Koma Bukanlah Titik (2)

3
0
Deskripsi

"Dua tahun enggak ketemu, harusnya tulisan kamu jauh lebih baik. Enggak ikut kelas menulis?"

Dia menggeleng.

"Yang gratis banyak."

Kedua tangan Cinta melipat di depan dada. "Buat apa? Toh, aku ngetik cerita cuma buat ngisi waktu. Nerbitin buku juga langsung terjual abis. Itu kan maunya penerbit?"

"Aku enggak nyangka aja bakal ketemu kamu di sini." Cinta merapatkan kakinya, merapatkan posisi duduk pada lengan kursi di sisi kanan. "Jadi, berapa banyak nama yang kamu pakai semenjak bertitel editor?"

Aku tergelak, sempat melihat ke arah Gavin dan Andi yang menyingkir dekat kabinet. Telunjuk kiriku mengusap sudut alis sebelum bicara, "Kirain kita ketemu buat bicarain naskahmu, bukan ngorek latar belakangku."

Netra gadis bermata kelam itu melebar. Jemarinya berkumpul di permukaan meja. "Kamu ... masih bicara aku-kamu?"

Pundaknya yang tidak tertutupi bahan pakaian terlihat bergetar samar. Dia juga canggung melalui ini, sama sepertiku.

"Ada apa dengan panggilan aku-kamu?" Kubalik pertanyaannya dan mulai fokus pada layar laptop ketika data yang dia berikan bisa terbuka penuh.

Aku perlu pengalihan untuk tidak terjebak dengan kenangan di masa lalu. Di masaku sekarang, kata aku-kamu lebih seperti menjaga jarak antara kehidupan pribadi aku dengan pekerjaan.

Aku menolak akui jika dia berpengaruh besar terhadap kehidupanku.

"Abyan! I'm here." Kedua telapak tangan Cinta bermain di depan wajah, mengganggu.

"Dua tahun enggak ketemu, harusnya tulisan kamu jauh lebih baik. Enggak ikut kelas menulis?" Kualihkan pembicaraan pada pengalaman menulisnya setelah lama tidak jumpa.

Dia menggeleng.

Pantas saja terlalu banyak celah yang perlu diperbaiki dalam ceritanya. Padahal, "Yang gratis banyak."

Kedua tangan Cinta melipat di depan dada. "Buat apa? Toh, aku ngetik cerita cuma buat ngisi waktu. Nerbitin buku juga langsung terjual abis. Itu kan maunya penerbit?"

Dia hanya membangun perlindungan diri dari sebuah kemalasan, itu yang aku yakini. Kalau Cinta rajin, mungkin dia bakal seperti Mbak Dini atau Mas Okta yang bisa keluar negeri bersama puluhan karyanya.

Dia memiliki sesuatu yang sangat penting dalam bercerita. Rasa.

Namun, rasa enggak bisa tersampaikan dengan benar jika tanda baca saja tidak pas.

Kuhela napas sedalam mungkin, menyandarkan punggung pada sofa yang sebelumnya Gavin duduki. Mereka--Gavin dan Andi--terus saja mengamati di sela kesibukan kafe yang mulai ramai. 

Buat apa juga investor seperti Gavin ikut-ikutan sibuk? Sok ngegantiin aku?

Cinta mengerucutkan bibir, mengingatkan tiap kali aku memergokinya bosan di kelas saat lewat. Kelas-kelas kami di masa sekolah menengah dulu memiliki jendela transparan yang rendah. 

Mungkin, dia mulai enggak nyaman dengan pembicaraan kami kali ini. Mungkin juga karena melihat keseluruhan interior kafe yang terbilang bukan tempat mahal seperti selera yang selalu diumbarnya tiap pertemuan kami dulu jika melihat gerak wajahnya ke sekeliling.

"Kamu kerja di sini, Byan?"

Aku tidak menjawab pertanyaan terakhir. Jika dengan para gadis lain aku bisa beramah tamah, sama Cinta cukup sebatas hubungan kerja. 

Andi menghampiri sambil membawa keranjang berisi kentang goreng dan sausnya. 

"Makasih."

Suara kecil Cinta saat mengangguk dan tersenyum sempat mengalihkan perhatian hingga aku lakukan hal yang sama. Namun, perpisahan kami sebelumnya jauh meninggalkan luka dalam kenangan.

Kugeser layar laptop ke hadapannya, menunjukkan kalimat-kalimat bergaris merah. Lebih banyak lagi kritik dan saran di kolom komentar. 

"Semalam beberapa aku tandain dan kasih sedikit komentar. Kalau bisa ganti aja ceritanya. Klise." Aku sedikit menjelaskan cara mengubah coretan menjadi kalimat baru melalui fasilitas aplikasi dokumen.

Cinta menekan tombol panah ke bawah perlahan. Raut wajahnya semakin mengerut sampai berhenti pada tekanan keras terakhir.

"Hei! Aku beli laptop pakai uang. Pelan, dong." Kulempar potongan kentang goreng yang hampir masuk mulut, mengenai pipi kanannya.

Wajar emosi. Aku sudah sangat menekan amarah semenjak bertemu dengannya, lalu benda kesayangan yang kudapat menggunakan hasil keringat sendiri bisa seenaknya dia kasarin?

Cinta spontan mengambil tisu pada kotak di pertengahan meja, mengusap pipinya sambil mengoceh, "Tega kamu, Byan." Kedua alisnya seolah menyatu di pertengahan. 

Dia masih berlanjut mengoceh panjang. "Mentang-mentang penulisnya aku, kamu pakai tega kasih banyak coretan kayak gini. Editor lain aja enggak serepot kamu gini. Kembaliin aja naskah aku kalau gitu."

Tega? Tega mana sama cewek yang terang-terangan bilang pacarnya penguntit dulu?

Brengsek! Ngapain aku bawa masalah lama ke dalam profesionalisme kerja?

Lagipula, wajar jika editor menandai tulisan penulisnya untuk diubah sendiri. Bukan editor yang harus mengubah, apalagi menuliskan ulang. Mending ganti nama aja sekalian penulisnya pakai nama editor, tapi enggak mungkin.

"Ini bukan sedikit. Bejibun!" Cinta melanjutkan protes.

"Aku malah baru tahu kalau C. H. Yana itu kamu." 

Nada tingginya kujawab dengan santai sambil mengunyah kentang yang tidak dia sentuh sama sekali. "Kamu cari editor lain aja mendingan. Jangan aku."

Anggap aja aku bilang, Jangan bertemu lagi. Susah tahu move on dari cinta pertama.

"Oke! Aku bakal cari yang lebih bagus!"

Kuhela napas lagi. Jauh lebih lega ketika dia beranjak pergi dengan hentak kaki yang mengganggu telinga. 

Pasti habis ini aku bakal diceramahin dua cowok yang terpaku melihatku memilih tetap diam dan tak mengejar.

***

Kursi di seberang mejaku berderit, tanda bergeser, kentara di antara rak-rak buku. Ketenangan menjadi ciri khas berada dalam perpustakaan, terutama karena aturan "Dilarang berisik!" yang ditempel besar-besar pada dinding begitu melalui pintu masuk.

Buku di tanganku yang tidak jadi dibaca, melainkan jadi penutup wajah saat bersandar, kuturunkan dari wajah untuk melihat sumber suara. "Dia lagi."

Dengkusanku pastinya menegaskan kekesalan.

Kututup lagi wajah untuk menghindari debar yang mengganjal jika terus melihatnya. Namun, ketukan-ketukan yang tercipta dari meja di depan buatku urung menutup mata.

"Bisa diam enggak, sih?"

Dia terlihat melebarkan mata. Apa mungkin karena ucapanku terlalu kencang? 

Setelah melihat para siswa di sekeliling yang menoleh, ternyata suaraku justru lebih mengganggu. Mereka membisikkan keluhan permintaan diam.

"Kak Abyan di sini buat baca atau tidur?"

Oke. Tegurannya cukup menohok. Aku … ngantuk. Akan tetapi, enggak mungkin terang-terangan ngoceh dan mengeluh panjang mengenai pekerjaan paruh waktu semalam.

Dia bukan orang penting

"Aku tadi baca ini, tapi paragraf awal ternyata buat ngantuk." Kutunjukkan halaman depan buku yang dibaca, menyamarkan nada suara yang goyah. "Iseng. Ternyata bukan selera."

Penanda di depan seragamnya menunjukkan nama Cinta Hapsari. Cewek yang dihukum waktu masa orientasi karena menumpuk pelanggaran di hari pertama dan akhirnya keputusan hukuman dialihkan padaku yang masih menjabat ketua SDM di OSIS saat itu.

"Enggak ke kantin kayak yang lain?"

Pertanyaanku dijawab dengan gelengan. Senyum lebar yang terukir di wajah Cinta justru membuatku kesal. Memang dia enggak punya raut yang lain?

Lupa. Dia pernah nangis juga, dilihatin para siswa waktu berdiri di tengah lapangan. "Ternyata cengeng juga." Aku tertawa pelan jika mengingatnya.

"Apa, Kak?"

Aku terbatuk, sadar masih diperhatikan. Sentilan lidahku pasti terdengar. 

Setelah berdeham, maunya aku tuh ngusir dia sekalian. "Kenapa duduk di depan situ? Pindah!"

"Yang lain penuh. Mau di samping Kakak entar dikatain caper."

Di depan juga bahaya. Ngelihat kamu bisa bikin diabetes. Kamu emang selalu bisa cari perhatian.

"Ah, oke." Aku beranjak, meninggalkan beberapa buku di meja. Biasanya petugas perpustakaan yang bakal balikin sesuai nomor. Kalau siswa yang disuruh nyusun, adanya semua buku itu bakal nyelip di mana-mana tanpa aturan.

"Kakak ke mana?" Pertanyaan yang mampu hentikan langkah dan aku berbalik tanpa senyum seperti yang selalu ditampakkannya.

Enggak salah denger, kan? 

Maksudku, secara tidak langsung dia bermaksud cari perhatian melalui anti-konklusi kalimat, terus tujuannya nanya ke mana?

Lidahku tertahan dalam rongga mulut, berusaha tetap bisu sambil mengamati tampilannya yang berbeda dari awal jumpa. Tanpa aroma parfum menyengat, rok pendek, atau seragam ketat.

Mungkin hanya aku saja yang terlalu percaya diri dan nyaris menanggapi pertanyaan. 

Cinta justru mengambil salah satu buku yang sebelumnya kutumpuk, lalu mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi ketika aku memilih keluar ruangan tanpa menjawab.

Dia benar-benar membaca.

"Sudah ketemu bidadarinya?" Gavin langsung menyenggol bahuku di lorong menuju kelas. Dia yang ditungguin sepanjang waktu istirahat, malah ngomongin bidadari. Curiga dia yang minta junior seperti Cinta datang.

Kudorong Gavin sampai menabrak salah satu tiang dan bertanya, "Siapa?" sambil menyelisik layar ponsel yang baru dikeluarkan dari saku.

Sesekali pandanganku beralih pada lantai yang diinjak atau lapangan yang menjadi titik pusat sekolah, menghindari mata-mata para siswi yang seolah menguliti penampilanku. 

Enggak salah, sih. Cuma aku punya kecenderungan terlalu percaya diri sehingga harus melakukan sebaliknya biar nggak berbuat hal yang malu-maluin.

"Cewek yang kemarin nyariin lo ke kelas tadi?"

Apa aku yang salah dengar, menganggap pertanyaan Gavin seolah memastikan?

"Bodo amat." Layar dalam genggamanku terus digeser hingga menampilkan beberapa surel. Lalu, langkahku berhenti. 

"Lo sengaja nyomblangin gue sama anak baru kan tadi?" Kutendang belakang Gavin yang lebih dulu sadar sebelum berlari menghindar.

***

Aku terus mengumpat satu per satu jenis peliharaan Amei—Bapak tanpa suara karena kebiasaan Mbak Ambar ngambil naskah populer di salah satu aplikasi tanpa melihat kualitas kepenulisan. 

"Yang penting baper," katanya dalam panggilan suara. 

Padahal aku baru saja berganti pakaian dan mengecek dokumen yang masuk surel. Salah sendiri jadi editor amatiran yang terus nerima kerjaan di tahun pertama kerja.

Ketika mengambil karya yang dikirimkan ke penerbit tanpa swasunting, biasanya jangka waktu revisi jauh lebih lama daripada naskah matang. Harusnya.

Sayangnya, batas waktu yang ditetapkan sering mencekik. Alhasil, biasanya aku ambil batas lebih lama, atau karya terbit apa adanya.

Ah, malasnya kalau nama harus tercoreng lagi karena karya yang enggak matang.

Setelah turun dari lantai dua gedung kos, kuhampiri motor kurus di antara pelataran parkir. Cukup tinggi dibanding motor biasa dengan jok yang sempit. 

Harusnya di akhir pekan aku bisa pulang. Namun, ternyata penulis yang mengirimkan karya berada dalam satu kota dan minta bertemu dengan dalih tidak mengerti dengan catatan yang dicantumkan dalam fail.

Alamat yang dicantumkan dalam pesan merupakan jejeran kios makanan di tepi laut dekat lapangan luas yang sering jadi jogging track. "Ini sebenarnya mau lari dari kenyataan atau wisata makanan, sih?"

Kulepas helm dari kepala dan menggantungkannya pada sisi motor sebelum membuka layar ponsel lagi untuk mengirim pesan pada klien baru. Foto di sudut yang menjadi ikon, sepertinya aku kenal. 

Iseng, kutelepon nomor yang tertera.

Sambil menutup mulut menggunakan lengan, aku langsung bicara begitu nada tersambung berganti sapaan. "Aku sudah di depan penjual sate." Asap yang mengepul mampu mengaburkan pandangan.

Sekitar tiga meja mendekati pembatas pantai, gadis yang memiliki nama pena Chiara itu melambaikan tangan. 

Sial, aku ternyata mengenal identitas aslinya.

***

"Memang mabuk bisa menyelesaikan masalah?" Pertanyaan Andi—barista kafe milikku—masih terngiang di telinga meski dia telah pergi dari apartemenku beberapa menit yang lalu.

Dalam banyak cerita, setidaknya minuman beralkohol bisa meringankan pikiran. Lebih lepas menghadapi beban yang menggelayuti pikiran.

Bohong. Kepalaku masih terasa berat meski hanya untuk diangkat dari bantal. Aku bahkan perlu usaha keras biar bisa duduk dengan benar, lalu remuk melanda.

Kutertawakan takdir yang telah terjalin selama ini, kemudian memukul apa pun yang mampu tangan dan kakiku raih. Tidak peduli suara retakan di sekitar bahkan mungkin teriakan.

Tunggu.

Teriakan?

Mataku memicing pada sosok yang duduk di dekat kaki. Kemudian aku berpikir, apa halusinasi bisa terasa nyata?

"Abyan?"

Dingin yang menggapai wajahku pun terasa. Dia telah berada di hadapanku bersama air mata yang mengalir.

"Ini bukan malaikat maut, kan?" Gelak yang kuhadirkan hanya untuk menepis mitos yang sering diceritakan banyak orang tentang sosok yang sangat ingin ditemui menjelang kematian. 

Kalau iya, aku bahkan tak akan peduli pada neraka sekali pun.

Kugenggam jemarinya, menaikkan setiap ruas pada ruang kosong di antara wajah kami. "Untuk apa kamu datang lagi, hem?"

Meski halusinasi, takkan kuperlihatkan raut perih yang menyesakkan jantung selama ini padanya. Meski jarak di antara kami perlahan terhapus berganti gelap, aku ... hanya akan tersenyum.

***

Silau menyapa penglihatan ketika tirai-tirai dibuka. Ah, ini bukan seperti pembuka kisah-kisah klise tentang remaja yang baru bangun tidur. Masa-masa itu sudah terlewati tiga tahun silam.

Namun, ruang yang terlihat saat kedua mata mampu membuka penuh bukanlah kamarku. Andi enggak salah antar semalam, kan?

Kupegangi titik sakit yang masih menyengat di kepala ketika beranjak dari ranjang. Warna ungu terong yang mendominasi dinding ternyata lebih menyakiti penglihatan. "Siapa yang suka cat senorak ini?"

"Aku."

Jawaban yang langsung kuterima dari pertanyaan iseng justru mengejutkan. Kudapati sosok Cinta dari pantulan cermin lemari yang menunjukkan dia jelas berada beberapa meter di belakangku, tepatnya dekat jendela-jendela kaca yang tinggi.

Mata lebarnya semakin membulat ketika bertemu tatap. "Aku hanya punya teh. Kalau kamu mau makan, ada stok bahan di kulkas siap masak." 

Dia keluar melalui pintu masuk, pergi meninggalkan kecanggungan yang sempat terasa di antara kami. Apa yang terjadi semalam?

Jemari kananku mengusap permukaan bibir, membayangkan kemungkinan yang terjadi semalam, lalu menggeleng kuat. "Hanya halusinasi. Enggak mungkin sejauh itu, lah."

Semakin kugali setiap sela ingatan, semakin tenggelam dalam ingatan lama. Cangkir teh yang kuraih dari meja di sisi jendela pun tidak lagi menunjukkan uap panas ketika diseruput. Tidak manis. 

"Dia masih mengingatnya atau enggak mau repot memberi gula?" selorohku sebelum menghabiskan sisanya.

Tunggu. Semalam itu mimpi bukan, sih?

Aku baru menyadari bayanganku sendiri pada cermin lemari di seberang kamar.

Kemeja putih yang kukenakan tidak lagi mulus berikut jejak kemerahan di dada atas. Dua kancing teratas sudah lepas tanpa sadar, meninggalkan bekas benang. Mungkin gara-gara semalam ketarik-tarik.

Sebenarnya, apa yang telah aku lakukan?

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Rena, Sentuhanmu Melenakan (18)
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan