Duka Lara (Gratis)

13
3
Deskripsi

Ketika ketidaksempurnaan wanita dijadikan sebagai alibi untuk merusak janji suci yang telah menggaung sampai menembus ke langit hanya karena cinta lama yang belum usai.

Apakah harus melepas atau mempertahankannya?

Duka Lara ~ Oneshot

Kedua jemari mungilnya sejak tadi tampak menjadi pelampiasan kegugupan. Remasan dan saling dikaitkan satu sama lain tetap saja melanda kerisauan hati. Embusan napas rendah perlahan dikeluarkan. Sejak lima belas menit rasa sesak itu tak juga memudar. Kekalutan lebih mendominasi pergerakan tubuhnya. 

"Maaf, aku terlambat. Padahal aku yang minta kita ketemuan. Kamu sudah lama menunggu, Alara?" ucapnya sembari mengulurkan tangan yang disambut hangat. 

"Nggak apa-apa. Mbak pasti sibuk." 

Zahra Ghaniya adalah seorang wanita sempurna. Berpendidikan tinggi lulusan Kairo. Ilmu agama yang dimiliki pastilah luar biasa sebagai bibit istri shaliha yang mengagumkan. Pancaran dalam dirinya penuh dengan aura positif. Parasnya yang rupawan makin memesona dengan balutan busana muslimah syar'i. Daya magisnya membuat rasa percaya diri Lara merosot. 

Inikah perempuan yang dicintai Mas Wafi sejak dulu? 

"Kamu masih kenal sama aku, kan?" 

Lara mengangguk. Bagaimana ia bisa lupa dengan paras cantik wanita itu. Meski hanya sekali bertemu pada acara pesta keluarga sang suami yang sangat dielukan oleh perempuan tua, Tantenya Mas Wafi. "Saya masih ingat Mbak Zahra, kok," sahutnya sopan. 

Kening Zahra mengerut memerhatikan meja yang hanya terdapat satu gelas minuman jus. "Kamu nggak pesan makanan? Padahal lama, loh, nungguin aku." 

Lara tersenyum simpul. Dalam situasi seperti ini ia benar-benar tak merasakan lapar dalam lambungnya. Meski saat ini sudah lewat dari jam dua siang. Bahkan Lara hanya baru mengonsumsi sarapan pagi tadi jam tujuh. "Saya nggak lapar, Mbak." 

"Oh, kebetulan aku juga lagi buru-buru. Kalau gitu aku pesan minuman saja." setelah itu Zahra memanggil pelayan memberitahukan pesanannya. Selagi menunggu minuman datang Zahra tersenyum tipis memerhatikan wanita di depannya. Wanita sederhana dengan balutan dress bunga-bunga selutut dan rambut dibiarkan tergerai terlihat manis meski hanya riasan tipis yang melekat di wajahnya. 

"Oke, kita langsung saja, ya." 

Lara tersentak. Cukup terkejut bahwa minuman Zahra sudah ada di atas meja. 

"Kamu melamun?" tanya Zahra menelisik gelagatnya. 

"Maaf, saya hanya kurang fokus memikirkan anak saya di rumah," jawab Lara tak enak hati. Selain merasa canggung ia memang cemas sejak tadi mengabari ART-nya menanyakan balita tampan 4 tahun. 

Ekspresi wajah Zahra berubah datar saat mendengar tentang balita tersebut. "Alara ..." 

"Ya, Mbak." 

Helaan napas berembus lelah. "Tolong kamu lepas Mas Wafi." 

Untuk sesaat Lara terdiam. Ternyata dugaannya tidak salah. 

"Aku rasa lima tahun ini sudah cukup kamu menahannya. Meski nggak bilang langsung aku tahu selama ini dia cukup tertekan dengan beban rumah tangga yang nggak pernah dia rancang bersama kamu. Entah berapa banyak impian yang terpaksa dikubur demi untuk menjadi tameng. Menjaga agar nama baikmu dan keluargamu tetap baik. Bahkan dengan kebesaran hati yang luar biasa, aku yakin Mas Wafi membutuhkan mental baja untuk menerima kehadiran anak itu menjadi bagian tanggung jawabnya. Walau pada akhirnya sekarang dia sangat menyayanginya." 

Nyeri. Rasanya banyak ribuan jarum yang dimuntahkan dari intonasi kalimat itu. Suara Zahra memang halus dan sopan tapi terasa menyakitkan. 

"Maaf, aku bukan maksud ingin merebutnya darimu. Tapi, bukankah kamu sudah tahu, bahwa sejak dulu cintanya Mas Wafi hanya untukku. Dia menungguku untuk meraih cita-cita pendidikan. Tapi dia malah dihadapkan oleh sebuah tanggung jawab yang seharusnya bukan dilakukan olehnya. Ya, Mas Wafi memang laki-laki baik. Laki-laki sempurna. Nggak akan tega membiarkan siapa pun yang ditemuinya mengalami keterpurukan. Seperti kamu yang saat dulu mengalami --" 

"Baik, Mbak. Jangan khawatir. Saya memang salah terlalu lama mengikatnya. Harusnya saya inisiatif sendiri berpisah darinya," sela Lara. Ia tak ingin wanita itu mengungkit kejadian menyakitkan yang telah berlalu. Duka itu takkan pernah bisa dienyahkan dari ingatannya. 

"Mas Wafi nggak akan tega melakukannya. Aku tahu, dia juga pasti sekarang sudah menyayangi putramu. Itulah yang membuatku sedikit terbebani." Zahra tersenyum miris. 

Lara menatap tanya pada wajah murung Zahra. 

"Saat kami nanti bersama. Aku nggak mau kehadiran anak kamu akan menjadi beban dalam hubungan kami." Zahra menatap intens manik hitam teduh yang kini terbalut embun. Sesama wanita ia sangat paham jika saat ini Lara tengah tersakiti akan ucapannya. Biarkah ia egois. Bergerak sendiri untuk perwujudan masa depannya. Laki-laki yang dicintainya tidak akan bisa menyakiti wanita di hadapannya. Wafi lebih memilih mengubur impiannya meski cintanya tetap berporos untuknya. Zahra akan egois kali ini saja. 

"Saya sadar diri siapa saya. Mas Wafi memang lebih cocok bersanding dengan Mbak Zahra. Maaf, sudah menahan milik Mbak terlalu lama bersama saya." 

Zahra menumpuk jemari Lara. "Satu lagi ... jangan anggap aku sebagai pelakor. Aku hanya ..." 

"Enggak akan. Mbak Zahra perempuan baik-baik. Sejak dulu Mas Wafi memang milik Mbak. Saya hanya sebuah kesalahan yang terpaksa ditanggungnya," lirih Lara tersenyum pahit. Sebelah tangannya ikut menyalurkan kehangatan di punggung tangan Zahra. "Saya juga ingin Mas Wafi bahagia." 

"Ehm ... a-apa ... apa Mas Wafi ..." 

Lara mengernyit dalam. Tiba-tiba saja gelagat perempuan di depannya berubah sungkan. "Mbak mau tanya apa?" 

"Ini memang nggak sopan. Tapi aku nggak bisa munafik kalau aku cukup cemas memikirkannya." Zahra menarik dalam napasnya. "Apa hubungan kalian sudah sampai sejauh keintim--" 

Lagi, Lara memotong. "Nggak. Selama lima tahun Mas Wafi nggak pernah menyentuh saya. Dia laki-laki berakhlak yang mampu menjaga dirinya. Karena hanya Mbak Zahra yang ada dihatinya, bagaimana bisa kami dengan beban masing-masing tergoda oleh syahwat yang menyesatkan. Saya cukup tahu diri menempatkan posisi." 

"Kamu memang perempuan baik, Alara. Maaf, harus menyakitimu dengan cara seperti ini." Zahra bangkit dari duduknya lalu memeluk erat tubuh Lara yang membatu. Dalam hati Zahra bersorak bahagia. "Terima kasih." 

Kedua tangan Lara ikut membalas pelukan Zahra bersamaan linangan muara kristal yang runtuh dari pertahanannya lantas menghapusnya tanpa diketahui. 

*** 

"Ayah udah pulang! Yeay!" seru balita tampan dengan langkah cepat menubruk tubuh tegap yang kini berlutut meraih tubuh kecilnya. 

"Kenapa belum tidur? Ini sudah malam, loh. Lihat, sudah mau jam sembi--" 

"Lan," lanjut balita lucu yang bernama Daffa. 

"Ayah baru pulang. Masih capek. Daffa sini sama Bunda. Kita bobok, yuk!" Lara mendekati kedua laki-laki berbeda usia. Mencoba meraih putranya meski sudah ditolak berkali-kali. 

"Daffa udah tunggu Ayah dari tadi. Mau bobok sama Ayah aja," rengeknya manja menggelayuti leher sang ayah. 

"Nggak apa-apa, kan, aku temani Daffa tidur dulu?" 

"Mas Wafi masih capek." 

"Siapa bilang? Aku juga kangen, kok, sama Daffa." 

Lara jadi serba salah. Rasanya sulit sekali untuk memisahkan dua laki-laki ini. Daffa yang polos memang sangat dekat dengan laki-laki yang menjadi suaminya. Mas Wafi telah sukses menjadi sosok ayah sempurna untuk putra kesayangannya. 

"Lara ..." 

Lara terdiam dalam lamunan. 

"Lara, bisa tolong ambilkan aku kaos ganti. Setelah Daffa tidur aku baru akan mandi." 

Lara terkesiap saat sebelah pipinya disangga oleh telapak tangan besar. Ibu jari kokoh itu membelai halus permukaan lembut yang kini telah merona. "I-ya, Mas. Sebentar aku siapkan." lalu beranjak meninggalkan keduanya 

Wafi terkekeh pelan melihat reaksi malu-malu istrinya. Melihat ekspresi yang seperti itu membuatnya gemas dan betah berlama-lama memandang wajahnya yang manis. 

"Bunda dari tadi melamun terus." celotehan Daffa menyadarkan Wafi dari kekagumannya. 

"Melamun?" 

Bocah dalam gendongannya mengangguk. "Tadi juga mata Bunda kelilipan. Kayak abis nangis gitu." 

"Daffa nggak nakal, kan?" 

"Enggak, dong. Daffa, kan, selalu ingat pesan Ayah." 

"Pesan apa?" Wafi pura-pura lupa sambil menggaruk pelipisnya. 

"Anak laki-laki nggak boleh bikin perempuan nangis. Terutama, Bunda," sahutnya lantang. 

"Anak pintar." Wafi menjawil pucuk hidung sang balita. Ia mendengarkan serius ocehan Daffa sambil melangkah memasuki kamar. Di atas nakas sudah tersedia kaos oblong dan celana pendek untuknya. Setelah mengganti Wafi mengajak Daffa untuk tidur karena sudah waktunya bocah seusianya terlelap. 

"Sekarang waktunya Jagoan Ayah bobok." 

"Oke!" 

*** 

Lara menelusuri replika tampan wajah imut tanpa dosa. Membelai sayang puncak kepala bocah yang telah terbawa alam mimpi. Tak pernah menyangka sosok yang sempat disangkalnya mampu menjadi penyejuk hatinya kala duka melanda. Daffa Khair Alfarezel Kugelmann adalah sebuah nama yang diberikan langsung oleh laki-laki sempurna dengan segala kebaikannya. Wafi bahkan rela memberikan nama miliknya dan juga nama keluarga almarhumah ibunya pada buah hati yang tercipta akibat kebiadaban manusia-manusia laknat. 

Punggung Lara meluruh, isakan tangis terdengar menyayat hati. Tahun demi tahun telah berlalu, aibnya tak pernah bisa untuk disucikan. Lumpur pekat tak akan pernah bisa dibersihkan dari raga yang kini sama nilainya dengan sampah. Pemerkosaan keji lima tahun silam akan terus menggerogoti luka hati yang tak pernah bisa disembuhkan sekalipun dengan sebuah pengorbanan. 

Saat ketiga jahanam itu memerkosanya, tak ada lagi tekad untuk terus memperjuangkan hidup. Lara sudah hancur, mati terkubur dalam nista yang teramat kotor. Bahkan sisa makhluk berengsek itu membuahkan sebuah makhluk suci tanpa dosa. Entah hasil dari benih sialan siapa yang membuatnya tercipta di dalam rahimnya. Karena ketiga pecundang itu telah mati. Para bedebah itu telah merasakan kerak api neraka. 

Lara meraung, kenapa Tuhan tidak ikut mencabut nyawanya. Ia tidak akan sanggup menanggungnya. Bahkan untuk melenyapkan janin itu Lara tak punya keberanian. 

Sampai akhirnya ada laki-laki sempurna yang berhati malaikat. Begitu baik menawarkan penangguhan atas aib yang diderita Lara. Meski dengan tekad yang teguh tak lantas mudah membuat semua kerabat dan keluarga laki-laki itu menerima keputusannya. Dia, Wafi Alfarezel Kugelmann bersedia menikahi Alara Nafisah yang hanya dikenalnya sebagai pasien korban pemerkosaan. Dirawat satu ruangan yang bersebelahan dengan sahabatnya. Wafi berani mengambil keputusan sepihak, menghempaskan tatanan masa depan yang telah dirangkai untuk menunggu wanita yang dicintai. Wafi terlihat sungguh-sungguh saat memutuskan untuk melamar Lara yang tengah dirundung kesedihan. Tapi Lara tahu, semua itu adalah perwujudan rasa iba kemanusiaan saja. 

Lara yang kebingungan akan cobaan bertubi-tubi hanya bisa pasrah saat ibunya menerima lamaran Wafi. Meski Lara sudah menolak, Salma tetap memohon agar Lara menerima niat baik laki-laki itu. Karena bagaimana pun ada janin yang kini dipertaruhkan. Lara bukan ibu yang tega membiarkan hinaan dirasakan oleh buah hatinya kelak. Yang bisa dilakukan hanya pasrah dan menerima skenario ini dengan ikhlas. Semua sudah Kuasa Illahi. 

Lara masih sangat ingat jika ia memberi kebebasan Wafi menjalin hubungan dengan wanita yang dicintai. Walau ia tahu, laki-laki yang dikenal penuh ketakwaan ini tak akan berani mempertaruhkan ijab qabul yang telah digemakan. Wafi adalah sosok Imam yang mengayomi keluarga. Baginya, keputusan yang diambil adalah sesuatu yang serius. Lara yakin, Wafi tidak akan sudi melakukan hal yang dibenci Tuhan dalam ikatan sakral yang melibatkan agama yang dianutnya. 

Kehadiran Wafi perlahan-lahan mengikis trauma Lara yang mencekam. Jika saatnya tiba, Lara akan meminta mereka berpisah. Karena laki-laki baik seperti Wafi tidak akan mampu menggugat pernikahannya, meski hanya sebuah hubungan status. 

Lara memegang erat sebuah map berwarna biru. Berkas itu sudah lama disiapkan. Dua tahun lalu sempat ingin ia sampaikan, tapi saat melihat interaksi Daffa yang sangat bergantung pada Wafi Lara terpaksa menyimpannya. Membiarkan ego memihak untuk balita menggemaskan pelipur hatinya. 

Lara mendekat, mengecup kening Daffa yang berkerut. Gumaman bocah itu terdengar pelan. Namun tak lama berangsur hilang kembali terlelap. Kepala Lara mendongak. Mencoba mengenyahkan tetesan menyakitkan agar tidak terjatuh. Sejak tadi siang sudah memantapkan hatinya. Tidak akan berlama-lama untuk mempertahankan sesuatu yang tidak ada gunanya. 

"Dia langsung tertidur. Padahal aku belum selesai menceritakan dongeng." 

Punggung Lara berjengit merasakan kehadiran laki-laki yang sejak tadi ada dalam pikirannya. Lara mengatur napas agar suaranya tidak terdengar serak. Sayangnya seberapa ia berusaha tetap saja pita suaranya tak bisa diajak kompromi. Bahkan intonasi kesedihan begitu jelas terdengar. "Sudah dari tadi siang dia menunggumu." 

"Kamu tahu?" 

"Apa?" Lara menoleh hingga sepasang manik hitamnya yang teduh bertautan dengan netra biru samudra menyejukkan. 

"Minggu depan Daffa ulang tahun. Apa kamu ada ide akan dirayakan di mana?" tanya Wafi antusias. Binar matanya makin bersinar dengan paduan senyum memukau. 

"Nggak perlu perayaan, Mas." 

"Kenapa?" Wafi mendekat hingga lengan piyamanya bersentuhan dengan gaun tidur Lara. 

"Enggak apa-apa. Aku hanya ingin agar Daffa nggak bergantung dengan segala kebaikan Mas Wafi. Daffa har--" 

"Apa ada yang salah dengan sikap aku?" tanya Wafi sambil merangkum wajah manis Lara yang kini gelagapan akan tatapan intens. "Apa aku --" 

"Mas Wafi nggak salah. Aku hanya ingin Daffa terbiasa supaya Daffa nggak terlalu berlebihan hanya untuk sebuah perayaan ulang tahun," sahut Lara gugup tak berani bertatapan. 

"Lara ...," panggil Wafi lembut. 

Perlahan Lara mengangkat wajahnya. Tangan kokoh Wafi masih setia menyangga kedua pipinya. Pandangan laki-laki itu terlihat berbeda. Menyelami manik hitam miliknya yang tersamar kabut kesedihan. Lara berusaha menepis tangan kokoh itu dari wajahnya. Tapi Wafi tak membiarkannya terlepas. 

"Kamu menangis?" 

Hanya gelengan kepala yang diberikan sebagai jawaban. Dada Lara terasa sesak. Harusnya Wafi tidak menatapnya seperti ini. Tatapan iba yang selalu dirasakan Lara jika laki-laki itu menatap dalam dirinya. Sudah cukup Wafi mengasihaninya. Sudah cukup Wafi mengorbankan masa depannya. Kini cinta sejatinya telah datang. Saatnya laki-laki ini membangun bahtera kehidupan yang sesungguhnya. Bukan bersama dia, Alara yang penuh duka nestapa dan kenistaan. 

Akhirnya Lara berhasil menepis keras kedua tangan Wafi sampai laki-laki itu tersentak akan penolakannya. "Sudah berakhir," lirihnya. 

Wafi bergeming. Dahinya mengernyit dalam memerhatikan perempuan mungil yang bergetar memegang sebuah map. Lara memalingkan wajah lagi untuk sekedar menyeka lelehan bening di sudut matanya yang berkaca. Lantas kembali menghadapi tatapan penuh tanya dari laki-laki bersetelan piyama mocca. Sebelah alis Wafi naik saat Lara menyodorkan benda tersebut. 

"Apa ini?" 

"Harusnya dari dulu aku kasih ini ke Mas Wafi." 

Wafi menatap dingin wajah mendung perempuan yang bersurai panjang sepunggung. Juntaian halus itu bertebaran menghalangi wajah Lara yang menunduk fokus pada ubin lantai. 

Degup jantung Lara serasa berlarian. Bertalu kencang tanpa tahu malu karena bisa saja terdengar jelas oleh laki-laki di hadapannya. Lara menggigit bibir bawahnya saat Wafi membuka berkas tipis yang disodorkan. Seketika rahang tegas yang ditumbuhi bulu maskulin itu mengetat. Mulutnya terkatup rapat tak menyangka akan sesuatu rangkaian tulisan di dalamnya. Makin membeku saat suara lirih terdengar jelas menusuk lubang telinganya. 

"Tolong ceraikan aku."
 

T A M A T

Duka Lara versi series sudah tersedia ya..

Yuk, melipir ke lapak untuk kepoin perjuangan Kang Mas bule Wafi melunakkan hati Mbakyu Lara. Dijamin baperia loh :')

Luv Unch 💓

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Duka Lara
Selanjutnya Idiot Love
5
6
Ini adalah versi lain dari cerita ATONEMENTdi sana penuh kesedihan dan penyesalan. Di lapak ini kopel planet berubah haluan jadi kopel gemoy dan bikin ambyar :'D.Tujuan utama Venus Arumi saat ini hanya satu, menjadi sarjana strata satu agar bisa bekerja di sebuah perusahaan incarannya. Tingkat kecerdasan yang dimiliki juga biasa saja tanpa tunjangan beasiswa. Bagaimana jika gelar pendidikan yang hampir selesai terhenti begitu saja oleh kesalahan fatal. Venus terlibat one night stand tanpa terencana dengan sosok lelaki menyebalkan dan tidak tahu malu.  Jupiter Hans adalah lelaki yang menjadi korban kebrutalan sensualnya malam itu. Layaknya penguntit, Jupiter selalu muncul di mana pun Venus berada hingga membuat wanita itu jengkel.  Venus ingin melupakan kejadian memalukan itu meski keperawanan yang selalu dijaganya telah terenggut akibat kecerobohannya sendiri.   Kamu harus bertanggung jawab. Karena sudah memerkosaku dengan brutal. -Jupiter Hans-  Omong kosong apa ini? Harusnya aku yang menuntutmu karena membiarkan hal itu terjadi. -Venus Arumi-..                            Shocking Day!        Matahari        telah berporos tinggi di langit cerah. Terik sinarnya yang menyilaukan membuat semua makhluk bumi ingin cepat-cepat mencari keteduhan. Venus berlari tergesa menuju arah gerbang kampus. Mulutnya berdecak melihat arah jarum jam tangannya karena terlalu lama melakukan pendalaman materi bersama dosen pembimbing skripsi.         “Buru-buru banget!”        Langkah kaki Venus terhenti. Nyaris saja oleng karena terkejut dengan tubuh sahabatnya. Alika merentangkan tangan menahan akses jalan Venus.        “Maya baru aja menghubungi. Dia minta tukar shift,” decak Venus dengan napas tersengal.        “Terus nanti kapan pulang? Ingat, kamu sudah janji ikut menemaniku nanti malam? Awas aja sampai nggak jadi!” dengkus Alika menatap tajam. Ia meminta Venus menemani acara ulang tahun teman lamanya.        “Iya, iya, aku ingat, kok. Paling jam 8 udah keluar.”        “Beneran, loh! Aku bakalan datengin tempat kerja kamu kalau sampai telat!”        “Kenapa nggak minta temenin sama Bastian aja, sih?” sungut Arumi menaikkan satu alisnya.        “Bastian nggak suka acara kayak gini. Dia juga nggak kasih izin kalau aku datang sama teman cowok. Ya, Cuma kamu nama yang mendapat lisensi resmi darinya.” Alika menyengir menunjukkan deretan giginya yang putih.        Venus memutar malas manik cokelatnya yang terang. “Dasar cowok posesif. Ya, udah, sekarang menyingkirlah. Aku udah terlambat. Atau kamu memang ingin ak—“        Tubuh Alika langsung bergeser memberi Venus jalan. “Makasih,” ucapnya berlari cepat meninggalkan sahabatnya yang mencebik.        Suara ribut terdengar sangat mengganggu. Seorang laki-laki muda dengan tatapan mengejek terlihat mengintimidasi wanita tua.                “Saya nggak sengaja. Tolong maafkan,” lirih wanita tua itu.       “Makanya, Nek, kalau udah tua jangan sok muda berlagak ke kafe. Cari makanan di warteg sana. Jalan aja nggak becus!” Intonasi makin meninggi dari laki-laki itu.     “Bersihkan! Kalau nggak gue minta ganti rugi!” lanjutnya memerintah.        Wanita tua itu mengakui kesalahannya karena ceroboh menyenggol tubuh pemuda itu hingga sendok berisi makanan yang akan disuap terjatuh sampai mengenai sepatunya. Pada saat tubuh wanita itu mulai membungkuk, sesuatu mendarat tepat di atas sepatu laki-laki tersebut. Sebuah kain lap biasa yang digunakan untuk membersihkan meja.      “Bersihkan aja sendiri! Nggak tahu sopan santun banget, sih! Situ nggak malu, ya, punya badan tegap tapi suka menindas orang tua. Sumpahin saja, Nek, biar jadi perjaka tua sampai modar!” geram Venus menatap sengit.        “Lo siapa?” hardik laki-laki itu.        “Gue pegawai sini yang udah merasa kesal dari tadi liatin kelakuan banci lo! Lagian Cuma kotor begitu tinggal lap aja juga bersih.”        “Sudah, Nak, biar saya yang bersihkan,” lerai sang wanita mencoba membuat situasi tenang.        “Jangan, Nek. Laki-laki ini beneran kurang ajar sama Nenek. Perlu dibina sifatnya, kalau perlu dibinasakan sekaligus biar nggak jadi generasi Malin Kundang.” Venus masih tetap bersikukuh melawan pemuda yang kini jadi tontonan pengunjung kafe.        “Apaan, sih, lo norak banget. Bikin selera makan gue raib. Nggak bakalan gue mau bayar!” Setelah itu laki-laki itu pergi begitu saja. Padahal isi dalam sajian makanan sudah kosong tak bersisa.        “Dasar tukang makan gratis. Bilang aja situ nggak punya uang, makanya cari-cari masalah receh,” gerutu Venus kesal.        Wanita yang menjadi pemicu sebuah kerugian itu merasa tak enak hati. Ia segera mengeluarkan beberapa lembaran uang berwarna merah. “Biar saya yang bayar.”        “Eh, nggak usah, Nek. Nggak apa-apa juga. Ada uang kas buat menutupi pembayaran makanan ini,” bohong Venus.        “Uang kas bisa digunakan untuk menutupi kekurangan hari berikutnya. Terimalah.”        “Saya tetap nggak mau terima,” tolak Venus memasukkan kembali lembaran uang itu ke tangan ringkih sang wanita tua.        “Baiklah kalau begitu. Makasih, ya, Nak ...?”        “Saya Venus.”                   “Venus Arumi?” tanya wanita tua itu membaca name tage di atas dada kiri Venus.        “Yup.” Venus tersenyum ramah.        “Kalau gitu panggil saya Bibi Mer.” Wanita tua itu mengulurkan tangannya dan disambut hangat Venus. “Saya belum punya cucu. Rasanya panggilan Bibi masih cocok pada wajah keriput saya,” kekehnya membuat Venus tak enak hati sudah memanggilnya dengan sebutan nenek.        “Baik, Bi. Maaf sudah salah sebut.” Venus menggigit bibir bawah bagian dalamnya.        “Nggak apa-apa. Ya, sudah kalau begitu Bibi pamit. Kayaknya keponakan Bibi udah datang jemput. Sampai jumpa lagi, Venus,” pamitnya sopan melambaikan tangan menuju pintu keluar. Dari dalam Venus melihat seorang laki-laki keluar dari sebuah mobil mewah berwarna hitam. Meski tidak terlalu jelas rupa wajah laki-laki itu, tapi Venus bisa melihat jelas postur jangkungnya yang merangkul sang bibi.        “Ternyata orang kaya.”        Venus menoleh pada asal suara di sebelahnya. “Henry, sejak kapan?”        “Sejak nenek itu buka pintu keluar,” jawab laki-laki berseragam waitress sambil menyengir.        “Huh, dasar. Tadi aja nggak nongol waktu laki-laki ngeselin tadi marah-marah,” sungut Venus sembari menyikut dada kiri Henry kemudian melengos pergi.        “Ya, maaf. Kamu, sih cepet banget ributnya.”        “Oya, tagihan makan itu nanti potong gajiku aja. Nanti tolong bilangin Mbak Kyra!” Venus berteriak santai sambil terus berjalan ke arah ruang ganti.***        Alunan musik disko membahana dalam ruangan gemerlap. Aroma alkohol seolah menjadi pengharum ruangan tersebut. Liukan sensual tak terarah begitu lumrah terekspose menyajikan santapan lezat.        “Alika, stop! Kamu udah mabok, loh! Kita baliknya gimana kalau kamu sempoyongan gini. Badanmu, kan, gendut!” gerutu Venus menyingkirkan deretan gelas yang tadi dipesan Alika.        “Aku masih sadar, loh. Enak aja bilang aku gendut. Badan kayak gini, tuh, seksi. Sensual ...,” balas Alika tak terima.        Venus yang makin kesal karena Alika tetap saja menuang botol minuman keras akhirnya mengambil jalan pintas menghubungi Bastian. Begitu sambungan diterima, ocehan dari seberang telepon terasa melengking di telinganya.        Suasana yang gaduh membuat suara dari Bastian tidak terdengar jelas. Ia berpindah tempat agar obrolan keduanya terkoneksi tanpa kebisingan. Selagi Venus berbicara serius seseorang dengan seringainya mendekati Alika yang kini telungkup di meja bar. Tapi bukan itu tujuannya. Pandangan laki-laki itu mengarah pada sebuah gelas yang masih terisi penuh tepat di samping Alika. Dengan cepat kegiatan sabotasenya berjalan mulus. Sebuah serbuk telah larut dalam cairan keemasan tersebut.        “Aku mana tahu kalian sedang ribut. Pantes aja Alika nge-fly banget pilih mabok. Buruan jemput, ya!” Setelah memutus panggilan selulernya Venus kembali menghampiri Alika lalu meneguk minuman alkohol kadar ringan miliknya tanpa curiga.        Cukup lama Venus menunggu kedatangan Bastian. Sampai ia kewalahan dengan perubahan tubuhnya yang mendadak gatal dan panas.        “Bastian!”        Lelaki yang samar mendengar namanya langsung menghampiri. “Gila, parah banget! Minum berapa banyak dia?” tanya Bastian sambil merengkuh tubuh Alika yang kini mulai meracau tak jelas.        “Nggak ngitungin. Yang pasti banyak.”        “Ya, udah, yuk, balik. Sekalian gue anterin lo!”        Dalam keadaan aneh seperti ini Venus jelas tak mau berbarengan dengan Bastian. Toilet. Venus butuh ruang khusus itu untuk menetralisir rasa asing dalam dirinya.        “Ak-kuh ... bareng sama Dera. Kamu duluan aja. Kasian Alika udah mabok parah kalau harus anter aku dulu ... sshh ...,” sahut Venus kelabakan berusaha menahan rasa geli yang memalukan dalam organ intimnya.        “Oke. Lo hati-hati. Gue duluan!”        Venus mengerang begitu Bastian menjauh. Suasana riuh dengan lampu kelap kelip menyamarkan suara sensual dan juga wajah penuh hasrat yang memerah. Venus bergegas menuju arah toilet. Tak disadarinya dua orang laki-laki mengikutinya dari belakang dengan senyuman penuh maksud.        Kedua tangan Venus tampak mengibas-ngibas wajahnya yang terasa panas. Tiap bersentuhan dengan orang yang tak sengaja berlalu lalang Venus mendesis merasakan sentuhan yang sensistif meski di kulit pergelangan tangannya. Gila, kenapa dia seakan membutuhkan sebuah sentuhan intens.        Retina cokelat miliknya telah meredup. Berjalan gemetar dengan tangan bersedekap di dada menekan gelegak nikmat yang meronta pelepasan segera. Ia dapat merasakan dengan jelas jika kedua pucuk payudaranya telah mencuat keras. Terasa sensitif hanya karena bergesekan dengan cup berenda. Oh, Tuhan, ini sangat menyiksa. Bahkan pada saat menonton blue film tubuhnya juga tidak menggila seperti sekarang.        Tapi begitu akan berbelok pada sebuah lorong sepi, ia bertabrakan dengan seseorang yang baru saja keluar dari dalam toilet laki-laki. Kedua manik hitam lelaki itu sempat membola akibat sambutan yang diterimanya tiba-tiba. Betapa tidak, Venus menciumnya. Menyerangnya tanpa ampun dengan tekhnik ciuman tak beraturan tapi mampu membuatnya menggeram tertahan. Laki-laki itu tak mau kalah. Akhirnya ikut menggerakkan bibirnya dan merengkuh pinggang langsing Venus hingga menempel pada tubuh tegapnya.         Dari jauh, dua laki-laki yang sejak tadi mengincar Venus akhirnya mundur teratur. Keduanya saling lempar umpatan akibat mangsa yang lolos begitu saja dan malah masuk dalam jebakan orang lain.        “Hei, sabar. Pelan-pelan,” bisik laki-laki berkemeja putih dengan jas yang telah dilepas dan masih dipegangnya. Gerakan impulsif Venus membuat laki-laki itu memilih membuang jas hitam miliknya lalu membopong tubuh pasrah Venus ala bridal.        Pijakan kaki lelaki itu hampir limbung karena Venus terus menerus menyerangnya dengan ciuman-ciuman panas. Tak ingin membiarkan laki-laki itu berpaling dari depan wajahnya.        “Oke, kita lanjutkan. Tapi jangan di sini. Lihat, kita jadi tontonan.” Laki-laki itu menjauhkan wajahnya memberi isyarat untuk menatap sekeliling.        Tanpa diduga Venus mengeratkan lengannya di leher laki-laki itu lalu menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher si laki-laki dengan rasa malu karena suasana ramai meski sebenarnya tidak berpengaruh sekalipun mereka bersetubuh di sana.        “Cepat bawa aku,” bisiknya memohon. Venus tak sadar menggerakan pinggulnya sambil mengigit leher laki-laki itu sengaja memancing hasratnya agar segera membawa dirinya untuk penuntasan sebuah ledakan gairah.        Gerakan jakun yang naik turun menandakan bahwa laki-laki itu telah terangsang oleh tindakan sensual Venus. Ingin cepat mereguk sajian nikmat yang kini merengek meminta pemuasan dari miliknya yang telah mengeras tangguh dan siap memasuki dirinya.        Ini adalah hari yang mengejutkan. Tanpa terencana dan mengalir begitu saja menciptakan gelenyar aneh pada dua manusia yang tidak saling mengenal. ...                      Tak Bisa disangkal        Erangan kecil lolos dari pita suaranya. Kepalanya tampak bergerak dalam posisi tidur. Masih terasa enggan membuka netra cokelat terang miliknya. Venus merasakan kenyamanan dalam pejaman mata. Kehangatan melingkupi seluruh kulitnya yang lembut. Bahkan ia merasakan sesuatu yang kian mengerat pada perutnya yang rata.        Venus membuka cepat kedua mata. Degupan jantungnya tak tahu diri seperti genderang yang mau perang. Cukup sulit meneguk liur yang telah berada di ujung pangkal tenggorokannya saat merasakan terpaan napas hangat pada ceruk lehernya. Gumaman berasal dari belakang tubuhnya berhasil menyadarkan dirinya.          Aw! laki-laki dengan kadar ketampanan tak biasa karena masih terpatri pada saat bangun tidur itu meringis menyentuh dada bidangnya yang disikut oleh Venus. Udah pagi, ya? tanyanya sambil memindai ruangan menatap jam dinding yang telah menunjukkan jam 9 pagi.        Kamu ... Hans? Venus mengerjap beberapa kali memastikan.          Oh, kamu kenal aku. Venus mendengkus seolah ia perempuan yang menjadi stalker sampai laki-laki itu heran dia mengetahui namanya.                Siapa juga yang nggak kenal Jupiter Hans, mahasiswa ganteng dan pintar kayak kamu. Meski banyak yang bilang kamu aneh.Pernah pacaran sama Siska, kan?Hem?Cewek genit itu nggak tahu kenapa tiba-tiba marah-marah di kantin maki-maki kamu yang nggak peka dan aneh katanya. Ops! Venus segera menutup mulutnya yang tak bisa diajak kompromi. Saat seperti ini kenapa dia malah membahas hubungan tak penting laki-laki di depannya.        Manik pekat hitam dalam sekejap kembali berkabut. Venus merasakan perubahan tatapan laki-laki itu padanya yang mengarah pada ...        Dasar mesum! pekiknya melempar bantal pada wajah Hans yang fokus memandangi buah dada kenyalnya karena selimut yang merosot. Detik itu juga Venus tersadar jika ada yang tak beres dengan tubuhnya yang mendadak menggigil merasakan udara pendingin ruangan. A-apa yang telah kamu lakukan padaku? tanyanya bergetar.        Venus menjauh saat Hans mendekat ingin menyentuhnya. Pandangannya memindai ruangan berwarna abu-abu.        Ini di mana? Kamu memerkosaku?! intonasi Venus meninggi satu oktaf. Ekspresi wajah cantiknya telah berubah pucat seakan aliran darahnya terhenti. Ia mencoba mendeteksi seluruh tubuhnya yang polos. Sialnya, banyak sekali bercak merah yang telah berubah warna keunguan.Ini apartemenku. Dengar ...        Stop! Tetap di situ! Jangan mendekat! Venus terus memundurkan tubuhnya hingga tak sadar sudah di pembatas tempat tidur. Aw!        Hans segera bangkit meraih tubuh Venus yang terjengkang di lantai. Bokongnya terasa panas bahkan seluruh tubuhnya juga terasa sangat lemas. Tenanglah, ucapnya setelah kembali mendudukkan wanita itu ke atas dipan.        Bisa tutupin dulu itu tubuh kamu. Nggak sopan banget masih aja telanjang di depanku, sungut Venus memalingkan wajah ke samping sembari meremas selimut.          Hans menyadari kondisinya yang masih telanjang bulat akibat selimut yang dikuasai wanita di depannya. Perlahan ia beranjak mengambil celana panjang yang tergeletak sembarangan di lantai.          Kita lupakan kejadian tadi malam. Anggap aja nggak pernah terjadi, lirih Venus sedikit ragu akan keputusannya. Sepintas melirik noda bercak merah pada seprai putih yang menandakan bahwa semalam adalah kecerobohan yang sudah merugikan masa depannya. Oh, tidak, Venus pastikan masa depannya tidak akan hancur hanya karena kesalahan one night stand.        Aku mau pulang.           Kening Hans berkerut dalam. Setelah wanita itu puas melakukan atas dirinya tiba-tiba saja ia meminta melupakan kejadian menakjubkan semalam? Tidak akan semudah itu Hans menyetujuinya.Lagian kita nggak saling kenal. Kamu laki-laki bebas yang silih berganti mencari kehangatan tempat tidur.               Kamu Venus Arumi, mahasiswi semester akhir Jurusan Ilmu Komunikasi, sahut Hans santai.        Sontak Venus mengangkat wajahnya tak percaya laki-laki pendiam di depannya mengetahuinya. Keduanya kembali bersitatap. Oh, kirain nggak kenal. Aku, kan, bukan siswi popular yang -- ucapan Venus terhenti oleh tindakan Hans yang tiba-tiba menyentuh bibirnya dengan telunjuk dengan tatapan intimidasi.          Dari tadi kamu terus yang ngomong. Sekarang gantian aku yang menjelaskan kronologi kejadian semalam biar kamu nggak seenaknya lepas dari tanggung jawab.         Heh, tanggung jawab? Venus mengerjap kaget.        Hans mengangguk kemudian memberi jarak tubuhnya. Pertama, semalam kamu yang nyerang aku duluan. Meski udah aku tolak kamu tetap menyerangku dengan ciuman-ciuman nggak beraturan.        Venus mengaga akibat syok tapi tak bisa menyangkal.        Kedua, kamu yang merengek minta cepat-cepat dibawa pulang agar bisa melanjutkan aksi yang lebih intim dari sekedar ciuman.        Venus memucat, jarinya tampak memijat pelipis sambil mengingat kejadian semalam. Bayangan kelakuannya yang agresif mencium seseorang yang ditubruknya saat hendak ke toilet menari-nari dalam ingatannya.        Kamu ...        Ketiga, kamu agresif banget saat kita sampai di sini. Membuka kancing kemejaku nggak sabaran lalu menggodaku dengan --        Itu nggak mungkin! Enak aja aku yang mulai. Pasti kamu yang manfaatin aku dan memerkosaku tanpa perasaan, tuduh Venus tak yakin.        Hans menghela napas kesal. Perlahan mendekati Venus yang semakin memundurkan punggungnya hingga menempel ke kepala dipan. Jangan --        Dada Venus bergemuruh hebat saat telapak tangannya diraih lalu diletakkan ke dada bidang Hans yang masih telanjang.        Kamu lihat bercak-bercak ini? Venus mengangguk kecil memerhatikan bekas hickey di area depan tubuh tegap Hans. Ini adalah hasil karyamu. Bibirmu mencumbuinya sampai membuatku melupakan pertahanan yang selama ini kujaga. Lidahmu melaku--        Cukup! Aku mual mendengar selanjutnya. Venus menutup bibir Hans dengan telapak tangannya. Tentu saja batinnya mengakui itu hasil perbuatannya. Lagian aku udah nggak ingat sama sekali tentang semalam, bohongnya menggigit gugup bibir bawahnya.        Hans melepas bungkaman tangan Venus. Aku masih ingat semuanya. Bahkan telapak tangan ini begitu lembut dan hangat saat menyentuh milikku yang telah menger--        Stop! Aku nggak mau dengar lagi. Aku tahu aku yang salah. Kita lupain aja, ya? Aku nggak akan minta pertanggung jawaban kamu, kok, isak Venus sesenggukan.        Aku juga nggak tahu kenapa semalam bisa bertindak agresif banget. Yang kuingat semalam tubuhku terasa terbakar dan mendamba sentuhan. Aku minta maaf kalau udah buat kamu terlibat one night stand nggak bermutu dengan perempuan sepertiku. Aku --        Hans menyerang bibir penuh yang masih melakukan penyangkalan. Bagi Hans kejadian semalam adalah sesuatu yang indah dan penuh gelora. Ia tak pernah merasakan semendamba ini terhadap lawan jenisnya. Mau mengulangnya? tanyanya setelah tautan bibirnya terlepas.        Hah?        Katanya lupa kejadian semalam?        Venus mengangguk. Kemudian otaknya mulai tersadar. Kamu ...?        Kita ulangi lagi, ya? Supaya kamu nggak bisa ngelupain aku gitu aja, rengek Hans mulai merangsek tubuh mungil Venus hingga terbaring dengan tubuh Hans yang mengurungnya.        Ka-kamu mau apa?        Hans tak butuh untuk mendengar atau pun menjawab ucapan wanita yang memasang wajah siap untuk sesi berikutnya dengan tingkat kesadaran yang tak bisa disangkal lagi setelahnya.        Jangan macam-macam, Hans .....                          Kejadian Enak?Venus mendorong kuat dada kokoh yang menghimpit tubuhnya. Selimut yang menutupi payudaranya telah merosot sebatas perut mempertontonkan bebas tekstur keindahan buah nikmat itu.        Stop, Hans! Venus segera meraih selimut untuk membungkus tubuhnya dari terkaman singa lapar berwujud manusia mesum.        Maaf. Aku terlalu kasar, ya? Habisnya kamu nolak terus. Padahal semalam kamu yang paling mendominasi awalnya karena aku masih ragu-ragu untuk melanjutkannya, terang Hans sembari mengusap bibirnya yang basah dengan punggung tangan.    Kehangatan menjalar pada wajahnya tiap kali Hans membahas keintiman semalam. Kamu aja yang kelewat mesum. Udah tahu cewek lagi nggak sadar tapi masih aja dimanfaatin.        Hans mendengkus, sepertinya perempuan di depannya perlu diberi penegas ingatan bahwa dirinyalah yang membuat sisi liar Hans bangkit. Kalau kamu nggak memulai, aku nggak akan melanjutkan dan mengambil alih permainan. Kamu tahu, apa yang sangat ingin aku lakukan saat ini?        A-apa? cicit Venus ragu.        Kembali memasuki milikmu yang panas dan mengentak kuat agar kamu memang yakin bahwa ada sesuatu yang serius di antara kita. Kamu milikku. Hans mengklaim tegas.       Mendadak kepala Venus berputar-putar. Kenapa Hans sangat bersikukuh mengenai hubungan tidak sengaja tadi malam. Harusnya ia lega karena lepas dari tanggung jawab sudah merenggut keperawanan yang selama ini dijaganya.        Tapi Venus tetap yakin masa depannya masih cemerlang. Tidak melulu tentang hubungan seksual. Mungkin perempuan lain akan memaksa Hans jika dalam posisinya agar mempertanggung jawabkan dengan sebuah ikatan -- pernikahan. Tapi tidak bagi Venus. Pernikahan hanya akan dilakukan pada dua sejoli yang saling mencinta. Bukan keterpaksaan hanya karena kesalahan fatal seperti sekarang.        Mau kamu apa? Venus menatap serius laki-laki yang balas menatapnya intens.        Kamu harus tanggung jawab. Karena udah perkosa aku dengan brutal, tekan Hans tegas.        Mulut Venus terbuka dengan ekspresi kaget. Omong kosong apa ini? Harusnya aku yang menuntut kamu karena membiarkan hal itu terjadi.        Hans tersenyum lebar. Memang harusnya begitu. Supaya kamu nggak macam-macam lagi di luar.Demi Tuhan, ada apa dengan isi kepala laki-laki tampan yang katanya pintar ini? Memikirkan saja kembali membuat kepala Venus berdenyut sakit.        Tolong tunjukkan di mana kamar mandi?        Sebelah alis hitam Hans naik.        Aku mau mandi, decak Venus sebal.Ia ingin membasuh seluruh tubuhnya. Terutama bagian vital yang terasa lengket.         Di sana, tunjuk Hans pada pintu berwarna cokelat di sudut ruangan. Tunggu!        Mau apa lagi? Jangan dekat-dekat ... akh! bokong Venus kembali terduduk di busa empuk saat ingin melangkah.        Pasti masih sakit, kan? Hans membopong tubuh Venus meski wanita itu meronta. Mendadak aku seperti maniak semalam.         Venus merinding mencerna kalimat Laki-laki yang berjalan santai membawa tubuhnya ke dalam bathroom. Me-mangnya berapa kali kamu melakukannya? Jantung Venus makin melemah fungsinya saat manik kelam Hans berubah pekat.        Harus dijawab?        Venus mengangguk, tampak gelisah menunggu rangkaian kalimat mengejutkan dari mulutnya. Hans? desaknya tak sabar.        Seingatku lebih dari tiga kali, ringis Hans mengusap tengkuknya setelah mendudukkan Venus di depan kaca lebar wastafel.        Apa? Suara Venus nyaris tak terdengar saking terkejutnya. Pantas saja organ intimnya saat ini terasa ngilu dan perih. Dan laki-laki menyebalkan ini tadi masih saja merengek untuk mengulanginya.        Sebelum Venus berang dengan kejujurannya, Hans sudah menyingkir dari amukan singa betina.Dasar maniak gila! umpat Venus melempar botol shampo yang ada di dekatnya.***        Sekarang kita pacaran. Kejadian semalam adalah tanda jadian kita. Nggak boleh menyangkal. Apalagi menolak!        Venus termenung, kembali teringat kata-kata Hans tadi siang saat mengantarnya pulang setelah melakukan ritual mandi mendebarkan karena takut Hans ikut bergabung. Kenapa jadi rumit begini? One night stand sialan!        Pacaran. Satu kata yang sejak tadi menjadi mantra. Venus memilih mengakuinya daripada Hans kembali mengulangi hal intim yang memalukan.        Nggak enak badan? tanya Henry menyentuh bahu Venus.        Pulang aja. Pucat gitu. Ntar pingsan lagi, ucapnya khawatir.        Venus mengangguk, sepertinya dia memang butuh istirahat. Ya, udah, aku pulang, deh.Aku antar, ya? Tapi tunggu sampai Rino datang dulu.        Nggak usah. Aku pulang sendiri aja naik ojol. Aku ke dalam dulu izin sama Mbak Kyra.        Tak lama Venus ke luar dengan tas ranselnya.        Beneran, nih, nggak mau diantar? Dikit lagi juga Rino datang, tawar Henry.        Nggak, ah. Daahh...        Venus keluar ke arah halte bus. Ia lebih memilih angkutan umum daripada jasa ojek online. Bus tiba, Venus segera menaikinya. Dalam perjalanan tampak merenung sampai akhirnya bus berhenti di tujuannya. Venus berjalan pelan mendekat pada toko apotek. Ia malas berobat ke dokter dan memutuskan membeli obat biasa yang dikonsumsi jika tubuhnya sedang kurang vit. Seketika otaknya teringat akan sesuatu. Satu strip obat kontrasepsi menjadi perhatiannya saat ada perempuan di sebelahnya yang membeli.        Mau juga, Mbak, satu obat yang sama, pintanya pada pegawai apotek. Kemudian menanyakan perihal aturan urutan meminumnya.     Setelahnya Venus segera pulang. Sedikit berlari agar cepat sampai di rumah. Begitu tiba di kost, ia langsung menuju dapur menuang air mineral. Pandangannya tertuju pada pil kontrasepsi.        Minum nggak, ya? Apa perlu tanya Hans dulu, semalam dia pakai pengaman apa nggak saat melakukannya? gumamnya sambil mengetuk-ngetuk dagu.        Venus mengambil ponsel dari dalam tas. Eh, aku, kan, nggak tahu kontaknya dia berapa.        Menghela napas rendah akhirnya ia memilih meminum obat tersebut. Bayangan masa depannya sekelebat berputar. Dengan perut membuncit tanpa adanya status pernikahan membuat Venus mantap menelan pil kecil penghambat reproduksi.        Getar ponselnya membuat Venus tersedak. Ia meminum lagi air dalam botolnya langsung agar rasa perih di tenggorokannya segera reda. Sebuah nomor tidak dikenal masih terus terpampang pada layar kaca pipih tersebut. Venus mengernyit enggan menerima kontak tidak dikenal. Akhirnya suara ponsel itu lenyap tergantikan dengan suara pendek yang menandakan sebuah pesan masuk.        Kenapa nggak diangkat? Mau kabur dari tanggung jawab, heh?!        Mulut Venus seketika mencebik. Komat-kamit kesal dengan kolaborasi umpatan untuk si pengirim yang sudah diketahui identitasnya.       Kemudian benda tersebut bergetar lagi dan kembali diabaikan olehnya.        Jadi lebih pilih aku dobrak pintu kost kamu daripada terima telepon aku?        Damn! Kenapa menyebalkan sekali. Sepertinya Venus perlu mengakui jika julukan 'aneh' untuk Jupiter Hans memang benar adanya.        Ya, ada apa? sapanya ketus menerima saluran ponsel.        Galak banget. Aku cuma mau bilang sama kamu istirahat yang cukup. Jangan mikirin kejadian semalam lagi. Selama kita pacaran, aku nggak akan tuntut kamu ke jalur hukum.        Tahu begini lebih baik kamu kulaporkan ke polisi atas tuduhan tindakan tidak menyenangkan? sahutnya kesal.        Tapi bukti-bukti mengarah kalau tindakan semalam adalah sama-sama saling menyenangkan. Kemudian sambungan terputus. Tak lama sebuah pesan gambar diterima dan sukses membuat Venus murka. Foto diri Hans yang bertelanjang dada yang penuh dengan bekas kiss mark.        Sialan! Kamu memfotonya?        Iya.        Mau mempermalukanku dengan ancaman receh itu?        Enggak sama sekali.        Terus apa maksudnya kamu lakuin kayak gitu? Venus nyaris frustrasi menghadapi sikap Hans.        Supaya kamu ingat kalau aku nggak pernah maksa kamu ngelakuin. Itu aja. Hans diam sejenak. Kondisi kamu sekarang lagi nggak baik. Istirahat aja, ya. Bye.        Venus menatap nanar layar ponsel yang telah berubah menggelap tanda sambungan seluler telah terputus. Tapi tak lama sebuah pesan masuk cukup membuat rasa was-wasnya sedikit mereda.        Jangan mikir macem-macem. Kita akan berpacaran sehat. Kecuali kalau kamu yang maksa aku lagi untuk ngulang kejadian enak semalam. ~bersambung
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan