La Luna ( Part 3 )

1
0
Deskripsi

Menceritakan kehidupan Jef dan Kriesha setelah 50% Jealousy, Jealousy

( OTW ) Menjemput Restu


“Gue bisa ngancingin baju gue sendiri!”

Gue berseru dengan suara terdesak. Akibat terlalu overthinking dengan penampilan serta pembawaan gue di depan Hendra Trajayudha nanti, gue memang akhirnya memutuskan untuk berkonsultasi pada Kaelyn. Iya, Kaelyn. Kakak gue satu-satunya yang mirip tukang sihir itu. Bukan dengan Mami karena sepertinya perempuan itu bakal heboh maksimal dan menyarankan ini-itu sehingga berpotensi bikin gue makin pusing, juga bukan kepada Satya maupun anggota band gue yang lain.

Gue memilih menyambangi Kaelyn, berpikir kalau kakak gue yang satu itu mungkin akan lebih bijak sekaligus rasional dan memberi gue petuah yang bagus. Meskipun hubungan gue dan Kaelyn lebih mirip jalinan kasih tokoh Tom and Jerry alias berantem terus saban hari, nggak tahu kenapa gue terpikir kalau Kaelyn mungkin bisa diandalkan. Toh, kakak perempuan gue itu hidup lebih lama hampir sepuluh tahun dari gue. Pastilah dia punya pengalaman yang juga lebih mumpuni. Tapi ternyata, Kaelyn juga tidak ada bedanya dengan Mami. Saat gue mengutarakan maksud kedatangan gue sekitar satu jam yang lalu, Kaelyn langsung ribut nyuruh gue mandi.

Gue lupa, untuk beberapa periode di hidup gue, Kaelyn emang kerap mengambil peran sebagai ibu kedua gue. Jadi gue merasa wajar ketika sekarang dia masih terbawa ‘peran’-nya di masa lalu.

“Sini majuan! Lo kenapa kayak takut banget gue bakal nerkam lo, sih?” Kaelyn mendesis sebal. Kedua tangannya yang sedang mengancingi kemeja di tubuh gue menarik kain itu sehingga gue tersentak maju. “Gue cuma mau mantesin lo!”

“Iya, tapi nggak perlu lo yang makein gue baju segala! Gue bisa sendiri,” keluh gue, yang tentu saja tidak diindahkan oleh wanita tukang sihir ini. Bukannya menyerah dan melepaskan genggamannya pada kemeja batik yang melekat di tubuh gue, Kaelyn malah lanjut menyelipkan bagian bawah kemeja itu ke dalam celana bahan yang juga sudah gue kenakan. Bikin gue otomatis menjerit, “LYN!”

“Apaan, sih?” Kaelyn kelihatan tidak acuh, bodo amat sama tampang gue yang pastinya sudah kemerahan. Selayaknya mengurusi gue waktu gue baru masuk SD dulu, Kaelyn lantas memutar tubuh gue dengan mudah. Lalu seperti apa yang dilakukannya pada bagian depan kemeja gue, perempuan itu juga santai saja menyelipkan bagian belakang kemeja itu ke dalam celana gue. Setelahnya, dia memastikan dengan cara mengusap punggung gue dengan keras. “Udah, nih. Kalau lo nggak begajulan bajunya nggak akan berantakan, kok.”

Gue mendengus bete, gabungan antara bete karena kakak gue ini baru saja menodai kesucian gue dengan pegang sana-sini dan juga bete karena SIAPA JUGA ORANG WARAS YANG AKAN BERTINDAK BEGAJULAN DI DEPAN CALON MERTUA?!

Tapi sebelum gue sempat protes, Kaelyn sudah memutar gue lagi sehingga kini gue berhadapan langsung dengan replika diri gue di cermin. Bener-bener, deh. Sepertinya Kaelyn masih aja nganggep gue bocil yang takluk di bawah kuasanya meskipun umur gue sudah berkepala tiga.

“Kenapa sih cemberut melulu dari tadi?” tanya Kaelyn yang lebih tepat seperti menggerutu. “Lo udah cakep, tuh! Jangan ditekuk melulu mukanya. Ntar keliatan lecek di depan Hendra Trajayudha!”

“Emangnya muka gue kantong kresek, bisa lecek!?” sembur gue emosi. Sudah, lah. Sepertinya Kaelyn emang tidak akan mengerti apa itu boundaries. Jadi daripada sibuk mengajari dia, gue pun berusaha fokus saja dengan penampilan gue sekarang. Mengikuti arah pandang Kaelyn yang kelihatan bangga banget setelah kelar melakukan styling pakaian gue dengan batik dan terusan warna hitam. Pura-pura tidak sadar kalau sepasang mata perempuan itu berbinar seolah gue ini sudah disulap jadi sebuah mahakarya.

Tapi berbeda dengan Kaelyn yang tampak pede luar biasa, gue malah sangsi. Bukannya gue tidak suka dengan batik apalagi budaya Indonesia. Batik sutera itu bagus, sangat pas di tubuh gue, hanya aja… kok gue jadi kelihatan lebih tua dibanding umur gue yang seharusnya, ya?

“Lo yakin, gue lebih oke begini?” tanya gue pada Kaelyn dengan penuh keraguan.  “Nggak pake jas aja sekalian?”

Gue memutar tubuh gue sehingga replika di cermin mempertontonkan bagian belakang torso gue yang tegap. Sama seperti tampak depan yang begitu pas, bagian belakang tubuh gue juga kelihatan oke. Setelan yang sedang gue kenakan ini bukan punya gue, tentu saja. Ini punya suaminya si Kaelyn, Mas Ara. Fyi dikit, Mas Ara ini ada keturunan Jepang. Jadi namanya Arata. Jaman-jaman Kaelyn PDKT, gue sering ngeledekin namanya jadi ara-ara-kimochi yang sebenernya gue nggak ngerti juga si artinya apa. Mas Ara orangnya kalem, irit banget ngomong, tapi dia cekatan dan bisa diandalkan. Mas Ara juga punya postur tubuh yang hampir sama kayak gue, jadi memang kalau ada occasion yang membutuhkan gue untuk menggunakan baju-baju formal, kadang gue pinjem punya doi kayak sekarang.

Harus digarisbawahi, ini bukan nggak modal, ya. Cuma kadang, untuk baju yang bakal cuma gue pakai sekali dan gue yakin nggak akan pakai baju yang sama untuk kali kedua … gue emang lebih suka pinjam atau sewa. Alasan satu, hemat. Alasan dua, biar lemari gue nggak cepet penuh. Alasan tiga, nggak ada sih… ya intinya biar nggak ribet aja.

“Yakin, lah!” tandas Kaelyn. “Lo jadi kelihatan rapi dan bermartabat. Lo mau ketemu calon mertua, ya. Pake jas terlalu formal. Pake setelan default lo alias kaosan sama jins robek bakal bikin lo kayak gembel. Batik udah paling bener, percaya deh sama gue. Lo tuh keliatan agak ganteng dibanding biasanya. Ada nilai plus dikit lah, sebelumnya kan lo minus.”

“Anjing.”

“Language!” sentak Kaelyn sambil melotot. “Yang sopan kalo ngomong sama orang yang lebih tua!”

“Gue nggak ngomong, gue mengumpat!” Gue membela diri. “Mana ada umpatan yang sopan?”

“Biarpun mengumpat, lo harus tetap sopan supaya kelihatan kayak cendekiawan!”

“Ya masa gue mau ngomong ‘dasar, hewan mengonggong!’, sih?”

“Jayus,” cibir Kaelyn. Perempuan itu lantas menarik bahu gue supaya gue duduk di bangku tak jauh di sebelahnya. Kemudian tanpa banyak cakap, kelima jarinya menyugar rambut gue ke belakang seraya memoleskan pomade supaya rambut gue klimis dan anti berantakan. “Udah. Percayakan semuanya pada gue. Gue tahu apa yang harus dan nggak harus dilakukan. Lo tenang aja.”

“Kalau lo ngomong gitu, yang ada gue malah jadi makin sangsi,” keluh gue. Perbedaan umur gue dan Kriesha itu cuma lima tahun, tapi kalau dandanan gue begini… gue merasa menjelma jadi om om yang siap meminang bocah baru puber. Apalagi si Kriesha tuh tampangnya hemat banget alias nggak ada tanda-tanda menuanya sama sekali. Dia masih kelihatan kayak bocah di umurnya yang sebenarnya sudah matang.

“Kalem, Jef. Gue ini kakak lo. Biarpun lo sering berperilaku ngehe dan mengundang gue buat menghadiahkan satu dua jotosan di muka lo, gue nggak akan menjerumuskan lo.” Kaelyn bersabda sembari membentuk rambut gue sehingga kini gue mempunyai belahan samping.

Apasih itu nama modelnya?

Kalau nggak salah sih comma hair. Model rambut begini sering diaplikasikan sama hair stylist gue kalau gue hendak menghadiri acara award yang memungkinkan gue buat difoto di red carpet. Pilihan yang lumayan oke mengingat gue punya jidat yang luas. Dengan adanya poni begini, gue bisa tetap menampilkan kening gue tapi dengan cara yang ekonomis alias nggak ngejeblak kayak lapangan terbang.

“Keluarganya Kriesha tuh old money di Indo, dan lo akan merepresentasikan keluarga kita di depan mereka. Gue nggak akan membiarkan lo direndahin, apalagi kalo cuma masalah penampilan. Gue sih percaya bokapnya Kriesha nggak sekolot itu, tapi kan… siapa tahu keluarga besarnya yang lain punya pemikiran berbeda?” lanjut Kaelyn lagi. Nadanya santai, tapi terdengar menusuk di telinga gue.

Gue menghela napas diam-diam. Nggak bisa gue pungkiri, rasa cemas gue kembali datang. Belum cukup gue mengkhawatirkan restu Hendra Trajayudha, Kaelyn malah menambah asupan bahan overthinking gue dengan bawa-bawa keluarga besar Kriesha. Serius, deh. Meskipun kita sudah hidup di era modern dan keluarga gue nggak semiskin itu, gue tetap merasa takut. Apa gue ini sudah cukup baik buat Kriesha? Jangan-jangan, keluarganya bakal menganggap gue nggak selevel sama dia dan menyuruh gue untuk back off sambil ngasih uang segepok.

Gue berdecak kalut.

Kalau dipikir-pikir, gue emang lelaki berspek B aja. Gue cuma kebetulan punya suara unik dan bisa main gitar. Beruntungnya, otak Kriesha kayaknya cukup geser untuk bisa menerima gue dan balik cinta. Kalau dia normal, mungkin nggak ada sedikitpun pikiran dia buat settle sama gue.

Duh.

Apa seharusnya gue menyusun plan B berupa kawin lari sama Kriesha kalau plan A yakni meminta restu dengan baik-baik ini gagal? Ditilik dari otak Kriesha yang miring tadi, gue rasa dia nggak akan keberatan.

“Jef, hape lo bunyi tuh.” Kaelyn menegur gue yang mulai larut dalam pikiran gue yang carut-marut.

Otomatis, gue pun mendongak dan melihat ponsel gue yang layarnya menyala. Ternyata, Kriesha menelepon. Nah, belum habis overthinking yang satu, sumber overthinking gue yang lain udah muncul.

Cepat-cepat, gue menyambar ponsel di meja dan menjawab panggilan itu. “Halo?”

“Babe, kamu udah rapi belom!?” Belum juga sapaan gue dijawab, Kriesha sudah menodong. “Aku mau liat tampilan kamu gimana! Ayo video call!!!”

Gue mengernyit sedikit mendengar ocehan Kriesha yang nadanya melengking itu. Tapi daripada protes, gue berinisiatif saja buat menggantikan mode panggilan suara menjadi video. Dalam sejenak, layar berubah menampilkan wajah gue dalam jarak dekat. Kemudian disusul dengan munculnya wajah Kriesha di sebrang.

“HAIII!” sapa Kriesha ceria. Perempuan itu memakai tanktop spageti bertali putih dengan rambut yang dicepol sembarangan. Dia tersenyum lebar banget, kayak manusia penggila slot baru dapet jackpot. Lantas tanpa basa-basi, Kriesha berseru, “MAU LIAT OOTD-NYA! Jauhin kamera kamu dong biar kelihatan semuaaa!”

Gue mengembuskan napas pelan. Agak merasa malu manakala tangan gue menjauh sehingga kamera berhasil menangkap tubuh gue dari kepala hingga pinggang. “Udah cukup? Kelihatan nggak?”

“Widiiih! Rapi banget, Pak. Mau kondangan kemana tuh?” ledek Kriesha. “Udah rapi gitu jalannya sendirian, ya? Gandengannya nggak dibawa?”

“Nggak ngeledek sehari aja tuh bisa bikin kamu gatel-gatel, ya?” tukas gue.

Kriesha ketawa ngeselin. “Kenapa sensi banget, sih? Aku kan cuma mau mencairkan suasana!”

“Mencairkan suasana pake emosi.” Gue mendengus. Omong-omong, dilihat dari pintu cokelat dengan label nama dokter di belakang Kriesha bikin gue sadar kalau perempuan itu sedang berada di luar rumah. “Btw, kamu lagi dimana itu?”

“Oh?” Kriesha menolehkan kepalanya ke belakang, kemudian membawa tangannya buat menyorot sekeliling ruangan. “Aku di klinik. Mau coba treatment DNA salmon. Tadinya aku mau video call kamu pas lagi treatment. Tapi kayaknya nggak akan keburu. Sebentar lagi kamu harus ketemu sama Papi di resto, kan?”

“Iyasih… tapi kamu tumben sendirian? Aleeyah nggak ikut?”

Kriesha menggeleng. “Aleeyah kerja. Terus aku mau me time juga sih.”

Gue manggut-manggut. “Have fun, ya.”

“Lain kali, kamu juga harus ikut supaya kita treatment bareng!”

“Kalo Jef ikut, itu lo namanya bukan me time, dong!” Kaelyn yang dari tadi ada di ruangan itu dan cuma jadi pendengar pun menimbrung. Dia ikutan muncul di dalam sesi video call gue dan Kriesha sambil melakukan headlock dengan mengalungkan tangannya di leher gue. Nggak sadar kalau tingginya jauh di bawah gue, jadinya bikin gue hampir jatoh.

“Loh, hai!!! Kirain nggak ada siapa-siapa disitu! Halo, Kak! Apa kabar? Sehat kan???” Kriesha menyapa heboh. “Makasih yah udah bantuin Jef pilih baju!”

“Sama-sama.” Kaelyn senyum. “Makasih juga lo udah bersedia dinikahin sama ni tiang striptis!”

“TIANG STRIPTIS BANGET?!” protes gue secara spontan. Sementara di seberang, Kriesha tertawa receh.

“Ya kan lo tinggi langsing. Itu pujian, tahu!”

“Pujian apaan yang nggak terdengar etis kayak gitu!?”

“Ya…. Daripada gue bilang lo kayak pohon bambu, hayo? Gatel yang ada!” kilah Kaelyn.

“Terserah, deh.” Gue malas menanggapi. Gantinya, gue menatap Kriesha dan meminta kepastian darinya sekali lagi. “Tapi, Sha. Menurut kamu aku beneran oke nih ketemu bokap kamu dengan tampilan begini?”

Kriesha memiringkan kepalanya sedikit. Matanya memicing penuh penilaian. “Oke nggak yaaah? Hmmmmm.”

“Apa? Kenapa? Aku kelihatan aneh, ya? Apa aku kelihatan tua?” tanya gue, mulai panik.

“Kayaknya sih….”

“Beneran tua, ya?” tanya gue sambil mulai bercermin. “Apa aku ganti aja numpung ada waktu?”

“Hm….”

“Sha….”

Kriesha masih memicing, tapi tidak lama kemudian gue bisa melihat dia mengacungkan satu jempolnya ke udara. “Becanda, Jef. Kamu oke kok kayak gitu. Oke banget malah. Kelihatan cakep, kalem.”

“Yang bener?”

“Iya. Kalau kamu tanya aku, aku suka. And that is what matters, right? Atau kamunya nggak suka? If that’s the case, then go ahead and change it. Soalnya dibanding pendapat aku, kenyamanan kamu yang paling penting,” kata Kriesha sembari menghadiahkan senyum tipis kepada gue. Saking jarangnya berkata bijak begitu, bulu kuduk gue jadi meremang. Gue merasa reassurance dari perempuan itu sudah cukup.

Tanpa sadar, gue jadi ikutan mesem-mesem sendiri. “Its okay. If you said so, aku bakal nyoba mikir kalau baju ini emang oke di aku.”

“Cuih!” Belum sempat kalimat gue direspon oleh Kriesha, Kaelyn sudah menimpali sambil bergidik geli. “Udah gue bilang pantes, tetep aje validasi dari Kriesha nomor satu. Laki lo nih kupingnya cuma buat lo doang, Sha. Cuma lo yang didenger. Cuma pendapat lo yang valid. Sinting, emang.”

Kriesha ketawa, terdengar renyah banget sehingga gue bisa melihat Kaelyn yang tadinya menampilkan ekspresi jijik juga jadi ikut memamerkan senyum. Gue nggak tahu mood Kriesha ini lagi kenapa, tapi kebahagiaan perempuan itu betulan kelihatan sebegitu bersinarnya. Bahkan cuma lewat perantara video call pun energi positifnya merebak kemana-mana. Gue jadi penasaran ada hal baik apa yang terjadi di hidupnya, dan gue nggak sabar buat bertanya. Tapi sebelum itu, Kriesha sudah lebih dulu melanjutkan kalimatnya.

“Tapi serius ya, Kak Kaelyn. You are the goat for today.” Kriesha bilang gitu. “Makasih udah mantesin Jef! Momen dia rapi banget kayak gitu tuh satu banding sejuta. Makanya aku sempet khawatir. Abisnya dia kalo ketemu aku nggak pernah centil sampe styling rambut segala.”

“Ini hasil kerjaannya Kaelyn, ya!” Gue buru-buru memembela diri pasca dibilang centil. “Aku juga awalnya ngira Kaelyn bakal dandanin aku secara biasa-biasa aja, kok!”

“Idih. Jadi kamu mau pamer kalau dandanan yang biasa-biasa aja buat orang lain itu bakal bikin kamu kelihatan luar biasa karena kamunya cakep?!”

“Nggak gitu!” sanggah gue, keki. “Aku cuma agak nggak pede. Makanya tadi aku tanya kamu. Soalnya kalau dandanan aku kelihatan berlebihan, apa nggak sebaiknya aku kurangin? Aku bisa keramas lagi biar rambut aku nggak seklimis ini. Aku juga bisa ganti kemeja polos aja. Atau celananya diganti celana jins supaya sedikit lebih kasual. Atau sepatu—“

“Woy—woy—woy, Jef!” Kaelyn buru-buru menampol mulut gue pelan. “Jangan berani-beraninya lo merusak mahakarya gue dan ganti baju!”

“Tapi—“

“Nggak ada tapi-tapi!” potong Kaelyn. “Lo udah oke. Nggak ada yang harus diganti. Emang setelan lo udah seharusnya begini. Kalau lo menurunkan standarnya, itu sama aja lo nggak menghargai Kriesha. Lo kan mau minta izin buat ambil dia jadi istri lo. Masa lo nggak menampilkan yang terbaik di depan bokapnya?”

“Tapi kalo menurut Kriesha—“

“Menurut aku kamu udah oke, Babeeeee!” Kriesha sontak menyergah. “Jangan ubah apapun yang ada di diri kamu sekarang. Semuanya aku suka. Kalau aku suka, Papi aku juga kemungkinan bakal suka.”

“Tadi kamu mikirnya lama.”

“Itu kan bercanda!” timpal Kriesha. “Aku cuma mau ngeledek kamu karena aku tahu kamu pasti bakal panik. Kan lumayan, kepanikan kamu bisa jadi hiburan tersendiri buat aku.”

“Kok gitu!? Aku tuh anxious beneran loh tadi!” Gue cemberut gara-gara anxiety gue malah dijadikan hiburan sama Kriesha.

“Nah, kan.” Kriesha berdecak. “Kamu tuh sadar nggak sih kalo manyun gitu kamu jadi lucu!”

Gue mendengus. “Aku nggak mau jadi lucu, Kriesha. Aku bukan badut.”

“Tapi kamu lucu.”

“Ck. Kenapa harus lucu?”

“Karena kamu emang lucu!”

“Kenapa kamu nggak nyebut aku yang lain, sih?” dumal gue. “Ganteng, misalnya.”

“Lucu nggak berarti kamu nggak ganteng, Sayang.”

“Terus aku ganteng, nih?”

“Iya, dong!” tandas Kriesha tanpa ragu. “Serius. Kamu cakep banget. Papiku sih harusnya minder soalnya kalah ganteng sama pacarku. Kalau kata abang-abang ngabers pengkolan, kamu nih sekarang cakepnya kayak apotek tutup.”

“Apotek tutup?”

“Iya. Nggak ada obat!”

“Ppppft.”

Gue bisa mendengar Kaelyn nahan ngakak sampai hampir keselek. Perempuan itu sibuk mengontrol diri sebelum akhirnya ketawa dan menggeleng-geleng sambil mengangkat kedua tangan tanda menyerah. “Gue cabut aja, deh. Bisa ilang kewarasan gue kalo ngedengerin manusia bucin saling nebar love bomb.”

“Silakan. Nggak ada yang minta lo menetap,” kata gue dengan tega. Yang tadi emang aslinya cringe banget, sih. Tapi anehnya, ada sebagian dari diri gue yang cringe ketika mendengar pujian itu, dan ada juga sebagian diri gue yang tersemprot dopamin sehingga muncul senang yang menelusup.

Yah. Siapa sih orang yang nggak senang dibilang cakep sama orang yang dia sayang?

“Emang anak kurang ajar lo, ye! Baik pas butuh doang, giliran urusan udah hampir kelar gue diginiin!” cetus Kaelyn sembari menyepak betis gue pelan. “Makasih, kek! Kriesha aja bilang makasih ke gue! Khusus lo, harusnya ngasih gue lebih dari makasih. Minimal unit rumah di PIK 2 biji!”

“Mau banget lo dapet makasih dari gue?” tanya gue retoris. “Yaudah, nih. Makasih! Makasih, Kakak Pertama! Makasih banyak!”

“Kakak pertama, kakak pertama…. Lo kira lagi syuting Sun Go Kong!” Kaelyn ngegas. “Lagian kakak lo kan cuma satu, Anjir!”

“Sori, Kak Kae!” sela Kriesha. Dia ketawa lagi. Ketawa mulu nih anak hari ini. “Jef emang gitu. Aku tau yang barusan jamet abis, tapi gimana ya… aku seneng banget hari ini.”

“Yah… yah… terserah lo berdua, deh!” Kaelyn geleng-geleng. “Kalo masih mau ngejamet juga nggak apa-apa. Gue aja yang cabut supaya kuping gue nggak berdarah!”

“Jangan, nggak usah!” Kriesha buru-buru menyergah. “Aku cuma telepon buat liat Jef sebentar, kok. Sama ngingetin kalau dia harus jalan sebelum kejebak macet sore ini. Udah, deh. Aku bakal ngelarin treatment di klinik abis itu pergi dan mengurus urusan lain.”

“Urusan?” Gue mengernyit, agak salah fokus. “Urusan apaan?”

Kriesha tidak langsung menjawab. Dia cuma mesem-mesem mencurigakan dan kemudian berkata dengan nada nyebelin, “Ada deh! Nanti aku kasih tahu kamu kalau waktunya udah tiba.”

“Kok kamu rahasia-rahasiaan gini, sih?” Gue protes. “Waktunya udah tiba tuh maksudnya kapan?”

“Nggak apa-apa, dong. Kan aku mau bikin surprise. Nanti kalau udah tiba, kamu akan tau. Sabar aja, sih!” kata Kriesha. “Ini udah hampir jam setengah empat, Jef. Sebaiknya kamu buruan jemput Papi. Jalanan Jakpus padet loh kalo weekend.”

Oh iya, benar juga.

Segala huru-hara mengenai persiapan bertemu dengan Hendra Trajayudha bikin gue banyak melupakan hal penting—salah satunya lupa memakai arloji. Gue jadi tidak sadar kalau gue sudah hampir kehabisan waktu. “Oke nih, aku mau berangkat.”

“Good luck, ya!” Kriesha nyengir misterius. “Semoga Papiku berhasil kamu jinakkan.”

“KAMU NGGAK MEMBANTU!” seru gue. “Kalau ngomong gitu, aku jadi panik!”

“Hahaha becanda, Sayang. Emang Papiku bakal seseram apa, sih? Seseram-seramnya, nggak mungkin dia gigit kepala kamu sampai putus.”

“But still….”

“Udah, jangan banyak cakap lagi! Cepat-cepat berangkat, sana! Aku doain dari sini,” kata Kriesha. “Bye, Jef. Mwah!”

“Ya udah, iya. Bye….”

“Dih?” Alis Kriesha menukik. “Mwah-nya kok nggak dibales!?”

“Apa sih….”

“Mwah dulu cepetannn!!!”

Gue melirik Kaelyn, tentu saja merasa tengsin. “Nanti aja di apart. Sekarang malu ada Kaelyn….”

Kriesha mengerucutkan bibir. “Maunya sekarang….”

“Malu, Babe.”

“Mas….“

“YA UDAH IYA, MWAH! TUH! MASIH KURANG, NGGAK? MWAH-MWAH-MWAHHHH NIH YANG BANYAK!!!” Balas gue rusuh. Kriesha emang sialan. Dia tahu banget gue paling nggak bisa dipanggil Mas kayak gitu. Sekarang bukan cuma suara, gue juga ikut menyium ponsel gue gara-gara salah tingkah.

Terbukti setelah gue memberinya cium basah jarak jauh, dia langsung cekikikan karena merasa menang. Perempuan itu sepertinya terlalu geli sehingga sontak menutup sambungan video call tanpa pamit lagi. Meninggalkan gue yang menatap layar ponsel gue dengan mulut manyun akibat keki, tapi lama-lama tersenyum karena geli.

Kriesha memang aneh. Tapi harus gue akui, obrolan random kayak barusan itu adalah satu yang bikin gue selalu mau terlibat percakapan dengannya lagi dan lagi. Jujur, kecemasan gue yang tadi menyelimuti seperti nasib buruk sekarang mulai hilang. Terganti dengan sepercik lega dan rasa optimis.

“Lo kelihatan beda banget, Jef.”

Saking larutnya gue dengan perasaan gue sendiri, gue sampai lupa di ruangan itu masih ada Kaelyn. Kakak gue itu sepertinya ingin membereskan meja riasnya karena di tangannya ada pomade yang ingin dia letakkan kembali di laci.

“Apa?”

“Lo kelihatan seneng banget semenjak Kriesha balik lagi. Dan gue seneng karena kali ini aura positif itu bertahan sampai saat ini.” Kaelyn meneruskan. “Bahkan dalam lima menit terakhir, gue udah bisa melihat lo gugup, resah, cemas, tapi sekaligus ngeliat lo bucin, ketawa, happy dan salah tingkah. Dibandingkan lo yang sebelumnya nggak asik dan punya aura sedih yang monoton, lo sekarang kelihatan hidup banget. Gue senang, dan gue bersyukur.”

Gue agak kaget karena kakak gue tiba-tiba aja membawa topik obrolan yang lumayan berat sekarang. Tapi mengingat bagaimana bersyukurnya gue bisa dipertemukan lagi dengan Kriesha, gue rasa Kaelyn nggak berlebihan. Gue juga merasa gue lebih ‘hidup’ semenjak Kriesha balik, dan bukan cuma Kaelyn yang bersyukur… gue pun sama. Gue bahagia sama kenyataan kalau hidup gue udah balik berwarna, dan gue nggak masalah sama kenyataan bahwa hidup gue ‘content’-nya emang pas gue ngejala innya bareng Kriesha. Bodo amat sama orang-orang yang bilang kalau kita harus merasa content dengan diri kita sendiri sebelum merajut cerita bareng orang lain. Bagi gue, hidup gue terasa lengkap pas Kriesha ada.

“Gue sempat merasa khawatir saat tau dia balik lagi, to be honest,” lanjut Kaelyn sambil melangkah menuju lemari dan mencari sesuatu entah apa. “Soalnya gue udah pernah lihat lo ‘lost’ saat dia pergi.”

“Lyn….”

“Mungkin gue emang nggak terang-terangan menunjukkan kalau gue concern, ya. Tapi gue juga mau lo happy. Gue nggak mau lihat lo ‘lost’ sekali lagi kalau sampai kemunginan dia pergi lagi itu terjadi. Tapi gue rasa, sekarang gue nggak perlu merasa khawatir lagi.” Kaelyn sepertinya sudah menemukan apa yang dia cari, karena setelahnya perempuan itu menutup pintu lemari dan berderap ke arah gue. “Sekarang tinggal beberapa step sampai kalian dipersatukan ikatan suci. Jadi gue harap, pertemuan dengan Hendra Trajayudha berhasil hari ini.”

Kaelyn menepuk bahu gue dua kali setibanya dia di hadapan gue. Di tangannya kini tergenggam sebuah arloji silver yang berkilau. Awalnya, gue mengira arloji itu adalah miliknya. Namun ternyata, dia mengambil tangan kiri gue dan memakaikan arloji itu di sana.

Gue mengerutkan kening manakala melihat sebuah arloji terlingkar di tangan gue. “Ini….”

“Emang model lama, sih. Tapi bagus di tangan lo.” Kaelyn memuji. Bikin gue jadi ikut memerhatikan model dan merk dari arloji tersebut. Dilihat dari bodinya yang seperti jarang dipoles, gue rasa jam ini sudah dimiliki oleh seseorang sejak waktu yang lama.

“Ini arloji siapa?” tanya gue akhirnya.

“Punya Papi,” jawab Kaelyn apa adanya. “Dikasih ke gue sebelum dia meninggal. Mungkin maksud Papi tuh buat Ara, tapi Ara punya kepercayaan kalau kita nggak boleh ngasih hadiah jam tangan ke pasangan. Gue lupa kenapa, tapi yang jelas itu nggak baik di dalam budayanya. Jadi jamnya gue simpan aja, nggak pernah gue apa-apain. Jadi daripada nggak dipakai, jam ini gue lungsurin ke lo aja.”

Gue menelan saliva lambat. “Tapi Papi kasih ini buat lo—“

“Dan sekarang gue kasih ke lo.” Kaelyn melepaskan tangan gue sembari memandangi betapa pas arloji itu di sana. “Pakai. Anggap sebagai lucky charm.”

“Kae—“

“Jef….” Kaelyn menarik napas panjang. Dia tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya meneruskan, “Papi sama Mami emang cerai sejak kita kecil. Figurnya cuma ada sewaktu-waktu. Tapi kalau dipikir-pikir, Papi nggak pernah benar-benar ninggalin kita. Bahkan Mami. Memang ada banyak fase dimana Mami harus struggle sendiri. Tapi ada juga banyak fase dimana Papi selalu bisa diandalkan. Toh, dia tetap berusaha ada meskipun nggak sesering yang seharusnya. Mungkin itu kenapa gue nggak pernah bisa lost respect sama Papi.”

Ada gelenyar hangat yang muncul di hati gue, dan jujur saja gue nggak siap. Tujuan gue menyambangi Kaelyn adalah agar gue bisa terlihat ‘pantas’ di mata Hendra Trajayudha. Gue jelas tidak mempertimbangkan kemungkinan kalau Kakak gue akan mengajak gue bicara dengan topik berat begini. Percakapan tentang bokap adalah satu hal yang entah bagaimana seperti ‘sepakat’ kami hindari. Gue tidak membicarakan Papi sekalipun gue ingin, begitu juga Kaelyn. Awalnya gue rasa karena kami ingin menghargai Mami. Tapi lama-lama bertransformasi menjadi ‘unspoken rules’ yang diterapkah bahkan ketika Mami tidak ada.

Namun harus gue akui Kaelyn benar. Betapapun gue membenci keputusan orangtua gue untuk berpisah, kenyataan kalau bokap gue itu nggak pernah benar-benar berhenti berhubungan dengan kami semua membuat gue nggak bisa terlalu lama memendam marah. Meski memori gue lebih banyak didominasi oleh Kaelyn dan Mami, toh lelaki itu juga tetap muncul beberapa kali. Di hari dimana dia berpulang ke rumah Bapa, gue hampir nggak keluar kamar tiga hari. Gue mungkin bisa mendekam lebih lama lagi kalau saja gue tidak memikirkan Mami.

“Papi nggak bisa nyaksiin lo menikah kayak dia nyaksiin gue menikah. Figurnya nggak ada buat menguatkan lo. Jadi anggap aja arloji itu sebagai salah satu tanda kalau dia membersamai lo.” Kaelyn mendesah. Sepertinya dia ogah semakin larut dalam suasana mellow. Jadi sambil tersenyum menguatkan, perempuan itu berpesan, “You got this. Lo udah tumbuh dengan baik. Sekarang udah jadi laki-laki dewasa yang bisa diperhitungkan. Lo juga tumbuh sebagai orang yang bertanggung-jawab. Niat lo baik, Jef. Dan sepanjang yang gue ingat, Tuhan tuh selalu memudahkan urusan hambanya yang dilandasi niat baik. Jadi gue rasa… lo nggak akan menemui banyak kendala berarti. Lo pasti bisa meyakinkan bokapnya Kriesha. Sama kayak lo bisa meyakinkan gue kalau adik gue yang dulu suka ngelap ingus di jubah betmen sekarang udah bisa diandalkan.”

Gue hampir terharu, tapi kalimat penutup dari Kaelyn pada akhirnya membuat gue tertawa kecil. Beban di pundak gue seolah lenyap separuh. Kalau kakak gue yang sengklek bisa bersikap seserius ini, mungkin artinya gue harus bisa sedikit lebih percaya diri.

“Thanks, Lyn.” Gue mengambil tubuh kakak gue ke dalam sebuah peluk singkat. Tindakan yang sangat langka mengingat Kaelyn tuh anti physical touch dan menjunjung tinggi physical attack. Tapi nggak apa-apa. Untuk hari ini, gue ingin dia tahu kalau gue bersyukur punya dia. Untungnya, dia tidak menolak.

“Thanks…. Buat apapun yang lo lakuin hari ini, dan apapun yang lo lakuin di hari-hari yang lalu. Sori gue sering kesal dan membangkang sama lo yang suka ngatur-ngatur. Dan jujur, gue juga merasa bersalah sampai sekarang,” ujar gue sambil melepaskan pelukan.

“Bersalah apaan?”

Gue menggeleng pelan. “Mungkin kalau orangtua kita mengambil peran mereka dengan benar, lo nggak perlu mengorbankan diri buat mengambil peran sebagai ‘ibu’ buat gue. Mungkin lo bisa main dan menjalani peran sebagai kakak yang normal. Nggak harus selalu memastikan gue ‘on track’ dan bertanggung jawab kalau gue melenceng. Di masa-masa kecil kita, lo harusnya bisa sedikit lebih santai dan fokus sama perkembangan lo sendiri. Tapi kenyataannya lo malah fokus ngurusin gue. Jadi… gue minta maaf.”

Sepertinya, Kaelyn disergap melankoli karena perempuan itu tidak juga mengeluarkan kalimat apapun selama setidaknya satu menit. Dia cuma memandang gue sambil menggigit bibirnya berkali-kali. Cukup lama dia bergeming, hingga kemudian setetes air mata turun. Tapi saat gue hendak menyekanya, Kaelyn menahan pergerakan tangan gue sambil tertawa kecil, “Brengsek lo, Jef.”

“Lo yang ngasyu, pake acara nangis segala.” Gue ikut tertawa, tapi lucunya, mata gue juga jadi mulai berair.

“Ngaca!” Kaelyn memukul gue pelan, tapi kemudian merangsek memeluk gue. “Tai lo. Ngapain sih ngomong kayak tadi? Bikin gue jadi nangis aja. Ngehe!”

Gue balas memeluk Kaelyn. Tertawa kecil karena sebenarnya peluk-pelukan begini itu bukan style kami banget. Kaelyn lebih suka menunjukkan perhatian dengan membuatkan gue makanan, misalnya. Sementara gue lebih sering transfer uang saja karena bingung mau menunjukkan kepedulian dengan cara yang bagaimana.

Haduh.

Padahal gue nggak meniatkan akan ada adegan muram durja begini, tapi nggak tahu kenapa semuanya mengalir begitu aja. Gue sadar, meskipun nyebelin, Kaelyn sebenarnya berjasa banyak di hidup gue. Dan kenyataan kalau kami sudah sama-sama besar dan bakal menyongsong hidup sebagai orang dewasa yang punya keluarga masing-masing jelas bikin sesuatu di dalam hati gue pecah.

Ternyata hidup sudah berjalan sejauh ini….

Lingkaran terkecil yang gue punya sekarang bukan cuma Kaelyn dan Mami, tapi juga Kriesha dan calon anak-anak gue nanti.

“Gue berhutang banyak sama lo,” kata gue setelah pelukan kami terlepas. “Once again, I’m trully sorry.”

“Apaan sih sora-sori!?” Kaelyn ngegas. Padahal matanya masih berair, tapi perempuan itu sudah bisa melototi gue dengan sinis. “Makasih aja udah cukup. Jangan pernah minta maaf. Nggak ada yang perlu dimaafin juga.”

Gue kepengin membantah, tapi rasanya Kaelyn ada benarnya. Untuk semua hal yang udah terlewat, maaf jelas tidak ada gunanya. Lebih baik gue mengapresiasi saja.

“Oke… makasih.”

“Awas lo berani ngomongin hal sensitif kayak gini dan minta maaf!” ancam Kaelyn. “Gue tabok bolak-balik!”

“Iya…,” sahut gue. Sejujurnya, gue masih ingin berbincang dengannya lebih lama lagi. Tapi sinar matahari yang menyorot dari jendela besar di sebelah kiri ruangan seolah mengingatkan gue kalau waktu gue tinggal sebentar lagi. “Ngomong-ngomong, sekarang udah makin sore, nih. Gue cabut nggak apa-apa, kan?”

“Oh?” Kaelyn sepertinya juga baru sadar kalau sekarang sudah sangat sore. Dia buru-buru menyeka airmatanya sampai bersih. “Iya, cabut sana. Nanti kejebak macet….”

Gue menyeringai kecil. Dua dukungan dari perempuan terdekat gue mendadak bikin gue lebih percaya diri. Jadi dengan langkah ringan, gue berderap lurus menuju garasi. Senyum gue terpatri. Hari ini, gue akan menyetir sendiri.

Afirmasi positif membuat gue percaya kalau semuanya akan lancar, hingga tiba-tiba gue mendengar ponsel gue berbunyi. Gue pun mengambil benda itu tanpa praduga, dan ternyata Hendra Trajayudha menghubungi!

Hendra Trajayudha: Jefrain

Hendra Trajayudha: Kita batal ketemu di restoran, ya

Hendra Trajayudha: Kamu bisa jemput saya di bandara setengah sampai satu jam lagi?


 

A/N

Nahloh huru-hara dah tuh! Wkwkwkwkwkwk. 
 

Anyway, w masih transisi dari yang gak pernah nulis samsek berbulan-bulan ke mulai menulis lagi jadi maafin kalo tulisan gue rada aneh dan kosong WKWKWKWKKW i’m fighting my mental diseases and one of the side effect is causing short attention span! jadi susah banget sebenernya buat gue duduk dan FOKUS pada satu kerjaan. gue bakal bosan dan terdistraksi dengan mudah. But i‘m working on it! Cuma mohon maaf ni gue bakal update di cerita yang pengen gue update duluan aja, jadi random banget. Please bear with me until September ends! Di Oktober, gue akan menulis lebih sering. 
 

Udah deh segitu dulu. Terimakasih udah baca. See you on the next chapter! 
 

  • fas
     


 


 


 


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
La Luna
Selanjutnya La Luna ( part 4 )
1
0
Menceritakan hubungan Jef dan Kriesha setelah 50% Jealousy, Jealousy
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan