
Keluargaku hijrah ke Pulau Dewata sekitar dua dekade yang lalu. Hijrah yang tidak mudah karena di luar rencana keluarga kami. Tapi, sejak kepindahan itu setidaknya aku mendapat banyak cerita dan pelajaran. Cerita kali ini jika tidak salah ingat berawal di saat aku SMP dan berlanjut sampai aku kuliah. Di sebuah daerah berupa tanah lapang terbuka di Tabanan, ada sebuah pasar yang disebut Pasar Kodok. Banyak penjual di sana yang bilang nama itu diambil karena pembeli yang datang layaknya kodok di sawah...
Keluargaku hijrah ke Pulau Dewata sekitar dua dekade yang lalu. Hijrah yang tidak mudah karena di luar rencana keluarga kami. Tapi, sejak kepindahan itu setidaknya aku mendapat banyak cerita dan pelajaran. Cerita kali ini jika tidak salah ingat berawal di saat aku SMP dan berlanjut sampai aku kuliah. Di sebuah daerah berupa tanah lapang terbuka di Tabanan, ada sebuah pasar yang disebut Pasar Kodok. Banyak penjual di sana yang bilang nama itu diambil karena pembeli yang datang layaknya kodok di sawah yang berlompat-lompat dari satu penjual ke penjual lain. Memang banyak juga yang bilang, tanah lapang terbuka itu merupakan tanah bekas sawah yang tidak dilanjutkan. Dari logat bicaranya, aku menduga banyak penjual berasal dari Madura. Setelah beberapa tahun tinggal di Pulau Dewata, aku tidak terlalu kaget karena cukup banyak pendatang dari Madura yang mencoba mencari peruntungan di situ. Apa yang dijual di Pasar Kodok dan mengapa aku bisa cukup rajin ke situ? Pasar Kodok menjual berbagai jenis baju bekas, mulai dari kaos, kemeja, jaket, hingga beragam celana jeans. Mungkin gejolak untuk berbeda di kala muda yang memancing ketertarikan berburu di Pasar Kodok, mungkin juga karena adanya keterbatasan finansial.
Jika tidak salah ingat, ada sekitar ratusan penjual di situ. Biasanya ada yang memilih untuk menjual produk yang spesifik, misalnya hanya jeans saja, atau hanya jaket kulit saja. Pada masa SMP, aku lebih sering berkutat di area penjual kaos oblong dan kaos kerah. Aktivitas berburu di Pasar Kodok secara tidak langsung melatih ketelitianku, entah ketelitian ini bermanfaat atau tidak. Aku perlu jeli melihat kaos yang menarik dan kondisinya masih bagus, serta warnanya belum pudar. Jika beruntung aku dapat menemukan kaos dari brand favoritku dengan ukuran yang sesuai. Biasanya ada beberapa brand yang belum terlalu dikenal di kalangan penjual, misalnya FUBU dan Alien Workshop. Barang dari brand yang tidak terlalu kenal ini biasanya memudahkanku sebagai pembeli untuk menawar harga. Brand yang relatif lebih dikenal di Pulau Dewata seperti Quiksilver atau Billabong biasanya akan lebih mahal dan lebih susah ditawar. Mungkin kebiasaan berburu pakaian bekas juga sedikit melatih kejelian membedakan barang asli dan palsu. Di Pasar Kodok, mayoritas barang yang dijual barang asli yang sudah dalam kondisi bekas, sisa ekspor, atau gagal pabrik.
Di saat SMA dan menjelang kuliah, selera mulai sedikit berkembang. Aku lebih sering mencari kemeja polos atau bermotif yang layak dipakai di berbagai acara. Masih cukup rajin ke Pasar Kodok karena bisa dibilang di situ kolam yang tepat untuk berburu. Di masa pertengahan SMA, aku juga mulai menyadari banyak kemeja yang berkualitas bagus dengan brand Uniqlo. Sedikit disayangkan, popularitas Uniqlo di kalangan penjual cukup meningkat cepat. Jadi, biasanya aku tidak bisa membeli banyak. Dari sisi ekonomi, aku sendiri lebih tertarik belanja di Pasar Kodok. Kalau mau jeli dan sabar, di Pasar Kodok bisa mendapat dua atau tiga kemeja berkualitas dari jumlah uang yang sama dibanding belanja di mall pada umumnya seperti Matahari atau Ramayana. Seringkali, apa yang kita dapat di Pasar Kodok juga cuma satu-satunya. Jadi, tetap mendukung untuk tampil beda dengan biaya seadanya.
Karena kuliah di luar Pulau Dewata, aku sudah jarang ke Pasar Kodok. Aku juga tidak tahu pasti kapan tepatnya Pasar Kodok berhenti beroperasi, mungkin konflik terkait penggunaan lahan yang menyebabkan pasar itu harus ditutup. Setahuku, banyak penjual yang akhirnya tersebar di Denpasar dengan menyewa tempat yang lebih permanen. Sensasi berburu serasa hilang dengan perpindahan itu. Walau di sekitar dua tahun ke belakang, banyak juga penjual yang berjualan di pinggiran jalan di Denpasar. Biasanya, mereka berjualan dari sore hingga tengah malam.
Aku kuliah di Jogja dan di tahun awal langsung berkenalan dengan istilah awul-awul. Awul-awul merupakan istilah untuk berburu pakaian imporan. Jika tidak salah mengerti, istilah itu muncul karena kita biasanya mengorek-orek dan mengobrak-abrik tumpukan pakaian yang ditata penjual demi mencari pakaian yang kita mau. Sepengalamanku di Jogja, awul-awul cukup banyak tersebar di berbagai pelosok kota Jogja hingga ke kabupaten. Tapi, biasanya di acara Sekaten ada pojok khusus untuk pedagang awul-awul. Mencari pakaian yang menarik dengan harga terjangkau di awul-awul cukup menantang, karena beberapa penjual sudah menyaring barang yang mereka jual berdasarkan brand tertentu. Brand seperti Uniqlo, GAP, dan Champion sudah sangat dikenal berbagai penjual jadi cukup menyulitkan perihal tawar-menawar harga. Tapi, aku tetap menikmati berburu pakaian bekas. Ada juga beberapa temanku yang tertular hobiku ini di saat kuliah dulu.

Aku pun mulai mengerti hobiku itu biasa disebut thrifting. Aku juga mulai mengenal bahwa kebiasaan thrifting ini menjadi gaya hidup tersendiri. Ada beberapa gerakan yang berusaha melawan pesatnya pertumbuhan industri fast fashion dengan mencoba mempopulerkan thrifting sebagai opsi yang dirasa tetap unik dan bertanggung jawab.
Kita berlanjut maju ke masa kini di mana belanja semakin dimudahkan dengan berbagai teknologi. Dengan kemajuan teknologi dan berbagai evolusi Instagram, cukup banyak toko daring (online) di Instagram yang spesifik menjual berbagai pakaian bekas. Aku sendiri masih cukup sering berburu secara online jika ingin mencari kemeja atau jaket. Walau memang dengan berbelanja online kita tidak bisa mencoba langsung dan hanya bisa berharap dari detil ukuran yang diberikan penjual, aku tetap berani mencoba thrifting online. Cukup banyak kemeja yang dulu kupakai kerja merupakan hasil perburuan di online thrift store.
Tentu masih ada keinginan kembali berburu langsung, seringkali ada saja barang yang mengejutkan dan menyenangkan. Dengan berburu langsung juga lebih mudah mencoba pakaian yang kita suka. Mungkin tidak akan dalam waktu dekat karena pandemi yang belum usai. Terkadang, ada juga keinginan untuk mencicipi thrifting di luar negeri. Berbagai thrift store luar negeri yang sering kulihat di layar kaca terlihat sungguh menarik. Setidaknya, seperti keseruan yang digambarkan di video klip Macklemore.
Budaya thrifting juga mulai banyak dibahas di media daring (online) dengan banyak pengikut anak muda. Cukup membuka mata mengetahui bahwa thrifting bisa menjadi bisnis dengan nilai yang lumayan besar. Aku juga masih tertarik dan mencoba mencari peluang menjual beberapa pakaian bekas yang layak pakai dari hasil thrifting offline.
---
Sebagai penutup cerita ini, berikut adalah beberapa thriftstore online yang menjadi favoritku:
heyfrankclub, lucasandfrank, dan ecsecond.
Pembahasan tentang thrifting di USSFeed.
---
Sedikit tambahan terkait fast fashion, jika ada yang terpikir untuk mencoba mengurangi belanja produk fast fashion, mungkin dokumenter berjudul The True Cost bisa masuk ke daftar tontonan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
