
*contain mature contents, please be wise. minor stay away. the detailed hardcore version only can be accessed after you pay. i'm sorry, but it is just my way to protect you holy rebel child that ended up here even after i put the age resctriction lmao. happy reading!
Jef tidak butuh waktu lama buat mandi. Biasanya dia melakukannya kurang dari tiga puluh menit, begitu pun sekarang. Setelah beres keramas dan menggosok tubuh dengan sabun, dia keluar dari kubikel menuju washtafel. Dengan santai mengeringkan...
1,781 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Kiss And Make Up
Selanjutnya
KISS AND MAKE UP PART 3 ( END )
9
0
Kriesha terbangun dari tidurnya yang relatif singkat. Napasnya terengah seperti baru saja berlari ratusan kilo jaraknya. Jantungnya berdetak tidak beraturan sementara gelisah ikut menyelimutinya sehingga dia tidak bisa benar-benar terlelap.Sebelumnya, dia dan Jef sepakat meruntuhkan tembok es yang beberapa hari ke belakang menghantui keduanya. Namun bukannya menemukan kelegaan, Kriesha malah mendapati dirinya semakin dilahap resah. Benaknya mendadak dipenuhi oleh berbagai pertanyaan mengenai keputusan yang sudah dia ambil. Apakah keputusannya menolak lamaran Jef sudah benar?Kriesha menghela napas panjang. Dia berusaha keras menormalkan ritme jantungnya sebelum akhirnya menolehkan wajah ke sebelah kanan. Di sana, tak sampai satu jengkal darinya, Jef berbaring menyerong menghadapnya. Lampu tidur di belakang lelaki itu menyala, sehingga Kriesha bisa melihat dengan jelas wajah Jef yang terlelap. Tidak seperti Kriesha yang tidak tenang, Jef malah tampak begitu nyenyak. Separuh wajahnya tenggelam pada bantal, mempertegas siluet yang muncul dari hidung mancung dan bibir tebalnya yang kini sedikit mencebik. Rambutnya terangkat, menampilkan kening bersih serta alis tebal dan bulu mata yang membingkai mata kecil yang dia punya. Tangan kanannya mendekap Kriesha—lebih tepatnya menindih sebab bahu dan sebagian tubuh atasnya jatuh di atas tubuh Kriesha. Bergerak naik turun seiring dengan helaan napasnya yang teratur. He looks a little bit tired, but happy, and peaceful… nearly like a baby.Tanpa sadar, Kriesha jadi melupakan sedikit gundah yang menyesaki dadanya. Sudut-sudut di bibirnya terangkat sementara dia berusaha keras berganti posisi buat balas menyerong ke arah Jef. Kemudian begitu saja, telapak tangannya terangkat. Dia menaruhnya di kepala Jef, membiarkan ibu jarinya bergerak lembut untuk mengusap pelipis lelaki itu. “Cutie pao,” gumam Kriesha. Mengacu pada sebelah pipi Jef yang gempal seperti bakpao. Kriesha tidak menyadari ini sebelumnya, tapi dari sekian banyak ekspresi yang kerap Jef tunjukkan, Kriesha paling suka berbagai ekspresi yang Jef buat ketika tidur. Sebab kadang, Jef bisa mendumal, tersenyum, sekaligus mengambek tergantung pada mimpi apa yang dia saksikan pada saat tertidur. Dan bagi Kriesha, ekspresi Jef yang beragam itu sangat menghibur. Terlebih jika keesokan harinya Kriesha bercerita dan Jef akan menyangkal mati-matian. Tidak percaya kalau dia bisa seaneh itu ketika tertidur.Sudah seminggu belakangan, Kriesha tidak menyaksikan itu. Oh, tidak, sepertinya lebih? Sebab sejak sebelum Jef pamit untuk pergi ke Bandung pun, Kriesha seperti memerintahkan dirinya sendiri buat sedikit membuat jarak dengan Jef. Sebab dia masih canggung dengan apa yang terjadi.”Damn. I didn’t realize that I miss this creature so much to the point where I feel like I saw an angel instead of the stupid egg head that I knew,” kembali, Kriesha menggumam. Jef masih anteng dalam tidurnya, sepertinya dia benar-benar kelelahan. Bukan saja karena aktivitas yang mereka lakukan sebelum terlelap, tapi juga karena agendanya kemarin yang cukup padat.Tanpa sadar telapak tangan Kriesha berpindah lagi. Kali ini ia mengusap kening Jef dan menyugar rambut lelaki itu ke belakang. Berulang kali, sambil memerhatikan wajah Jef yang terlampau tenang malam ini.“Lord, why do I have to love this man this much?” bisik Kriesha, lebih kepada dirinya sendiri. Dan bersamaan dengan itu, seutas melankoli mendadak menyelubunginya. Membuat air mata tiba-tiba saja meleleh di pipinya. “Jef, I am so sorry for being so frail…. I really am sorry for rejecting you. I love you, but I can’t encourage myself to take a further step eventhough it is with you.”Jika ditanya perkara sayang atau tidak dirinya pada Jef, tentu Kriesha akan dengan lantang menjawab iya. Di dunia ini, satu-satunya hal yang tidak ingin dia lakukan adalah membuat Jef bersedih ataupun kecewa. Tapi nyatanya, dia malah melakukan dua hal itu dalam satu waktu. Dia menolak Jef serta membikin malu Jef di hadapan banyak orang. Terlebih, dia juga telah menghancurkan usaha dan niat baik yang lelaki itu sematkan dalam kotak beledu biru berisi cincin untuk melamar.Mungkin, akan lebih mudah bagi Kriesha jika Jef marah atau mendiamkannya. Namun sebaliknya, Jef malah memakluminya. Tidak sedikitpun Jef mempertontonkan emosi yang seharusnya dilampiaskan pada Kriesha. Alih-alih, dia malah semakin lembut dan penuh pengertian. Bikin Kriesha semakin dicengkeram perasaan tidak nyaman.“I am sorry,” bisik Kriesha lagi. Kali ini dia mengecup pelan pelipis Jef, kemudian memeluk kepala lelaki itu erat. Kriesha belum benar-benar selesai dengan dirinya sendiri. Ada banyak ketakutan-ketakutan tidak masuk akal yang belum berhasil dia singkirkan. Juga pemikiran-pemikiran buruk yang belum bisa dia musnahkan. Sebab biar bagaimanapun, Kriesha bukan berasal dari keluarga cemara seperti Jef. Keluarganya, meskipun kini tengah mulai berbenah, pernah menjadi trauma terbesar untuknya. Akumulasi luka yang dia dapat sepanjang dia terjebak di masa-masa gelap itu jauh dari cukup buat menjadi alasan di balik banyaknya keraguan yang dia punya. Dan dengan kondisi demikian, Kriesha jelas tidak memiliki kepercayaan diri untuk membangun keluarga baru, sekalipun itu dengan Jef.Malam itu begitu hening. Dingin Bandung pada dini hari mendekap keduanya. Jika Jef sudah bangun, laki-laki itu mungkin akan mengajaknya berdoa seperti biasanya. Dan mengingat kebiasaan itu, entah mengapa air mata Kriesha jadi semakin menderas. Jef baik. Dia terlalu kontras buat Kriesha. Namun begitu, Kriesha tidak ingin melepaskannya. Dia hanya perlu waktu, dan meskipun Jef bersedia menunggu, Kriesha tidak tahu limitnya. Penantian Jef bisa sebentar, tapi bisa juga berlangsung selamanya. “I am sorry,” ucap Kriesha. Pelukannya semakin mengetat. Napasnya tersendat dan dia mulai terisak, sehingga tidak dapat dihindari, suaranya pun membangunkan Jef dari tidurnya. “Hng—” Jef berusaha keras membuka matanya yang melekat kuat bagai terkena lem. Dia ling-lung untuk sejenak, tapi karena telinganya mendengar suara Kriesha menangis, Jef mulai memaksa dirinya untuk cepat terjaga meskipun sulit. Suaranya berat dan serak ketika dia menukas, “Hngg—Sha? Ha—h. Hng—Ada apa?”Tapi Kriesha tidak menjawab. Dia malah mengetatkan pelukannya pada kepala Jef. Menyembunyikan tangis yang jelas-jelas sudah ketahuan. Bikin Jef semakin merasa kebingungan.“Sha….” Jef berusaha menarik kepalanya ke belakang, melepaskan diri dari pelukan Kriesha supaya dia bisa melihat wajah perempuan itu dengan sedikit lebih jelas. Mata Jef masih setengah tertutup. Tapi dia bisa melihat bayangan wajah Kriesha yang menangis meskipun buram. Seminggu ke belakang ini dia memang kurang tidur karena proses syuting, terlebih hari ini juga dia pindah hotel dan sebagainya jadi wajar kalau dia kelelahan.“Hey… kenapa? Kok nangis? Mimpi apa tadi, hm?” Jef bertanya lagi, masih dengan matanya yang kuyu dan suaranya yang kasar. Sepertinya sebanyak apapun usaha yang dia keluarkan untuk terjaga, kantuk dan lelahnya mencengkeram dengan kekuatan besar. Kriesha tidak menjawab, jadi Jef langsung menarik tangan kirinya dan menempatkannya di bawah kepala Kriesha. Kemudian dengan setengah sadar, Jef menarik selimut hingga menutupi leher keduanya. Lantas setelahnya, Jef membawa Kriesha ke dalam dekapannya.”Cup… cup… Jangan nangis….” Jef melenguh. Tangannya menarik Kriesha lebih dekat. Membuat aroma musk dan oak yang menguar dari tubuh Jef terendus samar oleh hidung Kriesha. Aroma yang secara magis bisa menenangkan Kriesha pelan-pelan. Bikin Kriesha otomatis semakin membenamkan wajahnya di leher Jef. Membiarkan kepalanya berada tepat di bagian bawah rahang lelaki itu.
“It just a bad dream. It won‘t happens, I promise….” bisik Jef, lebih mirip seperti racauan. Jef membiarkan Kriesha menangis lebih lama, sembari tangannya bergerak buat menepuk-nepuk punggung Kriesha lambat. Matanya kini sudah terpejam seutuhnya, namun mulutnya terus menggumam kecil, “Sssh. It’s okay. It’s just a dream. It’s gonna be okay. I am here… Jef is here… sekarang merem lagi, oke? Aku jagain.”Lord, what did I do to deserve this man?Kriesha semakin dililit gundah. Dia menggigit bibir bawahnya, menahan tangisnya agar tidak semakin membludak. Time goes by, but he still chose to be the kindhearted ones.”Jef?””Yes, honey?””I am scared….””Of what?””Of the thoughts of losing you. Or the thoughts about our future. What if one day you decide to leave because you’re sick of me? Or because I am too coward and the thoughts of settle down still scared me and it eventually haunts me forever so we will never tied the knot?””Hng?” Jef mengerutkan kening, entah karena dia tidak mengerti ucapan Kriesha atau karena dia tidak menyimak. Yang jelas, dia cuma balas menepuk dan mengusap punggung Kriesha sambil berbisik pelan. Tetap. Berulang. Seperti mantra yang berfungsi buat membungkam Kriesha dan memenjarakan semua pikiran liar di kepala perempuan itu.”Don’t be scared… Jef is here, okay?” Jef bilang begitu.Awalnya Kriesha masih terus menyuarakan suara-suara di kepalanya, hingga akhirnya dia berhenti sebab kalimat Jef mulai terdengar seperti reassurement di kepala perempuan itu. Don’t be scared, Jef is here… rapal Kriesha.Right, she’s not alone. Jef is here. She has Jef and his company. It should be okay. It definitely will be okay. Kriesha tidak tahu kenapa dia bisa berakhir menelan kembali tangisnya dan menuruti kata-kata Jef buat memejamkan mata. Isaknya belum benar-benar reda, tapi matanya sudah berhenti mengeluarkan air mata. Tepukan Jef di punggungnya masih berjalan dengan konstan, namun seiring waktu geraknya semakin lambat hingga akhirnya berhenti total. Dan saat itu terjadi, keduanya sudah sepenuhnya berpindah ke alam mimpi.*
“So, are you going to yell cause if you are, please do it now. But before that, I have to tell you that no matter how much you mald, my hair will remains the same. Rambutku masih bakal tetap harus dikerjain dan makan waktu lama. Nggak bisa langsung selesai,” tembak Kriesha, tepat ketika dia mengangkat video call dari Jef. Dia merasa tidak perlu mendengar lebih dulu maksud dan tujuan Jef menelepon.Keduanya saat ini tengah berada di salon pada pusat perbelanjan di Kota Bandung. Hanya saja, cuma Kriesha yang masuk. Jef menunggu di sofa panjang di dekat pintu masuk salon. Sebelumnya Jef dan Kriesha sepakat akan jalan-jalan hari ini, tapi Jef tidak tahu kalau mereka akan jalan-jalan ke mall dan bukannya tempat wisata terkenal yang berkonsep outdoor.Awalnya Jef menolak gagasan ini, tapi ada sesuatu di mata Kriesha yang membuat Jef menurut. Entah mengapa, meski telah dipulas make up sedemikian cantik, Jef tetap bisa menemukan sorot lelah terpancar dari sana. Juga kabut tipis yang membayang setiap kali Kriesha termenung. Sepertinya perempuan itu banyak pikiran, dan kalau pergi ke mall bisa sedikit mengurai pikiran-pikiran itu, Jef tidak keberatan. Namun resikonya, Jef harus pasrah diseret Kriesha jalan ke satu toko dan toko lain. Dia juga mesti tabah menunggui perempuan itu selesai dengan acara cuci-blow-catok apalah itu perawatan untuk rambutnya.Sebenarnya cuci-blow sendiri seharusnya tidak memakan waktu lama. Namun mengingat ini hari Minggu, tentu saja salon penuh. Antrean mengular sehingga kegiatan itu pasti akan memakan waktu lebih banyak dari yang biasanya. Omong-omong soal ramai, sekarang saja Jef sudah berbagi kursi dengan empat orang cowok nahas yang bernasib sama dengannya—harus menunggui cewek mereka menyalon, dengan tangan yang sudah beralih fungsi menjadi gantungan buat paper bag-paper bag hasil penjarahan cewek mereka. Padahal sekarang masih jam satu siang.“No, Babe. I’m not gonna whine or yell or anything—““Well, good, terus ngapain kamu nelepon melulu?” tanya Kriesha, sambil menolehkan kepala ke Mbak salon yang sedang menangani rambutnya. “Nggak usah di-curly yang lebay gitu, ya, Mbak. Natural aja. Bawahnya aja gitu dikit.”“BABE!” Jef merengut, meminta perhatian Kriesha.“Iyaaa? Apa, hm?” Setelah Mbak yang menangani rambutnya mengangguk paham, Kriesha langsung buru-buru memfokuskan diri pada panggilan video Jef. Dia menyesap jus jeruk yang memang sengaja dia pesan buat menemaninya menunggu treatment selesai. “Nih, aku siap dengerin kamu mau ngomong apa. Termasuk kalau kamu mau komplain karena bete. Soalnya masih mending kamu yang bete daripada aku yang bete karena bad hair day, kan. Ayo, waktu dan tempat dipersilakan.”“Babe, aku nggak mau ngomong soal itu!” Jef berseru. Omong-omong, raut Jef lebih kelihatan seperti panik daripada kesal. Dia tampak seperti seseorang yang sedang dikejar-kejar oleh sesuatu, jadi Kriesha bertanya lagi. “Jef, kamu kenapa? Mau ke toilet, ya?”“Bukaaan!” Kepala Jef menggeleng.“Terus kenapa?” Kening Kriesha mengerut. Dia membenarkan posisi duduknya. “Kamu tegang banget gitu tuh ada apa?”“Gini, Sha….” Jef menghela napas, lalu pelan-pelan menurunkan ponselnya ke bawah. Menampilkan anak perempuan kecil yang kini sedang memeluk pinggang Jef dengan separuh wajah terpendam di baliknya. Anak itu kelihatan habis menangis. Mata dan ujung hidungnya memerah. Dia menatap takut pada ponsel yang Jef tunjukkan.Kriesha yang bingung cuma bisa menyapa, “Oh… hai?”Tapi anak itu tidak membalas sapaan Kriesha. Alih-alih, dia malah membenamkan keseluruhan wajahnya pada pinggang Jef. Sepasang tangan kecilnya mencekal kemeja santai yang Jef kenakan. Kemudian tak lama setelahnya, Kriesha bisa mendengar kalau anak itu mulai menangis.“Eh—kenapa? Kok nangis? Itu—tante ….” Jef bilang begitu sembari telapak tangannya menepuk punggung kecil si anak. “Aduh… kok nangis lagi? Ini tante kan baik… nggak akan gigit, kok.”“Jef?” Kriesha terpaksa menginterupsi usaha Jef menenangkan anak itu. Dia jelas heran bukan main. Pertama, dia tidak ingat dirinya punya keponakan. Kedua, seingatnya, Kaelyn juga tidak punya anak perempuan. Ketiga… ini Bandung. Kemungkinannya kecil kalau Jef bertemu teman dan tiba-tiba dititipi anak secara random begitu. Jadi… anak siapa itu?“Ya?”“Itu anaknya siapa?” tanya Kriesha langsung. “Kok tiba-tiba kamu ngemong anak gitu?”“Ini—““Papa!” Anak itu berteriak, kemudian mulai mengangkat kedua tangan tanda minta digendong. Jef yang satu tangannya memegang handphone jelas kesulitan. Tapi anak itu memaksa dengan lebih agresif sehingga Jef mesti meminta cowok di sebelahnya untuk memegangi ponselnya sebentar.Sementara itu di tempatnya, Kriesha tercengang. Jantungnya seperti berhenti sejenak. Sepasang matanya membelalak lebar, kemudian mengerjap beberapa kali sementara pikirannya terbang.Dia tidak salah dengar, kan?Barusan, anak itu memanggil Jef dengan sebutan Papa, kan?“Wait, Jef… who is that?” tukas Kriesha, mulutnya membentuk huruf O samar.“Ini—““Papa!” Anak itu memanggil lagi, bikin Jef batal melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu menundukkan kepala lagi buat menatap anak itu. Mendapati bulir bening menggerumul di kantung mata anak itu, juga bibirnya yang manyun dan bergetar. “Mau Papaaa!”Kriesha mengerjap-ngerjap sembari menyuruh dirinya untuk mengambil dan membuang napas dengan teratur. Apa-apaan ini?“Jef!” Kriesha mendesak. Dia merasakan panas mengalir di darahnya. Di benaknya mulai timbul prasangka. Jangan-jangan…“Jawab aku, Jef? Itu anak siapa? Anak kamu?”“Hah? Ya enggak, lah!” Jef buru-buru membantah.“TERUS ANAK SIAPA? EXPLAIN YOURSELF!“ Kriesha ngegas. “KENAPA DIA MANGGIL KAMU PAPA??? KAMU NGGAK DIEM-DIEM UDAH BERKELUARGA DI BELAKANG AKU, KAN??!?!”Mendengar tuduhan itu, cowok yang kedapatan tugas memegangi ponsel Jef refleks terbahak. Bikin Jef otomatis menyipitkan mata sehingga cowok itu langsung mengurai tawanya dan pura-pura tidak dengar apa yang barusan Kriesha bilang.Jef pun mengembalikan pandangannya pada Kriesha. Lalu katanya, “Sha… chill, okay. Aku jelasin—““CHILL APAAN? ITU ANAK SIAPA DAN KENAPA BISA ADA SAMA KAMU?!”“Aku—“ Jef menjilat bibir bawahnya dengan kikuk. Satu tangannya mengusap kepala anak itu pelan, sementara yang satunya dia gunakan untuk mengambil kembali ponselnya dari cowok di sebelahnya. Dia mengembuskan napas pendek. Kemudian Jef berbisik takut-takut, “Aku juga nggak tau dia anak siapa.”“HAH???” Rahang Kriesha jatuh seketika. Dia semakin tercengang. “Bentar, bentar, maksudnya gimana deh kok aku nggak paham? Itu anak ada sama kamu, manggil kamu papa, tapi kamu nggak tau dia anak siapa? Hah? Jefrain Taris, please make it makes sense! Yang bener aja kamu nggak tau siapa bapaknya, hah?!?”“Duh, bukan. Gimana ya jelasinnya? Hng—gini. Kayaknya… kayaknya dia ilang deh. Terpisah sama ayahnya. Tadi tuh pas aku keluar sebentar buat nyari minum, tiba-tiba ada yang pegang tangan aku. Terus pas aku nengok, dia manggil ‘papa papa’ gitu….”“What???”“Aku yakin dia salah orang. Dia kira aku papanya padahal bukan. Bisa jadi bajuku sama papanya dia sama. Tapi yang jelas, abis dia liat aku bukan papanya, dia langsung nangis kejer banget….““Hah….”“Sumpah, Sha. Aku nggak tega ninggalin dia, jadi aku tungguin sampe nangisnya reda dikit. Terus aku tanya kan. Aku nggak tau papanya dimana dan kayak apa, jadi itu yang aku tanyain ke dia. Tapi ngomongnya belum lancar ternyata….”“Jesus Christ….”“Terus aku bingung harus gimana, jadinya aku balik lagi ke salon sambil bawa dia….”“…”“Rencananya aku mau nanya kamu baiknya gimana, tapi kamu nggak ngangkat telepon banyak banget. Dia tuh udah anteng, jadi nangis lagi karena mungkin bosan nunggu. Untung disini banyak cowok-cowok yang lagi pada nunggu ceweknya, jadi mereka ikutan ngehibur anak ini sampe nangisnya berhenti.” Jef lanjut bercerita sambil membawa anak itu lebih lekat pada pelukannya. Kemudian dia lanjut melapor tanpa peduli wajah Kriesha sudah kaku karena terlalu shock mendengar pengakuan Jef. “Tadi sempet ketawa juga malah. Aku jadi lega … dikit. Tapi sekarang dia nangis buat yang ketiga kali karena liat kamu. Serius deh, Sha. Muka kamu bisa nggak sih dibikin children friendly sedikit?”Children friendly, katanya…“Sha? Kenapa kamu diem aja, deh? Koneksinya jelek ya, di dalem?” Jef mulai menaikkan ponselnya dan menggoyang-goyangkannya. Seolah dengan begitu koneksi mereka bisa membaik. “Halooo?”“Jef.”“Oh, udah ada suaranya.” Jef menurunkan kembali tangannya supaya dia bisa melihat wajah Kriesha. Dia tersenyum samar. “Ya? Halo?”Kriesha membuang napas keras. Dia berdecak singkat. Dia ingin heran, tapi ini Jef yang sedang dia ajak bicara. Kalau anak itu betulan hilang, orang normal pasti akan mengajaknya pergi ke pusat informasi untuk membuat pengumuman. Bukannya malah mengajaknya menjauh dari tempat dia hilang. Bisa saja kan orangtua anak itu datang mencarinya ke tempat terakhir dia kehilangan anak itu?“Jef. Balikin.”“Hah?”“Balikin anak itu ke tempat kamu nemuin dia!” Kriesha jadi emosi. “Kamu liat dulu, barangkali ada orangtuanya yang nyariin. Kalo nggak ada, kamu ke pusat informasi dan bikin pengumuman anak hilang.”“Oh? Iya juga, ya?” Jef seperti baru tersadar. Dia menyeringai singkat. “Eh tapi… aku nggak tau pusat informasinya dimana? Sama kamu ayo… anterin….”Kembali, Kriesha menghela napas. Dia memijat hidungnya sebentar, lalu katanya, “Ya udah, tunggu. Lima menit lagi aku keluar.”“Oh gitu? Okee! I’ll wait,” kata Jef. Raut cemasnya langsung tersapu begitu saja. Berganti dengan senyum lega. *Lima menit kemudian, Kriesha betulan keluar dari salon. Rambutnya tampak ringan dan berkilau, kontras dengan wajahnya yang getas. Matanya menyisir area tunggu dengan kilat, dan langsung menemukan Jef berdiri memunggunginya, dengan kedua tangan kecil melingkar di lehernya. Awalnya Kriesha sudah siap untuk mencak-mencak, hingga kemudian dia melihat Jef bergoyang ke kiri dan ke kanan, sembari bersenandung ringan buat menenangkan anak itu.Langkah Kriesha terhenti. Perutnya mendadak dipeluk perasaan asing yang tidak dia mengerti. Matanya terpancang pada Jef. Telinganya sesekali mendengar anak itu hampir terisak lagi, namun Jef dengan sigap mencegahnya dengan berusaha mengalihkan perhatian anak itu pada apapun di dekatnya. Mulai dari lampu-lampu yang berkerlap-kelip di depan pintu masuk toko aksesoris hingga bapak-bapak yang sedang menikmati santapan makan siangnya di restoran seberang salon. Apapun, supaya anak itu tidak menangis.Dari tempatnya, Kriesha tiba-tiba jadi membatu di tempat. Rasa ganjil yang menyelubungi perutnya berpindah ke dada, berubah jadi sesuatu yang menghangatkan saat melihat upaya-upaya Jef itu. Dia ingin mengamati Jef sedikit lebih lama, namun tiba-tiba saja lelaki itu berbalik menghadapnya. Bikin Kriesha mendadak disuguhi pemandangan anak perempuan yang menemplok pada Jef layaknya anak koala.“Ey, Sha?” Jef kelihatan lega manakala matanya menemukan Kriesha. “Ayo kita letsgo—Wait, kamu… kamu kenapa kok matanya merah? Kamu nahan marah, ya?”“MENURUT KAMU?” Karena panik takut ketahuan nyaris menangis, Kriesha langsung menyalak. Berharap dengan begitu, Jef tidak akan bertanya lebih lanjut. Dia melirik anak di pelukan Jef. Tidak sengaja mempertontonkan raut marahnya sehingga anak itu merasa ketakutan dan langsung menyembunyikan wajah di bahu Jef.Jef buru-buru menutup telinga anak itu dengan telapak tangannya yang bebas. “Sha, ih. Marahin aku nggak apa-apa, tapi nanti dulu. Jangan di depan anak ini. Nanti dia sangka kamu marahnya ke dia, bukan ke aku. Kasihan, takut dianya.”“Eh—sori….” Kriesha berdeham, kemudian menormalkan air wajahnya kembali seperti saran Jef. Dia mengambil napas panjang, menenangkan diri sebelum menghampiri Jef dan anak itu. Namun agaknya anak itu terlanjur takut pada Kriesha sehingga dia semakin membenamkan wajahnya di bahu Jef. Menolak menatap Kriesha.“Halo….” Kriesha tetap menyapa sekalipun dia tahu anak itu tidak akan menggubris. Telunjuknya menusuk-nusuk lengan anak itu pelan. “Hey… maaf ya udah bikin kamu takut. Kamu namanya siapa?”Anak itu diam sejenak, kemudian mengintip lagi. Kali ini, Kriesha langsung memasang senyum supaya dia tidak takut. “Kata Om ini, kamu nyari papa kamu, ya?”“…”“Risa… ditanya tuh sama Tante,” Jef menggoyangkan tubuhnya sekali. Seolah mentransfer keberanian buat anak itu supaya dia mau berkomunikasi dengan Kriesha. “Btw, namanya Risa. Dia bilangnya Lisa, sih. Tapi positif thinking aja dia cadel jadi nggak bisa ngomong R. Soalnya bagusan Risa, sih. Lucu, kan? Mirip nama kamu, cuma nama kamu versi lebih ribet dikit.”“DIH!?”“Ssst, Sha. Gaboleh marah-marah dulu. Harus di-pending sampe nanti marahnya.” Jef menatap Risa, seolah mencari persetujuan dari bocah itu. “Ya, Risa, ya? Tantenya nih harus diajarin buat sabar dulu emang. Ajarin coba sama Risa. Bisa, nggak?”Tentu saja, anak yang bernama Risa itu tidak menjawab. Gantinya, sepasang mata anak itu mengamati Kriesha lekat. Seperti tengah melakukan skrining terhadap Kriesha.“Yuk. Kita cari papa kamu, ya?” Kriesha bilang begitu. Niatnya mau mencairkan suasana, tapi sepertinya Risa tidak mengerti kalimat Kriesha sepenuhnya. Anak itu hanya familier dengan kata ‘papa’, jadi mulutnya mulai merengek, “Papaaaaa. Mau papaaaa.”“Eh—yaah… nangis lagi.” Kriesha memindahkan telunjuknya buat mengusap air mata anak itu. Merasakan betapa halus dan lembut kulitnya. Menekankan kerapuhan yang samar. Dilihat dari penampilannya, mungkin anak itu berumur tidak lebih dari tiga tahun. Sepertinya dua tahun lebih sedikit? Entahlah. Yang jelas dia masih sangat kecil. Kriesha rasa, kalau dilepas buat berjalan juga anak ini masih akan banyak olengnya. Jadi kenapa… anak sekecil ini bisa sampai terlepas dari papanya?Melihat reaksi Kriesha dan bagaimana anak itu ketakutan melihat wajahnya, Jef tersenyum kecil. kemudian katanya, “Children friendly, Sha. Children friendly. Senyumnya dibanyakin sedikit lagi, coba. Yuk, bisa, yu—aah ah!”Kriesha melotot. Barusan itu dia menginjak kaki Jef kuat sehingga punya kaki refleks mengaduh kesakitan. Kriesha memang tidak pernah bisa mengemong anak kecil seperti Jef. Kebanyakan anak kecil yang ditemui olehnya selalu saja melakukan hal-hal aneh yang membuatnya jengah. Bisa dibilang, Kriesha tidak suka anak kecil. Baginya, mengurus kucing jauh lebih mudah daripada berinteraksi dengan bayi manusia. Mungkin karena sugesti itu pula, Kriesha jadi dimusuhi anak-anak kecil bahkan sebelum perempuan itu mencoba untuk dekat dengan mereka.“You’re so dumb! Main bawa anak orang seenaknya. Kalo kamu dituduh jadi penculik, gimana?” Kriesha mendumal, lalu mengambil belanjaannya yang Jef taruh di kursi. “Udah deh, sebelum menimbulkan masalah apapun, kita langsung aja ke pusat informasi.”“Eh—sini, aku bawain. Masih cukup kok tangan aku buat bawa belanjaan kamu,” kata Jef, tapi Kriesha langsung menghindar.“Nggak usah. Kamu gendong aja yang bener,” cetus Kriesha sambil melenggang lebih dulu daripada Jef. Jef sendiri mesti pamitan dulu dengan cowok-cowok yang menemaninya mengemong anak itu tadi sebelum bergegas menyusul Kriesha. Keduanya berangkat ke tempat pertama Jef menemukan anak itu. Bertanya-tanya apakah ada bapak-bapak yang mencari anaknya yang hilang. Tapi karena hampir semua orang yang mereka tanyai tidak tahu, akhirnya mereka menyerah dan pergi ke pusat informasi.“Permisi, Pak,” kata Kriesha sambil merapatkan diri pada meja informasi, menarik perhatian seorang satpam yang kebetulan berada di balik meja itu. Kriesha tersenyum canggung. Dia berdehem sebelum memulai, “Begini, Pak, kalau mau buat pengumuman orang hilang gimana, ya?”“Eh, siapanya yang hilang, Mbak?”“Oh, bukan-bukan. Duh, gimana ya jelasinnya? Jadi tuh ini… cowok saya nggak sengaja nemuin anak balita tanpa orangtua. Udah ditanya-tanyain ke orang sekitar, tapi nggak ada yang tau. Bapak bisa bikinin pengumuman kalau kita nemuin balita itu, nggak? Biar orangtuanya langsung datang ke sini,” jelas Kriesha panjang lebar. Di belakangnya, Jef ikut mengangguk kecil sambil menggoyang gendongannya pada Risa. Anak itu sendiri kayaknya lelah menangis sehingga kini sudah jatuh tertidur di pelukan Jef. Satu tangannya masih mencekal kemeja Jef, sementara tangan yang lain masuk ke dalam mulutnya. Jef ingin mengeluarkan tangan itu, tapi khawatir Risa akan menangis.“Oh… ini anaknya, ya?” Pak Satpam itu mengangguk. “Boleh dikasih tahu tadi ketemunya dimana?”“Di deket Jco, Pak. Saya lagi antre terus dia pegang baju saja. Kayaknya salah ngira saya ayahnya, deh.” Jef berpraduga. Dia menyerong sedikit supaya satpam itu bisa melihat Risa dengan jelas. “Namanya Risa, umurnya mungkin dua tahun lebih, ya. Rambutnya hitam, manik matanya juga senada. Dia pakai kaus putih dan celana kodok. Sepatunya putih. Saya nggak tau nama orangtuanya karena dia nggak jawab.”“Oh, oke. Nggak apa-apa, setidaknya ada nama yang bisa saya sebut. Sebentar saya umumin dulu ya,” kata Satpam itu. Dan beberapa menit kemudian, informasi mengenai penemuan anak hilang itu pun tersiar. Kriesha menoleh pada Jef yang masih setia menggoyang-goyangkan tubuh supaya Risa tidur lebih lelap. Tangannya yang bebas dia gunakan untuk memberi tepukan-tepukan halus di punggung anak itu. Sesekali, Jef juga memandangi wajah anak itu. Seolah memastikan kalau dia sudah berada di tempat yang nyaman.Dan Kriesha menemukan itu…Sebentuk senyum ganjil yang tercetak di bibir dan sepasang mata Jef. Jenis senyum yang tidak pernah Kriesha saksikan sepanjang waktu dia mengenal Jef. Sebab senyum itu begitu lembut… sekaligus menyiratkan kekaguman serta rasa ingin menjaga yang transparan. Kriesha pernah bilang bahwa dia menyukai senyum Jef karena senyum lelaki itu selalu tampak apa adanya. Tulus. Namun kali ini, Kriesha mendapati berbagai spektrum warna tanda beragamnya emosi yang bergejolak di benak Jef terpancar dari sepasang matanya. Dan senyum itu, entah mengapa mengirim gigil yang anehnya menghangatkan Kriesha.“Sha?” panggil Jef tiba-tiba.Kriesha yang dipaksa kembali ke realita pun cuma bisa merespon, “Hah?”“Mau coba gendong, nggak?” tanya Jef. Senyumnya masih belum pudar.“Eh—hng? Nggak. Nggak!” tolak Kriesha buru-buru.Kening Jef berkerut samar. “Kenapa?”“Ya nggak apa-apa! Aku takut dia kecengklak. Nanti dia kesakitan, lagi. Aku nggak mau nyelakain dia. Nggak mau pokoknya. Udah, kamu aja.” Kepala Kriesha menggeleng kuat.“Loh, nggak akan kalo kamu bisa megangnya. Sini, aku ajarin,” tawar Jef.“Jef—nggak, ah! Apaan sih?”“Shu… shu… shu….” desis Jef manakala dia memindahkan anak itu dari gendongannya pada gendongan Kriesha. Iya, karena Jef main menyerahkan anak itu begitu saja, Kriesha jadi pasrah dan mengambil anak itu. Dia tidak yakin apakah Risa bakal nyaman di dalam gendongannya. Hati kecil Kriesha bahkan menjerit takut kalau tiba-tiba anak itu terbangun dan menangis karena menemukan diri tengah berada di gendongan Kriesha.“Jeef—“ Kriesha merengek pelan. Raut wajahnya sudah seperti orang yang dipaksa menelan pare mentah-mentah. Tubuhnya tegang bukan main, tapi dia berusaha tetap menggendong anak itu dengan baik.“Sssh, nggak apa-apa,” kata Jef. Dia membenarkan posisi gendongan Kriesha sedikit, membuat timbulnya lonjakan kecil sehingga Risa membuka mata.Untuk sekejap, Kriesha merasa jantungnya turun ke perut. Anak itu terbangun! Sepasang matanya yang sebesar biji kenari memandangi Kriesha dengan sorot lemah. Bibirnya melenguhkan desah kecil. Dalam hati, Kriesha menebak anak itu pasti nangis dalam hitungan detik. Tinggal tunggu saja. Tiga… dua… satu—“She isn’t crying?” Kriesha refleks mengutarakan pikirannya karena berbeda dengan apa yang dia sangka, Risa malah bergumam pendek sebelum pelan-pelan menutup kembali matanya. Barusan itu mereka membuat kontak mata, kan? Anak itu melihat kalau orang yang kini menggendongnya bukan lagi Jef, melainkan Kriesha?Lantas kenapa… dia tidak menangis?“Of course she’s not,” jawab Jef. Setelah memposisikan tangan Kriesha di punggung Risa, Jef mengalihkan telapak tangannya sendiri ke puncak kepala Kriesha. Menepuk kepala itu satu kali. “You’re more capable than you think you were, Kriesha. Kid is so honest. They’ll know who to trust, and apparently she’s trusting you.”“Tapi biasanya anak kecil nggak suka aku sentuh-sentuh???”“Itu karena kamu parno. Aura kamu jadi jelek dan nggak nyaman, makanya anak kecil keburu kabur kalo deket-deket kamu. They’ll probably curious about you too. Tapi kamunya udah membentengi diri duluan….”“Well… it makes sense.” Kriesha diam-diam memerhatikan wajah Risa. Hatinya ketar-ketir, masih ketakutan Risa akan tiba-tiba bangun dan menangis atau apa. Tapi alih-alih demikian, Kriesha malah menemui wajah yang begitu tenang. Polos dan tanpa beban. Amat damai sehingga kegundahan Kriesha juga jadi pelan-pelan terurai. Satu pipinya tenggelam di dada Kriesha, sementara pipi yang terekpos tampak begitu menggemaskan. Bibirnya mencebik dan sedikit terbuka. Tiba-tiba jadi mengingatkan Kriesha pada ekspresi tidur Jef semalam.If they had a child, will she or he resembles Jef too?Or they’ll gonna resemble Kriesha?Entahlah. Membayangkannya membuat desir hangat membelai dada Kriesha. Dia meletakkan rahangnya di atas kepala anak itu. Mendekapnya lebih erat sambil berusaha mengingat dengan detil berbagai rasa yang memeluknya saat ini. Di sebelahnya, Jef menyaksikan itu dengan senyum kecil. Dia menuntun Kriesha buat duduk di bangku yang disediakan satpam. Jef sendiri duduk di sebelahnya. Ikut mengusap-usap belakang kepala anak itu dengan pelan.Sekilas, mereka jadi kelihatan seperti pasangan muda yang sedang mengemong anak pertama mereka.“Permisi!” Tak lama kemudian, Kriesha dan Jef dikagetkan dengan kedatangan seorang perempuan yang penampilannya sudah berantakan. Pipinya basah karena air mata, sedangkan keseluruhan wajahnya sudah memerah. Di belakangnya, seorang laki-laki tampak sama gusarnya. Mereka mengajak bicara satpam. “Bapak yang bikin pengumuman tadi, kan? Anak saya dimana, Pak? Saya ibunya!”Mendengar kalimat itu, Kriesha dan Jef otomatis bangun dari duduk mereka. Membuat gerakan yang akhirnya ikut membangunkan Risa. Anak itu ling-lung untuk sejenak, tapi saat matanya melihat perempuan itu, mulutnya langsung berteriak, “Mama!”Sekejap, Kriesha merasa ada sesuatu yang menyubit dadanya. Dia tahu Risa mungkin sedang menujukan panggilan itu pada perempuan itu. Tapi entah mengapa, sesuatu ikut melumer di hatinya saat mendengar kata itu.Mama.Aneh. Rasanya menyenangkan mendengar kata itu. How would it feel if one day she can heard someone call her Mom? Is she will be this happy too?Mendengar panggilan Risa, perempuan itu langsung menoleh. Seketika, air matanya tumpah lagi. “Risa! Ya Allah, Risa!”Perempuan itu pun menghambur pada Kriesha dan Risa. Kedua tangannya langsung merampas Risa dari pelukan Kriesha, membawa anak itu pergi ke pelukannya sendiri. Jujur, ada perasaan kosong yang mampir sekejap saat Kriesha melepaskan Risa dari gendongannya. Namun menyaksikan bagaimana perempuan itu memeluk dan menciumi anaknya membuat perasaan itu pergi sepenuhnya. Berganti dengan rasa bungah yang secepat kilat menyesaki tiap rongga di dadanya.Di belakangnya, laki-laki yang sepertinya merupakan ayah Risa langsung ikut memeluk istri dan anaknya erat. Dia menangis, penuh haru sekaligus sesal. Dia mengucap puji syukur karena Risa ketemu. Juga memohon ampun karena lalai dan membiarkan Risa luput dari pengawasannya. Dia juga berterimakasih pada Jef dan Kriesha karena sudah menemukan anak itu. Ternyata, mereka seharusnya tengah menikmati donat sambil menunggu sang ibu berbelanja. Tapi ayah Risa terlampau fokus dengan gadgetnya sehingga dia tidak sadar Risa sudah turun dari bangku dan pergi meninggalkan ayahnya. Lucunya, setelan Jef hari ini betulan kembar dengan setelan yang digunakan oleh ayah Risa. Yaitu kaus putih yang dibungkus kemeja santai, dipadu dengan jins.“Saya juga mohon maaf karena tadi main bawa dia pergi aja. Soalnya saya juga panik, dia nangis nggak bisa berenti. Mana orang-orang juga nggak ada yang kelihatan kayak kenal sama anak ini. Saya bingung mau gimana,” kata Jef pada kedua orangtua Risa. “Maafin saya, ya.”“Nggak, Kang. Saya yang minta maaf. Kalau Risa nggak ketemu Akang, dia mungkin pergi lebih jauh. Bisa coba-coba naik eskalator juga karena dia suka penasaran. Saya nggak bisa membayangkan kalau itu sampai kejadian. Sekali lagi, saya berterimakasih sekaligus minta maaf karena sebagai orangtua sudah lalai,” begitu balas Ayah Risa. Sementara ibunya sendiri tidak banyak berkata-kata. Dia cuma mengucap terimakasih secara berulang sambil terus menangis dan minta maaf pada putrinya.“Ya udah kalo gitu ya, Pak. Masalahnya udah clear. Lain kali tolong diawasi ya, Pak. Ngeri celaka Risanya,” kata Jef lagi. Dia merangkul Kriesha sementara ayah dan ibu Risa membungkuk beberapa kali. Sepertinya mereka hendak pergi dari situ.“Oh, iya. Makasih ya, Kang, sekali lagi. Terimakasih banyak,” jawab Ayah Risa. Dia menyatukan kedua tangan di depan wajah, yang dibalas Jef dengan hal yang sama. Kemudian seperti dugaan Jef, mereka pamit undur diri. Meninggalkan Jef berdua dengan Kriesha—atau lebih tepatnya bertiga dengan Pak Satpam yang sudah kembali ke kursinya di balik meja.“Huft….” Jef mengembuskan napas panjang. Rangkulannya pada Kriesha mengetat. “Masalah udah selesai, sekarang kita mau kemana lagi, nih? Apa lagi yang belum kamu beli? Ayo puas-puasin!”“Jef….” Kriesha melepaskan diri dari rangkulan Jef. Tiba-tiba saja dia kehilangan keinginan untuk melakukan apapun. Sorotnya jadi datar. “Pulang aja, ya?”“Hah? Pulang?”“Aku nggak mood, Jef. Mau balik aja ke hotel,” ujar Kriesha. “Kalo kamu mau jalan-jalan sendiri, nggak apa-apa. Aku ke hotel aja.”“Kok tiba-tiba?”“Nggak tau.” Kriesha mengangkat bahu, kemudian dia berderap meninggalkan Jef. Akhirnya Jef mengalah. Dia mengikuti Kriesha tanpa protes. Keduanya mengarah pada basement, hendak menghampiri mobil yang mereka sewa khusus selama mereka berada di Bandung.Jef mengambil tempat di balik kursi kemudi. Dia memastikan Kriesha menggunakan seatbeltnya dengan benar sebelum memasang seatbelt untuk dirinya sendiri. Kemudian mobil pun bergerak. Keluar membelah jalanan Bandung yang saat itu macet total. Suasana hening. Baik Kriesha maupun Jef tidak ada yang bersuara. Mereka bahkan membiarkan radio tape membisu. Jujur, Jef gatal ingin membuka percakapan. Tapi aura Kriesha saat ini benar-benar tidak memancarkan kondisi yang baik untuk diajak bicara. Salah-salah, Jef bisa dicakar habis-habisan. Diam-diam Jef jadi berpikir apa ada yang salah dari servisnya semalam? Kenapa Kriesha kelihatan lebih banyak sedihnya dibanding bahagianya?“Jef.”TIIIIN.Saking kagetnya Kriesha tiba-tiba memanggil, Jef sampai kelepasan menekan klakson mobil. Dia terlonjak sedikit, “Hah?”Kriesha diam sejenak, seolah sedang menimbang untuk mengutarakan maksudnya atau tidak. Tapi dia berakhir dengan berkata, “menurut kamu… aku bisa nggak ya… jadi ibu?”“Maksudnya?““Ibu yang baik… yang sayang sama anaknya. Juga Ibu yang bisa didik anaknya. Disegani tapi nggak ditakuti. Bisa nggak, ya?” Kriesha melenguh. Dia menunduk, memainkan kuku-kukunya yang dicat bening. Kemudian dia tersenyum getir. “Kayaknya enggak, deh. Ah. Lupain aja, Jef. Sori aku ngelantur nggak jelas. Lanjut aja nyetirnya. Aku mau tidur.”“Sha,” panggil Jef. Dia refleks menarik rem tangan di sebelah kirinya. Berhubung macet di depannya tidak ada tanda-tanda akan terurai dalam waktu singkat, Jef pun menoleh pada Kriesha yang saat ini sudah membuang muka ke jendela di sebelahnya. Sayangnya cuaca sedang panas terik. Kalau sekarang hujan, pasti mereka berdua sudah seperti melakoni adegan galau pada video musik.“Hng?” jawab Kriesha malas.Jef menyugar rambut yang menghalangi wajah Kriesha. Membawanya ke belakang kepala perempuan itu. “Kamu tuh lagi mikirin apa, sih? Kenapa tiba-tiba ngomong begitu?”“Nggak pa-pa.” Kriesha mendengus. Dia menolak melihat Jef, tapi membiarkan lelaki itu membelai rambutnya.“Kalo nggak pa-pa, nggak mungkin jadi sensi kayak gini.” Jef bilang gitu. “Ada apa? Aku ada salah, ya?”“Bukan kamu….”“Terus siapa?”Kriesha ingin menjawab bukan siapa-siapa, tapi dia sadar pembicaraan ini tidak akan kemana-mana kalau dia tidak jujur. Jadi Kriesha berbalik dan kini duduk menyerong menghadap Jef. Bikin jari Jef yang tadinya asik memainkan rambut panjang perempuan itu menggantung di udara.Kriesha mengangkat kedua kakinya sehingga kini posisi duduknya jadi memeluk lutut. Bibirnya mencebik manakala dia mengucap, “Jef … kamu mau punya anak, ya?”“Hah?”“Jujur, deh. Kamu kelihatan kayak orang yang udah pengen punya anak sendiri. Selama ini aku suka liat kamu ngasuh Ryou. Kamu nggak pernah ngeliat dia kayak kamu natap Risa tadi,” ujar Kriesha. Dia menggigit bibir sejenak, ragu ingin memuntahkan semua sesak di kepalanya atau tidak. Tapi akhirnya dia memberanikan diri dan berkata, “Kamu—kamu tau, kan, aku nggak mau punya anak? Kamu juga tau, aku kemungkinan besar nggak mau menikah. Jadi—jadi kenapa kamu masih mau stay sama aku? Bukannya ini kayak buang-buang waktu buat kamu?”Jef butuh waktu beberapa jenak untuk mencerna kalimat Kriesha. Ditodong seperti itu tak pelak membuatnya kaget sekaligus terpojok. Sebab jujur, apa yang Kriesha bilang itu benar. Jef sudah cukup umur untuk menikah. Dan seperti lazimnya orang yang menikah, Jef juga mau punya keturunan. Tapi semua keputusan itu ada di tangan Kriesha, dan jika perempuan itu memang tidak menginginkannya, maka Jef akan menghormati itu. Meskipun jelas tidak mudah.“Jef?” kejar Kriesha.Jef menghela napas, lalu katanya, “aku tau.”“Tau?”“Iya. Aku mau menikah dan punya anak. Tapi aku juga tau kamu nggak mau keduanya,” aku Jef jujur.“Terus kenapa masih sama aku?” Kriesha membelalak. “Kamu sadar, kan, kalau kamu sama aku… kamu nggak bisa dapet apa mau kamu?”“Sangat sadar.” Kepala Jef mengangguk. Bibirnya membentuk satu garis lurus.“Jadi kenapa nggak pergi dari aku???”“Kamu mau, aku tinggal?” Jef malah balik bertanya. Bikin Kriesha diam seketika.“Kalau kamu bahagia….”“Emang tau, bahagia aku tuh kayak gimana? Dengan cara apa? Hm?”“Ya … kayak yang kamu bilang! Kamu mau menikah … punya anak ….”“Yakin, aku bakal seratus persen bahagia kalau dapetin apa yang aku mau tapi harus ninggalin kamu?”“Hng—mungkin….”Jef meringis kecil, kemudian menepuk kepala Kriesha dengan posisi telapak tangan yang vertikal—mirip jurus karatenya Shandy kalau sedang berlatih karate dengan Spongebob.“Ah—apaan sih, Jef!” dengus Kriesha sebal. Dia merengut. “Sakit tau!”Mendapati Kriesha ngambek, bukannya berhenti Jef malah mencubit hidung perempuan itu. Belum selesai sampai di situ, dia juga membawa cubitannya ke kiri dan ke kanan. Bikin wajah Kriesha makin tertekuk karena kesal.“Jef—dih! Lepas, nggak?”“Nggak.”“JEFFF!!!” Kriesha balas menabok lengan Jef, bikin lelaki itu ketawa semakin keras sebelum akhirnya mengalah dan melepas cubitannya. “Tuh kan… merah hidung aku!”“Sukurin. Makanya kalo ngomong tuh disaring!” Jef mendengus. Dia menarik tuas rem tangan dan mengisi sedikit tempat kosong karena mobil di depannya bergerak. “Enteng banget nyuruh aku pergi. Kayak bakal kuat aja ditinggal aku.”“Lah? Pede sekali ya Anda! Tentu saja saya kuat Anda tinggal!” Kriesha langsung sesumbar. Dia melempar rambutnya ke belakang dengan lagak jemawa. “Saya cantik. Mandiri juga. Ditinggal kamu? No problem. Saya tinggal hidup bareng Aleeyah sampe nenek-nenek. Abis itu daftar ke panti jompo bareng kalo udah saling pikun! Ada juga Anda yang pasti nggak kuat kalo nggak ada saya!”“Nah, itu tau!” Jef berseru, kemudian tertawa ringan. “Aku emang mau nikah dan punya anak, tapi kalau nggak sama kamu ya lain cerita. Aku mutusin buat tetap stay sama kamu itu udah melalui banyak pertimbangan. Udah nerima konsekuensi dari pilihan yang aku ambil. Bagiku, hidup ini udah cukup seru karena kamu yang jadi partnerku. Kalau sama yang lain, belum tentu.”“Dih… bucin….”“Loh ya memang,” Jef blak-blakan. “Sama bego dikit.”“JEF!”“Eh—eh! Jangan gebuk-gebuk aku dulu. Lagi nyetir ini,” kilah Jef. Dia memasang senyum menyebalkan. “Kalau kamu khawatir aku buang-buang waktu karena ujungnya pasti bakal ninggalin kamu, kamu nggak perlu. Aku nggak akan kemana-mana. Kecuali Tuhan panggil aku, ya.”“Aah! Jangan ngomong gitu….”“Oh iya, maaf. Tapi ya intinya gitu. Kamu udah deh jangan mikir aneh-aneh. Jangan merasa bersalah juga karena ini tuh keputusan aku yang ngambil. Kamu nggak ada urusan apapun. Nggak ada kewajiban juga buat memenuhi apa mauku, jadi nggak usah merasa bersalah. Santai aja. Kita jalanin hubungan kita kayak biasa. Toh selama ini juga kita happy-happy aja, kan?”Kriesha diam. Kelihatan masih belum puas dengan kalimat Jef. Dia bersedekap. Bibirnya manyun. “Tapi aku udah terlanjur liat tatapan kamu ke Risa tadi. Kamu… kamu kelihatan bahagia banget. Rasanya hangat. Aku suka. Dan aku nggak keberatan buat liat pemandangan itu lagi di masa depan.”“Wait, jangan bilang kamu—““For a second, I was thinking what would I feel if I become a mother. If we… become a parents. Karena jujur, saat gendong Risa tadi pun aku ngerasa sesuatu yang asing. Bukan dalam arti negatif… aku cuma nggak mengenali emosi itu. Tapi yang aku tau, aku suka. Rasanya menyenangkan meskipun ada sedikit takut dan cemas juga. Apalagi saat lihat mamanya Risa nangis sampai sebegitunya pas dia liat Risa lagi. Aku penasaran… kalau aku punya anak, apa bondingku bakal sekuat itu?”“Sha—““Tapi pemikiran itu nggak bertahan lama, Jef. Aku nggak yakin sama diri aku sendiri. Aku ngerasa aku nggak cukup baik… apalagi kalau harus menjadi ibu. Aku takut nggak bisa menjamin kebahagiaan anakku. Kamu tau aku sering ngerasa nyesel karena udah lahir, kan?Jadi untuk membawa kehidupan baru ke dunia yang nggak ramah ini, aku ngerasa itu terlalu egois.” Kriesha mengusap wajahnya yang gusar. “Aku nggak tau. Aku bingung….”“Hey—Sha… aku bilang udah… jangan dipaksain buat mikir. Sekarang kamu belum siap. Nggak ada yang tau kedepannya gimana, kan? Denger, ya. Apapun yang bakal terjadi di masa depan, aku udah terima resikonya dari sekarang. Jadi sekali lagi, nggak perlu ada rasa bersalah di sini. Kalau kedepannya kamu mau menikah dan punya anak, I’d be glad. Tapi sekalipun kamu nggak mau, I’m okay with that.” Jef menjelaskan dengan hati-hati.“Dan soal kamu takut nggak bisa jadi ibu yang baik… menurutku itu adalah sign kalau kamu berpotensi buat jadi ibu yang baik, sih. Karena kamu tahu kamu banyak kurangnya. Kamu bisa memperbaiki kekurangan kamu sedikit demi sedikit. Kamu bisa mempersiapkan banyak hal sebelum membawa kehidupan baru ke dunia. Nggak ada orang yang langsung bagus dalam mengerjakan sesuatu. Termasuk jadi orangtua. Pasti akan banyak trial dan errornya. Tapi kan, kamu nggak sendiri. Ada aku. Kita ini partner, kalau kamu lupa.” Jef mengakhirinya dengan senyum simpul.“Kalau kamu… perasaannya gimana? Seandainya kamu beneran jadi ayah?”Kening Jef mengerut. “Seandainya aku jadi ayah, ya? Hhm… tergantung, sih.”“Tergantung gimana?”“Tergantung, anaknya cewek apa cowok. Aku maunya punya anak cewek, sih. Iya. Kayaknya aku bakal sayang banget sama anak aku kalau beneran cewek.”“Terus kalau cowok kamu nggak sayang, gitu?” pekik Kriesha.“Nggak, kayaknya.” Jef pura-pura berpikir, sementara di sebelahnya Kriesha sudah melemparkan tatapan yang seolah menjerit ‘what the heck???’ “Maksudnya nggak sesayang kalo anaknya cewek.”“Aneh banget, asli.” Kriesha geleng-geleng kepala sendiri. “Udah paling bener nggak usah nikah-nikah punya anak segala, deh. Belum ada aja bapaknya udah berencana pilih kasih.”“Eh. Tunggu. Beneran tergantung, deh—““Tergantung apa lagi?”“Ya kalo anaknya dua, dan mereka cowok cewek, terus tinggi anak cewek ikut kamu dan tinggi anak cowok ikut aku… kayaknya aku bakalan lebih sayang sama yang lebih tinggi nggak sih?” canda Jef.“Bodo amat, Jef.” Kriesha senewen. “Emangnya kita bisa ngatur??? Mau punya anak cewek atau cowok aja nggak bisa milih. Ini lagi kamu maunya sayang sama yang lebih tinggi. Kalo misalnya yang cewek lebih tinggi, gimana? Kasihan banget anak cowok aku, nggak ada kesempatan disayang sama sekali.”“Bercanda, Sha. Ya kali aku beneran kayak gitu.” Jef memanjukan mobil lagi, kemudian kembali menarik tuas rem. “Tapi ngomong-ngomong soal mau punya anak cowok atau cewek… sebenernya bisa loh diatur. Ada tekniknya.”“Hah? Teknik gimana?” tanya Kriesha, kelewat polos. Bikin Jef menampilkan seringai aneh sambil menaik-turunkan alisnya. “Dih? Apaan, sih?”“Mau coba?”“Hah?”“Tes drive.” Jef berkedip jahil. “Nanti aku praktekin. Kita di Bandung masih ada waktu panjang, kan?”“Jef. Nggak usah ngaco, ya!” Menyadari kemana arah pembicaraan Jef, Kriesha pun memanas. Tentu saja itu malah semakin membuat Jef semangat menggoda perempuan itu.“Masih banyak nggak stoknya?” Jef bertanya lagi.“Stok apa?!” Kriesha panik.“Itu….” Jef menusuk pipinya dari dalam dengan menggunakan lidah. “Yang kamu pake semalem. Apatuh namanya? Wingewieee.”“Apa, sih? Nggak ada! Udah habis. Cuma bawa satu.” Kriesha memalingkan wajah. Malu. Salahnya sendiri malah memancing obrolan semacam ini lagi.“Oooh cuma satuuu.” Jef mengangguk-angguk takzim. Nyebelin abis. Kemudian katanya, “Mau beli lagi, nggak? Buat stok.”“Jef!” Kriesha bete. “Random deh tiba-tiba bahas ginian. Males.”Tawa Jef nyaris menyembur. “Loh, nggak random dong. Kan lagi ngomongin anak. Masa mau dipisahkan dari obrolan cara pembuatannya?”“Jeeef!”“Loh, ini science, Kriesha!”“Diem, nggak?”“Eh, bener loh aku—““DIEEEMMMMMMM!” Kriesha membekap mulut Jef dengan tangan. Panik sendiri karena obrolan Jef mulai menyeleweng dari topik utama. Mendapati reaksi Kriesha yang gusar bukan main, Jef terbahak kencang. Puas banget menertawakan Kriesha yang wajahnya sudah merah padam.”Sha,” panggil Jef setelah tawanya mereda.”Kalo mau ngomongin hal mesum aku gak mau denger,” jawab Kriesha.Jef mengulurkan tangannya pada bahu Kriesha. Memaksa perempuan itu buat menatapnya. “Sini dulu, aku mau mastiin sesuatu.”Sambil manyun, Kriesha menanggapi, ”Apa?””Baikan ya, kita?””Hah?””Baikan. Jangan canggung-canggung lagi kayak kemaren-kemaren. Anggap aja acara aku lamar kamu dan kamu nolak itu nggak ada. Anggap juga obrolan kita soal nikah dan punya keturunan tuh nggak ada. Aku nggak mau kamu jadi menghindar dan nggak nyaman ngobrol sama aku. Jadi udah, ya? Dilupain aja.””Tapi—“”Nggak tapi-tapi,” bantah Jef. “Emangnya kamu kira aku nggak inget, semalem kamu nangis-nangis minta maaf segala macem. Aku tuh denger, tau. Cuma aku ngantuk aja. Beneran secapek itu jadi nggak bisa langsung nanggepin.””Kamu….””Ayo. Baikan.” Dia mengulurkan jari kelingkingnya di hadapan Kriesha. “Jangan nggak enakan-nggak enakan lagi setelah ini. We’re good now.“Kriesha menatap kelingking Jef. Agak lama, hingga akhirnya dia memutuskan buat menyambut kelingking itu dengan kelingkingnya sendiri. Mulutnya menggumam, “Oke… baikan!”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan