
Dia di sudut, menatapku dengan bola matanya yang memutih.
Tak ada yang membuat kudukku meremang selain menyadari sosok itu bukanlah makhluk hidup.
Aku berdiri, menyandar pada daun pintu. Tungkai melemah sampai tak mampu menopang diri meski berpegang pada kenopnya.
Jatuh. Ambruk tanpa mampu bangkit .
Dia di sudut, menatapku dengan bola matanya yang memutih.
Tak ada yang membuat kudukku meremang selain menyadari sosok itu bukanlah makhluk hidup.
Aku berdiri, menyandar pada daun pintu.
Tungkai melemah sampai tak mampu menopang diri meski berpegang pada kenopnya.
Jatuh. Ambruk tanpa mampu bangkit.
Sosok bergaun serba putih itu berpindah, menginjak bahu kananku sampai nyeri menjalar.
Ternyata bukan kaki.
Dia masih melayang di udara, menyeringai, lalu turut berbaring di sisi.
Dari ekor mata, kulirik wajah mulusnya yang menatap padaku.
Ingin berteriak, bibir ini membisu. Tak ada pergerakan atau suara yang keluar.
Tawanya memekik di telinga sampai aku beberapa kali terpejam, berkeringat di tengah dinginnya kesunyian malam.
Harusnya tak menyeramkan, tetapi, rasa bersalah berpadu ketakutan menjalari raga.
Jemarinya bergerak, mengusap tiap bulir yang keluar dari pori wajahku.
Aroma kulitnya busuk, serupa bangkai kering yang pernah basah.
“Aris ....”
Suara lirihnya masih terdengar familier meski tak diucap dari bibir.
Seolah pikiranku mengingatkan tiap kata yang pernah diucapnya semasa hidup.
“Temukan aku ....”
Permintaan?
Kenapa harus aku?
Perlahan bahuku bisa digerakkan, sekadar menatapnya lebih jelas.
Sosok itu sebenarnya tidak menyeramkan.
Hanya bola mata memutih dan aroma busuk.
Wajah pucatnya mulus tanpa cela.
Kusadari gaunnya tidaklah utuh, robek seperti terakhir kali bertemu, penuh aliran darah yang masih segar.
Ganti, jemariku yang mengusap wajahnya ketika mampu.
Bergetar.
Sudut mataku basah, mengalirkan penyesalan.
Aku menyadari sebuah konsekuensi.
"Maaf, kamu tidak boleh ditemukan."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
