
Merayakan dirilisnya tulisan kawan hidup saya, Karol Pancho, di Feastin.id tentang makanan yang emosional di Bali. Berikut ini cerita saya dan Nasi Jinggo.
Ketika saya masih di bangku SMP, hampir setiap pagi saya bersepeda. Lima belas menit selepas jam enam pagi, saya kayuh sepeda menuju sekolah. Seringkali, saya menghampiri sebuah warung di dekat Simpang Enam, sebuah persimpangan yang cukup populer di tengah hiruk pikuk Denpasar. Warung itu menjual berbagai macam makanan dan kudapan. Ada juga santapan yang saling bertangkup dan bertumpuk di dalam sebuah wadah rotan. Santapan tersebut merupakan santapan unik khas Bali yang sungguh berkesan dalam ingatan saya. Santapan yang terdiri dari sekepal nasi lengkap dengan lauk pauknya, sungguh sebuah santapan yang sederhana. Lauk yang umumnya terdiri dari suwiran ayam pedas, sejumput mie goreng, secuil potongan telur dadar, kering tempe, serundeng, dan tentu saja sambal. Seringkali ada juga lima hingga tujuh butir kacang goreng menemani. Nasi dan lauk pauk itu dibungkus secara unik dengan daun pisang kemudian disemat lidi di kedua sisi. Santapan itu disebut Nasi Jinggo. Saya membeli Nasi Jinggo sebagai bekal makan siang di sekolah. Tidak lama setelah saya merantau di Bali, Nasi Jinggo berhasil membuat saya betah.
Dua windu yang lalu, harganya masih sekitar seribu lima ratus rupiah saja. Banyak cerita dari mulut ke mulut yang berkisah bahwa sejarah nama Nasi Jinggo berasal dari pelafalan lokal dari istilah tjeng go yang berarti seribu lima ratus. Saya sendiri belum sempat menelusuri ketepatan kisah ini.
Bagi saya yang merantau ke Bali di masa kecil Nasi Jinggo memberi arti tersendiri. Nasi Jinggo menjadi semacam ucapan selamat datang. Menjadi hidangan awal yang membuka jalan bagi beragam makanan khas Bali lainnya yang kaya rasa. Lauk pauk yang terkadang terkesan biasa—seperti mie goreng, telur dadar, dan kering tempe—bisa berpadu dengan harmonis bersama ayam suwir dan sambal khas Bali di dalam sebungkus nasi jinggo. Mungkin terdengar klise. Tapi, Nasi Jinggo juga memberikan rasa nyaman yang tidak hanya di lidah, tapi juga di hati. Nasi Jinggo menjadi santapan berkesan yang mengawali petualangan hidup yang tak pernah saya duga di perantauan. Karena sebagai perantau, terkadang tetap ada rasa keterasingan di awal-awal kehidupan saya di Bali.
Nasi Jinggo juga bisa menggambarkan keharmonisan warga Bali. Saya masih ingat ketika saya mengikuti perarakan Ogoh-Ogoh di malam sebelum Nyepi. Ogoh-ogoh biasanya digotong beramai-ramai dalam perarakan dari banjar ke pusat kota, kemudian kembali ke banjar untuk dibakar sebagai simbol meluruhkan keburukan manusia sebelum menyambut Nyepi. Setelah Ogoh-ogoh dibakar dan perarakan berakhir, semua pemuda dan pemudi yang ikut perarakan di desa saya mendapat beberapa bungkus nasi jinggo dan menikmatinya bersama-sama sebelum menutup malam dan memulai Nyepi. Rasa lelah pegal setelah perarakan larut dalam kebersamaan menyantap Nasi Jinggo. Ketika itu itu saya sungguh merasa perantau juga bisa berbaur bersama di dan merayakan adat tradisional Bali dengan damai.
Beranjak remaja, Nasi Jinggo selalu menjadi pilihan mudah ketika saya bingung mau makan apa di luar rumah. Nasi Jinggo biasanya dijual di pinggir jalanan di berbagai sudut Denpasar hingga Bali selatan. Ada beberapa penjual yang hanya menjual di pagi hari, yang biasanya menjadi santapan sarapan ataupun bekal makan siang. Ada pula yang biasanya memulai “kedai” pinggir jalannya di sore hingga tengah malam. Tidak jarang, setiap orang di Bali mempunyai penjual Nasi Jinggo favoritnya sendiri-sendiri. Nasi Jinggo favorit masing-masing bisa tergantung dari rasa, bisa juga dari suasana. Memasuki bangku SMA, saya dan teman-teman cukup sering menyantap nasi jinggo TIMEX. Penamaan yang sederhana karena si ibu penjual Nasi Jinggo tersebut mangkal dari sore hingga dini hari di depan toko jam tangan di pinggir Jalan Diponegoro, Denpasar. Lokasi yang strategis dan suasana pinggir jalan membuatnya menjadi titik kumpul kami sebelum melanjutkan malam. Ketika saya pulang ke Bali di tahun 2019, Nasi Jinggo TIMEX tetap ramai. Tidak jarang ada orang-orang yang memilih nongkrong di situ sembari bercengkrama hingga larut malam. Tentu banyak juga yang membungkus untuk dibawa pergi, karena memang Nasi Jinggo merupakan santapan yang cocok dinikmati di berbagai situasi.
Selepas SMA, saya melanjutkan perantauan ke tempat-tempat lain di Indonesia. Pilihan makanan sederhana dan mudah didapat seperti Nasi Jinggo di Bali tentu saja saya rindukan. Tidak heran ketika saya sempat pulang ke Bali, Nasi Jinggo wajib menjadi santapan wajib. Ketika berada di Bali, Nasi Jinggo hampir pasti menjadi pilihan utama saya jika sedang bingung dengan pilihan makanan untuk mengisi perut. Hasrat nostalgia biasanya membuat saya makan lebih dari satu bungkus. Paling sedikit dua sampai tiga bungkus Nasi Jinggo diperlukan untuk mencapai titik kenyang.
Beranjak dewasa, saya pun sedikit banyak belajar tentang inflasi lewat Nasi Jinggo. Tidak akan mudah menemukan Nasi Jinggo seharga seribu lima ratus rupiah di masa ini. Beberapa tahun ke belakang, harga yang wajar berkisar di lima ribu rupiah per bungkus. Walau demikian, nama Nasi Jinggo tetap melekat. Saya rasa, nama Nasi Jinggo akan tetap abadi.
Di sisi lain, harga yang meningkat diiringi dengan bertumbuhnya berbagai jenis Nasi Jinggo. Kini tidak sedikit juga yang menjual Nasi Jinggo kuning dan berbagai pilihan daging seperti daging sapi dan ikan laut. Mungkin, meningkatnya arus wisatawan beberapa tahun ke belakang (sebelum pandemi) membuat banyak penjual bereksperimen dengan beragam lauk di dalam Nasi Jinggo.

Ketika pulang kembali ke Bali, saya sudah sangat jarang mengayuh sepeda lagi. Sepeda motor sudah menjadi pilihan utama saya ketika berkelana di Bali. Berhenti di pinggir jalan ketika tergoda Nasi Jinggo tentu lebih mudah dengan sepeda motor dibandingkan dengan bermobil. Berhenti sejenak untuk menyantap Nasi Jinggo di pinggir jalan tetap terasa nikmat dan menjadi penanda bahwa saya sedang di “rumah”.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
