Serpihan Luka (full)

7
0
Deskripsi

Bisa dibaca GRATIS‼

Blurb:

Penolakan cinta berimbas pada masa depannya. Hidup Ayana yang tenteram bagai jungkir balik ketika laki-laki berandalan itu merasa diinjak-injak harga dirinya. Jovic memperlakukan Ayana bagai budak untuk menyenangkan dirinya. Sekuat tenaga Ayana berusaha menahan. Tekanan tiap tekanan yang Jovic lancarkan berhasil membungkam Ayana.

Tak cukup sampai di situ, Edsel--laki-laki yang sudah menjadi sahabatnya sejak dua tahun terakhir ternyata menyimpan perasaan yang sama. Bahkan...

Paksaan Berulang

Apa yang telah dirangkai mulai terkikis pelan-pelan. Rasa percaya diri dan keteguhan hatinya mulai melemah oleh tindakan yang dilakukan laki-laki di atas tubuhnya yang terbuka. Air mata mengalir deras dari dua matanya yang redup. Isak tangis pilu tak sedikitpun membuat iba pemuda yang sibuk mengulum pucuk kembar secara bergantian. Di bawah sana, satu tangannya berada di pusat tubuh Ayana.

"Tolong, berhenti." 

Bibir Jovic menyeringai mendengar suara yang menyerupai desahan. Jari-jari panjangnya tetap beraksi bertindak asusila. Tak ada yang bisa dilakukan oleh gadis mungil yang telah terkekang tubuh sang pemuda. Sampai kemudian tangis Ayana disumbat oleh bibir maskulin tanpa ampun. 

Pelecehan yang terjadi pada Ayana sudah berjalan empat bulan. Walau laki-laki itu hanya bermain-main pada tubuh dan gairahnya tanpa mengoyak mahkota sucinya, tindakan yang dialami Ayana telah membuat harga dirinya tercabik-cabik. 

"Harusnya kamu tidak menolakku! Harusnya sekarang kita menjadi sepasang kekasih yang saling memberi dengan senang hati, tapi kamu malah memaksa aku melakukannya seperti ini." Jovic mencumbu kasar hingga tangan gadis itu menutup rapat celah mulutnya karena menjerit. "Sekarang kamu harus terima menjadi jalangku. Yang aku nikmati sesuka hati tanpa ikatan," ejeknya. 

Lenguhan tertahan mengalun indah. Tubuh Ayana condong ke depan melengkungkan punggung. Jovic mendongak sebentar demi melihat ekspresi wajah cantik yang merona oleh tindakannya. 

"Kamu memang jalang. Baru ujung lidahku saja yang menyentuh, kamu sudah meminta lebih," kata Jovic dengan tatapan mencemooh. 

Kesucian Ayana masih Jovic jaga. Entah apa yang membuat laki-laki itu enggan merenggutnya, padahal tiap kali melakukannya, ketegangan pusat dirinya telah mengeras. Namun, Jovic tetap tidak menuntaskannya secara penuh. 

Mata elang laki-laki itu memejam seraya menghidu aroma bunga pada kulit lembut Ayana. Ketika gadis teraniaya itu hendak bangkit, lehernya ditekan kuat hingga tulang punggungnya terasa nyeri oleh hantaman meja yang dijadikan pembaringannya. 

✂️ Cut eksplisit scene ✂️

"Bitchy." 

Ayana meringis pelan ketika merasakan sesuatu di bagian pangkal. Jovic mengelap cairan miliknya dengan segitiga minim milik Ayana, lalu menghirupnya. 

"Kamu tidak membutuhkan benda ini." 

"Jovic, please..." Ayana mengiba, berharap kain tipis pelindung miliknya dikembalikan. Namun, Jovic mengabaikan dan memasukkan dalam kantong celana kargo yang dikenakannya. 

"Segera benahi dirimu. Ingat, kamu masih ada kelas terakhir," titah Jovic santai sebelum keluar dari ruangan. 

Ayana bangkit. Posisinya masih berada di atas meja usang. Terduduk bersandar sambil meringkuk menutupi tubuhnya yang terbuka. Tangisannya menyayat hati, tetapi tidak akan ada yang mendengar mengingat situasi keberadaannya pada ruangan sunyi di lantai teratas. 

Paksaan yang terus berulang tidak akan bisa terbantahkan olehnya.

.

.

.

Penolakan Cinta

Sebuket cantik bunga Camelia merah digenggam erat. Langkah yang lebar menandakan bahwa si pemilik kaki panjang sedang tergesa-gesa atau mungkin ada dorongan semangat yang membuatnya ingin segera sampai di tempat tujuan. Tak ayal, perbuatannya membuat orang-orang yang berlalu lalang tertubruk olehnya. Namun, lelaki itu tetap meneruskan jalan dan berlari setelah pintu ruangan yang dituju sudah dekat. 

Napasnya menderu kuat. Dadanya tampak naik-turun terlalu cepat menaiki anak tangga mengingat ruang perpustakaan ini ada di lantai empat. Tepat di depan pintu, Jovic sedikit membuat kerusuhan karena lagi-lagi menubruk seseorang. 

Laki-laki berkacamata tebal bulat yang memegang tumpukan buku-buku tampak kerepotan akibat ulahnya. Menyebabkan banyak pasang mata menatap ke arahnya. Enggan meminta maaf, ia melanjutkan langkah tanpa merasa bersalah pada mahasiswa yang masih sibuk memunguti buku-bukunya. 

Mata tajamnya mengedar mencari keberadaan seseorang. Begitu sosok yang dicari terlihat, ia melangkah penuh percaya diri menuju pojokkan meja yang menempel pada tembok. Di sana, terlihat dua orang gadis duduk bersebelahan sedang berdiskusi. Ekspresi raut terkejut tergambar jelas dua mahasiswi itu. Terutama gadis yang memakai blouse sabrina kerut warna mint karena tiba-tiba saja lelaki berkemeja jeans yang kancingnya dibiarkan terbuka semua hingga menampilkan kaos oblong putihnya berada di antara mereka. 

"Ayana, jadilah kekasihku." 

Iris mata gadis sang pemilik nama membola. Pandangan Ayana mengarah pada wajah laki-laki itu, lalu beralih pada buket bunga yang diserahkan untuknya. 

"Aku menyukaimu." 

Bisik-bisik mahasiswa yang berada dalam ruangan tersebut mulai terdengar. Sangat mengganggu indera pendengaran Ayana. Apalagi beberapa pasang mata ada yang menatap sinis. Sementara, Chika--gadis yang tadi ada didekat Ayana sudah menjauh ikut bergabung menjadi penonton dengan yang lainnya seolah menunggu adegan selanjutnya. 

"Terima saja, Ayana!" Suara dari salah satu mahasiswi terdengar kencang. Detik berikutnya bersambung dengan banyak suara yang menyuruh hal yang sama. 

Ayana terdiam. Mengamati raut wajah tampan laki-laki berwajah oriental di depannya. Mahasiswa tengil yang baru setahun pindah ke perguruan tinggi yang sama dengannya. Entah apa penyebabnya. Namun, Ayana sudah lebih dulu mengenalnya karena pemuda bernama Jovic ini adalah salah satu pelanggan yang cukup sering membeli bunga di florist tempatnya bekerja paruh waktu. 

Beberapa bulan ke belakang Jovic terang-terangan menunjukkan ketertarikan padanya. Berbagai macam cara telah dilakukan, seperti selalu menungguinya jika pulang dari kampus, bahkan menjemputnya selepas bekerja. Namun, Ayana selalu menolak secara halus. Bukannya menjauh, Jovic malah semakin gencar mengejarnya. 

Meski pernah ada sedikit simpati atas perlakuannya, Ayana tidak serta merta besar kepala. Ia justru menganggap jika apa yang Jovic lakukan hanya sebatas rasa penasaran mengingat rekam jejak pemuda itu yang berandalan. Ayana juga pernah mendengar cerita langsung dari Chika mengenai perangai Jovic saat masih di kampus sebelumnya karena sahabatnya mempunyai kenalan di sana.

Ayana mendengus ketika matanya tertuju pada gadis yang tadi asyik berdiskusi dengannya. Kenapa sekarang malah memberi suara untuk menerima lelaki nakal ini, sementara Chika tahu semua kebobrokan tabiat sang pemuda. Pesona rupawan Jovic memang banyak digilai oleh para mahasiswi. Bahkan ada yang bertindak berani mengemis cinta sang bad boy tengil. 

"Kamu terlalu lama berpikir. Aku tahu kamu juga menyukaiku, tapi sengaja bersikap sok jual mahal agar aku terus mengejarmu," terka Jovic penuh percaya diri diselingi senyum pongah. 

Tangan Ayana bergerak membenahi buku-buku di atas meja. Sebagian sudah masuk ke dalam tas ranselnya, dan sisa tiga buku ia pegang sendiri. Tanpa berniat menerima sodoran bunga cantik di depannya, Ayana berucap, "Maaf, aku tidak bisa. Aku juga tidak tertarik dengan urusan asmara. Tahun ini kita akan disibukkan dengan tugas skripsi. Mungkin buatmu yang memiliki segala materi menganggap bukan hal serius. Maafkan aku," tegasnya bangkit dari duduk, tak memedulikan perubahan raut wajah laki-laki yang menggenggam erat buket. 

Samar-samar Ayana mendengar ada yang mencela dirinya karena terlalu sombong menolak. Bahkan ada juga yang tertawa melihat seorang Jovic diabaikan oleh gadis biasa seperti Ayana. 

"Gila, berani sekali dia menolak. Selama satu sekolah dengannya, aku tidak pernah melihatnya mengungkapkan perasaan secara langsung, tapi sekarang keberaniannya sia-sia." 

Ayana memejamkan mata ketika hendak keluar. Suara dari perempuan yang berdiri dekat pintu sempat membuatnya menghentikan langkah sejenak didera rasa cemas. Ayana meneguhkan pendirian bahwa percintaan bukan tujuannya. Ia ingin segera menyelesaikan jenjang akhir pendidikan dan meraih gelar sarjana untuk bekal mencari pekerjaan yang layak di Ibukota.

.

.

.

Perhatian Lebih

Punggung Ayana berjengit mendengar ketukan pintu. Lamunannya buyar seketika. Membenahi dirinya, lantas memakai syal untuk menutupi bagian leher yang terdapat dua bercak merah ulah mulut liar Jovic. Ayana menarik napas membuka pintu kamar sambil mengulas senyuman untuk sang bibi tersayang. 

"Masih pusing?" 

"Sekarang sudah membaik, Bi." 

Wanita paruh baya yang tinggal bersamanya adalah adik dari mendiang sang ayah. Wanita tangguh yang mengabdikan diri merawatnya sejak usia balita hingga sekarang di angka 21 tahun. Bibi Riva memutuskan tidak menikah. Entah apa yang membuat wanita berumur matang itu enggan berkomitmen. Segilintir cerita yang Ayana dengar sang bibi selalu menolak pinangan lelaki. 

Hal itulah yang membuat Ayana enggan menjalin asmara meski banyak gadis-gadis seusianya bergonta-ganti kekasih. Ayana memilih fokus mengejar pendidikan. Tidak ingin membuang percuma biaya yang sudah dikeluarkan selama menjadi mahasiswi yang hanya mendapat subsidi beasiswa lima puluh persen. 

"Kenapa malah melamun?" tanya Bibi Riva menelisik raut wajahnya. 

"A-aku tidak apa-apa, Bi. Tadi hanya kelelahan karena banyak tugas yang menumpuk," jawab Ayana sembari menyentuh pelipisnya. 

"Kalau waktu belajarmu banyak tersita, lebih baik tidak usah lagi ke toko. Tabungan Bibi masih cukup untuk sampai semester akhir," tutur Bibi Riva membelai puncak kepalanya. 

"Tidak apa-apa, Bi. Bekerja di toko bunga adalah caraku me-refresh otak. Wangi-wangi bunga mahal di sana membuat pikiranku rileks," seru Ayana semangat dan menularkan tawa dari sang bibi. Tidak mungkin ia hanya bergantung pada penghasilan bibinya yang memiliki toko kelontong alat-alat tulis. Sementara kondisi fisik Bibi Riva mulai sakit-sakitan. 

"Ini buatmu." Bibi Riva memberikan goody bag berwarna krem. Dari dalam tercium aroma sedap yang berhasil memancing cacing di dalam perut Ayana menjerit lapar. "Sana, bilang terima kasih dulu sama Si Pemberi." 

Kening Ayana berkerut bingung. 

"Di depan ada Nak Edsel. Dia ke sini karena panik tidak melihatmu di kampus pada saat mata kuliah terakhir," terang Bibi Riva membuat Ayana paham. "Sudah sana, dia sudah terlalu lama menunggu." 

Ayana mengangguk, lantas berjalan ke depan teras masih dengan tangan menenteng goody bag. "Edsel," sapanya, lalu duduk di kursi bersisian dengan penghalang meja kotak. 

Laki-laki berkemeja hitam dengan lengan tergulung sebatas siku mengamati serius wajah Ayana. Terutama pada syal yang melilit leher jenjangnya. "Bibi Riva bilang kamu sakit? Kenapa tidak mengabariku supaya aku bisa mengantarmu pulang dan mengurus absensimu dengan Pak Taka?" tanya Edsel dengan raut wajah cemas. 

"Tidak perlu. Cuma sakit kepala dan sedikit demam saja. Jadi tadi aku memutuskan pulang lebih dulu. Maaf, hari ini aku tidak bisa datang ke toko," sesal Ayana bersuara lirih. 

Edsel adalah anak pemilik toko bunga tempat Ayana bekerja paruh waktu. Dari situlah kedekatan mereka terjalin. Edsel tak menyangka ibunya memiliki pegawai dari mahasiswi satu angkatan dengannya di kampus. Dari hari ke hari, keakraban terjalin antara mereka. 

Entah sudah berapa kali Ayana berbohong. Tiap kali tubuhnya dijadikan sasaran pelampiasan Jovic, ia selalu mengurung diri dan menghindar. Dalam keadaan kacau seperti itu, tentu saja otak cerdasnya tidak bisa dipakai berpikir untuk belajar, bahkan Ayana tidak memiliki kepercayaan diri ketika area intimnya tidak terlapisi celana dalam. Rok panjang sebetis yang digunakan tidak cukup menampung rasa malunya. 

"Kamu jangan memikirkan hal itu. Bekerja paruh waktu bukan menjadi prioritasmu. Ibuku juga paham kalau sekarang kamu sedang sibuk dengan tugas-tugas." Tapak tangan Edsel menyentuh kening Ayana yang terasa hangat. "Masih cukup tinggi suhunya. Kamu istirahat saja." 

Gelagat Ayana sedikit canggung atas perhatian berlebihan sahabatnya. Dengan wajah tampan tepat di depannya membuat dentuman jantungnya meresahkan. Bahkan sepasang manik cokelat kehijauan itu menatapnya begitu dalam. 

"Iya, baiklah. Terima kasih atas pengertian, kunjungan, dan oleh-olehnya," sahut Ayana diselingi kekehan. Ia menunjukkan pemberian lezat laki-laki itu. 

Edsel tertawa lepas, lantas berdiri tegap memakai tas punggungnya. Saat kakinya berjalan beberapa langkah menuju pagar, ia kembali berbalik badan, membuat Ayana keheranan karena raut wajah lelaki itu berubah serius. 

"Kamu harus melawan kalau Jovic macam-macam denganmu. Kalau dia bertindak nekat, adukan saja padaku. Tanganku masih cukup tangguh untuk menghajarnya," pungkas Edsel sungguh-sungguh. 

Sejenak Ayana tergugu. Berusaha sebisa mungkin tersenyum manis, lalu mengangguk tanda mematuhi instruksi semangat dari temannya. Dalam hatinya berharap, Edsel tidak mengetahui apa yang telah dilakukan bajingan itu terhadap dirinya.

 .

.

.

Ajakan ke Pesta

Jantung Ayana berdebar kencang ketika tubuhnya ditarik kuat. Tubuh jangkung yang selalu mengganggu ketenteramannya di kampus tengah menyudutkan dirinya di sebuah ruangan sepi. Mulutnya terbungkam tapak tangan besar. Kilat manik pekat itu selalu bisa mengintimidasinya. 

"Jangan macam-macam, Jo. Di sini banyak mahasiswa yang lewat," sergah Ayana setelah mulutnya terbebas. 

Peringatan itu dibalas senyuman sinis. "Sepertinya kamu sangat berharap aku melakukannya di sini." 

Ayana memalingkan wajah. Tak dimungkiri kedua pipinya memerah membuat Jovic mengulum senyum. 

"Besok malam kamu harus datang ke pestanya Jeno," kata Jovic. 

Bibir Ayana terbuka, bersiap memberikan jawaban, tetapi Jovic sudah lebih dulu memangkas. 

"Ini perintah. Kamu harus datang. Lagi pula kamu satu kelas dengannya, tidak sopan jika kamu tidak hadir karena semuanya diundang." 

"Tapi, Jo ..." Ayana menatap takut-takut. 

"Tidak ada alasan. Kamu harus datang. Atau ... kamu mau benda unik ini beredar dalam kelas?" Jovic mengeluarkan kain tipis yang sangat pribadi milik Ayana. 

Benar-benar sinting. Kain segitiga berwarna putih itu masih saja dibawa-bawa, bahkan digunakan untuk mengancam. 

"Cuma datang saja, kan? Tidak akan ada rencana busuk lainnya?" tanya Ayana penuh antisipasi. 

Jovic tertawa sumbang. "Kalau kamu sukarela menyerahkan tubuhmu, mungkin kita bisa--" 

"Oke. Aku akan datang," pungkas Ayana cepat. Tidak ingin mendengar kalimat merendahkan untuknya. 

Ayana hendak beranjak, tetapi laki-laki itu menarik tangannya ketika akan keluar. Jovic mendahului langkahnya, lantas mengecup sebelah pipi Ayana membuat gadis itu terkejut bukan main karena takut ada yang melihatnya. 

Dengan rasa gugup yang masih mencekal denyut dadanya, Ayana berjalan meneruskan langkah menuju perpustakaan. Pikiran dalam isi kepalanya mulai mengacau. Mengenai pesta yang harus dihadiri atas perintah don juan berengsek. 

"Apa kamu masih tidak enak badan?" 

Punggung Ayana terlonjak mendengar suara yang berada tepat di telinganya. 

"Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu. Tadi aku sudah memanggilmu beberapa kali, tapi tidak ada respons," tutur Edsel dengan raut wajah khawatir. 

"Memanggilku? Sejak kapan?" Ayana tampak was-was. 

"Tadi saat kamu berbelok dari sana." 

Jawaban Edsel membuatnya lega. Itu artinya, lelaki ini tidak melihatnya keluar ruangan bersama Jovic. 

"Ikut aku!" 

Ayana menarik lengan Edsel dan mengajaknya menjauh dari keramaian. Sebuah taman kampus yang cukup tenang adalah tempat yang cocok untuk berbicara hal serius. Keduanya terduduk di rumput hijau. Ada beberapa mahasiswa yang berkumpul dan juga asyik dengan kesibukannya sendiri. 

"Kenapa diam saja? Apa yang kamu cemaskan?" Edsel tak sabar sedari tadi melihat gelagat Ayana yang gelisah. 

"Kamu tahu Jeno?" 

"Dia satu kelas dengan kita, Ay. Mana mungkin aku tidak mengenalnya. Apalagi dia juga mengundang kita semua ke pestanya besok malam," jawab Edsel diselingi tawa ringan. 

Ayana terlihat serba salah. Hanya menatap sekilas Edsel dan memilih melempar pandangan ke arah lain. "Apa kamu akan datang?" 

"Kamu mau datang ke sana?" balas Edsel balik bertanya. 

Ayana berdecak, bibirnya mengerucut sebal. "Pertanyaanku saja tidak kamu jawab, kenapa malah bertanya balik?" 

Edsel menatap lekat dengan senyuman jahil. "Kamu jawab saja. Maka itu akan jadi jawabanku juga." 

"Apa itu berarti kalau aku mengatakan akan datang, kamu juga akan melakukan hal yang sama?" 

"Of course," sahut Edsel mantap. 

Ayana menarik garis bibirnya hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi. 

"Apa kamu yakin ingin menghadiri pesta Jeno? Kamu pasti sudah cukup mengenal lingkup pertemanan dia?" Edsel berkata ragu-ragu. 

"Justru karena aku tahu siapa dia makanya aku bertanya padamu. Setidaknya aku merasa aman jika datang bersamamu, Ed. Tidak akan ada yang berani menggangguku jika datang bersama mantan ketua senat," celoteh Ayana tersenyum manis hingga membuat denyut jantung Edsel berdentam-dentam. Tanpa sadar tangan laki-laki itu menyentuh bagian dadanya sendiri. "Dadamu kenapa?" lanjutnya bertanya. 

Mendadak Edsel salah tingkah. Jari tangannya yang berada di depan dada digerakkan seperti sedang menggaruk. "Ti-tidak apa-apa, Ay. Kalau begitu, besok malam aku akan menjemputmu." 

Ayana mengangguk senang. "Terima kasih. Lega rasanya. Aku jadi tidak bingung menjelaskan pada bibi kalau kamu yang menjemputku." Gadis itu bangkit membenahi diri, lalu berpamitan. 

"Ayana." Edsel memanggil sebelum gadis itu menjauh. 

"Ya. Ada apa lagi, Ed? Hari ini aku pasti akan datang ke toko." 

"Bukan itu." 

"Lalu?" 

Edsel berjalan mendekat. "Hem, nanti sepulang dari sini, bagaimana kalau kita ke butik?" 

"Kamu mau beli baju?" tanya Ayana menebak.

Kepala Edsel menggeleng, tangannya menyentuh satu pundak gadis di depannya. "Kamu pasti butuh gaun untuk dipakai ke pesta besok malam." 

Sejenak Ayana terdiam, menatap raut gugup di paras rupawan sahabatnya. "Tidak usah. Gaun yang kamu berikan sebagai kado ulang tahunku saja baru aku pakai sekali. Itu masih sangat cantik untukku pakai besok malam." 

"Tapi, Ay, itu--" 

"Kalau masih banyak tanya aku akan membatalkannya." 

Bola mata Edsel membulat. "Maafkan aku," sesalnya sembari mengusap tengkuk leher. 

"Sampai jumpa besok malam, Ed!" Ayana melambai singkat, lantas berlari menjauh. 

Sepasang manik legam yang membidik tajam sedari tadi memperhatikan interaksi keduanya. Mulutnya yang sedang mengunyah permen karet tampak menyeringai, lalu berbalik badan melangkah santai menyusuri koridor kampus.

 .

.

.

Rencana Keji

Satu gelas minuman kemerahan dihabiskan dalam sekali teguk. Suasana bising dengan teriakan para kawula muda tak sedikit pun membuat Jovic selera berabur dengan mereka. 

"Come on, Bro! Jangan diam saja. Nikmati pesta ini karena bulan depan kita akan sibuk perkara skripshit!" seru Jeno menyodorkan satu botol minuman keras untuk Jovic, tetapi laki-laki itu tidak menyambutnya sehingga Jeno meletakkan saja di atas meja. 

Pendar mata Jovic terfokus pada arah pintu masuk. Menanti kedatangan seseorang. Arah pandangannya berganti ke depan ponsel yang sedang sibuk dikelola jari-jemarinya. 

"Apa kamu menyediakan kamar kosong?" 

Jeno yang baru saja meneguk alkohol nyaris tersedak. "Tentu saja. Kamu pikir aku hanya menyewa ruangan ini saja? Aku juga paham pasti ada yang ingin menuntaskan gairahnya di sini," jawabnya sambil tertawa. 

"Oke, sediakan satu kamar kosong," tukas Jovic serius. 

"Well, siapa perempuan yang akan kamu seret ke dalam sana?" tanya Jeno penasaran. 

"Bukan aku, tapi mereka!" tandas Jovic menatap lurus pada pasangan yang baru saja tiba, lantas ia menyingkir dari hadapan Jeno. 

*** 

Ayana terlihat sangat gugup ketika memasuki kelab malam. Tidak menyangka jika ia akan menginjakkan kakinya ke tempat tabu ini. 

"Kalau kamu ragu, lebih baik kita pulang saja," ucap Edsel seolah tahu apa yang tengah Ayana rasakan. 

Jemari Ayana menggenggam ponselnya. Baru saja ia membaca sebuah pesan dari Jovic yang berisi ancaman jika ia tidak menampakkan diri. Mungkin banyak yang berpikir kenapa Ayana tidak buka suara mengenai perlakuan tak senonoh yang Jovic lakukan. Laki-laki itu memiliki koneksi yang kuat dalam ranah kampus. Selain ancaman pemutusan sepihak beasiswa Ayana, ada satu ketakutan yang paling mengerikan.

Tidak tanggung-tanggung, Jovic bisa dengan mudah membuat Ayana dikeluarkan tanpa pertimbangan. Alasan itulah yang membuat Ayana bungkam dan rela menjadi boneka kesenangan bagi Jovic. Ia juga tak mau melibatkan Edsel karena Jovic sudah mendoktrin otaknya dengan berbagai macam kecemasan dan pikiran-pikiran buruk lainnya yang akan terjadi pada sahabatnya jika mencampuri perkara mereka. Gadis itu memilih bertahan sampai meraih gelar pendidikan yang tidak akan lama lagi. 

"Ayana, hei?" Edsel menyentuh bahu gadis itu. 

"Ma-maaf, Ed. Aku pikir Jeno merayakannya di rumah. Aku tidak menyangka pesta yang dimaksud di tempat seperti ini," keluh Ayana menggigit ujung kukunya. 

"Seperti yang aku bilang, circle pergaulan Jeno itu terlampau bebas. Makanya aku beberapa kali memastikan keputusanmu datang ke sini." 

"Ya, tapi aku benar-benar tidak menduga kalau ternyata--" Ayana terkejut saat tubuhnya didorong hingga punggungnya bersandar pada dinding. Baru saja seorang waiter lewat dengan memegang nampan berisi gelas-gelas alkohol. Kelopak mata Ayana mengerjap saat laki-laki berwajah ras kauskasoid sangat dekat memandangnya. 

"Jangan takut. Selama di sini, aku tidak akan melepaskanmu," tukas Edsel menyakinkan ragu dalam diri gadis di depannya. 

"Wow, suatu kehormatan mantan ketua senat teladan mau hadir di sini!" sapa Jeno tiba-tiba sudah ada di belakang tubuh Edsel. Cepat-cepat Ayana mengubah posisi agar terlihat tidak sedang macam-macam. 

"Selamat ulang tahun, Jeno," ucap Ayana tulus mengulurkan tangan. Lelaki itu membalas dan tersenyum jahil. 

"Pilihan yang tepat. Menolak Jovic demi mahasiswa teladan seperti Edsel," sindir Jeno membuat Ayana salah tingkah. 

Edsel menjentik kening Jeno hingga si pemilik pesta mengaduh mengusap bagian yang sakit. 

"Otakmu masih saja dangkal. Selalu menilai berdasarkan apa yang terlihat saja. Kalau Ayana tidak mengajak, aku juga tidak akan muncul di depanmu," decak Edsel tak suka. 

Mendengar percakapan tersebut, Ayana menyenggol perut Edsel dengan sikunya hingga ekspresi meringis membuat Jeno senang karena sudah membalaskan perlakuannya. 

"Jadi sekarang kalian jadian? Tidak sia-sia pendekatan yang kamu lakukan, Ed." Jeno menatap penuh arti. 

"Kami datang ke sini bukan untuk diinterogasi pertanyaan konyol, tapi untuk memenuhi undanganmu," sungut Edsel ketus. 

"Oke, oke, aku paham. Sori, aku terlalu terpesona dengan kehadiran kalian. Thank’s, sudah mau datang. Silakan nikmati pestanya." 

Ayana mengangguk sungkan. Satu tangannya melingkari lengan kokoh Edsel. Bahkan sedikit mencengkeram. Merasakan kegelisahan Ayana, akhirnya Edsel berinisiatif mencari tempat yang nyaman. Walau hal demikian tidak akan ada di sini, paling tidak Edsel akan mencari posisi yang lebih tenang. 

"Ayana, ternyata kamu datang juga!" pekik Chika antusias. Keduanya saling berpelukan. Ketika menyadari kehadiran Edsel di sisi Ayana, gadis berambut sebahu dengan balutan gaun merah itu menggodanya sehingga Ayana merasa malu dan takut Edsel salah paham pada pernyataan Chika. 

"Pantas saja mau datang. Ternyata ada bodyguard tampan yang selalu siap sedia mengantar Tuan Putri ke mana saja," ledek Chika mengerling. 

"Kamu sendiri datang dengan siapa?" tanya Ayana mengalihkan topik pembahasan dirinya. 

"Aku datang bersama Dean." 

"Dean mahasiswa Fakultas Teknik?" 

"Iya, siapa lagi? Cuma satu Dean yang aku gilai," bisik Chika malu-malu. 

Ayana menatap setengah tidak percaya. Temannya yang selalu mengoceh perihal perangai buruk Jovic nyatanya mengagumi salah satu teman dekat bad boy menyebalkan itu. 

Kepala Ayana menoleh pada Edsel yang tengah berbincang dengan Dean. Cukup terpana jika Edsel mudah bergaul dengan siapa saja dan mampu mengimbangi obrolan. 

Mata Ayana menyipit melihat gelas yang ada di tangan kiri Chika. "Kamu minum alkohol?" 

"Cu-ma sedikit. Aku hanya menghargai jamuan yang disediakan di sini." Chika mendekati telinga Ayana. "Setelah mencoba sedikit, ternyata rasanya tidak mengecewakan. Kamu mau coba?" 

Refleks Ayana menggeleng tegas. Melihat reaksinya yang berlebihan tawa Chika meluncur keras. "Maaf, aku lupa kalau temanku ini memiliki prinsip kuat," selorohnya ketika berhasil meredam tawa. "Mau aku ambilkan jus jeruk?" 

"Memangnya ada di sini?" kening Ayana mengerut. Sejujurnya, tenggorokannya sudah mulai kehausan dan butuh kesegaran. 

"Tunggu di sini, aku akan meminta waiter membuatkannya." Chika hendak beranjak, Ayana mengekorinya, lalu menahan lengannya. 

"Aku boleh ikut?" 

"Mau ke mana, Ay?" Suara Edsel menginterupsi keduanya. 

Chika menatap gantian pada Ayana dan Edsel. Ia malah terkikik geli melihat respons laki-laki bule yang datang bersama Ayana seolah tidak mau ditinggalkan. Chika menolak tegas dan membawa Ayana duduk di salah satu kursi kosong. "Kamu tunggu saja di sini." Chika menoleh pada Edsel. "Tolong jaga temanku," titahnya sebelum berlalu. 

Menunggu memanglah sesuatu yang menjemukan. Ayana makin tidak nyaman berada di dalam ruangan. "Edsel, aku pamit ke toilet, boleh?" 

Laki-laki itu mengerutkan bibir. "Itu hak asasi kamu. Mana mungkin aku melarang." 

Bibir Ayana mengerucut. 

"Mau aku antar?" tawar Edsel. 

"Tidak, kamu di sini saja. Nanti Chika kebingungan kalau kursi ini kosong. Aku juga tidak mau dia berpikiran yang tidak-tidak tentang kedekatan kita." 

Binar netra Edsel meredup menatap punggung mungil Ayana yang menjauh. Denyut sakit dalam dadanya tak bisa diredam. Kata-kata yang terlontar dari mulut sahabatnya memang apa adanya, tetapi entah kenapa, rasanya sangat mengecewakan.


.

 

.

.

Noda Persahabatan

Ayana memijat pelipisnya. Kelopak matanya dikedip-kedipkan guna menyesuaikan pandangan yang buram. Terlihat Chika di depan sana sedang asik berdansa bersama pasangannya. Rasa pening menjalar cepat ke bagian kepala Ayana. Mendadak, suhu dalam tubuhnya meningkat. Kedua tangannya mengibas-ngibaskan wajah yang terasa panas. 

"Apa pendingin ruangan di sini mati?" 

Edsel menyipitkan mata melihat perubahan tingkah Ayana yang aneh. Jari-jemari lentik itu menyentuh lehernya sendiri, bahkan menggaruknya tanpa pertimbangan hingga menimbulkan lecet. 

"Panas ... gerah ... gatal," rutuk Ayana tak bisa diam. 

Edsel mendekat, menatap lekat wajah memerah Ayana. Gadis itu mendesah saat pipinya ditangkup seraya menggigit bibir bawahnya. Kepala Edsel menoleh pada gelas berisi jus jeruk yang telah tandas. Seketika, raut wajahnya panik. 

"Kita harus segera pulang." 

Ayana melenguh ketika lengannya saling bersentuhan. Kesadaran Ayana sudah mengabur. Tanpa tahu malu ia meraih satu tangan Edsel dan ditempelkan ke pipinya, lalu membawa jari laki-laki itu menjalar ke permukaan bibirnya. Reaksi Ayana membuat Edsel kian panik. Bahkan gadis itu melenguh frustrasi saat Edsel menyingkirkan tangannya dari wajah Ayana. 

"Tolong aku, Ed. Aku tidak kuat menahannya. Suhu badanku panas dan mulai terasa gatal." Ayana terus menggaruk kulitnya hingga memerah. Di bawah sana, kakinya saling mengapit. Ayana merasakan geli pada area sensitifnya.  

Dalam keadaan seperti ini Edsel tidak mungkin membawa Ayana pulang. Otaknya berpikir keras demi menolong perempuan yang memercayakan keselamatannya padanya. Edsel pergi sejenak menghampiri Jeno yang sedang bersukaria pada teman-temannya. Tak lama ia kembali setelah mendapatkan sesuatu dari Jeno. Sebuah benda tipis persegi panjang ada dalam genggaman tangannya. 

Edsel membimbing tubuh Ayana yang sempoyongan melewati lorong. Sampai di sebuah pintu, Edsel tampak ragu membukanya, tetapi akhirnya kartu akses masuk ke dalam kamar Edsel gunakan. Begitu terbuka, lekas membopong tubuh lemah Ayana dan membaringkannya ke tempat tidur. 

Edsel kembali ke arah pintu demi memastikan keamanan kuncinya, kemudian terpekur dengan posisi kening menempel di depan pintu cukup lama menimbang-nimbang keputusan. Pertahanannya mulai goyah dan merutuki tindakannya. Kenapa malah membawa Ayana ke dalam kamar? 

Edsel memijat urat pelipisnya yang menegang. Matanya memejam, mengharap jalan keluar melintas di pikirannya. Namun, nihil. Tidak ada pilihan lain selain menuntaskannya. 

Pijakan kaki Edsel memaku ketika berbalik badan, ada sajian indah yang menyambutnya. Lekuk tubuh molek Ayana memanjakan pandangannya. Gadis itu telah menanggalkan gaun hitamnya. Kini, tubuh mungilnya hanya melekat dua kain pada dada dan lipatan kewanitaannya. Setelan minim berwarna hitam menyinari kulitnya yang indah. Sangat kontras dengan warna kulit putihnya. 

"Edsel." 

Suara Ayana semakin lirih. Mendongakkan wajah saat Edsel berdiri tepat di depannya. Satu kejutan membuat Edsel tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Ayana membimbing tangan Edsel menyentuh satu payudaranya. Menekan benda bulat itu agar diremas. Tindakan beraninya membuat Edsel tak mau mundur, ia turut mengikuti permohonan Ayana yang telah dirundung nafsu. Gadis polos itu mendesah keras dengan mata terpejam. Sementara, satu tangannya yang bebas menyentuh celah intinya. 

"Aku mohon, jangan pernah membenciku setelah kita melakukannya." 

✂️ Cut eksplisit scene ✂️



*** 

Sepasang manik gelap menatap tajam pada dua orang yang menuruni roda empat hitam. Terlihat seorang perempuan berjalan tertatih memasuki halaman. Tak memedulikan laki-laki yang berniat baik memapah tubuhnya yang lemas. Gadis itu terseok-seok ketika menaiki lantai teras yang sedikit tinggi dari permukaan jalan. Tampak tangan mungil itu menyusut air matanya yang meleleh di pipi. 

Tanpa mempersilakan masuk laki-laki di belakangnya, Ayana memasuki rumah. Menutup pintu begitu saja hingga hampir saja membuat wajah muram maskulin menyentuh permukaan pintu. 

Pemuda itu menarik dalam-dalam napasnya sebelum mengembuskan kasar, lalu melangkah gontai menuju kendaraannya. Sebelum masuk, Edsel meremas rambutnya kuat-kuat, lantas menendang ban mobil sebagai penyaluran rasa sesal dan kecewa. Dipastikan, Ayana akan membencinya hingga ke tulang beluang.

Bukankah pengkhianatan seseorang yang berlabel sahabat konsekuensinya sangat berat? 

Setelah mobil hitam yang diintai menghilang dari pandangan, ia mulai men-stater motor sport yang ditungganginya. Menutup kaca helm full face di kepalanya, lantas menarik gas kuat-kuat meninggalkan area pemukiman pinggir jalan dengan euforia hati penuh kemenangan.

.

.

.

Masalah Kompleks

Keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk mini membungkus tubuh mungilnya, Ayana tidak langsung memakai pakaian yang telah disediakan di atas tempat tidur. Gadis itu berdiri tegak di depan kaca lemari yang memantulkan seluruh tubuhnya. Cukup lama mematut diri dengan wajah sendu. Jemarinya menjalar menyentuh kulit wajahnya dan berhenti tepat di depan bibirnya yang pucat terkena air dingin. 

Bibir bagian bawah yang memang lebih bervolume teksturnya Ayana gigit pelan. Daya ingatnya terlempar pada seseorang yang mencuri ciuman pertamanya. Siapa lagi kalau bukan Jovic Lee Tristan. Berawal dari penolakan cinta mahasiswa teknik malah membuatnya terjerumus. Menjadi sasaran pelampiasan kekesalan lelaki yang merasa terhina atas sikapnya. 

"Jovic." Ayana bergumam lirih. Kedua matanya memejam dan meloloskan buliran bening. 

Perlahan, netranya yang memerah terbuka. Tatapan terluka menyorot dalam pantulan dirinya di cermin. Ayana menarik simpul handuk yang mengapit di tengah dadanya, benda tebal itu merosot ke lantai sehingga mempertontonkan seluruh lekukan tubuhnya yang sintal. Kedua telapak tangannya menutupi wajah yang telah banjir oleh air mata. 

Ayana merutuki nasibnya. Tak pernah menduga bahwa satu-satunya miliknya yang berharga dikoyak oleh sahabatnya sendiri. Harusnya sadar diri bahwa tidak ada pertemanan lurus antara laki-laki dan perempuan. Ia terlalu naif membaca gelagat karakter Edsel Ozkan Rainer yang terlalu perhatian dan mengaku mencintainya. 

"Edsel," isaknya tersedu-sedu. Pijakan kakinya meluruh. Bersandar pada pintu lemari dengan kedua kaki menekuk rapat seolah melindungi diri. 

Punggungnya bergetar hebat. Potongan adegan tiap adegan kembali terputar bak kaset rusak di atas kepalanya. Ayana sadar, jika malam itu bukan sepenuhnya salah Edsel. Tubuhnya sendiri yang merengek dan menggoda naluri kelelakian sahabatnya. Laki-laki normal mana pun tidak akan melewatkan kesempatan emas itu. 

Ayana meremas rambutnya yang basah. Bahkan ada yang ikut tercabut dan menempel di telapaknya. Kekecewaan tak berkesudahan terus melanda jiwanya. Harusnya Edsel membuktikan cintanya dengan menahan diri dari nafsu primitif yang malah merusak masa depan Ayana. Sungguh, hati Ayana bagai teriris pisau belati tajam. Merasa dikhianati oleh status sahabat yang melekat erat. 

"Tuhan, apa tubuhku hanya untuk dijadikan objek kesenanga saja?" lirihnya getir. 

*** 

Suasana hati Edsel beberapa hari ini pasang surut. Bahkan penampilannya terlihat berantakan dari biasanya. Raut wajahnya mendung dan cenderung labil emosinya, membuat orang yang selalu berada di sekitarnya merasa aneh. Terkadang melamun, tetapi tiba-tiba melenguh frustrasi tanpa sebab. 

"Apa kalian bertengkar?" 

Edsel yang tengah tercenung di kursi usai mata kuliah terakhir menoleh tak semangat menatap laki-laki berambut spike berbalut kemeja flanel maroon

"Hampir satu minggu ini aku tidak melihatmu berinteraksi dengan Ayana. Kenapa? Apa dia sudah mengetahui perasaan terdalam yang kamu simpan rapat-rapat, hem?" tanya Mike--teman yang cukup dekat sejak satu organisasi kemahasiswaan. Sebenarnya keduanya sudah saling mengenal sejak di sekolah menengah atas, tapi tidak terlalu dekat. 

Edsel terperangah sesaat. Tak menyangka jika perasaan spesial dipersembahkan untuk Ayana terbaca oleh laki-laki kalem di depannya. 

"Tidak perlu kaget begitu. Sikap yang kamu tunjukan sangat jelas. Meski sayang sekali, target terlalu polos dan tidak menyadarinya," kekeh Mike menikmati raut terkejut Edsel yang makin gelagapan. 

"Aku ..." Suara Edsel kembali tertelan begitu seseorang yang menjadi bahasan muncul di ambang pintu. Untuk sesaat pandangan keduanya bertautan, tapi gadis itu lebih dulu memutus kontaknya. Ayana malah tidak jadi memasuki kelas. 

Punggung Edsel merosot selaras dengan raut wajahnya yang terluka. Kerinduan yang menumpuk dalam dadanya tercerai-berai. Ayana sudah tidak sudi lagi berhubungan dengannya. Bahkan jika Edsel memaksa menemuinya di Florist, Ayana mengancam akan mengundurkan diri saat itu juga. Yang bisa Edsel lakukan saat ini mengikuti ultimatum gadis yang dicintainya, karena sesuatu yang terjadi antara mereka malam itu adalah masalah yang kompleks. 

Mike memahami situasi hati temannya saat ini. Ia merasa perlu memberi dukungan. "Aku rasa hubungan kalian saat ini memang perlu berjarak." Ia menjeda sesaat demi melihat respons Edsel yang terlihat tidak terima, lalu kembali meneruskan, "aku rasa Ayana juga perlu ketenangan. Ingat, tidak lama lagi kita akan menghadapi sidang skripsi. Biarkan fokusnya pada sesuatu yang lebih penting selain urusan asmara," lanjutnya menasihati. 

Kata-kata Mike berhasil membuat suasana hati Edsel cukup tenang. Ada benarnya. Ayana butuh waktu untuk menerima malam kelam yang merenggut sesuatu darinya. Mahkota suci yang selama ini dijaga harus terampas olehnya. Walau tak memungkiri, ada kebanggaan di relung paling dasar hatinya. 

"Ya, kamu benar. Terima kasih, Mike," ucapnya tulus. 

Mike tersenyum senang. "Kamu harus berpikir positif. Aku yakin Ayana pasti akan memilihmu daripada laki-laki sok jagoan Fakultas Teknik itu." 

Edsel sangat tahu laki-laki yang dimaksud Mike. 

"Padahal aku berharap, hubunganmu bisa kembali baik setelah dia pindah kampus ke sini," imbuh Mike menatap serius. 

"Entahlah. Biarkan dia menikmati rasa bencinya," tukas Edsel mengendikan bahu. 

Mike menepuk-nepuk pelan pundak Edsel. "Suatu saat dia akan menyadari bahwa kamu adalah sosok sahabat yang tidak akan dia temui di lingkar pertemanannya yang sekarang. Aku yakin, dia pasti pernah merasa sepi kehilangan sahabat sepertimu. Penampilan luarnya memang liar, tapi percayalah sisi dalamnya tetap masih sama saat dulu kalian masih dekat." 

Mike menahan tawa melihat Edsel tak bisa berkata-kata lagi menimpali petuahnya. Ia lekas keluar membiarkan laki-laki itu menyendiri. Edsel memutuskan untuk beranjak. Tak baik untuk kesehatan hati dan pikirannya jika terlalu larut pada apa yang telah terjadi. Membenahi buku-buku yang masih tergeletak di atas meja, lalu memasukkan dalam tas ransel. 

Gerakan tangan Edsel terhenti melihat sebuah benda yang selalu dijaganya. Sebuah sapu tangan warna mustard dengan hiasan bordir ukiran nama gadis yang tersemat dalam hatinya. Seketika pikiran Edsel kembali saat terakhir kali mereka berbicara. 

"Walau terpaksa, aku memang melakukannya dalam keadaan sadar. Aku tidak bermaksud mengambil keuntungan di saat kamu tidak sadarkan diri. Jujur, aku sempat dilema dan ragu, tapi rasa di dalam sini begitu kuat." tangan Edsel menekan bagian dada lebarnya . "Aku tidak bisa menahan diri lagi untuk bersikap seolah-olah kamu tidak berharga. Aku terlalu takut melihatmu menyakiti dirimu sendiri akibat pengaruh obat sialan itu. Aku pikir, dengan melakukannya, rasa sakit yang kamu rasakan akan hilang." Edsel merangkum pundak Ayana. "Percayalah, yang aku lakukan bukan semata-mata aku lemah dengan kadar nafsuku, tapi aku merasakan dorongan yang lebih besar lagi." Keduanya terdiam sejenak. Edsel menarik satu tangan Ayana dan ditempelkan ke depan dada bidangnya. "Aku mencintaimu, Ayana. Sangat mencintaimu. Aku tahu cara yang kulakukan salah, tapi aku melakukannya penuh cinta." 

Sepasang manik terang Ayana meredup. Memerah dan terasa pedih oleh kaca-kaca yang bermunculan di bola matanya. "Kalau memang benar mencintaiku, seharusnya kamu berusaha sekuat mungkin untuk menjagaku. Menahan mati-matian perasaan gila yang kamu simpan. Bukan malah menjadi perusak," tukasnya telak seraya menyusut butiran yang meluncur jatuh ke pipi. 

Edsel membuang napas besar. Meremas kain di tangannya, lantas memasukkan dalam tas yang telah siap dipakai. Dengan langkah berat, ia keluar dari ruangan. Tentu saja kecamuk dalam otaknya tak bisa sepenuhnya dienyahkan.

.

.

.

Terancam

Dua pasang kaki melangkah lebar. Kedua laki-laki yang baru saja keluar dari kelas praktik terlibat obrolan santai. Saking asyiknya sampai tidak menyadari seseorang yang datang dari arah berlawanan sedang menunduk mengikat tali sepatunya yang lepas. 

"Ops, sori!" ucap Jeno cepat meminta maaf. Sesungguhnya bukan dia yang menabrak, melainkan teman di sebelahnya yang berparas Idol Negeri Ginseng. 

"Ah, ya, tidak apa-apa, Jeno," jawab Edsel tersenyum tipis. 

Kelopak mata Jeno menyipit melihat penampilan lelaki bule paling most wanted bernilai plus-plus karena tanpa rekam jejak kenakalan. Edsel terlihat sangat kusut dan penuh beban. "Apa bahan skripsi yang kamu kerjakan begitu rumit?" tanyanya penasaran. 

"Tidak juga, tapi memang akhir-akhir aku mengerjakannya sampai lupa waktu," tukas Edsel. 

"Uh, wow! Mahasiswa teladan memang selalu terdepan!" kelakar Jeno dengan tawa renyah. 

"Aku rasa bukan hal itu yang membuatnya kacau," celetuk Jovic acuh. 

Sontak, Edsel dan Jeno menatap berbarengan ke arah lelaki yang sibuk mengunyah permen karet sambil memainkan smartphone. Merasakan ketegangan antara dua mahasiswa berbeda karakter membuat Jeno panik. 

"Kami duluan, Ed!" pamit Jeno menepuk bahu Edsel dan cepat-cepat menjauh dari hadapannya. 

Saat melintasi pertigaan yang mengarah ke koridor, Jovic menghentikan langkah. "Jeno, kamu duluan saja. Aku masih ada urusan sebentar." 

"Urusan?" Jeno mengangkat dua alisnya, lalu melongok pada tangga di belakang tubuh Jovic yang menghubungkan ruang perpustakaan. "Bilang saja kalau kamu mau menemuinya?" ledeknya paham.

Wajah Jovic berubah gugup. Ia memalingkan pandangan untuk menyangkal. "Jangan asal tebak. Aku hanya ingin bermain-main saja dengan perasaan cemas Ayana." 

"Tepat dugaanku. Ayana, padahal tadi aku tidak menyebut nama dia," terka Jeno tepat sasaran. 

Sial! Jovic terjebak! Tentu saja ia tidak sudi mengakui cibiran tersebut dan memilih diam. 

"Akui saja, jika kamu serius tertarik dengannya. Jangan sok bajingan menggunakan perasaan untuk balas dendam. Kamu pikir aku tidak tahu, saat malam itu otakmu seperti tidak waras. Mengumpankan Ayana, tapi kamu sendiri marah-marah dan terus mengumpat seperti tidak terima dia disentuh laki-laki lain." Jeno menatap lekat wajah putih Jovic yang merah padam mendengar kata-katanya. "Aku juga tahu saat kamu mondar-mandir di depan kamar mereka layaknya pria patah hati yang diselingkuhi kekasihnya," kekehnya kian menyudutkan. 

"Jeno, kamu terlalu banyak bicara," desis Jovic berang menarik kerah kaos, tapi Jeno tetap santai, tidak merasa takut walau saat ini lehernya nyaris tercekik. 

"Keegoisan kamu menghancurkan Ayana dan merusak persahabatan mereka," tambah Jeno menyulut rasa panas, hingga akhirnya Jovic melepas cengkeraman kerah bajunya dengan tatapan menghunus tajam. "Rusaknya persahabatanmu dengan Edsel bukan karena Ayana. Lebih baik akhiri permainan kotor ini sebelum penyesalan kamu hadapi."  

"Jangan ikut campur urusanku!" sentak Jovic seraya menendang kuat tong sampah di sebelah kiri hingga lawan bicaranya terlonjak kaget. "Diam lebih baik daripada mencampuri urusan yang tidak kamu ketahui sama sekali. Camkan!" 

Jeno menatap nyalang laki-laki yang menaiki dua undakan anak tangga sekaligus. Ia sama sekali tidak tersinggung atas perlakukan teman dekatnya. Justru ia prihatin menyaksikan kebencian Jovic yang tidak mendasar dan terlalu konyol. 

*** 

Buku tebal yang terbuka tampak tak menarik lagi untuk dibaca. Pikiran Ayana seperti tidak ada di tempat. Raut wajahnya mendung tanpa guyuran hujan. Kekecewaan dan kesedihannya hanya bisa dipendam. Atensi Ayana teralihkan oleh wajah tengil di depannya. Paras rupawan itu berbanding terbalik dengan perangainya. 

"Hai, apa kabar?" 

Ayana menatap jengah. Suasana hatinya saat ini sedang kacau, kenapa harus bertemu tatap lagi dengan laki-laki berengsek ini. Ayana pikir hidupnya kembali tenang karena beberapa hari tidak mendapatkan gangguan makhluk menyebalkan di depannya. 

"Sepertinya kamu senang sekali tidak bertemu denganku." 

Bibir Ayana bungkam. Enggan menimpali. Di ruangan terbuka begini ia berani mengabaikan Jovic karena yakin dirinya akan tetap aman dari perlakuan melenceng lelaki itu. 

"Kamu juga terlihat berbeda setelah menghadiri pestanya Jeno." Sudut bibir Jovic naik mencetak seringai. 

"Apa maumu?" sungut Ayana bertanya. 

"Hanya ingin bertanya, ke mana kamu saat aku menunggu kedatanganmu di pesta?" Satu alis hitam Jovic yang bebas dari piercing menukik tajam. 

Gelagapan. Ayana merasa seperti tengah dikuliti, padahal laki-laki di hadapannya hanya bertanya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. "A-aku ... aku hanya datang sebentar. Setelah itu aku--" 

"Check in," sela Jovic meneruskan kata-kata Ayana. 

Tatapan Ayana terkejut sekali. Wajahnya memucat seketika, seperti kehilangan aliran darah. Kepalan tangan Ayana di sisi buku mengerat dengan wajah menunduk dan tak berani membalas tatapan intimidasi Jovic yang meremehkannya. 

"Kalau tidak ada hal penting yang ingin dibicarakan, aku permisi." Baru saja Ayana mengangkat bokong, lengannya dicekal kuat. Nyali Ayana menciut menatap bidikan tajam netra legam itu. 

"Aku punya rahasia penting, dan ini sangat akurat. Aku menyimpannya di sini, apa kamu ingin melihatnya?" tanya Jovic seraya menunjukkan layar ponselnya yang masih gelap. 

Dentuman jantung Ayana mulai meresahkan. Menelan liurnya kasar sebelum menolak. "Tidak perlu. Aku tidak suka mencampuri urusan orang lain." 

"Orang lain?" cibir Jovic bersandar pada punggung kursi dengan tatapan tak lepas dari wajah cantik yang gugup. 

"Maaf, aku harus segera pergi." 

Namun, Ayana tak bisa berkutik ketika ponsel milik Jovic telah menyala di depan wajahnya. Sesuatu yang terlihat di layar canggih itu sukses membuat tubuh Ayana gemetar. 

"Apa jadinya kalau video ini tersebar?" 

Ayana menatap takut-takut ke arah Jovic yang tersenyum pongah. Walau hanya menampilkan potongan video laki-laki yang merangkul pasangannya sedang berjalan di lorong sebuah kelab malam sampai masuk ke dalam kamar, sudah membuat kinerja jantung Ayana melemah. Ketakutan dan berbagai kecemasan lainnya berduyun-duyun datang mencekam. 

"Please, Jo ... jangan lakukan itu," lirih Ayana mulai terisak. 

"Hei, hei, aku tidak melakukan apa-apa padamu. Harusnya kamu menangis di depan dia," cibir Jovic tersenyum. 

Ayana menutup wajahnya dengan tangan. Malu sekaligus takut menghadapi hal berikutnya yang akan terjadi jika seorang Jovic ikut campur. Di saat jiwanya masih merasa gamang, laki-laki picik itu menarik paksa tangannya. 

"Ikut aku!" 

"Ke mana? A-apa yang ingin kamu perbuat?" 

Jovic hanya mengangkat dua alisnya dengan tatapan yang entah apa artinya. 

"Aku tidak mau ikut." 

"Pilihanmu hanya satu. Menurutiku." 

"Aku tidak mau lagi kamu manfaatkan." 

Jovic bersiul menanggapi pernyataan lawan bicara yang berusaha tegar. Lingkar tapak tangannya mengerat di pergelangan lembut nan kurus. "Terlambat, Ayana. Kamu tidak akan pernah bisa lepas dariku. Aku tahu detail kejadian di pesta. Di mana seorang laki-laki meniduri sahabatnya."

 .

 .

 .

Kenyamanan Pertama

Bersyukur hari ini Ayana libur dari part time sehingga tidak perlu absensi. Florist tempatnya bekerja sedang direnovasi bagian depan sehingga Sania Ozkan--ibunya Edsel meliburkan para pegawai selama satu minggu dengan gaji pokok yang tetap dibayarkan. Wanita anggun berwajah bule itu sangat pengertian mengenai kesibukannya di semester akhir. Ayana merasa beruntung bisa menjadi bagian toko bunga yang selalu ramai pengunjung. 

Jantung Ayana mencelus saat menyadari bidikan tajam dari ekor mata laki-laki di depan kemudi. Selama dalam perjalanan keduanya terdiam. Tak ada satu kata pun yang terdengar sehingga membuat Ayana ngeri melihat ekspresi wajah dingin Jovic yang fokus menyetir mobil. Ayana tak berani bertanya ke mana tujuannya. Bahkan sudah pasrah dengan yang terjadi selanjutnya. Dengan kondisi badan yang kurang fit, kelopak matanya terasa berat. Ayana tak kuasa lagi menahan rasa kantuk yang menyerang hingga memejam erat. 

Sampai tiba di kawasan parkiran mal elit, Jovic mematikan mesin mobil, membuka seatbelt yang membelit, lantas menoleh pada perempuan yang terduduk dengan posisi sedikit merosot. Tanpa sadar garis bibirnya menipis memperhatikan wajah polos yang tertidur. Bibirnya yang terpoles liptint berwarna soft pink sedikit terbuka, terlihat sangat menggiurkan. Jovic mencondongkan badan demi memusatkan objek penglihatannya. 

Dengan pacuan degup jantung yang menghantam keras, tangannya bergerak menyentuh bibir meranum kenyal. Gerakannya sangat hati-hati karena tidak mau mengganggu. Jovic melenguh, merutuki logikanya yang mendadak lemah hanya dengan suguhan bibir perempuan. Perlahan, tapi pasti, kepalanya mendekat, menatap penuh minat pada warna pink yang segar. Namun, ketika tinggal beberapa centi lagi, pemilik bulu mata panjang nan indah mengerjap. Keduanya sama-sama terdiam dalam momen awkward

Jovic gegas menjauhkan diri. "Tidurmu lama sekali sampai mulutmu berbuih," selorohnya.

Ayana tentu saja terperangah, cepat mendongak pada kaca spion di atas. Di sana tidak menemukan jejak liur yang menempel. 

"Tidak perlu dicari, aku sudah menghapusnya," imbuh Jovic mengulum senyum menyapu pipi Ayana yang memerah. "Sekarang cepat turun." 

Ayana mengikuti instruksi dan mengekori langkah Jovic. "Ini di mana?" tanyanya masih dengan raut bingung. Area parkiran itu tidak dikenalinya. 

"Mall." 

"Mall?" Ayana membeo dengan raut aneh. 

"Iya, mall. Memangnya kamu berharap kita ke hotel?" 

"Tidak, tidak, tidak," pungkasnya tegas dengan gelengan kepala. 

Jovic mendekat, menarik lengan Ayana, lalu beralih menutkan jari-jemari mereka. "Kita akan senang-senang di sini." 

Tatapan Ayana beralih pada tangannya yang digenggam erat. Rasa hangat membungkus tangannya yang dingin. Jovic menoleh sekilas dan menyunggingkan seulas senyum tipis, membuat Ayana merasakan sesuatu yang asing menjalar cepat ke arteri darah hingga memompa kuat jantungnya. 

*** 

Ayana sempat melongo dengan kegiatan yang mereka lakukan dalam mal. Mulai dari menonton bioskop, belanja, dan di akhiri dengan mengisi amunisi perut kosong. Sungguh, pola pikir laki-laki oriental di depannya tak bisa ditebak, padahal saat mengancamnya Jovic tampak sangat menyeramkan. Suasana hatinya berubah cukup drastis dari yang dibayangkan Ayana. Ia pikir, Jovic akan melakukan hal keji lainnya mengingat kartu As yang dimilikinya sangat berpengaruh pada kehidupan Ayana. 

Hampir senja, Jovic mengantar Ayana pulang. Suasana hatinya sudah jauh membaik. Sebenarnya Jovic cukup terusik oleh kata-kata Jeno mengenai misi balas dendamnya. Panas dalam dadanya membakar cepat pada suasana hatinya. Namun, ketika bersama Ayana, lahar api di puncak kepalanya seakan meluruh. Jovic tak membantah, ada ketenangan yang dirasakan ketika bersama gadis itu. 

Roda empat hitam berhenti di pinggir jalan rumah berpagar rendah. Buru-buru Ayana keluar tanpa pamit. Memasuki rumahnya yang didatangi beberapa tetangga. 

"Bibi kamu pingsan, Ay." 

Mendengar keterangan dari salah satu warga yang berada di luar, Ayana segera memasuki kamar, di sana Bibi Riva  terbaring lemah. "Bibi kenapa? Apa yang terjadi?" tanyanya panik sambil menyentuh pipi dan kening sang bibi. 

"Bibi kamu tidak sadarkan diri. Entah sejak kapan, karena saat saya curiga seharian ini bibimu tidak keluar rumah, saya memberanikan diri masuk ke dalam. Saya sangat terkejut mengetahui beliau terkapar di depan pintu kamar," terang Ibu Mega--tetangga sebelah rumahnya. 

Ayana mendadak kebingungan. Kenapa ada banyak orang di sini tidak ada yang berinisiatif membawa bibinya ke dokter? 

"Bibi kamu harus segera ditolong!" 

Pandangan Ayana tampak linglung pada laki-laki yang tadi mengantarnya pulang. Jovic dibantu Ibu Mega tengah mengangkat Bibi Riva. 

"Jangan lama berpikir, cepat ikut aku ke mobil! Kita ke rumah sakit sekarang juga!" 

*** 

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Saat ini Bibi Riva sudah mendapatkan perawatan intensif. Ayana terduduk di sisi pembaringan wanita yang merawatnya sejak kecil. Memandangi wajah berkeriput penuh kelembutan. Darah rendah dan asam lambung yang naik membuat wanita paruh baya itu lemas tak bertenaga. 

"Syukurlah kita pulang cepat, sehingga Bibimu cepat ditangani," ucap Jovic tulus. 

"Terima kasih, Jo." Entah sudah berapa kali Ayana mengucapkannya. Kehadiran Jovic saat ini benar-benar menyelamatkannya. 

"Bukan hal serius. Santai saja, Ay." 

Ayana memindai sekeliling ruangan yang sangat nyaman untuk ruang pesakitan. "Harusnya kamu tidak membawaku ke sini. Rumah sakit ini tidak menerima asuransi pemerintah. Bagaimana aku--" 

"Tidak perlu memikirkan hal itu. Fokus saja menjaga bibimu," sahut Jovic santai. 

"Biayanya pasti mahal." 

"Terus apa masalahnya?" 

"Tabunganku tidak cukup untuk mem--" Ayana terkejut ketika jari telunjuk panjang menyentuh bibirnya. 

"Administrasinya sudah beres." Tangan Jovic berpindah menangkup rahang pipi kiri Ayana, mengelusnya lembut. "Sekarang kamu diam, jangan terlalu banyak protes kalau tidak mau aku--" 

"Iya, Jo, aku diam," patuh Ayana merapatkan bibirnya sehingga membentuk garis tipis yang menggemaskan di pandangan Jovic. Ayana tidak mau mendengar ancaman dengan kondisi sekarang. 

Laki-laki itu mengerang pelan, jika situasinya bukan di rumah sakit, mungkin bibir Ayana sudah dicumbuinya dengan brutal. 

"Sudah malam, sebaiknya kamu pulang," saran Ayana tak bermaksud apa-apa. 

"Kamu mengusirku, Ay?" Satu Alis Jovic menjulang, tampak tak suka dengan saran yang terdengar. 

"Bu-bukan begitu. Jovic ... maksudku, kamu juga perlu istirahat. Apalagi besok pagi kamu ada bimbingan akhir dengan dosen," tukasnya mengingatkan. 

"Tahu dari mana?" 

"Hem, Chika. Dia, kan, sekarang menjalin hubungan dengan Dean. Dia mengatakan besok akan menunggui kekasihnya selama pertemuan," ucap Ayana takut-takut. 

Tadi sebelum ke perpustakaan ia memang bertemu dengan Chika untuk mencari tahu tentang minuman yang disabotase. Ayana memang tidak menceritakan perihal obat sialan itu pada Chika karena hal itu merupakan aibnya. Namun, Ayana tetap tidak menemukan titik terang ketika memancingnya, bahkan Chika benar-benar terlihat tidak tahu menahu.


Sesaat, Jovic terpana, rasanya ada embusan angin sepoi-sepoi dalam dadanya. Sejuk, nyaman dan menenangkan. Jovic merasa besar kepala atas perhatian kecil ini. Cepat-cepat mengalihkan tatapan dari paras ayu yang membuatnya betah berlama-lama memandangnya. 

"Oke, terima kasih sudah diingatkan." 

Ayana mengangguk kaku, lalu mengikuti Jovic berdiri bersiap untuk pamit. Saat berjalan menemani sampai di depan pintu, Ayana memanggil pelan, "Jovic ... terima kasih." 

Jovic memutar badan menghadap perempuan yang tampak sungkan di dekatnya. Sorot matanya berkilau oleh pantulan lampu sehingga Ayana bisa melihat dirinya di dalam sana. 

"Jangan kamu pikir semua yang kulakukan ini gratis. Tunggu waktunya aku meminta balasan," ucapnya tanpa senyuman sebelum menutup rapat pintu kamar.

.

.

.

Mulai Berang

Lima hari sudah Ayana menjaga sang bibi di rumah sakit. Entah berapa nominal rupiah yang dikeluarkan untuk administrasi rawat inap rumah sakit swasta ternama. Ayana tak mengetahuinya karena Jovic tak mau membahasnya. 

Dalam kurun waktu selama itu, Ayana tetap bertemu tatap dengan dosen untuk bimbingan terakhir. Minggu depan, jadwal sidangnya akan digelar. Cukup percaya diri karena pelan-pelan ia sudah mengerjakan di saat mahasiswa lainnya tengah mempersiapkan judul sehingga Ayana bisa lebih cepat menyelesaikan dengan tepat waktu. 

Selama Bibi Riva dirawat, tak sekalipun Edsel absen menjenguknya. Setiap pulang dari kampus ia menyempatkan datang untuk memantau perkembangan sang bibi. Edsel mengetahui yang terjadi dengan Bibi Riva saat berkunjung ke toko kelontong wanita paruh baya itu dari seorang penjaga toko di sebelahnya. Walau hubungannya dengan Ayana tidak sedekat dulu, tetapi saat Edsel berinteraksi dengan Bibi Riva, sikap Ayana terlihat normal karena tidak mau menimbulkan curiga. 

"Semoga Bibi cepat sembuh," ucap Edsel pada wanita yang terbaring semakin membaik keadaannya. 

"Bibi pasti cepat sembuh supaya melihat Ayana wisuda," jawab Bibi Riva penuh semangat menantikan momen tersebut. 

"Minggu depan saja aku baru sidang, Bi," pungkas Ayana menyahut. 

"Makanya bibi mau cepat-cepat sembuh, sudah tidak sabar melihatmu memakai toga wisuda," imbuhnya berseru. 

Edsel tersenyum bahagia melihat interaksi wanita yang dikasihinya. Begitu pandangannya bertemu manik bening Ayana, gadis itu memutuskan kontak lebih dulu hingga menciptakan rasa nyeri di dada. 

"Kalau begitu aku pamit. Bibi harus banyak istirahat. Pasti sudah rindu suasana rumah." Edsel mengelus punggung tangan kiri yang bebas dari jarum infus sebelum berlalu. 

"Terima kasih. Ayana, tolong antar Nak Edsel keluar." 

Mau tak mau Ayana mengekori Edsel sampai ke depan ruangan. Mulutnya kembali bungkam ketika hanya berdua saja. Perasaan tak nyaman jelas sangat mengganggu, Edsel merasa layaknya musuh yang harus dihindari. Tak ada lagi keakraban yang terjalin antara mereka. 

"Mulai besok kamu tidak usah ke sini lagi?" tutur Ayana tanpa menatapnya. 

"Kenapa? Apa kehadiranku terlalu mengganggu?" 

Kepala Ayana mengangguk sekali, menorehkan luka di dalamnya. "Selain itu, dokter juga bilang hari ini Bibi boleh pulang karena kondisinya sudah jauh lebih baik," imbuhnya serius. 

"Kalau begitu aku akan menunggu sampai dokter datang mengizinkan. Aku akan mengantar kalian ke rumah," saran Edsel menawarkan diri. 

"Tidak perlu," sahut Ayana cepat. 

"Kenapa?" balas Edsel pelan. 

"Semua urusan rumah sakit Jovic yang tangani. Jadi aku--" 

"Kenapa kamu jadi bergantung dengannya?" Kilau manik cokelat Edsel meredup. 

"Begitulah. Bukankah aku sudah mengatakan padamu kalau rawat inap Bibi di sini karena pertolongan dia?" 

Denyut sakit dalam dada Edsel mati-matian diredam. Sangat jelas Ayana sudah tidak mau lagi berhubungan dengannya. "Apa dia mengancammu?" tanyanya menyelidik. 

"Tidak." 

"Lalu kenapa tiba-tiba dia mudah mendekatimu? Pasti ada sesuatu yang--" 

"Cukup. Aku tidak mau lagi menjawab pertanyaanmu. Kamu pikir cuma kamu saja yang boleh dekat denganku?" ketus Ayana menohok. 

Edsel menggeleng. "Aku hanya merasa kalau dia tidak tulus." 

"Sejak kapan kamu bisa membaca pikiran orang lain? Apa kamu pikir yang terlihat berandalan akan selalu buruk perangainya? Nyatanya, aku sudah tidak percaya lagi penilaian klasik seperti itu. Aku sudah berkaca pada kejadian yang aku alami. Sahabat yang aku anggap paling baik, tidak ubahnya laki-laki pengecut yang memanfaatkan kelemahanku," geram Ayana dengan suara bergetar menahan tangis. 

Melihat kepedihan Ayana, lidah Edsel mendadak kelu. Mau bagaimanapun mencari pembenaran, tindakannya tidak bisa ditolerir. Edsel tetaplah perusak masa depan Ayana. "Maaf." 

Jemari Ayana menyusut kasar air di ujung matanya. "Aku harap ini terakhir kali kita bicara. Bibi Riva sudah sembuh, jadi kamu tidak punya urusan lagi," tukasnya, lalu beranjak. 

Edsel menahan lengan Ayana saat ingin kembali ke dalam kamar. "Menikahlah denganku. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatan yang kulakukan. Aku mencintaimu, Ayana. Sangat. Aku tahu kamu masih tidak percaya dengan pengakuanku," akunya sungguh-sungguh. Ia cukup frustrasi bagaimana lagi meyakinkan gadis yang dicintainya. 

Ayana menatap nanar raut wajah memelas laki-laki blasteran itu. Sudut hatinya sempat tercubit pada kata tiap kata yang terdengar, tetapi rasa sakitnya jauh lebih perih menikam jantungnya. Ayana tak mau memedulikan, bahkan kepalan tangannya bersiap menekan gagang pintu. 

"Bagaimana kalau kamu hamil, Ayana?" Edsel makin was-was menatap tubuh mungil yang mematung. 

"Sekalipun perbuatan yang kamu lakukan menciptakan kehidupan baru, aku tidak akan sudi menjadikan pengecut sepertimu sebagai ayahnya," tandas Ayana penuh penekanan, lantas masuk ke dalam kamar, membiarkan Edsel kian terpuruk dalam rasa bersalahnya. 

Kaki Edsel terasa berat ketika dipaksa meninggalkan kamar rawat VVIP. Kepalanya menunduk mengamati tiap langkah pada lantai ubin. Fokus matanya teralihkan ketika sepasang sepatu sporty yang dikenalnya mendekat. Perlahan kepalanya terangkat demi memastikan sang pemiliknya. "Jovic." 

"Sedang apa kamu di sini? Masih tidak punya malu juga kalau Ayana sudah tidak mau bertemu lagi denganmu," cemooh Jovic dengan tatapan jengah. Tubuh jangkungnya menyingkir dari hadapan laki-laki yang terlihat masih tenang. Jovic menyandarkan punggungnya ke tembok dingin dengan satu kaki menyilang. "Harusnya kamu introspeksi diri kenapa Ayana muak melihat wajahmu lagi. Karena tidak selamanya, paras innocent-mu bisa memperdaya setiap kaum hawa," lanjutnya meremehkan. 

Emosi dalam diri Edsel masih belum stabil. Mulai berang pada sikap Jovic yang memperkeruh suasana hatinya yang kacau balau. Refleks lengannya menekan dada Jovic, membuat laki-laki tengil itu terkesiap karena tidak siap menerima serangan. Bagaimanapun Edsel mempunyai tampungan amarah yang bisa saja meledak tanpa pertimbangan. Namun, raut kegetnya hanya sesaat, karena detik berikutnya Jovic menyunggingkan senyum penuh kemenangan. 

"Apa kamu mau merusak citra baikmu di rumah sakit ini?" 

Tatapan manik cokelatnya terlihat menyala-nyala. Edsel tampak enggan melepaskan Jovic yang sedikit pun tak gentar menghadapinya. "Jadi begini cara balas dendammu?" 

"Sejujurnya ini bukanlah apa-apa kalau kamu menganggap sebuah misi balas dendam," sungut Jovic acuh. 

Suasana lorong yang sepi seakan memberi ruang waktu untuk keduanya beradu argumen. 

"Omong kosong," decak Edsel. 

"Jangan berlagak menjadi korban. Orang lain mungkin terpedaya dengan penampilanmu yang luar biasa mempesona, tapi mereka tidak tahu bahwa laki-laki yang dikagumi seorang pembunuh berdarah dingin. Sayangnya, untuk kali ini, targetmu tidak tepat sasaran. Ayana justru muak dan menyesal mengenalmu," cemooh Jovic diselingi tawa remeh. 

"Sekalian saja bunuh aku agar kamu puas." 

"Kematian terlalu enak buatmu. Kamu harus jauh lebih merasakan rasa sakitnya dari--" 

"Sialan!" Tangan Edsel mengudara hendak menerjang wajah yang menyulut emosinya. 

"Edsel, stop!" Suara Ayana menghentikan gerakan tangan Edsel yang nyaris mengenai rahang pipi Jovic dalam jarak beberapa centi. 

"A-Yana, kamu--" Edsel didera rasa gugup. Merutuki kondisinya yang dapat menambah lagi kebencian Ayana pada dirinya. Edsel menjauhkan diri, nyalinya menciut seketika saat langkah Ayana semakin mendekat. 

"Kenapa belum juga pergi?" tanya Ayana sinis. 

Jovic segera menyingkir dan memilih posisi berdiri tepat di samping gadis yang menjadi perdebatan keduanya. "Sudahlah, Ay, biarkan dia pergi," ucapnya sembari menyentuh satu pundak Ayana yang menegang. 

Wajah bule Edsel telihat tidak suka melihat sikap Jovic yang sengaja menyulut rasa cemburunya. Memejamkan mata sesaat, lalu mengembuskan napas pelan menatap Jovic yang makin jumawa. "Tolong kamu antarkan Ayana dan Bibi Riva kembali ke rumah dengan selamat," ucapnya serak, kemudian beranjak pergi. 

"Kenapa malah memancing keributan? Ini rumah sakit, Jo? Untung saja sedang tidak ada orang yang berlalu lalang," decak Ayana menatap sekilas Jovic dan melangkah duluan. 

"Sahabatmu yang memulai duluan," sahut Jovic sinis. 

Saat tiba di depan pintu, Ayana menoleh ke belakang menatap dalam manik legam itu. "Aku mohon, jangan lagi membahas apa pun tentangnya." 

Kedua pundak Jovic mengendik, "Baiklah." Tangannya menumpuk punggung tangan Ayana pada handle pintu, lalu membukanya dan berjalan mendahului. Di dalam sana, Bibi Riva sudah duduk bersandar di atas brankar. "Hai, Bi. Kita akan bersiap-siap pulang." 

"Serius, Nak Jo?" 

"Iya, Bi. Sebelum ke sini aku bertemu dengan dokter. Dan sebentar lagi beliau akan melakukan visit terakhir." 

"Terima kasih banyak. Ayana beruntung memiliki teman sebaik kamu, Nak Jovic." 

Laki-laki berpenampilan idol masa kini hanya mengangguk diiringi senyum menawan.

.

.

.

Menagih Balasan

Ayana keluar dari ruangan dengan perasaan lega. Bibirnya merekah kian manis membentuk lengkungan pelangi indah. Seorang wanita berambut pendek segera menghampirinya. 

"Rasanya lega sekali, Chika," ucap Ayana dengan rasa haru. Tapak tangan yang berkeringat berangsur normal dan hangat diterpa udara. 

"Aku yakin kamu pasti bisa melewatinya dengan mudah. Secara, kamu menggarapnya dengan serius. Aku saja yang memiliki otak pas-pasan bisa melakukannya, apalagi kamu yang memang cerdas," puji Chika apa adanya. Jadwal sidang Chika memang lebih dulu sehari, dan kemarin Ayana juga memberi dukungan dengan ikut serta menemaninya. 

Tangan Ayana mencubit kedua pipi gembil Chika dengan gemas. "Kamu juga pintar, kalau tidak, kamu tidak akan bertemu dan menjadi temanku di kampus ini." 

"Itu karena faktor keberuntungan ekonomi keluargaku yang cukup baik, makanya mampu melanjutkan sekolah di sini. Berbeda denganmu yang menjadi mahasiswa beasiswa," timpal Chika. 

"Tapi aku tidak sepintar mahasiswa yang menerima beasiswa penuh," sangkal Ayana tertawa. 

"Tetap saja kamu jauh lebih pintar dariku," tutur Chika menjawil ujung hidung Ayana. 

Saat keduanya masih saling melempar pujian, terdengar suara deheman dari suara berat. Walau laki-laki itu berada di belakang tubuhnya, Ayana sangat mengenali pemilik suara. 

"Ayana, selamat sudah berhasil melewati sidang hari ini," ucap Edsel tulus. Tangannya terulur menunggu sambutan. 

Suasana hati Ayana jelas berubah ketika kembali bertemu tatap. Kenapa laki-laki cerdas ini mendadak bebal tidak memenuhi ultimatumnya. Sementara Chika tampak menggaruk kepala melihat ketegangan antara dua orang dikenalnya. Namun, pada akhirnya Ayana membalas jabat tangan mantan sahabat terbaiknya. 

"Ya, terima kasih. Semoga lusa sidangmu bisa berjalan lancar tanpa ada hambatan." 

Edsel tersenyum lega, Ayana mau berbicara dengannya. "Thank’s." 

Sejujurnya banyak sekali yang ingin Edsel utarakan, tetapi tertahan di pangkal lidahnya. Ayana mau meluangkan sedikit waktu saja sudah membuat suasana hatinya menghangat. "Hem, boleh aku antar kamu pulang? Aku rasa Bibi Riva perlu mengetahuinya." 

"Tidak usah." 

Bibir Edsel merapat, menatap lekat bola mata pekat Ayana yang bersinar. 

"Aku pulang bersama Chika, ingin bersukacita merayakan hari ini," dusta Ayana memasang wajah datar. 

Merasa namanya diseret, Chika menoleh dengan tatapan bingung. Namun, Ayana segera merangkulnya, seperti sebuah isyarat agar gadis ceria itu membantunya. 

"Ah, ya, benar, Ed. Hari ini kami akan menghabiskan waktu ke mall. Sudah lama sekali tidak quality time bersama temanku ini," seru Chika seraya merangkul pundak sahabatnya. 

Manik cokelat Edsel meredup kecewa. Tidak mungkin juga harus memaksakan kehendak. "Baiklah. Selamat bersenang-senang, Ladies." 

"Ayana pasti sangat senang bersamaku," sahut Chika mantap ketika Edsel hendak berpamitan. 

Ayana langsung melepas rangkulannya pada lengan Chika ketika Edsel sudah tidak terlihat lagi. "Terima kasih sudah mau bekerja sama." 

"Sebenarnya aku cukup penasaran dengan sesuatu yang terjadi pada kalian yang dulunya sangat dekat. Tiba-tiba kamu menganggap Edsel bagai virus yang enggan kamu dekati, padahal terakhir kali aku melihatmu di pesta Jeno, hubungan kalian masih baik-baik saja," tanya Chika penasaran. 

"Aku hanya sedang jenuh. Dan sepertinya aku mulai membenarkan pernyataanmu dulu." Ayana menjeda sebentar, "bahwa tidak akan ada persahabatan murni antara lawan jenis." 

"Woah, akhirnya kamu sadar juga." Chika menyentuh dua pundak Ayana dengan tatapan serius. Sudah lama sekali pernyataan itu dia katakan. "Apa Edsel sudah mengungkapkan perasaannya?" lanjutnya semakin ingin tahu. 

Sepertinya Ayana sengaja membuat Chika dilanda rasa tak sabar mendengar jawaban yang tak kunjung tiba, malah terdiam. "Aku tidak mau menjawabnya." 

"Ayolah, Ayana. Katakan saja, ya atau tidak?" cecar Chika mulai mengekori Ayana yang sudah lebih dulu berjalan, sampai di depan koridor ada seorang laki-laki hitam manis tersenyum ke arahnya. "Lihat, kekasihmu sudah datang menjemput," elaknya sambil menunjuk Dean yang berdiri dengan dua tangan masuk ke dalam kantong celana. 

"Bukankah tadi kamu bilang ingin pergi bersamaku?" 

"Maaf, Chika, itu hanya alasan saja." 

"Supaya kamu terhindar dari ajakan Edsel?" Sepasang manik mata yang terlapisi softlens biru gelap menatap Ayana serius. 

"Kamu terlalu banyak tanya. Sudah sana temui kekasihmu," pungkas Ayana mendorong bahu Chika. 

"Huh, dasar mahasiswi idola. Berhasil menaklukkan dua laki-laki sekaligus. Mister Bule dan Oppa Idol dalam waktu bersamaan," goda Chika mengerlingkan mata. 

Ayana hanya menggelengkan kepala agar tidak menjadi lebar topik bahasannya. 

Chika mengembuskan napas rendah. "Sudah tidak mau menjawab pertanyaanku, kamu juga tidak mau ikut bersamaku." 

"Aku tidak mau mengganggu dua sejoli yang sedang dimabuk cinta," ledek Ayana. 

"Uh, perhatian sekali," cibir Chika. "Baiklah, kalau begitu aku duluan," pamitnya memeluk erat tubuh Ayana sebelum beranjak. 

Ayana membalas lambaian tangan Chika sebelum berpisah. Melangkahkan kaki ke arah halte bus di persimpangan yang jaraknya beberapa meter dari gerbang kampus. Ayana mendongak menatap langit gelap. 

Langkahnya kian cepat saat rintik-rintik hujan menerpa kulitnya dan dalam detik yang cepat tiba-tiba saja semakin banyak dan deras. Memeluk tas ranselnya dari terpaan siraman air langit. Tubuhnya basah kuyup saat tiba di halte. Ada dua orang yang sedang ikut menunggu angkutan umum. 

Beberapa menit berlalu bus kota yang ditunggu tak kunjung datang. Sampai kemudian kendaraan roda empat hitam berhenti di depan halte membuat kening Ayana berkerut. Baru menyadari ketika kaca jendela terbuka. 

"Cepat masuk!" 

Ayana hanya mematung dengan tatapan lurus. 

"Aku minta kamu masuk, Ayana. Cepat!" teriak Jovic karena curah hujan masih lebat. 

Ayana masih saja berdiam diri. Mengabaikan laki-laki itu. Tak sabar menunggu, Jovic keluar dari kendaraannya menerobos hujan demi menghampiri perempuan yang memeluk tas. "Ikut aku!" titahnya mencekal lengan kurus Ayana. 

"Sebentar lagi busnya datang, Jo." 

"Aku tidak suka dibantah, Ay! Jangan memaksaku bertindak agresif di sini," bisik Jovic penuh ancaman dan sukses membuat gadis itu menurutinya. 

Keduanya memasuki roda empat dengan pakaian basah. Jovic mengambil sebuah hoodie tebal di jok belakang, lalu memberikan pada Ayana. "Pakai ini sementara supaya kamu tidak kedinginan." 

Tak mau memperkeruh suasana, Ayana mengikuti perintah Jovic dengan mendobel hoodie hitam tebal di badannya yang kedinginan. Laju kendaraan yang ditumpangi terus bergerak memasuki kawasan area perumahan elit dan memasuki halaman luas berlindung dalam pagar tinggi, tentunya sebuah bangunan mewah menjadi pusat perhatian Ayana yang tampak kebingungan setelah Jovic memarkirkan mobilnya. 

"Rumahku banyak penunggu makhluk halus dan sangat menyukai tamu yang sering melamun seperti kamu," ledek Jovic dengan wajah serius seraya membuka seatbelt

"Kenapa ke sini?" tanya Ayana makin linglung. 

Decakan menyebalkan terdengar dari mulut Jovic yang telah mencondongkan wajah tepat di hadapannya. "Aku rasa daya ingat kamu masih sangat kuat." 

"Apa?" balas Ayana memandang takut ketika ukiran senyum evil bergelayut di ujung bibir tipis sang lelaki. 

Jovic terdiam, fokus matanya tertuju pada bibir pucat Ayana yang terlihat menggiurkan. Deru napas panasnya menerpa kulit wajah Ayana yang memanas karena terlalu dekat berjarak. "Saatnya kamu membalas kebaikanku," bisiknya serak, lalu membungkam bibir manis itu dalam ciuman liar. 

.
 

.

.

Salah Menduga

Jovic baru melepaskan bibir Ayana ketika dirasa napas gadis itu mulai memburu. Perlawanannya juga tidak seimbang karena saat Ayana diam saja. Walau demikian, perlakuan Jovic justru semakin menjadi. Mengecap buas isi mulut Ayana yang terasa manis dan segar sampai perempuan itu kewalahan menerima gerakan impulsif Jovic yang menekan bibirnya kuat-kuat. 

Ringisan pelan terdengar bersamaan dengan kebebasan bibir Ayana yang membengkak. Wajahnya menunduk guna menghindari tatapan yang mungkin saja akan berkilat marah kerena Ayana menggigit bibir lihai Jovic. Jika tidak begitu, dipastikan laki-laki itu akan terus menghujaninya dengan cumbuan yang lebih seduktif lagi, bahkan terparahnya bisa saja akan melucuti pakaiannya di dalam mobil. 

"Maaf, Jo, aku tidak bermaksud melawanmu, tapi--" 

Aliran darah dalam tubuh Ayana berdesir ketika kecupan lembut menutup bibirnya yang sedang bicara. Dan Jovic juga menekan kunci sabuk pengaman di tubuh mungil Ayana hingga terbebas. 

"Turunlah," titahnya seraya membuka pintu. Bagai terkena sihir, Ayana tak lagi membantah keluar dari mobil dan disusul dengan Jovic. 

Masih tetap bungkam, Ayana mengikuti langkah kaki lelaki yang membawanya. Matanya sempat menatap takjub saat pertama kali memasuki bangunan megah nan mewah. 

Ayana merasa tengah memasuki hunian raksasa karena jarak lantai ke atap sangat tinggi. Namun, ketika Jovic memergoki rasa kagumnya, Ayana menunduk dan kembali fokus pada langkah kakinya yang mulai menaiki anak tangga. Sampai tiba di sebuah pintu putih tinggi, Jovic mempersilakan Ayana masuk ke dalam. 

"Masuklah. Di dalam sana kamu bisa membersihkan tubuhmu dan berganti pakaian." 

Kepala Ayana terangkat dan bertautan pandangan. Keraguan terpatri jelas dari raut wajahnya. 

"Jangan banyak berpikir. Turuti saja perintahku karena itu termasuk bagian dari balasan yang kutagih," tekan Jovic. 

"Ya," sahut Ayana pasrah, lantas memasuki kamar mewah yang lagi-lagi membuat Ayana takjub untuk ke sekian kali. 

"Ini handuknya, dan di sana kamar mandinya," ucap Jovic memberikan sebuah handuk lembut berwarna putih sambil menunjuk pintu bathroom di samping walk in closet. "Cepat benahi dirimu sebelum hipotermia menyerang," lanjutnya sebelum keluar menutup pintu. 

Dalam kamar yang terasa hangat udaranya, tak ada yang gadis itu lakukan selain duduk termenung di depan cermin hias. Hoodie yang tadi dikenakan sudah dibuka hingga menampilkan setelan kemeja dan celana jeans. Bukannya membuka pakaian basah yang melekat di tubuhnya, Ayana malah menyisiri rambutnya yang lepek dan cenderung kusut. 

Sudah lima belas menit pergerakan Ayana masih stuck di depan meja rias. Sejak tadi pikirannya penuh dengan praduga dan pertimbangan.

Tubuhnya yang menggigil dalam balutan pakaian basah mulai mengganggu kenyamanan. Ayana membukanya. Kini, hanya tersisa pakaian dalam saja yang sudah lembap karena ikut menyerap air hujan. 

Ayana beranjak, mematut tubuhnya di depan cermin yang lebih besar dekat lemari. Di sana ia mematut tubuh mungilnya yang tampak sensual. Tak terasa, satu liquid bening lolos dari ujung matanya dan langsung diusapnya. 

Apalagi balasan yang Jovic minta dariku selain tubuh ini? 

Bibir Ayana mengukir senyum getir. Sepertinya kali ini ia memang harus merelakan menjatuhkan harga dirinya di depan laki-laki yang beberapa minggu lalu menjadi penolong Bibi Riva. Lagi pula, Ayana pikir tidak ada lagi yang patut dipertahankan dari tubuhnya sekarang. Bahkan kesuciannya sudah terenggut percuma oleh sahabat karibnya. 

"Kenapa masih mengenakan pakaian basah?" 

Punggung Ayana berjingkat mendengar suara berat di belakangnya. Dari pantulan kaca terlihat laki-laki muda dengan wajah segar dan rambut acak-acakan yang masih lembap sehabis keramas. Jovic berjalan mendekat sambil menenteng paper bag dari brand butik ternama. 

"Ayana, kamu sengaja menggodaku?" bisiknya parau. 

Kedua tangannya menyilang bagian dada. Kepala Ayana menunduk dalam dengan mata rapat memejam. "Jovic, aku tahu tujuanmu membawaku ke sini." 

Tanpa Ayana sadari kedua mata tajam Jovic melebar seketika, tapi ia cepat-cepat menormalkan seiring detakan jantungnya yang mulai kacau. 

"Kamu sangat tahu bahwa aku tidak akan mampu mengganti semua biaya perawatan di rumah sakit yang sudah kamu keluarkan. Jadi, aku sudah paham dengan cara apa harus melunasinya." Ayana membalik tubuhnya hingga saling berhadapan. Dalam jarak sedekat itu, Ayana bisa melihat jelas kabut gelap yang mulai menyelimuti iris mata pekat yang selalu membidik tajam telah berubah sayu. Ayana melepas tangan yang menutupi bagian dadanya dan membiarkan Jovic menikmati pemandangan indah tubuhnya. "Kamu boleh melakukan apa pun dengan sesuka hatimu ... pada tubuhku," ucapnya lirih dan sedikit gemetar. 

Pancaran mata Jovic tampak nanar. Pupil matanya mengecil dengan fokus pada tubuh molek yang menyuguhkan terpaksa untuknya. Jovic tidak menampik jika saat ini nafsunya telah meroket dan siap menerjang gadis di depannya. Namun, ia tak mau melakukannya. 

Tidak, bukan Jovic munafik. Bisa saja saat ini juga ia menguasai Ayana sesuka hati. Namun, melihat sorot mata teduh Ayana yang pasrah pada keadaan membuatnya kuat menahan segala hasrat untuk gadis itu. Jovic memang sangat ingin menyesap seluruh sari pati tubuh Ayana dengan rakus, tetapi untuk hal intim, ia ingin Ayana menyerahkan dirinya dengan sukarela--atas dasar mau sama mau--tanpa paksaan. 

"Sepertinya otakmu mulai rusak. Aku memintamu membersihkan diri dan berganti pakaian. Hanya karena aku terlambat membawakanmu pakaian ganti, pikiranmu sudah ngawur dan cenderung konyol," kelakar Jovic dengan suara yang masih terdengar parau. Detik berikutnya ia merubah ekpresi wajahnya menjadi serius. "Kalau aku menginginkanmu dengan cara memaksa, aku pasti sudah melakukannya sejak lama. Nyatanya, aku lebih memilih bersabar menunggumu menyerahkan diri sukarela." 

Ayana menatap heran atas sikap Jovic yang menurutnya bertolak belakang dengan keinginan lelaki itu. Sampai kemudian Ayana mengaduh pelan saat keningnya dijentik. 

"Apa mau disentil lebih kencang supaya kesadaranmu kembali?" Satu alis Jovic menukik. 

Menyadari hal itu, rasa malu Ayana tiba-tiba mendera. Ia berlari cepat ke arah tempat tidur dan bersembunyi di dalam selimut untuk menenggelamkan diri. Ternyata Ayana salah menduga. Ia tetap tidak mau membuka meski tawa lepas Jovic mengalun di ruangan. 

"Ayana, aku beri kamu waktu sepuluh menit untuk berganti baju. Setelah itu susul aku ke bawah. Kita akan makan malam bersama," pungkasnya tegas sebelum berlalu. 

Mendengar suara pintu tertutup, Ayana membuka selimut. Di tepi tempat tidur ada sebuah paper bag yang sengaja Jovic tinggalkan. Di dalamnya berisi setelan pakaian dalam dan sebuah gaun cantik berwarna putih dengan hiasan bordir bunga yang berwarna-warni kalem. 

Ayana ingat, gaun ini adalah yang dia kagumi ketika menemani Jovic ke mal tempo hari. Setelah menonton dan makan, Jovic mengajaknya ke sebuah butik. Meskipun laki-laki itu menyuruhnya untuk membeli, Ayana menolak dan keluar dengan tangan kosong. Tanpa diduga, Jovic ternyata malah membelikan gaun yang memang sempat mencuri perhatiannya saat menungguinya di luar kamar pas. 

Suara dari dalam tas ransel Ayana membuyarkan lamunan. Mengambil cepat ponselnya untuk membaca sebuah pesan singkat yang masuk dari aplikasi hijau. 

[ Aku tidak suka menunggu lama! ] 

Kontak dari Jovic sukses membuat bola mata Ayana melotot seketika, lantas bergegas membawa paper bag dan memasuki bathroom untuk berganti pakaian. 

 .

.

.

Rindu Sahabat

Suasana makan malam sangat hening. Sesekali terdengar denting alat makan dari pergerakan tangan Ayana. Tak berani mengangkat wajahnya karena rasa malunya masih mengerat kuat. Ayana terus saja merutuki pikiran kacaunya. Bagaimana bisa ia begitu percaya diri mengartikan keinginan laki-laki dingin yang kini terlihat sibuk mengunyah makanan di suapan terakhir. 

"Apa makanannya tidak enak?" 

Ayana menyendok tanpa minat hanya mengaduk-aduk makanan di atas piringnya. Wajahnya menunduk dengan kecamuk bermacam-macam. 

"Aku tidak tahu menu kesukaanmu, mungkin masakan yang disediakan pelayanku tidak masuk seleramu," ucap Jovic sudah berpindah tempat di kursi samping Ayana yang terkejut hingga menjatuhkan sendok makan ke lantai. 

"Ke-kenapa kamu bisa ada di samping?" Ayana menatap bingung pada kursi di seberangnya yang telah kosong. 

"Mau aku suapi?" tawar Jovic mengalihkan bahasan. 

"Ti-tidak perlu, Jo," tolak Ayana, tetapi sendok berisi makanan telah berada di depan mulutnya. Mau tak mau Ayana membuka celah bibirnya lebih lebar agar suapan itu masuk. 

"Mungkin lain waktu aku akan menyuruh pelayanku mencacah dagingnya lebih halus supaya kamu lebih mudah memakannya," cetus Jovic seraya menyendok sisa terakhir di piring Ayana, lalu menyuapi lagi. 

Perkataan Jovic diserap dan diartikan Ayana sebagai bentuk rencana jika suatu saat ia akan diajak kembali berkunjung ke sini. 

Satu gelas air mineral tandas untuk mendorong dan melegakan tenggorokannya. Perut yang telah terisi makanan terasa penuh hingga Ayana menutup mulutnya dengan tangan supaya sendawa kecil bisa dikeluarkan tanpa ketahuan. Namun, gerakan Ayana sedari tadi tak lepas dari intaian mata tajam hingga laki-laki itu mengulum senyum dengan ide jahil melihat tingkahnya. 

"Kamu mau apa?" Ayana mulai waspada ketika tubuh Jovic condong ke depan. Wajah tampannya membuatnya  gugup karena begitu dekat hingga deru napas hangat lelaki itu menyapu kulit pipinya yang merona. 

Jovic hanya menatap sekilas, tapi tidak menjawab maksud dan tujuannya merangsek tubuh mungil yang tidak bisa bergerak ketika dua tangan kokohny memerangkap. 

"Jovic," lirihnya seraya memejamkan mata. 

"Ayana," bisik Jovic serak. Sepasang matanya mulai redup penuh kabut gairah yang menyelimuti. "Sengaja menyisakan makan di sudut bibirmu, hem?" selorohnya menahan tawa. 

Kesadaran Ayana cepat menghampiri. Kelopak matanya terbuka dan langsung menarik lembaran tisu yang tersedia. Melap sudut bibirnya dan terbukti tidak ada noda yang membekas. "Kamu berbohong?" 

Tawa lepas Jovic membuat Ayana mendengus kesal karena telah masuk jebakan. 

"Jangan menggodaku terus, Jo!" 

"Sepertinya kamu yang minta digoda, Ay." 

Bibir Ayana mengerut. "Aku mau pulang!" 

"Yakin mau pulang?" Satu alis bekas piercing Jovic terangkat. 

"Iya. Nanti bibiku cemas kalau aku terlalu malam pulang," tukas Ayana. 

"Uh, sayang sekali, padahal aku menantikan balasan yang ada dalam pikiranmu," celoteh Jovic dengan kerlingan menggoda. 

Refleks Ayana memukul-mukul pundak Jovic dan lelaki itu pura-pura mengaduh kesakitan. 

"Sudah puas menggodaku?" 

"Belum, tapi bisa dilanjutkan lain waktu." 

Ayana membulatkan mata, lantas berdiri. Namun, kedua tangan Jovic menahan pundaknya. Lelaki itu telah menjulang tinggi di depannya dengan tatapan lekat yang menelusuri tubuhnya. "Cocok. Manis juga dipakai kamu." 

Ayana langsung paham ke mana arah pembicaraannya. "Gaunnya memang cantik." 

"Belum tentu juga kalau dipakai perempuan lain. Aku rasa tidak akan semenarik kamu yang memakai." Jovic memuji tulus. "Harusnya ini menjadi milikmu sejak kita pulang dari mall tempo hari, tapi musibah malah datang tiba-tiba sehingga gaun itu mengendap lama di rumahku," akunya sambil menyentuh anak rambut yang bertebaran di wajah Ayana, lalu menyelipkan ke belakang telinga. 

"Terima kasih," balas Ayana tak bisa berkata-kata lagi. Kedekatan ini semakin tidak baik untuk kesehatan jantungnya. 

"Jangan bosan, Ay, kalau suatu saat aku mengajakmu lagi menemaniku," pinta Jovic dengan tatapan yang sarat permohonan. 

Kedua tangan kekar yang menangkup pipinya membuat Ayana bingung harus menjawab apa. Sepasang manik elang itu menatap begitu dalam seperti menghipnotis pikirannya dan akhirnya menganggukkan kepala. 

*** 

Sebuah roda dua berhenti di depan area toko. Kegiatan Ayana terhenti sejenak ketika mengetahui seseorang yang baru saja melepas helm. Ayana melanjutkan lagi merangkai bunga-bunga di depan wadah sesuai jenis nama dan jenisnya. 

"Sayang, kamu sudah lama?" Suara lembut perlahan terdengar jelas dari arah dalam menuju keluar. 

"Baru saja. Mama bisa tanyakan Ayana untuk memastikannya," sahut Edsel tiba-tiba, membuat Ayana menoleh pada ibu dan anak pemilik toko bunga dengan menganggukkan kepala. 

Sania tersenyum, lalu menarik lengan Ayana agar ikut bergabung. "Saya mau keluar. Hari ini Edsel yang akan mengawasi dan menggantikan tugas Zea sementara." 

Nama pegawai yang disebutkan barusan adalah seorang wanita yang dipercayakan sebagai leader. Bisa disebut sebagai kaki tangan Sania yang meng-handle semua kegiatan jual beli. 

"Ponsel Mama harus standby. Aku khawatir ada tugas Zea yang tidak kumengerti." 

"Sedikit banyaknya Ayana sudah cukup mengerti." Sania menoleh pada gadis yang termenung. "Ayana, saya minta tolong kamu, nanti bimbing Edsel kalau ada yang tidak dipahami. Terutama jenis dan nama bunga-bunga di sini, anak ini masih sangat awam. Dia hanya hafal dengan bentuk bunga mawar merah saja," terangnya diselingi tawa renyah. 

Ayana menoleh sesaat ke arah Edsel yang tersenyum, lantas kembali menatap Sania dengan hormat. Tidak mungkin ia menolak perintah dari pemilik tempatnya bekerja. "Baik, Bu." 

"Kalau begitu kamu sudah bisa Mama tinggal, kan, Ed?" 

Edsel menjawab dengan menunjukkan jari jempol. Wanita paruh baya berdarah asli Jerman itu menaiki mobil yang sudah menjemputnya. Melambai pada dua anak muda yang menatap kendaraannya menghilang di belokan. 

Ayana kembali melanjutkan tugasnya. Ia menyadari jika sosok lelaki di belakang tubuhnya belum beranjak. "Memang kamu tidak terganggu di sini, padahal besok adalah jadwal sidangmu?" tanyanya tanpa menoleh. 

"Berhubung persiapan sidang sudah aku kuasai, aku ingin mengikuti pernyataanmu dengan merelaksasikan pikiran di sini. Menghirup wewangian berbagai jenis bunga ternyata sangat positif manfaatnya," jawab Edsel semringah. 

Ayana tak lagi berniat bertanya, tetapi ia bisa merasakan gelagat Edsel yang masih saja memperhatikan gerak-geriknya yang sedang merangkai bunga berwarna merah muda. 

"Mama salah mengira aku hanya mengenal satu jenis bunga," celetuk Edsel memecah keheningan. 

Ayana tetap acuh dan terus mengerjakan tugasnya. 

"Perlu kamu ketahui, bahwa bunga yang ada di tanganmu sangatlah populer dan dihormati di wilayah China bagian Barat Daya. Bunga ini merupakan bunga nasional Dai Li. Bahkan di Jepang mendapatkan julukan Japanese Rose," jelas Edsel seraya mendekat, kemudian menyentuh kelopaknya. "Bunga Camelia yang cantik." 

Sesaat, Ayana terperangah. Tatapannya fokus ke dalam manik cokelat terang yang hangat milik Edsel. 

"Bunga ini juga memiliki makna yang sangat dalam yaitu melambangkan penyatuan antara laki-laki dan perempuan. Banyak yang percaya, petal bunganya yang halus dan berlapis-lapis melambangkan seorang wanita. Kelopak hijau yang menopang mahkota melambangkan dari seorang laki-laki yang melindungi kekasihnya. Mahkota dan kelopak tersebut akan tetap bersama-sama bahkan setelah mati dan layu." 

Kali ini mulut Ayana terbuka dengan rasa takjub. Ekspresinya membuat lelaki di depannya di dera kerinduan yang mendalam. Imut dan polos adalah dua karakter yang melekat di diri Ayana dari sudut pandang Edsel. Perlahan, laki-laki itu mendekat, mengikis jarak keduanya. 

"Ayana Batari Camelia." Edsel berkata dengan sorot mata yang entah--sulit diterka. Namun, gadis yang disebut namanya secara lengkap malah membalas tatapan. "Jenis dan warna bunga di tanganmu sangat cocok mewakili perasaanku beberapa minggu ini." Edsel merunduk, mendekatkan wajahnya ke hadapan wajah manis innocent

"Apa artinya, Ed?" bisik Ayana pelan dengan bola mata bergerak-gerak memindai garis wajah tegas Edsel. 

"Bunga camelia berwarna merah muda, melambangkan tentang kerinduan seseorang kepada orang lain." Edsel merangkum dua pipi lembut Ayana hingga terkesiap oleh sengatan listrik dari telapak tangannya yang lebar. Gadis itu ingin melepas, tetapi sang lelaki tak berniat melepasnya dan semakin mendekatkan wajah mereka. "Ayana, aku sangat merindukanmu. Aku mohon, kembalilah menjadi sahabatku."

.

.

.

Pertanyaan Sensitif

Menyadari penolakan yang masih saja Ayana lakukan, Edsel meregangkan tangkupan tangannya hingga ia berhasil mengempaskan tangan lelaki itu. Bola matanya memerah, nanar dan penuh kekecewaan. "Sampai detik ini, aku masih menganggapmu temanku." 

"Lalu kenapa kamu selalu menghindar?" 

"Kamu sangat tahu apa alasannya. Perlu aku tegaskan sekali lagi, selain urusan pekerjaan, hubungan kita sekarang tidak lebih dari sekadar teman satu angkatan di fakultas!" tandas Ayana tegas, lalu beranjak ke dalam toko tanpa memedulikan laki-laki yang masih mematung di luar. 

Saat Edsel hendak menyusul, salah satu pegawai memanggilnya. Tumpukan karung bibit tanaman yang dipindahkan butuh pengawasan langsung darinya mengingat Sania memercayakan pada sang putra. Edsel melangkahkan kakinya ke arah belakang. Di mana terdapat gudang kecil untuk menyimpan barang-barang operasional. 

Sampai lewat dari tengah hari, Edsel menyibukkan diri. Bahkan mengabaikan jam istirahat. Ketika salah satu pegawai mengajaknya makan siang bersama, ia menolak dengan dalih ingin menyelesaikan laporan lebih cepat. 

Ketika arah jam tepat di angka 3, langit mulai berubah warna jingga. Edsel melesat cepat membenahi pekerjaannya. Sengaja menutup toko lebih cepat karena Sania tidak ingin tenaga dan pikiran Edsel terkuras mengingat besok putranya akan menghadapi penilaian tahap akhir di kampus. 

Setelah menyibukkan diri karena Ayana tidak mau diganggu selama jam bekerja, kini tiba saatnya gadis itu bebas. Edsel berlari kecil menghampiri sebuah ruangan yang pintunya sedikit bercelah. 

"Besok jadi cuti?" 

"Tentu saja. Kesempatan emas ini sangat jarang kutemui." 

"Tapi Ibu Sania sudah tahu, kan?" 

"Masalah cuti atau resign?" 

Detak jantung Edsel berulah ketika mendengar pernyataan yang membuatnya harap-harap cemas. 

"Keduanya." 

"Lira, tadi pagi sebelum beliau keluar aku sudah izin untuk tidak masuk besok, dan beliau menyetujuinya. Kalau untuk masalah resign, aku belum mengatakannya karena memang belum ada perusahaan yang mau merekrut sarjana muda tanpa pengalaman sepertiku." Ayana menutup mulutnya yang terkekeh, "Ops, ralat, calon sarjana yang belum pasti nilai kelulusannya." 

Suara gadis bernama Lira terdengar lirih, "Padahal aku selalu berharap kamu akan bekerja di sini selamanya. Apalagi Ibu Sania menjanjikanmu kenaikan jabatan menggantikan Zea yang sebentar lagi resign karena ikut suaminya pindah tugas," ucapnya penuh harap. 

"Aku hanya ingin merasakan suasana dan lingkup pekerjaan yang baru." 

"Tapi aku sudah bergantung padamu, Ay. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sosok penggantimu nanti. Apa dia sama baiknya denganmu atau justru malah sulit diatur dan meremehkanku yang tidak mengecap perguruan tinggi," papar Lira penuh kekhawatiran. 

Ayana mendekap pundak Lira, memberikan pelukan hangat sahabat sejati. "Kamu, kan, senior, jangan mau ditindas dengan anak bau kencur." 

"Apa ada hubungannya dengan Edsel makanya kamu ingin segera keluar dari sini?" tanya Lira menyelidik. Kecurigaan gadis ini mulai kritis. 

"Apa pun alasannya, yang jelas kita akan tetap berteman. Di antara kita nanti harus meluangkan waktu kosong seminggu sekali untuk bertemu agar kamu tidak benar-benar merasa kehilanganku--rekan kerjamu," pungkas Ayana seraya menjawil ujung hidung Lira. 

"Janji?" 

Ayana mengangguk, lalu berbisik di telinga Lira. "Janji." 

Percakapan mereka terhenti oleh suara panggilan dari ponsel milik Lira. Bergegas keluar setelah berpamitan. Ketika Ayana memeriksa isi dalam tas ranselnya, lelaki berkaos putih yang tadi ada di luar pintu telah berada di depannya. Ayana tersenyum tipis dan berniat mengabaikannya. 

"Kenapa harus resign?" 

Gerakan kaki Ayana terhenti, kepalanya menoleh dengan kernyitan kening. 

"Kalau alasannya karena tidak ingin melihatku lagi, aku janji ini terakhir kalinya kita bertemu di sini," ucap Edsel serius. 

"Kamu mencuri dengar pembicaraanku?" tatapan Ayana lurus ke depan. 

"Iya, ah, maksudku tidak sengaja mendengar. Niatku ke sini awalnya ingin menawarkan diri mengantarmu pulang, tapi malah harus mendengar kabar tidak mengenakan," lontar Edsel dengan nada kecewa 

Ayana mendesah lelah, kenapa ia baru menyadari kekhawatiran Edsel memang berlebihan. "Harusnya kamu mendukung keputusan mantan sahabatmu supaya bisa lebih maju kariernya." 

"Aku selalu mendukungmu, Ay, dan kamu ... masih sahabatku." 

"Kalau begitu, hilangkan raut menyebalkan dari wajahmu. Jangan membuat seolah-olah aku yang paling jahat padamu," tandas Ayana, lantas membalik badan. 

"Tunggu!" Edsel menahan pergelangan tangan Ayana. "Wajahmu pucat, aku harus memastikan kamu tiba di rumah dengan selamat," ucapnya perhatian. 

"Tidak, aku bisa--" 

"Ayana, please, izinkan aku. Penolakanmu kali ini akan berefek besar pada pikiranku. Apa kamu tega menjadi pemicu dan menghambat konsentrasiku sampai besok sidang?" imbuh Edsel penuh permohonan. 

Ayana menggigit pipi dalamnya seraya berpikir untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. 

"Kalau kamu menolak, paling tidak biarkan aku membawamu ke klinik terdekat untuk memastikan kesehatanmu," tukas Edsel membuat Ayana menyipitkan mata memandangnya. 

"Aku tidak sakit, Ed." 

"Ya, itu karena kamu selalu pandai menyembunyikannya. Lihat cermin itu," titah Edsel menunjuk cermin lebar di sampingnya. Ada pantulan gadis berwajah kuyu. "Kamu pucat, Ay." 

"Wajar, dua malam ini aku sulit tidur memikirkan waktu sidang. Beberapa hari ke depan kondisiku pasti akan kembali sedia kala." 

"Oke, alasan diterima. Kalau begitu biarkan aku mengantarmu pulang." Edsel berjalan mendahului Ayana yang berdecak. 

"Edsel!" 

"Cepat, Ayana! Nanti Bibi Riva cemas kalau kamu terlambat!" 

Dengan pasrah Ayana menuruti laki-laki bule di depannya. Memasuki kendaraan yang terparkir di samping toko. Bibir Edsel hendak terbuka ketika tangannya menggerakkan persneling, tetapi Ayana lebih dulu menyela. 

"Tolong jangan banyak bertanya kalau masih ingin mengantarku pulang!" tekan Ayana dengan raut wajah tak mengenakan. 

Edsel hanya tersenyum tipis, lalu mulai sibuk pada kemudi di tangannya. Selama perjalanan, keduanya hanya terdiam. Ayana lebih memilih menoleh ke arah jendela, sementara Edsel diam-diam mencuri pandang pada gadis yang masih saja enggan melihat ke arahnya. 

Gerak-gerik Ayana tidak pernah lepas dari pemilik manik cokelat terang yang menyetir. Bahkan ketika Ayana mengeluarkan sebuah botol minyak kayu putih dari dalam tas dan membalurkannya ke tangan, lalu mengolesi ke permukaan luar hidung dan pelipisnya, perhatian Edsel mendetail. 

"Ayana." 

Gadis yang baru saja menaruh botol kecil ke dalam tas menoleh ke arahnya. "Hem?" 

Wajah kaukasia di depannya tampak sungkan. "Apa ... apa periode bulananmu lancar?" 

Bibir Ayana terkatup rapat. Pikirannya mendadak buyar dan malah mundur. Pasalnya, pertanyaan pribadi seperti itu sangat tidak etis diajukan oleh seorang laki-laki. 

"Diammu boleh aku artikan bahwa--" 

"Lancar. Sesuai perhitungan," sahut Ayana cepat. Dalam hal ini Ayana pintar menyembunyikan ekspresi walau pikirannya mulai ketar-ketir. 

Melihat perubahan raut wajah tampan Edsel. Sejujurnya, Ayana juga menjadi cemas oleh pertanyaan sensitif tadi mengingat peristiwa di pesta. 

"Kalau nanti--" 

"Sudah sampai, Ed," pungkas Ayana melepas kaitan seatbealt di tubuhnya. 

Decakan pelan keluar dari pita suara maskulin. Kenapa rute jalan yang ditempuh cepat sekali, padahal Edsel sudah mengatur agar kecepatan laju kendaraan sepelan mungkin. Namun, kini mereka sudah tiba di pekarangan asri hunian gadis yang diantarnya. 

"Terima kasih. Aku harap, ini terakhir kali kamu mengantarku," tandas Ayana tanpa senyuman. Saat ingin membuka pintu, satu lengannya yang bebas di tarik. Dengan tatapan tidak suka, Ayana membidik tajam sorot manik cokelat yang telah berubah dingin. 

"Kalau terbukti kamu hamil, aku pastikan, bayi dalam kandunganmu adalah darah dagingku. Dan kamu ... tidak akan bisa melarangku untuk membawamu ke altar gereja."

.

.

.

Ingin Berdua

Langkah kaki Ayana tampak ragu-ragu menyeberangi jalan. Diam berdiri dengan pandangan lurus ke depan. Sebuah ruko yang berlabel apotik 24 jam sedari tadi menyita perhatiannya pada lalu lintas jalan yang ramai. Sesekali jarinya digigiti seperti sedang berpikir keras, atau mungkin juga menimbang-nimbang langkah selanjutnya. 

Sejak pernyataan Edsel beberapa hari lalu, kecamuk dalam pikirannya sangat mengganggu. Sedikit menyita perhatiannya ketika tengah sibuk merevisi materi skripsinya. Mungkin jika belum menghadapi sidang, kepercayaan dirinya bisa kacau balau dan berimbas pada nilai akhir. 

Ayana menggigit bibir bawahnya. Raut wajahnya terlihat resah. Bagaimanapun ia menyadari jika hampir dua bulan sudah melewatkan periode menstruasinya. Meski sudah menyangkal bahwa pengaruh hormon dan stres yang menjadi pemicunya, tetapi Ayana tidak pernah sampai setelat ini. Maksimal hanya dua minggu dari tanggal bulan sebelumnya. 

Dengan debar-debar yang menghentak organ jantungnya, Ayana memutuskan untuk mendekati apotik di seberang jalan. Namun, ketika kakinya bergerak beberapa langkah, Ayana memekik keras merasakan lengannya ditarik kuat, tetapi yang paling membuatnya terkejut adalah sepeda motor yang melintas dengan kecepatan penuh. Kalau seseorang tidak menariknya, mungkin tubuhnya akan terkapar di tengah jalan dengan bersimbah darah. 

"Dasar ceroboh!" 

Bola mata Ayana membulat saat menoleh pada suara bariton yang menghardiknya. Laki-laki tengil yang selalu membuat hidupnya kacau menatap tajam padanya. 

"Seperti anak kecil saja menyeberang jalan raya tidak lihat situasi sekitar!" 

Ayana mematung, tak menyadari pengguna jalan yang berlalu lalang mulai tertarik menatap ke arahnya. 

"Ck, sekarang malah diam saja. Mau sampai kapan kamu menjadi tontonan di sini?" Satu alis bekas piercing terangkat. 

"Jovic?" ucap Ayana dengan pandangan masih syok. 

"Akhirnya sadar juga mengenaliku," cibirnya dengan tatapan remeh. 

Bibir Ayana berkerut sebal. Melepas lengan yang dicekal, kemudian beranjak, tetapi niatnya urung karena tangan kekar Jovic kembali mencekalnya. 

"Belum bilang terima kasih sudah mau kabur lagi, heh?" 

Dengan embusan napas berat, dan raut wajah terpaksa Ayana bersuara, "Maaf atas kecerobohanku, dan terima kasih sudah menolongku." 

"Good girl! Sekarang ikut aku!" Jovic hendak menarik tangan Ayana, tetapi gadis itu menahannya, membuat sang pemuda menoleh dengan bidikan tajam. Seketika, nyali Ayana mengerut dan memilih mengikuti langkah lelaki itu menuju sebuah roda empat tepat di sebuah bengkel tambal ban. 

"Sudah selesai, Pak?" tanya Jovic pada laki-laki tua. 

"Sudah." 

Mengambil dompet dari saku celana, lalu mengeluarkan beberapa lembaran warna merah untuk diberikan pada pemilik bengkel kecil usai bertransaksi. 

"Kenapa diam? Cepat masuk!" titah Jovic tak sabar melihat Ayana hanya diam saja saat pintu penumpang terbuka. 

Dengan berat hati Ayana masuk dan menduduki jok di samping kemudi. Mulutnya tak juga bersuara meski laju kendaraan sudah bergerak membelah keramaian. 

"Kenapa tidak datang ke kampus?" tanya Jovic melirik gadis di sebelahnya dan kebetulan, manik bening Ayana juga melirik ke arahnya. Karena sudah lebih dulu terlihat, Ayana malah terburu-buru berpaling ke belakang. Terlihat sebuah buket bunga camelia warna putih tergeletak di jok. 

"Sudah tidak ada lagi yang dikerjakan, jadi buat apa ke sana? Buang-buang waktu dan ongkos saja," jawabnya tanpa minat. 

"Memang kamu sudah selesai revisi?" 

"Sedikit lagi. Mungkin minggu depan aku akan menemui dosen penguji meminta tandatangan." 

Jovic hanya mengangguk tanpa suara. Fokus matanya kembali ke depan. Tepat di perempatan sebuah lampu merah, kendaraannya mengambil arah bertolak belakang dengan tujuan pulang. 

"Kita mau ke mana?" tanya Ayana mulai panik. Menyadari ruas jalan meninggalkan kota tinggalnya. 

"Puncak," sahut Jovic santai seraya mengatur volume radio digital di dashboard agar terdengar lebih keras. 

"Puncak? Untuk apa? Ini sudah siang, lalu mau sampai jam berapa kita di sana. Aku ... a-ku tidak bisa lama-lama di luar, Jo," terang Ayana cemas. 

"Santailah. Kita hanya sebentar. Lagi pula hari ini kamu libur kerja, kan, Ay?" 

Ayana memicingkan matanya. 

"Tadi aku sudah ke Florist, tapi aku hanya melihat temanmu." 

Ayana menoleh sekilas pada jok belakang. Pantas saja ada buket bunga yang sering dibeli laki-laki itu. Entah untuk apa. Yang jelas, perkenalan mereka memang berawal dari buket bunga camelia putih yang selalu Jovic beli di Florist tempatnya bekerja. 

"Oh, ya, temanmu mengatakan, dalam waktu dekat kamu akan resign dari Florist karena sudah mendapat panggilan kerja di sebuah perusahaan," imbuh Jovic melanjutkan. 

Ayana merengut, kenapa lidah Lira sangat lihai menceritakan hal itu pada Jovic. "Baru tahap awal saja. Kemungkinan tidak akan lolos karena pada saat interview aku sangat gugup, sedangkan kandidat lain banyak yang sudah berpengalaman." 

"Sahabatmu payah. Harusnya dia merekomendasikanmu ke perusahaannya," gerutu Jovic. 

"Siapa yang kamu maksud?" Lirikan Ayana tampak penasaran. 

"Lupakan." 

Ayana menggelengkan kepala pada responsif lelaki di sebelahnya. Tak lama, ia kembali dibuat bingung ketika mobil yang ditumpanginya berhenti di sebuah pemakaman elite. 

"Kamu tunggu sebentar." 

Belum menjawab, Jovic sudah lebih dulu keluar dengan memegang buket. Dari kejauhan, Ayana memandangi punggung lebar yang semakin menjauh dan berbelok arah. Cukup lama ia menunggu di dalam mobil dengan menghabiskan waktu mengotak-atik ponselnya. Membalas pesan singkat dari Chika dan juga Lira. 

Namun, satu pesan yang sudah tertera lebih dari sepuluh percakapan dengan pemilik nama laki-laki blasteran Eropa enggan dibukanya, bahkan langsung dihapus. 

Akhirnya setelah bosan menunggu, seseorang yang dinanti datang. Jovic hanya berdiam diri dengan cekalan kuat pada lingkar kemudi. Buku-buku jarinya tampak memutih akibat cengkeraman kuat. 

Raut wajahnya tampak muram. Ayana bisa melihat jika iris mata setajam elang itu memerah. Mungkin bisa diterka seperti habis menangis. 

"Jovic?" panggil Ayana ragu-ragu. "Kalau keadaanmu kurang baik, lebih baik kita--" 

Ayana terkejut bukan main ketika tengkuknya ditarik. Menyatukan bibirnya pada bibir lelaki yang membungkamnya. Menekan kuat bibirnya yang terkesiap mendapati serangan mendadak. 

Lumatan yang Jovic lakukan cenderung kasar. Ada ledakkan emosi tak kasat mata yang Ayana rasakan. Namun, ia tetap pasrah, mematung--membiarkan bibirnya dijadikan pelampiasan. 

Bola mata Ayana melebar saat dirasa cumbuan bibir Jovic mulai kelewat batas. Tangannya bergerilya ke dalam kaos longgar yang dikenakan. Meraba-raba perut datarnya yang kembang-kempis. Sementara ciuman lelaki itu mulai menurun menjelajahi leher jenjangnya. 

"Jovic, stop," lirih Ayana saat merasakan gundukan kembarnya diremas-remas. Juga, isapan kuat menyedot ceruk lehernya. "Please, Jo, sadarlah." 

Suara klakson dari arah belakang kendaraan menyelamatkan hidup Ayana. Jovic mengusap kasar wajahnya yang masih dikuasai gairah. Mengembuskan napas kasar, lalu bersiap kembali mengemudi keluar dari area pemakaman. 

"Kamu istirahat saja. Perjalanan kita cukup lama," ucap Jovic dengan pandangan lurus ke jalan. Satu punggung tangannya mengusap bibirnya yang basah. 

Ayana mengangguk gugup. "Arah yang akan kita lewati langitnya mendung. Bagaimana kalau nanti terjebak hujan?" Ayana mengintip lewat kaca jendela yang gelap. 

"Memangnya kenapa? Di dalam sini kamu tidak akan basah kuyup." 

"Tapi, maksudku--" 

"Tolong diamlah, Ayana. Kamu tidak perlu khawatir. Lagi pula aku juga tahu bahwa di rumahmu sedang sendirian, jadi tidak perlu beralasan pulang cepat," tukas Jovic tanpa menoleh. 

Ayana melirik takut-takut. Kenapa laki-laki berandalan ini bisa tahu? Sejak kemarin memang Bibi Riva pulang kampung untuk menghadiri kerabatnya yang mengadakan pernikahan. 

Walau Ayana sudah melarang karena khawatir dengan kondisi kesehatannya, sang bibi tetap bersikeras dengan cara mengajak salah satu teman sebayanya di area pertokoan untuk meminimalisir kecemasan keponakannya. 

"Aku hanya ... sedikit takut," cicit Ayana gemetar. 

"Aku bukan monster. Kamu akan aku antar pulang dengan selamat. Sekarang, kamu hanya diminta menurut tanpa bantahan," tekan Jovic serius dengan sorot mata yang sulit diterka. "Saat ini, aku butuh kamu--hanya ingin berdua denganmu."

.

.

.

Terjebak Hujan

Tawa lepas Jovic mengalun melihat Ayana tersentak dari tidur akibat punggung tangannya menyentuh pipi lembut itu. "Sebelum keluar, periksa dulu penampilanmu. Jangan sampai ada sisa liur yang menetes," kelakarnya sebelum turun. 

Setelah memastikan diri tanpa cela, Ayana menyusul lelaki oriental yang sudah bersandar pada pembatas besi sebuah tebing yang di bawahnya terhampar pohon teh. Tak jauh dari posisinya, banyak muda-mudi yang bersenda gurau, dan menikmati pemandangan alami pegunungan. Langit gelap menyamarkan jingga matahari senja, padahal sudah lewat dari pukul empat sore. Mendung seolah mengikutinya dari kota hingga ke puncak. 

"Sebenarnya apa tujuanmu mengajakku ke sini?" Rasa penasaran masih menggelayuti pikiran Ayana. 

"Berdua denganmu, apa masih kurang jelas?" jawab Jovic dengan dua alis terangkat. 

"Harusnya tidak perlu sampai sejauh ini. Di kota juga banyak taman yang asri," gerutu Ayana mencebikkan bibir. 

"Tapi suasananya bising. Banyak polusi yang bertebaran. Lebih enak di sini, sejuk dan damai," tutur Jovic dengan pandangan sendu pada hamparan perkebunan. 

Angin bertiup sangat kencang. Anak rambut yang tidak terikat kunciran meliuk-liuk bertebaran di wajah cantik Ayana. Tak hanya itu, dinginnya udara dan kabut yang mulai turun membuat kedua tangan Ayana bersedekap melindungi diri dari udara yang menembus pori-pori kulitnya. 

Melihat hal demikian, Jovic tersenyum skeptis, lantas memberikan jaket kulit yang dikenakan sebagai luaran ke punggung mungil Ayana. Tubuh lelaki itu masih terbalut kaos lengan panjang. Jarinya terulur membantu menyematkan helai surai legam Ayana ke belakang telinga. 

"Sebenarnya tadi saat tidak menemukanmu di Florist aku langsung ke rumahmu, tapi sayang sekali, yang ada hanya tetangga sebelah rumahmu. Dia mengatakan kalau Bibimu sejak kemarin pulang ke kampung halaman. Di rumah cuma ada kamu, tapi saat itu kamu sedang keluar entah ke mana," terang Jovic menceritakan perihal dirinya mengetahui sang bibi pergi. "Dan ternyata kamu malah sedang melamun di pinggir jalan. Persis seorang perempuan yang patah hati," tambahnya mencibir. 

"Sok tahu!" sangkal Ayana tak terima. 

"Semua orang yang melihatmu tadi pasti sama pikirannya denganku," timpal Jovic tak mau mengalah. 

"Terserah katamu saja. Aku di sini memang harus menurutimu, kan?" dengus Ayana. 

Lelaki berbalut kaos warna army bersedekap, menoleh ke arah gadis yang entah kenapa mulai tidak nyaman ditatap lekat. Perubahan ketajaman retina legam lelaki itu menjadi sayu hingga membuat degup jantung Ayana berulah tidak stabil. 

"Mungkin, kalau kamu tidak bekerja di Florist milik Tante Sania, aku tidak akan menjadi pelanggan di sana." 

Ayana cukup terkejut dan seketika mengangkat wajahnya hingga bertemu tatap pada kemilau pekat yang semakin redup. 

"Kemungkinan juga, kalau kamu tidak satu kampus dengannya, aku tidak akan pindah kampus yang sama denganmu," lanjut Jovic dengan pandangan mengawang. Kepalanya menengadah pada langit yang semakin menggelap. 

"Dengannya? Siapa?" tanya Ayana dengan raut wajah bingung. Melihat Jovic terdiam cukup lama membuatnya sadar jika ada yang salah dengan ucapannya. "Maaf, Jo, aku tidak bermaksud--" 

"Sebenarnya aku memang tertarik padamu, Ayana. Pesonamu yang menurutku biasa-biasa saja dari gadis populer yang mendekatiku, entah kenapa berhasil menyita perhatianku." 

Pengakuan Jovic membuat Ayana bungkam. Di luar ekspektasinya, lelaki menyebalkan ini akan berterus terang mengenai perasaannya. Walau ada nada meremehkan ketika berkata tentangnya, tetapi sudut hati Ayana merasakan kehangatan yang menjalar. 

"Kedekatanmu dengan laki-laki bule itu membuatku cukup kesal. Aku merasa, kamu pilih kasih dalam berteman. Edsel begitu mudah mendekatimu. Kalau hanya karena dia anak pemilik florist tempatmu bekerja, aku bisa saja menyeretmu untuk bekerja di perkebunan lahan bunga yang kumiliki," rutuk Jovic dengan raut wajah kesal. "Memang apa kelebihan dia sampai kamu begitu dekat dengannya? Atau jangan-jangan, kamu juga diam-diam menyukainya?" imbuhnya menuduh. 

"Aku? Menyukai Edsel?" Telunjuk Ayana mengarah pada wajahnya sendiri. 

"Memang aku sedang berbicara dengan siapa?" Satu alis Jovic terangkat. Melihatnya merajuk membuat Ayana menggembungkan pipi menahan tawa. Bisa celaka jika suara tawanya pecah di depan laki-laki arogan ini. 

"Saling menyukai sebagai teman itu wajar," jawab Ayana lugas. 

"Apa setelah kejadian di pesta, rasa itu masih ada untuknya? Atau ... malah bertolak belakang?" Jovic menatap Ayana intens. Sorot matanya menyiratkan intimidasi gadis yang mulai serba salah dengan posisinya. "Kalau kukatakan aku cemburu, apa kamu percaya?" 

Sesaat, Ayana terhipnotis oleh pancaran manik hitam Jovic yang terlihat berbinar. Rasa percaya dirinya mengatakan ada pengharapan yang tersembunyi di dalam sana. 

"Kamu tahu, saat kamu menolakku mentah-mentah di perpustakaan, egoisme dalam diriku berontak--merasa direndahkan. Sempat mengira kamu sengaja mempermalukanku dikhalayak ramai," sungut Jovic tersenyum getir. 

"Maaf, tapi aku tidak bisa berpura-pura menerimamu hanya untuk menjaga reputasimu," lirih Ayana penuh penyesalan. 

"Paling tidak, sikapmu membuatku paham, betapa perihnya dianggap tidak penting pada seseorang yang menaruh harapan padamu," tukas Jovic diselingi senyuman. "Ternyata aku cukup payah dalam menaklukkan perasaanmu yang lagi-lagi lebih dulu dikuasai olehnya." 

Walau garis bibir maskulin itu melengkung sempurna, tetapi binar netranya tak bisa berbohong. Ayana seperti melihat sayatan luka menyakitkan di balik ketegarannya. Dan saat ia mencoba menyelami kedalaman telaga bening dalam manik hitam Jovic, satu tangannya diraih. Tapak tangannya yang dingin terbungkus genggaman erat nan kokoh. 

"Maaf, harus melibatkanmu dalam permainan ini." Jovic menatap dalam-dalam gadis di depannya. "Kalau tujuanku berhasil, percayalah, kamu akan terbebas dari benang kusut yang menjerat." 

Kening Ayana berkerut dalam. Mencoba menelaah kata tiap kata yang Jovic lontarkan. Sayangnya, konsentrasinya buyar oleh suara yang berasal dari dalam perutnya. Cacing-cacing yang menghuni sudah berteriak meminta amunisi. 

"Astaga! Kamu membuatku malu, Ayana! Sejauh ini kita pergi, aku malah membuatmu kelaparan." Jovic menarik lengan Ayana. Jemarinya menjalar ke telapak tangan mungil itu, lalu menautkannya. Berjalan ke rumah makan yang mulai ramai karena hari semakin gelap. 

*** 

Suara gemuruh petir menggelegar di langit gelap. Curah hujan yang semakin deras membuat Jovic membelokkan arah kendaraannya sebelum terjebak macet karena di ujung jalan ada pohon besar yang tumbang menghalangi jalan utama. Jovic mendengar keributan tentang lalu lintas jalan segera menghindar. Dan di sinilah roda empatnya berhenti. Sebuah rumah minimalis dengan pekarangan asri yang terdapat kolam ikan koi. 

Ayana mengikuti Jovic turun dan menaiki teras. Selagi lelaki itu sibuk mencari sesuatu di dekat pot bunga, Ayana bersandar pada pilar seraya memeluk tubuhnya sendiri yang kebasahan. 

"Mau sampai kapan berdiri di situ?" 

Kepala Ayana menoleh pada suara laki-laki yang berdiri di ambang pintu yang sudah terbuka lebar. Menggigit bibirnya sesaat, lalu melongok ke belakang punggung Jovic. 

"Kita tunggu di sini sampai hujan reda." 

Tubuh Ayana menegang seketika. 

"Di ujung jalan ada pohon tumbang, percuma juga kalau kamu ngotot pulang," lanjut Jovic menjelaskan. Tak ada jawaban, Jovic mengeraskan suara, "Ayana?" 

"Ah, ya, baik, aku paham. Aku tadi juga dengar tentang berita itu di jalan." Yang dikatakan Ayana memang benar. Pada saat di jalan terlihat ricuh oleh suara teriakan warga yang bergerombolan mengintruksi kendaraan agar tidak melewati lokasi kejadian. 

Saat Jovic menutup pintu, Ayana makin didera rasa cemas. Bola matanya memindai seluruh ruangan. "Ini rumah siapa?" 

"Termasuk salah satu villa keluarga. Kita ada di bagian belakang. Mungkin nanti kalau cuaca cerah kamu bisa ke area inti depan. Di sana ada kolam renang air hangatnya," tawar Jovic membujuk ramah. 

Melihat Ayana mengangguk dengan kedua tangan saling mendekap tubuhnya yang menggigil, otak Jovic mulai berinisatif. Berlari kecil ke dalam kamar, lantas kembali dengan handuk kering di tangan. 

Ayana menatap laki-laki itu penuh antisipasi karena bagian atas tubuh tegapnya sudah terbebas dari pakaian. Ketika salah satu sudut bibir Jovic mengukir seringai, batin Ayana menjerit panik oleh sebuah instruksi. 

"Ayana, buka jaketmu." 

 

.

.

.

Penyerahan Diri

Full explicit content 21+


✂️ Cut Eksplisit Scene ✂️

  

 

.

.

.

Merasakan Luka

Setelah mendapatkan tandatangan untuk revisi akhir, Ayana buru-buru keluar dari ruang dosen. Bahkan ketika Chika menyapa, ia hanya tersenyum seraya melambaikan tangan. Gadis berambut pendek itu sampai cemas melihat raut wajah Ayana yang pucat. Namun, Chika tidak mengejar saat temannya menyuruhnya segera masuk ruangan untuk kepentingan tahap skripsi. 

Langkah Ayana menuju lorong di pojokan. Toilet wanita adalah tujuan utamanya. Memasuki ruangan mini, Ayana terduduk di toilet yang tertutup. Tangannya beberapa kali memijat pelipisnya yang berkeringat. Satu tangannya lagi menutup mulutnya yang seperti ingin mengeluarkan sesuatu. Hingga akhirnya gejolak dalam perutnya sudah tak mampu dibendung, Ayana bangkit dan lekas membuka penutup closet duduk untuk memuntahkan cairan bening. 

Setelah merasa lebih baik dengan lendir yang masuk dalam pembuangan air, Ayana bersandar di pintu. Napasnya menderu kuat dengan mata terpejam. Dalam kondisi lemah seperti itu, pikirannya tetap berjalan kritis. Lambat laun, rasa cemas menghantam dirinya. 

Tak terasa, setetes embun jatuh ke pipi. Sebelum tumpah meruah, Ayana dikejutkan oleh ketukan pintu dari luar. Buru-buru ia membenahi diri dan kembali menyentuh tombol push pada closet hingga suara air menggema. 

Ayana tak serta merta keluar ruangan. Ia malah berdiam diri di depan cermin wastafel cukup lama. Memerhatikan wajahnya dengan seksama. Memang terlihat pucat. Lingkar kantung mata kian menambah kuyu penampilannya. 

Menyalakan keran, lalu membilas wajahnya agar terlihat lebih segar. Tak lupa sedikit memoles bedak dan lip tint untuk menyamarkan pucat. Sebelum beranjak, lengkungan bibirnya terpantul dari cermin. 

Punggung Ayana tersentak ketika melangkah beberapa meter dari toilet. Sampai wajah bule pemilik suara berat yang memanggilnya berada di depannya. 

"Kamu sakit, Ay?" 

Tangan Ayana mencengkeram kuat tas ranselnya di depan dada. Kepalanya menggeleng tegas. "Tidak." 

"Tapi wajahmu pucat." Edsel memicingkan mata menatap lekat wajah Ayana. 

"Sungguh, aku tidak apa-apa. Bukan urusanmu juga kalau pun aku sakit," sahut Ayana. 

"Akan menjadi urusanku sampai aku memastikan kondisimu yang sebenarnya," balas Edsel serius. Ia mendekat lagi. "Kamu perlu ke dokter." 

"Tidak perlu, Ed. Aku baik dan ... sehat," imbuh Ayana gugup. 

"Kalau memang begitu, harusnya kamu tidak menolak. Segalanya akan beres kalau kamu mengikuti saranku." 

"Tapi aku--" 

"Kenapa? Kamu takut apa yang aku pikirkan tentangmu menjadi nyata?" pungkas Edsel dengan satu alis lebatnya ke atas. 

Ayana terlihat gelisah di posisinya. Detak jantungnya berdentam kuat sekali. 

"Ayana, aku perlu memastikan kesehatanmu," ucap Edsel menyentuh lengan kurusnya. "Kalau memang baik-baik saja, aku janji tidak akan mengganggumu lagi--sesuai permintaanmu." 

Gadis yang memeluk tas ransel terlihat serba salah. Beberapa kali mencuri tatap laki-laki yang masih setia menunggunya bersuara. 

"Ayana." 

"Maaf, Ed, aku buru-buru." Ayana bersiap melangkah, tapi lengannya tertahan. 

"Kamu takut?" 

Kepala Ayana menoleh. "Tidak." 

"Baiklah. Kalau begitu aku antar kamu ke apotek saja." 

"Edsel!" 

"Ayana." 

Selagi keduanya masih saling bersitegang, suara familier menggema di lorong. "Pemaksaan." 

Manik cokelat Edsel menyipit tak suka saat wajah oriental menyebalkan telah mendekat di antara mereka. 

"Lepaskan tanganmu!" pinta Jovic penuh penekanan. 

"Kami ada urusan penting. Kamu tidak berhak ikut campur," tandas Edsel dan makin mengeratkan lingkar tangannya pada lengan Ayana. 

"Temanmu sangat posesif," decak Jovic menatap Ayana. "Apa kamu mau ikut dia?" 

Kepala Ayana menggeleng. 

"Jawab, Ayana. Suara kamu sebagai penentunya!" tekan Jovic sedikit meninggi. 

"Tidak," sahut Ayana cepat. 

Mendengar satu kata yang keluar dari bibir manis itu, senyum Jovic mengembang. Matanya menatap remeh pada laki-laki blasteran Eropa. "Kamu dengar sendiri, kan? Dia tidak mau ikut denganmu. Sekarang, lepaskan dia." 

Edsel masih terlihat enggan melepas lengan Ayana. 

"Oh, jadi mau pakai cara paksaan supaya Ayana mau ikut kamu?" Jovic bersedekap. Kini matanya mengarah pada gadis yang menjadi rebutan. "Kamu tidak lupa, kan, Ay, kalau ada janji denganku?" 

Tatapan Ayana tampak bingung karena ia tak pernah menjanjikan apa-apa dengan laki-laki tengil itu. Namun, saat dua alis Jovic terangkat, Ayana seperti memahami sesuatu. "Tentu aku ingat. Hanya saja sejak tadi dia terus menahanku. Mungkin kalau kamu tidak menyusulku ke sini, aku sudah dipaksa ikut dengannya." 

Edsel terperangah pada respons Ayana. Refleks, melepas cekalan tangan, dan langsung Ayana manfaatkan menjauh ke belakang punggung Jovic. 

"Kamu sudah dengar sendiri. Sebagai laki-laki teladan yang paling baik hati harusnya kamu berbesar hati menerima keputusan Ayana," sindir Jovic seraya bersiul menikmati raut kecewa di wajah Edsel. 

"Ayana." Edsel masih berusaha menggapai sahabatnya, berharap gadis itu mau bersamanya. 

"Lebih baik kamu tunggu aku di parkiran," tukas Jovic memerintahkan Ayana agar segera menjauh. Dan tentu saja, gadis itu memilih mengikuti perkataan tersebut guna menghindari mantan sahabatnya. 

Netra cokelat yang terselip luka memandangi punggung mungil yang semakin menjauh, kemudian menatap penuh permusuhan pada laki-laki yang bersiul. "Kamu pasti mengancamnya." 

"Ayana memang lebih menyukai ancamanku daripada sikap pasrahmu." Jovic mencemooh. 

Laki-laki berambut ombak hitam kecokelatan tampak mengeratkan rahang pipinya yang tegas. Netra cokelat terangnya membidik tajam manik legam sipit rivalnya. Edsel menarik bibirnya membentuk senyum tipis. "Setidaknya, sikap pasrah yang kamu sematkan untukku mampu membuatmu terjebak pada rencana busuk." 

Garis wajah Jovic berubah. Tatapannya tampak bengis dengan kedua tangan mengepal kuat. 

"Kamu pikir aku tidak tahu dengan kecurangan yang kamu perbuat di pesta Jeno?" 

Bola mata Jovic melebar seketika, tapi cepat merubah ekspresi seperti biasa. "Tepatnya pesta yang menjadi petaka untuk gadis yang kamu anggap sahabat," imbuhnya menohok. 

Walau sempat tersindir, Edsel berhasil menguasai diri untuk tetap tenang. "Aku hanya mengikuti rencanamu, Jo. Aku tahu bahwa kamu serius tertarik dengan Ayana. Namun, egomu terlalu besar dan malah menjadikannya permainan demi kesenanganmu dengan merusak persahabatan kami," desisnya menahan geraman. "Sialnya, tanpa sadar rencana busuk itu justru membuatmu ikut terseret merasakan luka." 

"Kamu terlalu percaya diri," sangkal Jovic dengan perasaan tak nyaman. 

"Silakan menyangkalnya dan siapkan mentalmu untuk mendengar kabar mengejutkan perihal hasil di malam itu." Edsel mendekat tepat di sisi telinga Jovic. "Saat pasangan memadu kasih, aktivitas yang terjadi pasti akan menciptakan kehidupan yang baru, bukan?" bisiknya, lantas melenggang santai. 

Wajah Jovic berubah merah padam. Kepala Edsel menoleh, menarik garis bibirnya membalas tatapan Jovic yang menyala-nyala. 

"Siapkan diri untuk kekalahanmu, Jo," ucapnya setengah berteriak. 

"Sialan!" Kepalan tangan Jovic memukul udara. Ia berlari ke arah berlawanan. Matanya mencari-cari seseorang. Begitu sosok yang dicarinya terlihat, segera mendekati dan menarik lengannya. 

"Sakit, Jo!" 

"Siapa suruh kamu pergi? Aku memintamu menunggu di parkiran, bukan kabur!" 

Akhirnya Ayana hanya bisa pasrah menuruti Jovic membawanya ke pelataran area parkir. Setelah keduanya berada di dalam, Ayana terkejut bukan main saat wajah tampan tepat berada di depannya. Jovic sedang memasangkan seatbelt untuknya. Ayana sampai menahan napas ketika deru napas hangat laki-laki itu mengenai wajahnya. 

"Terima kasih," ucap Ayana pelan. 

Laki-laki yang dijumpainya lagi setelah satu minggu tidak langsung menjauh, justru semakin mendekatkan wajah hingga menciptakan degupan kencang dalam dada Ayana yang ketar-ketir. 

Sampai sebuah kecupan mendarat tepat di atas permukaan bibirnya, Ayana mendiamkan dengan tatapan saling terbuka. Jovic menggerakkan mulutnya melumat lembut bibir ranum yang bercelah. Hanya seperkian detik, tetapi mampu membuat Ayana lemas. 

"Aku tidak peduli dengan apa yang mengikatmu. Apa pun yang terjadi, kamu tetap mililkku."

.

.

.

Ketakutan Mencekam

Memasuki hunian mewah, berbagai kecamuk menjalar pikiran Ayana. Kakinya memang melangkah mengikuti seseorang di depannya. Namun, isi kepalanya tidak fokus dan banyak menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Sampai ketika jantung Ayana mencelus saat hampir saja tungkai kakinya menciptakan kegaduhan. Sebuah guci besar yang harganya ditaksir sangat mahal nyaris terjatuh. 

"Ma-maaf, Jo, aku tidak sengaja," ucap Ayana terbata. Kepalanya menunduk tak berani memandang laki-laki muda di depannya. 

Dirasa posisinya sudah cukup aman, Jovic melepas pegangan pada guci berwarna biru muda. Saat Ayana menyenggol, spontan Jovic menahannya karena guci condong ke arah Ayana. 

"Santai saja, Ay. Gucinya juga masih aman. Tidak ada yang cacat. Ya, kalau pun jatuh, itu juga bukan salahmu. Bisa saja malah mencelakaimu. Sepertinya memang letaknya yang salah. Lagi pula, bukan hanya kamu yang pernah mengalaminya, salah satu staff dari kantorku juga bahkan ikut memeluknya ketika tersandung," tuturnya tertawa renyah. Satu tangan Jovic terulur menarik jemari Ayana dan mengisi kekosongan celahnya untuk melanjutkan langkah tujuan. 

Sebuah ruang makan yang telah tersaji beberapa menu lezat di atas meja membuat liur Ayana seperti mengumpul di mulut dan bersiap menetes. Aroma masakan yang penuh rempah-rempah menambah citra sedap pada indera pengecapnya walau secara nyata belum mencicipi. 

"Sebelum kita berkeliling, ada baiknya amunisi perut dibuat penuh terlebih dahulu. Aku tidak mau membuat tamu istimewaku kelaparan lagi seperti waktu di Puncak tempo hari," kelakar Jovic mengingat kembali saat lambung Ayana berbunyi karena lapar. 

Ayana kembali diingatkan oleh kejadian itu menjadi salah tingkah. "Tidak usah diingat lagi.”

Seorang wanita tua yang tengah menata piring untuk mereka makan tersenyum menyambutnya. Menarik kursi untuk mempersilakan Ayana duduk. Memakaikan serbat di pangkuan, menyendokkan nasi dan lauk-pauk untuk keduanya, dan terakhir menuangkan dua jenis minuman dalam gelas yang berbeda. 

"Silakan dimakan. Semoga suka dengan hidangannya, Nona ..." 

"Ayana. Terima kasih, Nyonya," sambut Ayana diselingi senyuman. 

Wanita tua itu hanya mengangguk membalas senyuman sebelum beranjak. 

"Panggil saja Bibi Nana. Dia adalah kepala asisten rumah tangga di sini yang sangat terpercaya. Beliau baru terlihat karena saat pertama kali kamu ke sini sedang ada urusan keluar," terang Jovic seraya menyuap sendok berisi makanan. 

Mulut Ayana mengunyah sambil menatap kepergian sang bibi yang berbelok ke arah pantry.  Suasana tampak hening. Hanya denting dari peralatan makan Ayana yang terdengar. Sedangkan Jovic tampak enggan membuka percakapan dan lebih menikmati makan siang. 

Saat suapan terakhir, ponsel canggih di sisi gelas minumnya menjerit. Sebelum menerima panggilan seluler, Jovic menandaskan satu gelas air mineral, lantas berdiri dan menjauh seraya berbicara serius pada sambungan ponselnya. 

Sudah lima menit Ayana menyelesaikan sesi makan. Namun, tak juga ada tanda-tanda Jovic kembali. Laki-laki itu entah pergi ke mana saat membuka percakapan seluler. Karena bosan menunggu, Ayana memutuskan untuk membereskan sisa makanan. Sampai sebuah sentuhan pelan di pundaknya membuat Ayana berjengit kaget. 

"Maaf, tindakan saya malah mengejutkan Non Ayana," sesal wanita berambut hitam keputihan yang tersanggul rapi. 

"Tidak apa-apa, Bi. Saya saja yang terlalu fokus," tutur Ayana sopan. 

"Memang sudah selesai makannya? Kenapa dibereskan?" 

"Sudah cukup, Bi. Saya sengaja menumpuk piring kotornya karena--." 

"Tidak perlu bersikap begitu. Di sini sudah ada pelayan yang bertugas membersihkannya. Kalau begitu mari saya antar ke belakang saja. Den Bubu sudah menunggu kamu di sana," ucap Bibi Nana seraya mengajak Ayana mengikutinya, tetapi gadis berambut panjang itu hanya mematung. "Non Ayana kenapa?" tanyanya heran. 

"Bibi mau mengajak saya ke mana?" 

"Taman bunga." 

Ayana tampak serba salah. Matanya bergerak-gerak gelisah. 

"Non Ayana baik-baik saja, kan?" Bibi Nana memindai wajah gadis di depannya dengan seksama. 

"Saya baik, Bi, hanya saja saya agak bingung dengan seseorang yang menunggu saya di sana," tutur Ayana meragu. 

"Den Bubu?" 

"I-ya, Bi. Dia siapa?" wajah Ayana tampak takut-takut bertanya. 

Bibir tipis wanita tua itu mengukir senyuman dengan hiasan guratan keriput. "Den Bubu, kan, laki-laki yang mengajak Non Ayana ke sini." 

"Jovic?" Dua alis Ayana terangkat. 

"Iya, Non. Bubu adalah nama kecil Den Jovic pemberian mendiang Tuan Besar dan Nyonya yang tidak lain kedua orang tua Den Jovic," jelas Bibi Nana mengilangkan ragu Ayana. 

"Bubu," gumam Ayana mengulang. Entah kenapa terselip nada geli ketika melafalkannya karena terkesan imut sekali dan sangat jauh dari karakter aslinya. 

"Pasti Non Ayana kaget. Mahasiswa berandalan macam Den Jovic ternyata memiliki nama panggilan yang manis. Saya jamin, cepat atau lambat, penilaian Non Ayana akan berubah mengenai watak Den Bubu setelah mengenalnya lebih dekat. Meski luarnya terlihat tengil, Den Bubu adalah majikan yang baik dan sangat peduli terhadap bawahannya. Anak itu lebih memilih mengurung diri kalau sedang dilanda suasana hati yang tidak menyenangkan daripada melampiaskan kemarahan pada pegawai yang tidak ada sangkut pautnya," terang Bibi Nana panjang lebar dan sukses membuat Ayana melongo kagum mendengar penuturannya. 

"Bubu," Lagi--Ayana mengulangnya. Kali ini ada keistimewaan dari nama unik tersebut. 

"Oya, perlu Non Ayana ketahui, bahwa hari ini adalah rekor terhebat, Den Bubu membawa teman perempuan ke rumah ini lagi setelah--" 

"Mulut orang tua memang tidak bisa dikondisikan, padahal aku sudah meminta untuk segera mengajakmu ke belakang, tahunya kalian malah asyik bergosip," cibir Jovic memotong percakapan antara dua wanita berbeda generasi. "Sepertinya Bibi Nana sudah terlalu banyak bicara padamu," imbuhnya dengan intonasi tak suka. 

"Bibi Nana tidak salah, Jo. Hanya--" 

"Sudah jangan banyak bicara. Cepat ikut aku!" Jovic langsung menarik lengan Ayana ke arah pintu belakang yang terbuka, sedangkan sang bibi hanya tersenyum lebar seraya menggelengkan kepala melihat tingkah sang majikan. 

Ayana cukup kewalahan mengikuti langkah lebar Jovic yang membawa ke arah belakang dan melewati kolam renang. Ketika sampai, Ayana dibuat takjub oleh hamparan luas tanaman cantik. Tak menyangka, rumah yang dikelilingi tembok menjulang tinggi memiliki lahan yang tertanam satu jenis bunga camelia dengan berbagai warna. 

"Biasa saja ekspresinya," cibir Jovic melihat gadis yang terpesona pada lahan pribadinya. "Ini belum seberapa kalau kamu melihat lahan utama yang kupunya di luar rumah," tambahnya menyombongkan diri. 

"Aku pikir kamu berbohong saat mengatakan memiliki lahan bunga camelia," tukas Ayana dengan wajah berseri menatap sekeliling. 

"Dalam hal menyombongkan diri, aku tidak perlu berbohong." 

Bibir Ayana mencebik, "Kalau sudah punya lahannya sendiri, kenapa harus membeli ke Florist? Bukankah itu aneh?" 

Jovic hanya tertawa sumbang, "Jawabannya simpel, aku hanya ingin melihatmu di sana." 

"Kebanyakan bad boy memang playboy," Ayana membuang pandangan dengan berjalan mengitari tumbuhan yang memiliki nama yang sama dengannya, bahkan menjadi jenis bunga favoritnya. "Benar begitu, Den Bubu?" 

"Ayana, kamu--" 

Tawa Ayana pecah. Melihat wajah memerah Jovic membuatnya cukup puas meledeknya. 

"Ayana Batari Camelia," panggilnya serak. Jovic terpesona oleh tawa lepas yang mengalun merdu. Pertama kalinya melihat bibir madu itu melengkung tulus. Menahan Ayana agar berhenti sejenak di barisan tumbuhan berkelopak warna merah. Jovic memetik tangkai yang baru mekar berukuran sedang dan sangat pas ketika disematkan di sisi telinga Ayana tanpa penolakan. "Aku merasa, jenis kelopak bunga camelia warna merah sangat cocok menggambarkan tentangmu." 

Dengan kinerja jantung yang meresahkan Ayana merinding menatap bola mata legam sipit milik Jovic. Ada yang berbeda dari pantulan bola matanya yang memancarkan ketertarikan. 

"Camelia merah melambangkan tentang cinta, gairah, dan keinginan seseorang yang mendalam," tutur Jovic sembari merunduk, wajah tampannya telah mendekat dan nyaris bersentuhan kedua ujung hidung mereka karena Ayana ikut mendongak. "Kalau kamu tidak keberatan, aku bisa menjadi kelopak hijau yang menopang mahkotamu. Kita akan tetap bersama-sama, sekalipun mahkota dan kelopakmu mati dan layu, kesetiaanku hanya untukmu," bisiknya menyentuh sebelah rahang gadis pemilik mata bertelaga jernih. Tepat saat kepala Jovic bergerak miring demi meraih keranuman bibir merekah, Ayana menghindar dengan mendahului langkah. 

"Jovic, bagaimana kamu bisa merawat tanaman ini dengan baik?" Sengaja Ayana membahas topik lain. 

Laki-laki yang tampak linglung pada penolakan barusan terlihat salah tingkah dengan menggaruk kening. "A-aku bukan lulusan pertanian, mana mungkin bisa melakukannya." 

Ayana menggigit pipi dalam merutuki pertanyaannya yang terdengar konyol. Laki-laki pemilik harta dan tahta pasti sangat mudah mempunyai pengurus lahan perkebunan pribadi. Ayana memasuki jalan setapak dengan posisi kanan-kiri diapit tanaman. 

Ia tak mau membuka obrolan lagi. Namun, tiba-tiba saja pandangan Ayana mengabur tanpa sebab. Ia memijat keningnya yang terasa pusing. Dengan sigap Jovic merengkuh dan membawanya menepi di sebuah kursi panjang di bawah pohon rindang. 

"Wajahmu pucat. Sebaiknya aku panggilkan dokter." 

"Tidak usah!" sergah Ayana. 

Kening Jovic berlipat memindai perubahan wajah Ayana. 

"Aku tidak apa-apa. Hanya kelelahan akhir-akhir ini." 

"Sungguh?" 

"Ya. Aku hanya perlu menghabiskan vitamin yang rutin diminum, pasti akan sehat lagi." 

Satu botol minuman isotonik yang tersedia baru saja Jovic buka tutupnya, lalu memberikan pada Ayana yang bersandar di kursi. 

"Terima kasih, Jo. Sebaiknya aku pulang dan istirahat di rumah," usul Ayana sambil mengelap bibir basah bekas minuman dengan punggung tangan. 

"Baiklah aku antar." 

Sekali lagi, Jovic menelisik guratan wajah cantik Ayana yang kuyu. Tanpa komando, kata-kata Edsel kembali terngiang. Ada rasa takut ketika tadi menawarkan diri memanggilkan dokter pribadi untuk memeriksa kondisi Ayana. 

Ketakutan mencekam menyelimutinya. Takut jika apa yang dikhawatirkan menjadi kabar buruk yang akan terungkap tanpa kesiapan hati. Walau semua yang terjadi akibat kebencian yang mendarah daging, tetap saja Jovic tidak siap menghadapi kenyataan pahit.

.

.

.

Berita Mengejutkan

Kalender duduk di atas meja belajar sejak tadi dipandangi. Fokus matanya pada tanggalan hari ini sambil menerka hitungan. Ayana mulai gelisah. Menggigiti bibir bawahnya, lalu mengembuskan napas panjang. Beranjak gusar, lantas berdiri pada cermin yang menempel di luar pintu lemari pakaian. 

Ayana mengangkat bajunya tepat di bagian perut yang baru disadarinya tampak cembung. Walau tidak kentara, tetapi tapak tangannya merasakan lengkungan pada perutnya. Ayana terlihat serius memperhatikan sampai suara ketukan pintu membuatnya terlonjak dan segera menutup perutnya.

"Ayana, kenapa lama sekali di dalam? Nanti kamu telat ke Florist, Nak!" 

Gadis itu langsung menarik tas selempang yang sudah tersedia di atas tempat tidur. Membuka pintu kamar dengan sambutan senyuman sang bibi. 

"Aku pikir Bibi sudah berangkat ke toko," terka Ayana seraya meraih wadah kotak berisi makan siang yang telah disiapkan untuk dimasukkan dalam tas.

"Agak siangan Bibi ke sana. Kemarin terlalu ramai karena banyak yang mempersiapkan tahun ajaran baru dengan membeli peralatan sekolah," jawab Bibi Riva. 

"Ya, benar, pasti ramai sekali. Maaf, Bi, aku belum bisa membantu di sana. Lusa ini aku libur. Jadi, seharian penuh akan jaga toko supaya Bibi bisa istirahat," janji Ayana antusias. 

"Tenang saja, walau sudah renta, tenaga Bibi masih sangat kuat!" seru Bibi Riva dengan gaya memamerkan otot lengannya. 

Pelukan erat Ayana persembahkan untuk sang bibi sebelum berpamitan. 

"Jangan lupa kalau sudah sampai langsung sarapan. Semangat!" 

Ayana mengangguk sembari ikut membalas dengan gaya kepalan tangan kemerdekaan, lalu melambaikan tangan keluar gerbang. Langkah kakinya mengarah ke jalan utama tempat angkutan umum. Namun, tiba-tiba saja malah memutar berlawanan arah menuju ojek pangkalan. 

Seorang wanita yang lebih dewasa usia darinya menawarkan jasa mengantar. Ayana segera menduduki jok penumpang dan mengatakan tujuannya. Roda dua matic hitam itu melesat dengan kecepatan sedang. Mengikuti instruksi Ayana sampai tiba di sebuah deretan ruko. 

"Terima kasih, Mbak," ucap Ayana sambil memberikan bayaran yang sudah dilebihkan dari tarif. 

Detak jantungnya berulah tiap kali berada di dekat tempat tersebut. Belum melangkah, tetapi rasa cemas sudah melilit keberaniannya. Pompaan aliran darah terasa kuat. Menciptakan rasa sakit ketika dentumannya semakin keras. 

Tingkat kecemasan yang melebihi ternyata berefek cepat. Kepala Ayana terasa berat dan cenat-cenut. Pandangannya mengabur dan akhirnya lambat laun berwarna gelap hingga tubuhnya meluruh tak sadarkan diri. Beruntung, sebelum tubuhnya menyentuh aspal, lengan kokoh nan kuat lebih dulu meraihnya. 

*** 

Entah berapa lama Ayana tak sadarkan diri. Yang jelas, ketika membuka mata, sebuah jam dinding klasik tepat di hadapannya telah menunjukkan lewat dari angka enam. Bola mata Ayana seperti ingin lepas menyadari dirinya hampir setengah hari berada di alam bawah sadar. 

"Tidak usah panik. Aku sudah bilang Lira kalau kamu tidak bisa datang ke Florist." 

Ayana menarik tali tas di atas nakas. Mengacak-acak dalamnya, tetapi tidak menemukan benda yang dicari. 

"Mencari ini?" 

Sontak Ayana bangkit hendak merebut benda pipih miliknya dari tangan kuat lelaki di depannya. Menyesal kenapa tidak menggunakan sandi ataupun pin agar tidak mudah dibajak. 

"Untuk sementara waktu, ponselmu aku sita." 

"Apa maksudmu? Jangan bertindak seolah kamu orang yang paling berpengaruh di hidupku," desis Ayana penuh penekanan. 

"Tentu saja, karena bagian dari nyawaku sedang berada di dalam perutmu." 

Kulit wajah Ayana langsung memucat. Sorot matanya terpancar ketakutan. "Edsel, apa maksud dari kata-katamu?" 

Sejenak, laki-laki berdagu maskulin itu menatap lekat wajah cantik Ayana yang terkesan takut-takut. 

"A-apa itu arti-nya ... aku--" 

"Hamil. Dan kupastikan janin itu adalah generasi penerusku," tandas Edsel bangga. 

Tawa serak seketika meluncur dari pita suara Ayana. "Apa begini caramu bersandiwara?" 

"Aku serius." Edsel membuka laci nakas, lantas memberikan sebuah kop surat berlogo klinik mandiri bersalin. "Kamu pikir saat aku menemukanmu pingsan di depan ruko apotek, aku langsung membawamu ke sini?" 

Ayana memindai ruangan yang didominasi warna abu-abu. Kamar yang sangat nyaman untuk ukuran laki-laki. "Ini di mana?" 

"Apartemen, tapi sebelumnya aku membawamu ke tempat seharusnya untuk pertolongan pertama." 

"Aku tidak mengerti," lirih Ayana menghindari kontak mata. 

"Aku sudah mendapat penjelasan langsung dari ahlinya supaya kamu tidak bisa menyangkal. Buka saja lembaran itu. Hasil pemeriksaan dokter obygn usia kandunganmu sudah berjalan 13 minggu." 

Bagai disambar petir berita mengejutkan itu didengar. Tubuhnya gemetar ketika membaca langsung kata demi kata. Apalagi saat Edsel memberikan sebuah buku warna pink ber-cover keluarga berencana yang akan merangkum jejak medis selama konsultasi. Lelaki itu membuka bagian halaman yang tersimpan print out hasil USG. Ayana cepat menutup mulutnya agar tidak histeris. 

"Tidak perlu khawatir. Dalam waktu dekat, kita akan menikah," cetus Edsel penuh keseriusan. 

Tak kuasa membendung, tangisan Ayana meraung kencang, tidak bisa berkata-kata lagi. Lidahnya seolah tersangkut di pangkal tenggorokan. Berbagai pikiran kusut mulai mencekal otaknya yang sedang carut marut memikirkan kelanjutan nasibnya. 

"Ayana." 

Ayana menepis tangan Edsel dari bahunya. Laki-laki itu tak menyerah malah beralih menangkup wajahnya yang bersimbah air mata. 

"Aku mencintamu, Ayana. Aku melakukannya bukan terpaksa atas dasar tanggung jawab pada kehamilanmu. Aku sudah menantikan momen ini sejak lama. Aku memang mengutuk perbuatanku yang lemah pada saat itu, tapi percayalah, semua kejadian yang dihadapi adalah takdir yang menyebabkan kita saling memiliki walau dengan cara yang salah," tutur Edsel sambil menyeka anak sungai yang mengalir. 

Kelopak mata Ayana terkatup. Dadanya terasa nyeri demi untuk menarik napas. Perlahan, Ayana menyingkirkan tapak tangan dari pipinya. "Aku mau pulang." 

"Aku tidak mengizinkanmu keluar dari sini, Ay," tolak Edsel tegas. 

Ayana berdecak seraya melirik tak suka. "Aku tidak memintamu mengambil alih tentang nasib janinku." 

"Ayana, please, jangan egois! Embrio yang ada di perutmu perlu masa depan cerah, dan itu harus melalui tangan ayah bioligisnya." Edsel menatap Ayana tanpa berkedip. "Suka tidak suka, kita akan tetap menikah. Cepat atau lambat, Bibi Riva harus mengetahuinya. Meski kecewa, aku yakin Bibimu akan merestui niat baikku." 

Tangan Ayana menghapus kasar curah hujan dari wajahnya. Genangan yang menganak sungai di pelupuk matanya Ayana singkirkan. "Kamu yakin sekali ini bayimu." 

Rahang pipi Edsel mengeras, perlahan menarik napas, lalu membuang kasar lewat mulutnya. "Dari perhitungannya, sangat jelas dia milikku. Ingatan dan perasaanku masih sangat tajam. Begitu juga dengan otak cantikmu yang dianugerahi kecerdasan dan daya ingat yang kuat bahwa akulah laki-laki pertama yang menyentuhmu." Edsel menyentuh kening Ayana yang berkerut penuh berbagai pikiran. "Kamu gadis baik-baik pilihan hatiku. Niatku tidak akan goyah hanya dengan alasan tidak masuk akal tentang janin yang kamu anggap bukan benihku," lanjutnya sarat akan kepemilikan. 

Kedua tapak tangan Ayana mengepal erat pada selimut yang bertumpu di bagian perutnya. Kertas hasil lab yang masih berada di tangannya pun ikut mengusut. 

"Sekarang kamu istirahat saja. Kondisimu masih cukup lemah. Untuk ukuran wanita hamil, HB darahmu sangat rendah, pantas saja kamu sering terlihat pucat, dan puncaknya hari ini kamu tumbang," ucap Edsel sembari mengelus pipi yang terasa lengket bekas air mata dengan punggung tangannya. "Setelah menghabiskan satu kantung infus, aku memaksa dokter kenalanku agar mengizinkanmu pulang dengan catatan aku harus siaga kalau sampai kamu drop lagi." 

"Tapi aku mau pulang, Ed. Nanti Bibi bisa cemas," rajuk Ayana memelas. 

Tatapan Edsel memindai seksama raut wajah sendu perempuan di depannya yang memasang wajah belas kasih. "Maaf, Ay, kamu tetap di sini. Aku sudah mengabarkan Bibi Riva melalui ponselmu bahwa tidak bisa pulang karena menginap di Florist mengejar laporan bulanan." 

Punggung Ayana bergetar, tangisnya kembali terdengar. Walau tidak tega, Edsel terpaksa melakukannya agar Ayana tidak bertindak di luar logika tentang janin yang Edsel tebak masih sulit Ayana terima kehadirannya karena mentalnya saat ini masih labil. 

"Maaf, keputusanku sudah bulat. Demi kebaikanmu dan buah hati kita." 

"Kenapa kamu jadi jahat, Ed?" 

"Justru aku sangat mencintai kalian berdua." 

Ayana mendengus, "Dengan kamu membawaku ke sini akan menimbulkan penilaian negatif tentangku yang menginap tanpa adanya ikatan." 

Edsel menahan tawa. "Di sini aman. Penghuni apartemen rata-rata bersifat individual dan enggan mencampuri urusan orang lain." 

Embusan napas lelah Ayana terdengar. Guratan air mukanya tampak kecewa. 

"Tidak perlu takut, kamar ini mutlak milikmu. Aku akan menempati sofa di ruang depan kalau itu yang kamu cemaskan," terka Edsel seolah tahu kekhawatiran Ayana. "Sekarang kamu lanjutkan istirahat saja. Aku akan datang lagi ketika makan malam sudah siap." 

Saat Edsel sudah berada di ambang pintu, Ayana memanggilnya. "Mengenai Bibi Riva, nanti aku saja yang berbicara dengannya." 

Mulut Edsel hendak terbuka, tapi dipangkas cepat oleh Ayana. 

"Aku mohon, Ed. Biarkan aku yang mengatakannya. Aku tidak mau Bibi terluka mendengar dari mulut orang lain." 

Permohonan Ayana sampai menembus ke dasar hatinya. Edsel tidak bisa membantah ataupun menolak ketika wajah manis itu mengiba. "Baiklah." 

Pintu tertutup rapat bersamaan tubuh atletis laki-laki bule yang menghilang di balik papan tinggi berwarna putih. Ayana membuang udara sesak dalam dada, lantas meraih dua lembar gambar hitam putih. Kilau matanya memendarkan rasa takjub memerhatikan hasil USG sambil mengelus perut. 

"Apakah ini akan jadi takdir kita?"

.

.

.

Memulangkan

"Maaf, Ayana sedang tidak ada di rumah," ucap Bibi Riva pada laki-laki berkaos oversize hitam. 

"Kira-kira ke mana, Bi?" 

"Ayana menginap di Florist. Anak itu terkadang tidak pulang kalau sedang banyak pekerjaan dan mengejar laporan," lanjut sang bibi menjelaskan. 

"Biasanya sampai berapa lama?" 

"Biasanya satu malam, tapi tadi Ayana mengabarkan lagi kalau malam ini juga tidak pulang karena ingin menemani dan membantu Lira. Walau hanya pegawai biasa, mereka berdua dipercaya Bu Sania dan dibolehkan menginap," tambah Bibi Riva. 

Raut wajah lelaki muda itu terlihat kecewa. 

"Mungkin Nak Jovic bisa temui Ayana ke Florist saja. Takutnya memang ada urusan penting yang ingin disampaikan," usul Bibi Riva. 

"Baiklah kalau begitu, saya permisi, Bi." 

"Nak Jovic tidak mau mampir?" tawar Bibi Riva mempersilakan masuk. 

"Lain kali saja, Bi, terima kasih," tolak Jovic seraya membungkuk sopan, lantas beranjak pergi. 

Ini adalah hari kedua Jovic tidak menemukan keberadaan Ayana. Kemarin, mungkin memaklumi jika saat bertandang rumah sederhana itu sangat sepi tanpa ada penghuninya karena mengira Ayana sedang berada di luar. Namun, kini jawaban pasti telah dikantongi. 

Berdasarkan informasi, Ayana menginap di Florist, tapi kenyataannya tidaklah benar. Ingin sekali Jovic mengadu jika sang cucu tidak ada di sana. Karena sebelum datang ke sini, Jovic sudah mendatangi toko bunga dan tidak menemukan gadis muda itu. 

Jovic merasa ada yang aneh. Jika Ayana bisa mengabari dan membalas pesan seluler Bibi Riva, kenapa pesan darinya selalu diabaikan? Bahkan ketika dihubungi selalu ditolak dan setelahnya tidak aktif. 

Entah berada di mana gadis buruannya saat ini. Sambil berkendara, otaknya terus menerka-nerka, tetapi tidak juga mendapati jawaban. Jovic juga sudah menghubungi Chika, dan jawaban gadis itu juga tidak membuatnya tenang karena intensitas pertemuan mereka hanya di kampus. 

"Ayana, kamu di mana?" gumamnya sembari memusatkan pandangan ke depan jalan. 

Dalam fokus melajukan roda empat, sepasang netra elang miliknya menangkap sosok lelaki yang baru saja keluar dari market dengan kedua tangan menenteng goody bag. Wajah pemuda berkemeja jeans terlihat berseri. Entah dorongan apa Jovic ikut menggerakkan kemudi mengikuti mobil di depannya. Dengan mengatur jarak sebagai stalker, akhirnya tujuannya tiba di sebuah hunian apartemen mewah. 

"Apa yang kamu lakukan di sini, Ed? Kamu tipikal anak penurut dan sangat menyayangi orang tua tunggalmu. Rasanya aneh, kamu memilih tinggal di gedung itu," gumamnya bertanya-tanya. 

Kecurigaan Jovic timbul dan tertuju pada laki-laki bule yang sudah lama menaruh hati pada Ayana. "Apa kamu dalang di balik persembunyian Ayana?" desisnya sembari mencengkeram lingkar kemudi. 

Dari kejauhan, sorot manik legam Jovic memicing tajam. Rahang pipinya mengeras oleh gesekan gigi. "Sepertinya kamu ingin mendahului start lagi," geramnya, lantas melanjutkan kembali perjalanannya dengan  rasa panas di dada. 

*** 

Kening Ayana berkerut melihat kedatangan laki-laki yang menenteng barang belanjaan kebutuhan harian. Mulai dari makanan berat, susu hamil dan camilan ringan. "Kenapa banyak sekali?" 

Edsel hanya tersenyum menanggapi sambil mengeluarkan isinya sebagian ke dalam lemari es modern. Setelah beres, ia menghampiri perempuan yang berdiri bersandar di dekat pantry

"Jangan katakan kalau kamu masih ingin mengurungku di sini?" terka Ayana. 

"Ya, semua demi kebaikanmu." 

"Jangan gila, Ed! Aku masih punya Bibi Riva! Beliau pasti akan curiga kalau aku tidak lagi pulang!" hardik Ayana melotot. 

"Kalau begitu izinkan aku melamarmu agar aku bisa tenang saat kamu jauh dariku," tukas Edsel serius. 

"Harus berapa kali aku katakan agar kamu mengerti? Tunggu aku menyiapkan hati dan mental mengatakannya pada Bibi. Tolong bersabarlah. Edsel yang kukenal laki-laki pengertian dan mengesampingkan ego," timpal Ayana tetap kekeh pada pendiriannya. 

Edsel membingkai kedua pundak Ayana. "Tenanglah, Ay. Aku hanya ingin keputusan mutlak atas diri kamu. Setelah mengetahui keadaanmu, aku sudah tidak sabar untuk segera memberitahu dunia bahwa aku akan menjadi laki-laki paling bahagia." Tangan Ayana diraih, lalu dikecup punggungnya. "Memilikimu sekaligus mendapat kado terindah dari Tuhan yang dititipkan melalui rahimmu." 

Perasaan terdalam Ayana menghangat. Tak menampik ungkapan penuh ketulusan mampu menembus dinding hatinya. Ayana juga yakin jika hidupnya akan terjamin bersama laki-laki yang pernah bergelar sahabat karibnya. 

"Tolong katakan padaku, bagaimana caranya agar kamu mau menerimaku tanpa pertimbangan rumit? Apa kekuranganku yang membuatmu ragu? Please, tell me?" bujuk Edsel penuh harapan. 

Kepala Ayana menoleh menghindari tatapan. Dari sudut matanya meluncur kristal bening. "Kamu sempurna, tidak ada yang meragukan. Hanya saja, keraguan itu ada pada diriku sendiri. Aku masih belum yakin kalau kamu tidak akan menyesal memilihku. Aku takut rasa yang kamu miliki hanya sebatas obsesi atau rasa penasaran saja sehingga mudah pudar sewaktu-waktu. Aku takut tidak siap saat hubungan yang kamu perjuangkan akan kandas di tengah jalan. Pada saat nanti aku sudah mulai menerima kehadiranmu, tapi kamu malah--" Kalimatnya terhenti oleh telunjuk panjang yang menempel di bibir mungilnya. 

"Rasa yang aku persembahkan bukanlah obsesi. Dari awal kita sama-sama menjadi mahasiswa, aku sudah memiliki ketertarikan padamu. Makanya saat aku tahu kamu bekerja paruh waktu di Florist milik ibuku, aku seperti mendapat angin segar karena diberi jalan mudah agar bisa lebih dekat denganmu. Hampir tiga tahun kita menjalin persahabatan. Dalam ikatan itu, mati-matian menekan rasa cintaku agar tidak gegabah mengutarakannya karena saking takutnya aku kehilangan kamu, Ay," terang Edsel mencurahkan isi hatinya. 

Denyut dada Ayana terasa ngilu. Bagaimana bisa laki-laki ini mencintainya sepenuh hati? Sedangkan hatinya sendiri masih gamang. Mungkin jika kejadian di puncak tempo hari tidak terjadi, Ayana akan lebih mudah menerima Edsel untuk bertanggung jawab. 

Nyatanya, kejadian menggelora terulang kembali dengan laki-laki yang berbeda. Ayana merasa jadi perempuan murahan karena begitu mudah terjerat oleh sentuhan laki-laki tanpa ikatan serius. 

"Ayana." 

"Edsel, aku mau pulang. Aku janji tidak akan bertindak bodoh. Aku akan menjaga diriku dan bayiku. Aku mohon." Ayana menangkupkan tangan di depan dada. Membujuk agar mau memulangkannya. "Apa kamu mau membuat aku mati tertekan?" 

"Tidak." 

"Kalau begitu, pulangkan aku." 

Tatapan mata Edsel lurus menyelami keteduhan bola mata bening wanitanya. Helaan napasnya berembus rendah. "Baiklah, nanti usai makan malam aku antar kamu pulang," imbuhnya dengan berat hati. 

"Sekarang saja!" desak Ayana. 

"Iya atau kamu mau lebih lama di sini?" Satu alis lebat Edsel menukik. Mau tak mau Ayana mengangguk patuh. "Good girl." 

Bibir Edsel mengulum senyum. Mulai sekarang ia harus sedikit lebih keras agar Ayana tidak menganggap apa yang dilakukannya hanya bualan kosong.

.

.

.

Pertanggungjawaban

Kembali ke rumah adalah sebuah kelegaan. Dua hari keadaan berjalan normal tanpa pengekangan. Ayana keluar dari dalam mengenakan kardigan warna emerald. Tangannya mengerat kedua sisi bahan rajut itu agar merapatkan bagian depannya. Melihat jam pada pergelangan tangan di angka delapan lewat cukup membuatnya lega. Malam belum terlalu terlalu larut untuk sekedar memenuhi keinginan perutnya. Masih ada waktu dua jam menunggu kepulangan Bibi Riva. 

Ayana memilih mengikuti hasrat yang tercipta dari sugesti tiba-tiba karena lidahnya mendadak begitu ingin mencicipi nasi goreng di perempatan jalan tak jauh dari rumahnya. Entahlah, sejak mengetahui kehamilannya, perutnya cepat sekali merasa lapar. Bersyukur tidak kewalahan merasakan mual yang sesekali mendera. 

Selagi menunggu antrian nasi goreng, Ayana duduk sembari memainkan ponsel. Ia memang memutuskan makan di tempat agar cita rasa kenikmatan lebih terasa. Hanya ada tiga orang saja yang sedang makan di stan tersebut. 

Ayana begitu fokus men-scroll layar canggih yang menyala. Saat penjual menyuguhkan pesanannya untuk segera dinikmati, bola mata Ayana melotot pada sosok yang sedang tersenyum lebar tepat di seberangnya, bahkan laki-laki itu juga mempunyai pesanan yang sama. 

"Singkirkan ponselmu, Ayana. Waktunya kita makan." 

"Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanyanya bingung. 

"Kenapa? Ini stan makanan umum. Memangnya hanya dikhususkan buatmu?" 

"Bu-bukan begitu, Jo. Aku hanya kaget kenapa bisa kamu ada di sini?" Ayana mulai gugup. 

"Justru sebaliknya. Aku yang dibuat kaget oleh kehadiranmu di sini. Ini sudah malam, kenapa masih keliaran?" balas Jovic mengintimidasi dengan satu alisnya naik. 

Terdengar helaan napas kasar. Pipi Ayana menggembung dan raut wajahnya kesal. "Kamu sendiri kenapa keliaran di sini?" 

"Kenapa? Aku ini laki-laki bebas." 

Tak ingin meladeni lagi, Ayana memilih menikmati porsi makannya selagi hangat. Jovic juga melakukan hal yang sama. Menyendok makanan nusantara itu ke dalam mulutnya. 

"Dua malam aku keliaran mencarimu. Aku pikir kamu sengaja menghindar. Bersyukur malam ini mendapat kesempatan dengan pertemuan kita di sini," celoteh Jovic usai menelan makanannya. 

Ayana hanya merespons dengan deheman dan anggukan kepala. 

"Entah kenapa saat melewati jalan ini aku tiba-tiba saja ingin mencicipi olahan penjual itu," imbuh Jovic menunjuk dengan dagunya. Ad bapak-bapak yang sedang sibuk memasak untuk pelanggan. "Padahal aku hanya tinggal sebentar ke sana. Tidak menyangka saat pesananku siap ada kamu yang menemaniku makan," lanjutnya dengan telunjuk mengarah pada sebuah warung kecil di pinggir jalan, lalu menatap lekat wajah Ayana memilih fokus pada menu makanannya. 

"Maaf, aku tidak akan menimpali. Bibiku bilang kalau sedang makan dilarang berbicara," sahutnya ketus. 

Tawa sumbang Jovic mengalun, lantas mengikuti apa yang dilakukan perempuan di depannya. Tak lama porsi di atas piring telah kosong dan berpindah ke dalam kantung perutnya. Jovic bergerak cepat membayar menu pesanan mereka saat Ayana bersiap beranjak. 

"Terima kasih traktiran makan malamnya." Ayana langsung beranjak tanpa menunggu respons Jovic, tetapi lengannya lebih dulu dicekal sebelum menjauh. 

"Ikut aku!" 

"Jovic, ini sudah malam. Mengertilah." Ayana berusaha melepas lingkar tangan di lengannya, tapi lelaki itu justru mencekalnya. 

"Sebentar saja, Ay. Please ..." 

Melihat raut wajah memelas itu membuat Ayana bimbang. Ditambah beberapa pasang mata pembeli yang berada di sana seperti tengah menyimak percakapannya. Terpaksa Ayana mengangguk dan menerima helm yang disodorkan. 

"Mau ke mana?" tanya Ayana curiga ketika sudah naik di jok belakang. 

"Tenang saja, aku tidak akan menculikmu," kekeh Jovic, lalu menarik gas roda duanya. 

*** 

Walau Ayana sudah berusaha melepas tautan jemarinya, Jovic justru mengeratkan genggaman. Jari kokohnya mengisi celah jemari Ayana. Sejak tiba di sebuah taman Ibukota yang berjarak hanya 15 menit, Jovic melakukan hal itu. Ayana tak diberi kesempatan untuk menjauh darinya. Dan hampir sepuluh menit mereka duduk di depan air mancur yang menyala indah, suara manly itu tidak juga terdengar. Namun, Ayana tetap tidak bisa menyingkirkan tapak tangan kuat yang membungkus jemarinya. 

"Kalau hanya ingin melihat air mancur lebih baik aku pulang," cetus Ayana jengah. Saat hendak berdiri, ia merasakan jemarinya diremas lembut. Pandangan Ayana memusat pada tangan mereka yang menyatu. 

"Ikutlah bersamaku." 

Kening Ayana mengerut pada lontaran kalimat singkat yang menurutnya ambigu. 

"Ayana, aku ingin bertanggung jawab padamu. Dimulai dari tindakan tidak senonoh yang dulu berulang kali aku perbuat saat di kampus, sampai yang terakhir kali kita lakukan di puncak. Aku sadar telah merenggut semuanya," aku Jovic tegas. Cahaya berpijar dari dalam manik hitam yang terpantul lampu taman membuat Ayana takut memandangnya. 

"Dalam kesadaran tinggi otakmu pasti mengingatnya bahwa kamu bukanlah yang pertama. Tidak seharusnya kamu menawarkan diri menjadi penutup cacat yang sudah koyak sejak awal," jawab Ayana pelan tersenyum kecut. 

"Seperti yang pernah aku katakan padamu--bukan hal yang serius." Jovic mendekatkan wajahnya, tapi Ayana cepat menghindar melempar pandangan ke arah lain. "Apa hatimu sudah yakin menerima dia yang telah merusak masa depanmu?" 

Sontak Ayana membalas tatapan tajam itu dengan kaca-kaca yang telah mengembun dan siap meluncur deras. 

"Hanya karena dia laki-laki pertama, lantas kamu memilihnya begitu saja? Jangan naif, Ay. Sebuah hubungan panjang dalam naungan berkat Tuhan tidak akan bisa berjalan lancar kalau hanya berlandaskan prinsip kolot itu," tandas Jovic mempengaruhi kelabilan Ayana. "Kamu pasti tidak lupa, kalau dia masih memiliki orang tua tunggal yang tidak akan mudah memberikan restu?" 

Butiran bening akhirnya tumpah tanpa bisa dicegah. Meski sudah Ayana seka, tetap saja telaga beningnya terus mengalir. 

"Selama kalian bersahabat, apa kamu tahu siapa sebenarnya Edsel? Apa kamu pikir kekayaan dia hanya sebatas anak dari pemilik toko bunga tempatmu bekerja?" cecar Jovic kian membuat Ayana terisak. "Sahabatmu adalah pewaris tunggal Oz Company. Sebuah perusahaan berskala asing yang berkembang pesat di dalam negeri. Aku rasa Tante Sania akan menentang. Tidak akan memudahkan putranya membawamu ke istananya," lanjutnya mengendikan bahu. 

Bibir mungil Ayana bergetar ingin membuka suara. Namun, lidahnya terasa kelu tidak bisa bergerak. Ayana bungkam seribu bahasa mendengar kenyataan baru mengenai laki-laki yang menjadi ayah biologis janinnya. 

Tentu saja Ayana membenarkan pernyataan Jovic mengenai wanita cantik paruh baya ras kaukasoid itu yang menjadi atasannya. Sebaik apa pun Sania, pasti menginginkan pendamping putranya yang berkelas dan setara kekayaannya. 

"Edsel sengaja merahasiakan jati dirinya agar lebih mudah mendekatimu. Dia tahu kamu menghindari laki-laki yang memiliki kekuasaan--seperti aku yang kamu tolak mentah-mentah." 

Ayana masih terisak sesenggukan. Faktanya, ketulusan yang dianggap apa adanya dari sahabat yang mengaku mencintainya hanyalah sebuah modus. Kamuflase yang ditampilkan ternyata berhasil membuatnya kagum pada sosok Edsel yang bersahaja. "Jadi dia menipuku?" lirihnya bergetar. 

"Yah, bisa dikatakan begitu." 

"Tidak ada bedanya denganmu." 

Tak terima atas tuduhan itu, Jovic menjepit dagu tirus Ayana agar bertemu tatap dengannya. "Setidaknya aku tidak menutupi tentang jati diriku saat aku mendekatimu. Sebagai yatim piatu tidak akan ada yang menentang keputusanku. Kesalahanku hanya terlalu egois memaksakan kehendak. Tidak seperti dia yang menggunakan topeng untuk mengambil hatimu." Telinga Ayana didekati. "Aku jelas lebih baik, tidak memanfaatkan kesadaranmu saat melakukan penyatuan." 

"Jovic, cukup! Jangan diteruskan!" Ayana mengangkat satu tangannya yang bebas. 

"Ikutlah denganku, Ayana. Setelah wisuda, aku akan membawamu pergi dan membuang segala kenangan buruk di sini." Satu tangan Ayana yang masih berada dalam genggaman dibawa ke bibirnya. Mengecup lembut punggung tangannya. "Kita akan menata hidup baru di Seoul." 

"Tidak semudah itu. Kamu tidak tahu apa yang saat ini aku--" 

"Aku tidak peduli!" sela Jovic tegas. "Kamu cukup menerimaku dan aku akan menjamin ketenteraman hidupmu!" tambahnya sungguh-sungguh. 

"Aku ..." 

"Tidak perlu terburu-buru menjawabnya. Masih ada waktu sampai kita wisuda." 

Tangisan Ayana mulai mereda. Sesak dalam dadanya telah menguar. Ia tidak mau terlalu stres memikirkan tentang apa pun--termasuk tekanan mental yang baru saja dihadapi. 

"Aku lelah, tolong antar aku pulang." 

Jovic mengusap pipi Ayana yang terasa lengket sisa air mata, kemudian bangkit lebih dulu--mengulurkan tangan membantunya berdiri. Sebelum benar-benar melangkah, Jovic berbisik di telinga Ayana hingga tubuh gadis itu memaku di tempat. 

"Jangan pernah menolakku hanya karena sesuatu yang terdesak. Bagaimanapun kondisimu, aku tidak akan mempermasalahkan. Sekalipun harus membawa bagian dari dirinya, aku akan menerimanya dengan senang hati."


.

.
 

.

Menuruti Permintaan

Di depan cermin hias Ayana melamun. Tangannya memang bergerak menyisiri rambutnya yang basah, sedangkan pikirannya tengah mengawang jauh ke antah berantah. 

Putaran video seolah berputar-putar di atas kepalanya. Sebuah tanggung jawab dalam waktu berdekatan diajukan padanya. Edsel yang mencintainya dan Jovic yang telah menyesal pada arogansinya. Namun, mereka sama-sama memintanya dengan cara memaksa. 

Tak terasa tetesan bening jatuh ke pipi. Menyadari hal itu, Ayana cepat menghapusnya. "Untuk apa menangis, Ayana? Air matamu tidak akan berguna kalau untuk mengatakan penyesalan. Kamu terlalu naif pada perasaanmu. Kamu layaknya perempuan serakah yang bermain api pada dua laki-laki sekaligus," ejeknya pada dirinya sendiri lewat pantulan cermin hias. 

Satu tangan Ayana bergerak menyentuh bagian wajahnya yang berada dalam cermin. Bola matanya memerah oleh pertahanan air mata yang dibentengi agar tidak tumpah. Pelan tapi pasti, tatapannya tampak kosong--tidak ada titik fokusnya. 

Lamunan yang dipenuhi banyak pertimbangan tanpa adanya keputusan akurat teralihkan oleh panggilan bersamaan ketukan pintu. Mendesah napas panjang, Ayana sudah menebak seseorang yang bertandang ke rumahnya. Dengan langkah gontai ia keluar kamar menuju ruang tamu. 

Sebuah senyuman lebar menyambut kala pintu terbuka. Tangan lelaki itu menenteng sebuah paper bag. Lengkungan garis bibirnya kembali datar melihat raut wajah mendung yang tercetak jelas dari mata dan hidung Ayana yang memerah. 

"Kamu menangis?" 

Kepala Ayana menggeleng pelan. 

"Kamu tidak bisa membohongiku, Ay." 

"Aku baru bangun tidur, Ed. Kaget karena dengar suara ketukan pintu yang tidak beradab. Harusnya kamu langsung pulang karena lama tidak ada jawaban dari dalam," sungut Ayana berbohong. 

Bibir Edsel menipis melihat perubahan air muka sendu Ayana menjadi ketus. Tanpa menunggu tawaran masuk, ia mendahului masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa tunggal seraya meletakkan barang bawaannya di meja tamu. Ayana hanya mendengus, lalu mengambil posisi duduk di kursi panjang. 

"Aku membawakan menu makan siang sehat untukmu dan bayiku," ucapnya semringah sambil mengeluarkan boks berisi makanan. 

"Harusnya kamu tidak perlu repot-repot." 

"Ini simpel." 

"Apa kamu tidak percaya aku bisa menjaga diri dan bayiku?" 

"Bukan begitu. Kebetulan aku baru saja pulang dari Florist dan lewat sini ingin mencari makan siang. Jadi kuputuskan saja makan siang bersama calon--" 

"Bagaimana kalau kita langsung makan saja?" putus Ayana. "Aroma menu dalam boks itu sepertinya sangat lezat," tukasnya memandangi bungkusan di atas meja. 

Edsel membuka tutup boks berisi menu launch mereka. Senyumnya mengembang melihat antusias Ayana memakan menu yang dibawakan. "Enak?" tanyanya sembari menyeka sudut bibir Ayana yang berminyak. 

"Ayam filletnya sangat lembut. Entah pakai racikan apa sampai terasa lumer di mulut," sahut Ayana tampak takjub dengan cita rasa menu olahan tersebut. "Saus menteganya juga enak sekali." 

"Hei, Baby, ternyata kamu menyukainya." Dengan berani Edsel menyentuh perut Ayana dari luar pakaian. "Kalau ayah sudah menikahi ibumu, kita bisa kapan saja berwisata kuliner ke restoran recomended." 

Kunyahan mulut Ayana memelan. Ia meraih botol air mineral guna mendorong makanan yang entah mengapa sulit dihaluskan. Bahkan tenggorokannya terasa berserat. 

"Saat mengetahui kehamilanmu, aku tidak bisa menutup mata dan berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Jiwa seorang ayah muncul begitu saja di sini," kata Edsel sembari menyentuh dada bidangnya. "Kebahagiaan yang aku rasakan tidak bisa ditakar, bahkan aku ingin sekali waktu berjalan cepat agar perutmu cepat membesar dengan status kita—“

"Edsel," sela Ayana. Sendok di tangannya ia letakkan begitu saja dalam boks yang masih bersisa setengah porsi. "Aku rasa bulan depan perutku belum mengalami perubahan bentuk yang mencolok." 

Senyuman Edsel yang sedari tadi menggelayut cerah mendadak muram melihat gelagat Ayana. "Lalu?" 

"Apalagi saat memakai atribut wisuda, pasti tidak akan ada yang menyadari kalau aku berbadan dua," tukas Ayana dengan senyum dipaksakan. 

"Katakan saja apa maksudmu, Ay." 

Menyadari perubahan sikap Edsel dari nada bicaranya, Ayana memutuskan berterus terang. "Maaf, sepertinya aku akan berkata jujur dengan Bibi Riva kalau kita sudah wisuda." Melihat guratan kecewa dari lelaki blasteran itu Ayana cepat-cepat meneruskan, "Jangan khawatir, mau kapan pun aku mengaku, kamu adalah ayah biologis janinku. Aku pikir, kebahagiaan bibi saat aku wisuda jauh lebih sempurna tanpa ada kekecewaan mengenai perihal hamil di luar nikah," lirihnya menggigit bibir bawah. Kepalanya menunduk dalam seraya meremas jemari tangan yang saling mengait. 

Edsel sudah berpindah posisi tanpa Ayana sadari. Lelaki itu telah berada di sampingnya duduk di sofa panjang yang sama. "Sebenarnya aku tidak setuju. Itu masih terlalu lama." 

"Tidak sampai satu bulan, Ed." 

"Menurutku itu sudah sangat lama. Mungkin buatmu waktu itu memang singkat, tapi bagiku yang telah begitu lama menantikan momen berharga itu sangatlah lambat," sungut Edsel. 

"Aku hanya minta pengertianmu. 

"Apa tidak ada pilihan lain lagi?" 

"Maaf." 

Helaan napas berat Edsel keluarkan, satu tangannya menangkup rahang pipi Ayana dengan jemari yang menjalari leher, dan satunya lagi menumpuk jemari Ayana yang saling meremas. Pandangan manik cokelatnya meredup ketika saling bertatapan dalam diam. 

Perlahan, Edsel merundukkan wajah hingga ujung hidung keduanya menempel. Tak sanggup berlama memusatkan pandangan pada bibir meranum yang bercelah, Edsel menempelkan bibirnya. Menggigit bibir bawah Ayana agar celahnya kian terbuka. Ciuman lembut Ayana rasakan sepenuh hati. Bibirnya tetap pasif dan pasrah menerima perlakuan gerakan Edsel yang lama-lama semakin menuntut. 

Jari-jemari Edsel menelusup ke rambut belakang Ayana--meremas dan menarik lembut hingga kepalanya mendongak dan memudahkan lelaki itu mencumbui leher jenjangnya. Namun, saat dirasa lidah lunak itu menyesap kulitnya, Ayana menyentak. Lenguhan protes terdengar saat dada padatnya didorong kuat. Kedua tangan Ayana masih menekan memberi jarak. 

Wajah cantiknya merah merona, bhkan embusan napasnya bergemuruh. Detik itu juga Edsel menyadari jika nyaris saja hasratnya lepas kendali. Pertahanan dirinya yang selama ini bagai beton kuat begitu mudah diluruhkan. Edsel tak bisa lagi meredam perasaannya. Perlahan, ibu jarinya mengusap bibir Ayana yang basah bekas ciumannya. 

"Kali ini aku turuti permintaanmu, tapi ingat, kalau kamu masih mengulur waktu, aku lebih memilih langkah cepat untuk segera menjadikanmu milikku--seutuhnya."

.

.

.

Perdebatan Sengit

Usai menutup sambungan seluler, Edsel hendak keluar dari kendaraannya. Ketika menutup pintu dan berbalik badan, kerah bajunya dicengkeram kuat. Lehernya nyaris tercekik karena tekanan yang dirasakan cukup kuat. 

"Jangan gunakan cara kotor lagi untuk merebut Ayana!" hardik Jovic penuh tekanan. 

Melihat netra pekat yang menyala-nyala kobaran api tidak membuatnya gentar sedikit pun. Edsel justru membalas tatapan bengis itu dengan santai. 

"Cara kotor?" decih Edsel membalas dengan tatapan mengejek. 

"Jangan pikir aku tidak tahu, beberapa hari yang lalu kamu menyekapnya agar tujuanmu tercapai." 

"So?" Satu alis lebat Edsel terangkat. 

"Harusnya Ayana sadar kalau sahabatnya tidak sebaik dugaannya!" pekik Jovic mendorong tubuh atlestis blasteran hingga punggungnya menubruk pintu mobil. 

"Aku tidak menyekapnya. Sekarang Ayana menjadi tanggung jawabku penuh, sudah sewajarnya aku melindunginya. Terutama dari bedebah macam kamu," cibir Edsel sembari merapikan bagian kerah bajunya. 

Jovic berdecih, "Melindungi? Memanfaatkan lebih tepatnya." 

"Memanfaatkan keadaan jauh lebih baik daripada membuang kesempatan emas yang sudah ada di depan mata," balas Edsel menyeringai. "Kalah berperang hanya karena besarnya egois, nyatanya malah membuatmu nelangsa tanpa luka berdarah," lanjutnya mencemooh. 

"Bangsat!" 

Tangan Edsel lebih dulu menahan lengan Jovic. Sehingga kepalan tinju itu tidak mengenai wajahnya. Mereka saling bertatapan permusuhan dan bersinggungan kemauan. 

"Mulai detik ini, jauhi Ayana! Dia telah memilihku, jadi sudah tidak ada kesempatan lagi untuk laki-laki mana pun termasuk kamu ... Jovic Lee Tristan." 

*** 

Hampir tengah hari Ayana masih betah berada dalam kamar. Hanya ia sendirian karena Bibi Riva sudah berangkat ke toko kelontong. Tidak ada kegiatan yang dilakukan nyatanya membuat Ayana dilanda rasa bosan. Gegas ia mengganti baju dan untuk bersiap-siap ke Florist. Meski semalam Edsel mengatakan tidak perlu datang bekerja, tetapi Ayana merindukan celotehan Lira dan memutuskan ke toko bunga. 

Dengan menggunakan jasa ojek online, Ayana tiba tepat di depan pelataran. Mendengar kegaduhan di samping bangunan, rasa penasarannya mengajak kakinya untuk melihat situasi. Bola matanya melebar ketika mendapati dua laki-laki tengah berseteru. Bukannya melerai, Ayana justru bersembunyi agar tidak terlihat. Adu argumen yang menjadi pemicu adu kekerasan justru membuat Ayana tertarik mencuri dengar. 

"Mulai detik ini, jauhi Ayana! Dia telah memilihku, jadi sudah tidak ada kesempatan lagi untuk laki-laki mana pun termasuk kamu ... Jovic Lee Tristan." 

"Kamu terlalu percaya diri, Ed. Ayana tidak akan memilih laki-laki yang telah merusak masa depannya," ejek Jovic dengan satu alis menjulang. 

"Suatu keharusan Ayana menerimaku, karena di antara kami ada pengikat kuat yang tidak akan bisa dipisahkan oleh siapa pun. Termasuk kamu, Jo. Lebih baik kamu cari target lain saja kalau ingin dijadikan mainan. Aku tidak akan membiarkan Ayana menjadi korban keegoisanmu. Rasa bencimu cukup kamu luapkan padaku. Dia terlalu berharga untuk kamu jadikan pelampiasan kepergian Cherry." Edsel menatap sendu. "Aku juga merasa kehilangannya. Semua salahku, Ayana tidak ada sangkut pautnya. Jangan hanya karena aku mencintai Ayana, lantas kamu menjadikannya alat. Aku harap kamu tidak menjadi pengecut dan hubungan persahabatan kita bisa terjalin lagi dengan baik. Sampai kapan pun, kamu tetap sahabat terbaikku. Banyak waktu yang telah kita habiskan sedari kecil. Cherry pasti sedih melihat persahabatan kita yang semakin memanas tanpa adanya kesempatan saling memaafkan," imbuhnya panjang lebar. 

Tulang rahang pipi Jovic mengeras. Pertanda bahwa lelaki itu sedang berusaha menekan lahar panas dalam dirinya. "Hebat sekali petuahmu. Seolah-olah kamu yang paling benar dan menjadi korban. Harusnya kamu berkaca diri, Cherry pergi itu gara-gara kamu, Ed! Sikap kamu yang sok baik dan sok perhatian tapi isinya nol besar. Omong kosong hanya demi menjaga perasaan tanpa mau tahu kalau hatinya terluka parah atas perlakuanmu yang tidak pernah menganggapnya ada," geramnya penuh amarah. 

"Perasaan tidak bisa dipaksakan. Aku dan Cherry hanya--" 

"Diam!" bentak Jovic. "Seluruh jiwa raganya telah dipersembahkan untukmu, dia sampai tidak mempedulikan perasaannya asal kamu menerimanya," bisiknya serak. 

Edsel membuang napas kasar, lalu kembali berkata, "Harusnya saat itu kamu lebih berani mengungkapkan perasaan agar kita tidak terjebak labirin cinta yang rumit, tapi kamu hanya keras di luar saja, jika menyangkut urusan hati kamu terlalu lemah dan banyak pertimbangan. Cherry tidak akan gegabah kalau kamu lebih lantang jujur dan tidak menyimpan saja!" rutuknya menatap nanar. 

"Mana mungkin aku bisa mengatakannya, sedangkan tiap kami berbicara yang selalu menjadi bahasannya adalah kamu!" balas Jovic setengah berteriak. Gemuruh dadanya terlihat naik turun penuh emosi. 

Edsel berdecih, "Kamu terlalu melankolis, Jo. Bukannya berjuang keras, malah pasrah pada keadaan. Karakter seperti itulah yang akan selalu membuatmu kehilangan cinta." Ia melangkah menyentuh satu pundak Jovic. "Kalau kamu ingin merebut Ayana hanya untuk menuntaskan kebencian, aku tidak akan tinggal diam. Kalau memang tali persahabatan kita tidak akan bisa tersambung lagi, aku rela. Karena Ayana telah menjadi bagian hidupku, bahkan dalam tubuhnya tersimpan kehidupan baru yang akan menjadi pelengkap kesempurnaan hubungan kami," tuturnya diselingi senyuman. 

Detak jantung Jovic seperti berhenti berdetak. Takut dan cemas meremas sanubarinya. "Apa maksudmu?" 

"Ayana hamil." 

Sontak Jovic menatap nyalang, aura wajahnya menegang. 

"Aku mohon, jangan ganggu Ayana lagi. Aku tidak mau kehadiranmu berdampak pada kondisi janinnya. Dalam waktu dekat, aku akan menikahinya," tukas Edsel penuh keseriusan. 

Kepala Jovic menoleh menghindari tatapan. Kedua tangannya mengepal erat tanpa ada satu kata pun terucap. Dugaannya telah terbukti. Sesuatu yang ditakutkan terjadi. Kenyataan telak bahwa kekalahan selalu diraihnya dan lagi-lagi Edsel yang menjadi pemenangnya. 

"Yakin sekali itu benihmu?" 

"Ayana bukan perempuan sembarangan. Akulah laki-laki pertama yang menyentuhnya. Usia janinnya sesuai dengan perhitungan saat kami melakukannya." 

Jovic tersenyum getir. Bibirnya mengatup rapat tidak mampu lagi membalas argumen ataupun memberikan penyangkalan. Terlalu naif jika mengakui janin itu miliknya mengingat kejadian panas di puncak belumlah lama. 

"Ayana akan bahagia bersamaku," ucap Edsel tersenyum. 

Jovic menepis kasar tangan Edsel dari pundaknya. Tanpa kata ia melangkah pergi menuju roda empat yang terparkir di seberang jalan. Edsel mengembuskan napas berat ketika kendaraan yang dipandanginya melaju cepat, lantas berbalik badan memasuki Florist lewat pintu samping. 

Tanpa ada yang mengetahui, Ayana masih mematung pada posisinya. Satu tangannya menutup mulut dan satunya lagi meremas dadanya yang berdenyut nyeri. "Kalian berengsek."

.

.



.j

 

Menyusun Rencana

Air mata Ayana tumpah meruah. Satu boks tisu tepat berada di depannya. Entah sudah menghabiskan berapa lembar untuk menyusut anak sungai yang mengalir deras. Sesak dalam dadanya kian mengimpit jika mengingat percakapan dua laki-laki bedebah tadi hingga Ayana mengurungkan niat masuk ke toko bunga dan memilih kembali ke rumah. 

Ayana baru sadar jika dirinya hanya dijadikan objek para pengecut itu untuk sebuah obsesi. Dua orang itu tak lebih hanya menjadikannya boneka kesenangan untuk meraih tujuan masing-masing. 

Raungan tak bisa ditahan lagi. Bantal dan selimut bercecer di lantai sebagai luapan kemarahan. Dalam ruangan menggema isak tangis menyayat hati. Seberapa kuat Ayana menekan dada, rasa sesak itu tak kunjung hilang. 

"Kenapa aku begitu bodoh tidak menyadarinya kalau mereka sudah saling mengenal sejak lama. Ternyata Jovic sengaja pindah kampus hanya untuk menjadikanku alat sebagai misi balas dendamnya. Dan semua pengakuan cinta Edsel cuma untuk menunjukkan betapa hebat dirinya," desisnya meremas kuat seprai dalam kepalan tangan. 

"Cherry ... jadi, karena perempuan itu kalian mempermainkanku? Menyedihkan sekali nasibku," gumamnya getir. 

Di saat tengah meratapi nasibnya, Ayana dikejutkan suara ketukan pintu dari luar rumah. Buru-buru menyusut sisa air mata dan bergegas mencuci muka menemui seseorang yang masih saja mengetuk pintu depannya. 

"Maaf, Bibi mengganggu waktu istirahatmu," ucap Bibi Riva seraya mengusap puncak kepala Ayana. 

"Tidak apa-apa, Bi. Aku justru senang bibi pulang lebih cepat." 

Dua kantong kresek putih berisi makanan Bibi Riva letakkan di atas meja makan. "Akhir-akhir ini kenapa kamu jarang ke Florist?" 

"Ah, itu karena ... sedang dalam renovasi. Ibu Sania ingin menata ulang dekorasinya," bohong Ayana. 

"Begitu. Bibi pikir kamu sudah tidak betah bekerja di sana." 

"Tapi aku memang berencana resign. Makanya selagi libur, aku mengirimkan beberapa CV lowongan pekerjaan. Siapa tahu beruntung," tukas Ayana semringah. 

Bibi Riva mengambil piring untuk mereka, lalu mengajak Ayana duduk di kursi makan di sebelahnya. "Tiga minggu lagi wisuda, kan?" 

"Iya, Bi." 

Punggung tangan Ayana diusap lembut. "Rasanya tidak percaya bahwa Bibi bisa melihatmu lulus dari kampus ternama itu. Selain memang kecerdasanmu yang membawamu ke sana, kamu juga pekerja keras." 

"Semua tidak akan mudah kuraih tanpa pengorbanan Bibi yang sejak kecil banting tulang demi biaya pendidikanku." Ayana meraih tangan ringkih itu, lalu menempelkan ke pipinya. "Tangan ini sangat tangguh. Banyak kasih sayang dan perjuangan yang telah Bibi persembahkan untukku. Maaf, aku belum bisa membalasnya. Menukar dengan nyawaku sekalipun rasanya tidak akan cukup," tambahnya bersedih. 

Tetesan bening di pipi Ayana diseka oleh jari sang bibi. "Sudah kewajiban Bibi. Kamu tidak perlu membalasnya. Melihatmu bahagia mengejar masa depan sudah cukup membuat Bibi bahagia." 

Tangis Ayana pecah. Menarik pundak wanita paruh baya itu dalam rengkuhan. Menangis tersedu-sedu karena tidak bisa mewujudkan harapan sang bibi. Ayana mengerdil, tidak mampu berucap mengenai kehamilannya, sedangkan sang bibi begitu menaruh harapan pada masa depannya. 

"Bi, bagaimana akhir pekan ini kita kembali ke desa?" tanya Ayana setelah melepas pelukan. Jemarinya menyusut bekas air mata yang menempel di wajah. 

"Kenapa tidak menunggu setelah kamu wisuda saja?" 

Kepala Ayana menggeleng, "Terlalu lama. Aku sudah sangat rindu kampung halaman. Main di sungai belakang rumah kita yang sangat jernih. Hitung-hitung me-refresh otak setelah kemarin panas oleh tugas skripsi," rajuknya manja. 

Telunjuk Bibi Riva mengetuk-ngetuk dagunya. Keningnya mengerut seakan sedang berpikir keras. 

"Ayolah, Bi. Temani aku. Bibi enak beberapa waktu lalu sudah sempat pulang," rayunya mengerlingkan mata sambil menggelayut manja di lengan sang bibi. 

Melihat hal demikian membuat hati sang bibi tergugah. Bibirnya melengkung sempurna memamerkan deretan giginya yang rapi. "Buat keponakan satu-satunya pasti bibi kabulkan." 

"Yeay! Terima kasih, Bi!" seru Ayana menubruk tubuh kurus Bibi Riva. 

"Nah, sekarang waktunya kita makan!" 

Ayana menerima piring berisi makanan dari sang bibi. Dalam senyuman, pikirannya tengah menyusun rencana. Desa adalah tempat ternyaman untuk menenteramkan hati. Berharap, di sana akan menemukan kedamaian dari carut-marut kejahatan Ibukota. 

*** 

Sebuah batu nisan dengan hiasan buket bunga camelia putih tengah diratapi. Raut wajah angkuh dari wajahnya tampak kuyu. Yang terlihat hanya kesedihan dari garis wajah asia yang menatap nanar pada gundukan tanah. 

"Maaf, aku baru sempat mengunjungimu lagi." 

Rumput-rumput yang tumbuh rapi menutupi di atas pusara disentuhnya dari posisi atas sampai ke bawah, lalu kembali lagi ke atas. 

"Dia sudah melupakanmu. Ternyata hatinya memang tidak pernah terpatri namamu. Ah, kenapa dulu kamu begitu bodoh mencintai laki-laki bule itu?" Suara seraknya terdengar lirih. 

Tangan kokohnya mengusap batu nisan. Bibirnya berkerut menahan pilu di dada. "Apa kamu memberiku kutukan agar selalu kalah dengannya?" 

Mendongakkan kepalanya demi mengurai rasa sesak. Napas kasar diembuskan, lalu kembali memandangi makam yang selalu terawat. "Tapi kali ini aku tidak akan mundur dengan mudah. Dia harus merasakan luka tak berdarah yang sulit diobati. Seperti kamu yang akhirnya memilih menyerah." 

Ditatapnya lamat-lamat peristirahatan terakhir itu dengan nyeri ulu hati. Jovic membasahi bibirnya yang kering sebelum mengecup sudut nisan, lantas melangkah gontai meninggalkan area pemakaman. 

Di dalam mobil yang terpakir, ia belum berniat melajukan kemudi. Pikirannya penuh dengan bayang-bayang gadis yang telah meluluhlantakkan akal sehatnya. Kekalahan telak ini enggan diterima. Bagaimanapun gadis yang sedang mengandung benih laki-laki sialan itu harus menjadi miliknya. Jika ditolak, penculikan adalah jalan akhir yang ditempuh. 

"Ayana, kamu hanya milikku. Kita akan menjadi saksi kehancuran hidupnya." 

*** 

Kalender duduk di meja belajarnya dilingkari sesuai rencana. Hanya berselang satu hari usai graduation digelar. Permukaan bibirnya menipis membayangkan waktu itu tiba. Susunan rencana indah tengah bersiap untuk diceklis. Melakukan berbagai kegiatan dengan status baru sekaligus menyandang sebagai seorang ayah membuat buncah dalam dadanya penuh warna. 

"Kita akan menjadi pasangan paling sempurna. Aku yakin, pelan tapi pasti kamu akan membalas cintaku." 

Barisan buku yang tertata rapi tengah dicermati satu-satu. Saat objek yang dituju didapat, Edsel meraihnya. Sebuah album foto yang berisi kumpulan wajah dari seorang gadis dengan berbagai pose candid mengisi tiap lembarannya. 

"Kamu perempuan pertama yang spesial." 

Lembaran berikutnya dibuka. Terlihat wajah ayu yang tersenyum lebar tanpa menyadari kamera. 

"Semakin ke sini, aku seperti orang gila kalau tidak bertemu denganmu," tuturnya diselingi tawa pelan. 

Pancaran bola matanya menatap penuh kekaguman pada sosok dalam gambar. Senyuman terus menggelayut di kedua sudut bibirnya. Namun, seketika raut wajahnya berubah mendung. "Semoga kamu tidak mempermasalahkan mengenai nama besar keluargaku. Sungguh, aku tidak bermaksud menyembunyikan identitasku." 

Helaan napas berembus berat. "Cinta memang tak ada logika. Entah jalan baik atau buruk pasti akan ditempuh demi mencapai tujuan. Tidak peduli pada dampak yang akan terjadi ke depannya selama kepemilikan itu berhasil dikuasai." 

"Ayana ..." Telunjuknya merabai gambar tepat di bagian wajah cantik itu. "Aku harap, seandainya suatu saat nanti kamu mengetahui kejadian yang sebenarnya, aku mendapatkan pengampunan darimu. Aku hanya merasa lelah menunggumu peka menyadari perasaanku sehingga memilih kesempatan itu. Maaf, aku memang tidak jauh busuknya dengan dia."

.

.

Terima kasih sudah setia ikutin dari awal sampai akhir. Pasti banyak yang akan bertanya-tanya kok gini sih endingnya. Nggak jelas Ayana jadiannya sama siapa?

SERPIHAN LUKA sudah tersedia versi cetak 📚

Lanjutan ceritanya masih panjang. Dengan total keseluruhan (39 Part tambahan) yang tidak di posting di manapun! 

Yang berminat koleksi  novelnya langsung chat author  📲 0856-9108-3305

⬇️⬇️ KEUNGGULAN NOVEL CETAK ⬇️⬇️

*** Versi NOVEL CETAK kelanjutannya masih panjang sekali. Ada 27 PART tambahan yang menyajikan sepak terjang persaingan Jovic dan Edsel yang sesungguhnya sehingga membuat Ayana dilanda kegamangan. Akan ditemukan banyak konflik dan juga plot twist yang membagongkan.

*** Ada juga tambahan 12 side story untuk pasangan baru yang gagal move on karena cinta bertepuk sebelah tangan. Pokoknya semua tokoh dalam novel 'Serpihan Luka' berakhir HEPI dengan pasangan hidupnya. Sengaja saya rahasiakan tokoh ini untuk kejutan booklovers alias pecinta novel cetak.

Untuk cerita ini saya juga mencoba sesuatu yang baru dengan adegan nggak lazim yang mendebarkan dalam sesi kolaborasi tiga tokoh yang menyatu dan hanya dikhususkan untuk novel cetak karena mengandung eksplisit konten 21++ (Versi novel cetak naskah tidak ada sensor dan lebih lengkap tanpa skip adegan apa pun. Semua penjabaran lengkap poll) dijamin puas saking banyaknya tambahan bonus part!

⚠️ Fyi : SERPIHAN LUKA tidak ada versi ebook maupun pdf ⚠️

Terima kasih

Luv Unch..


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Serpihan Luka
Sebelumnya Redeeming Love - Bonus Part
5
0
Satu tambahan part lagi sebagai salam perpisahan kopel kawin paksa ini 🥰Yuk, langsung kepoin aja!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan