
Menceritakan hubungan Jef dan Kriesha setelah 50% Jealousy, Jealousy
TIBA-TIBA Nikah
Lo pernah nggak sih, mengharapkan sesuatu dan sering menyisipkan harapan itu di setiap doa lo supaya hal itu terjadi. Tapi ketika Tuhan akhirnya berbaik hati dan mengamini apa yang lo ingini, lo malah ketakutan sendiri.
Soalnya kayak….
Anjrit, beneran, nih?
Sekarang banget dikabulinnya!?
Riil no fek kahhh?
Itu. Itu adalah perasaan gue manakala teringat percakapan gue dan Kriesha yang bermuara pada persetujuan perempuan itu untuk menikah. Btw, gue mau klarifikasi dulu, ya. Gue sama Kriesha nikah bukan karena apa yang ada di otak kalian. Kita nggak nikah karena gue DP duluan. Hasil testpack Kriesha emang positif, dan itu sempet bikin gue dag-dig-dug-ser karena gue kira gue beneran bakal punya anak dalam waktu dekat. Tapi ternyata, Kriesha bilang pas dia pergi ke dokter kandungan dalam rangka double check, dokternya bilang Kriesha nggak hamil.
Emang bangke tuh testpack. Bisa-bisanya dia bikin huru-hara tapi salah segala!
Jujur ya, pas Kriesha bilang dia positif, gue bingung banget. Isi kepala gue blank. Gue nggak tahu bagaimana seharusnya gue bereaksi, soalnya semua jenis pikiran muncul dan tenggelam di kepala gue. Gue senang, itu sudah pasti. Tapi di lain sisi, gue juga bingung gue harus apa. Kayak… mendadak ada banyak hal yang mesti gue pikirin selain happy-happy bakal punya Baby. Dan yang paling pertama tentu adalah: Gimana cara gue ngasih tau Bokapnya Kriesha kalau gue udah menghamili anaknya!?
Maksud gue, Bokapnya Kriesha lumayan open, sih. Doi sendiri percaya sama gue ketika anaknya mau tinggal bareng gue dan nolak beliau untuk pindah ke luar negeri pasca kejadian perampokan berdarah di rumah mereka setahun silam. Tapi ya, kalau gue ngaku mau nikah karena putrinya yang udah dia percayakan ke gue malah gue nodai, yang ada gue tetep minimalnya kena sambit oleh benda tajam nggak, sih? Kalau gue jadi Bapak dan anak gue mengalami apa yang Kriesha alami, kayaknya gue juga bakal cosplay jadi T-Rex dan mengganyang cowok anak gue, sekalipun tu cowok anak baik-baik dan mereka melakukannya atas dasar suka sama suka.
Yah, namanya juga orangtua. Sejahat apapun, selama masih waras, pasti punya lah sedikit insting buat melindungi anaknya.
Tapi sebelum semuanya salah paham, gue harus menekankan kalau gue galau itu bukan karena takut kena sambit, sumpah. Melainkan, gue takut kalau amit-amit, Hendra Trajayudha nggak setuju.
Iya, gue masih punya sedikit rasa insecure. Soalnya balik lagi, Hendra Trajayudha tuh nggak melarang… tapi gue juga nggak merasa dia ngasih lampu hijau. Nggak kayak hubungan gue pas jaman muda dulu dimana ortu cewek yang gue pacari terang-terangan ngasih sinyal setuju atau nggak, gue beneran sebuta itu sama beliau.
Sekarang gue jadi berpikir ada bagusnya Kriesha mau gue nikahi bukan karena hamil duluan. Jadi ya, proses minta izin ke keluarga gue dan keluarga dia mungkin nggak akan terlalu drama.
Mungkin… ya.
Soalnya kalau melihat karakter Mami gue yang rempong, kayaknya beliau bakal ngotot mau ngadain pesta ini itu karena anak bungsunya bakal lepas status bujang. Apalagi, nyokap gue juga sayang sama Kriesha. Gue sih udah nggak heran ya kalau Mami ntar rusuh maksa gue atau Kriesha mengadakan upacara pernikahan yang ngundang manusia minimal lima ribu orang. Kalau bisa bikin pesta rakyat, kayaknya Mami gue bakal bikin, deh. Dia orangnya emang se-all out itu.
Kalau bokapnya Kriesha… gue kurang tahu, ya. Beliau nggak pernah menunjukkan reaksi yang hiperbola. Pembawaannya tenang, meski gue tahu kalau lelaki itu bisa marah sampai bikin dia 100% jadi orang yang berbeda. Dia tidak bisa ditebak, jadi gue nggak mau coba-coba ngayal babu. Sebab gue juga belum yakin gue bakal dapet restu.
“Terus kalau Kriesha emang nggak hamil, kenapa juga lo berdua mau nikah?”
Gue tiba-tiba jadi teringat pertanyaan Brian dalam rapat pleno Amethyst Six kemarin malam via zoom. Betul sekali. Kalau urusan pergibahan, mau itu hari Minggu sekalipun, anak-anak band gue itu nggak pernah mau absen. Jadi meskipun nggak bisa ketemuan, kita tetap bisa terhubung lewat internet. Sama seperti Brian, sesungguhnya gue juga awalnya nggak tahu kenapa. Jadi gue menekankan pertanyaan yang sama pada Kriesha.
“Kamu serius, Sha?” tanya gue pada malam itu.
Kriesha mengangguk pelan. “Kalau tawaran kamu belum expired, ya aku serius. I think about it all the time, tapi selalu mundur setiap kali aku sampai di pemikiran buat nikah. Mungkin udah jalannya, Tuhan bikin aku yakin lewat contoh kasus orang lain.”
“Maksud aku… kamu beneran udah siap?” Gue mengulang.
“Kamu sendiri, siap atau nggak?”
Lah, dia malah balik nanya. Bikin gue buru-buru menggeleng keras. “Nggak usah ngomongin aku, karena aku selalu yakin aku siap. Meski ada takutnya sedikit, tapi aku nggak bakal mundur. Yang aku mau pastiin itu kamu. Kamu nggak akan berubah pikiran lagi, kan?”
Kriesha mengangguk lagi. “Enggak, udah yakin.”
“Beneran?” Gue nggak bisa menyembunyikan raut muka gue yang sangsi. “Kamu begini atas kemauan kamu sendiri?”
“Ya nggak mungkin juga kalau sekarang aku dikendaliin sama alien dan ini semua kemauan mereka, kan?”
“Kriesha, serius.”
Kriesha menghela napas dalam. “Seratus persen kemauan aku sendiri.”
“Oke. Aku pastiin sekali lagi, ya. Kamu beneran mau nikah sama aku? Udah yakin, mau abisin sisa hidup kamu sama aku? Tujuan kamu untuk nikah… kamu udah tau?” tanya gue pelan-pelan. Saat gue mendapati perubahan di air wajahnya, gue buru-buru menambahkan supaya dia nggak salah paham. “Aku nanya gini bukan karena aku nggak mau nikahin kamu, Kriesha. Tapi mengingat kamu yang sebelumnya ngotot nggak mau nikah apalagi punya anak, aku mau kamu paham dulu kalau kamu nggak perlu ngelawan keinginan kamu sendiri hanya untuk ngerasa ‘aman’. Aku bakal selalu jadi safety net kamu. Mau kita menikah ataupun enggak, aku nggak akan kemana-mana. Seenggaknya, aku nggak berencana untuk kemana-mana. Jadi kamu nggak perlu takut….”
“Aku tahu, Jef.” Kriesha mengangguk paham. “But still… like I said before, I do think about it a lot. Apa yang mau aku capai… tempat apa yang mau aku kunjungi… apa yang mau aku lakuin di dalam hidup… aku udah pikirin semuanya dan kamu hampir selalu muncul di setiap rencana yang aku bikin. I want to be with you too. I want to take care of you til we’re grey and old. And as corny as it might sound, I realized that I really want to call you….”
“Call me what?”
Kriesha menunduk, sedikit membuang muka sehingga gue cuma bisa melihat tulang pipinya yang tinggi dari samping. Dia menjeda cukup lama sembari memain-mainkan ibu jari gue yang sedaritadi dia genggam.
“Kriesha….”
“Hub…by….” Kriesha mencicit.
Gue mendengar suara lirih itu, tapi sebagian dari harga diri gue meminta dia mengulangnya hingga gue betul-betul yakin. “What did you say?”
“Husband. I want to call you husband.”
Di luar dugaan, Kriesha malah melantangkan kata itu dengan keras kali ini. Dia bahkan berani menatap gue, meskipun gue bisa melihat ada secercah malu yang mulai merambat di pipinya yang kemerahan. Sialan, bukannya Kriesha saja yang deg-degan luar biasa saat itu, melainkan gue juga. Demi Tuhan, gue bersumpah gue bisa mendengar denyut jantung gue di telinga gue sendiri. Maksud gue, Kriesha dalam kondisi biasa saja sudah sering bikin gue malu-malu meong kalo lagi tatap-tatapan. Apalagi Kriesha dengan wajah kemerah-merahan, bibir mencebik, dan mata yang tertancap tepat di iris?
Ditambah, dia juga pengen manggil gue apa tadi….
Husband?
Hhhusband???
Sebentar. Gue perlu menjeda ini semua supaya bisa berpikir dengan normal. Dalam hati, gue berdoa supaya bibir gue nggak tremor, tapi tentu saja anggota tubuh gue yang satu itu berkhianat. Dengan brengseknya, dia membuat kata-kata yang keluar dari mulut gue jadi nggak jelas. “Husbhand as shuami?”
Untungnya, Kriesha lagi dalam mode serius sehingga dia nggak ngeledek gaya bicara gue yang udah macem orang lagi kewalahan pas nelen pisang goreng yang masih panas. Dia mengangguk lagi. “Yes. Kita bisa melakukan apapun sekalipun nggak menikah… tapi aku nggak bisa panggil kamu suami kalau kita belum disatukan lewat janji pernikahan, kan?”
Brengsek.
Nggak, gue nggak lagi ngatain Kriesha brengsek. Jangan ngadu ke dia lo semua!
Ini cuma…
Hng…
Cara Kriesha yang mengatakan kalimat itu dengan kasual bikin gue merasa beneran udah diskakmatt. Gue tau gue seharusnya bisa bersikap lebih kuat dan nggak selemah ini… tapi siapa yang nggak ambyar ngedenger orang yang selalu pengen lo nikahi bersedia untuk nikah sama lo karena dia mau lo jadi suaminya!?
Jadi tentu saja, gue nggak banyak cingcong lagi. Malam itu, gue menyetujui keinginan Kriesha. Dan hari ini, kami mendaftar kelas pranikah juga di gereja. Secepat itu!
Tapi ya selain karena gue seneng Kriesha mau gue jadi suaminya, gue juga agak tertegun sih mendengar alasan dia yang lain. Soalnya dia bilang, saat dia pertama kali ngelihat hasil testpack itu, dia nggak punya sebersit pun pemikiran bakal mengenyahkan tu janin. Dia juga nggak ada rasa takut gue bakal ninggalin. Yang dia pikirin cuma… gimana nasib tu anak kalau dilahirin di luar ikatan pernikahan?
Kayak yang dia takutin saat ngomongin kasus temannya kemarin. Kriesha bilang dia udah cukup menjalani masa kecil yang nggak normal karena kehilangan ibunya, jadi dia mau anaknya punya masa kecil yang normal. Bukan masa kecil aja, sih. Dia mau anaknya punya hidup yang normal. Dia juga mau anaknya cinta sama orangtua. Dan gimana caranya tu anak bisa hidup normal kalau dari awal aja orang mungkin bakal melabeli dia dengan kata-kata buruk kayak anak haram dsb. Bukannya berburuk sangka, ya. Tapi di Indonesia, mau semodern apapun, gue rasa bakal tetap ada mulut julid yang bakal ngejudge seenak udel. Apalagi, gue sama Kriesha juga lumayan kena siraman spotlight karena status gue sebagai artis dan dia sebagai putrinya Hendra Trajayudha.
Dan gue rasa, ketakutannya Kriesha itu hal yang wajar.
Persis seperti apa yang udah gue bilang kemarin.
Apasih yang lo harapkan dari hasil sex?
Seaman apapun lo main, bakal selalu ada kemungkinan jebolnya. Jadi, selalu ada kemungkinan gue dan Kriesha punya anak. Daripada membereskan kekacauan setelah kekacauan itu terjadi, lebih baik mencegah. Gue juga nggak mau anak gue nggak bisa pake nama belakang gue padahal gue ini bapaknya. Dengan kata lain, keputusan untuk menikah ini emang merupakan hal yang paling tepat.
Tapi ya, tetep aja gue merasa semua ini tuh TIBA-TIBA.
Apa jangan-jangan gue kena karma gara-gara sering nyindir si Satya dan hidupnya yang serba TIBA-TIBA, ya?
“Jef….”
Lamunan gue terpecah ketika telinga gue mendengar suara Kriesha memanggil. Kami baru pulang dari gereja sekitar tiga puluh menit lalu, dan Kriesha mau masak sebagai ganti absen hari Jumat kemarin. Jadi gue izin ke kamar sebentar buat mengganti pakaian gue dengan kaus dan celana pendek supaya lebih nyaman. Tapi karena kebanyakan bengong, gue baru inget kalau sekarang gue masih berbalut kolor sama kaus dalam doang. Biasa, deh. ADHD yang gue idap kadang bikin gue susah fokus—apalagi kalau ada hal sebesar pernikahan yang lagi gue pikirin.
“Jef, udah selesai belum ganti bajunya?” Kriesha memanggil lagi. Bikin gue buru-buru mengenakan kaus, menarik celana hingga sebatas perut, dan melesat keluar.
“Udaaaah,” jawab gue macam anak TK yang habis ditanya gurunya udah ngerjain tugas atau belum.
“Bantuin aku, dong!” seru Kriesha sambil menurunkan kontainer-kontainer berisi entah apa dari dalam kulkas.
Buru-buru, gue mendekat dan mendapati bahwa isi kontainer-kontainer transparan itu adalah udang berukuran jumbo dan berbagai jenis sea creature lain yang sepertinya sudah Kriesha bersihkan sebelumnya.
Gue mengambil alih beberapa kotak sambil bertanya, “Seafood semua, nih?”
“Iya.” Kriesha menjawab singkat. “Mau bikin sapo tahu. Udah lama nggak makan. Terakhir kayaknya tahun lalu nggak, sih? Pas kita kehujanan terus nggak sengaja mampir di tenda seafood pinggir jalan?”
“Yang kamu ngambek karena kita kehabisan tiket ballet di JiExpo?”
“Nggak usah dibahas lagi deh masalah tiketnya! Aku jadi bete kalo inget. Emang nggak selamanya influencer itu bisa dipercaya. Tau gitu aku beli tiket di calo sekalian,” cetus Kriesha. Kelihatan masih sebal karena konser ballet itu adalah konser yang ingin ia datangi sejak lama. Perempuan itu kemakan promo yang diberikan oleh sebuah akun besar di twitter. Karena merasa akun besar dengan jumlah followers bejibun itu trusted, Kriesha langsung transfer begitu saja. Tahunya, pemilik akun tersebut ternyata menipu. Sudah nggak berhasil dapat tiket, uang Kriesha dan korban lain malah digunakan untuk main judi slot. Alhasil, Kriesha juga belum mendapatkan ganti rugi hingga saat ini.
“Sori… nggak maksud buka luka lama,” kilah gue sambil buru-buru menaruh container-container itu di meja granit. “Anyway, mau celemek juga, dong!”
“Celemek? Buat apa?” Kriesha bertanya dengan raut menyelidik.
“Ya buat aku, lah. Aku mau bantuin. Ini kaos baru dipake sekali, kan. Biar nggak boros baju kalau misalnya nanti kena cipratan air atau apa,” jawab gue apa adanya.
Kriesha mengerjap beberapa kali. Kelihatan tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Perempuan itu lantas bersedekap sambil menatap gue lekat-lekat. “Kamu… mau ngapain, tadi? Bantu… bantuin gimana?”
“Ya bantuin kamu siapin makan siang, Sha. Emang bantu ngapain lagi?” tukas gue. “Numpung akunya juga ada di sini, kan. Biasanya kamu langsung masak karena hari Jumat aku tetep otw dari kantor jam 5. Sekarang aku ada, jadi tolong tenaga aku ini ya dimanfaatkan gitu loh.”
“Jef… are you even sober?” Kriesha malah semakin kelihatan sangsi.
Jujur, ego gue terluka.
Emang ada apa sih dengan Jefrain Taris dan ide buat bantuin masak???
Gue juga bisa, kali, kalau cuma cuci-cuci jemur-jemur.
Eh.
Maksudnya tumis-tumis, iris-iris!
“Kamu emang bisa ngapain, Jef?” Kriesha ketawa, ngeselin banget. Perempuan itu geleng-geleng kepala sambil mendorong gue supaya menjauh dari meja granit. “Udah nggak usah aneh-aneh. Kamu duduk manis aja. Aku takut malam ini tiba-tiba ada gerhana karena kamu mau bantu masak begini.”
Wah. Beneran nyari ribut.
“Sha, aku tuh bisa masak tau!” Gue membela diri. “Waktu nggak ada kamu dan aku udah nggak hidup sama Mami, aku tuh masak sendiri!!!”
“Masak mie sama nasi, maksud kamu?” Kriesha nyinyir.
“SAMA NAGET DINO, YA!!!”
Gue nggak tau kenapa gue jadi ngegas. Tapi menurut gue, Kriesha tuh jahat. Dia sudah secara terang-terangan meng-underestimate kemampuan gue! Padahal kata anak-anak, nugget dino yang gue goreng itu enak banget. Tingkat kematangannya pas. Kulitnya aja berwarna keemasan dan jauh dari kata gosong. Selain luarnya terasa crispy, dalamnya juga juicy! Jadi wajar misalkan gue nggak terima kalau Kriesha nggak mengakui skill gue yang satu itu!
“Oke… sama naget dino.”
Kriesha—lagi-lagi dengan jahatnya, malah ngakak kenceng. Gue nggak ngerti kenapa dia merasa statement mengenai kemampuan gue menggoreng nugget dino itu setara dengan jokes. Padahal gue serius. Kalau mau minjem jargonnya Nadine di iklan capucino, nugget dino buatan gue itu numeru uno!
“Kriesha, aku serius. Aku bisa masak. Aku bisa bantuin kamu!” Gue masih bersikeras. “Suruh aku lakuin sesuatu, aku pasti bisa!”
“Oke… oke….” Kriesha mengalah. “Ambilin aku bokchoi di kulkas.”
“Gitu dong!” seru gue. Kemudian tanpa banyak cakap, gue bertolak ke depan lemari es dua pintu di apartemen kami. Gue membuka pintunya, kemudian berjongkok untuk membuka rak sayur. Awalnya, gue pede-pede saja dengan apa yang hendak gue lakukan. Tapi saat mata gue melihat ada banyak jenis sayur dengan bentuk daun berbeda, gue jadi diterpa kebimbangan.
Yang manakah diantara sayur-sayur itu yang merupakan bokchoi?
“Jef. Mana bokchoinya? Sama kembang kol juga sekalian bawain kesini,” perintah Kriesha. Gue bisa mendengar dia mulai membuka container-container yang tadi berisi aneka sea creatures.
Gue menelan ludah. Kembang kol yang mana lagi dah?
Entah karena gue kelamaan berjongkok, atau gue merasakan tekanan yang begitu intense dari belakang punggung gue, tiba-tiba saja keringat mengucur di dahi gue. Tangan gue memang sibuk mengaduk-aduk sayuran di dalam laci, tapi otak gue buntu. Gue nggak tahu sayuran yang Kriesha maksud, dan kebetulan sekali ponsel gue ada di meja sehingga gue nggak bisa berperilaku curang dan mencontek gambar di google.
“Jef….”
Kriesha manggil lagi. Aduh. Gengsi gue mau ditaro dimana kalau dia sampai tahu gue nggak bisa bedain mana bokchoi mana kembang kol!? Bisa-bisa, dia malah ngetawain gue lagi karena gue terbukti tidak familier dengan bahan makanan di dapur.
Akhirnya karena gue malu, gue ambil saja laci kulkas dan membawa semua sayur itu ke meja granit.
Kriesha yang awalnya lagi sibuk mengupas bawang refleks bilang terimakasih, tapi terus memekik ketika dia sadad gue membawa sayur beserta laci-lacinya. “Aku minta bokchoi sama kembang kol, Jef. Kenapa dibawa semua?”
Gue menggaruk tengkuk sambil cemberut. Nggak tahu mau ngeles gimana lagi. “Aku nggak tau yang mana….”
“Hah?”
“Aku nggak tau jenis-jenis sayuran,” aku gue. “Udah deh kamu pilih aja. Nanti aku balikin lagi lacinya ke kulkas.”
Kriesha bengong sebentar, kemudian mengembuskan napas keras. Gue kira dia mau ketawa, tapi ternyata dia cukup punya hati untuk menahan diri. Gantinya, dia mengambil sebungkus sayuran yang punya daun berwarna hijau, dan satu bonggol sayuran lain yang berwarna putih. Lantas dia pun mengangkat keduanya di hadapan gue. “Yang hijau ini namanya bokchoi. Kalau yang bonggol ini, itu namanya kembang kol. Nih kamu lihat dulu. Dikenalin sayurnya, biar lain kali kalau aku minta tolong kamu ngerti.”
Sambil merengut, tentu gue mengiyakan. Selain kembang kol dan bokchoi, Kriesha juga jadi turut mengenalkan gue dengan sayur lain. Ada daun bawang, seledri, oyong dan sebagainya. Sudah begitu, dia juga jadi lanjut memberi gue pengetahuan akan bumbu dapur.
“Jef, udah hafal belum?” Kriesha bertanya lagi ketika dia melihat gue membolak-balikkan bawang dengan ogah-ogahan. “Kalau belum, aku ulang lagi.”
“Belum,” kata gue. “Tapi nanti lama-lama juga hafal. Yang penting aku sering lihat kamu pas masak. Sering bantuin kamu.”
Kriesha nggak menjawab, dia cuma memandang gue dengan sorot meragukan—yang jelas bercanda. Gue tahu dia paham ini tuh cara gue berterimakasih. Cuma kadang-kadang, dia emang suka ngeledek aja. Ngeselin. Bikin gue nggak tahan buat nggak meraup mukanya supaya lempeng lagi. Tapi jelas nggak gue lakuin, soalnya gue masih dalam tahap cooldown alias salah dikit, takutnya dia malah marah lagi.
“By the way, aku ketemu Mbak Joan sama Mas Satya tau, Jef, pas lagi belanja,” cerita Kriesha tiba-tiba. Dia membuka ikatan rambutnya dan mencepol ulang rambut itu supaya lebih rapi.
“Oh, ya? Kok bisa?” Gue berinisiatif menarik stool untuk duduk. Tangan gue bergerak buat menuang air dari pitcher ke gelas dan mereguknya buat melepas dahaga. Yang namanya belajar itu dimana-mana memang melelahkan, ya. Gue cuma ngafalin nama bumbu dapur sama sayur aja merasa otak gue mulai panas. “Bukannya kamu belanja di supermarket lantai bawah kantor kamu?”
“Nggak. Aku main ke Hero sama Aleeyah. Awalnya mau nganter Aleeyah nyetok bahan makanan, eh malah liat sayuran seger-seger banget. Makanya kepikiran mau bikin sapo tahu pake bokcoy, nih.” Kriesha mengangkat bokcoy yang siap dicuci. “Terus aku liat Mbak Joan lagi milih wortel. Perutnya udah gede banget, loh, dari pas terakhir aku ketemu. Aku ngeri liatnya, takut Mbak Joan nggak kuat pas jalan. Tapi untungnya ada Mas Satya sih.”
“Yah, nggak heran. Mungkin lagi belanja bulanan, Sha. Kalau nggak salah, umur kandungannya Mbak Joan emang udah deket-deket HPL, deh. Soalnya Satya udah cuti sih. Katanya due date-nya tinggal sebentar lagi,” timpal gue. Gue belum ketemu Mbak Joan lagi, sih. Tapi memang kata anak-anak, bumps-nya Mbak Joan itu besar. Banyak yang ngira anaknya bakal kembar, tapi menurut Satya sih mereka cuma akan dapat satu anak laki-laki.
“Tapi Mbak Joan cantik banget tau, Jef. Cantiknya tuh… beda. Kayak… berseri-seri gitu, deh! Itu kali ya, yang namanya pregnancy glow?” Kriesha berceloteh lagi. Kali ini sambil tersenyum lebar dan mengambil beberapa siung bawang untuk dia iris. Shit. Dia nggak sadar, ya, dia juga sama cantiknya? Apalagi kalau lagi seneng kayak gitu. Auranya tuh nggak bisa bohong. Happy-nya nular ke gue.
“Calon anaknya laki-laki kata Satya.” Gue memberitahu.
“Loh, udah ketauan?” Kriesha terperangah. “Pantesan ya, Mbak Joan cantik banget. Mitosnya kan kalau hamil anak perempuan, anak itu bakal menyerap aura-aura kecantikan si ibu buat dirinya sendiri. Jadi si ibu nggak bersinar gitu. Nah kalau anak cowok, mereka kan ga butuh kecantikan ibunya, makanya ibunya bisa kelihatan lebih paripurna gitu cantiknya.”
“Yang bener? Tapi kayaknya Mami pas hamil aku biasa aja, deh. Aku lihat fotonya.”
“Ya namanya juga mitos, nggak jelas bener apa nggaknya. Tapi dari yang aku lihat, Mbak Joan emang secantik itu! Aku penasaran nanti anak mereka bakal kayak gimana. Maksudku, mirip Mbak Joan atau Mas Satya. Dua-duanya sama-sama cakep, sih. Pasti nanti anaknya juga sama cakepnya, deh!” Kriesha mesem-mesem sendiri, lalu lanjut meletakkan pan di atas kompor. “Berarti Mas Satya bakalan resmi jadi ayah, ya? Pecah telor dong anak Amethyst Six. Satya bakalan jadi ayah pertama di band kalian.”
“Sebelum punya anak beneran, dia emang udah kayak bapak buat kita semua. Jadi udah cocok,” kata gue. “Kalau bukan Satya duluan, kayaknya nggak akan ada yang pantes buat pecah telor di Amethyst Six.”
“Loh, kok ngomongnya gitu?” tanya Kriesha. “Bukannya sebelum Mas Satya nikah sama Mbak Joan, kamu juga udah siap lamar aku?”
“Iya. Tapi aku belum tahu bakal pantes atau nggak jadi bapak,” aku gue.
“Pantes, kok.” Kriesha menjawab cepat. Bikin gue kaget karena tumben dia tidak meledek gue.
“Nggak salah ngomong, Sha?” Gue memancing, siapa tahu dia mau bilang kalau dia bercanda.
Tapi ternyata gue cuma berprasangka buruk, sebab Kriesha serius. Sambil memotong-motong bawang, Kriesha lanjut berbicara. “Waktu kita di Bandung dan kamu nggak sengaja diintilin sama anak kecil, aku ngerasa kamu udah cocok jadi Ayah. Inget kan? Yang kamu nunggu aku nyalon dan tiba-tiba ketemu anak hilang itu? Yang kita akhirnya ke pusat informasi buat umumin kalo kita nemu anak kecil.”
Gue sebenarnya sudah lupa sama kejadian itu, tapi karena Kriesha menyinggungnya lagi, gue jadi mengingat kembali meski samar-samar. “Oh… yang nangis terus karena muka kamu nggak children friendly itu, ya?”
Pisau yang Kriesha gunakan untuk memotong bawang pun langsung tertancap di talenan dengan dramatis, bersamaan dengan pelototan tajam yang terhunus langsung ke mata gue. “Kamu tuh kenapa sih ingetnya yang aneh-anehnya melulu!?”
“Ya… maaf. Soalnya itu memorable buat aku,” kilah gue sambil meringis kecil. “Tapi yaudah, aside of that… apa yang bikin kamu ngerasa aku pantes jadi bapak cuma karena peristiwa itu?”
Kriesha menjeda cukup lama. Sempat mengalihkan perhatian gue dengan pura-pura sibuk mengiris cabai, tapi kemudian pelan-pelan berujar, “Pas aku samperin kamu setelah kelar nyalon… aku lihat punggung kamu, Jef.”
“Punggung?”
Kepala Kriesha mengangguk. “Kamu munggungin aku, sambil gendong anak yang lagi sibuk nangis itu. Aku emang nggak bisa denger dengan jelas. Tapi disitu, kamu berusaha keras ngalihin perhatian dia buat nggak nangis lagi. Kamu kasih lihat dia lampu-lampu di depan toko aksesoris… Kamu suruh dia perhatiin orang yang kebetulan ada disitu… apapun kamu tunjuk supaya dia bisa terdistraksi. Dan kamu mungkin nggak tahu… tapi pas lihat kamu begitu, aku nangis.”
“Hah?”
Oke, ini hal baru buat gue. Kriesha nangis? Gara-gara ngeliat gue ngegendong bocil? Kok gue bisa nggak tahu!?
“Iya, aku nangis. Aku merasa bersalah banget karena udah tolak lamaran kamu. And deep down… aku ngerasa kamu sebenernya layak buat dapetin kehidupan itu—nikah dan berkeluarga. I think you will going to be a great dad, cause you are always THAT caring. Bukan cuma ke aku, bahkan ke anak kecil yang nggak kamu kenal saat itu. Kamu bakal jadi ayah yang baik banget buat anak kamu kelak. Makanya aku nangis… karena aku mikir, aku tuh ngehambat kamu buat dapetin kehidupan yang cocok kamu dapetin. Kalau kamu sama aku, kamu nggak bisa punya hidup yang kayak gitu, kan?” Kriesha berterus terang. Dia agak menunduk karena mungkin merasa sedikit emosional. Bikin gue juga jadi terbawa suasana.
Jadi dia tahu….
Dia tahu gue pengen jadi ayah, dan dia juga menyesal karena merasa sudah menjadi penghambat. Both of us knew what we want. Tapi kami sama-sama bertahan dan menunggu dengan sabar. Sekarang saat semuanya sudah sejalan dan hilalnya kelihatan jelas di depan mata, gue malah jadi malu karena sempat gundah mikirin gimana cara minta izin ke Hendra Trajayudha.
Kriesha mengerjap sebentar, kemudian bergerak buat menuangkan minyak ke atas pan. “But its okay. You’re gonna get what you want, Jef. Dan bukan cuma kamu yang menginginkan itu, sekarang aku juga mau. So we’re even.”
Gue mengangguk. Nggak bisa menjawab karena takut omongan gue nggak jelas lagi.
“Oh iya. Aku sampai lupa mau kasih tahu kamu,” kata Kriesha tiba-tiba. “Aku udah bilang ke Papi soal rencana pernikahan kita. Jadi, Papi minta ketemu kamu hari Minggu besok. Kamu kosong, kan?”
“Kosong, kok.” Gue menyanggupi. Cepat atau lambat, pertemuan dengan Hendra Trajayudha memang harus terjadi. “Tapi bukannya kamu yang minggu depan punya jadwal, ya? Kamu bilang, kamu mau ada reuni kampus, kan?”
“Iya.” Kriesha membenarkan. “Tapi kan nggak ada urusannya sama aku. Papi tuh mau ketemu kamu, Jef. Bukan aku.”
“Wait….” Gue berusaha keras memproses kata-kata Kriesha dengan kilat. “Maksudnya gimana, nih? Aku sama Papi… berdua aja?”
“Iya,” jawab Kriesha lempeng.
“HAH?!”
“Jef, tutup hidung!” seru Kriesha keras, menghalau gue dari kepanikan gue sendiri.
“What!?”
“TUTUP HIDUNG, AKU MAU NUMIS RANJAU!” Kriesha menampilkan deretan bawang putih dan cabai yang sudah dia iris dan cincang halus. Gabungan bumbu untuk sapo tahu yang dia buat. “Cepet! Nanti kamu bersin!”
“OH, OKE!”
Otomatis, gue menurut. Untuk sepersekian detik, gue mengenyampingkan berita bahwa Hendra Trajayudha mengundang gue untuk menghadap dirinya berdua saja. Gue menutup hidung seperti yang Kriesha pinta. Dan beberapa saat kemudian, gue mendengar bunyi khas bawang yang beradu dengan minyak panas. Disusul dengan aroma yang sebenarnya nikmat, tapi cukup menusuk hidung sehingga gue bakal bersin-bersin seandainya Kriesha nggak menyuruh gue untuk cepat-cepat menutup hidung tadi.
Tapi nggak tau kenapa, meski udah nutup hidung dengan cara menjepitnya rapat-rapat, gue tetap bersin juga. Mana bersinnya bukan yang sekali beres, pula. Bersin heboh gitu sampe dengkul gue drama kepentok meja segala.
“Kayaknya lain kali kamu harus pake helm, deh,” usul Kriesha setelah dia beres menuangkan bokchoi beserta air kaldu. Persis ketika bersin gue selesai. Dia mengecilkan api dan berderap menghampiri gue, mengelus-elus dengkul gue yang panas akibat terbentur. “Merah, nih! Sakit, nggak?”
Ya tentu aja sakit, Sha! Orang kejedug! batin gue berkomentar. Tapi sebagai lelaki sejati yang LAKIK luar dalam, tentu saja gue menggeleng. “Biasa aja.”
“Dih,” decih Kriesha. Tangannya yang semula mengelus dengkul gue dengan lembut sontak menggeplaknya tanpa aba-aba. Bikin gue terlonjak dan mesti beradu dengan meja untuk kali kedua.
“Kriesha!” protes gue serta merta. Kalau tadi sakitnya emang beberapa kali usap bisa selesai, gue nggak yakin yang sekarang bisa begitu. Soalnya bunyinya lebih keras dibanding sebelumnya, dan kali ini, gue beneran merasa tempurung lutut gue kena. Bisa-bisa yang tadinya cuma merah biasa berubah jadi lebam luar biasa.
Kalau terus-terusan kayak gini, gue bisa digosipin kena KDRT sama akun gosip ternama! Kemarin aja bumi udah gonjang ganjing pas gue ketahuan tinggal bareng padahal status masih pacaran. Kalau ditambah bumbu kekerasan, bisa-bisa kiamat beneran!
“Eh! Sori, sori!” pekik Kriesha. Dia kayaknya juga sama kagetnya dengan gue ketika mendengar suara itu. Sebab gue mendapati matanya membelalak samar sebelum dia menghambur memeluk gue. Udah kayak emak-emak misalkan lihat anaknya jatuh, Kriesha buru-buru mendekap kepala gue. Dia memeluknya erat banget sambil bilang, “Sori! Sori! Sori! Sakit, ya? Cup, cup, abis ini udah nggak sakit lagi! Langsung sembuh, beneran!”
Gue ingin protes kalau yang sakit itu dengkul, bukan kepala. Jadi kenapa juga kepala gue yang dicium dan diusap-usap!?!?!
Bukannya menolak rezeki, tapi… ngerti, kan?
“Sha,” tegur gue. Sebenarnya ingin melanjutkan prahara, tapi untung kepala gue masih cukup cerdas buat mengingat ada yang lebih penting daripada ini semua. Gue menunjuk pan yang tergeletak di atas kompor yang menyala. Ada asap lumayan pekat yang mengepul di atas pan itu. Tanda bahwa air kaldu sudah mendidih. “Itu sapo tahu… tahunya belum kamu masukin. Nanti keburu asat air kaldunya….”
“Oh iya!” Secara dramatis, Kriesha menepuk keningnya sendiri. Kemudian dia bergegas kembali ke depan kompor dan menuang tahu sutera yang sudah dipotong dan digoreng setelah sebelumnya dibaluri dengan tepung maizena. Mulutnya menyeringai tipis ketika dia menyadari satu hal, “pokcoynya kayaknya bakal layu banget deh nanti. Nggak krekes-krekes lagi. Hehe. Nggak apa-apa, kan?”
Gue cuma bisa melihatnya sambil geleng-geleng kepala. Helaan napas gue keluar dengan berat. Hidup sama Kriesha emang ada aja ceritanya. Ibarat ayam geprek, bokchoi layu itu cuma level satu. Masih ada banyak hal bodoh lain yang kalau diceritain, bisa menghabiskan setidaknya dua rim kertas sendiri.
Aroma masakan itu makin memikat setelah dia memasukkan seafood dan memecahkan sebutir telur. Bunyi blubuk-blubuk dari air kaldu sudah semakin keras, tanda bahwa sebentar lagi makanan itu akan matang. Harusnya, gue bisa berbahagia karena sebentar lagi bakal menyantap hidangan lezat. Tapi entah kenapa, selera makan gue hilang. Gue masih kepikiran soal bokapnya Kriesha. Selama ini, gue selalu bertemu dengan beliau didampingi oleh Kriesha. Itu saja sudah awkward. Gue nggak bisa membayangkan kalau nanti gue harus bicara berdua, meminta restu pula!
“Aku udah lama nggak bikin sapo tahu, tapi wanginya enak. Kayaknya enak sih ini,” gumam Kriesha. Dia mengambil sendok dan menyendok kuah sapo tahu yang sudah sedikit mengental. Setelahnya, dia bergerak menghampiri gue dengan semangat empat lima. “Coba! Coba!”
“Sabar. Masih panas itu kayaknya,” kata gue sembari menahan pergelangan tangan Kriesha supaya dia tidak main menyuapi gue. Lidah gue lidah kucing, kalau melepuh sembuhnya lama.
“Nggak, kok. Mau aku tiupin?” tawarnya.
Gue tahu makanan panas nggak sebaiknya ditiup, tapi buat gue, nggak apa-apa selama yang niup itu dia. Jadi gue menjawab, “Mau.”
Kriesha beneran niup kuah kaldu yang cuma seuprit itu. Nggak cuma sekali, pula. Beberapa kali sampe dia merasa kalau kuah itu nggak cukup panas buat gue.
Sial. Brian kayaknya emang bener, deh, soal love language. Yang ditiup saat itu adalah kuah kaldu, tapi yang semeriwing malah hati gue.
Najis.
Jefrain Taris Demitri emang senajis ini kalau lagi bucin. Tapi siapasih manusia yang nggak najis nan alay kalo lagi jatuh cinta? Gue yakin gue nggak sendiri.
Tapi untung yang bisa mengetahuinya cuma Tuhan Yesus, gue, dan pembaca suara hati Jefrain saat ini. Kalau ketahuan Kriesha apalagi anak Amethyst Six, kayaknya gue lebih baik mudik ke Mars dan nggak balik lagi.
“A,” perintah Kriesha sembari menyodorkan sendok itu ke mulut gue. Macam female leads dalam anime yang lagi nyuapin hasil masakannya kepada si male leads.
DAN GUE ADALAH SI MALE LEADS ITU AWOAKWOAKWOAK.
Oke tenang, Jef. Lo nggak boleh terlalu alay. Ini baru bab kedua. Jangan membuat pembaca lo kabur karena jijik sama tingkah lo. Bersikap normal, please!
Jir. Gue tiba-tiba merasa wajah gue memanas. Malu sendiri padahal Kriesha kayaknya nggak punya pemikiran apa-apa karena dia santai aja nyuapin gue. Ragu-ragu, gue membuka mulut.
“A.”
Gue melahap apa yang disodorkan Kriesha. Mengecap perpaduan rasa asin, manis, dan gurih di lidah gue. Kaldu itu enak. Jadi gue merasa komponen lain di dalam panci itu juga bakal enak.
“Enak, nggak?”
“Banget!” Gue spontan mengangguk sembari memberinya dua jempol di udara.
Bonus memejamkan mata supaya kesannya tuh masakan betulan membawa gue ke surga dunia. Ya udah, lah. Sekarang ini di hadapan gue lagi ada makanan nikmat. Urusan Hendra Trajayudha bisa menunggu.
Kriesha senyum, kelihatan lega. Gue heran kenapa dia selalu merasa takut masakannya nggak enak. Padahal ya, bagi gue, dia masak telur ceplok pake garem dikit juga rasanya udah kayak omelet hotel bintang lima.
Namun nggak sampai sedetik, senyum Kriesha berganti jadi raut jengkel karena ekspresi gue. “Biasa aja mukanya. Kalo ada yang lihat, takutnya aku dikira masukin ganja ke dalemnya sampe kamu merem-melek kayak gitu!“
“Bukannya emang iya?”
“Dikit.”
Gue keselek. “Serius???”
“Becanda!” Kriesha mendengus, kemudian terkekeh. “Kamu tuh nggak pernah kapok, ya? Selalu mau ngeledek aku tapi akhirannya selalu kamu yang kemakan perangkap kamu sendiri.”
Gue mencebik. Iya juga.
“Mau makan di depan televisi apa mau disini?” kata Kriesha sambil mematikan kompor.
Hidangan utama sudah siap, jadi gue bangkit dan menyendok nasi buat kami berdua sementara Kriesha menuang sapo tahu itu ke mangkuk besar. Bokchoinya layu seperti dugaan di awal, tapi seafood-nya kelihatan cantik. Tahu suteranya juga tidak hancur. Tampilannya memang tidak se-visually pleasing kalau makan langsung di restoran cina, tapi sanggup mengundang kelenjar ludah gue buat memproduksi saliva lebih banyak dari yang seharusnya.
Singkatnya, cukup menggugah selera sehingga perut gue jadi terasa keroncongan.
“Di sini aja,” gue bilang gitu. Sengaja supaya Kriesha nggak bawa mangkuk panas itu ke depan televisi.
“Oke.” Kriesha batal membawa mangkuk itu ke ruang televisi. Gantinya, dia menaruh mangkuk itu di tengah-tengah meja makan berbahan batu granit, kemudian menarik stool di seberang stool gue. Setelahnya, dia mengambil sendok dan garpu untuk gue dan juga dirinya sendiri. “Yuk,” katanya.
Beres menaruh mangkuk nasi buat dia dan gue, gue pun naik kembali ke atas stool. Kriesha sudah menyatukan kedua tangan dan memejamkan mata, siap berdoa. Jadi gue mulai memimpin doa itu sebelum kita benar-benar makan.
Kami makan dalam diam. Maksudnya, nggak ngobrol kayak biasanya. Kriesha sibuk memilih-milih udang dan menaruhnya di atas mangkuk gue. Kebiasaannya yang nggak pernah berubah. Setiap kali makan sesuatu, apapun itu, dia bakal menaruh bagian yang dia rasa enak di atas piring gue supaya gue makan. Kalau gue menolak, dia bakal memberengut dan malah semakin semangat meletakkan lauk-lauk lain sebagai bentuk balas dendam. Dia tuh apa, ya? Semacam punya sifat ‘against the world’ gitu, deh. Kalau disuruh apa, cenderung ngerjain yang sebaliknya.
“Jef,” panggil Kriesha disela-sela mengunyah.
Gue mendongak, tapi nggak menaruh fokus gue padanya karena sibuk berpikir apa lagi yang mesti gue makan setelah udang di mulut gue habis. Kayaknya gue mau ngembat telur dan bokchoi, sih.
“Nanti pas ketemu Papi, kamu yang rapi, ya.”
Gue yang tadinya sedang semangat menyendok telur dan bokchoi jadi mendadak gugup. Gue kira, pembahasan mengenai Hendra Trajayudha udah disudahi tadi. Tapi ternyata bukan hanya gue yang kalut, Kriesha juga. “Yang rapi gimana?”
Kriesha tidak langsung menjawab. Dia mengesampingkan mangkuk beserta peralatan makannya. Kesepuluh buku-buku jemarinya mengetuk-ngetuk meja granit dengan resah. “Baju kamu. Penampilan kamu. Gaya bicara kamu. Pokoknya, kamu harus kelihatan bisa diandalkan. Jangan klemar-klemer, soalnya Papi nggak suka.”
Waduh.
Gue jadi mendadak kenyang dan nggak kepengin makan lagi.
“Ada kemungkinan Papi kamu nggak setuju kamu sama aku, ya?” Gue bertanya pelan-pelan. Sumpah, tubuh gue yang tadinya santai kini jadi menegang.
Lagi-lagi, Kriesha membisu. Dia kelihatan bimbang antara melontarkan apa yang ada di kepalanya atau tidak, bikin gue diam-diam merasa semakin diselubungi kalut.
“Sha?”
“Hng?” Kriesha mengangkat wajahnya, melihat gue sekilas sebelum membuang muka lagi.
Gue nggak jago-jago amat membaca situasi apalagi gestur, tapi kalau sudah begini… kemungkinannya memang iya. Papinya bisa jadi nggak setuju gue dan dia menikah.
Tapi di dalam hubungan gue dan Kriesha, gue adalah pemimpinnya. Gue laki-laki, jadi gue sudah pasti harus memperjuangkan hubungan ini sampai jadi. Gue nggak bisa bertumpu pada Kriesha dan harus punya strategi sendiri.
“Papaku…. Orangnya agak keras, Jef. Kamu tahu, kan?” kata Kriesha. Betulan kelihatan se-concerned itu. “Aku cuma—aku takut aja kalau dia bikin kamu nggak nyaman. Jadi sebisa mungkin, pembawaan kamu harus bikin dia nggak punya komentar negatif apapun. I really want to accompany you, Jef. Reuni sebenernya nggak penting sama sekali. Tapi Papi minta spesifik cuma mau ketemu berdua sama kamu, jadi aku nggak bisa apa-apa….”
Gue menelan ludah dengan gugup. Sebagian dari diri gue mengapresiasi kejujuran Kriesha. Namun sebagian lagi tentu merasa sedikit ciut. Ibaratnya, Hendra Trajayudha ini adalah bos terakhir yang harus gue taklukan dalam hubungan gue dan Kriesha. Jika gue gagal, maka semuanya nggak akan berguna lagi.
Melihat Kriesha yang sudah cukup kalut, gue merasa nggak bisa menambah bebannya dengan mempertontonkan kalau gue sebenarnya juga merasa takut. Jadi, layaknya aktor-aktor kondang yang memerankan male lead di drama romance angst slice of life, gue pun mengambil tangan Kriesha untuk gue remat. Berharap dengan begitu, gue bisa menyalurkan energi optimis gue kepadanya.
“It’s okay, Sha,” kata gue. Gue tahu ini akan terdengar cringe, tapi yang namanya usaha, tetap harus dicoba. Jadi dengan lantang gue berujar, “hidup aja pernah takluk sama aku dua kali. Kalau cuma soal Papi, kamu nggak usah khawatir. Semuanya bakal baik-baik aja. I will win his heart. So all you have to do is put your faith on me. Trust me, okay. I got you.”
—
A/N
Lennon masih 60% ya, Penyu Island Trip masih 50%. Jadi mohon maaf gue bikin poll di twitter kek tidak berguna karena malah La Luna duluan wkwkwkkw. Ini tuh masih ringan, jadi gue bisa cepet nulisnya. Lennon udah masuk klimaks jadi gue mentally drained WKWKWKWK.
Dah segitu dulu infonya. Sampai ketemu di Lennon part 3! Selamat lebaran juga bagi yang merayakan! Wuf u! 🐾
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
