau bisa memilih pakaian yang kau inginkan. Kau bisa sekalian melihat apa yang sedang tren saat ini, kan?” 

Irene mendengus pelan. “Aku tidak mengikuti tren,” wanita itu berkata. “Aku membuatnya.” 

Meski berbicara seperti itu, toh wanita itu memasuki sebuah outlet dengan merk kelas atas. Ia memilih beberapa gaun sekaligus bahkan tanpa mencobanya. 

“Kau harus mencobanya lebih dulu,” Jason memintanya. 

Irene menggeleng. “Kenapa? Kau tidak akan membelikanku jika aku tidak mencobanya? Atau, kau mau mencobanya sendiri?” 

Jason mendengus geli. Ia lalu meraih ke saku belakang celananya, hendak mengambil dompet. Namun, ia tak mendapati apa pun di sana. Ia mengecek saku jaketnya, tapi tak ada apa pun juga. Dompetnya ….

“Apa ini?” dengus Irene. “Kau bilang kau akan mentraktirku, tapi kau tak punya uang?” Nada meledek dalam suara Irene membuat Jason menatapnya kesal. 

“Bukan seperti itu. Dompetku …” 

“Lupakan saja,” tepis Irene. Wanita itu meraih ke saku belakang celananya dan mengeluarkan sebuah dompet yang sangat dikenali Jason. Dompetnya. 

Jason mendengus tak percaya. Tentu saja. Bagaimana bisa ia lupa tentang siapa wanita ini?

“Sejak kapan kau mengambilnya?” tuntut Jason. 

Irene mengedikkan bahu seraya mengeluarkan sebuah card dari sana dan memberikannya pada karyawan toko itu. Ketika ia meminta nomor pin, Irene mempersilakan Jason maju dengan isyarat tangan. 

Jason memasukkan nomor pinnya. “Di lift tadi, huh?” dengus Jason tak percaya. 

Irene tak menjawab. Setelah karyawan itu mengembalikan card Jason pada Irene, Irene mengembalikan card itu ke dompet dan melemparnya pada Jason. 

“Aku hanya meminjamnya sebentar,” wanita itu berkata santai. “Dan kau belum mentraktirku apa pun.” 

Belum mentraktir apa pun? Jason hanya bisa mendengus geli melihat tas-tas berisi pakaian yang dibeli Irene tadi. 

“Pastikan kau memakai apa yang kau beli, Irene,” Jason mengingatkan wanita itu. 

“Aku akan menggunakannya untuk bahan risetku atau semacam itu,” sahut Irene dengan entengnya. 

Mereka melanjutkan berjalan-jalan mengelilingi outlet-outlet pakaian di sana. Jason memperhatikan Irene ketika wanita itu tampak menilai, memperhatikan detail pakaian-pakaian di outlet-outlet itu.

“Apa rencanamu begitu kau bisa masuk perusahaan?” tanya Jason penasaran. 

Irene menoleh padanya, tapi tak lantas menjawab. Jason pikir, Irene tak mau membicarakan itu dengannya, tapi kemudian wanita itu berkata, 

“Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit itu. Bagaimana bisa mendadak Papa terkena kanker hati dan berakhir meninggal di meja operasi? Mereka bilang itu masih stadium awal dan operasinya mudah. Tapi, Papa meninggal di meja operasi. Tidak masuk akal, kan? Entah terjadi malpraktek atau seseorang sengaja menyamarkan kematian Papa dalam malpraktek.” 

Ekspresi Irene begitu datar saat mengatakan itu, membuat dada Jason terasa sakit. Jason tahu betapa terlukanya Irene, tapi … wanita ini tak menampakkan emosinya setiap kali ia membicarakan tentang ayahnya. 

“Tapi, untuk mencari tahu tentang itu, aku juga butuh kekuasaan. Aku sudah mencoba mencari tahu dengan kondisiku saat ini, tapi tidak ada yang memedulikanku. Gerakanku pun terbatas. Nadine akan menggagalkan rencanaku sebelum aku melakukan apa pun. Dan lagi, dia mungkin akan langsung membunuhku. 

“Karena itu, jika kau memang ingin membantuku, bantu aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit itu,” ucap Irene. “Bahkan meskipun itu adalah kasus malpraktek, menghilangnya staf lama yang ada di ruang operasi Papa mencurigakan, bukan? Bagaimana bisa aku diam saja ketika aku tahu, seseorang mungkin telah membunuh papaku?”

Jason meraih bahu Irene, membuat wanita itu menatapnya dan Jason berkata, 

“Aku berjanji padamu, Irene, aku akan membantumu mencari tahu tentang kematian papamu. Aku berjanji, aku tidak akan membiarkan Nadine menyakitimu. Tapi, aku meminta satu hal padamu. Jangan pernah bergerak sendiri tanpa seizinku. Hanya dengan begitu aku bisa melindungimu. Kau mengerti, kan?” 

Irene tampak terkejut ketika menatap Jason. 

“Kau mengerti, Irene?” Jason mengulangi. 

Akhirnya, Irene mengangguk dan menggumamkan “Oke,” dengan pelan. Itu cukup.

***

 

-Chapter 4-

Cry as much as you want

I’ll wipe all that tears for you

 

Breakdown

 

Pagi itu dilewati Irene dengan duduk di ruang keluarga, menikmati teh hangat sembari menonton berita dari televisi yang mengabarkan kerja sama Kingdom Group dengan AF Brand dari AF Group. Di sana juga diumumkan tentang Irene yang akan bertanggung jawab pada desain produk-produk AF Brand. Syukurlah, dulu papanya memilihkan sekolah ternama untuk Irene. 

Mungkin, papanya juga sudah menduga saat seperti ini akan datang. Alih-alih mengajarkan manajemen perusahaan, papanya memberi Irene kesempatan untuk melakukan apa pun yang ia suka. 

“Kau tidak perlu menjadi yang terbaik dalam segala hal, Irene. Tapi, kuasai satu hal yang kau sukai dengan baik. Dengan begitu, kau akan punya pegangan untuk masa depanmu, jati dirimu.”

Pesan papanya membuat Irene tersenyum sendu. Bukan hanya sebagai pegangan, sekarang apa yang Irene kuasai ini akan menjadi senjata Irene untuk melawan Nadine. 

Ketika pintu ruang keluarga menjeblak terbuka dengan kasar dan Nadine menyerukan namanya dengan marah, Irene masih tak mengalihkan tatap dari layar televisi. 

“Kau …!” geram Nadine seraya menuding Irene. 

Irene hanya menoleh sekilas pada Nadine, sebelum kembali mengabaikannya. 

“Berani sekali kau …!” Nadine berteriak marah. 

Irene menarik napas, sebelum berdiri dan menatap Nadine. “Seharusnya kau memberitahukan padaku semua tentang Papa ketika aku bertanya baik-baik. Juga … seharusnya kau tidak seserakah itu tentang sahamku. Aku tidak akan melakukan ini jika saja kau memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi pada Papa. Aku juga tidak akan melakukan hingga sejauh ini jika kau tidak menyentuh sahamku. Aku bahkan tidak pernah tertarik dengan perusahaan. Tapi, kau tak memberiku pilihan lain.” 

Nadine menggeram marah. “Karena itu, kau melawanku seperti ini?” Nadine mendengus kasar. “Baiklah. Lihat apa yang bisa kau lakukan untuk melawanku.” 

Nadine lalu berbalik dan berjalan kembali ke pintu. Ia berhenti sebentar di pintu dan berkata, 

“Ah, kurasa kau harus menemui pengacara Papa. Karena mulai hari ini, kau tidak akan tinggal di rumah ini lagi. Papa mewariskan rumah ini padaku. Kau bisa memastikan itu dengan pengacara Papa.” 

Kata-kata Nadine membuat Irene mematung di tempat. Apa … katanya? 

Irene tak sempat bertanya lebih lanjut karena Nadine sudah keluar dari ruangan itu, meninggalkan Irene jatuh terduduk di sofa. Ia … tidak akan tinggal lagi di rumah ini? 

Omong kosong. 

Papanya mewariskan rumah ini pada Nadine? 

Omong kosong! 

Itu tidak mungkin. Tidak boleh. Irene tidak bisa pergi dari rumah ini. Ia tidak mau pergi dari rumah ini. Ia tidak akan pergi dari rumah ini. Papanya tidak akan melakukan itu padanya. Tidak akan. 

***

Jason dan Irene berada di kantor pengacara keluarga Irene pagi itu. Jason pun tak tahu apa alasan Irene mencari pengacaranya, sampai pengacara keluarganya menjelaskan pada Irene barusan. 

“Papa … benar-benar mewariskan rumah itu pada Nadine?” Irene terdengar tak percaya, terluka. 

Pengacara itu, Hardian, mengangguk. 

“Dalam surat wasiat mendiang Direktur, tertulis jika rumah utama akan diwariskan kepada Nona Nadine, dan villa-nya untuk Nona Irene. Tapi, Direktur juga memberikan syarat bahwa Nona Irene bisa kembali ke rumah utama begitu Nona Irene sudah menikah,” jelas Hardian. 

Irene mendengus tak percaya. “Apa ini perbuatan Nadine? Berapa dia membayarmu?” desis Irene marah. 

“Irene, tenangkan dirimu.” Jason menahan bahu wanita itu. 

Irene menggeleng. “Papa tidak mungkin melakukan ini padaku. Aku yang tinggal di sana sejak kecil. Aku, Mama, dan Papa. Nadine datang hanya setelah Papa menikah dengan mamanya. Itu bukan rumah Nadine. Itu rumahku!” teriak Irene. 

Hardian menunduk, tak tampak terkejut dengan reaksi Irene. 

Jason mendesah berat, lalu menarik Irene berdiri. 

“Lepaskan aku! Pasti ada yang salah dengan wasiat Papa. Rumah itu … aku tidak bisa keluar dari sana!” raung Irene. 

“Tenanglah, Irene!” bentak Jason, membuat Irene akhirnya menatapnya. “Aku akan mencari cara untuk membawamu kembali ke rumah itu, jadi tenanglah.” Jason berusaha meyakinkan Irene. 

Wanita itu menggeleng. 

“Aku berjanji,” Jason berkata. “Aku akan membawamu kembali ke rumah itu, aku berjanji, Irene.” 

Amarah itu masih ada di mata hijau Irene, tapi wanita itu tampak lebih tenang. Ia menarik diri dari pegangan Jason, sebelum keluar dari ruangan pengacara itu. 

“Itu rumah Mama,” Irene berkata begitu Jason menjajari langkahnya di koridor menuju lift. “Perusahaan itu milik Mama. AF Group bukan milik Alastair, tapi milik Anthony, keluarga Mama. Mama adalah anak tunggal dan Papa mendapatkan perusahaan itu dari Mama. Perusahaan itu milik Mama, rumah itu milik Mama. Jadi, tidak mungkin Papa melakukan ini.” 

Jason mengernyit, sakit melihat Irene seperti ini. Wanita ini marah, tapi ia masih menahan amarah dalam dirinya. Ia terluka, tapi tak membiarkan kesedihan keluar dari dirinya. 

“Aku berhak atas rumah itu,” Irene berkeras. “Aku akan mengatakan pada Nadine bahwa …” 

“Kau sudah berjanji padaku,” sela Jason tajam. “Kau sudah berjanji untuk tidak bergerak sendiri tanpa seizinku.” 

Irene menghentikan langkah dan menatap Jason. 

“Lalu, kau mau aku bagaimana?” tanya wanita itu dingin. 

“Percayalah padaku,” Jason meminta. 

Irene mendengus kasar. 

“Lagipula, untuk saat ini kau memang lebih baik keluar dari rumah itu,” tandas Jason, membuat Irene menatapnya tajam. “Dengan begitu, kau bisa terbebas dari pengawasan Nadine.” 

Irene kembali mendengus kasar. “Kau pikir, dia tidak memasang mata-mata dan kamera pengawas di villa?” sinisnya. 

“Aku akan mengatasinya,” Jason menjawab. “Jadi, percaya saja padaku. Jika kau masih ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di ruang operasi itu, kau harus mendengarkanku.” 

Menyebut ruang operasi tampaknya ampuh untuk menyadarkan Irene. Wanita itu mendesah pelan, sebelum pandangannya menjadi kosong. 

“Sekarang, kita pulang dulu,” ajak Jason seraya merangkul bahu Irene dan membawa wanita itu pergi bersamanya. 

***

“Kau belum makan sejak tadi siang, Irene.” Suara Licia yang baru memasuki kamar Irene terdengar. Entah ini sudah keberapa kalinya Licia mengingatkannya untuk makan sejak ia datang ke villa Irene tadi siang. Ketika tahu Irene pindah ke villa, Licia langsung menyusulnya kemari. 

“Aku tidak lapar,” balas Irene tanpa membalikkan badan. Dirasakannya Licia duduk di tepi tempat tidurnya. 

“Aku tahu kau sangat terpukul, tapi Jason akan mengurus itu,” bujuk Licia. 

Bagaimana pria itu akan mengurusnya? 

“Nadine melakukan ini karena dia tahu arti rumah itu bagimu. Dia berusaha menjatuhkanmu bahkan sebelum kau melakukan apa pun,” Licia berkata lagi. 

Irene tidak peduli. 

“Jika kau akan menyerah semudah ini, kenapa kau harus menyeret Licia juga sejauh ini?” Suara Jason membuat Irene beranjak duduk dan menatap pria itu tajam. 

“Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?” ucap pria itu lagi. “Kau yang ingin memulai perang ini. Tapi, kau sudah akan menyerah sebelum memulai apa pun?” 

“Kau tidak tahu apa-apa,” sengit Irene. 

Jason mendengus kasar. “Baiklah, lupakan saja,” tukasnya. “Lupakan tentang merebut perusahaan dari Nadine. Lupakan tentang mencari tahu siapa yang membunuh papamu.” 

Irene mengerutkan kening. Ketika Jason sudah berbalik, Irene menahannya, 

“Tunggu!” 

Jason kembali menatap Irene. 

“Kau … sudah mendapat petunjuk tentang kematian Papa?” tanya Irene, tak bisa mencegah harap dalam suaranya. 

“Makanlah. Akan kuceritakan semuanya setelah kau makan malam.” Setelah mengatakan itu, Jason berbalik dan benar-benar keluar dari kamar. 

“Sudah kubilang, Jason akan mengurus semuanya untukmu,” Licia berkata. 

Irene menoleh pada wanita itu. Dilihatnya di pangkuan Licia sudah ada nampan yang penuh dengan makanan kesukaannya. 

“Bi Nonik bilang ini makanan kesukaanmu,” ucap Licia. 

“Bi Nonik ada di sini?” cemas Irene. “Apakah Nadine tahu jika …” 

Licia menggeleng. “Bi Nonik ada di sini sebagai mata-mata Nadine. Jadi, kau tak perlu khawatir. Sudah kubilang, Jason akan mengurus semuanya untukmu. Tidak hanya melindungimu, dia akan melindungi orang-orang yang peduli padamu.” Licia tersenyum. 

“Kenapa kau terus membelanya?” Irene merengut. 

Licia tersenyum geli. “Karena memang itu yang dia lakukan. Dan aku tidak berbohong.” 

Irene mendengus pelan. “Kau juga sebaiknya mulai menjaga jarak dariku. Nadine mungkin akan mengincarmu juga.” 

“Ada Luke,” sahut Licia enteng. “Lagipula, aku kan sudah bilang, jika Jason akan melindungi orang-orang yang peduli padamu. Aku ada di daftar itu. Jadi, aku tidak khawatir tentang itu.” 

Irene mendecih pelan, tapi toh tersenyum juga. 

“Apa yang membuatmu begitu percaya pada playboy itu?” Irene penasaran. 

“Nanti kau juga akan tahu sendiri,” balas Licia seraya mengerdip. 

“Kurasa tidak,” sahut Irene seraya mendekat ke arah Licia untuk mengambil nampan berisi makan malamnya. 

***

“Jadi, sekarang kita bisa bicara dengan kepala jernih?” Jason memulai. 

Irene mengangkat dagu angkuh dan membalas, 

“Memangnya kenapa tidak bisa?” 

Keangkuhan wanita ini benar-benar menakjubkan. 

“Rekam medis papamu itu asli. Hasil CT-nya juga asli. Papamu memang menderita kanker hati stadium awal. Dengan operasi, kemungkinan besar papamu bisa sembuh total. Itu operasi yang mudah, seperti katamu, tapi memang benar papamu meninggal di meja operasi. 

“Kemungkinan besar memang karena malpraktek, tapi tak ada tuntutan dari pihak keluarga. Meskipun sekarang kau mau menuntut, kau akan menuntut rumah sakitmu sendiri. Sementara dokter yang ada di ruang operasi itu, bahkan hingga direktur rumah sakit saat itu, mengundurkan diri dari posisi mereka. Seperti katamu, mereka menghilang. 

“Kau pernah mendatangi rumah direktur baru rumah sakit itu untuk mencari informasi tentang kasus itu. Kau menduga, direktur baru itu tahu sesuatu, karena itu Nadine memberinya posisi itu. Tebakanmu tidak salah, meski Nadine pasti akan mengelak. 

“Direktur baru Rumah Sakit Edelweis saat ini, ada di ruang operasi papamu waktu itu. Dia yang mendampingi operasi itu. Dia juga yang menjadi saksi di komite kedisiplinan rumah sakit karena kasus malpraktek waktu itu. Ada tiga kemungkinan tentang direktur itu. 

“Pertama, dia dibayar Nadine sebagai eksekutor. Atau, dia dibayar Nadine untuk memalsukan alasan kematian papamu. Dan yang terakhir, dia melakukan keduanya.” Jason menyebutkan penemuannya. 

Irene mengernyit, kedua tangannya terkepal marah. 

“Kurasa, aku perlu berbicara dengan direktur itu sendiri,” sebut Irene. 

“Nanti,” Jason menahannya. “Begitu kau mendapatkan posisimu. Dan untuk itu, kau harus lebih kuat. Cukup kuat untuk menguasai rumah sakit itu dan merebutnya dari Nadine. Jadi, jangan melakukan hal-hal bodoh seperti tadi jika kau masih ingin melawan kakak tirimu.” 

Irene melengos kasar, tak mau mengakui kesalahannya tadi. 

“Apa besok aku akan mulai bekerja di AF Brand?” Irene mengalihkan pembicaraan. 

“Ya,” Licia yang menjawab. “Tapi, kau tidak perlu khawatir. AF Brand mengangkat CEO baru yang akan membantumu di sana.” 

Irene menatap Licia dengan kening berkerut. “Siapa?” 

Licia menunjuk Jason. 

Irene menatap Jason dengan mata menyipit. “Kau?” 

Jason mengangguk. “Aku tahu lebih banyak darimu tentang perusahaan. Jauh lebih banyak.”

“Tapi, bagaimana bisa dia masuk ke perusahaan?” tanya Irene pada Licia. 

“Yah … dia punya saham di perusahaanmu. Direktur Luis yang membantunya masuk. Jason punya pengalaman kerja yang cukup, bahkan rekomendasi dari Westwood Property juga. Lebih mudah baginya untuk masuk perusahaanmu daripada kau, sebenarnya.” Licia tersenyum geli. 

Irene menatap Jason tak suka. 

“Jika kalian bisa bekerja sama dengan baik dan menyelamatkan AF Brand dari kebangkrutan, pintu untuk masuk lebih dalam ke perusahaanmu lebih lebar. Kau bisa belajar tentang manajemen perusahaan dari Jason selama tiga bulan ini. Jadi, di pemilihan Dirut AF Group nanti, kau bisa maju melawan Nadine. Saat itulah, perang kekuasaan kalian yang sebenarnya dimulai,” terang Licia. 

Irene mendesah berat, mengangkat dagunya seangkuh tadi dan membalas, 

“Aku tahu.” 

Yeah, tentu saja ia tahu. Ia tahu segalanya. Segala-galanya. Wanita itu menolak untuk tidak tahu. Bahkan meskipun ia benar-benar tidak tahu. 

Semakin lama berada di samping Irene, Jason jadi semakin mengerti Irene. Dengan amat sangat baik. Termasuk keangkuhannya yang keras kepala ini. 

***

 

Get Trapped With You 

 

Setelah memperkenalkan diri pada staf kantor AF Brand bersama Jason tadi, Irene akhirnya bisa pergi ke ruangannya. Namun, yang mengejutkannya adalah kenyataan bahwa ia akan berbagi ruangan dengan Jason, dengan hanya terpisah pintu kaca. Masalahnya, setiap kali Irene akan masuk ke ruang kerjanya, ia harus masuk ke ruang kerja Jason. 

“Apa ruangan para desainer selalu seperti ini?” protes Irene dari pintu yang membatasi ruang kerjanya dengan ruangan Jason. 

Jason tampak tak mempermasalahkan itu karena pria itu bahkan sudah duduk di kursinya. Jason menyangga kepala dengan tangannya yang bersandar di meja, menatap Irene dengan senyum menyebalkan di wajahnya. Melihat sorot gembira di mata birunya itu, jelas pria itu sedang menggoda Irene. 

“Kenapa? Kau bisa melihatku sepuasmu jika kau ingin. Begitu kau membuka pintu itu, kau akan melihatku. Jika kau merindukanku, kau hanya perlu membuka pintu dan aku di sini,” ucap pria itu dengan lancangnya. 

Irene mendengus tak percaya. 

“Aku serius bertanya, kenapa kantorku ada di dalam kantormu?” desak Irene. 

Jason mendesah berat. “Dengan begini, aku bisa lebih mudah melindungimu.” Pria itu akhirnya memberikan jawaban sesuai pertanyaan, meski itu tak memuaskan Irene. 

“Jika kau sudah selesai dengan rasa penasaranmu, kau bisa mulai bekerja. Kau punya waktu kurang dari tiga bulan untuk meluncurkan produk baru dan menyelamatkan AF Brand,” ucap Jason. 

Irene mendesah berat. Ia tahu itu. 

“Kau bisa merancang produk-produk baru di pagi hari. Malamnya, kau akan belajar manajemen perusahaan denganku. Kau harus mengurus beberapa meeting langsung mulai bulan depan.” 

Irene mengangguk. 

“Ini baru awalnya, Irene, kau tahu itu, kan?” ucap Jason lagi. 

Kali ini Irene tak menanggapi dan malah balik bertanya, 

“Kenapa kau memanggilku seperti itu? Sejak awal, kau dengan santainya memanggil namaku, Irene, Irene. Kau bahkan tidak mengenalku. Bagaimana …” 

“Kita kan, sudah berciuman, dengan sangat panas. Itu pun di rumah orang lain,” sela Jason dengan menyebalkannya. 

Irene menyipitkan mata kesal. 

“Lakukan apa pun sesukamu. Jika kau tak suka padaku, kau bisa membenciku, menjaga jarak dariku. Asal kau melakukannya di depan mataku, di mana aku bisa melihatmu,” Jason berkata. 

Irene mendengus kesal, sebelum menutup pintu kaca di antara ruangan mereka. Sayangnya, ia tak bisa membantingnya dengan keras untuk menunjukkan kekesalannya. Mungkin ia bisa memecahkannya. Nanti. Jika ia benar-benar kesal. 

***

Jason tersenyum geli melihat kekesalan Irene. Apa wanita itu bercanda? Ia ingin Jason memanggilnya Nona Alastair atau apa? 

Pikiran Jason tentang Irene teralih ketika ponselnya berdering. Dari rumah.

“Halo, Bi?” Jason mengangkat teleponnya. 

Tuan Jason … ini … apa tidak apa-apa saya memakai telepon rumah?” Bi Nonik terdengar ragu. 

Jason tersenyum. “Tidak apa-apa, Bi. Aku sudah memastikan semua jaringan di rumah itu aman.” Lebih tepatnya, Tyler sudah memasang jebakan dengan baik. Ia tidak hanya mengirimkan gambar CCTV palsu, melainkan juga rekaman telepon masuk dan keluar dari rumah itu. 

Oh, syukurlah,” desah Bi Nonik. “Ini, Tuan … tadi Nona Nadine mengirimkan stok makanan pada saya. Di antaranya telur, susu, dan keju. Apa tidak apa-apa jika saya menyajikannya pada Nona Irene?” 

“Dia hanya mengirim makanan itu?” tanya Jason heran. “Beras dan makanan pokok lainnya tidak ada?” ia memastikan. 

Tidak ada, Tuan. Hanya ini,” jawab Bi Nonik. 

Jason mengerutkan kening. Secara logika, Nadine sudah mengusir Irene. Jika memang makanan di villa dipasok dari rumah utama, kenapa mereka hanya memasok itu? 

Tadi saya juga menanyakan pada Nona Nadine, apakah Nona Nadine akan mengirimkan beras dan bahan makanan lainnya dan Nona Nadine terdengar terkejut. Tapi, dia mengatakan jika akan mengirimkan yang lainnya nanti. Dia bilang, dia mengirimkan makanan itu karena itu adalah makanan kesukaan Nona Irene,” terang Bi Nonik. 

Jelas Nadine melakukan kesalahan di sini. Jangan bilang, ia meracuni makanan Irene. Namun, tidakkah itu beresiko? 

“Jangan sentuh makanan itu. Aku akan mengirim orangku untuk mengeceknya dulu,” Jason berpesan. 

Baik, Tuan,” Bi Nonik menjawab. “Oh, dan jika … ada makanan yang Tuan inginkan untuk makan malam …” 

“Apa saja yang disukai Irene, Bi,” Jason memotong. “Aku suka apa pun yang disukai Irene.” 

Oh …” Bi Nonik terdengar sedikit terkejut. “Baik, Tuan.” 

Begitu sambungan telepon terputus, Jason segera menghubungi Reina. 

Ada yang akan mati?” Reina menjawab teleponnya di seberang. 

“Ada yang perlu kau selidiki,” Jason menjawab. “Jika kau datang ke villa tempat tinggal Irene, kau akan tahu. Tolong bantu aku, Rein.” 

Kau tahu aku tak bisa berkata tidak, Jas,” sahut Reina. “Kirimkan aku alamatnya dan aku akan segera ke sana.” 

“Trims, Rein,” ucap Jason. “Aku akan mengirimkan alamatnya setelah ini.” 

Oke,” balas Reina, sebelum mengakhiri sambungan telepon. 

Satu hal yang tak Jason katakan adalah, Tyler yang ada di rumah itu. Di satu sisi, Jason membantu Tyler sesuai janjinya, tapi di sisi lain, ia terancam dihajar Reina. Yah, ia bisa memikirkan itu nanti. Keselamatan Irene yang terpenting saat ini. Reina pasti akan mengerti. 

***

“Apa yang kau lakukan seharian ini hingga kau tak keluar dari ruanganmu sama sekali?” Kekesalan terdengar jelas dari suara Jason. “Kau bahkan tidak makan siang.” 

“Kau bilang, aku harus bekerja keras,” sahut Irene enteng. 

“Tapi, tidak seperti ini,” geram Jason. 

“Aku memang tidak terbiasa bekerja seperti ini, tapi aku suka melakukan pekerjaan ini,” Irene berkata. “Kurasa, ini jugalah alasan Papa memintaku melakukan apa pun yang aku ingin. Papa, sampai kapan pun, sepertinya tidak ingin aku bekerja keras. Papa hanya ingin aku bersenang-senang, melakukan apa yang aku suka, bahkan di situasi seperti ini.” 

“Karena itu, jangan sampai melewatkan jam makanmu seperti tadi, Irene,” desah Jason. 

Irene melirik Jason dan melihat pria itu benar-benar tampak terganggu. 

“Apa ada hal buruk terjadi?” tebak Irene. 

Jason menatap Irene lekat, sebelum mendesah berat. “Kau tidak makan adalah hal buruk bagiku,” balas pria itu. 

Irene mendengus pelan. Dasar playboy.

Mereka tidak banyak bicara dalam perjalanan dari kantor ke villa. Namun, begitu mereka tiba di villa, Jason tidak segera turun dari mobil dan malah menatap kosong ke depan. 

Pasti ada hal buruk terjadi. 

“Apa Nadine melakukan sesuatu yang …” 

“Apa pun yang dia lakukan,” Jason menyela, “aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu.” 

Irene terkejut karena Jason tiba-tiba mengatakan itu dengan ekspresi seserius itu. Irene berdehem. 

“Kenapa kau mendadak berlebihan begini?” dengus Irene, sebelum ia turun lebih dulu. 

Ketika Irene tiba di pintu depan, Jason sudah berada di sebelahnya, membukakan pintu untuknya. Saat Irene memasuki ruang tamu villa, ia melihat seorang wanita yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Wanita itu cantik. 

“Pengawalmu yang mengundangku kemari,” wanita itu berkata pada Irene, seolah bisa menebak pikiran Irene. 

Irene menoleh pada Jason. 

“Dan kau tahu betapa aku ingin menghajarmu saat ini, Jas,” wanita itu berkata lagi. 

“Kau bisa menghajarku nanti, Rein,” sahut Jason seraya menarik Irene ke sofa ruang tamu dan duduk di depan wanita yang dipanggilnya Rein tadi. 

“Aku Reina.” Wanita itu memperkenalkan diri. 

Irene mengangguk pada wanita itu dan menyebutkan namanya, “Irene Alastair.”

Reina tersenyum. “Aku tahu.” Wanita itu lalu menatap Jason. “Kau yakin aku bisa memberitahukan tentang ini padanya?” 

Jason mendesah berat. “Dia harus tahu. Dia berhak tahu,” ucapnya tanpa menatap Irene. 

Apa ini? Apa sesuatu terjadi tanpa sepengetahuan Irene? 

“Baiklah, kalau begitu,” sahut Reina seraya mengangguk. Ia lantas menatap Irene. “Oke, jadi … pagi tadi kau mendapat kiriman makanan dari kakak tirimu.” 

Reina juga tahu tentang Nadine? 

“Kudengar kau suka susu, keju, dan telur,” sebut Reina. “Karena itu, dia mengirimkannya untukmu.” 

Irene mendengus kasar. “Aku bisa membelinya sendiri.” 

Reina mengangguk. “Tapi, apa yang dia kirim dengan yang biasa kau beli di luar sana berbeda. Makanan yang dikirim padamu ini … berasal dari ternak yang terkontaminasi aflatoksin. Jadi, um … itu sejenis toksik, atau bahasa ringannya, racun. Aflatoksin pada kadar normal memang tidak berbahaya, tapi kadar berlebih yang dikonsumsi terus-menerus bisa menyebabkan kematian. Salah satu aflatoksin yang paling beracun adalah aflatoksin B1, dan itu … bisa menyebabkan kanker hati.” 

Irene yang tadinya sempat bingung karena mendadak Reina menjelaskan tentang racun atau apa itu, seketika membeku di tempat. Kanker hati. 

“Aflatoksin yang masuk ke tubuh manusia bisa dicerna dan dibuang dalam waktu dua puluh empat jam. Tapi, jika aflatoksin dikonsumsi terus-menerus, maka racunnya akan menumpuk dalam tubuh dan menyebabkan penyakit, hingga kegagalan fungsi organ dalam tubuh, sampai kanker dan … meninggal,” lanjut Reina hati-hati. 

“Apakah itu berarti … makanan Papa diracuni?” Irene mendengar suaranya terdengar begitu jauh. 

“Papamu mengonsumsi makanan yang sama dengan yang dikirimkan kakak tirimu padamu. Dan makanan itu mengandung aflatoksin, seperti yang kau terima ini. Jadi …” Reina menggantungkan kalimatnya. 

Irene bangkit dari duduknya, tapi Jason menahan lengannya. 

“Kau tidak bisa melakukan apa pun tanpa seizinku, Irene,” Jason mengingatkannya. 

“Dia meracuni papaku dan kau berharap aku akan diam saja?” sengit Irene. 

“Aku akan mengurus itu,” sahut Jason. 

Irene mendengus kasar. Mengurus? Lagi? 

Irene menepis tangan Jason dan menatap pria itu. “Bagaimana kau akan mengurus ini? Kau akan membunuh Nadine atau apa?!” tantangnya. 

Jason lalu berdiri dan balik menatapnya. 

“Jika itu yang kau inginkan, ya, aku akan membunuhnya,” balas Jason tanpa ragu. 

Irene mengernyit, terkejut akan kesungguhan pria itu. 

“Kau bukan lagi pembunuh, Jas.” Kata-kata Reina membuat Irene menoleh pada wanita itu. “Kau seharusnya berterima kasih pada Jason. Jika bukan karena dia, kau mungkin akan mengalami nasib yang sama dengan papamu,” ucapnya pada Irene.

Irene mendengus kasar. “Apa aku harus berterima kasih? Karena aku hidup dan papaku harus meninggal dengan cara seperti itu?” 

“Bukan begitu maksudku,” Reina ikut berdiri. “Tapi, kau …” 

“Ketika Papa meninggalkanku, aku kehilangan segalanya,” sela Irene. “Kau pikir, untuk apa aku mau tetap hidup hingga saat ini? Hanya untuk mencari tahu misteri di balik kematian papaku. Karena aku tahu betapa tak adilnya ini untuk Papa. Tapi, tanpa alasan itu, aku tidak akan mau melanjutkan hidup yang menyedihkan seperti ini.” 

Irene berusaha menelan getir dan pedihnya ketika naik ke kamarnya. Kali ini, ia bisa membanting pintu kamar untuk mengungkapkan kekesalannya. 

***
 

I’ll Do Anything For You

 

“Maaf, Jas, aku tidak bermaksud mengacaukannya,” Reina berkata pelan. 

Jason mendesah berat, menggeleng. “Bukan kau yang mengacaukannya. Wanita itu yang keras kepala.” 

Jason kembali duduk. “Maafkan aku tentang Tyler, tapi aku membutuhkan bantuannya di sini. Kakak tiri Irene benar-benar terobsesi akan Irene. Dia memasang kamera pengawas di mana-mana, memasang mata-mata di mana-mana. Bahkan, dia menyadap telepon keluar-masuk dari rumah ini.” 

Reina bersiul pelan. “Tyler sudah menceritakan semuanya tentang wanita itu, dan aku dengan terpaksa mendengarkan darinya. Kau bisa saja mengirimku pada Luke atau Licia yang juga tahu, tapi kau …” 

“Aku benar-benar khawatir karena paket dari Nadine itu, Rein,” Jason membela diri. 

“Hanya itu alasan aku memaafkanmu kali ini,” Reina membalas. 

Dugaan Jason, Tyler juga tak membahas apa pun tentang hubungan Tyler dan Reina, tahu dengan pasti betapa pentingnya kehadiran Reina di sini. Jason benar-benar berutang pada mereka berdua. Demi Jason, mereka menyingkirkan masalah dan perasaan pribadi mereka. 

“Tapi, reaksi wanitamu benar-benar mengejutkanku,” Reina menyebutkan. “Dia bahkan tak sedikit pun peduli akan kenyataan bahwa dia nyaris saja diracuni.” 

Jason tersenyum getir. 

“Wanita itu … betapa pun terlukanya dia setiap kali membicarakan tentang ayahnya, dia tidak pernah menangis,” sebut Jason. “Betapa pun marahnya, betapa pun frustrasinya, betapa pun kecewanya, dia memendam semua itu sendirian. Dia hanya akan marah sesaat, tapi sebentar lagi, dia akan bersikap seolah semuanya baik-baik saja.” 

“Dia bermasalah dengan emosinya?” tanya Reina. 

Jason mengedik kecil. “Aku juga tidak tahu, tapi … sepertinya begitu.” Jason mendesah berat. “Selama di luar negeri, dia harus menjadi orang yang bukan dirinya. Hanya dengan begitu dia bisa aman. Begitu dia kembali ke negara ini, dia harus terkurung di rumahnya, diawasi seperti tahanan.” 

Jason menatap Reina dan berkata penuh tekad, “Aku akan membebaskannya dari penjara itu, Rein. Aku akan membawanya pergi dari penjara itu. Aku akan memberikan kehidupan bebas, di mana dia bisa tertawa, menangis, marah, sesuka hatinya, tanpa perlu menyembunyikan atau menahannya.” 

Reina tersenyum. “Sedalam itu kau sudah jatuh cinta padanya?” 

Jason bahkan tak mengelak. Toh Reina tidak mengatakan hal yang salah. Sudah sedalam itulah Jason jatuh cinta pada Irene. 

***

Irene masih merasakan tatapan Jason padanya bahkan hingga mereka tiba di kantor. Ketika Irene turun untuk sarapan tadi, Jason sudah ada di ruang makan, menunggunya. Sejak itu, mereka tak berbicara satu sama lain. Sampai saat ini. 

Namun kemudian, Irene melihat sosok Nadine di ruang tunggu lobby kantor. Wanita itu langsung berdiri ketika melihat Irene. Amarah yang sudah berhasil diredamnya semalam, kembali ke permukaan. Irene mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Erat, hingga terasa menyakitkan. 

“Bagaimana hari kerjamu kemarin?” tanya Nadine dengan senyum sinis. “Apa kau sudah sarapan hari ini?” 

Irene menyipitkan mata. “Kenapa? Apa kau mengirimkan racun dalam makananku atau apa?” tembaknya. 

Nadine tampak terkejut selama sedetik, sebelum keterkejutan itu diusirnya dengan tawa keras. “Kau benar-benar lucu, Irene.” 

“Bagaimana bisa kau melakukan itu pada Papa?” Irene menggertakkan gigi karena amarah. 

Nadine mengangkat alis, tak sedikit pun merasa bersalah. “Apa yang kulakukan pada Papa?” 

“Kau …” 

“Kau sendiri,” sela Nadine. “Apa kau melakukan ini karena kau marah Papa hanya memberimu villa itu?” 

Pembunuh!

“Bahkan di pemakaman Papa, kau tak meneteskan satu air mata pun. Jadi, sekarang apa? Kau mau berlagak seolah kau peduli? Tidakkah ini terlalu terlambat? Atau, kau memang semarah itu karena Papa tidak memberikanmu rumah itu?” Nadine tersenyum sinis. Ia lalu mencondongkan tubuh dan berkata, “Jika kau begitu ingin kembali ke rumah itu, menikahlah. Pasti ada banyak para direktur di luar sana yang tertarik dengan sahammu. Hanya pada sahammu.” 

Nadine menarik diri, tersenyum mengejek, sebelum meninggalkan Irene. 

Dasar iblis! 

“Irene,” panggil Jason pelan. 

Irene menarik napas dalam, berusaha mengontrol emosinya, lalu ia melanjutkan langkah dan masuk ke lift

“Kau baik-baik saja?” tanya Jason di dalam lift

“Kenapa tidak?” balas Irene santai. 

Irene harus baik-baik saja. Ia sudah cukup menunjukkan kelemahannya di depan pria ini. Ia tidak bisa, tidak boleh, menunjukkan lebih lagi. Tidak emosinya, tidak kelemahannya. 

***

Jason ingin sekali berteriak pada Irene, tapi ia tak tega. Hanya saja … astaga! Jason benar-benar frustrasi menghadapi Irene. Ketika ia mendengar kata-kata Nadine tentang bagaimana Irene bahkan tidak menangis di pemakaman papanya, hati Jason seolah ditikam. 

Sudah berapa lama Irene seperti ini? Menyembunyikan emosinya sendiri seperti ini? Wanita itu hanya makan seperempat lembar roti tawar sebelum berangkat bekerja tadi. Padahal sejak kemarin siang dia belum makan. Namun, sampai malam ini juga, dia belum makan apa pun. Makanan yang dikirimkan Jason ke ruangannya siang tadi masih tak tersentuh saat Jason mengantarkan makan malamnya. 

Jason tidak bisa membiarkan Irene seperti ini terus. Ia tidak bisa lagi. Jika terus seperti ini, Jason mungkin benar-benar akan berteriak pada Irene. 

Jason memasuki ruangan Irene. Wanita itu masih duduk di depan mejanya, masih menggambar desain pakaian. Lagi. Jason menghampiri meja wanita itu, lalu direbutnya pensil di tangan wanita itu. Namun, Irene tetap bergeming, dengan santai mengambil pensil lain dan melanjutkan gambarnya. 

Kali ini, Jason menangkap tangan Irene dan menarik wanita itu hingga ia berdiri. Tatapan tajam Irene kemudian didapatkannya sebagai balasan. 

“Katakan padaku, apa yang kau inginkan,” Jason berkata. “Jika kau memintaku membunuh Nadine, aku akan melakukannya. Jadi, berhenti menyakiti dirimu sendiri seperti ini.”

Irene mendengus pelan. “Apa maksudmu? Siapa yang menyakiti dirinya sendiri? Dan kau bilang apa tadi? Kau akan membunuh Nadine? Kau benar-benar mantan pembunuh? Karena itukah, aku tak bisa menemukan informasi apa pun tentangmu?” 

Jason tak menanggapi itu.

“Benarkah kau bisa membunuh Nadine?” Irene menatap Jason. 

“Ya,” Jason menjawab tanpa ragu. 

Irene mengernyit. “Bunuh dia. Dengan cara yang paling menyakitkan. Sama seperti yang harus dialami Papa karena dia,” ucap Irene dingin. 

“Aku akan memastikan tubuhnya membusuk sebelum dia meninggal, agar dia bisa merasakan sakitnya,” Jason membalas. 

Irene kembali mengernyit. “Ketika dia kesakitan, katakan, akulah yang menyuruhmu. Katakan padanya, aku yang menginginkan kematiannya. Katakan padanya, dia harus merasakan apa yang Papa rasakan karena dirinya.” 

Kali ini suara Irene bergetar oleh emosi. 

Jason mengangguk. “Akan kukatakan seperti itu.” 

“Buat dia menyesal atas semua yang dia lakukan pada Papa. Buat dia menangis darah karena penyesalannya,” lanjut Irene. 

Jason mengangguk lagi. “Akan kupastikan itu.” 

“Buat dia begitu kesakitan hingga dia lebih memilih mati,” kata Irene lagi. 

Jason bisa melihat wanita itu sudah berada di garis batasnya. Namun kemudian, Irene berbalik dan berjalan ke depan dinding kaca ruangannya, menatap ke arah langit malam. 

“Buat dia merasakan penderitaanku. Merasakan bagaimana rasanya menjadi tahanan di rumah sendiri, menjadi tahanan di hidupnya sendiri,” ucap Irene lagi, dengan suara dingin. 

Jason tak lagi bisa tinggal diam. Ia melangkah ke belakang Irene dan melingkarkan lengannya pada tubuh wanita itu, menariknya ke pelukannya. 

“Kau tak perlu menyembunyikan apa pun di depanku, Irene,” Jason berkata. “Kau bisa marah, berteriak, menangis, kecewa, berduka, di depanku. Lakukan semuanya, apa pun, tanpa menahannya lagi. Di depanku, kau tidak perlu memenjarakan dirimu sendiri. Di depanku, kau tidak perlu bersembunyi lagi.” 

Playboy brengsek,” maki Irene di depannya. 

Jason mengeratkan pelukannya. “Di hadapanku, kau bisa keluar dari penjara itu, Irene. Percayalah padaku.” 

Jason menatap bayangan Irene dari kaca gelap di hadapannya, ia mengernyit melihat air mata wanita itu akhirnya mengalir di pipinya. Irene menangis tanpa suara. Tangan wanita itu lantas mencengkeram tangan Jason, menusuk lengan Jason dengan kukunya yang tajam, tapi itu bahkan tak bisa lebih menyakiti Jason daripada air matanya. 

Jason sudah bersumpah, ia tidak akan membunuh lagi. Namun demi Irene, ia bisa melanggar sumpah itu. Bahkan meski ia harus membayar dengan nyawanya, ia akan melakukannya. Karena saat ini, tak ada yang tak akan ia lakukan untuk Irene. 

***

 

-Chapter 5-

There’s nothing I wouldn’t do for you

Even if I have to die

I’ll die for you

 

To Hold You

 

Irene melirik Jason yang masih duduk di sebelahnya, di beranda kamarnya. Sepulang dari kantornya tadi, setelah mandi, Irene keluar ke beranda. Tak sampai tiga menit, Jason sudah menemukannya di sana dan menyusulnya. Pria itu tak tampak kesulitan memanjat ke lantai dua dan melompat ke beranda. Irene mau tak mau penasaran juga dengan pekerjaan pria ini yang sebenarnya. 

Sejak tadi, hingga selarut ini, Jason tak mengatakan apa pun dan hanya duduk di sebelah Irene. 

“Kau tidak pulang?” tanya Irene akhirnya.

“Pulang ke mana?” Jason balik bertanya. 

Irene mendengus pelan. “Ke rumahmu.” 

“Tapi, aku tinggal di sini.” Jawaban pria itu membuat Irene menoleh kaget. 

“Kau tinggal di sini? Bagaimana? Sejak kapan? Kenapa?” serbu Irene. 

Jason tersenyum geli. “Ya, aku tinggal di sini. Di kamar tepat sebelah kamarmu, untuk berjaga-jaga jika ada yang berusaha menyerangmu,” pria itu menjawab. “Sejak kau pindah kemari, aku tak bisa membiarkanmu lepas dari pandanganku. Aku harus mengawasi dan menjagamu. Dan alasannya, bukankah kau sudah meminta bantuan Licia? Ini bantuan dari Licia untukmu.” 

Irene ternganga. “Tapi, aku tak pernah memintamu tinggal di sini,” sebut Irene kemudian. 

“Aku harus menjagamu dua puluh empat jam, Irene,” balas Jason santai. 

“Licia yang meminta itu?” Irene memastikan. 

Jason tersenyum. “Aku juga tidak tenang jika tidak melihatmu.” 

Playboy ini benar-benar ….

“Jadi, jika di depanku, kau tak perlu menyembunyikan apa pun lagi,” ucap pria itu. 

Irene seketika teringat kejadian di ruangan kantornya tadi. 

“Jangan kau pikir semuanya akan berubah hanya karena kau melihatku lemah di hadapanmu seperti tadi,” ketus Irene. 

Jason menoleh padanya. “Apa maksudnya itu?” 

“Aku tidak membiarkan dirimu ada di sampingku karena aku menyukainya. Kau harus ingat itu,” tegas Irene. 

“Itu, aku tahu,” sahut Jason enteng. 

“Jadi, kenapa kau terus memaksaku menunjukkan kelemahanku di depanmu?” sinis Irene. 

“Kelemahanmu?” dengus pria itu geli. 

Irene menyipitkan mata tak suka. Apa pria ini meledeknya? 

“Besok kita akan membicarakan tentang tempat tinggalmu,” Irene berkata seraya bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. 

Bagaimana bisa Irene tidak tahu jika pria itu juga tinggal di rumah ini? Itu pun, di kamar sebelahnya. 

Kenyataan bahwa pria itu masuk terlalu jauh dalam hidupnya, mengusik Irene.

***

“Kenapa kau harus tinggal di rumah ini?” Adalah apa yang diucapkan Irene pertama kali ketika ia memasuki ruang makan pagi itu. 

“Tak bisakah kita membicarakanya setelah sarapan?” Jason membalas sembari menggigit rotinya. “Dan pastikan kau menghabiskan sarapanmu jika ingin mendengar jawabanku.” 

Irene mendengus kasar, tapi wanita itu lantas duduk dan mulai melahap sarapan yang sudah disiapkan Bi Nonik. Begitu Irene mengosongkan gelas susunya, ia bertanya pada Jason, 

“Apa ada alasan kenapa aku harus membiarkanmu tinggal di rumah ini? Apa kau pikir, Nadine sebodoh itu hingga dia menyerangku seceroboh itu?” tuntut Irene. 

“Dia tidak ceroboh, hanya nekat. Terlebih, dia sangat terobsesi padamu. Dia takut padamu. Kau adalah kelemahan terbesarnya,” sebut Jason. “Dia hanya butuh satu kesempatan untuk melenyapkanmu. Dia sudah pernah mencoba sekali. Siapa tahu apa yang akan dilakukannya besok? Kau mungkin akan ditemukan tewas keracunan gas di rumah ini.” 

Irene mendecak kesal mendengar itu. “Apa kau selalu seblak-blakan ini tentang bunuh-membunuh?” 

“Kau lupa apa yang kau katakan padaku semalam?” balas Jason. 

Irene berdehem. “Kau bisa melupakan apa yang terjadi semalam.” 

Jason tersenyum geli. 

“Tentang racun di makanan yang dikirimkan Nadine itu,” sebut Irene. “Bagaimana dia melakukannya? Bagaimana bisa tidak ada yang tahu jika makanan itu diracuni?” 

Jason mendesah berat. “Racunnya dari hewan ternaknya,” ungkapnya. “Dari hewan ternak itu, mereka menghasilkan makanan yang beracun juga. Mungkin jika hanya sekali atau dua kali, tidak akan berpengaruh pada tubuh. Tapi, jika dikonsumsi rutin setiap hari … yah, itulah yang terjadi pada papamu.” 

Irene menarik napas dalam. “Berkat check up rutin Papa setiap tahun, mereka menemukan kanker itu di tahap awal. Tapi, pada akhirnya … Nadine membunuh Papa di meja operasi.” 

“Aku belum mendapatkan dengan jelas apa yang terjadi di ruang operasi papamu waktu itu. Tapi, aku segera akan mendapatkan informasi tentang itu. Jadi, sementara aku mengurus itu, fokuslah menjaga kondisi tubuhmu dan juga pekerjaanmu,” pinta Jason. 

“Kau benar-benar akan membereskan semuanya untukku?” Irene menatap Jason ragu. 

Jason tersenyum. “Semuanya, Irene. Semuanya,” janjinya. 

Irene mendengus pelan, masih tak percaya. 

“Oh ya, mulai nanti malam, kau harus mulai belajar tentang manajemen perusahaan,” Jason mengingatkannya. 

“Tak bisakah aku mempercayakan masalah perusahaan pada tim profesional saja?” tanya Irene. 

“Nanti, begitu perusahaan itu sudah ada di tanganmu,” Jason menjawab. 

Irene mendesah berat. “Apakah dulu Licia juga menghadapi masalah seperti ini dengan om dan tante-tantenya?” 

“Kurang lebih,” sahut Jason. 

“Setidaknya, ia punya suaminya,” sebut Irene. 

“Dan kau punya aku, Irene,” balas Jason enteng seraya berdiri. “Jika kau sudah selesai, bisa kita berangkat sekarang?” 

Irene menatap Jason kesal. Namun, wanita itu toh berdiri dan berjalan melewati kursi Jason, lebih dulu meninggalkan ruang makan. Jason mendengus dan hendak menyambar kunci mobil, tapi mengerutkan kening ketika tak menemukan kunci mobilnya di meja makan. Ia tadi sudah membawanya ke sana karena …

Ah, pencuri kecil itu ….

Jason mendengus geli ketika mendengar suara klakson mobilnya. Saat ia keluar, dilihatnya Irene sudah duduk di kursi kemudi. Wanita itu mengedik ke kursi penumpang di sebelahnya. 

Ketika Jason masih tak bergerak di tempatnya, Irene mengangkat alis, lalu wanita itu membawa mobilnya hingga ke depan Jason hanya untuk berkata, 

“Apa aku perlu membukakan pintunya untukmu?” 

Ini bahkan masih pagi, tapi wanita itu sukses membuat Jason ingin menciumnya untuk mengawali hari ini. 

***

Irene sedang membuat pola untuk pakaian yang didesainnya di meja pola, ketika Jason masuk ke ruangannya siang itu. 

“Makan siang,” ucap pria itu santai. “Aku sudah membeli makan siang untukmu juga.” 

“Aku sedang bekerja,” sahut Irene sembari melanjutkan pekerjaannya. 

“Tapi, kau harus makan,” balas Jason seraya menghampiri Irene. 

Irene sudah akan menggariskan kapur polanya ketika Jason menahan tangannya.

“Makan dulu, Irene,” suara Jason tegas. 

Irene mendengus kesal, lalu menarik tangannya dari Jason dan menatap pria itu, kesal. 

“Sepertinya makin lama kau semakin melewati garis batasmu,” sengit Irene. “Beritahu aku dengan pasti, apa posisimu di sini?” 

“Aku CEO di perusahaan ini,” Jason menyebutkan. 

“Kalau begitu, bertingkahlah seperti yang seharusnya. Kenapa kau terus menggangguku yang sedang bekerja?” tuduh Irene. 

“Aku juga pengawalmu,” tambah Jason. 

“Jadi, lakukan saja itu, mengawalku. Kau tidak harus mengingatkan jam makanku atau menyuapiku,” sengit Irene. 

Namun, Jason malah berkata, “Kau mau aku menyuapimu?” 

“Biarkan aku bekerja dengan tenang,” tegas Irene. 

“Tapi, kau harus makan.” Jason masih tak mau mengalah. 

“Aku akan makan jika aku ingin,” balas Irene. 

“Kau akan makan jika sudah waktunya makan,” Jason membantah. 

“Kau bukan ibuku,” ketus Irene. 

“Tentu saja, aku seorang pria,” Jason membalas dengan entengnya. 

Irene memejamkan mata, berusaha menahan kesalnya. “Tinggalkan saja makanannya di mejaku, nanti akan kumakan begitu aku selesai.” 

Jason mendesah berat. “Aku harus memastikan kau memakannya, Irene.” 

“Kalau begitu, lebih baik kau buang saja makanan itu,” kesal Irene. 

“Baiklah, baiklah,” Jason akhirnya mengalah. Namun, bukan Jason namanya jika ia mengalah tanpa syarat seperti itu. 

Ia memang meletakkan makan siang Irene di meja kerjanya, tapi pria itu tidak segera keluar dari ruangan itu. Ia malah berkeliling dan melakukan tour seolah itu adalah tempat wisata. 

“Tak bisakah kau keluar dari ruangan ini?” usir Irene. 

“Nanti, setelah kau makan,” pria itu menyahut. 

“Kalau begitu, setidaknya duduklah dengan tenang agar kau tidak mengusikku yang sedang bekerja,” desis Irene. 

Jason mengangguk, lalu mengambil tempat di sofa pojok ruangan. Masalahnya, meski pria itu duduk diam di sana, Irene merasakan lekat tatapan pria itu padanya. Mau tak mau, Irene akhirnya menyerah juga. 

Irene mendongak dan didapatinya Jason tersenyum padanya. Playboy brengsek itu! 

Dengan sangat terpaksa, akhirnya Irene meletakkan kapur polanya dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Saat ia kembali, Jason sudah membawa makan siang mereka ke meja di depan sofa pojok ruangan. 

Irene menyambar kotak makan siangnya dan duduk di sofa terjauh dari Jason. Tanpa kata, ia mulai melahap makan siangnya. 

“Makanlah pelan-pelan,” Jason masih berani berkomentar. 

“Apa kau tidak punya pekerjaan?” sengit Irene. “Sayangnya, aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku.”

Jason terkekeh. “Kau belum pernah sekali pun melihatku bekerja di meja kerjaku, kan?” 

“Apa aku bahkan perlu melakukannya?” balas Irene dingin. 

Jason mendengus pelan, tapi tak membalas kali ini. 

Begitu Irene menyelesaikan makan siangnya, Jason bertanya lagi padanya, 

“Apa yang akan kau lakukan pada Nadine begitu kau berhasil merebut perusahaan darinya?” 

Irene menarik napas cepat. “Mengusirnya dari perusahaan.” 

“Dan jika kau menemukan bukti bahwa dia melakukan sesuatu pada operasi papamu?” tanya pria itu lagi. 

Irene mengernyit. “Aku akan membunuhnya.” 

“Jangan bicara tentang membunuh semudah itu,” Jason berkata. “Kau mungkin punya hobi dan keahlian sebagai pencuri, tapi tidak semua orang bisa membunuh, Irene. Jadi, jika kau begitu ingin membunuh seseorang, aku akan melakukannya untukmu.” 

Irene mendongak untuk menatap Jason. Pria itu tampak serius. 

“Jadi, jangan lagi asal melemparkan kata-kata seperti kau akan membunuh, menyiksa, menyakiti orang lain, semudah itu. Jika kau memang marah, berteriaklah. Jika kau sedih, menangislah. Begitu lebih baik, daripada kau mengatakan kata-kata kejam yang kau bahkan tak meniatkannya,” sebut pria itu. 

Irene mengernyit tak suka. “Apa pedulimu jika aku melakukan itu?” 

Jason tersenyum kecil. “Itu menyakitiku. Melihatmu menahan diri seperti itu.” Setelah mengatakan itu, Jason berdiri, meletakkan sebotol air mineral yang tutupnya sudah dibuka di depan Irene, lalu membereskan bekas makan siang mereka dan meninggalkan ruangan Irene. 

Apa maksudnya, itu menyakitinya? Apa pria itu tahu apa yang dia katakan? Apa dia mengigau? Apa dia gila?

Ugh, bukankah tadi dia hanya meminta Irene makan? Jadi, kenapa dia malah membuat Irene memikirkan hal-hal aneh seperti ini? 

***

Jason mengangkat alis ketika melihat Tyler sudah menunggu di ruang tamu villa

“Ada masalah?” tanya Jason begitu ia duduk. 

Tyler tak segera menjawab dan menatap Irene. “Kakak tirimu memasang kamera pengawas di kamarmu juga?” 

Irene mengerutkan kening, tapi mengedikkan bahu. 

Tyler menatap Jason. “Ada seseorang yang memasang kamera pengawas di kamar itu.” 

“Dia benar-benar keterlaluan,” geram Jason. 

“Tapi, seseorang sudah memutus jaringan kamera pengawas itu. Kamera itu masih berfungsi, tapi tidak lagi mengirim gambar asli ke monitor controller-nya. Hanya kamera di kamar itu yang seperti itu. Jadi, aku tadi menyelidiki sinyalnya dan …” Tyler menatap Irene. “Ada orang lain yang berusaha melindungimu.” 

Irene mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” 

“Seseorang berusaha melindungimu. Tapi, untuk mengetahui itu, kita harus tahu siapa yang melakukan hacking pada satu kamera di kamarmu itu. Aku sedang menyelidikinya dan kita akan segera tahu,” Tyler berkata. 

“Kau yakin itu bukan orang Nadine?” Jason memastikan. 

Tyler mengangguk. “Aku sudah meminta beberapa orang untuk mencari di mana posisi controller itu.” 

“Kita harus segera memastikan jika dia tidak berniat jahat pada Irene,” desak Jason. 

“Kau tidak perlu khawatir tentang itu,” Tyler membalas. “Jika dia melakukan hacking untuk menyakiti Irene, dia pasti sudah melakukannya sejak lama. Kamera itu sudah cukup lama dalam keadaan seperti itu. Irene juga pernah beberapa hari tinggal di villa ini saat dia kembali dari Amerika dulu. Jika orang ini berniat mencelakai Irene, saat ini Irene tidak akan ada di sini.” 

Jason mengernyit. Jika orang itu berniat mencelakai Irene, saat ini Jason pasti sudah kehilangan Irene. 

“Kita akan segera menemukannya, Jas,” Tyler berusaha menenangkannya. 

Jason mengangguk. Ia lantas berdiri dan menarik Irene bersamanya. “Akan kuantarkan kau ke rumah Luke. Tetaplah di sana sementara aku pergi. Aku harus menemukan orang yang entah membantumu atau mengawasimu itu,” Jason berkata pada wanita itu.

“Tunggu, tunggu!” Irene berusaha menahan Jason. “Kenapa kau melakukan semua itu tanpa meminta persetujuanku?” 

“Aku bisa melakukan apa pun yang menurutku benar, untuk melindungimu. Itu pesan Licia,” Jason berkata. 

“Tapi, dia bilang, orang itu berusaha melindungiku, bukan mencelakakanku,” debat Irene. 

“Aku belum memastikannya sendiri dan aku tak mau mengambil resiko,” balas Jason. 

“Itu hanya pendapatmu,” Irene tak mau kalah. “Aku …”

“Kau bisa menjaganya di rumah ini, Jas,” Tyler menyela. “Aku akan membantu yang lain.” 

“Kita harus segera menemukannya, Ty,” Jason membalas. 

“Kau tidak percaya padaku?” Tyler mengangkat alis, menantangnya. 

Jason mendesah berat. “Kabari aku begitu kau menemukannya.” 

Tyler mengangguk. “Aku akan meninggalkan ruang control, jadi kau harus siaga akan serangan apa pun,” pesannya.

Jason mengangguk. 

“Apa seseorang benar-benar berpikir untuk menyerang kita di sini? Nadine ... apa dia akan melakukan itu?” Irene meragukan. 

Jason mendesah berat. Irene sepertinya tak tahu apa pun tentang Nadine. Setelah mendengar dari Irene tentang siapa pemilik asli perusahaan AF Group, juga kenyataan jika Nadine tak punya hubungan darah dengan Irene, Nadine lebih dari sanggup untuk membunuh Irene dengan mengirim para pembunuhnya ke rumah ini. 

Satu-satunya alasan Nadine belum melakukan itu saat ini adalah, karena ia meragukan kemampuan Irene di perusahaan. Juga, karena ia masih mendapat dukungan begitu banyak. Namun, sedikit saja AF Brand mulai mengancam posisinya, sedikit saja orang-orang yang mendukungnya berpindah pada Irene, Jason tak berani membayangkan apa yang akan dilakukan wanita itu nanti. 

Yah, Nadine bisa mencoba, ia bisa melakukan apa pun, tapi Jason tak akan membiarkan Nadine menyentuh Irene. Tidak sedikit pun Nadine bisa menyakiti Irene, selama ada Jason. 

***

 

Fall in Love With Me

 

Sudah lewat tengah malam dan Jason masih duduk di ruang tamu, menatap ponselnya dengan tak sabar. Ketika akhirnya melihat Irene menuruni tangga, Jason segera berdiri. 

“Kau mau ke mana?” tanya pria itu. Sensitif sekali dia. 

“Minum. Aku juga tidak boleh minum tanpa izinmu?” cibir Irene. 

Jason mendengus pelan, tapi pria itu mengikuti Irene ke dapur. Irene sudah hendak menuang air dari teko ke gelasnya ketika ponsel Jason berbunyi. 

“Kau menemukannya?” Jason berbicara begitu mengangkat teleponnya. 

Irene tak bisa mendengar lawan bicara Jason, tapi kemudian Jason menatap Irene lekat, lalu berkata, 

“Aku akan membawa Irene ke sana.” 

Membawa Irene ke mana? Selarut ini? Tidak, ini bahkan sudah pagi. Dini hari. 

“Orang itu punya pesan dari papamu. Pesan untukmu.” Kata-kata Jason membuat jantung Irene seolah merosot. “Kita pergi sekarang,” ucap Jason seraya menarik Irene. 

Di ruang tamu, Jason menyambar jaket dan memakaikannya pada Irene. Tak lupa ia menutup ritsletingnya hingga dagu Irene, sebelum membawa Irene keluar dari villa

Papanya … yang melakukan ini. Papanya berusaha melindunginya dari Nadine. Papanya … berusaha menyampaikan sesuatu padanya tanpa sepengetahuan Nadine. Apa itu berarti, papanya tahu … semuanya akan berakhir seperti ini? Irene mengernyit memikirkan betapa papanya pasti mencemaskan Irene bahkan ketika harus menghadapi kekejaman Nadine sendirian. 

“Semuanya akan baik-baik saja, Irene, aku berjanji.” Jason menggenggam tangan Irene. 

Irene mendongak, menatap pria itu. Entah kenapa, mendadak ia merasa lebih tenang. Untuk pertama kali seumur hidupnya, ia merasa seaman ini. Hanya karena keberadaan Jason. 

***

Saat Jason dan Irene tiba di rumah kecil tempat persembunyian orang yang mereka cari, orang itu sudah menunggu mereka. Orang itu, Vino, ternyata adalah mantan staf IT di perusahaan yang dimintai bantuan ayah Irene.

“Direktur juga tahu jika Direktur diawasi kakak tiri Nona,” Vino berbicara pada Irene. “Direktur meninggalkan pesan lewat surat, dengan tulisan tangannya yang terburu-buru, dan memory chip ini, di kantong plastik yang digantung di handle pintu kamar apartemenku.” 

Vino menarik napas dalam. “Direktur memintaku memutus jaringan salah satu kamera di rumah itu. Kamera di kamar Nona. Hanya kamera itu. Dia memintaku untuk tidak menampakkan diri sampai Nona menemukanku lebih dulu. Ketika aku tahu ada orang lain yang menyabotase kamera di rumah itu, aku baru memunculkan diri.

“Tapi, sebelum aku sempat menghubungi orang-orang Nona, mereka sudah menemukanku. Sekarang aku bisa tenang karena Nona berada dalam perlindungan yang kuat. Saat ini, Direktur juga pasti bisa lega. Karena Direktur tak pernah sekali pun berhenti mengkhawatirkan Nona.” 

Vino lalu menyerahkan memory chip di tangannya pada Irene. 

“Jika Nona membutuhkan bantuan, aku akan membantu, Nona,” Vino menawarkan. 

Irene tak mengatakan apa pun dan wanita itu berbalik, pergi begitu saja. 

“Aku akan menghubungimu lagi nanti,” Jason berkata pada Vino. “Dan terima kasih atas bantuanmu. Sungguh.” 

Vino tersenyum. “Pastikan kau menjaga Nona Irene, apa pun yang terjadi.” 

“Itu, kau tak perlu meragukannya,” balas Jason sebelum berbalik dan menyusul Irene. 

Ketika Irene hendak duduk di kursi kemudi, Jason menahannya. 

“Aku yang akan menyetir, Irene,” Jason berkata seraya menarik Irene ke kursi penumpang. 

Ekspresi Irene kosong, sementara tatapannya tertuju pada memory chip di tangannya. Jason mendesah berat. Setelah memasangkan seat belt Irene, barulah Jason naik ke mobil juga. 

Begitu mereka tiba di villa, Irene bahkan tak menunggu Jason mematikan mesin mobil dan sudah melepaskan seat belt-nya. Ia keluar dari mobil begitu Jason membuka kuncinya. Jason mendesah berat menatap punggung Irene. 

Saat Jason memasuki rumah, dilihatnya Bi Nonik tergopoh-gopoh menyambut mereka. Ia tampak panik. Padahal Jason sudah mengirim pesan jika ia akan membawa Irene keluar. 

Irene yang tak melihat kecemasan Bi Nonik malah meminta Bi Nonik membawakan laptop di kamarnya. Bi Nonik pun tergopoh-gopoh naik ke kamar Irene. 

Begitu Irene mendapatkan laptopnya, ia memasukkan memory chip ke slot di sisi laptop. Ini seperti memory pada kamera. Apakah ayah Irene sempat merekam pesan video atau ….

Jawaban akan tanya Jason terjawab oleh gambar danau yang kini memenuhi layar laptop Irene. 

“Papa …” gumam Irene. 

Di mana ini? 

“Irene … Papa tidak punya … banyak waktu …” Suara itu terdengar begitu lelah. 

Jason mengambil tempat di sebelah Irene. Ia menggenggam tangan wanita itu yang mulai terkepal, membiarkan kuku jari Irene menusuk tangannya alih-alih menyakiti tangan wanita itu. 

“Jika pesan ini … sampai padamu … itu berarti … Papa sudah pergi …” ayah Irene kembali berbicara. “Tapi, kau tidak perlu … takut …. Papa sudah … menyiapkan semuanya … untukmu.” Terdengar tarikan napas dalam. 

“Alasan Papa … memberikan villa itu padamu … adalah supaya kau bisa mendapatkan … pesan Papa ini …. Dan yang harus kau lakukan … setelah ini … adalah kembali ke rumah utama ….” 

Jason mengerutkan kening. Kembali ke rumah utama? 

“Kau … harus menikah dengan seseorang yang bisa kau percaya …. Menikahlah … dengan orang yang mencintaimu … yang bisa melindungimu … yang bisa kau percaya. Bawa dia ke rumah itu dan pergi ke ruang kerja Papa. Di sana … ada ruangan yang hanya bisa dibuka … oleh Papa atau olehmu. Kau akan tahu sendiri … begitu kau pergi ke sana. Jadi, begitu kau mendapatkan pesan ini … kau harus segera bersiap … untuk pulang. Itu rumahmu, Irene … jadi, kau harus pulang …. 

“Maafkan Papa … karena tidak bisa melindungimu sampai akhir. Tapi, meskipun Papa tidak ada di sana … Papa akan selalu menjagamu … dari tempat lain. Meski Papa tidak bisa berada di sampingmu … tapi kau tahu kan … Papa sangat menyayangimu? Jadi ..., jangan biarkan Nadine menyakitimu. Kau adalah putri Papa …. Dan Papa selalu … sangat … menyayangimu, Irene ….” 

Video itu berakhir, tapi tatapan Irene masih tertuju ke layar laptopnya. Jason mengumpat dalam hati ketika Irene lagi-lagi menahan kesedihannya. Direngkuhnya bahu Irene, diusapnya lembut rambut wanita itu. 

“Tidak apa-apa, Irene. Menangis bukan berarti kau lemah. Berduka bukan berarti kau tidak berdaya. Kau adalah wanita paling tangguh yang pernah kutemui, jadi tidak apa-apa jika kau ingin menangis, berduka, bersedih, di depanku,” ucap Jason tulus. 

Dirasakannya genggaman Irene di tangannya semakin erat. Dan kali ini, ia bisa mendengar Irene menangis, benar-benar menangis. Jason mendongak ketika merasakan matanya panas. Dadanya terasa begitu sakit hanya karena mendengar tangisan wanita ini. 

Ia benar-benar membenci air mata Irene, ia benci kesedihan Irene. Namun, ia lebih benci lagi, ketika Irene harus menyakiti dirinya sendiri karena menahan dan memendam semua itu sendirian. 

Bahkan ketika rasanya sesakit ini, Jason tak sedikit pun ingin melepaskan Irene. Ia tahu, ia menjadi tidak masuk akal sejak bertemu Irene. Memangnya, sejak kapan cinta menjadi hal yang masuk akal? 

***

Saat Irene membuka matanya pagi itu, bayangan kejadian semalam menyerbu kepalanya. Irene mengerang seraya melesakkan kepalanya di bantal. Entah kenapa, di hadapan Jason, pertahanan dirinya bisa hancur semudah itu. 

Meski Irene akui, ia merasa lebih baik pagi ini. Memikirkan papanya masih begitu menyakitkan, tapi ia merasa lebih baik. Irene akan melakukan apa yang diminta papanya. 

Dengan pikiran itu, Irene lantas mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor. Ketika ia turun ke ruang makan, Jason sudah ada di sana, seperti biasa. 

“Selamat pagi,” sapa pria itu seraya mengangkat gelasnya yang sudah setengah kosong, pada Irene. 

Irene tak membalas sapaan pria itu, tapi ia menghampiri pria itu. Jason mengerutkan kening ketika Irene berhenti tepat di sebelahnya. 

“Ada yang kau perlukan, Irene?” tanya pria itu, lalu ia meneguk air di gelasnya. 

“Menikahlah denganku.” Kata-kata Irene itu membuat Jason seketika tersedak dan terbatuk cukup parah. 

Irene berdehem, lalu duduk di kursi di sebelah Jason. 

“Apa kau mencoba membunuhku sepagi ini?” omel Jason dengan suara serak. 

Irene menarik napas dalam, lalu menatap pria itu. “Aku serius.” 

Jason yang sudah akan minum lagi, menahan gelasnya di udara. Ia menatap Irene lekat. Pria itu meletakkan gelasnya dan berdehem. 

“Apa maksudmu?” tuntutnya. 

Irene mengangkat dagu tinggi-tinggi. “Menikahlah denganku. Bawa aku pulang ke rumah utama keluargaku.” 

Jason tak menjawab selama beberapa saat, lalu pria itu mendesah berat. 

“Ini karena pesan dari papamu?” tanyanya. 

Irene mengangguk. 

“Kau tidak perlu menikah untuk bisa kembali ke rumah itu, Irene,” balas pria itu. 

“Kau mau aku menyusup ke rumah itu?” sengit Irene. 

“Aku yang akan menyusup,” balas Jason. 

“Dan berakhir mati di tangan Nadine jika dia menangkapmu?” Irene tak dapat menahan kesinisan dalam suaranya. 

“Aku tidak akan mati,” debat Jason. 

“Kau belum tahu di mana ruangan itu. Ruangan itu hanya akan muncul jika ada aku atau Papa. Itu pun jika aku tahu di mana letak tepatnya,” sebut Irene. “Rumah itu diawasi dengan ketat. Ada banyak pengawal yang berjaga juga di sana.”

“Meski begitu, mengajakku menikah tidak akan menjadi solusi dan …” 

“Ya, itu adalah solusinya,” sela Irene. “Aku harus kembali ke rumah itu. Dan cara yang paling aman adalah menikah denganmu. Dengan begitu, kau juga bisa masuk ke rumah itu bersamaku. Atau, jika kau keberatan, aku bisa meminta temanmu itu untuk membantuku.” 

Mata Jason seketika menyipit berbahaya. “Jangan bermain-main dengan pernikahan.” 

“Aku tidak bermain-main,” tegas Irene. 

“Apa kau bahkan tahu, apa itu pernikahan?” sinis Jason. 

“Apa itu bahkan penting sekarang? Aku hanya butuh seseorang untuk membawaku kembali ke rumah itu. Karena itu …” 

“Jika kau benar-benar ingin menikah denganku, maka ya, aku akan menikah denganmu. Dengan satu syarat. Itu pernikahan sungguhan. Tidak ada kontrak, tidak ada perpisahan begitu semua masalah ini selesai. Kita menikah, benar-benar menikah, menjadi pasangan suami-istri yang sah, yang sebenarnya. Tidak ada pura-pura. Jika kau setuju, maka aku akan menikah denganmu. Jika tidak, aku akan mencari cara lain untuk masuk ke rumah itu untukmu,” putus Jason seraya berdiri. 

“Kita tidak punya waktu!” bentak Irene tak sabar. 

Jason mendengus kasar, lalu menatap Irene. “Apa kau tidak mendengarkan semua yang dikatakan papamu? Kau seharusnya menikah dengan orang yang kau cintai, orang yang bisa melindungimu, orang yang bisa kau percaya. Kau …” 

“Aku sudah menemukan orang yang setidaknya memenuhi dua dari tiga syarat itu,” sela Irene. 

Jason mengerutkan kening.

“Kau. Selain syarat aku mencintaimu, kau sudah memenuhi yang lainnya,” sebut Irene. 

Jason tampak terkejut. 

“Kau tidak berharap aku akan mencintaimu, kan? Di situasi seperti ini, aku pasti sudah gila jika aku masih bisa memikirkan tentang cinta atau apa pun itu,” dengus Irene. 

“Kau … benar-benar percaya padaku?” tanya Jason ragu. 

“Apa aku bahkan punya pilihan lain?” balas Irene. Ia mendesah berat, lalu berdiri. “Jika kau benar-benar ingin membantuku, menikahlah denganku. Bawa aku kembali ke rumah itu.” 

Jason menatap Irene tepat di matanya, cukup lama, sebelum pria itu berkata, 

“Jika kau menikah denganku, itu tidak akan pernah menjadi pernikahan pura-pura. Jika kau menikah denganku, maka kau menikah denganku. Tidak ada kontrak, tidak ada selesai ketika masalah ini selesai,” Jason mengulangi. 

Irene mengangguk. “Tidak masalah. Toh aku hanya akan masuk ke penjara lain setelah keluar dari penjaraku ini.” 

“Pernikahan bukan penjara,” desis Jason tak terima. 

“Kita menikah bukan karena cinta, tapi kau berusaha menahanku di sampingmu. Kau berharap apa?” balas Irene. 

Jason mengernyit. “Kalau begitu, jatuh cintalah padaku.” 

Irene mendengus. “Jika ada satu hal yang ingin kuhindari, hal yang kubenci, selain kau, itu adalah jatuh cinta. Jika kau menolak pernikahan ini, aku masih harus mencari orang lain. Jadi ya, aku akan mengikuti syaratmu, kita akan menikah, benar-benar menikah. Tapi, kau juga harus mengikuti syaratku. Ini pernikahan tanpa cinta, jadi jangan berharap banyak.” 

Sorot luka di mata Jason mengusik Irene, membuatnya memalingkan wajah dari pria itu. Ia sudah akan pergi, tapi Jason menahan lengannya. 

“Makanlah dulu,” pria itu berkata. “Dan ya, aku akan menikah denganmu.” 

Kalimat terakhir Jason itu, entah kenapa, membuat dada Irene berdebar aneh. Ia mungkin hanya gugup, karena ia baru saja menyetujui untuk memenjarakan dirinya pada penjara lain setelah Nadine. Tidak apa, asal ia bisa kembali ke rumah itu, asal ia bisa membalaskan rasa sakit papanya, asal ia bisa mengungkap ketidakadilan yang harus dirasakan papanya, asal ia bisa melindungi perusahaan mamanya, ia akan melakukannya. Apa pun itu. 

Pernikahan ini bukan apa-apa. Ia hanya menikah. Apa yang spesial dari itu?

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya A Deal With Mr Playboy Chapter 6-11 + Epilog (End)
2
0
-Chapter 6-Once you’re mineForever you’ll be The Promise Licia menatap Jason dan Irene bergantian, lalu menggeleng, berdecak tak puas, dan akhirnya berkata, “Kalian benar-benar akan menikah?” “Wanita itu bahkan melamar lebih dulu,” celetuk Tyler, membuat tatapan tajam Irene tertuju padanya. “Aku hanya sedang mengawasi keadaan rumah dan tak sengaja melihat … lamaranmu itu, Nona.” Tyler mengangkat tangan. ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan