Baby’s Breath ( Prelude )

2
0
Deskripsi

P R E L U D E


 

Graduation Day Armor, Juli 2020.

 

"Daddy nggak bisa dateng ya, Mi?" tanya Armor pelan.

Di belakangnya, Mami yang sedang sibuk membentangkan jas dan hendak membantu Armor menggunakannya langsung mendongak. "Apa, Sayang?"

"Daddy... kelihatannya sibuk banget."

"Oh...." Mami tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Nggak, kok. Ada urusan sebentar. Buktinya, Daddy juga udah rapi dari tadi pagi."

"Tapi sekarang udah hampir jam setengah delapan, Mi. Acaranya kan mulai jam delapan. Daddy udah teleponan sama siapapun itu, selama satu jam." Armor memasukkan tangan kanannya ke lengan jas. "Dan nggak ada tanda-tanda Daddy bakal selesai dalam waktu singkat."

"Hhm bener juga, sih...." Mami membantu Armor memasukkan tangan kirinya ke jas. Perempuan itu memastikan tampilan Armor sudah oke sebelum berkata, "Kalau nunggu Daddy kayaknya kamu bakal terlambat. Gimana kalau kamu jalan duluan sama Pak Leonard? Biar nanti Mami nyusul bareng Daddy."

"Mi..."

"Kenapa?"

"Kalau emang Daddy nggak bisa, nggak usah dipaksa."

"Daddy bisa—"

"Mi...." Armor memotong. "Nggak usah ngasih harapan yang jelas-jelas nggak bisa dipenuhi. Ini bukan yang pertama Daddy nggak bisa dateng ke upacara kelulusan Armor. Pas TK sama SD juga Daddy begini. It's not a big deal...."

Mami terdiam. Matanya mengerling Armor dengan sorot sedih yang jelas.

"It's really okay, Mi. Kan Armor udah ada Mami...."

Mami mencebik, lalu mengusap-usap belakang kepala Armor dengan lambat. "Kamu ngomong begini, Mami makin nggak pengin pergi kalau Daddy nggak ikut. Udah, sekarang kamu jalan duluan. Biar Mami bujukin Daddy biar urusannya bisa ditunda dulu."

"Tapi Mi—"

"No but's, Armor. Kamu jalan duluan, titik."

"Oke...." Mau tidak mau, Armor mengalah. Bikin Mami refleks tersenyum. 

Perempuan bertubuh mungil itu lantas membawa kepala Armor mendekat ke wajahnya, memberikan kecupan di kedua pipi, kening, dan hidung anak laki-laki yang tingginya sudah jauh melampauinya tersebut. Sejak kecil, Mami bukannya tidak tahu kalau Armor bakal tumbuh menjadi jiplakan ayahnya. Semua orang yang melihat Armor juga langsung tahu kalau Armor anak dari Jace Damaresh Nonatha. Beberapa kerabat bahkan kerap membercandai Mami, berkata bahwa Armor cuma anak yang menumpang rahim padanya—sebab Armor 100% mirip ayahnya. Tidak ada sentuhan Mami sama sekali. Bahkan sekarang, tinggi Armor juga sudah menyaingi ayahnya.

"Happy graduation day, kiddos! Mami proud of you, anak gantengnya Mami...." Mami tiba-tiba merasa emosional. "Pulang dari graduation ceremony kamu, kita makan siang sama-sama, ya. Tenang aja, nanti Mami seret Daddy secara paksa!"

"Apa sih, Mi. Malu kali, Armor udah gede." 

"Nggak, ah. Kamu masih bayinya Mami sama Daddy. Cuma udah tinggi dikit aja. Lagian udah lama, kita nggak makan siang sama-sama."

”Ya udah, apa kata Mami aja." Armor cuma tersenyum kecut. Sudah tahu kalau ucapan Mami mungkin tidak akan pernah terlaksana. Yah, semua juga tahu waktu Daddy itu sangat mahal. Kalau sudah bekerja, tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Workaholic, sebutannya. Jadi, Armor tidak mau berharap.

"Armor jalan dulu ya, Mi...." kata Armor sambil mencangklong tasnya. Setelan toganya sudah terlipat rapi di dalam tas itu. "Kalau Daddy emang nggak bisa, Mami aja yang pergi, oke?"

"Iyaaaa, bawel." Mami terkekeh. "Hati-hati di jalan, bilang sama Pak Leonard."

"Oke...."

Armor pun melangkah meninggalkan kamarnya, begitu pula Mami yang langsung menghampiri Daddy di dekat ruang keluarga. Sesaat sebelum keluar dari rumah, Armor sempat melihat Daddy-nya sedang bersitegang dengan siapapun itu yang menjadi lawan bicaranya. Sepertinya itu ada sangkut pautnya dengan proyek yang sedang Daddy incar, sebab Armor dengar Daddy menyebut-nyebut kata 'harus dapat' berulang kali. 

Armor melengos, tidak peduli dengan apapun yang menjadi urusan Daddy. Daddy memang seperti itu. Selalu mendahulukan pekerjaan dibanding apapun. Daddy juga orangnya perfeksionis. Jadi alih-alih mendelegasikan pekerjaan kepada rekan kerja satu team, Daddy memilih menanggung semuanya sendirian. 

Terkadang, Armor sering berpikir. Sebenarnya untuk apa Daddy berusaha sedemikian keras? Armor dan Mami tidak membutuhkan uang yang banyak. Tidak harus menjadi kaya raya. Menjadi biasa saja dan hidup sederhana juga tidak apa-apa. Lagipula, untuk apa semua itu jika Daddy jadi tidak punya waktu untuk keluarga?

"Pak, anter saya ke sekolah, ya...." kata Armor. Dia sudah tiba di parking lot rumah. Tempat Pak Leonard dan pekerja lain di rumah itu berkumpul. Sepertinya mereka baru selesai sarapan.

"Baik, Den." Pak Leonard langsung bangkit dan bergerak menuju sedan yang terparkir di bagian paling luar.

Armor mengikuti Pak Leonard, namun tersadar dia meninggalkan ponselnya di kamar. "Eh, Pak, tunggu sebentar!"

"Kenapa, Den?"

"Handphone saya ketinggalan. Saya ambil dulu, ya. Sebentar aja."

"Oh, oke, Den...."

Dengan begitu, Armor langsung bertolak menuju kamarnya. Namun, langkah besar-besarnya langsung terhenti kala telinganya mendengar suara Mami dan Daddy yang saling beradu mulut di dalam. 

"Jace, can you please put Armor first this time?" Mami melenguh. Emosi sarat terdengar dalam suaranya. "Nggak lama, Jace. Cuma satu hari ini aja. Armor wisuda hari ini. Nggak bisa, ya, kita kasih waktu buat dia sebentar?"

"Alona, please. Ini proyek yang penting buat aku."

"Terus apa Armor nggak penting buat kamu, Jace?"

"Alona...."

"Jawab, Jace!"

"You know the answer."

"If the answer is yes, now you go with me."

"I can't, Alona...."

"Fine. Then the answer is no." 

Daddy terdengar frustrasi. "It's not like that. Dua-duanya penting. Tapi proyek ini... hidup dan mati aku ada di sini, Alona. Tolong kamu mengerti."

"Tapi graduation day-nya Armor juga cuma hari ini, Jace. Kamu udah ngelewatin dua kali. Sekarang kamu mau begitu lagi?" suara Mami meninggi. "Kamu tuh pernah mikirin perasaannya Armor sedikit aja nggak, sih?"

"Kan ada kamu, Alona. Apa kamu aja nggak cukup untuk mewakili aku?"

"Are you serious, Jace?" Mami membelalak. "In the world full of hatred, Jace, why can't you be his safest place to comeback? Armor needs your figure as a loving Dad too. I think both of us knew it so damn well. In the end, it's not all about money."

Armor menepi, merapatkan punggungnya ke tembok. Matanya terpejam. Dia tidak suka ini. Dia tidak suka saat-saat dimana Mami dan Daddy bertengkar. Apalagi jika penyebab utamanya adalah dirinya. Jadi dengan tangan menekan kedua telinganya erat-erat, Armor melangkah keluar. Pergi meninggalkan kedua orangtuanya sendirian.

Persetan dengan ponselnya yang ketinggalan.

 

*

 

Upacara wisuda berlangsung biasa saja, bahkan cenderung membosankan. Armor tidak punya banyak teman di sekolah. Sementara Carlo, satu-satunya sahabat yang dia punya, memutuskan untuk tidak menghadiri wisuda. Katanya, ada keperluan mendesak yang membuat dirinya sekeluarga mesti terbang ke New York saat ini juga. Armor tidak repot-repot bertanya urusan apa itu. Sebab Carlo adalah Carlo. Dia datang dari keluarga yang silsilahnya bisa mengundang decak kagum dari siapapun orang yang mengenalnya. Singkatnya, Carlo cucu konglomerat.

Setelah berbagai macam acara hiburan dan sambutan, akhirnya tiba juga saat wisudawan mengambil ijasah dan berfoto dengan orangtua maupun wali. Armor santai saja maju dan menerima ijasahnya, lalu berjalan ke booth foto seorang diri. Tanpa mengecek pun, Armor tahu kedua orangtuanya tidak akan datang. Mengingat pertengkaran mereka tadi pagi, Armor jadi sedikit bersyukur keduanya tidak muncul. Sebab Armor pasti tidak akan kuat menahan kecanggungan di antara mereka semua jika kedua orangtuanya memutuskan untuk tetap datang bersama.

"Bener-bener nggak menarik," dengus Armor setelah acara hampir selesai. Benar dugaannya, kedua orangtuanya betulan tidak datang sampai akhir. Padahal meskipun tidak ada Daddy, Armor sudah cukup senang karena Mami akan menemaninya. Tapi nyatanya, lagi-lagi dia sendirian.

Karena tidak ada hal menarik yang bisa membuatnya menetap di ruangan ramai itu, Armor akhirnya melipir keluar. Dia tidak ingin pulang, jadi sengaja tidak keluar lewat pintu utama gedung. Ia tahu, Pak Leonard pasti akan stand by di depan sana dan langsung membawanya pulang. Jadi, Armor keluar lewat pintu samping—pintu kecil dekat toilet. Pintu yang bakal membawanya ke taman kecil dengan kolam ikan koi dan air mancur.

Seharusnya, tidak ada siapapun di sana, sebab titik kumpul semua orang berada di gedung dan parkiran dekat pintu utama. Namun Armor malah bertemu dengan seorang perempuan berkebaya yang tengah merokok. Rambutnya tergerai lurus, panjang menutupi punggungnya. Ada highlight berwarna merah yang kontras dengan warna rambut aslinya yang hitam. Dari toga yang tersampir di tangan kirinya, Armor tahu perempuan itu pastilah seangkatan dengannya.

Saat Armor memperhatikan dengan teliti, saat itu pula perempuan itu menoleh kepadanya. Kedua sorot mereka saling bertumbukkan, membuat Armor jadi canggung.

"Lo mau?" tanya perempuan itu kasual. Dia menyodorkan kotak berisi rokok yang tinggal setengah. "Ambil."

"Hah?" Armor tersentak. Perempuan itu tidak merasa dipergoki oleh Armor, ya?

"Ini rokok, mau nggak?" ulang perempuan itu sambil menghisap rokoknya sendiri dalam-dalam. 

"..."

Perempuan itu mengembuskan asapnya kuat-kuat, lalu menarik kembali uluran tangannya. Lalu katanya, "Cupu."

"Apa?"

"Selain cupu, lo juga budeg."

Armor melongo. Bisa-bisanya dia dibilang cupu dan budeg sekaligus. "Gue nggak ngerokok. Dan bukan berarti karena gue nggak ngerokok, gue cupu."

"Ya-ya-ya, jawaban template anak cupu."

"Dih." Armor jadi sensi. Adalah keputusan yang salah mengunjungi taman ini sekarang. Mendingan dia pulang sekalian daripada ketemu cewek aneh dan sok begini. 

"Armor?"

"Lo tau gue—"

"ARMOR!!!" satu seruan dari belakang membuat pertanyaan Armor tidak terselesaikan. Armor menoleh ke sumber suara dan mendapati wali kelasnya sedang berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya di kejauhan.

"Bu Vanka!" seru Armor, melotot pada perempuan—yang entah siapa namanya itu.

"Terus?"

"Rokok lo!"

"Ya... kenapa dengan rokok gue?"

"Ck." Armor merebut selinting rokok dari tangan perempuan itu, lalu menyesapnya dan terbatuk.

"Lo...?"

Sambil mendesis, Armor memberi instruksi, "Kalo ditanya, bilang rokoknya punya gue."

"Lah?"

Armor menyesap rokok itu lagi, dan untuk kedua kalinya, dia terbatuk lagi. 

"Armor, Ibu cari kamu kemana-mana—loh, Armor, kamu merokok???" Bu Vanka membelalak. "Di lingkungan sekolah. Masih di bawah umur pula!???"

"Itu punya—"

"Iya, Bu!" Armor memotong kalimat perempuan itu. Lagi, dia menyesap rokoknya—dan masih juga terbatuk karena itu. Kalau begini terus, kelihatan sekali dirinya masih newbie dalam masalah pertembakauan ini. Bisa-bisa malah ketahuan....

"Armor...." Bu Vanka terlihat tidak percaya, tapi saat ini ada yang lebih penting daripada sekadar menasehati atau menghukum siswanya yang melakukan tindakan indisipliner ini. Ada kabar penting yang mendesak untuk dia sampaikan. "Armor, kenapa kamu nggak bisa dihubungi? Ayah kamu menelepon ibu berulang kali."

"Oh itu... handphone saya ketinggalan di kamar, Bu," jawab Armor enteng. "Kenapa emangnya?"

Bu Vanka mencekal bahu kiri Armor. Dia kelihatan berusaha keras mengatur napas—dan mungkin kata-kata yang akan dia ucapkan. "Armor denger Ibu baik-baik, ya. Kamu yang tenang dan jangan panik. Semua bakal baik-baik aja, oke?"

"Hah... kenapa, sih, Bu?"

"Armor...." Bu Vanka menjeda. "Mami kamu... kecelakaan."

Rokok di tangan Armor terjatuh. Ada dingin yang menjalar di sekujur tubuhnya saat itu. Seperti guyuran seember es yang entah datang dari mana. "Kecelakaan ...?"

"Iya." Bu Vanka mengangguk. Dia menggamit lengan Armor. "Daddy kamu di luar sudah menunggu. Ayo Ibu antar."

Armor menolak bergerak. Gantinya, dia malah bertanya dengan nada yang menuntut kepastian. "Keadaannya... keadaan Mami gimana?"

"..."

"Bu Vanka!"

"Kritis, Armor."

Jantung Armor mencelus. Ia tergugu. Maminya... kritis? 

Tidak. Pagi ini, Mami masih menciuminya sebelum berangkat. Masih menjanjikan akan makan siang bersama-sama. Masih membujuk ayahnya untuk datang ke upacara kelulusan...

Kenapa begini?

"ARMOR!" seru Bu Vanka, berteriak kepada Armor yang saat itu berlari kesetanan menuju pintu keluar gedung wisuda.

Tapi Armor tidak mau mendengar. Anak laki-laki itu berlari kencang, mencari figur ayahnya tepat di depan pintu. Saat ditemukannya punggung sang ayah yang sedang duduk di anak tangga teratas, Armor langsung berderap ke arahnya. 

Punggung itu tampak lesu dari belakang. Tapi... dari depan, tampilan sang ayah semakin tidak keruan. Matanya memerah, dan ada jejak air mata di kedua pipinya. Saat lelaki itu melihat Armor, hal pertama yang dia lakukan adalah menarik anak laki-lakinya itu ke dalam pelukan. Sangat erat. Seakan dengan begitu, segala kekalutan dan keresahannya bisa tertransfer kepada putranya.

"What's wrong with you!" Bukannya terenyuh, Armor malah mendorong ayahnya kuat-kuat. Raut wajahnya mengeras. "Kenapa disini? Kenapa nggak jagain Mami!?"

"..."

"Sekarang Mami gimana? Ayo ke tempat Mami! Mami nggak suka sendirian. Kenapa Daddy ninggalin Mami sendiri dan malah kesini?!"

Ayahnya tidak menjawab. Malah semakin menundukkan kepalanya dan larut dalam tangis.

"Kenapa malah nangis? Ayo kita ke Mami sekarang!" seru Armor, menggelegar.

"Mami...."

"Kenapa Mami?"

"Mami kamu udah nggak ada, Armor...." 

"Maksud Daddy?"

"Mami kamu ... meninggal."

Armor tergugu. Tidak bisa menjawab apa-apa. 

Sekujur tubuhnya terasa kaku. Lemas. Seolah keseluruhan tenaga yang mengalir di dalam tubuhnya terenggut oleh lubang hitam. Lututnya melemas, membuatnya bersimpuh seketika.

Dia salah dengar, kan?

Iya, pasti salah dengar.

Matanya memanas. Mendadak disesaki oleh bulir bening yang membutakan.

"I'm sorry, Armor. I'm so sorry ...." ayahnya berbisik. Tapi lagi-lagi, Armor tidak mau mendengar.

"You lied."

"I'm sorry."

"It's not funny."

"I'm sorry."

"Mami still here. She wants us to have lunch together... as a family."

Ada yang hancur di dalam hati Armor saat mengatakan itu. 

"Why are you here, anyway? I want Mami here. Why are you... instead of her?" 

"Armor...."

Armor menggeleng. Air matanya tumpah. 

Benar. 

Yang seharusnya berada disini mendampinginya adalah Mami. Bukan orang ini. Bukan laki-laki yang darahnya mengalir dalam tubuh Armor tapi tidak Armor kenali sama sekali. Bukan laki-laki yang begitu sama dan serupa dengan dirinya sehingga harus ia panggil Daddy. Bukan... bukan dia, tapi Mami.

Namun mengapa... yang ada justru sebaliknya?

Armor mengepalkan kedua tangannya. Ada magma yang menyesaki dadanya. Membuatnya merasa panas. Meletup-letupkan emosi yang ada di jiwanya.

"Kita jemput Mami, ya... kita bawa Mami pulang," kata ayahnya pengertian. Dia mengambil tangan Armor dan membantu putranya itu berdiri.

Armor bukannya buta. Dia juga tahu ayahnya hancur. Tapi mengingat pertengkaran antara ayahnya dan Mami tadi pagi...

"Let me go," kata Armor lambat-lambat, namun lugas.

"Armor--"

"LET. ME. GO!" seru Armor, lebih keras. Anak itu mengerang, mengambil paksa tangannya dari genggaman ayahnya. 

"What are you going to do? No!"

"Why would you care?"

"Because you are my son!"

"But you've abandoned me for so long!!!" seru Armor keras. Tenaga dan kesadarannya sudah di ambang batas maksimum. 

Mendengarnya, genggaman tangan ayahnya di lengan Armor terlepas.

"Please, don't act like you care." Armor menggumam. "It irks me. Everytime."

Dan dengan satu kalimat itu, Armor melangkah pergi. Lurus menuju mobil sedan dengan Pak Leonard yang sudah siap di balik kemudi. Meninggalkan ayahnya yang terkulai larut dalam gejolak emosi.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Baby’s Breath
Selanjutnya Baby’s Breath ( Coping Mechanism )
4
2
C O P I N G  M E C H A N I S M
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan