25. Gara-gara Joji

0
0
Deskripsi

Happy reading!

  1. Gara-gara Joji


 

“Maaf ya, Mbak.”

Draka refleks menyingkir sedikit manakala telinganya menangkap keberadaan waitress yang hendak menyapu lantai di dekat pijakan kakinya. Jam sudah menunjuk pukul setengah sebelas. Itu berarti, setengah jam telah lewat dari batas close order kafe tersebut dan bukan hal yang aneh kalau sekarang pegawainya tengah bersiap-siap untuk menutup kafe.

“Oh, iya. Silakan.”

Draka mengangkat kedua kakinya santai. Pura-pura tidak acuh meskipun dirinya sangat sadar kalau keberadannya, Jef, dan Kriesha di kafe ini pasti membuat para pekerja kafe kesal karena menyulitkan mereka untuk segera tutup. Dia bersumpah akan menaruh tip sedikit lebih banyak nanti. Sebab isi kepalanya masih acak-acakan dan mungkin akan bertambah urakan apabila dia keluar dari kafe dan dibiarkan sendirian tanpa distraksi.

“Maaf ya, Mbak. Kita duduk di sini bentar soalnya ini, nih—“ Jef yang duduk di seberang Draka menunjuk batang hidung lelaki itu dengan telunjuk. “Lagi patah hati. Makanya kita bikin konferensi meja bundar di sini buat memberi guidance ke dia supaya harta bendanya jatuh ke tangan orang yang tepat pasca dia mati.”

Di sebelahnya, Kriesha spontan menyikut rusuk Jef. Bikin lelaki itu terkesiap sembari melotot, tapi tidak mampu berkata apa-apa karena sepasang mata Kriesha sudah lebih dulu menyipit dan memperingatkannya.

“Apa sih, Babe? Kan gue bener. Liat aja tuh surat wasiat—“

“Kita nggak seharusnya mendukung orang yang mau membinasakan hidupnya sendiri!” Kriesha mendesis. “Harusnya kita nahan dia, bukan malah ngedukung! Kalau dia beneran mau menghilang di Rinjani, gimana!?”

“Ya … nggak gimana-gimana. Meskipun somplak kayak gitu, Draka lumayan cakep. Siapa tahu dia bisa ditaksir Dewi Anjani. Lumayan, kan. Dia bisa mengobati lara hati akibat dipacarin semenit doang sama Aleeyah,” kata Jef santai. Dia membicarakan Draka seolah lelaki itu fana. Tidak ada di antara mereka.

Draka tahu siapa itu Dewi Anjani dan ledekan macam apa yang ditujukan Jef padanya. Di kondisi biasa, Draka mungkin bakal menanggapi Jef dengan sama gobloknya. Tapi sekarang dia tidak punya mood untuk membalas. Jadi lelaki itu hanya diam, menonton pasangan di depannya saling berdebat sementara pelayan kafe menjauh untuk menggapai meja lain.

“Hah? Dewi Anjani?” Kriesha yang tidak mengerti letak jokes dari Jef mulai mengernyit.

“Iya, Dewi Anjani,” ulang Jef.

Kriesha diam sebentar, melirik Draka untuk menggali clue—yang jelas tidak dia dapatkan karena ekspresi Draka sedatar patung batu. “Dewi Anjani tuh siapa, Anjir?”

“Mitosnya sih, dia itu ratu,” jawab Jef dengan mimik serius.

“Ratu?”

“Iya, ratu. Ratu yang mimpin Rinjani. Semua orang tahu, kok.”

“Di negara demokrasi kayak Indo, emang masih ada wilayah yang dipimpin ratu?” Kriesha masih sangsi.

“Yang dipimpin raja aja ada, apa bedanya sama ratu.”

“Lo yang serius, deh!” Kriesha masih kesulitan menemukan letak jokes yang dilempar Jef. “Dimana coba wilayah yang dipimpin sama raja? Kalau dipimpin raja sri sultan, gue masih percaya. Tapi raja as a king of some regions in Indo? Nggak ada! Nggak usah ngarang!”

“Kalau sampe ada, lo mau ngasih gue apa?” tantang Jef.

“Dih? Apa-apa ngarep imbalan. Dasar pamrih!”

“Ya udah, nggak ada ruginya buat gue. Silakan aja penasaran.”

“Elah. Apaan sih? Gue tuh mau nanya Dewi Anjani siapa. Kenapa jadi kemana-mana pembahasannya!”

“Kan gue udah bilang, dia itu ratu!” seru Jef.

“Beneran?”

“Iyaaa.” Jef mengangguk. “Tapi buat bangsa jin. Kayaknya sih vibesnya bakal masuk sama Draka—DIH, APA SIH KOK MUKUL?! Woy!? Babe!?”

“Makanya jangan mempermainkan orang yang lagi serius!” tandas Kriesha setelah dia puas menghunjam Jef dengan beberapa kali pukulan. Setelahnya, Kriesha berbalik menatap Draka. “Maaf ya, Draka. Kita harusnya memberikan lo emotional support. Tapi Jef bisanya cuma bikin orang emosional doang.”

“Gue cuma menawarkan solusi, Babe! Ya siapa tau Dewi Anjani emang jodohnya Draka. Nggak seperti ratu bangsa jin yang lo pikir, Dewi Anjani itu terkenal sebagai ratu yang baik dan bijaksana—“

“DIEM,” tandas Kriesha sembari memasukkan sedotan pada ice americano Jef yang tinggal es batu. “Nggak usah ngomong lagi.”

Jef manyun. Tapi kemudian menurut dan berubah menjadi pendengar manakala Kriesha mulai membuka percakapan dengan Draka.

“Drak, bukannya gue nggak mau bantuin, ya. Tapi masalahnya… chat gue diread doang sama Aleeyah,” tutur Kriesha dengan ekspresi menyesal.

Sebelum terjebak bersama Draka di kafe ini, Kriesha dan Jef memang sudah bersiap-siap untuk pergi malam mingguan. Tapi karena Draka tiba-tiba menghadang sewaktu keduanya belum lagi naik ke dalam mobil mereka, terpaksa keduanya mesti pasrah dan menemani anak bontot Amethyst Six itu buat menggalau ria. Awalnya, Kriesha masih menganggap kegundah-gulanaan Draka sebagai sesuatu yang sepele. Namun menilik dari bahasa tubuh Draka dan mimik wajahnya yang begitu minim ekspresi, Kriesha merasa Draka betulan sedang butuh bantuan.

“Dia emang nggak peduli sama gue. Masih mending chat lo dibaca, nggak diabaikan berminggu-minggu sebelum nggak sengaja kebaca,” balas Draka. Setelah beberapa menit cuma diam dan menyaksikan perdebatan nirfaedah Jef dan Kriesha, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya terdengar begitu salty.

“Pengalaman, ya? Asin banget nada lo,” komentar Jef yang langsung mengundang delik tajam Draka. “Weitsss, biasa aja mata lo! Nggak usah dijawab juga gue tau jawabannya iya.”

Draka cemberut. Sepasang matanya memandangi selembar kertas yang sedari tadi dia tulisi dengan berbagai macam kalimat berisi pesan-pesan buat orang-orang terdekatnya. Ada banyak nama yang disebut di dalam surat itu, namun nama Aleeyah paling banyak. Dan semakin lelaki itu menjatuhkan sorotnya pada nama tersebut, semakin panas dadanya.

Draka tidak pernah menghadapi kondisi dimana dirinya begitu menyedihkan seperti saat ini.

“Kenapa ya gue bisa sesuka ini sama dia?”tanya Draka pelan. Bibirnya berkedut tanda ada begitu banyak tekanan yang dia dapatkan saat mengutarakan kalimat tersebut. “Rasanya kayak orang tolol. Gue tolol. Anjing. Sialan. Bahkan setelah gue ambil keputusan buat udahan, kepala gue sekarang isinya cuma penyesalan.”

Draka melenguh, kemudian meletakkan secarik kertas itu di meja. Tiba-tiba saja dadanya bergejolak. Seperti ada lahar yang siap meluncur dan mengalir di setiap jengkal aliran darahnya. “Brengsek!”

Kepala Draka menggeleng. Dia menggigit bagian dalam pipinya begitu keras sehingga tulang rahangnya tercetak jelas. Tapi tidak ada perubahan. Dia tetap merasakan sesak mencekik dadanya. “Brengsek. Empat tahun tinggal bareng tapi nggak ada apa-apanya di mata dia tuh apa namanya kalo bukan brengsek!?”

Kriesha menggigit bibirnya canggung. Dia melirik Jef sekilas, yang lantas dibalas Jef dengan gelengan pelan. Tampaknya, lelaki itu juga sudah sadar kalau kondisi Draka lumayan serius.

Sebagai sahabat Aleeyah, Kriesha tahu jelas alasan dibalik sikap temannya yang seolah mencintai kebebasan dan terkesan menggampangkan perasaan seseorang. Tapi sedekat apapun hubungannya dengan Aleeyah, dia merasa tidak punya hak untuk mengomentari bagaimana cara perempuan itu menjalani hidup. Termasuk kenyataan perihal dirinya yang cuma menganggap hubungannya dan Draka sebagai hiburan dan tidak keberatan manakala hiburan itu mesti usai.

Semua orang punya latar belakangnya sendiri, dan Aleeyah adalah satu dari sekian banyak orang yang memiliki latar belakang segelap malam. Jadi sedikit banyak, Kriesha bisa memaklumi.

“Seriously, what the fuck is wrong with her?” Draka menukas frustrasi. Lelaki yang biasanya selalu bisa menemukan cela untuk tertawa di dalam masalah apapun itu kini terlihat seperti orang lain. Lelah membayang di kedua matanya, dan dia tidak mau repot-repot untuk menyembunyikannya. Dia sadar dia akan meledak sebentar lagi, tapi dia tidak berniat untuk menahan diri. “Gue tahu perasaan gue adalah milik gue sendiri dan dia nggak punya tanggung jawab buat turut membalas perasaan gue dan menyenangkan gue, tapi emangnya harus ya dia nyakitin gue sejauh ini?”

Hati Kriesha mencelus. Kalau sebelumnya dia mencoba menilik dari sudut pandang Aleeyah, kini dia mulai meraba sudut pandang Draka. Dan jelas, buat Draka yang mencintai Aleeyah dengan ugal-ugalan asal trabas tanpa perhitungan apalagi taat rambu-rambu, sikap Aleeyah kepadanya itu tidak adil.

“Gue tau dia punya attachment issue, dan gue nggak nyalahin dia sama sekali. Malah, gue lebih sering mempertanyakan kenapa gue selalu gagal dan nggak bisa bikin dia merasa aman. Tapi… shit, kenapa sih gue segampang ini dibuang?” tanya Draka. Dia tidak menangis, tapi raut wajahnya sudah merah padam. Tanda bulir-bulir emosi telah memuncak di kepala.

“Kenapa, Sha? Lo temennya, lo mungkin ngerti gimana jalan pikirannya. Tolong bantu gue supaya paham sama apa maunya, karena gue nggak ngerti. Gue nggak ngerti apa yang harus gue lakuin supaya gue bisa ngertiin dia.”

Kriesha cuma bisa diam. Begitu juga Jef. Bertahun-tahun mengenal Draka, baru satu kali ini dia merasa Draka punya wibawa. Dan itu merupakan fakta yang menyedihkan karena wibawa Draka baru bisa Jef saksikan ketika lelaki itu sedang menahan kehancuran.

“Kenapa cuma gue yang ngerasa kehilangan sesuatu yang berharga sementara dia bisa merasa biasa-biasa aja?” Satu senyum sinis merekah di bibir Draka. “Lima tahun ini cuma gue yang berusaha. Gue sadar. Gue paham apa resikonya. But still… why? Why can’t I reached her?”

Kriesha tidak menjawab. Dia cuma memandang Draka dengan sorot prihatin, namun kali ini insting membawanya buat mengambil posisi di sebelah lelaki itu buat  mengusap-usap punggungnya. Jef sempat melotot dan bersiap bangkit buat menggantikan posisi Kriesha, tapi Kriesha sudah lebih dulu menodongkan kepalan tangan supaya Jef tetap duduk.

Draka menjenggut rambutnya sendiri dengan kesal. Bikin tampangnya yang sudah kusut itu semakin kacau. Kriesha bisa merasakan betapa lelaki itu sedang bingung untuk memproses sikap Aleeyah. Dia kasihan pada Draka, tapi juga punya sebintil harap supaya lelaki itu tak langsung menyerah. Sebab dia tahu, Draka itu tulus. Makanya Kriesha agak tidak habis pikir karena Aleeyah tidak dapat melihat ketulusan itu. Mungkin benar kata orang, kita memang tidak pandai menangkap sinyal untuk diri sendiri. Seperti Kriesha yang dulu sempat meragukan Jef, Aleeyah mungkin merasakan hal yang sama pada Draka.

“Seriously, what the fuck is wrong with me?” tukas Draka. “Kenapa usaha gue tetep nggak keliatan di mata dia? Apa karena gue nggak kelihatan serius? Atau gue terlalu kekanak-kanakan? Apa? Apa yang salah dari usaha gue? Apa yang kurang dan harus gue perbaiki?”

“Lo tau jawabannya, Drak,” jawab Kriesha pelan. “Dan lo yang paling tau, ini semua bukan salah lo. Lo yang paling tahu, karena bukan cuma tahu dia dari luar… lo satu-satunya yang tahu dia dari dalam. Jiwa lo dan dia pernah tertukar. Lo pernah menjalani kehidupan yang dia punya. Bernapas, bergerak, dan beraktivitas dengan tubuhnya. Lo pernah bersinggungan dengan lingkaran utama yang membentuk kepribadiannya yang itu. Lo tau semuanya, Draka. Nggak ada yang memahami dia sebaik lo.”

Gigitan Draka pada bagian dalam pipinya semakin ketat.

“You know almost everything about her problem. You know the meds that she takes. The schedule that she sets with her therapist. Even the core of her trauma. Practically, you know that she doesn’t work like a normal person. Dia nggak bisa percaya sama orang dengan mudah, dan dia nggak pernah mau tunduk dan bergantung sama orang lain.” Kriesha menghela napas. “I know I might sound like a jerk for you cause I take her side, tapi semuanya butuh waktu, dan kalau lo memang sepengen itu memperjuangkan dia, lo yang harus menguatkan bahu lo buat sabar. Bukan memaksa dia buat buru-buru melihat pengorbanan lo.”

“Terus harus berapa lama lagi sampe dia bisa menganggap gue bagian dari hidupnya, Sha? Seperti kata lo, gue hampir tahu semua masalahnya. Gue orang yang tinggal sekamar sama dia selama empat tahun terakhir. We’ve seen a lot of each other’s sides buat dikategorikan sebagai strangers. Even FWB has word friends on it. Then why wouldn’t I?”

“Mungkin buat lo, apa yang lo lakuin itu udah besar. Tapi kan yang menilai itu Aleeyah, Drak. Nggak peduli mau lo ngasih love bombing sampe mampus kalau dia nggak menganggap itu penting ya usaha lo nggak ada artinya,” komentar Jef. Ice cube di gelas ice amerikanonya sudah benar-benar tandas.

Mendengar kata-kata Jef membuat Draka mendengus. “Kalau cara-cara yang selama ini gue lakuin emang masih kurang ekstrim, mungkin gue emang beneran kudu hilang dulu dari bumi.”

“Hus! Jalan pikiran lo tuh kenapa pendek banget, sih?“ sentak Kriesha.

“Ya emang pendek. Jalan pikiran gue bukan tol Jawa.”

Jef mendelik. “Lo kehilangan kesempatan buat bilang kalau jalan pikiran lo bukan jalan panjang menuju langit biru tiba-tiba kulihat seorang anak yang menemukan harta karun di—”

“Jef, jayus!” cetus Kriesha. Dia menampol bahu Draka pelan. “Lo juga, Drak. Serius!”

“GUE KURANG SERIUS APA SIH DARI TADI?” Tampolan Kriesha bikin Draka jadi senewen. “Lo kira orang waras mana yang nulis wasiat kalau dia nggak ada rencana buat mati!?”

“Serius sama nggak waras tuh dua hal yang berbeda, loh,” peringat Kriesha.

Draka tercenung sejenak, sebelum mengembuskan napas panjang supaya lebih relaks. Toh uneg-uneg yang sejak tadi bercokol di hatinya sudah keluar semua. “Nggak lo, nggak Aleeyah, nggak Bang Satya, semuanya kenapa sih pada nggak paham kalau gue ini lagi sangat amat serius sekali!?”

“Gue juga termasuk pihak yang nggak paham sih, Drak,” celetuk Jef.

“Nggak nanya,” timpal Draka pedas.

“Wah, songong ni bocil. Itu cewek gue udah gue kasih izin buat ngepuk-puk lo ya, Nyet. Makasih dikit, kek!” tegur Jef. Dia hendak meneruskan urusannya dengan Draka, namun sadar kalau kafe itu sudah benar-benar selesai dibersihkan dan para pelayannya sudah berbaris di belakang konter sambil memandangi mereka bertiga. Tanda kalau mereka menunggu Jef dkk untuk angkat kaki agar bisa menutup kafe. “Gue masih mau noyor kepala lo nih, Drak. Tapi kayaknya kita harus cabut sekarang. Kasihan pegawai kafe terhambat mau nutup kafenya cuma gara-gara kita.”

Ucapan Jef membuat Kriesha tersadar kalau mereka semua sudah menjadi pusat perhatian. “Duh… iya, lagi.”

“Kita cabut dulu—“

“AH! Persetan sama orang lain!” Draka menyergah. “Gue masih pengen mikir. Gue nggak mau pulang ke apart dan ngeliat tampang Aleeyah yang baik-baik aja! Gue masih harus mikirin cara supaya dia balik melihat gue dan jatuh sama dalamnya! Peduli setan kalau apa yang gue rasain ke dia ini disebut obsesif, posesif, dan sebangsanya! Gue nggak peduli. Bagi gue, ini rasa sayang. Gue sayang dia. Gue tau gue harusnya sakit hati dan mengakhiri hubungan itu udah langkah yang paling pasti, tapi gue nggak bisa. Gue nggak pernah berencana buat ngejalanin hidup yang nggak ada dianya. Nggak. Gue nggak mau—“

“SSSH! HEH!” Jef memotong racauan Draka. Sebagai orang yang pernah jatuh cinta dan kelabakan manakala ditinggal pergi orang yang dia cinta, Jef mengerti bahwa ada fase dimana orang yang jatuh cinta memang bakal bertingkah setolol Draka. Tapi sejak menjadi pengamat dan menelaah obrolan Draka dan Kriesha tadi, Jef sebenarnya terpikir satu jalan keluar. Memang belum tentu bisa berhasil 100%, tapi seharusnya bisa dipertimbangkan.

“Apaan sih, Bang? Lo kalau mau pulang—“

“Gue punya ide, Nyet!” Jef berseru.

“Ide apa?” Kriesha ikut bertanya.

“Ide biar Aleeyah bisa notis ni bocah.” Jef menjawab santai.

“Kalo lo cuma pura-pura punya ide biar gue cabut—“

“Enggak, sumpah!” Jef memotong tuduhan Draka yang tidak beralasan. “Gue beneran kepikiran cara klasik yang mungkin berhasil.”

“Apa?”

“Nggak akan gue kasih tahu sebelum kita cabut.”

“Tai.”

“Makanya, ayo cabut dulu. Gue bakal ngejelasin nanti. Nggak disini. Nggak di kafe dengan orang-orang yang melihat kita dengan sorot supaya kita cepet pergi.”

Draka masih manyun, tapi melihat raut Jef yang sangat percaya diri dan barisan pegawai kafe yang seperti mengutuknya hanya dengan tatapan, lelaki itu akhirnya menyerah. Dia menuruti apa mau Jef sehingga ketiganya pun melenggang keluar dari kafe.


 


 

Draka harusnya tahu kalau ide Jef itu cuma akal-akalan supaya mereka semua pergi meninggalkan kafe.

Jam sudah menunjuk hampir pukul satu. Setelah mengutarakan idenya yang jelek maksimal, Jef dengan teganya menurunkan Draka tepat di depan pos masuk menuju apartemen lelaki itu. Sama sekali tidak bermurah hati dan menawarkan Draka buat menginap di apartemennya.  Sekarang Draka tidak punya pilihan selain berderap memasuki lift menuju lantai dimana unitnya dan Aleeyah terletak.

“Lo coba metode reverse!”

Suara Jef yang antusias bak baru mendapat eureka momen terputar kembali di kepala Draka.

“Selama ini lo selalu mencintai si Aleeyah dengan ugal-ugalan dan maju terus pantang mundur alias nggak ada rem asal trabas aja, kan? Dan dia tetep nggak ngeliat lo. Sekarang numpung timingnya pas banget lo lagi sok-sokan mau keluar dari hidupnya, ya sekalian aja lo bersikap dingin ke dia. Jangan terlalu sering tertangkap radarnya. Jadi cuek dan nggak tergapai. Mungkin dari situ, Aleeyah bakal ngerasa ada yang berbeda. Mungkin dari situ, dia bakal ngerasa ada yang hilang….”

Draka membuang napas pendek. Abangnya yang satu itu memang nggak pintar dalam urusan asmara. Menurut Draka, cara menunjukkan cinta dan perasaan itu harus seterang-terangnya, sejelas-jelasnya. Daripada mengirim kode yang rawan salah tangkap, Draka lebih suka kalau perempuan incarannya paham Draka rela menyerahkan apapun hanya agar perempuan itu merasa bahagia.

“Apanya yang reverse mode. Gue gamblang aja Aleeyah nggak ngeliat usaha gue. Gimana kalau gue dingin? Yang ada Aleeyah malah nggak peduli terus hubungan gue dan dia makin jauh. Huf.”

Draka menempelkan kartu akses masuk apartemennya dan membuka pintu. Ternyata lampu tengah masih menyala. Begitu juga televisi yang kini tengah menampilkan iklan. Aleeyah tidak terlihat dimana-mana. Mungkin perempun itu tengah tertidur di kamarnya.

“Ah. Ngapain sih gue berharap dia bakal peduli dan nggak bisa tidur karena mikirin….” gumaman Draka tidak terteruskan tatkala ekor matanya menjumpai telapak kaki Aleeyah menyembul dari balik sofa.

Cepat-cepat, Draka berjinjit mendekati sofa. Dia ingin memastikan bahwa pengelihatannya tidak salah. Aleeyah memang tertidur di sofa dan dilihat dari televisi yang menyala, mungkin dia tidak sengaja terlelap.

Tidurnya tidak terencana, dan Aleeyah adalah orang yang hampir tidak pernah menonton televisi.

Apa dia menunggui Draka pulang sehingga ketiduran di sofa begini?

Tidak tahu kenapa, cuma sebatas memikirkan kemungkinan itu saja membuat Draka ingin merekahkan senyum. Menyedihkan. Jika dihitung-hitung, Draka lebih sering tersenyum bahagia akibat memikirkan Aleeyah begini-begitu di dalam kepalanya sendiri. Dia hampir yakin jatuh cinta pada Aleeyah yang terbentuk dari persepsi dirinya sendiri alih-alih Aleeyah yang nyata. Sebab jelas, Aleeyah yang asli tentu tidak akan seperhatian itu padanya. Tapi bodohnya, Draka tidak peduli.

Ah. Draka tidak pernah tahu unrequitted love bisa membuatnya se-hopeless ini.

Draka melipat kedua tangannya di kepala sofa sembari memfokuskan sorotnya pada wajah Aleeyah. Perempuan itu tampak tidak nyaman. Beberapa kali, alis dan keningnya mengkerut. Dia juga bernapas dengan berat. Mulutnya bergerak, menggumamkan hal yang entah apa. Gerak-geriknya seperti orang yang tengah gelisah, jadi secara impulsif Draka menyentuh lengannya. Memberi usapan pelan supaya perempuan itu tenang. Aleeyah memang sering begitu. Dia kerap mengigau dalam tidurnya, terutama pada malam-malam dimana dia dibikin letih seharian. Kali ini pun mungkin Aleeyah terlalu lelah mengurus entah apa.

“Ssh… it’s okay. It’s just a bad dream….” bisik Draka pelan. Namun tentu, Aleeyah tidak bisa mendengar apalagi mengindahkan. Perempuan itu tampak begitu resah. Sepertinya, mimpinya begitu menakutkan sehingga Draka bisa melihat ada garis-garis yang terbentuk di dahinya. Juga bulir keringat yang mengalir di pelipisnya.

“Al… pindah, ya?” Draka bertanya, masih dengan suara yang pelan. “Disini tidurnya nggak nyaman.”

“Hng….” Aleeyah tidak membuka mata.

“Al?” Draka mengguncang bahu Aleeyah pelan, hendak membangunkan perempuan itu. Karena Aleeyah tak kunjung terjaga, Draka pun menyerah. Dia menggendong Aleeyah dan membawanya ke kamar perempuan itu semudah membawa sebuah boneka. Ruangan itu redup, tapi memori Draka yang mengingat setiap detail perabot di dalamnya membuat lelaki itu santai saja melenggang masuk dan menaruh Aleeyah di ranjang.

“Its just a bad dream. You’ll wake up just fine,” kata Draka lagi. Dia menarik tepi selimut dan menyelimuti tubuh Aleeyah hingga rapat. Lantas sebelum pergi, Draka menyalakan lampu tidur di nakas dan memastikan bahwa kedua tangan Aleeyah juga terkubur di bawah selimut. Setelah dia yakin Aleeyah sudah nyaman, Draka pun berbalik. Dia hendak pergi kalau saja tangan Aleeyah tidak tiba-tiba mencekalnya.

“No….” igau Aleeyah. Ternyata, sepasang matanya masih tertutup. “Stay….”

Ada sesuatu dalam diri Draka yang melumer. Membuatnya memaki pelan karena bisa-bisanya dirinya merasa senang hanya karena tindakan sepele, padahal sore tadi amarahnya untuk perempuan ini sudah tidak terbendung saking meluapnya.

Draka menjilat bibirnya. Dia hendak mengambil tangan Aleeyah dan melepaskan genggaman tangan perempuan itu pelan-pelan, namun geraknya terhenti manakala telinganya mendengar kata lanjutan yang keluar dari mulut perempuan itu.

“Dhan….” Aleeyah menggumam. Suaranya terdengar sedih dan jauh. Dia hanya melantunkan empat huruf, namun Draka sudah bisa merasakan efek kejut setara ribuan jolt di hatinya. Dan kalimat selanjutnya yang menguar dari mulut Aleeyah seperti menusuk lelaki itu tepat di relung jiwa.

“Dhanen…. Stay close… Don’t… Don’t leave me….”


 

A/N

Yahoooo w nulis lagi! 🥳🥳🥳
 

Uas semester 1 udah kelar dan nilai gue lumayan seenggaknya IP gue nggak 2 seperti yang gue perkirakan awoakwoakwowk anw update kehidupan gue yang terbaru… akhirnya gue bakal resign september. Iya, setelah labil galau sana-sini akhirnya gue kayak… yaudalah gue udah berusaha hampir setahun. Gue suka banget sama pekerjaan gue, cuma nggak se-vibes aja sama atasan. Mungkin nanti gue cari kerjaan di bidang sejenis, atau mungkin gue fokus kuliah dulu karena sekarang ada tatap mukanya nggak full online 🫥 yah liat nanti aja deh gimana. Yang jelas, gue bakal mulai nulis selama libur hehehe. Tapi random aja, nggak tau mana yang gue kerjain duluan soalnya masih tergantung mood 😭🙏🏻

Anw, buat yang udah baca Short Hair, mungkin udah bisa menerka-nerka ya siapa Dhanen dan apa yang dia lakuin ke si Aleeyah sampe si Aleeyah nggak mau berkomitmen lagi. Bukan cuma gak mau berkomitmen sih, lebih tepatnya deep down dia merasa nggak pantes buat siapa-siapa tapi kalo dari luar dia ‘melindungi’ diri dengan bersikap seolah-olah semua orang nggak ada yang pantes buat dia, ngerti nggak?

Yah pokoknya gitu.

Dah lah, sekian cuap-cuapnya. W mau tidur. Bhay.
 


 


 


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Gara-Gara Joji
Selanjutnya La Luna ( Part 3 )
1
0
Menceritakan kehidupan Jef dan Kriesha setelah 50% Jealousy, Jealousy
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan