Deskripsi

Bandung, 1967

Dalam dinginnya malam, di sebuah rumah kecil di pedesaan, Maman merasakan dunia runtuh di hadapannya. Ningrum, istrinya, telah pergi untuk selamanya, meninggalkan dirinya dan Kirana, bayi mungil yang masih terlalu kecil untuk mengerti arti kehilangan. Dengan suara yang hampir tak terdengar, sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Ningrum berbisik, "Jaga Kirana... dan jangan biarkan dia tahu terlalu cepat..."

Sementara itu, jauh di negeri Belanda, Sarah, putri mereka yang diadopsi oleh...

Bandung, 12 September 1966

Sepucuk surat menyelinap masuk ke dalam tas tukang pos, diiringi udara sejuk nan berkabut tatkala kicauan burung gereja berdecit di pelataran. Gemercik air di belakang rumah mengundang hawa segar, serasa melambaikan tangannya agar segera tersentuh oleh tubuh gempal nan kekar. Maman rela mengabaikan lambaian tangan dari sungai belakang rumah yang terus memberikan kode alam seraya terus menghanyutkan dedaunan kering, terombang-ambing oleh aliran sungai yang terlihat tenang.

Tubuhnya masih termangu memandangi sepucuk surat yang dimasukkan tangan tukang pos. Harap-harap cemas menyelimuti perasaan Maman saat ini. Kepalanya berkecamuk, antara mengabaikan selembar surat yang terbungkus rapi dengan amplop putih panjang sebagai selimut, atau mengabaikan lambaian air sungai yang perlahan semakin memanggil nama Maman perlahan dalam ketenangan.

Hidup sebatang kara bukanlah perihal mudah bagi Maman. Istrinya sudah menginjakkan kaki di nirwana, tempat para bidadari berkumpul. Barangkali istrinya juga menjelma menjadi bidadari di sana, entahlah, yang jelas kepalanya masih sangat mengingat pesan mendiang istrinya.

"Mas, ragaku sudah ingin bertemu dengan Sang Pencipta. Tak perlu lama rasanya, adik bisa merasakan tubuh ini kesulitan memompa seluruh aliran darah dan mencarikan udara segar untuk paru-paru setengah hidup ini. Kirana masih kecil, belum saatnya dia mengetahui rencana kepindahanku ke rumah Sang Pencipta. Adik minta tolong jaga Kirana baik-baik, sungguh dia anak kecil yang sangat pintar sekaligus menggemaskan. Jelaskan padanya saat sudah berumur 12 tahun, sekitar 10 tahun lagi, agar kepindahanku dapat dicerna akal sehatnya. Dia akan terus merengek ASI dari adik, tak apa sesekali mas berikan air tajin sebagaimana kita dulu dibesarkan ibu dan ayah kita. Tolong bilang padanya bahwa ibunya ini sedang dalam perjalanan menyusul kakaknya di negeri nan jauh di sana, Negeri Oranje."

"Kehidupanmu akan semakin berat setelah ini. Maafkan adik ya mas, adik belum bisa menemani mas hingga akhir hayat seperti janji kita di pelaminan dulu. Ikhlaskan adik agar tenang di atas nanti, sembari tersenyum melihat kalian melanjutkan hidup tanpa adik. Siapapun yang akan menggantikan posisi adik ke depan, detik ini juga adik memberikan restu. Semoga bisa menjadikan mas lebih bahagia bersamanya, salam cium dari adik. Terakhir, antarkan adik dengan kecupan di kening setelah ini ya mas, agar adik tenang di sana, masih punya kenangan hangat dari mas Maman."

Pesan Ningrum sebelum menghembuskan napas terakhir beberapa saat setelah mengatakan semacam kalimat perpisahan itu, membuat hati Maman sangat terpukul. Pikirannya kalut. Bisakah dia merawat Kirana kecil yang pintar dan menggemaskan ini?

Seketika air mata Maman tumpah ruah di kepala Ningrum. Seorang wanita yang diperjuangkan bukan main ketika masih gadis agar bisa menikmati kebahagiaan bersama pujaannya itu. Tak sempat mengatakan apapun sebelum Ningrum menghembuskan napas terakhirnya, Maman hanya terdiam saking terkejutnya. Ningrum meninggalkan dunia sebegitu cepat.

Pneumonia yang diderita Ningrum akhir-akhir ini memang memburuk. Perkiraan Ningrum sendiri, sejatinya dia hanya mengalami flu biasa yang mudah datang dan pergi. Namun dugaannya salah.

Sebelum hamil dirinya memang sering terserang batuk, demam yang terkadang hilang entah bersembunyi di mana, dan terkadang juga mengalami sesak napas yang menyiksa dadanya seperti dihimpit sebongkah batu. Jauhnya akses klinik terdekat, membuat Ningrum dihinggapi rasa sok tahu dan selalu menenangkan suaminya kala itu.

"Kamu yang tenang Mas Maman, adik ini ndak sakit parah kok, hawanya saja yang kurang bersahabat jadi lebih riskan terserang flu. Coba nanti Mas Maman lihat deh, pasti adik sehari lagi sudah sehat walafiat," sembari tersenyum sangat cantik, Ningrum menjelaskan rasa sok tahunya kala itu.

Lesung pipi yang terlihat sangat jelas bak kawah cantik yang tak terlalu dalam, ditambah gigi gingsul diantara susunan gigi lainnya yang terlihat rapi, putih, bersih, dan kecil-kecil ikut menambah keistimewaan paras cantik Ningrum.

Matahari tampaknya tahu bahwa akan ada perempuan cantik yang tersenyum menenangkan suaminya. Sinarnya berpadu dengan paras Ningrum yang tak kalah bercahaya, memancarkan sinar alami yang bisa membuat siapapun manusia di hadapannya bersyukur pernah melihat paras secantik ini.

Keadaan Ningrum ternyata memburuk pasca melahirkan. Mungkin kondisinya yang lemah dan kelelahan, mengakibatkan tubuhnya tak lagi mampu berbohong kepada Maman. Perlahan, tahun demi tahun kondisinya semakin memburuk. Meski masih bisa melakukan aktivitas selayaknya manusia waras, Ningrum terkadang mengalami batuk hingga mengeluarkan cairan merah kental, darah.

Ningrum sering mengalami demam di malam hari, disambut suhu normal di pagi hari, begitu saja hingga 2,5 tahun lamanya. Tanpa disadari, enam bulan sebelum kepergiannya ternyata Ningrum berparas cantik telah berubah menjadi Ningrum bau tanah.

Jahat! Sungguh jahat alam kepadanya!

Berani-beraninya alam menyematkan predikat bau tanah hanya karena Ningrum tak cantik lagi. Maman pasti tak akan terima istrinya dibuat sebegitu jahatnya, entah dia akan mengamuk seperti apa.

Tubuh Ningrum tak lagi sintal, terlihat hanya tulang yang terbalut kulit tipis, seperti ranting kering yang hampir patah diterpa angin. Bahunya terlihat ringkih kali ini. Rasanya sudah tak mampu menyangga Kirana dalam gendongnya, seperti jemari langit yang merangkul keputusasaan.

Setiap gerakannya menjadi seperti dedaunan tipis dan kering yang siap terombang-ambing aliran air di permukaan sungai. Ningrum, korban keganasan alam, kini sudah bersiap terhadap hal apapun yang terbaik untuknya.

Tepat menunjukkan pukul 23.00, langit menutup ceritanya hari itu dan bersembunyi. Seperti Kirana kecil yang selalu bersembunyi dibalik ketiak ibunya tiap ada petir menggelegar menyambar alam yang bisa diraihnya.

Tertanda 12 September 1966, Ningrum menghembuskan udara terakhir dari paru-paru yang sudah lama menopang pneumonia untuk nyaman bersarang di dadanya.

Dalam pekatnya malam, dibalik nyenyaknya mata Kirana menutup kelelahan bermain di atas ranjang tempat tidur. Pikiran kalut tak karuan dari suami tercintanya, Maman, membuat malam itu tampak seperti mimpi buruk bagi penghuni rumah.

Teriakan Maman mengaum bak harimau sedang terancam akan diburu. Tampaknya harimau juga tak akan mau mendekati Maman kali ini perihal kehilangan semestanya. Nama Ningrum yang keluar dari mulut Maman menjadi tanda bahwa istrinya tak akan kembali lagi, kapanpun, di manapun, dan dalam bentuk apapun.

"NINGRUUUUMMM!!!"

***

Bandung, 12 September 1963

Bisa dibilang Sarah adalah anak yang mujur. Meski harus jauh dari orang tua kandungnya, dia sangat diperhatikan keluarga asuhnya di Belanda. Masa lampau memang menyisakan begitu banyak misteri tentang kehidupan, layaknya Sarah yang bisa menikmati pendidikan dan fasilitas serba berkecukupan di Negara Kincir Angin. Bukan tanpa sebab, sempat ada peneliti yang sedang tugas di Bandung, di sekitar rumah Sarah.

Sebulan sudah peneliti itu bertugas, sebulan juga Sarah mondar-mandir ke tempat para peneliti untuk mengantarkan jamu buatan ibunya. Kata "jamu" mungkin asing bagi para peneliti, sepertinya di negara Belanda tak ada minuman semacam jamu. Bagai langit dan bumi, penggambaran bedanya kehidupan para peneliti di negara mereka dengan Bandung bagian pegunungan pada kala itu.

Jangankan minuman berkelas yang terkadang memabukkan jika terlalu banyak diminum, bahkan sekelas Pepsi saja tidak masuk ke desa Maman. Pilihannya air putih, teh, kopi, atau jamu buatan Ningrum. Tergantung lidah para peneliti lebih cocok mana antara keempat cairan tadi.

Lidah mereka pernah dijejalkan dengan paksa jamu buatan Ningrum saat menginjakkan kaki pertama kali di desanya. Anggap saja seperti wine atau martini versi tradisional sebagai minuman selamat datang tamu-tamu ini. Keterbatasan bahasa membuat tubuh dimanfaatkan sebaik mungkin. Meski kala itu ada salah satu pendamping yang fasih bahasa universal peneliti, sayangnya ketika malam hari, pendamping itu tak ikut bermalam di sana. Rumahnya memang di tengah kota Bandung, jadi sayang jika tak meniduri ranjang nyaman dan merasakan kehangatan keluarga si pendamping ini.

Lantaran tak ada satu pun penduduk desa paham bahasa mereka, Maman dan Ningrum hanya bisa mengangguk, menggeleng, atau tersenyum sebagai isyarat meski tak paham yang dikatakan peneliti. Paling jauh mereka hanya bisa mengucap kata yes atau no saja, apapun pertanyaan yang dilontarkan dari mulut peneliti.

Memang suasana desa, jauh dari kota dan kehidupan megah ala kota Bandung, tampaknya hal itu bisa dimaklumi. Mulai sejak pertama itu lah, para peneliti jatuh cinta dengan jamu buatan Ningrum dan meminta si pendamping untuk menyampaikan apakah mereka bisa mendapatkan minuman itu setiap pagi sebagai teman sarapan.

Sarah, kala itu sudah cukup dewasa untuk mengamati sekitarnya karena umurnya sudah menginjak anak SMA kelas 3, selalu membantu ibunya di dapur demi menyiapkan para tamu hidangan jamu mewah. Meski komposisinya seperti jamu pada umumnya, tapi mungkin karena Ningrum sejak kecil hingga gadis menetap di Solo, jadi lidah dan tangannya sudah terbiasa dengan ramuan jamu ala Tanah Jawa.

Setiap pagi Sarah mengantarkan empat gelas jamu untuk para peneliti. Tentunya selalu bergantian sesuai varian dan jenis jamunya. Terkadang beras kencur, mungkin jadwalnya kunir asem tampil, bisa juga cabe puyang kalau seharian tugas peneliti cukup berat, atau yang lainnya. Apa saja yang penting bukan jamu brotowali dan purwaceng.

Sebulan lamanya Sarah mengantarkan jamu tiap pagi, sebulan juga Sarah mengamati apa yang dikerjakan para penulis. Ternyata Sarah mulai menemukan teka-teki atas kepalanya sendiri. Para peneliti ini sedang menyelidiki struktur tanah di pegunungan Bandung karena apapun yang ditanam bisa tumbuh subur di desanya. Apalagi perihal rempah-rempah yang sempat menjadi primadona saat zaman VOC di Indonesia hingga diperdagangkan ke belahan dunia manapun.

Bak detektif sedang menangani kasus, mereka terlihat memperlakukan tanah seperti butiran emas hingga memakai sarung tangan. Padahal dirinya sering menginjakkan kaki sembarangan saja ke tanah di sekitar desanya.

Petang hari biasanya Sarah iseng main ke tempat peneliti menginap. Biasanya mereka sedang bersenda gurau hangat karena sudah menyelesaikan tugas seharian. Sarah mendekat tiap kali terdengar candaan dari para peneliti, terlalu penasaran perihal yang dibahas petang itu.

Tak jarang pula, para peneliti Belanda ini mengajak Sarah ikut bersantai dan mengajaknya bermain beberapa permainan tradisional negara mereka. Tentu saja hanya canda dan tawa disajikan Sarah, tanpa bahasa verbal terucap karena memang perbedaan bahasa. Beberapa kali isyarat bahasa tubuh cukup mampu dimengerti antara Sarah dan peneliti.

Salah satu peneliti perempuan ternyata sudah menikah lima tahun silam, sayangnya belum dikaruniai anak yang menggemaskan karena kesibukannya dan suaminya. Padahal, mereka sangat mendambakan kehidupan seperti di desa Bandung ini. Terlihat tenang dan hangat berkat adanya anak di tengah-tengah keluarga.

Tiga hari menjelang kepulangannya ke Belanda, para peneliti mulai sibuk mengemas alat-alat layaknya detektif itu, entah apa saja fungsinya yang jelas alat itu sangat banyak. Salah satu peneliti perempuan tadi memberanikan diri bilang ke pendamping mereka. Dia ingin menawarkan Sarah untuk tinggal bersamanya, berdua di Belanda. Tak cuma sebagai anak angkatnya, tapi niatnya menyekolahkan Sarah ke universitas terkenal di sana.

Sebulan belakangan sepertinya dia mengamati Sarah punya rasa ingin tahu yang tinggi dalam bidang ilmu yang membuatnya bertugas di Bandung. Rasanya jika Sarah mau ikut ke Belanda, hidupnya akan lebih cerah, bisa membawa kemajuan bagi desanya atau sekedar mengubah takdir ayah dan ibunya di desa ini. Sayang seribu sayang jika bakatnya tak mendapatkan fasilitas memadai.

"Teh Sarah, sini atuh mau bicara sesuatu," seru pendamping peneliti di petang hari sebelum pulang ke rumahnya di Bandung kota.

"Iya pak, ada apa ya memanggil Sarah? Mau dibuatkan jamu lagi ya?" tanya Sarah dengan polosnya.

"Tidak perlu repot-repot teh Sarah, mereka sudah kenyang kok. Begini teh Sarah, bapak hanya mau menyampaikan apa yang diminta teh Sophie Koopman, peneliti perempuan yang sering mendekati teh Sarah itu. Teh Sophie minta bapak menawarkan ke teh Sarah, mau tidak jika ikut ke Belanda dan tinggal berdua dengan teh Sophie di kediamannya?" tanya pendamping peneliti dengan agak ragu Sarah mau langsung menerima tawaran dari Sophie Koopman.

"Wah, Sarah belum pernah pergi jauh pak, ke Bandung kota saja bisa dihitung jari apalagi harus ke negara orang. Saya teh takut pak, bapak dan ibu juga belum tentu mengizinkan saya. Memangnya kenapa pak kok tiba-tiba teh Sophie menawarkan itu ke Sarah?" ujar Sarah dengan ekspresi kebingungan.

"Jadi teh Sophie itu sudah lima tahun menikah, sangat ingin punya anak, tapi sayangnya mereka belum dikaruniai anak karena kesibukan masing-masing. Teh Sophie sangat tertarik dengan teh Sarah karena menurutnya teh Sarah ini anak yang pintar, punya rasa penasaran yang tinggi, bisa bermanfaat bagi sekitarnya, dan menyenangkan, jadi teh Sophie merasa akan sangat beruntung kalau teh Sarah mau tinggal bersamanya."

"Sebelum teh Sarah bertanya lagi, sebenarnya teh Sophie tidak mau menjauhkan teh Sarah dengan keluarga, tapi bakat alami teh Sarah menurut teh Sophie sayang jika tidak difasilitasi dengan baik. Nah, teh Sophie ini berencana menyekolahkan teh Sarah di universitas tempatnya kuliah dulu, universitas terkenal di Belanda. Jadi bukan meminta teh Sarah jadi anak teh Sophie, tapi ingin menyekolahkan teh Sarah di sana," kali ini nada bicara pendamping peneliti terdengar sangat serius, meski pelan tapi semuanya jelas di telinga Sarah.

"Sarah sih mau-mau saja ya pak kalau memang buat masa depan Sarah, kapan lagi Sarah bisa berkuliah di luar negeri dan mengenyam pendidikan yang sangat layak, tapi bagaimana dengan ibu dan ayah Sarah?"

"Teh Sarah tidak perlu khawatir, setiap tahun teh Sarah dibelikan tiket pulang ke sini untuk menjenguk dan berkumpul lagi dengan ibu dan ayah teh Sarah. Nanti kalau ada hari libur kuliah yang cukup panjang, teh Sarah juga bebas memilih mau liburan di Belanda atau pulang ke Bandung. Semua dibiayai sama teh Sophie," pungkas pendamping peneliti.

"Emm... aduh bagaimana ya pak, sekarang urang teh jadi lieur pak," sembari menepuk jidat, Sarah menjawab tawaran dari Sophie Koopman.

"Begini saja, berhubung hari sudah mulai malam, bapak juga mau pulang ke kota, teh Sarah bilang dulu saja ke ibu Ningrum dan ayah Maman, siapa tahu mereka bisa membantu teh Sarah menjawab tawaran ini. Besok kabari bapak saja ya bagaimana keputusan dari keluarga teh Sarah."

"Iya deh pak mungkin sekarang begitu saja dulu, biar yang memikirkan ibu dan ayah, Sarah teh lieur pisaaaan, kumaha ieu mah."

Hari berikutnya Sarah tak menampakkan wajah mungilnya di pagi hari untuk mengantarkan jamu lezat Bu Ningrum. Begitu pun pada petangnya, Sarah juga tak kunjung datang lagi.

Tinggal tersisa satu hari sebelum keesokan harinya para peneliti meninggalkan tanah Bandung dan kembali ke Belanda. Sophie menanyakan kembali ke pendamping, namun pendamping juga tak mengetahui batang hidung Sarah di mana. Barangkali keluarganya tak merestui Sarah jauh hingga akhirnya dipingit agar tidak dekat-dekat dengan orang-orang pendatang ini lagi. Mereka tampaknya takut Sarah dipisahkan dari Ningrum dan Maman.

Hari terakhir para peneliti berada di Bandung, mereka sudah bersiap menaikkan alat-alatnya ke atas dokar yang didorong oleh kuda besar nan kekar karena tahu alatnya banyak dan cukup berat. Terlihat dua dokar sudah menunggu di depan rumah penginapan mereka.

Mata Sophie celingak-celinguk menunggu kedatangan Sarah, barangkali ada perubahan rencana mendadak dari keluarga Sarah. Tak kunjung datang juga, akhirnya Sophie bersama yang lainnya menaikkan kaki ke dokar yang siap membawa mereka menjauh dari Tanah Sunda ini. Sophie menundukkan kepala sembari berkaca-kaca karena terlalu berharap Sarah menerima ajakannya untuk pindah ke Belanda sementara waktu.

"Sophie, wat is er aan de hand?"

"Waarom zie je er zo verdrietig uit?"

("Sophie, ada apa? Kenapa kau terlihat begitu sedih?") tanya salah satu temannya yang mengetahui mata Sophie berkaca-kaca dan duduknya tampak tak tenang padahal kuda belum melangkahkan kakinya.

"Nee, maak je geen zorgen. Kom, laten we gaan voordat we te laat zijn voor de vlucht."

("Tidak, jangan khawatir. Ayo pergi sebelum kita ketinggalan penerbangan.") jawab Sophie penuh putus asa.

"Teh Sophie, tungguuuu! Saya bawakan jamu untuk bekal penerbangan kita semua," tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar suara seorang anak berteriak sembari berlari menenteng lima botol jamu di dalam plastik menggunakan tangan kanannya. Pakaianya sangat rapi kali ini bukan seperti biasanya ketika membawakan jamu. Sejauh mata memandang, ada tas ransel besar yang disematkan di punggungnya. Ternyata Sarah berlari diantarkan ibu dan ayahnya menyusul dari belakang. Sarah ikut terbang ke Belanda!

"Teh Sophie, itu Sarah berlari ke sini," wajah riang pendamping terlihat memenuhi mukanya. Tanpa sadar dia baru saja menggunakan bahasa Indonesia untuk bicara dengan orang Belanda. Dalam hatinya tersadar sepersekian detik, betapa bodohnya mulut ini. Peduli setan! Bukan itu intinya, tapi Sarah setuju ikut ke Belanda!

Seketika teman-teman Sophie Koopman, perempuan berambut pirang itu kebingungan bukan kepalang. Drama apalagi ini. Meski beda bahasa, tampaknya ikatan antara Sophie dan Sarah cukup kuat untuk memahami apa yang diteriakkan Sarah dan diucapkan pendamping tadi.

Mata Sophie langsung terbelalak mendengar teriakan Sarah, seketika kepala dan badannya memutar 180 derajat ke belakang.

"Saraaaaahhhhh! Oh, thank God for blessing me," teriakan dari mulut Sophie tak mampu ditahan disertai tumpahan air mata haru. Segera saja Sophie menyambut Sarah dengan turun kembali dari dokarnya dan erat-erat memeluk Sarah serasa anaknya sendiri. Mungkin jika bisa protes, Sarah akan bilang bahwa dirinya sesak napas karena Sophie memeluknya terlalu kencang. Ah, tapi hal indah ini lebih penting daripada sesak napasnya.

Setelah memeluk Sarah selama sepuluh detik, Sophie langsung memeluk ibu dan ayah Sarah yang menyusul berdiri di belakang Sarah.

"Thank you so much, thank you!"

"With my soul and my life, I will keep her safe, just like my child."

Ningrum dan Maman hanya mangut-mangut, seolah paham yang diucapkan Sophie. Tangis Sophie kembali pecah usai mengingat seberapa berharganya anak satu-satunya Ningrum dan Maman diizinkan untuk tinggal bersamanya.

Menyusul tangisan Sophie, Ningrum dan Maman memeluk bersama diiringi air mata menyadarkan bahwa mereka akan segera berpisah sementara, mungkin untuk waktu yang cukup lama dengan Sarah.

Hati mereka berkecamuk, antara haru, senang anaknya akan mendapat pendidikan yang kelewat layak di Belanda, dan sedih membayangkan hari-hari mereka tanpa Sarah di rumah. Tapi ini demi masa depan Sarah, mereka rela mengorbankan rasa kangen di kemudian hari.

Singkat saja, Ningrum dan Maman membalas ucapan Sophie tadi dengan kata "yes" karena mereka sebenarnya tak paham yang diucapkan Sophie. Namun dari mata Sophie, tampaknya mereka bisa percayakan genggaman anaknya ke peneliti ini.

Pelukan mereka dilepas, menyisakan rasa sedih luar biasa. Terakhir, tentunya Sarah memeluk ibu dan ayahnya itu, setidaknya untuk satu tahun ke depan, Sarah baru bisa merasakan pelukan hangat lagi dari mereka. Setidaknya Sarah akan membawa momen indah ini sebagai bekal rindunya di negara Belanda.

"Nduk, Sarah, maafkan ibu dan ayah yang tak bisa menyekolahkanmu setinggi Sophie di Belanda nanti. Kami hanya orang tua sederhana dan kurang mujur dalam ekonomi. Kamu baik-baik di sana ya nduk, jangan lupakan kami sebagai orang tuamu. Jika ada waktu berkunjung, sempatkan meski sebentar. Pintu rumah kita akan selalu terasa hangat menanti kakimu menginjak Tanah Sunda lagi. Surati kami sesering mungkin agar kami tahu bagaimana anak kesayangan ini tumbuh di negeri orang. Semoga kamu bisa jadi peneliti juga ya nduk Sarah," ucap Ningrum sembari meneteskan air mata yang tak kunjung berhenti, laksana air terjun berebutan jatuh.

"Neng Sarah, anak kesayangan ayah, tidak boleh aneh-aneh di sana ya. Fokus sama pendidikannya neng Sarah biar cepat jadi peneliti dan bisa berguna bagi Indonesia. Maafkan ayah, gara-gara ayah kerjanya serabutan, neng Sarah tidak punya kesempatan di desa kecil ini. Kalau sudah selesai cepat kembali lagi ke sini neng, tutug oncom buatan ibumu pasti menunggu kapanpun neng kembali," kata Maman sembari menangis dan terisak melepas Sarah ke negeri orang.

Sophie, Sarah, dan tiga peneliti teman Sophie beranjak pergi. Kuda mulai melangkah maju meninggalkan Ningrum dan Maman. Semakin jauh, semakin kecil, hingga bayangan mereka tak tampak karena tertutup tebalnya embun pegunungan.

Kini tinggal Ningrum dan Maman sebagai penghuni tetap rumah sederhana mereka. Kembali sepi seperti sediakala belum lahir Sarah.

***

Wageningen, 19 September 1967

Kepergian Ningrum dari tanah Bandung menyisakan kenangan kental di benak Maman. Berbagai usaha dia lakukan hanya untuk membuat hidup Kirana kecil lebih bahagia. Tiap malam Kirana kecil selalu menanyakan ibunya yang tiba-tiba menghilang tanpa pernah menyusuinya lagi.

Kirana kecil harus melanjutkan pertumbuhannya dengan air tajin, syukur-syukur Maman memberikannya susu formula sebulan sekali. Itu pun jikalau Maman sudah mendapat bayaran dari perkebunan yang digarapnya.

Hidup Kirana kecil tampak amat berat. Hanya bergelut dengan ayahnya dan suasana dingin pegunungan setiap hari. Semakin dingin kala mengingat Ningrum sudah bahagia di alam yang lain, entah sedang melakukan apa.

Beribu doa dipanjatkan Maman, terkadang sembari meneteskan air mata di sela ibadahnya, berharap waktu berputar kembali dan Ningrum tiba-tiba datang di hadapannya. Tak banyak yang dia minta, setidaknya membuat Kirana kecil memiliki sosok ibu yang bisa merawatnya dengan baik. Bukan ala tukang serabutan penggarap perkebunan keluarga ini pikirnya.

Sayang, tak ada cara menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal.

Setahun lalu, Maman juga masih ingat mengirimkan sepucuk surat ke negara yang nun jauh di sana. Belanda dengan segala kemajuannya.

Bukan tanpa sebab dirinya mengirim sepucuk surat. Rasanya Maman perlu mengabarkan berita duka ini kepada kakak Kirana yang melanglang buana ke negeri orang. Entahlah sudah sampai mana surat itu, selama setahun tak ada kabar dari Sarah, kakak Kirana. Maman terlanjur bingung kalang-kabut tak karuan, pada siapa lagi dia mau bertumpu.

Kirana bertambah usia perlahan, tak terasa setahun tanpa ibu yang merawatnya, hanya ayahnya yang seorang serabutan ini. Mungkin Kirana kurang mujur seperti kakaknya, Sarah, yang sudah bisa menikmati kehidupan lebih enak di negeri orang.

Doanya ditinggikan hingga ke langit, harapannya dibesarkan dan dipupuk perlahan. Semoga suatu saat Kirana bisa menyusul kemujuran Sarah, pikir Maman yang kerap melamun semenjak kepergian Ningrum. Sering bicara dalam hati menjadi hobi Maman semenjak ditinggal istrinya. Rasanya, hati dan pikirannya melaju ke arah yang berlawanan.

Sulit, sangat sulit diarahkan.

Setahun merasakan hampa bukanlah hal asing bagi Maman. Jauh sebelumnya, dia ada di posisi korban keganasan alam, sama seperti Kirana. Bedanya kala itu kedua orang tua Maman meninggal dengan jarak yang tak begitu lama. Tiga bulan kepergian ayahnya disusul ibunya.

Seolah ibunya tak ingin kesepian menghinggapi mendiang suaminya, dengan setianya dia ingin temu kangen di surga. Hebatnya, hal itu langsung dikabulkan tiga bulan setelahnya. Sungguh, gambaran jodoh hingga maut memisahkan terasa sangat nyata.

Bagi Maman, tiga momen ini sama besarnya, entah momen suka atau duka sekalipun. Kematian orang tuanya, kelahiran anak-anaknya, dan kepergian istrinya. Dia hanya berharap, jika saja Sarah masih di sini, dia bisa membagi perasaan bingungnya ini kepada orang lain. Tunggu, bukankah seorang ayah memang ditakdirkan untuk menopang bahunya sendiri?

Situasi sulit, darurat, tak mengenakkan, sial, mujur, sedih, lelah, bahkan putus asa harusnya sudah menjadi makanan sehari-hari seorang ayah, bukan?

Dunia pun tak mau tahu apa yang dialami para ayah. Mereka hanya punya satu tugas pokok, menyeimbangkan semesta siapapun.

Maman memanjatkan doa sangat dalam dari hatinya ketika memikirkan kembali hidupnya dan hidup Kirana. "Jangan mengambil nyawaku dekat-dekat ini Tuhan. Saya memang ingin berdampingan bersama Ningrum, sumpah saya di pernikahan pun sama, tapi masih ada Kirana yang harus saya bahagiakan. Hidupnya harus saya pastikan mujur, sama seperti kakaknya, barulah Engkau boleh mengambil saya Tuhan. Ikhlas, lillahi ta'ala."

Bukannya Sarah tak dipikirkan, tapi saat ini yang lebih membutuhkannya adalah Kirana.

Sarah menginjak detik-detik akhirnya di Belanda. Kuliahnya di Wageningen University & Research sebentar lagi purna. Akhirnya, predikat peneliti akan tersemat, menyatu dalam nama Sarah Rahayu Lestari. Anehnya, keluarga di Bandung tak ada yang tahu jika Sarah sebentar lagi lulus.

Dua tahun belakangan kebiasaan surat-menyurat antara Sarah dengan keluarganya sempat terganggu. Alasan di baliknya tak ada yang tahu.

Mungkin segudang kesibukan Sarah mengganggu komunikasi lintas negara, mungkin juga kesibukan kantor pos mengantarkan surat-surat ke seluruh negara membuat surat-suratnya tertahan.

Tak saling tahu kabar antar dua negara membuat Ningrum dulunya kerap mencemaskan Sarah. Berulangkali Maman menenangkan Ningrum agar terus percaya pada Sarah dan memasukkan pikiran baik saja.

Setahun Ningrum mencemaskan Sarah, hingga malaikat maut menjemputnya tanpa permisi. Perihal surat yang dikirimkan Maman saat kepergian Ningrum ke surga, tampaknya tak kunjung sampai ke genggaman Sarah.

Semesta tampaknya enggan memberi restu Maman menyampaikan berita kepada Sarah, bahkan hanya untuk mengabarkan ibunya telah tiada.

Akhirnya, Sarah lulus memperoleh gelar mentereng dengan nilai sangat memuaskan. Hanya perlu empat tahun bagi Sarah untuk menyelesaikan semua pendidikannya di Belanda. Sungguh sangat berbakat sekali anak ini. Kepintarannya diturunkan dari siapa, entahlah, yang jelas Sarah bisa mengimbangi otak orang Belanda.

Setelah kelulusannya, Sarah bersiap diri menemui keluarganya di Bandung agar mengejutkan mereka. Berbagai barang penting dikemasi untuk dibawa pulang, bekal menuju sukses di negeri sendiri. Tubuhnya dibawa pesawat dari bandara Amsterdam Schiphol Airport (AMS) seolah menjawab kecemasan keluarganya di Bandung yang tak kunjung mendengar kabar Sarah.

Bak surat yang dikirimkan tukang pos, tubuh Sarah tengah berada dalam badan pesawat dengan nyaman. Sama seperti surat yang selalu dibawa tukang pos di dalam tas, anteng tak bersuara hingga tiba ke penerimanya.

***

Bandung, 20 September 1967

Akhirnya kaki Sarah menginjak Tanah Sunda lagi. Sesampainya di Bandung, Sarah sangat bersemangat akan bertemu keluarganya lagi. Kali ini waktunya sangat banyak, bahkan Sarah berencana sukses di negaranya sendiri, Indonesia. Keluarganya tak perlu susah payah menyuratinya lagi, tak perlu mencemaskannya lagi, dan bisa bercanda hangat layaknya Sarah yang dulu.

Dia bersiap mengejutkan keluarganya usai diantarkan dokar layaknya saat meninggalkan keluarganya beberapa tahun lalu. Sembari menginjakkan kakinya lagi di rumah sederhana milik keluarganya, Sarah menghirup dalam-dalam udara sejuk pegunungan yang sangat dirindukannya. Berteriak kegirangan seperti seorang penonton konser yang melihat idolanya di atas panggung.

"Ibuuuuu! Ayaaahhh! Sarah pulang," teriak Sarah sangat keras hingga tetangga kanan kirinya bisa mendengar dengan jelas saking bersemangatnya.

"Punten, ibu... ayah..."

Seperti rumah tak berpenghuni, tak terdengar aktivitas makhluk hidup di dalamnya. Hati Sarah mulai khawatir sekaligus panik, tak biasanya rumah ini kosong. Selama 24 jam pasti ada yang di rumah, entah ibu atau ayahnya, sering keduanya.

Sarah mengitari rumahnya menuju halaman belakang, tempat favorit ayahnya. Sama, tak berpenghuni, nihil orang di rumahnya. Dari depan terdengar suara memanggil Sarah.

"Nak... nak...," Sarah kira itu ibunya, Ningrum.

Sarah beranjak lari ke arah depan sembari berteriak.

"Ibuuuu..."

Tatapannya jadi kosong, ternyata itu bukan ibunya, melainkan tetangga samping rumah Sarah, Bu Rohayah.

"Eh, Bu Rohayah, saya kira Ibu saya tadi. Bagaimana kabarnya Ibu?" sembari kaget, Sarah melanjutkan basa-basi agar tak canggung dan malu karena salah orang.

"Alhamdulillah sehat nak Sarah, sekarang tambah cantik lho semenjak di Belanda, persis seperti ibumu," ucap Bu Rohayah memuji paras Sarah.

"Hatur nuhun pisan Bu Rohayah, bisa saja membuat saya malu. Oiya, Bu Rohayah tahu ibu dan ayah saya di mana? Sejak tadi saya cari tidak ada," tanya Sarah penuh penasaran.

"Haduuuhh kumaha ieu mah, Sarah emang tak dapat surat dari ayah?" tanya Bu Rohayah kebingungan untuk menjelaskan kepada Sarah.

"Surat apa Bu? Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Bu Rohayah kebingungan menjelaskan kepada Sarah?" tanya Sarah dengan membrendeng Bu Rohayah tiga pertanyaan sulit.

"Nak Sarah jangan kaget ya, ibumu sudah meninggal setahun yang lalu di rumah ini. Ayahmu sepertinya tak tahan dihantui kenangan ibumu, jadi memutuskan pindah jauh ke desa lain, entah di rumah siapa.

Tanpa kata-kata yang terucap dari mulut Sarah, tiba-tiba saja tubuhnya lemas. Kaki rasanya tak mampu digerakkan. Tergeletak dengan wajah pucat bak mayat.

Kabar duka ini terasa sangat mengejutkan dirinya, belum sempat istirahat dengan nyenyak setelah perjalanan jauh, harus mendengarkan kabar ibunya tiada. Sarah yang mujur berubah menjadi Sarah yang malang.

Niatku mengejutkan ibu, mengapa aku yang dikejutkan ibu?!

Bu Rohayah berteriak panik. Tetangga sekitar langsung berdatangan satu per satu untuk mengecek teriakan Bu Rohayah, ternyata di depan mereka sudah tergeletak Sarah yang sedang pingsan, entah karena apa karena tetangga tak bisa langsung menginterogasinya.

Bersamaan tubuh Sarah dibopong masuk ke dalam rumahnya. Dirawatnya perlahan hingga akhirnya siuman.

Kepala Sarah pusing bukan main, tampaknya kabar yang disampaikan Bu Rohayah membuat saraf kepalanya mendadak putus satu per satu. Setelah terbangun, mendadak Sarah menangis sejadi-jadinya tak peduli seberapa ramai orang yang mengerubunginya, intinya dia hanya ingin menangis saja.

"Sabar nak Sarah, sabar. Ibu Sarah sudah tenang di atas sana. Pikir ibu nak Sarah sudah tahu kabar ini sebelumnya, makanya ibu kebingungan kenapa nak Sarah masih mencari-cari ibu di rumah. Jangan-jangan nak Sarah juga tidak tahu kalau punya adik???" tanya Bu Rohayah dengan mata melongo.

"Haaaa??? Adik siapa lagi Bu Rohayah???" teriak Sarah kebingungan.

"Setelah nak Sarah ke Belanda, ibu dah ayah nak Sarah dikaruniai anak lagi, namanya Kirana, adik nak Sarah. Ya Allah, ternyata nak Sarah tidak tahu semuanya, maaf ya ibu membuat kaget nak Sarah dengan kabar seperti ini," ucap Bu Rohayah berusaha lembut agar perlahan Sarah bisa menerima semua informasinya.

"Terus ayah dan Kirana ini ada di mana Bu Rohayah? Saya mau ketemu mereka," sembari terisak tangis, Sarah memaksakan mulutnya menanyakan hal tak pasti pada Bu Rohayah.

"Nah itu dia nak Sarah, sebenarnya saya dan warga di sini juga tidak tahu kepindahan mereka. Tiba-tiba rumah ini sudah kosong saja. Ada warga yang bilang kalau mereka pindah ke rumah nenek nak Sarah di Solo, ada yang bilang pernah bertemu mereka di desa selatan sekitar 20 km dari desa kita, ada juga yang pernah melihat mereka sekilas di kota sedang duduk di pinggiran toko, tapi punteeeenn... punteennn... pisan ini nak Sarah tapi ada juga yang bilang mereka seperti gembel yang sedang tidur di pinggir jalan," dengan nada sedikit melengking Bu Rohayah mengucapkan permintaan maaf sebelum mengucapkan kalimat terakhir tadi kepada Sarah, takut menyinggungnya.

***

Bandung, 22 September 1967

Sementara waktu, Sarah memutuskan untuk menginap di rumahnya. Sekalipun rumah milik keluarga, namun keberadaan sisa keluarga Sarah yang belum diketahui batang hidungnya, membuat Sarah seperti menginap di homestay.

Bu Rohayah memutuskan untuk menemani Sarah kala itu. Tangisan yang berulang kali terisak kemudian berhenti dan akhirnya kembali mengucurkan air mata dari pelupuk matanya, membuat Bu Rohayah tak tega hati meninggalkannya sendirian.

Sarah masih meratapi kepergian ibunya, masih berusaha juga mencerna bahwa dia punya adik, Kirana. Terlebih ayahnya dan Kirana tak ada di rumah itu membuat hatinya hancur berkeping-keping. Tak ada yang tersisa, hanya kesedihan yang mendalam. Harusnya hari itu dia sedang tertawa mesra dengan keluarga kecil di rumah sederhana hasil dirinya yang telah resmi menyandang gelar peneliti dari negeri Belanda.

Tampaknya, gelar peneliti tersebut sudah dikesampingkan Sarah, lebih penting memikirkan ayah dan Kirana ada di mana.

Bu Rohayah dengan sabar dan telaten menyiapkan makanan untuk mengisi perut Sarah setelah lama terisi dengan haring, pannenkoeken, dan hutspot. Akhirnya perutnya mampu merasakan lagi nasi cikur.

Setelah perutnya kenyang diisi dengan nasi cikur sore itu usai siangnya mendengar kabar yang menyayat hatinya, Sarah memutuskan beranjak untuk pergi ke seantero Bandung demi mencari ayah dan adiknya. Entah apa rencananya, tapi dia memutuskan pergi ke rumah neneknya, 15 menit dari rumahnya.

Sesampainya di rumah neneknya, Sarah seperti seorang polisi yang sedang mencari tahanan lepas, mengetuk pintu rumah dengan sekencang mungkin sembari memanggil nenek, ayah, dan adiknya secara bergantian. Nihil, dia hanya disambut nenek yang mungkin sudah lupa keberadaan Sarah karena faktor umur. Untungnya dia masih ingat Maman, anak kandungnya. Namun tetap sama saja, tak ada jejak dari ayah dan adiknya itu.

Dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca, tanpa lama Sarah memutuskan melanjutkan pencariannya, meninggalkan neneknya lagi. Bahkan tak sempat menjelaskan perihal dia adalah cucunya yang baru pulang dari Belanda.

Sarah melanjutkan ke sebuah desa yang terletak di sebelah selatan dari desanya. Sekitar 20 km jauhnya Sarah menempuh perjalanan yang cukup lama, 3 jam. Sarah akhirnya menginjakkan kaki di Desa Saguling.

Suasana sepi, tenang, dan sejuk, sama seperti desanya sendiri. Dalam hatinya menyimpan harapan sangat besar, di desa ini dia akan bertemu dengan ayah dan adiknya. Karir penelitinya tak berguna kali ini, pasalnya dia mendadak berubah seperti detektif.

Sejam dia mengitari desa yang tak terlalu ramai itu. Mengetuk semua pintu rumah yang ada di sana. Tak sekalipun menemukan dua orang bernama Maman dan Kirana. Entahlah, warga desa juga tak pernah merasa sempat bertemu dengan orang bernama Maman dan Kirana, nama itu tampak asing di telinga mereka.

Keputusasaan menyelimuti Sarah, terpikirkan hal yang tak seharusnya dipikirkan seorang anak terhadap ayah dan adiknya. Dibalik kabut tebal di desa itu, rasa bingung Sarah semakin menjadi-jadi. Tak bisa berpikir jernih mau ke mana lagi dirinya mencari dua orang yang merupakan ayah dan adik kandungnya.

Teringat di otaknya, ketika dirinya dikerumuni warga yang menolongnya ketika pingsan, ada yang berucap pernah melihat ayah dan adiknya di kawasan pertokoan Bandung kota. Meski ada kata seperti gembel yang terucap dari warga itu, namun Sarah tak ingin kualat dengan membayangkan penampilan ayah dan adiknya seperti gembel.

Muncul tekad kuat bagi Sarah untuk melanjutkan pencariannya, setelah sebelumnya tertunduk lesu dalam keputusasaan. Harus ke Bandung kota sekarang juga!

Lagi-lagi Sarah memulai penyelidikannya bak detektif, kali ini di pusat kota Bandung, area yang banyak pertokoan. Dia berpikir, semoga kali ini Tuhan mengasihaniku dan mempertemukan dengan yang masih tersisa dari keluarga kecilku di Tanah Sunda ini.

"Tuhan, kasihanilah saya kali ini, saya memohon pertolongan-Mu", ucap Sarah dalam hati sembari memejamkan matanya sebelum melangkahkan kaki tanda dimulainya penyelidikan ala Sarah.

Tanpa petunjuk, entah ke mana dia harus mengarahkan kakinya, bisa saja bukan di pusat kota ini tapi sedikit lebih ke pinggir, bisa juga di dekat kawasan pasar, atau bahkan ternyata dekat dengan gedung-gedung penting di Bandung. Ah, entahlah, tugasnya mungkin hanya mencari dan mencari, tak perlu sejauh itu prasangka buruk yang dipelihara.

Area kota ternyata lebih luas dari dugaan Sarah, hingga malam belum menemukan jejak ayah dan adiknya. Bak orang hilang, Sarah terombang-ambing tanpa arah.

Rasanya, raga Sarah mulai kehilangan kekuatan supernya sebagai detektif. Dia menyadari bahwa ternyata detektif juga butuh istirahat. Tanpa pikir panjang dia hanya tertuju pada rumahnya sendiri, di desa yang cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

Akhirnya Sarah memutuskan untuk pulang ke rumah itu, meski awalnya ragu karena takut terlampau sedih mengingat seluruh kenangan yang tertinggal di sana, baginya hanya kenangan itu yang tersisa dari keluarganya saat ini.

Bergegas Sarah mencari transportasi apapun untuk kembali ke rumah, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan perjalanan ke rumahnya memakan waktu sekitar dua jam.

Sesampainya di rumah ternyata Bu Rohayah menghampiri Sarah dengan tanda tanya besar di kepala.

"Nak Sarah, bagaimana sudah bertemu dengan ayah dan adik nak Sarah?" tanya Bu Rohayah penasaran.

"Belum Bu Rohayah, Sarah sudah mencari ke rumah nenek, ke desa sebelah, dan beberapa sudut di Bandung kota yang banyak pertokoan, tapi tetap nihil. Tak ada yang tahu keberadaan ayah dan adik, bahkan beberapa orang merasa tak pernah mendengar nama ayah saya, Maman dan adik Kirana. Saya harus bagaimana, Bu Rohayah?" Sarah kembali membalikkan pertanyaan dengan suara lemah akibat menjadi detektif seharian penuh. Mata Sarah tampak berkaca-kaca lagi.

"Nanti kita pikirkan di dalam ya nak Sarah, sekarang masuk saja dulu, nak Sarah bersih-bersih nanti ibu buatkan makanan dan minuman, pasti seharian tadi nak Sarah belum sempat makan," ujar Bu Rohayah sangat baik kepada Sarah, terlebih saat ini sebatang kara.

"Hatur nuhun Bu Rohayah, baik sekali sudah seperti ibu saya sendiri."

Mendengar kata terakhir yang terucap dari Sarah, Bu Rohayah sebenarnya ikut merasakan kesedihan mendalam, tapi barangkali tak bisa merasakan sedalam Sarah. Bu Rohayah jadi membayangkan anaknya yang jauh dari genggamannya karena sudah merantau semua.

Selesai bersih-bersih, Sarah menuju meja ruang makan untuk memasukkan beberapa makanan yang telah disiapkan Bu Rohayah. Tanpa suara Sarah memakannya perlahan, terlebih Bu Rohayah masih di dapur membereskan beberapa peralatan yang digunakan untuk masak.

Satu suapan makanan dimasukkan ke mulutnya. Rasa makanan ini meledak di dalam mulutnya, lidahnya bisa merasakan santapan yang sangat enak. Mungkin ledakan yang terlampau kencang di mulut Sarah itu juga membuat air matanya jatuh. Suapan kedua dan selanjutnya air mata Sarah semakin menjadi-jadi hingga terisak sesekali.

Tunggu, Sarah ternyata tak asing dengan masakan ini. Jengkol balado ditemani telur mata sapi dan beberapa lalapan ternyata adalah masakan yang suka dimasak mendiang ibunya dulu. Ayahnya sangat menyukai masakan jengkol balado ini, mungkin itu juga yang membuat tangis Sarah menjadi-jadi, mengingat dua orang sekaligus dalam sesuap sendok.

"Eh... eh... nak Sarah kok menangis, masakan ibu tidak enak ya? Maaf ya nak Sarah, ibu cuma bisa memasak makanan sederhana, tidak paham masakan ala Eropa," tiba-tiba muncul dari dapur sembari mengkhawatirkan Sarah.

Tampaknya Sarah juga terkaget dengan kemunculan Bu Rohayah tiba-tiba. Tangan dan badannya seolah kompak mengeluarkan refleks mendekap erat Bu Rohayah seolah peka kepada sang pemiliknya. sembari menangis terisak-isak, Sarah semakin kencang mendekap Bu Rohayah. Raut wajah Bu Rohayah kebingungan perihal apa Sarah menangis setelah memakan masakannya, tapi tangan dan tubuh Bu Rohayah menyambutnya dengan hangat.

"Terima kasih Bu Rohayah. Masakan ibu sama persis dengan masakan yang selalu dibuat mendiang ibu saya dulu. Saya ingat di tempat duduk ini kami saling menyuapi satu sama lain sesekali, sembari bercanda tawa membahas hal yang tak penting, tapi saya rindu suasana itu. Saya ingin memutar waktu, tak mau ke Belanda hanya untuk kehilangan kebahagian kecil saya yang ternyata sangat berarti," dengan perlahan dan terbata-bata karena masih menangis cukup deras, Sarah mengungkapkan seluruh perasaannya malam itu.

"Sabar nak Sarah, ibu paham perasaan nak Sarah sekarang. Ibu tidak bisa bantu banyak, cuma bisa memberikan ini saja kepada nak Sarah. Nak Sarah harus tetap yakin ya suatu saat, entah cepat atau lambat akan bertemu dan berkumpul lagi dengan keluarga nak Sarah. Ayah dan adik nak Sarah tidak hilang, mungkin mereka juga mencari nak Sarah dan menunggu nak Sarah pulang saat ini, entah di belahan kota mana," ucap Bu Rohayah sangat lembut sembari mengusap kepala Sarah yang masih tersandar di dada Bu Rohayah.

"Bagaimana kalau ternyata ayah sudah menyusul ibu juga? Bagaimana nasib adik Sarah yang lagi-lagi ditinggal orang tuanya, Bu Rohayah?" tiba-tiba terbesit pikiran kotor dari Sarah, tampaknya berkat ledakan emosinya baru saja.

"Hussh... nak Sarah tidak boleh bilang seperti itu, jangan mendahului yang punya hidup, tidak baik. Sudah percaya saja ayah dan adik nak Sarah baik-baik saja di suatu tempat. Besok Bu Rohayah bantu cari ya dengan nak Sarah. Cup... cup... cup... tidak boleh menangis lama-lama, setelah ini tidur dulu, besok kita cari bersama di kota," ucap Bu Rohayah benar-benar seperti ibu Sarah saat menenangkannya ketika masih kecil, menangis entah minta ASI atau terjatuh.

***

Bandung, 23 September 1963

Telah cukup rasanya tertidur di balik bayang-bayang mimpi mengenai keluarga kecilnya yang tak kunjung ditemukan, Sarah bergegas pagi-pagi sekali saat jam menunjukkan pukul enam pagi. Hanya berbekal surabi yang digunakan untuk mengganjal perutnya pagi itu, Sarah mengemasi barangnya kembali dan bersiap menjadi detektif, lagi dan lagi.

Dia mencari Bu Rohayah di dapur untuk mengajaknya menjadi asisten detektif hari itu. Tak terlihat sedikit pun jejak Bu Rohayah, tampaknya hari ini tak ada asisten detektif. Baiklah, tak masalah! Demi ayah dan adik semua akan dilakukan, bahkan jika harus terjun ke jurang sekalipun. Begitu tampaknya pikiran Sarah pagi itu.

"Nak Sarah, ayo berangkat nak. Matahari sudah cukup tinggi untuk mencari ayah dan adik nak Sarah," tiba-tiba terdengar suara Bu Rohayah dari depan rumah Sarah.

"Ya Allah, ternyata Bu Rohayah sudah lebih siap. Iya bu, sebentar-sebentar Sarah mengambil tas dulu ya," teriak Sarah dari dalam rumahnya.

"Ayo Bu Rohayah, kita mau bertemu ayah dan adik Sarah," dengan semangatnya Sarah menarik tangan Bu Rohayah untuk naik dokar. Lagi-lagi berurusan dengan kuda-kuda ini karena memang pembangunan tampaknya belum merata di desanya, jadi pilihannya hanya ini.

Langkah kuda juga terdengar tak kalah semangat dengan Sarah. Tampaknya kusir dan kudanya bisa merasakan semangat Sarah kali ini. Sarah ditemani asisten detektifnya, Bu Rohayah siap menyusuri kota Bandung hari itu untuk mencari keberadaan ayah dan adik Sarah.

Tujuan mereka ke daerah pasar-pasar di Bandung kota. Bukan tanpa alasan, dulu tetangga Sarah lainnya sempat mengatakan pernah melihat ayah dan adiknya di daerah sekitar pasar, entah pasar mana yang dimaksud tak sempat ditanyakan Sarah. Pasalnya saat itu Sarah baru siuman dari pingsannya, tak mungkin terpikir di benak Sarah untuk bertanya pasar mana yang dimaksud tetangganya. Lagian, tetangganya juga sedang sibuk menyadarkan Sarah kala itu.

Akhirnya Sarah dan Bu Rohayah tiba di tempat pertama. Langsung saja Sarah menjadi detektif macam Sherlock Holmes. Dirinya bertanya satu per satu kepada siapa saja yang berada di pasar tersebut, nihil, tak ada yang mengenali dan mendengar nama Maman dan Kirana.

Lanjut ke pasar berikutnya, dengan pola yang sama, hasilnya masih nihil. Terus melanjutkan pencarian, Sarah dan Bu Rohayah ternyata tak sadar telah mencari ke sepuluh pasar di Bandung kota, hasilnya masih nihil. Satu lagi pasar terakhir sebelum Sarah dan Bu Rohayah memutuskan menyantap makan siang. Pasar Ciroyom di Kecamatan Andir menjadi tujuan terakhir sebelum makan siang.

Segera Sarah dan Bu Rohayah menyusuri pasar tersebut. Meski sudah cukup berumur untuk sekelas Bu Rohayah menyusuri sepuluh pasar, tapi semangatnya membantu Sarah membuatnya merasa muda lagi.

Mereka berdua bergegas melanjutkan tugasnya sebagai detektif di Pasar Ciroyom. Semua pedagang, tukang parkir, hingga beberapa pengunjung mereka tanyakan nama Maman dan Kirana saking putus asanya. Lagi-lagi hasil nihil.

Hati Sarah mulai goyah kembali, tampaknya Sherlock Holmes sudah tak bertugas pada saat itu juga, melepas pakaiannya dan menenangkan pikirannya. sembari melangkah lesu, Sarah dan Bu Rohayah mampir di salah satu warung makan sekitar pasar untuk mengisi perut. Mereka harus bersabar lagi, tampaknya makanan sedang disiapkan oleh penjual. Sarah dan Bu Rohayah saling melamun sembari menunggu makanan mereka matang, siap disantap.

Sarah terlihat sangat letih. Tangannya berada di atas meja warung tersebut, ditumpuk atas bawah secara rapi. Saking letihnya, perlahan kepala Sarah ikut menumpuk di atas tangannya. Pose tidur di atas meja tampaknya sangat nyaman bagi Sarah, setelah berkeliling mencari jejak ayah dan adiknya. Tiba-tiba Sarah mendengar seorang bapak-bapak cukup tua mendekatkan tubuh ke etalase makanan dan bertanya ke penjual.

"Punten teh, saya boleh minta nasi satu bungkus saja buat anak saya? Kasihan dari kemarin belum sempat makan, tapi saya cuma punya uang tiga ribu. Punten pisan teh, apakah boleh?" tanya lelaki itu dengan pakaian yang lusuh tampak seperti habis berjibaku dengan berbagai peluh di pasar itu.

"Tidak bisa pak kalau cuma tiga ribu, tidak cukup. Pergi saja cari warung lain pak, nanti pelanggan saya kabur semua, takut sama bapak," keluar kata-kata pedas dari mulut penjual warung makan tersebut.

Sarah kaget mendengar mulut pedas penjual tersebut.

"Bu! Jangan seenaknya ya sama orang lain, bagaimana kalau ibu di posisinya? Mau ibu dimaki seperti itu?" sahut Sarah berbalik pedas ke penjual warung makan.

"Bungkuskan dua porsi, saya yang bayar. Ibu tidak perlu khawatir, sekarang!" tegas Sarah.

"Eh... iya teh saya siapkan," ujar penjual kepada Sarah yang tampaknya menciut gara-gara Sarah beranjak berdiri dari tempat duduknya sembari menyodorkan uang 50 ribu dari dompetnya.

"Terima kasih banyak ya neng, maaf bapak malah merepotkan. Semoga dibalas oleh Sang Kuasa," ucap bapak-bapak tadi dengan wajah melas. Sepertinya menahan rasa lapar dan memikirkan perut anak yang digendong di punggungnya.

Sarah belum menjawab ucapan bapak-bapak tadi, niatnya dia akan membalasnya sembari menengok melihat wajah bapak dan anak yang digendongnya. Nasi selesai dibungkus oleh penjual, Sarah memberikan nasi dan menoleh, menatap wajah mereka dalam-dalam.

"Ayahhhhhh!!!!" teriak Sarah keras-keras hingga memalingkan kepala seluruh pembeli di warung makan tersebut, begitu juga Bu Rohayah yang tersedak saking kagetnya.

"Ayah ke mana saja, Sarah cari dua hari ini ya Allah," ucap Sarah sembari mengeluarkan air mata.

"Neng mencari siapa? Saya bukan ayahnya neng," jawab bapak tersebut.

"Yaaahh... ini Sarah, Sarah anak ayah Maman dan ibu Ningrum!" sembari menegaskan dirinya siapa ke bapak tersebut.

"Sarah siapa? Ningrum siapa? Saya tidak kenal nama itu sama sekali neng."

"Mereka berdua sudah lama mati," tegas bapak tersebut.

"Astaghfirullah, itu ayah baru saja bilang seperti itu, berarti ingat Sarah dan ibu. Ayo kita pulang yah, Sarah kangen," dalam tangis Sarah ingin mendekapkan tangan ke pelukan bapak tersebut, yang dianggap Sarah tak lain tak bukan adalah ayahnya.

"Tidaaak! Mereka sudah lama mati!" tegas bapak tadi, lagi-lagi menyangkal Sarah dan mengibaskan tangan Sarah yang hendak mendekapnya.

"Sarah tahu pak, itu Kirana kan yang ayah gendong. Sarah sudah tahu semuanya. Maafkan Sarah pak, terlalu lama di negeri orang jadi seperti anak durhaka bagi bapak," masih mencoba menyadarkan ayahnya.

"Pokoknya tidak ada nama Sarah dan Ningrum di hidup saya neng. Neng berikan ke orang lain saja nasinya, permisi," sahut bapak tersebut dengan ketus dan langsung pergi begitu saja.

Kondisi Sarah yang masih menangis, tak terima ayahnya pergi. Bertahun-tahun belum bertemu, dia tak ikhlas jika melepaskan kepergian ayahnya begitu saja. Langkah kaki Maman ternyata cepat juga dengan otot-otot kekar hasil dari pekerjaan kasar yang dilakukannya.

Sarah tak mau ketinggalan, langsung berlari mengejar ayah dan adiknya. Tampaknya setelah mengisi perut di warung makan tadi, energi Sarah melimpah hanya untuk mengejar mereka. Akhirnya dapat juga, tangan Sarah berhasil menahan tubuh ayahnya untuk melangkah lebih jauh lagi. Sarah langsung menjatuhkan tubuhnya, bersujud, dan mencium kaki ayahnya sembari menangis.

"Ayah jangan pergi, Sarah minta maaf yah. Sarah tidak bermaksud meninggalkan keluarga ini, Sarah ingin mengubah nasib keluarga sederhana kita menjadi serba kecukupan," ucap Sarah sembari meraung-raung di kaki ayahnya.

"Man, sudah tidak ada gunanya seperti ini, kasihan juga anakmu Sarah ini baru dengar ibunya meninggal, kamu pergi dari rumah, dan dia punya adik baru. Maafkan dia, jangan pergi lagi Man," tegur Bu Rohayah yang tiba-tiba mengelus punggung Sarah dan lengan Maman secara bersamaan.

"Tidak bisa. Saya di desa bertahun-tahun harus meratapi kepergian Ningrum, membesarkan Kirana yang masih kecil sudah kehilangan ibunya, tidak ada kabar dari anak pertama yang sudah hidup enak di negeri orang, coba Bu Rohayah lihat apakah semesta mengasihani saya dengan kondisi itu?"

"Kalian tahu tidak, saya sudah mengalami kehilangan dua orang kesayangan saya, hidup apalagi yang harus saya jalani?" ucap Maman dengan menggebu, terasa sesak karena harus menanggung sebanyak itu beban yang diberikan semesta.

"Ayah... Sarah minta maaf, ampuni Sarah yah. Sarah ikhlas jika ayah menganggap Sarah sudah meninggal, tapi mohon maafkan Sarah. Setidaknya Sarah bisa bertemu ayah dan Kirana sudah cukup bagi Sarah, yah," ucap Sarah masih menangis.

"Tidak akan bisa bertemu Kirana, dia sudah menyusul ibumu beberapa hari lalu," jawab Maman ketus.

"Apaa... maksud ayah...?" tanya Sarah tampak bingung.

"Kirana meninggal tiga hari lalu, demam berdarah," ucap Maman sangat dingin, tampak sudah terbiasa kehilangan orang yang dicintai membuat hatinya sedingin salju.

Jika Kirana telah menyusul Ningrum tiga hari lalu, lantas siapa yang sedang digendong ayahnya?

Tampaknya kali ini Sarah kebingungan mendengar kabar duka dari ayahnya. Bagaimana bisa ayahnya mengatakan bahwa Kirana telah meninggal, padahal Kirana sedang digendongnya. Apapun itu, Sarah tak bisa berpikir selain Tuhan dan semesta jahat padanya. Meski dia belum kenal adiknya, tapi kehilangan ini sudah cukup rasanya bagi Sarah untuk menunjukkan rasa sayangnya sebagai kakak.

Kini dirinya harus ditinggal dua perempuan dalam keluarganya, pertama ibunya, kedua adik kecilnya. Parahnya, adiknya meninggal tiga hari lalu, tepat saat Sarah menginjakkan kakinya kembali di tanah kelahirannya. Ternyata adiknya meninggal di hari yang sama ketika Sarah pertama kali mendengar ibunya tiada dan ayahnya minggat dari rumah.

Kejam! Sungguh kejam Tuhan pada Sarah!

Apakah ini balasan yang diberikan Tuhan untuk hamba-Nya ketika sedang berusaha menyejahterakan keluarganya? Tampak tak adil sama sekali!

Teriakan histeris Sarah mendengar kabar duka dari ayahnya mengenai Kirana, tampaknya mengagetkan pembeli yang sedang menyantap hidangan mereka di warung makan. Terpaksa Bu Rohayah membangunkan Sarah. Selain karena teriakan Sarah yang terlalu memekik di telinga, kebetulan makanan yang tadi disiapkan oleh penjual telah siap disantap.

"Bu Rohayah, ayah dan adik ternyata...," ucap Sarah belum lengkap tapi berhasil diserobot di tengah jalan oleh Bu Rohayah.

"Nak Sarah tenang saja, dari tadi nak Sarah mimpi sembari menyebutkan ayah dan adik. Mereka tidak apa-apa, tidak seperti di mimpi nak Sarah. Sudah dimakan dulu, itu makanannya sudah siap. Nanti kita cari lagi setelah makan," sahut Bu Rohayah menenangkan Sarah.

"Astaghfirullah... alhamdulillah ya Allah, ternyata cuma mimpi," dalam hati Sarah mengucapkan syukur.

Apakah pengelihatan Sarah di mimpinya menunjukkan sesuatu yang nyata?

Barangkali ayahnya benar-benar menggendong adiknya dan terlihat di sekitar pasar beberapa waktu lalu. Persis seperti mimpi Sarah tadi.

Sial! Kematian ibunya serta kepergian ayah dan adiknya terlalu memenuhi otak Sarah. Tertidur lima menit saja sudah seperti menjalani kehidupan lima tahun lamanya, akibat mengetahui fakta bahwa dirinya tak dimaafkan ayahnya. Bahkan ketika tidur, Sarah tetap tak bisa tenang. Tampaknya udara panas di sekitar pasar telah mempengaruhi otak Sarah untuk memikirkan hal yang tidak-tidak. Segera saja Sarah menghabiskan seluruh nasi dan lauk di piring demi menjernihkan otaknya kembali. Tak lupa, dia juga meminum es teh manis.

Setelah Sarah dan Bu Rohayah kenyang, mereka kembali melanjutkan pencarian ayah dan adik Sarah. Mereka berdua menyusuri lorong demi lorong di Pasar Ciroyom, terus bertanya kepada siapapun yang berada di sana. Pikir Sarah mukjizat akan datang bagi hamba-Nya yang sabar dan terus berusaha, hanya itu yang dipikirkan.

Di pojok pasar, dekat toko beras, Sarah menghampiri ibu-ibu penjual sayur dan menanyakan keberadaan ayah dan adiknya. Seperti sebelumnya, Sarah selalu mengucapkan kalimat pertanyaan diikuti ciri-ciri fisik ayahnya. Sarah tahu dengan detail setiap lekukan tubuh ayahnya, dari ujung rambut hingga ujung kuku kakinya. Ternyata penjual sayur tersebut pernah menjumpai ciri yang tampaknya sama beberapa hari lalu.

Sosok pria dewasa berambut cepak ala tentara, berkumis lebat hingga menutupi lapisan mulut atas, dengan tahi lalat sebesar biji pepaya di sebelah kanan mulutnya, berkulit sawo matang agak gelap sedikit akibat sengatan matahari, bertubuh gempal, berkaki kekar, dan selalu memakai sandal warna biru laut, warna kesayangan ayahnya.

Segera saja ibu penjual sayur tersebut memberikan petunjuk cukup lengkap. Tiga hari lalu di depan lapaknya, dia sempat melihat pria tersebut menggendong anak perempuan di punggungnya, berusia sekitar tiga tahun. Entah bagaimana, penjual sayur seperti paham betul pria yang dilihatnya sangat kelelahan karena berjalan sangat pelan sembari sedikit membungkuk.

"Saya tahunya mereka berjalan ke luar pasar neng, tidak tahu ke mana setelah itu, tapi ciri yang neng sebutkan sepertinya sangat cocok dengan apa yang saya lihat tiga hari lalu," ucap ibu-ibu penjual sayur tersebut.

Sarah penasaran, tampak bersemangat seperti menemukan secercah cahaya dalam kegelapan. Dia melanjutkan rasa penasarannya.

"Kira-kira mengarah ke mana ya bu setelah keluar pasar?"

"Aduh, saya teh kurang tahu neng kalau itu, mungkin neng bisa tanya orang lain di luar pasar," jawab ibu penjual sayur seperti mengarahkan seorang detektif menuju petunjuk yang lebih jelas.

Tanpa basa-basi, Sarah menarik tangan Bu Rohayah yang sangat setia di sampingnya ke manapun Sarah bergegas keluar dari pasar sembari mengucapkan terima kasih kepada ibu penjual sayur.

Setelah berjalan ke luar pasar bersama Bu Rohayah, Sarah menyadari bahwa PR nya bertambah banyak. Pasalnya, di luar pasar tersebut lebih ramai orang daripada di dalam pasar. Hal itu membuat Sarah bingung harus mencari ke arah mana dan menanyakan kepada siapa perihal ayah dan adiknya. Seperti seorang anak yang memiliki ikatan batin kuat kepada orang tuanya, Sarah mengikuti kata hatinya untuk berjalan ke arah barat.

Tak ada yang melihat ciri yang disebutkan oleh Sarah, mungkin semuanya terfokus pada aktivitas jual beli, tak sempat memperhatikan seorang pria yang sedang menggendong anak kecil di punggungnya. Seperti ditipu rasanya, rasa kesal menyelimuti benak Sarah. Terlihat dari wajah murung setengah berkaca-kaca. Tampak tangan Bu Rohayah sigap mengelus pundak Sarah sembari mengucapkan kata-kata menenangkan, menyuruh Sarah sabar dan terus bersabar tanpa arah.

Kali ini detektif Sarah dan asisten detektif, Bu Rohayah menemui jalan buntu dalam pencarian Maman dan Kirana. Mereka memutuskan kembali ke rumah Sarah untuk beristirahat karena energi mereka sudah terkuras di belasan pasar yang dijelajahi demi dua nama, Maman dan Kirana.

Tertidur dan terlelap, begitu kira-kira kondisi Sarah selang beberapa waktu usai kembali ke rumah masa kecilnya. Bu Rohayah kembali ke gubuk sederhananya, persis di samping rumah Sarah.

Bak asa yang menolak mati, mimpi Sarah kembali menggeliat dibalik lelap tidurnya. Bertemu kembali bersama ibunya, diiringi cahaya putih bersih menyelimuti langkah ibunya. Entah mengapa kali ini ibunya sangat terlihat cantik, persis seperti kala masih gadis. Sayangnya pertemuan itu berlangsung sekejap, ibunya terburu-buru seperti harus menghadiri suatu agenda penting di nirwana.

Sebelum cahayanya meredup, wajah ibu Sarah yang sangat cantik melemparkan senyum sembari menunjuk suatu sudut. Terlihat seorang pria dan anak kecil yang sedang duduk di sebelah gundukan kecil, mungkin gundukan tanah yang tak kuat menanggung beban di dalam bumi hingga memaksa ingin keluar dari permukaan, atau mungkin itu adalah pemakaman ibunya?

Sial, betapa bodohnya Sarah menyadari mimpinya tersebut ternyata menyiratkan bahwa ibunya ingin dijenguk di makam. Sejak pertama kali mendaratkan kaki di desanya lagi, Sarah belum sempat mengunjungi makam ibunya, disibukkan dengan ayah dan adiknya yang menghilang misterius. Harus ke makam, sekarang!

Terbangun dari mimpi indahnya yang cukup mengobati kerinduan Sarah terhadap mendiang ibunya, bergegas Sarah ingin pergi ke makam ibunya. Matahari sudah mendekati waktunya untuk pulang setelah seharian bertugas, Sarah tetap bertekad menjenguk makam ibunya.

Betapa durhakanya, ibu yang melahirkan dan membesarkan Sarah tak kunjung merasakan kehadiran anaknya tersebut di tempat peristirahatan terakhirnya. Bu Rohayah yang mengetahui Sarah hendak pergi berusaha mencegah karena sebentar lagi sudah memasuki petang. Jelas tak dihiraukan Sarah, anak pertama Ningrum dan Maman ini punya kepala cukup keras, apapun akan dilakukan asal dapat memenuhi hasratnya sendiri. Dibanding mendengarkan Bu Rohayah, Sarah hanya menanyakan keberadaan makam ibunya.

Lima menit berjalan kaki dari rumahnya, kira-kira sejauh itu tempat ibunya dimakamkan. Kali ini Sarah tak mau hanya berjalan kaki, dia masih mengingat mimpinya baru saja, dan harus bersaing dengan matahari yang ingin beristirahat sebentar lagi. Lari Sarah, lari! Ibu sudah lama menanti di sana!

Sambil terengah-engah, akhirnya Sarah sampai di makam ibunya. Dia mendekatkan tubuhnya ke makam tersebut. Tertulis di sana, Ningrum Indah Lestari, 12 September 1966.

Sarah mengeluarkan air mata cukup deras kala itu, sembari membungkukkan tubuhnya dan mendekap nisan ibunya, Sarah merasa sangat rindu sekaligus bersalah. Tangisnya hanya sebentar, sekedar mencurahkan rasa sayang seumur hidup kepada ibu yang telah melahirkannya di dunia.

Sarah masih ingat pesan neneknya dulu saat kakek Sarah dimakamkan, tak boleh bersedih lama-lama, nanti kakeknya juga ikut sedih. Tiba-tiba air matanya tertahan saat itu juga. Tunggu! Kembang ini masih segar, berarti ada yang menjenguk baru-baru saja.

Penasaran, Sarah mencari juru kunci di sana. Seingatnya dulu ada Kang Ujang yang terkenal pendiam, misterius, dan cocok sebagai juru kunci makam. Itu pun jika belum ganti orang.

Berjalan mondar-mandir sambil mencari juru kunci, Sarah mulai was-was matahari segera tenggelam. Untungnya Sarah berhasil menemukan seorang bapak-bapak yang tampaknya adalah juru kunci di sana. Meski agak jauh dari posisinya berdiri, tapi masih bisa terjangkau sebelum matahari benar-benar sembunyi. Segera Sarah menghampirinya.

Sarah memegang pundak bapak-bapak yang diduganya sebagai juru kunci makam. Niatnya hanya ingin bertanya perihal orang terakhir yang mengunjungi makam ibunya.

"Pak...," ucap Sarah sembari menempelkan telapak tangan ke pundak bapak-bapak itu.

"Kuntilanak, astaghfirullah ya Allah, saya cuma menunggu makam di sini tidak mengganggu!" sahut bapak-bapak tersebut ketakutan tak berani menengok.

"Saya manusia pak, bukan setan jadi-jadian," tegas Sarah.

"Oalaaah... teehh..., mengagetkan saya saja. Kenapa teteh sudah mau maghrib masih di makam?" tanya bapak tersebut sambil menengok ke belakang, melihat wajah Sarah.

"Bapak juru kunci di sini? Saya cuma mau menanyakan kembang segar di makam keluarga saya, Ningrum Indah Lestari, siapa yang membawanya pak?" tanya Sarah kepada bapak tersebut.

"Iya teh, saya juru kunci yang baru di sini, baru tiga hari lalu. Setahu saya ketika saya mulai menjadi juru kunci di sini, di hari yang sama ada seorang bapak-bapak seumuran saya yang datang ke makam itu. Di sebelah belakang sana kan makamnya?" sambil telunjuknya menunjuk area belakang tubuh Sarah, tepat sesaat tadi ketika Sarah berdiri di samping makam ibunya.

"Iya pak betul, kok bapak hafal makamnya?" tanya Sarah dengan kebingungan.

"Tiga hari lalu, bapak-bapak yang saya ceritakan tadi duduk di samping makam itu teh. Berulang kali mengusap nisannya sambil menaburkan kembang-kembang segar yang dibawanya dua hari berturut-turut hingga kemarin. Sekitar sejam lebih bapak itu duduk di samping keluarga teteh. Dia datang bersama anak kecil, berusia lima tahun mungkin teh," jawab juru kunci tersebut.

"Haaa? Ada anak kecil yang bersamanya pak? Terus mereka pergi ke mana pak?" sahut Sarah melontarkan pertanyaan seolah bisa membangkitkan para jenazah yang sudah dikuburkan karena suaranya terlampau keras.

"Mereka tidak pergi teh, mereka justru ikut menetap di sini. Itu di sebelah sana," ujar juru kunci, lagi-lagi menunjuk arah, kali ini tampak jauh di sebelah kiri tubuh Sarah.

"Maksudnya bagaimana pak? Rumah mereka di dekat sini?" Sarah kembali bertanya kebingungan.

"Bukan teh, mereka menyusul dimakamkan di sini. Pagi tadi mereka berdua dibawa oleh sepuluh orang ke sini, entah siapa saya juga asing melihat mereka teh," jelas juru kunci.

"Tunjukkan makam mereka pak, sekarang!" sahut Sarah sembari menarik tangan juru kunci dan bergegas jalan ke arah yang ditunjuk tadi.

Akhirnya sampai juga mereka berdua ke makam yang tadi ditunjuk juru kunci.

"Kirana Asih Lestari - 23 September 1967"

"Maman Suryaman - 23 September 1967"

Kali ini dunia Sarah benar-benar runtuh. Setelah beberapa hari mencari ayah dan adiknya, ternyata Sarah hanya bertemu dengan nisan yang bertuliskan nama mereka berdua. Entah bagaimana, ayah dan adiknya menyusul ibunya di tempat yang sama. Meski belum pernah bertemu dengan Kirana, adiknya, Sarah tetap menangisi kepergian dua orang kesayangan selain ibunya yang telah mendahului.

Matahari tepat waktu untuk bersembunyi. Hitamnya malam nan pekat, turut membuat Sarah ikut bersembunyi. Dia pingsan setelah melihat dua nama di depannya. Ternyata sore tadi sebelum ke makam, Sarah diberikan petunjuk oleh ibunya sendiri mengenai keberadaan ayah dan adiknya.

Mereka bertiga sudah berkumpul mesra di nirwana yang putih dan bercahaya. Entahlah nasib Sarah setelah ini, rasa bersalah masih menyelimuti dirinya.

Rasanya dia ingin mengulang masa lalu, tak sudi mengantarkan jamu setiap pagi ke peneliti Belanda. Niat memperbaiki ekonomi keluarganya harus dibayar mahal dengan kehilangan keluarga kecil yang selalu ada untuknya, suka maupun duka.

Juru kunci masih menyimpan beberapa rahasia perihal ayah dan adiknya bisa dimakamkan di sana. Kabar burung mengatakan Maman sudah lama mengidap penyakit jantung dan memburuk seusai ditinggal Ningrum, ditambah Kirana kecil mengalami demam berdarah yang tak bisa dideteksi Maman. Hal ini mengingatkan pada bagaimana istrinya juga mengalami nasib sama, sakit parah tak terdeteksi.

Entah siapa yang bisa disalahkan, rasanya Sarah hanya ingin segera berkumpul bersama mereka bertiga. Kini ibu, ayah, dan adiknya hanya menyisakan bayangan dalam diri Sarah. Bayangan akan kenangan, bayangan akan rasa penyesalan, dan bayangan penantian yang ternyata tak sesuai harapan.

Hidup ini terlalu berengsek!

Siapapun tak bisa menahanku membenci semesta dan Tuhanku!

Ini kah balasan dari kesabaran yang dijalani hamba-Nya?

-TAMAT-

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Dibalik Topeng Kehidupan
0
0
Seorang pria sederhana dari desa, tumbuh dengan prinsip sawang sinawang yang diajarkan oleh ayahnya. Prinsip ini berarti bahwa kehidupan selalu terlihat berbeda dari sudut pandang orang lain, menjadi panduan hidup Bambang dalam menghadapi berbagai tantangan dan liku-liku kehidupan.Di tengah gemerlap kota, dia merasakan banyak hal yang sudah salah kaprah. Banyak orang yang keblinger akan kehidupan sementara di dunia, hingga tega memakan sesamanya. Namun, prinsip sawang sinawang selalu membantu Bambang melihat segala sesuatu dengan bijaksana dan penuh pengertian.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan