
Sebagai seorang yang menganggap dirinya kreator konten, tentu reaksi yang baik dari khalayak adalah prioritas utama saya. Tapi sebagai seseorang yang memiliki mimpi besar untuk menjadi seorang penulis, saya juga mesti memenuhi hasrat saya untuk berkreasi agar karya saya selalu berkembang.
Nah, permasalahannya, dalam proses pengembangan itu akan banyak sekali karya yang saya tulis dan itu tidak berkenaan dengan siapa pun selain diri saya sendiri. Hal inilah yang kemudian membuat saya berpikir bahwa menjadi seorang kreator konten dan seorang penulis/penyair adalah dua hal yang sangat berbanding terbalik.
Di mana sebagai seorang kreator saya harus selalu melakukan promosi serta mengasupi publik dengan hal-hal klise (yang terkesan tidak butuh perenungan). Di sisi sebaliknya saya juga harus selalu mendobrak batas lalu menciptakan kebaruan di dalam karya-karya saya. Dan dalam prosesnya, metafora merupakan sasaran utama yang akan paling banyak diutak-atik agar pengembangan itu dimungkinkan.
Perombakan metafora tersebut tentu akan memaksa siapa saja untuk berpikir atau setidaknya menerka-nerka apa yang hendak dikatakan oleh si penulis. Nah, di sinilah karya-karya yang sedang dalam tahap pengembangan itu akan kehilangan daya tariknya, sebab kini semua orang akan buru-buru mengalihkan atensi mereka jika ada hal yang memaksa mereka berpikir sedikit saja.
Karena hal inilah saya merasa di luar sana masih banyak orang yang memegang teguh pendapat bahwa semakin sederhana dan mudah dipahaminya sebuah tulisan, maka akan sukses pula ia dikatakan sebagai sebuah karya. Dan semakin kompleks tulisan tersebut, maka semakin tampaklah ketidakbecusan si penulis dalam menyederhanakan kata atau memainkan metafora.
Pernyataan yang tidak sepenuhnya salah, sebab sebagai penulis kita tentu akan sangat senang jika bisa menghasilkan karya yang sederhana dan penuh makna. Tapi di era di mana teknologi-teknologi semacam AI semakin pesat dan penulis-penulis baru terus bermunculan, apa ada karya yang sederhana sekaligus benar-benar bermakna? Atau kita harus mengkaji ulang definisi dari makna tersebut?
Sebab sedari dulu karya sastra sudah kaya dengan metafora yang siapa saja bisa menafsirkannya sesuka hati, karya-karya tersebut penuh makna dan tidak asal jadi, sehingga melekat di benak pembacanya hingga kini. Katakanlah seperti Sonnet 18 karangan Shakespeare, puisi Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana dari pak Sapardi, atau sajak-sajaknya pak Subagio Sastrowardoyo, kita tentu bisa mengingatnya semudah mengedipkan mata. Karya-karya tersebut mampu menciptakan kesan di benak pembacanya, kita seolah-olah diajak untuk merenungi bait demi bait, menyelami majas demi majas, hingga memunculkan makna sedemikian rupa.
Tapi terlepas dari itu semua, saya toh lambat laun juga mulai memaklumi bahwa sebagai manusia kita juga memiliki batasan, kita tidak bisa memuaskan semua orang, sebab kita juga punya kehidupan di dunia nyata. Masing-masing dari kita mempunyai diri sendiri yang tidak terpuaskan. Yang penting adalah kita tetap berkarya dengan penuh komitmen dan dedikasi. Kita harus terus mencari tahu dan tidak pernah berhenti bereksperimen. Dengan begitu, kita akan mampu menghasilkan karya yang tidak hanya menarik, tetapi juga bermakna dan membekas bagi para pembaca.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
