
Ketika ketidaksempurnaan wanita dijadikan sebagai alibi untuk merusak janji suci yang telah menggaung sampai menembus ke langit hanya karena cinta lama yang belum usai.
Apakah harus melepas atau mempertahankannya?
Duka Lara ~ Oneshot
Kedua jemari mungilnya sejak tadi tampak menjadi pelampiasan kegugupan. Remasan dan saling dikaitkan satu sama lain tetap saja melanda kerisauan hati. Embusan napas rendah perlahan dikeluarkan. Sejak lima belas menit rasa sesak itu tak juga memudar. Kekalutan lebih mendominasi pergerakan tubuhnya.
"Maaf, aku terlambat. Padahal aku yang minta kita ketemuan. Kamu sudah lama menunggu, Alara?" ucapnya sembari mengulurkan tangan yang disambut hangat.
"Nggak apa-apa. Mbak pasti sibuk."
Zahra Ghaniya adalah seorang wanita sempurna. Berpendidikan tinggi lulusan Kairo. Ilmu agama yang dimiliki pastilah luar biasa sebagai bibit istri shaliha yang mengagumkan. Pancaran dalam dirinya penuh dengan aura positif. Parasnya yang rupawan makin memesona dengan balutan busana muslimah syar'i. Daya magisnya membuat rasa percaya diri Lara merosot.
Inikah perempuan yang dicintai Mas Wafi sejak dulu?
"Kamu masih kenal sama aku, kan?"
Lara mengangguk. Bagaimana ia bisa lupa dengan paras cantik wanita itu. Meski hanya sekali bertemu pada acara pesta keluarga sang suami yang sangat dielukan oleh perempuan tua, Tantenya Mas Wafi. "Saya masih ingat Mbak Zahra, kok," sahutnya sopan.
Kening Zahra mengerut memerhatikan meja yang hanya terdapat satu gelas minuman jus. "Kamu nggak pesan makanan? Padahal lama, loh, nungguin aku."
Lara tersenyum simpul. Dalam situasi seperti ini ia benar-benar tak merasakan lapar dalam lambungnya. Meski saat ini sudah lewat dari jam dua siang. Bahkan Lara hanya baru mengonsumsi sarapan pagi tadi jam tujuh. "Saya nggak lapar, Mbak."
"Oh, kebetulan aku juga lagi buru-buru. Kalau gitu aku pesan minuman saja." setelah itu Zahra memanggil pelayan memberitahukan pesanannya. Selagi menunggu minuman datang Zahra tersenyum tipis memerhatikan wanita di depannya. Wanita sederhana dengan balutan dress bunga-bunga selutut dan rambut dibiarkan tergerai terlihat manis meski hanya riasan tipis yang melekat di wajahnya.
"Oke, kita langsung saja, ya."
Lara tersentak. Cukup terkejut bahwa minuman Zahra sudah ada di atas meja.
"Kamu melamun?" tanya Zahra menelisik gelagatnya.
"Maaf, saya hanya kurang fokus memikirkan anak saya di rumah," jawab Lara tak enak hati. Selain merasa canggung ia memang cemas sejak tadi mengabari ART-nya menanyakan balita tampan 4 tahun.
Ekspresi wajah Zahra berubah datar saat mendengar tentang balita tersebut. "Alara ..."
"Ya, Mbak."
Helaan napas berembus lelah. "Tolong kamu lepas Mas Wafi."
Untuk sesaat Lara terdiam. Ternyata dugaannya tidak salah.
"Aku rasa lima tahun ini sudah cukup kamu menahannya. Meski nggak bilang langsung aku tahu selama ini dia cukup tertekan dengan beban rumah tangga yang nggak pernah dia rancang bersama kamu. Entah berapa banyak impian yang terpaksa dikubur demi untuk menjadi tameng. Menjaga agar nama baikmu dan keluargamu tetap baik. Bahkan dengan kebesaran hati yang luar biasa, aku yakin Mas Wafi membutuhkan mental baja untuk menerima kehadiran anak itu menjadi bagian tanggung jawabnya. Walau pada akhirnya sekarang dia sangat menyayanginya."
Nyeri. Rasanya banyak ribuan jarum yang dimuntahkan dari intonasi kalimat itu. Suara Zahra memang halus dan sopan tapi terasa menyakitkan.
"Maaf, aku bukan maksud ingin merebutnya darimu. Tapi, bukankah kamu sudah tahu, bahwa sejak dulu cintanya Mas Wafi hanya untukku. Dia menungguku untuk meraih cita-cita pendidikan. Tapi dia malah dihadapkan oleh sebuah tanggung jawab yang seharusnya bukan dilakukan olehnya. Ya, Mas Wafi memang laki-laki baik. Laki-laki sempurna. Nggak akan tega membiarkan siapa pun yang ditemuinya mengalami keterpurukan. Seperti kamu yang saat dulu mengalami --"
"Baik, Mbak. Jangan khawatir. Saya memang salah terlalu lama mengikatnya. Harusnya saya inisiatif sendiri berpisah darinya," sela Lara. Ia tak ingin wanita itu mengungkit kejadian menyakitkan yang telah berlalu. Duka itu takkan pernah bisa dienyahkan dari ingatannya.
"Mas Wafi nggak akan tega melakukannya. Aku tahu, dia juga pasti sekarang sudah menyayangi putramu. Itulah yang membuatku sedikit terbebani." Zahra tersenyum miris.
Lara menatap tanya pada wajah murung Zahra.
"Saat kami nanti bersama. Aku nggak mau kehadiran anak kamu akan menjadi beban dalam hubungan kami." Zahra menatap intens manik hitam teduh yang kini terbalut embun. Sesama wanita ia sangat paham jika saat ini Lara tengah tersakiti akan ucapannya. Biarkah ia egois. Bergerak sendiri untuk perwujudan masa depannya. Laki-laki yang dicintainya tidak akan bisa menyakiti wanita di hadapannya. Wafi lebih memilih mengubur impiannya meski cintanya tetap berporos untuknya. Zahra akan egois kali ini saja.
"Saya sadar diri siapa saya. Mas Wafi memang lebih cocok bersanding dengan Mbak Zahra. Maaf, sudah menahan milik Mbak terlalu lama bersama saya."
Zahra menumpuk jemari Lara. "Satu lagi ... jangan anggap aku sebagai pelakor. Aku hanya ..."
"Enggak akan. Mbak Zahra perempuan baik-baik. Sejak dulu Mas Wafi memang milik Mbak. Saya hanya sebuah kesalahan yang terpaksa ditanggungnya," lirih Lara tersenyum pahit. Sebelah tangannya ikut menyalurkan kehangatan di punggung tangan Zahra. "Saya juga ingin Mas Wafi bahagia."
"Ehm ... a-apa ... apa Mas Wafi ..."
Lara mengernyit dalam. Tiba-tiba saja gelagat perempuan di depannya berubah sungkan. "Mbak mau tanya apa?"
"Ini memang nggak sopan. Tapi aku nggak bisa munafik kalau aku cukup cemas memikirkannya." Zahra menarik dalam napasnya. "Apa hubungan kalian sudah sampai sejauh keintim--"
Lagi, Lara memotong. "Nggak. Selama lima tahun Mas Wafi nggak pernah menyentuh saya. Dia laki-laki berakhlak yang mampu menjaga dirinya. Karena hanya Mbak Zahra yang ada dihatinya, bagaimana bisa kami dengan beban masing-masing tergoda oleh syahwat yang menyesatkan. Saya cukup tahu diri menempatkan posisi."
"Kamu memang perempuan baik, Alara. Maaf, harus menyakitimu dengan cara seperti ini." Zahra bangkit dari duduknya lalu memeluk erat tubuh Lara yang membatu. Dalam hati Zahra bersorak bahagia. "Terima kasih."
Kedua tangan Lara ikut membalas pelukan Zahra bersamaan linangan muara kristal yang runtuh dari pertahanannya lantas menghapusnya tanpa diketahui.
***
"Ayah udah pulang! Yeay!" seru balita tampan dengan langkah cepat menubruk tubuh tegap yang kini berlutut meraih tubuh kecilnya.
"Kenapa belum tidur? Ini sudah malam, loh. Lihat, sudah mau jam sembi--"
"Lan," lanjut balita lucu yang bernama Daffa.
"Ayah baru pulang. Masih capek. Daffa sini sama Bunda. Kita bobok, yuk!" Lara mendekati kedua laki-laki berbeda usia. Mencoba meraih putranya meski sudah ditolak berkali-kali.
"Daffa udah tunggu Ayah dari tadi. Mau bobok sama Ayah aja," rengeknya manja menggelayuti leher sang ayah.
"Nggak apa-apa, kan, aku temani Daffa tidur dulu?"
"Mas Wafi masih capek."
"Siapa bilang? Aku juga kangen, kok, sama Daffa."
Lara jadi serba salah. Rasanya sulit sekali untuk memisahkan dua laki-laki ini. Daffa yang polos memang sangat dekat dengan laki-laki yang menjadi suaminya. Mas Wafi telah sukses menjadi sosok ayah sempurna untuk putra kesayangannya.
"Lara ..."
Lara terdiam dalam lamunan.
"Lara, bisa tolong ambilkan aku kaos ganti. Setelah Daffa tidur aku baru akan mandi."
Lara terkesiap saat sebelah pipinya disangga oleh telapak tangan besar. Ibu jari kokoh itu membelai halus permukaan lembut yang kini telah merona. "I-ya, Mas. Sebentar aku siapkan." lalu beranjak meninggalkan keduanya
Wafi terkekeh pelan melihat reaksi malu-malu istrinya. Melihat ekspresi yang seperti itu membuatnya gemas dan betah berlama-lama memandang wajahnya yang manis.
"Bunda dari tadi melamun terus." celotehan Daffa menyadarkan Wafi dari kekagumannya.
"Melamun?"
Bocah dalam gendongannya mengangguk. "Tadi juga mata Bunda kelilipan. Kayak abis nangis gitu."
"Daffa nggak nakal, kan?"
"Enggak, dong. Daffa, kan, selalu ingat pesan Ayah."
"Pesan apa?" Wafi pura-pura lupa sambil menggaruk pelipisnya.
"Anak laki-laki nggak boleh bikin perempuan nangis. Terutama, Bunda," sahutnya lantang.
"Anak pintar." Wafi menjawil pucuk hidung sang balita. Ia mendengarkan serius ocehan Daffa sambil melangkah memasuki kamar. Di atas nakas sudah tersedia kaos oblong dan celana pendek untuknya. Setelah mengganti Wafi mengajak Daffa untuk tidur karena sudah waktunya bocah seusianya terlelap.
"Sekarang waktunya Jagoan Ayah bobok."
"Oke!"
***
Lara menelusuri replika tampan wajah imut tanpa dosa. Membelai sayang puncak kepala bocah yang telah terbawa alam mimpi. Tak pernah menyangka sosok yang sempat disangkalnya mampu menjadi penyejuk hatinya kala duka melanda. Daffa Khair Alfarezel Kugelmann adalah sebuah nama yang diberikan langsung oleh laki-laki sempurna dengan segala kebaikannya. Wafi bahkan rela memberikan nama miliknya dan juga nama keluarga almarhumah ibunya pada buah hati yang tercipta akibat kebiadaban manusia-manusia laknat.
Punggung Lara meluruh, isakan tangis terdengar menyayat hati. Tahun demi tahun telah berlalu, aibnya tak pernah bisa untuk disucikan. Lumpur pekat tak akan pernah bisa dibersihkan dari raga yang kini sama nilainya dengan sampah. Pemerkosaan keji lima tahun silam akan terus menggerogoti luka hati yang tak pernah bisa disembuhkan sekalipun dengan sebuah pengorbanan.
Saat ketiga jahanam itu memerkosanya, tak ada lagi tekad untuk terus memperjuangkan hidup. Lara sudah hancur, mati terkubur dalam nista yang teramat kotor. Bahkan sisa makhluk berengsek itu membuahkan sebuah makhluk suci tanpa dosa. Entah hasil dari benih sialan siapa yang membuatnya tercipta di dalam rahimnya. Karena ketiga pecundang itu telah mati. Para bedebah itu telah merasakan kerak api neraka.
Lara meraung, kenapa Tuhan tidak ikut mencabut nyawanya. Ia tidak akan sanggup menanggungnya. Bahkan untuk melenyapkan janin itu Lara tak punya keberanian.
Sampai akhirnya ada laki-laki sempurna yang berhati malaikat. Begitu baik menawarkan penangguhan atas aib yang diderita Lara. Meski dengan tekad yang teguh tak lantas mudah membuat semua kerabat dan keluarga laki-laki itu menerima keputusannya. Dia, Wafi Alfarezel Kugelmann bersedia menikahi Alara Nafisah yang hanya dikenalnya sebagai pasien korban pemerkosaan. Dirawat satu ruangan yang bersebelahan dengan sahabatnya. Wafi berani mengambil keputusan sepihak, menghempaskan tatanan masa depan yang telah dirangkai untuk menunggu wanita yang dicintai. Wafi terlihat sungguh-sungguh saat memutuskan untuk melamar Lara yang tengah dirundung kesedihan. Tapi Lara tahu, semua itu adalah perwujudan rasa iba kemanusiaan saja.
Lara yang kebingungan akan cobaan bertubi-tubi hanya bisa pasrah saat ibunya menerima lamaran Wafi. Meski Lara sudah menolak, Salma tetap memohon agar Lara menerima niat baik laki-laki itu. Karena bagaimana pun ada janin yang kini dipertaruhkan. Lara bukan ibu yang tega membiarkan hinaan dirasakan oleh buah hatinya kelak. Yang bisa dilakukan hanya pasrah dan menerima skenario ini dengan ikhlas. Semua sudah Kuasa Illahi.
Lara masih sangat ingat jika ia memberi kebebasan Wafi menjalin hubungan dengan wanita yang dicintai. Walau ia tahu, laki-laki yang dikenal penuh ketakwaan ini tak akan berani mempertaruhkan ijab qabul yang telah digemakan. Wafi adalah sosok Imam yang mengayomi keluarga. Baginya, keputusan yang diambil adalah sesuatu yang serius. Lara yakin, Wafi tidak akan sudi melakukan hal yang dibenci Tuhan dalam ikatan sakral yang melibatkan agama yang dianutnya.
Kehadiran Wafi perlahan-lahan mengikis trauma Lara yang mencekam. Jika saatnya tiba, Lara akan meminta mereka berpisah. Karena laki-laki baik seperti Wafi tidak akan mampu menggugat pernikahannya, meski hanya sebuah hubungan status.
Lara memegang erat sebuah map berwarna biru. Berkas itu sudah lama disiapkan. Dua tahun lalu sempat ingin ia sampaikan, tapi saat melihat interaksi Daffa yang sangat bergantung pada Wafi Lara terpaksa menyimpannya. Membiarkan ego memihak untuk balita menggemaskan pelipur hatinya.
Lara mendekat, mengecup kening Daffa yang berkerut. Gumaman bocah itu terdengar pelan. Namun tak lama berangsur hilang kembali terlelap. Kepala Lara mendongak. Mencoba mengenyahkan tetesan menyakitkan agar tidak terjatuh. Sejak tadi siang sudah memantapkan hatinya. Tidak akan berlama-lama untuk mempertahankan sesuatu yang tidak ada gunanya.
"Dia langsung tertidur. Padahal aku belum selesai menceritakan dongeng."
Punggung Lara berjengit merasakan kehadiran laki-laki yang sejak tadi ada dalam pikirannya. Lara mengatur napas agar suaranya tidak terdengar serak. Sayangnya seberapa ia berusaha tetap saja pita suaranya tak bisa diajak kompromi. Bahkan intonasi kesedihan begitu jelas terdengar. "Sudah dari tadi siang dia menunggumu."
"Kamu tahu?"
"Apa?" Lara menoleh hingga sepasang manik hitamnya yang teduh bertautan dengan netra biru samudra menyejukkan.
"Minggu depan Daffa ulang tahun. Apa kamu ada ide akan dirayakan di mana?" tanya Wafi antusias. Binar matanya makin bersinar dengan paduan senyum memukau.
"Nggak perlu perayaan, Mas."
"Kenapa?" Wafi mendekat hingga lengan piyamanya bersentuhan dengan gaun tidur Lara.
"Enggak apa-apa. Aku hanya ingin agar Daffa nggak bergantung dengan segala kebaikan Mas Wafi. Daffa har--"
"Apa ada yang salah dengan sikap aku?" tanya Wafi sambil merangkum wajah manis Lara yang kini gelagapan akan tatapan intens. "Apa aku --"
"Mas Wafi nggak salah. Aku hanya ingin Daffa terbiasa supaya Daffa nggak terlalu berlebihan hanya untuk sebuah perayaan ulang tahun," sahut Lara gugup tak berani bertatapan.
"Lara ...," panggil Wafi lembut.
Perlahan Lara mengangkat wajahnya. Tangan kokoh Wafi masih setia menyangga kedua pipinya. Pandangan laki-laki itu terlihat berbeda. Menyelami manik hitam miliknya yang tersamar kabut kesedihan. Lara berusaha menepis tangan kokoh itu dari wajahnya. Tapi Wafi tak membiarkannya terlepas.
"Kamu menangis?"
Hanya gelengan kepala yang diberikan sebagai jawaban. Dada Lara terasa sesak. Harusnya Wafi tidak menatapnya seperti ini. Tatapan iba yang selalu dirasakan Lara jika laki-laki itu menatap dalam dirinya. Sudah cukup Wafi mengasihaninya. Sudah cukup Wafi mengorbankan masa depannya. Kini cinta sejatinya telah datang. Saatnya laki-laki ini membangun bahtera kehidupan yang sesungguhnya. Bukan bersama dia, Alara yang penuh duka nestapa dan kenistaan.
Akhirnya Lara berhasil menepis keras kedua tangan Wafi sampai laki-laki itu tersentak akan penolakannya. "Sudah berakhir," lirihnya.
Wafi bergeming. Dahinya mengernyit dalam memerhatikan perempuan mungil yang bergetar memegang sebuah map. Lara memalingkan wajah lagi untuk sekedar menyeka lelehan bening di sudut matanya yang berkaca. Lantas kembali menghadapi tatapan penuh tanya dari laki-laki bersetelan piyama mocca. Sebelah alis Wafi naik saat Lara menyodorkan benda tersebut.
"Apa ini?"
"Harusnya dari dulu aku kasih ini ke Mas Wafi."
Wafi menatap dingin wajah mendung perempuan yang bersurai panjang sepunggung. Juntaian halus itu bertebaran menghalangi wajah Lara yang menunduk fokus pada ubin lantai.
Degup jantung Lara serasa berlarian. Bertalu kencang tanpa tahu malu karena bisa saja terdengar jelas oleh laki-laki di hadapannya. Lara menggigit bibir bawahnya saat Wafi membuka berkas tipis yang disodorkan. Seketika rahang tegas yang ditumbuhi bulu maskulin itu mengetat. Mulutnya terkatup rapat tak menyangka akan sesuatu rangkaian tulisan di dalamnya. Makin membeku saat suara lirih terdengar jelas menusuk lubang telinganya.
"Tolong ceraikan aku."
T A M A T
Duka Lara versi series sudah tersedia ya..
Yuk, melipir ke lapak untuk kepoin perjuangan Kang Mas bule Wafi melunakkan hati Mbakyu Lara. Dijamin baperia loh :')
Luv Unch 💓
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
