
“Akhirnya kamu kembali lagi. Setelah lama tak berkunjung.” Ujarku kepada perempuan bergaun kuning selutut di depanku. Mendengar suaraku, perempuan itu menoleh, setelah khusyuk mengamati kebun bunga matahari yang ku tanam di kebun belakang rumah. Perempuan itu tersenyum manis.
“Iya ya, lama banget aku gak berkunjung ke rumahmu. Buktinya halaman rumahmu sekarang banyak banget tumbuh bunga matahari. Rumahmu sekarang menyatu dengan alam. Sesuai namamu... Alam.” Kata Perempuan itu. “Sejak kapan kamu menanam bunga matahari, Lam?”
“Apa kamu suka?” Tanyaku.
“Ini bunga favoritku. Aku selalu suka. Sangat suka.”
“Kalau begitu, kamu harus sering main kesini karena bunga matahari ini.” Ujarku. Perempuan itu mengangguk antusias mendengar tawaranku.
“Sepertinya, waktu berlalu sangat lama, ya?” Tanya perempuan itu. Lirih.
“Hm?” Gumamku. Yang masih bisa didengar olehnya.
“Aku seperti sudah pergi terlalu lama. Banyak banget yang berubah. Sejak kapan rumahmu penuh bunga matahari? Dan sejak kapan juga kamu memperbolehkan rumahmu ramai oleh anak-anak?” Tanya perempuan itu.
Sayup-sayup suara anak-anak dari rumahku terdengar. Mereka sedang bernyanyi, beberapa juga terdengar suara tertawa, yang sedang tertawa pasti anak-anak yang tidak mau mendengar intruksi dari Kakak Pencerita yang sedang mengajak mereka bernyanyi di sela-sela bercerita agar tidak mengantuk.
Ya, rumahku memang ramai dengan anak-anak. Itu karena aku membuka kelas mendongeng setiap minggu. Itu gratis. Biasanya aku yang menjadi kakak yang bercerita, tapi akhir-akhir ini ada beberapa anak-anak sekolah menengah atas yang menjadi relawan untuk bercerita. Jadi, sore ini aku bisa menemani perempuan di depanku ini.
“Siapa dan apa yang mengubahmu, Lam? Sejak kapan kamu menyukai bunga matahari dan anak-anak? Bukannya kamu dulu bermusuhan sekali dengan anak kecil?” Tanya beruntun dari perempuan ini. Aku tersenyum kecil. Dia masih sama cerewetnya. “Siapa dan apa yang mengubahmu, Lam?”
“Alea.” Kataku sambil memanggil namanya. Perempuan ini menatapku dengan penuh tanda tanya. “Kalau nanya satu-satu. Kebiasaan.” Lanjutku.
Mendengar itu, dia mengerucutkan bibirnya. Sebal jika dibilang tentang kebiasaannya yang suka bertanya beruntun tapi aku menyuruhnya bertanya satu-satu. Namun ketika dia menampilkan ekspresi itu, justru membuatnya semakin lucu.
Aku dan Alea adalah sahabat. Sahabat sejati, barangkali. Hal random yang membuat kami menjadi dekat adalah karena kami sama-sama memiliki dua huruf yang sama di depan nama kami. Al, Alea dan Alam. Tapi, kami benar-benar sahabat sejati. Ya. Sepertinya.
“Sederhananya, ada yang mengubahku.” Kataku menjawab pertanyaannya.
“Itu gak menjawab. Gak nyambung. Kan aku tanya apa dan siapa yang membuat sahabatku ini berubah drastis ini?” Kata Alea. Aku tertawa. “Padahal kalau ditanya aja jawabnya gak nyambung. Kok bisa buka kelas mendongeng? Kamu pasti juga menjadi salah satu kakak pencerita kan?”
“Iya.” Jawabku. “Kenapa? Iri?” Ujarku sedikit menggodanya.
“Ih Alaaamm... Kamu gak cocok. Cocoklah aku jadi kakak pencerita dibanding kamu.” Katanya. Mendengar itu aku terdiam. “Aku bisa kan menjadi salah satu kakak pencerita di kelas mendongengmu?”
Mendengar pertanyaan itu, aku tak langsung menjawab. Bukan karena aku menolaknya. Tidak. Alea justru lebih dari sekedar memadai untuk menjadi kakak pencerita. Aku menatap dalam ke matanya yang berbinar menunggu jawabanku.
“Kamu harus aku tes dulu.” Kataku kemudian.
“Ya ampun, Lam. Aku kan teman dekatmu. Teman dekat gak bisa jadi alasan langsung diterima? Ah, sial banget aku. Aku padahal punya orang dalam agar aku bisa langsung terekrut, tapi orang dalamku gak bisa diandalkan.” Dia sebal. Aku tertawa.
Ku ambil sebuah buku bersampul kuning yang sedari tadi aku sembunyikan dari Alea. Setelah buku itu ada di tanganku, aku menyodorkan pelan buku itu hingga tepat berada di depan Alea. Melihat buku itu, Alea menarik nafas dalam.
“Kalau mau jadi kakak pencerita, kamu juga harus mau mendengarkanku bercerita dulu. Ini tesnya.” Kataku menjelaskan. “Dan aku sedang ingin membacakan buku kuning ini untukmu.”
“Kamu mau bacain buku ini ke aku?” Tanya Alea. “Aku gak mau. Aku udah tahu ceritanya. Lagian aku gak suka sama ceritanya, pun juga sama penulisnya.”
“Oke, kamu gagal.” Kataku. “Gimana bisa kakak pencerita memilih-milih cerita apa yang mau ia bacakan?”
“Tapi tes kamu gak nyambung. Aku kan maunya jadi kakak pencerita, di tes ini kamu malah nyuruh dengerin. Seharusnya tes sekarang adalah kemampuan aku bercerita.”
“Yaudah. Nih baca bukunya. Kamu yang ceritain isi bukunya buat aku.” Kataku. Alea terdiam sambil memanyunkan bibirnya.
Melihat keterdiamannya, aku menarik nafas dalam-dalam. Pohon-pohon bunga matahari bergoyang lembut ditiup angin lembut. Suara anak-anak dari dalam rumahku sekarang ramai dengan suara tawa. Sepertinya, kakak pencerita mereka sedang menceritakan kisah lucu.
“Kan diem.” Kataku. “Menjadi pencerita yang baik itu juga harus memiliki kemampuan mendengarkan yang baik, Al.”
“Tapi aku udah tahu cerita buku ini, Lam. Gak ada buku lain? Lagian kamu dapet buku ini darimana sih? Penulisnya aja gak terkenal.”
“Mau lolos tes mendengar atau tidak menjadi kakak pencerita sama sekali?” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya. “Lagipula, setiap penulis itu punya fans dan hatersnya sendiri. Siapa tahu cerita yang menurutmu membosankan ini bisa bermakna lain jika menurut sudut pandangku.”
Setelah sekian lama terdiam, Alea mengangguk setuju untuk mendengarkanku membacakan buku bersampul kuning ini. Yang isinya tak secerah sampulnya. Aku menarik nafas dalam, membaca buku ini, meski sudah berulangkali ku baca, tetap menguras seluruh emosiku.
“Buku ini menceritakan tentang seorang perempuan bernama Hima. Ia sangat menyukai namanya, karena namanya adalah sebagian dari kata himawari, yang artinya bunga matahari dalam Bahasa Jepang. Bunga kesukaannya. Hima yang menyukai himawari. Sama sepertimu yang juga menyukai bunga matahari.”
Semilir agin lembut menerpa kulit. Pohon-pohon bunga matahari bergerak lemah. Suara anak-anak dari dalam rumah sedang ramai membaca doa pulang. Awan abu-abu di langit merebut tahta birunya langit. Mendung.
Seakan mengerti, kisah Hima adalah kesunyian. Perempuan pemilik pribadi hangat yang mampu membuat siapapun tersenyum, ternyata dingin tak tersentuh. Kegelapan di hatinya abadi. Seperti hakikatnya cahaya, yang bersinar terang terkadang bukan hanya karena sumber cahayanya paling kuat. Tapi lingkungan yang gelap pekat bisa membuat sinar itu menjadi terang. Dan Hima adalah gambaran dari itu.
Ia dibesarkan di sebuah keluarga yang tak harmonis. Ayah Ibu yang tak ragu saling berteriak saat marah, bahkan mudah sekali mengatakan kata “cerai” di depan anak-anaknya saat bertengkar. Penampakan ini jelas bukan hal yang baik bagi anak-anak mereka. Hima tumbuh dengan menyaksikan orangtua mereka yang masih tidak bisa mengelola emosi dengan baik.
“Tak ada tempat di rumahnya sendiri, Al. Hima bahkan tidak tahu mana yang lebih menyenangkan atau mana yang lebih mengenaskan. Memiliki keluarga yang utuh tapi situasinya tak hangat lagi atau lebih baik tumbuh di keluarga yang berpisah saja sekalian. Toh buat apa selalu bersama tapi saling menyakiti?” Kataku saat menceritakan kisah Hima kepada Alea.
“Ah, penulisnya Gen-Z ini. Dikit-dikit masalah, broken home.” Ujar Alea ketus mengomentari. Aku menggeleng. Masalah Hima, lebih dari itu.
Ketika rumah di keluarganya yang seharusnya selalu menjadi tempat untuk pulang, tapi tak lagi ada kehangatan di sana, Hima memutuskan pergi ke kota lain. Memulai hidup baru. Singkatnya, ia merantau, izin bekerja dan mencari pengalaman baru.
Pengalaman itu benar-benar datang. Hima yang sedang mencari pekerjaan, ditawari bergabung di komunitas relawan. Saat itu, kota yang ia singgahi baru saja mengalami gempa bumi. Melihat belum ada pekerjaan, Alea menerima tawaran itu. Alea pun memiliki kesibukan. Hatinya mulai penuh dengan orang-orang yang ia jumpai dan yang ia bantu. Hingga kesibukan itu membunuh kesepiannya. Mengobati sedikit rindu akan rumah.
Pertemuan dengan orang-orang selalu mengesankan. Mendengar cerita mereka, menambah pembelajaran tentang hidup. Mendengar cerita mereka bahkan juga bisa mengobati tanpa sadar. Yang berceritapun, meski tak mendapat solusi, rasanya lega saja jika mengeluarkan hal yang dipendam.
Disana, ia memiliki keluarga baru. Namanya Ara dan Ria. Alea menganggap Ara dan Ria adalah adiknya. Tapi seperti magnet, di kehidupan ini kita akan saling tarik-menarik dengan hal-hal yang terkoneksi satu sama lain.
Setiap kita memiliki luka di hati masing-masing, bukan? Dari perkenalannya dengan Ria, ia mendapati bahwa Ria adalah anak angkat yang menanggung beban balik jasa dan ekspektasi orangtua angkatnya. Hidupnya meski berkecukupan, tapi menjadi tak cukup jika remote control hidupnya dipegang oleh orangtuanya. Ria juga kabur, izinnya juga ingin merantau bekerja. Tapi hal besar yang dihindarinya sebenarnya adalah orangtua angkatnya yang memaksa Ria untuk segera menikah dengan juragan tanah di kampungnya.
Dari Ara, ia mendapat pemahaman bahwa luka yang dialaminya, itu belum seberapa. Ara juga anak angkat yang memilih membenci orangtua yang telah merawatnya dari kecil. Karena Ara harus menyaksikan kedua orangtua angkatnya bertengkar hebat. Antara Mama yang tak mau mengurus Ara karena itu bukan anaknya dan Papa yang lelah pulang kerja, tapi menyaksikan Mama selalu pergi, sibuk dengan dunianya. Semua saling menyalahkan. Hingga akhirnya, kedua orangtua angkatnya bercerai. Ara terpaksa harus ikut Papa, karena sedari awal mereka mengangkat anak, Mamanya adalah orang yang paling tidak setuju akan kehadirannya.
Tapi kebersamaannya dengan Papa, justru tak aman. Bagaimanapun, Ara hanyalah anak angkat yang tak memiliki ikatan darah dengan Papa. Sejak kecil pun, Ara tak dekat dengan Papa karena dia sibuk bekerja. Dan saat keduanya harus terpaksa akrab, sifat binatang Papanya muncul. Ara yang saat itu masih berseragam putih biru, harus mengalami hal tragis di hidupnya. Ia menjerit meminta tolong, membawa kabur kaki lemahnya meninggalkan rumah neraka itu. Ara, tak punya rumah. Tak tahu kemana harus pulang. Orangtua yang selalu menjadi tempat kepulangan pun, pada hakikatnya Ara tak punya. Ia sempurna sendiri.
“Lam, buku ini jelek. Tokoh utamanya gak jelas. Katanya kisah hima, tapi hampir setengahnya justru mengisahkan kisah Ara.” Kata Alea memotong ceritaku.
“Sebab bukankah hal ini bersambung? Saling mengaitkan?” Ujarku menanggapi Alea yang memotong ceritaku.
Rintik hujan turun membasahi halaman rumahku. Tempias air hujan hampir mengenai Alea. Aku menarik nafas dalam. Sekali lagi, kisah di buku kuning ini selalu menarik seluruh emosiku.
Puncak kisah itu adalah ketika Ara menggantungkan hidupnya kepada Hima. Sudah dijelaskan di awal kisah buku ini. Hima memiliki sifat hangat yang membuat siapapun nyaman berada di dekatnya. Ara menjadikan Hima rumah. Hima tak keberatan, toh tidak ada ruginya.
“Sayangnya, Hima hanya memiliki kemampuan membuat semua orang nyaman di dekatnya. Tapi ia tak mengenyam ilmu psikologi. Lupa mengatur menejemen emosinya. Dan beberapa lama, ada yang mengganggu jiwa Hima sendiri.” Kataku.
Hima terpaksa memasukan Ara ke rumah sakit jiwa. Ara butuh pengananan lebih karena berulangkali Ara hampir membunuh hidupnya sendiri ketika mengingat hal buruk yang terjadi padanya. Di satu sisi, pandemi covid memaksa segala manusia dirumahkan. Hima mau tak mau harus pulang ke rumahnya. Ara juga harus pulang kembali ke daerah asalnya karena di jemput kakek nenek angkatnya. Berkali-kali Ara mengamuk dan berteriak ingin bersama Hima. Hima adalah rumahnya kan? Kakak yang mengerti kondisinya.
Tapi Hima menolak tegas membawa Ara pulang bersamanya. Selain keluarganya tak harmonis, kebersamaan Hima dengan Ara membuat ‘sesuatu’ muncul di hidupnya.
“Trauma delay, Lam.” Ujar Alea. “Yang sesuatu yang muncul itu adalah sebuah trauma yang telah lama terkubur. Bahkan Alea sudah melupakan kisah itu. Tapi, kisah Ara ternyata mampu memunculkan peristiwa yang Hima alami sejak kecil. Bukan kisah pertengkaran orangtua mereka, tetapi trauma yang sama akan sama-sama pernah mengalami pelecehan saat kecil. Trauma itu muncul bahkan setelah bertahun-tahun hilang dalam ingatan Hima.”
Aku diam mendengarkan Alea. Dia jelas tahu cerita tentang kisah Hima ini.
“Diperparah dengan kondisi pandemi. Hima harus pulang, kembali ke keluarga yang telah kehilangan makna rumah, membawa pulang trauma yang kembali muncul. Ia kembali ke lingkungannya, di mana ada pelaku pelecehan itu.” Kata Alea.
Suara halilintar terdengar keras. Hujan mulai turun dengan deras. Pohon-pohon bunga matahari menunduk, berat menahan beban air hujan. Tempias hujan mulai mengenaiku dan mengenai Alea. Melihat itu, aku meringis.
“Pelaku pelecehan itu bisa menikah, Lam. Bisa melanjutkan hidup. Dia tanpa merasa bersalah telah melecehkan Hima yang masih kecil. Hima yang polos, yang bahkan saat peristiwa itu terjadi, ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh lelaki dewasa. Yang ia tahu, ia ketakutan. Ia selalu ketakutan hingga untuk bercerita ke keluarganya pun ia tak bisa. Rumahnya, tak pernah nyaman.” Kata Alea.
“Dan Hima memilih memendam masa lalunya sendirian. Sebab ia tak memiliki tempat untuk hanya sekedar bercerita.” Ujarku.
“Kasihan banget kan, Lam? Pelaku pelecehan bisa melanjutkan hidup, sementara korban membawa trauma itu di seluruh hidupnya.” Kata Alea lirih.
Petir menyambar. Gemuruh di langit semakin terdengar saling bertabrakan. Hujan semakin deras. Angin semakin berhembus kencang. Alea menangis tersedu.
Alea masih sama setelah lama sekali kita tak saling bertemu. Hatinya masih lembut. Ia bisa merasakan segalanya. Alea masih sama. Ia bisa merasakan perasaan Hima.
“Kisah Hima, yang membuatku membuka kelas mendongeng ini, Al.” Kataku. “Hima bukan memiliki tempat untuk bercerita, tapi belum menemukan tempat itu.”
Jelas Hima tak akan mampu mengeluarkan cerita itu ke keluarganya sendiri. Sebab keluarga yang ia anggap rumah, yang berdiri hanya bangunan, bukan tempat untuk pulang. Saat komunitas relawan yang ia anggap rumah pun, ketika ia ingin sekedar menceritakan hal berat di hatinya justru mengatakan, “Mengapa ya anak sekarang soal begini saja tak bisa menyelesaikan? Itu kan masa lalu, hal yang gak bisa diubah. Kenapa sampai dibawa terlalu jauh, menghambat proses tumbuh.”
Atau justru mengatakan bahwa pertemuannya dengan Ara memang sebenarnya untuk menyembuhkan Hima secara tidak sadar. Barangkali itu benar. Tapi kalimat berikutnya membuat Hima patah.
“Sayangnya kamu justru menyerahkan Ara ke Kakek Nenek angkatnya, yang notabene mereka adalah orangtua dari ayah angkat Ara. Sekarang, kita bahkan gak tahu kabar Ara bagaimana, kejiwaan Ara bagaimana karena pasti ia bertemu dengan orang yang menorehkan luka terdalamnya. Coba waktu itu, kamu yang ia jadikan rumah tetap memilih menerimanya.”
STOP!!!
Tidak semua orang mudah melupakan masa lalu apalagi itu hampir membuang seluruh hidupnya. Dan meski benar tentang segala pertemuan antar manusia membawa pelajaran tentang mengobati, pun diobati. Itu benar. Tapi kalimat menyalahkan Hima atas kehidupan Ara, Hima tak terima. Ia bukan orangtua Ara, ia tak berkewajiban membantu kondisi kejiwaan Ara.
Bukan. Ia bukan rumah untuk Ara! Bahkan untuk siapapun. Ia bukan rumah di saat ia sendiri mencari rumah!
“Beruntungnya, manusia memiliki penulis skenario yang bisa menjadi rumah, namun seringkali diabaikan. Tangan-tangan Tuhan, selalu menjadi rumah untuk hamba-Nya. Dan saat-saat berat itu, Tuhan memberikan takdir kepada Hima bahwa cahaya itu masih ada. Setiap peran yang Tuhan tuliskan dalam skenario kehidupan, sejatinya mempunyai takdir baik. Dan itu mutlak.” Kataku. Alea di depanku, juga mengangguk setuju.
Masa-masa berat itu pasti terlewati. Sama seperti cerita Hima, Hima pun perlahan menemukan jalan untuk setidaknya ia merasa tenang. Perlahan Hima bertemu rumah itu.
“Singkatnya, setelah masa-masa berat itu, Hima memperoleh kesempatan bisa pergi dari kota yang menyakitinya. Janji-janji tentang masa terang itu benar-benar ada. Dan Hima menyambut itu. Akhirnya ia mendapat pekerjaan di luar kota. Meski hanya sebagai Cleaning Service, Hima menyambut itu dengan bahagia. Meski itu sama saja membuang gelar sarjananya, meski itu sama saja ia harus menerima upah yang tak seberapa.” Kataku. “Tapi, Al. Sejatinya ketika kita memperoleh ketenangan itulah puncak tertinggi dari kebahagiaan.”
“Apalagi disaat-saat ketenangan itu, kita menambah porsi bersyukur dalam hidup. Dan saat kita mensyukuri takdir kita, tangan-tangan Tuhan membukakan semakin banyak takdir-takdir baik yang akan datang.” Ucap Hima. Aku tersenyum. “Salah satunya adalah ketika Hima Si Cleaning Service itu menemukan rumah yang mau mendengar ceritanya dan tak menghakiminya. Apalagi rumah bagi Hima itu adalah Direktur perusahaan tempatnya bekerja. Hahaha. Ia yang sederhana, tapi dari kesederhanaan itu membuat Direkturnya jatuh cinta. Setidaknya setelah gelapnya hidup Hima, ia berhak mendapatkan suami yang kaya raya dan itu akan terwujud.”
“Ya. Kaya raya dan tampan, tentu saja.” Kataku. Alea mengangguk dan tersenyum. Sangat manis. “Meski awalnya sulit sekali Direktur itu untuk membuat Cleaning Service kantornya untuk jatuh cinta. Tapi setelah perjalanan panjang, ternyata mudah saja. Cukup menjadi orang yang mau mendengar cerita dan menerima betapa cerewetnya Cleaning Service itu.”
“Apalagi ketika Hima bermimpi bahwa di masa depan ia ingin menjadi ibu rumah tangga yang kesibukannya hanya mengurus kebun bunga matahari dan membuka kelas mendongeng di setiap minggu, Si Direktur itu tanpa keberatan menyetujuinya. Justru sekarang, Si Direktur itu mewujudkannya.” Celetuk Alea. Aku menggigit bibir, gemetar haru.
Ya, kisah Hima selalu membuat siapapun akan terharu.
“Aku sudah mendengar seluruh cerita ini, aku sudah bisa kan menjadi Kakak Pencerita?” Tanya Alea. Dia masih menagih janji ini.
“Belum.” Kataku lirih.
“Ih, Lam. Kamu nyebelin, sih.” Ujar Alea kesal. Kemudian ia mencubitku. Alea masih sama. Ia akan mencubitku kalau sedang kesal. Saat Alea mencubitku, aku menangis. Alea terkejut.
Aku menangis bukan karena cubitan Alea yang tak seberapa. Alea juga terkejut jelas bukan karena aku yang menangis. Melainkan...
“Papa, ayo masuk. Mama udah masakin nasi goreng.” Kata anak lelaki berumur tiga tahun, memanggilku sambil setengah berteriak. Aku menggeleng menolak.
“Oh Papa lagi sedih, ya? Ya udah aku masuk dulu ya. Papa selesaikan saja menangisnya.” Kata anak lelaki itu. Setelah mengatakan itu, ia berlari masuk ke dalam.
Setelah itu, suasana hening cukup lama. Suara-suara jangkrik mulai terdengar setelah hujan mulai reda, mengisi kekosongan yang terjadi di antara aku dan Alea. Pohon-pohon bunga matahari bergoyang perlahan diterpa angin.
“Maaf. Kamu tidak bisa menjadi Kakak Pencerita disini.” Kataku.
“Aku paham.” Kata Alea lirih. Ia ikut menatap kebun bunga matahariku. “Tahu gak, Lam? Mungkin kalau kejadian ini dituliskan menjadi buku, pasti ada pembaca yang menerka bahwa keterdiaman kita tadi karena aku yang kaget melihat ada seorang anak memanggilmu Papa. Padahal bukan.”
“Iya.” Kataku lirih.
“Ternyata kelebihanmu masih berguna ya, Lam.” Ujar Alea. Aku mengangguk pelan.
Seperti kata Alea, keterdiaman kami bukan karena ada anak kecil yang memanggilku Papa. Bukan juga karena Alea yang mencubitku. Dan aku menangis juga bukan karena cubitan Alea.
Melainkan karena satu hal yang membuat Alea menyadari sesuatu dan membuat aku kembali ke alam sadar.
“Aleana Hima Anastasya. Namamu. Dan Hima adalah nama kecilmu, kamu mengubah panggilan namamu berharap kisah Hima mati di masa lalu. Ya, kisah Hima adalah kisahmu. Buku kuning ini adalah buku diarymu. Penulis buku ini, yang katamu tak terkenal adalah dirimu. Kisah buku ini adalah tentangmu, Alea.” Kataku pelan. “Dan yang jelas, Direktur yang mencintai Cleaning Service itu adalah aku. Kamulah alasanku membuat kebun bunga matahari, kamulah alasanku mengizinkan rumah ini ramai oleh anak-anak, dan kamulah yang membuatku bisa mendirikan kelas mendongeng.”
Pohon-pohon bunga matahari bergoyang ditiup angin selepas kata-kata berat itu lolos dari mulutku.
“Maaf tak mengantarmu pulang kala itu.” Kataku. Alea mengangguk.
“Ternyata sudah sangat lama ya, Lam.” Ujar Alea.
Ya. Sangat lama. Meski kisah Hima atau Alea di buku kuning itu telah habis, namun sebenarnya kisah itu masih berlanjut.
Kami-aku dan Alea- yang bermula dari teman akrab hampir menikah. Dan ini tidak dituliskan di buku kuning ini. Setelah Alea menerima takdirnya, Alea izin pulang untuk memberitahukan ke orangtuanya bahwa ia akan menikah. Seharusnya berita bahagia ini kami berdua yang menyampaikan. Sayangnya, kala itu aku harus merawat Ibuku yang sedang tergolek lemah di Rumah Sakit. Alea tak masalah aku tak mengantarnya. Ia bisa sendiri.
Sekali lagi, seharusnya aku mengantarnya.
Pesawat yang mengantarkan Alea jatuh terperosok ke hutan. Dan setelah itu, aku tak bisa lagi berbicara dengan Alea dan melanjutkan pernikahan kami. Alea meninggal saat kejadian itu.
Ya. Inilah kemampuanku yang kata Alea masih berguna. Aku diberkati oleh Sang Pencipta dengan kelebihan melihat benda-benda tak kasat mata. Mungkin bagi sebagian orang, orang sepertiku hanyalah manusia dengan tingkat halu tinggi. Tapi kata Alea, ini justru keren. Jadi aku merasa keren saja memiliki kemampuan ini.
Benar. Alea yang saat ini di depanku barangkali adalah sebagian dari arwah-arwah yang bisa ku lihat. Alea menjadi arwah yang sedari tadi tidak sadar kalau dia adalah hantu. Karena saat ia mencubitku, tangannya menembus tanganku. Meski aku bisa merasakan dingin saat dia hendak menyentuhku.
“Terima kasih telah mewujudkan mimpiku meski ternyata aku tidak bisa bergabung.” Kata Alea. “Ah, apa kebun bunga matahari itu berarti juga untukku karena aku menyukai bunga matahari?”
“Iya. Untuk Hima yang menyukai Himawari. Untuk Alea yang menyukai bunga matahari.” Ujarku. “Di masa ini ada sebuah lagu yang sedang banyak diputar di mana pun. Di liriknya tertulis bahwa ia berharap akan kedatangan seseorang meski dalam wujud bunga matahari.”
“Dan aku beneran datang.” Kata Alea. Aku tersenyum perih.
“Meski terlambat, selamat atas pernikahan dan takdirmu sekarang yang sudah menjadi Papa, Lam.” Kata Alea. Aku tertawa.
“Aku belum menikah, Al. Anak tadi adalah anak dari adikku dengan istrinya. Kebetulan memanggilku Papa.”
“Kalau begitu kamu sebaiknya menikah, Lam. Kamu sudah tua. Kisah kita saja sudah lama berlalu.”
“Aku belum menemukan penggantimu. Dan aku masih mau menyaksikanmu menari di kebun bunga matahariku. Aku akan selalu menanamnya, agar kamu selalu datang.” Kataku.
“Aku bergentayangan, dong?” Kata Alea. Mendengar itu kami kompak tertawa. “Gak boleh gitu, Lam. Kamu harus melanjutkan hidup. Masa sepanjang hidupmu kamu jatuh cintanya sama hantu.”
Mendengar itu, aku tersenyum saja. Menunggu sampai waktu ketika hantu bergaun kuning ini entah akan kapan hilang dari hatiku. Tidak tahu. Tapi Alea benar. Aku harus melanjutkan hidup.
Di perjalanan hidup Alea, sepanjang hidupnya adalah pencarian tentang rumah yang nyaman. Meski langkahnya terhenti di ambang pencarian tiada akhir, rumah sejatinya bukanlah sekedar tempat yang bisa disentuh pun dimiliki. Rumah adalah kehangatan yang tumbuh dari penerimaan diri, dari luka yang dirawat dengan hati, dari doa yang dibisikan dalam sepi.
Kini, Alea tak lagi mencari rumah, sebab rumahnya ada di hatinya, dalam damainya jiwa yang telah kembali kepada-Nya. Alea sudah kembali, sisanya tinggal aku yang melanjutkan hidup dengan membawa puing-puing harapan menemukan sosok sepertinya.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
