Sunrise 29: Flores Terguyur Sepi

5
0
Deskripsi

Tidak ada lagi Bening yang ceria dan menggunakan senyum sebagai penutup lara.

Bening yang datang hari itu, bagai orang lain. Tidak hangat.

Semua terdiam, Akshaya pun hanya bisa kembali mengeratkan rangkulan ke pundak Yada. Hingga tanpa disangka, Panca bergerak maju, tersungkur, lalu bersimpuh di kaki Bening sambil menangis.

"Pa!" Bening berdiri, meraih pundak Panca, meminta papanya untuk berhenti bersimpuh seperti itu. Rasanya sangat tidak pantas. "Jangan kayak gini, Pa. Bangun, Pa."

Seandainya Bening...

Sebagai anak pada umumnya, Bening pernah mempertanyakan status diri.

Apakah benar dia adalah anak kandung dari Panca dan Lasmaya?

Atau hanya anak pungut yang entah datang dari mana?

Bukan tanpa alasan, entah sejak kapan, Bening lupa tepatnya. Namun, yang jelas, sudah sejak lama dia merasa ada yang beda. Jika ada yang harus mengalah, itu dia. Jika ada yang harus mengerti, itu dia juga.

Mungkin, kelahirannya bukan lagi kejutan. Sehingga, bagi keluarga, keberadaannya terasa hambar. Beda dengan Pelita Arunika dan Sandiwira Triastara.

Aruni adalah anak sulung, anak pertama, anak perempuan cantik yang kelahirannya menjadi pertanda sempurnanya sebuah keluarga. Keturunan pertama lahir, dinanti banyak orang, gempita bahagianya tak lekang oleh zaman.

Sedangkan Sandi, adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, bungsu, kesayangan semua orang. Jagoan di mata Panca. Berlian di hati Lasmaya.

Bening berada di tengah. Anak perempuan kedua. Pernah curiga, jangan-jangan dulu saat dia lahir, euphoria-nya tak pernah ada.

Bening lahir saat Aruni juga masih kecil. Lalu, Sandi lahir saat Bening pun masih terlalu kerdil dalam menghadapi nasib yang terkadang usil.

Harus mengalah, harus mengerti, harus memosisikan diri sebagai kakak yang kuat, namun juga harus jadi adik yang memahami.

Bening kurang kasih sayang. Merasa kurang dicintai. Sehingga, ajakan menikah muda dari Akshaya segera terima begitu saja. Selain karena kadung cinta, Bening juga secepatnya ingin memiliki hidupnya sendiri. Tanpa rasa iri terhadap Aruni dan Sandi. Tanpa rasa sakit saat dirinya seolah tak dihargai.

Lima tahun berlalu tanpa keluarganya, Bening merasa durhaka tentu saja. Memutus tali silaturahmi. Melupakan kabar orang tua kandung dan saudara sedarahnya.

"Untung kamu PKL di Compastrip. Mas James sama Mbak Widi orangnya baik, dikasihlah cuti seminggu semudah itu. Tapi, sudah baik begini aku ikut antar kamu ke bandara, jangan lupa pulangnya bawa oleh-oleh, em?" Ezekiel merangkul pundak Yada saat ikut mengantar ke bandara.

Tanggal 19 Agustus 2022, Yada, Bening, dan Akshaya sudah siap untuk meninggalkan Pulau Flores sementara.

"Tapi, selain oleh-oleh, yang pasti satu Yada, kamu harus pulang lagi ke sini, e!" Ezekiel bersuara serius, disetujui oleh Dea yang juga sedang berdiri di samping Yada. "Ya, Mama? Kole, to?"

Bening tersenyum, menganggukkan kepala dan mengusap kepala Ezekiel, si anak dengan penguasaan bahasa yang luar biasa. Tahu bahasa Jawa meski tidak bisa mengatakannya gara-gara bergaul dengan Riki. Pandai bahasa Inggris karena keluarga papanya juga bilingual. Bisa bahasa Manggarai meski dicampur adukkan dengan bahasa Indonesia.

"Kole, Ze. Mama pasti pulang."

"Hati-hati, ya, Tante. Pulang ke Jakarta mendadak begini rasanya gimana gitu." Kali ini Dea yang mendekat, dan memeluk Bening dengan hangat. "Flores terguyur sepi nanti kalau tidak ada duet maut Ezekiel dan Yada, Tante."

Akshaya tersenyum.

Dia berdiri di samping Natha dan hanya bisa takjub melihat interaksi di antara orang-orang di sekelilingnya. Terasa hangat, rukun, dan saling menyayangi. Harus diakui, kehidupan Bening dan Yada memang terasa lebih baik di Labuan Bajo.

"Kamu yakin nggak ikut, Nath?" Pertanyaan dari Akshaya spontan mengambil perhatian semua orang. Terutama Yada yang kini terasa sudah melembut. Tidak ada lagi tatap penuh kebencian yang dia semat tatkala memandang Natha.

"Aku jaga rumah sama toko aja, ya. Sebentar lagi, kan, opening. Biar aku ajarkan kakak-kakak di sini yang gabung dan baru pernah kerja di toko baju. Nggak apa-apa, kan, aku nggak ikut?"

"Harusnya, sih, ikut. Biasanya, kan, kalian ... Yayah sama Kakak, kan, sepaket." Yada bersuara, mencibir.

"Ah, salah kamu, Da!" Natha tertawa, lalu menyeret tangan Ezekiel, dan merangkulnya. "Nah, ini baru sepaket. Orang ganteng sama orang ganteng."

"Iyo, Kae!" Ezekiel kali ini mengangguk setuju. Dia mengangkat tangan, dan tos dengan Natha. Validasi sebagai orang ganteng, harus didapatkan dari sesama laki-laki. Kalau cewek bilang ganteng, sudah biasa. Tapi kalau sesama laki-laki yang bilang, itu berarti kegantengannya sudah diakui dunia.

Beberapa menit kemudian, Bening, Akshaya, dan Yada memasuki bandara. Lalu melambaikan tangan dan meninggalkan Ezekiel, Dea, dan Natha yang kini hanya bisa memandang keluarga kecil itu dari luar dinding kaca stopsol.

"Mereka terlihat cocok sekali kalau bersama seperti itu." Dea berkata dengan lirih. Meski dia melihat Yada masih suka murung, tapi Dea merasa yang tersisa di hati anak itu pasti hanya gengsi dan ego semata. Tidak ada lagi benci dan dendam yang membumbung tinggi hingga angkasa.

"Eih, tidak. Kali ini kamu salah, Dea. Cocok sekali itu kalau formasinya begini, Pak Elbark, Bu Bening, Prayada, dan Ezekiel. Itu baru luar biasa. Keluarga good looking turun dari surga."

Natha menggelengkan kepala. Merangkul Ezekiel di sebelah kiri, dan menggandeng tangan Dea di sebelah kanan. "Yuk, pulang. Eze, nanti malam tidur di rumah ayah, ya. Temenin aku. Nanti aku minta izin ke Om Elbark. Aku jajanin yang banyak, deh, nanti."

"Oh, siap itu. Bisa diatur, Kae." Ezekiel berseru sambil menaiki mobil yang dikemudikan Natha.

Dea pun ikut ambil bagian. "Aku diajak nggak?"

Natha dan Ezekiel kompak menoleh ke belakang dan berkata, "Tidak, to. Kamu, kan, cewek!"

***

Di lain tempat, Yada mengembuskan napas. Duduk di bangku tengah, diapit oleh Bening yang duduk di window, dan Akshaya yang duduk di aisle.

Kursi kelas bisnis dan first class pesawat Garuda Indonesia tujuan Jakarta hari itu penuh, sehingga Akshaya terpaksa membeli tiket di bangku kelas ekonomi untuk keluarga tercintanya.

Ketiganya tidak banyak bicara. Hanya Bening yang bisa menempatkan diri dengan santai. Perempuan itu gelagatnya seperti biasa saja. Sehingga, siapa pun orangnya, pasti tidak akan menebak bahwa dia sedang menabung sesak yang sedari dulu berarak.

Akshaya memejamkan matanya. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman sudah di matikan, dan pesawat sudah cruising dengan stabil.

"Aku jadi inget dulu." Yada menoleh ke kanan, sedikit tersenyum saat Akshaya kembali membuka mata. Suara Yada pelan, namun entah mengapa dia ingin bercerita. "Dulu, ibu pergi nggak ada tujuan, Yah."

Bening pun kini hanya mampu terdiam, menanti celoteh Yada tentang kenangan lima tahun yang lalu di mana mereka pergi dengan luka yang tertoreh.

"Habis pergi dari rumah kita, lalu dimarah-marahin kakek nenek, ibu tanya ke aku, Yah. Yada apa nggak apa-apa kalau kita cuma berdua aja? Yada nggak apa-apa nggak punya kakek dan nenek? Yada nggak apa-apa nggak punya ayah?"

"Terus, Yada jawab apa, Nak?" Akshaya bergerak, tangannya menjulur, meraih telapak tangan Yada dan menggenggamnya dengan erat. Matanya kembali berkaca-kaca, namun dia tidak ingin menebar rapuh di atas awan.

"Aku jawab nggak apa-apa. Yang penting sama ibu. Kalau nggak salah, aku jawab gitu." Yada tertawa kecil. Tidak ada yang lucu. Justru hatinya sedang mengulang sendu.

"Terus, tahu-tahu ibu sama aku pergi ke bandara. Di Cengkareng, ibu lama diam di bangku. Aku masih inget rasanya waktu itu. Aku pingin pulang ke rumah kita, tapi aku tahu, di sana ibu nggak bahagia karena oma sama opa yang nggak berhenti benci sama kami. Tapi, aku capek banget, aku pingin main game di kamar yang Yayah bikin buat aku. Aku pingin nangis. Aku juga bingung.

"Akhirnya aku tidur di pangkuan ibu. Semalaman kita di bandara, Yah. Tidur di bangku. Terus baru besok paginya, ibu bawa aku masuk ke dalam. Waktu itu, barang bawaan kami banyak banget, Yah. Tapi, ibu kuat. Dia dorong troli sendiri. Aku capek, tapi aku tetap bantu ibu bawa beberapa barang yang bisa masuk kabin karena bagasi kami udah kelebihan."

Bening menghela napas. Kepalanya menoleh ke samping. Menebar asmara dan angkara ke luar jendela. Menatap arakan awan dan juga biru langit yang menemani sembilu di ruang masa lalunya.

"Banyak orang yang lihatin kami. Kayaknya, karena muka ibu sembab gara-gara nangis terus. Mungkin juga gara-gara aku yang malahan demam dan bikin ibu makin kesulitan selama nunggu pesawat." Yada masih menghadap Akshaya. Pemuda itu menatap dari mata ke mata, memaksa sang ayah agar tahu penderitaan lain yang pernah dirinya dan Bening alami pasca perceraian itu.

"Terus, kami pergi. Aku kira, semuanya bakalan hancur dan menakutkan. Cuma berdua sama ibu. Aku takut ibu sedih-sedih kayak di rumah. Tapi, ternyata ibu lebih kuat dari yang aku kira, Yah. Kami di Labuan Bajo sempat terlunta-lunta. Tapi hanya sebentar. Ibu bangkit, ibu ngajak aku bangkit. Ibu kuat, ibu nggak selemah yang aku kira." Yada tersenyum, menoleh kepada Akshaya dan mengusap wajah sang ayah di mana ada setitik air mata baru saja terjun bebas di sana.

"Jadi, jangan bikin ibu lemah lagi, ya, Yah. Yayah harus janji, jangan biarin ibu lama-lama di Jakarta. Ibu nggak betah. Aku juga. Jadi, kita ... sebentar aja, ya, di Jakarta. Jangan sampai seminggu." Yada mengucapkannya dengan begitu pelan, namun masih terdengar begitu menggelegar di sanubari Akshaya.

"Please, Yah." Dan kali ini, tetesan air mata itu jatuh di wajah Yada. Bukan Akshaya. "Aku takut. Aku takut pulang ke Jakarta. Aku nggak bisa lihat ibu sedih lagi. Sehari ibu sedih, bagi aku, rasanya seperti siksaan setahun. Jadi, Yah, janji, ya, Yah? Apa pun alasannya, tolong jangan bikin ibu sedih lagi. Aku nggak bisa."

Yada tak bisa membohongi hati. Ketakutan-ketakutan yang selama ini dia sembunyikan rapat-rapat, kini ia tumpahkan di depan sang ayah.

"Ya, Yah?"

"Iya."

"Pulang ke Bajo lagi cepetan, ya. Jangan lama-lama di Jakarta."

Yada sejujurnya menolak rencana ini. Namun, ketika ibunya berkata bahwa mereka harus datang untuk kebaikan bersama, Yada tidak bisa mengelak. Tidak ada yang tahu betapa anak setegar Yada ternyata memiliki ketakutan yang tak kalah sangar.

Yada takut kehidupan yang sudah membaik di Labuan Bajo, kembali hancur hanya karena keluarga yang dulu membuat hati ibunya babak belur.

"Iya, Nak." Akshaya menganggukkan kepalanya. Lalu bergerak meraih tubuh Yada, mendekap dan memeluk anak itu dengan begitu erat. "Ning."

Bening menoleh. Menatap Akshaya yang sedang menenangkan Yada agar tidak ketakutan di sana. Anak itu terisak pelan di pelukan ayahnya, dan Bening dengan bodoh hanya bisa memandangi dan menyelami.

"Sebagaimana mas yang datang lagi untuk berdamai, kamu juga, ya. Nggak harus lama-lama. Asal bisa tenang kamunya. Juga mereka. Seandainya hari ini kita ketemu dan besok kita pulang lagi ke Labuan Bajo, mas akan tetap temenin. Asal, jangan pergi sebagai nama yang menghilang. Kamu harus melapangkan dada. Ya?"

Bening pun menganggukkan kepalanya. Menatap sang mantan suami yang kini sedang mendekap Yada dengan wajah merah padam berkaca-kaca.

Bening sadar, tahu benar, semenjak kedatangan Akshaya ke Labuan Bajo, pria itu lebih sering terlihat menangis dan merana ketimbang membara dan bahagia.

Seperti sekarang, pria itu dengan mahir menangis tanpa terisak. Hanya saja, air matanya tak bisa dengan mudah disembunyikan dari Bening.

"Dan, sekali lagi, maaf. Maafin mas. Kalian melalui hari dan masa-masa yang berat gara-gara mas."

Bening tentu tidak menyetujuinya. Masa-masa berat itu ada bukan semata-mata salah Akshaya. Masa-masa itu ada sebagai bukti bahwa mereka pernah saling berkorban untuk satu sama lain.

"Seperti yang Yada bilang, Mas. Kami pernah terlunta-lunta, tapi hanya sebentar. Malahan, sepertinya kami yang membuat Mas sedih terlalu lama. Jadi, aku juga minta maaf."

Tak peduli penumpang di bangku depan atau belakang mereka mendengar, yang jelas, Bening hanya ingin semakin mempermudah jalannya menuju hati yang bahagia.

Hati yang tak lagi memendam gulana, yang membuat senyumnya tak bernyawa.

Hati yang tak lagi sembunyi dari rasa sakit hati bertubi-tubi.

"Aku sudah memaafkan masa lalu kita." Bening ingin berlapang dada seperti apa kata Akshaya.

"Terima kasih untuk semua rasa yang masih Mas simpan untuk aku dan Yada. Ke depannya, mari kita saling bekerja sama dan menghargai satu sama lain sebagai orang tua Yada. Ya?"

Di sana, di atas awan yang menyelubungi langit Jawa, Bening memberikan senyum tulus untuk Akshaya yang masih menatapnya dengan air mata berlinangan.

Sementara Yada, dengan sekuat tenaga menggigit bibir. Menyembunyikan wajah di dada sang ayah. Sebisa mungkin agar tangisnya tidak bersuara. Pelukannya dia perkuat. Tak peduli mungkin akan membuat Akshaya tidak nyaman.

Yang jelas, kali ini Yada membutuhkan perlindungan. Kali ini, Yada merasa tidak bisa melakukan semuanya sendirian.

Yada tidak mau melihat Bening terpuruk sekali lagi. Maka dari itu, ajakan Akshaya untuk kembali ke Jakarta sebenarnya cukup mengguncang jiwa.

Cukup dulu saja menderitanya, cukup dulu saja. Yada tidak mau mengulang lagi.

***

"Ibuuu!" Heksa tiba-tiba saja lepas kontrol. Begitu melihat sosok Bening dan Yada berjalan di samping Akshaya, laki-laki itu segera berlari, meraih tangan Bening, menyalami, dan menciumnya sambil menangis terisak-isak. "Ibu, ini saya Heksa, Bu."

Bening yang tentu masih ingat dengan asisten Akshaya itu hanya bisa tersenyum sambil mengusap ujung matanya yang berair.

Heksa menangis tersedu-sedu meski orang-orang di pintu kedatangan menatap mereka dengan aneh. "Mas Heksa apa kabar?"

"Baik, Bu. Saya baik." Heksa berdiri tegak sambil mengusap wajahnya dengan lengan baju. Lalu menatap Bening dengan air mata yang masih mengucur deras. "Ibu gimana? Apa kabar? Ibu ke mana, Bu? Ibu di mana?"

Akshaya menghela napas, lalu mengulurkan tangan dan menepuk pundak Heksa. "Udah, Sa. Malu, dilihatin orang."

"Siap, Mas!" Heksa berseru, lalu beralih menatap pemuda tinggi dan tampan yang berdiri di samping Bening. "Ini Yada?"

Yada mengangguk. Dia juga masih ingat dengan Heksa. Biasanya, dulu ketika Akshaya tak bisa menjemput sekolah, Heksa dengan sigap menunaikan tugas itu.

Dulu, Heksa juga sering mengantar Yada ke mana-mana kalau Akshaya sedang sibuk.

"Ya, Allah, Da. Ini Om Heksa, Da." Heksa lagi-lagi menghambur ke depan, memeluk anak itu dengan begitu erat.

Ada banyak kenangan yang tersimpan tentang Yada di ingatan Heksa. Yada yang kadang pemarah, Yada yang kadang cengeng, Yada yang kadang penurut, dan juga Yada yang kadang membangkang.

Heksa menghela napas, lalu dengan semangat menghapus air mata dan tersenyum. Dia merebut ransel di bahu Yada, lalu meraih koper yang ada di tangan Akshaya. "Ayo, kita pulang!"

Yada tertegun.

Pulang seperti apa yang dimaksud Heksa?

"Sa, kita nggak pulang." Akshaya bersuara, menghentikan langkah Heksa yang kadung bersemangat. "Tolong, antar kami ke Swiss Bel yang di Epicentrum. Yada mau jenguk neneknya di MMC Kuningan."

"Jadi, Ibu sama Yada nggak pulang ke rumah?"

Bening bisa melihat ada kesedihan yang luar biasa di mata Heksa. Sejahat itu kah dirinya?

Sejauh itu kah dirinya melangkah hingga meninggalkan orang-orang dalam rasa sedih yang tak sudah-sudah?

"Nggak, Mas. Kami jenguk mama saja."

***

Elbark terdiam di ruang mesin. Deru alkon, mesin, dan alat-alat lainnya di sana tak membuatnya risi. Sesekali keringatnya menetes, wajahnya pun lumayan kotor karena ikut bekerja bersama bas kapalnya.

Catnasze di-booking selama 4 hari 3 malam oleh Gemora Fiore lewat Compastrip. Ada 9 nama yang awalnya didaftarkan. Namun, saat hari H, ternyata penumpangnya hanya Gemore seorang.

Situasi tersebut ternyata lumayan menguntungkan. Catnasze lagi-lagi rewel dan sering terlambat berangkat dari satu pulau ke pulau lain karena ada masalah dengan mesin.

Dalam keadaan normal, tamu pasti sudah marah habis-habisan. Beruntung, tamu kali ini tampaknya sedang patah hati.

"Makin lama nggak beres makin bagus, Om, biar kita lama di laut," kata Gemora sambil melongokkan kepala ke dalam ruang mesin. Tangannya yang sebelah memegang gelas berisi wine, sedangkan tangan satunya menutup hidung. Bau bensin!

Gemora tidak suka.

"Masa doanya gitu, Mbak." Elbark terkekeh. Wajah cemongnya menoleh, lalu memberi kode agar Gemora menyingkir dari tempat itu. "Jangan ke sini, Mbak. Bau dan berisik."

"Iya banget." Gemora pun pergi, namun hanya bergeser sedikit saja dari pintu ruang mesin.

Wanita berusia 24 tahun itu berdiri di koridor kapal. Menatap laut lepas sambil menikmati wine yang menurutnya sangat nikmat.

Selama empat hari ini, semua orang meneleponnya. Mengira dia depresi hingga mampus.

Iya, Gemora akui, dia depresi. Namun, yang dia tampakkan di media sosialnya, adalah hal-hal yang luar biasa membahagiakan.

Memakai bikini seksi, bersulang dengan bule-bule yang dia temui di Pink Beach, makan di kapal dengan sajian menu bagai di resto bintang lima, memamerkan betapa nyamannya saat tidur di kabin, berendam di jacuzzi yang berada di balkon kabin, hingga pergi ke Kampung Komodo dan berenang bersama ikan paus.

Semua foto yang dia upload, tidak seperti posting-an seorang gadis yang baru saja gagal menikah.

Siapa sangka, saat dia berdiam diri di sundeck, atau melamun di haluan, dan merenung di anjungan, dia menghabiskan waktunya ditemani seorang pria bernama Elbark. Bersama pria yang dia panggil om, Gemora mencurahkan kehancuran dan kesedihannya.

Meski Elbark hanya dingin dalam menanggapi, namun entah kenapa Gemora berterima kasih banyak dengan om barunya itu. Bercerita kepada orang baru seperti Elbark, ternyata mampu sedikit meringankan penderitaan hatinya.

Di hari ke-empat ini, seharusnya mereka sudah kembali ke Labuan Bajo, namun karena kapalnya rewel, mereka masih anteng di perairan Pulau Sabolo.

Malamnya, Gemora lagi-lagi menghabiskan waktu dengan minum sambil menjelajah isi kapal. Lalu lagi-lagi melihat Elbark sedang merenung berdiam diri di sofa area haluan.

"Lagi berantem sama istri, ya, Om? Muka kusut banget dari kemarin." Gemora datang dengan membawa sebotol Henri Jayer Cros, wine yang dia ambil dari dining room.

"Sok tahu kamu." Elbark berdeham kecil. Selama empat hari ini, dia dan Gemora memang seperti bukan operator kapal dan tamunya.

"Oh, iya. Dengar-dengar Om itu duda. Orang-orang di Pulau Padar kemarin bilang Om ini duda premium Labuan Bajo. Gils!" Gemora tertawa. "Terus, kalau bukan galau karena istri. Kutebak, pasti galau karena gebetan. Kenapa? Cerita, lah, Om. Kemarin-kemarin aku yang cerita. Sekarang gantian, dong."

"Mbak Mora, jangan sok tahu."

"Emang tahu beneran, aku tahu kalau Om emang butuh tips dari sudut pandang perempuan." Gemora menatap Elbark dengan usil.

Pada akhirnya, Elbark tetap bungkam. Dia tidak semudah itu terbuka dengan orang lain.

Namun, yang terjadi kemudian adalah, Elbark mendengarkan Gemora yang bercerita tentang ibunya.

"Kalau Om lagi ngejar perempuan yang udah pernah gagal, lebih baik Om pikir-pikir lagi. Mamiku janda. Janda cantik, kaya raya. Om tahu Stephanie Jewelry? Itu punya mamiku. Mami bisnis berlian. Rumah duka Asvatama yang setara hotel bintang lima yang jual peti mati dari yang 700 ribuan sampai 1 milyar itu, yang ada di Jakarta, Surabaya, Semarang, Jogja, Bali, Medan, Balikpapan, itu juga punya mamiku.

"Yang deketin mami nggak kaleng-kaleng. Mami jadi janda karena papi ketahuan selingkuh saat aku masih SMP. Sampai sekarang mami nggak nikah lagi. Padahal papi udah mati-matian minta maaf dan berubah, papi juga sampai sekarang masih berusaha deketin mami. Sampai pernah ada salah satu pria yang tanya sama aku gimana cari cara biar bikin mami percaya dan mau buka hati. Om tahu mami bilang apa?"

Elbark tentu tidak menjawab.

"Kata mami, dia sendiri bukan karena masih cinta sama papi. Atau, karena dia gagal move on dan nggak bisa buka hati lagi. Tapi karena, lewat kesendirian itu mami ngerasa udah cukup, tenang, dan bahagia." Gemora tersenyum sembari menatap Elbark dari samping. Sementara Elbark menatap lautan yang gelap. Hanya ada bintang gemerlap di atas langit sana.

"Barangkali gebetan om itu kayak mami aku, nggak menghindar tapi susah didapetin dan demen bikin duda-duda galau, aku cuma mau bilang, maybe ... Om harus berhenti sekarang. Karena sampai kapan pun, dia nggak akan bisa menerima Om. Bukan berarti karena Om nggak baik, tapi mungkin karena menurut dia ... sendiri lebih baik."

Lalu, kali ini, perkataan Gemora seolah menampar sanubarinya keras-keras. Iya, Bening seperti apa yang dikatakan oleh Gemora. Persis!

Perempuan itu tidak pernah menghindar, tapi juga tidak mudah didapatkan.

Barangkali, benar.

Bening mencintai kesendiriannya, dan pintu itu tidak akan pernah terbuka untuk siapa-siapa.

"Cinta memang deritanya tiada akhir, Om. Tapi buat jadi terpuruk atau bahagia, keputusan ada di tangan kita sendiri sampai akhir."

"Ya, kamu benar." Elbark menoleh ke arah Gemora. Lalu beranjak dari sofa dan masuk ke kabinnya sendiri.

Namun, saat tiba di tempat tidur, Elbark mengambil ponsel dan mengirim sebuah pesan untuk Bening. Apa pun hasil akhirnya, Elbark hanya ingin berusaha sedikit lagi.

Zecharia Elbark:

Selamat malam, Mbak, hati-hati di Jakarta. Tidur yang cukup dan jangan lupa makan. Terutama, jangan lupa untuk pulang ke Labuan Bajo.

***

Keesokan harinya, Bening dan Yada menaiki mobil yang dikemudikan Akshaya. Betapa merasa asingnya Bening dan Yada dengan kota itu.

Lima tahun hidup di kota kecil, di mana tidak ada yang lebih tinggi dari bukit, dan tidak ada yang lebih rendah dari laut, datang ke Jakarta lagi rasanya begitu aneh.

Rasanya sesak, terlalu padat, dan menyilaukan.

Sepanjang jalan, billboard besar terpampang dengan berbagai iklan produk-produk glamor. Foto model terkenal Senandung Niluh Kaniraras yang sedang mengenakan gaun-gaun rancangan Flavita Slavina tampak mendominasi billboard-billboard di daerah Epicentrum Kuningan.

Bening menghela napas. Diantara rupa-rupa Jakarta, dirinya masih merasa gundah membayangkan pertemuannya dengan keluarga nanti.

Sementara itu, Yada terdiam sambil terus mencuri pandang kepada ayahnya. Semalam, dia tidur sekamar dengan Akshaya, dan Yada baru tahu bahwa Akshaya tidak nyaman tidur rebah sepenuhnya.

Saat dia terbangun tengah malam, Yada mendapati Akshaya tidur dengan posisi setengah duduk, dengan bantal begitu tinggi. Kadang, pria itu mengeluh lirih karena tubuhnya gatal-gatal, namun tangannya mengepal menahan untuk tidak menggaruk.

Penderitaan Akshaya tampak nyata di mata Yada.

Yada kini benar-benar menyesal telah melantunkan doa yang begitu jahat untuk ayahnya, yang sayang sekali, Tuhan mengabulkan doanya.

Yada kini berada di persimpangan jalan, Yada ingin ayahnya bahagia, namun juga tidak mau melihat ibunya bersedih lagi. Mungkin benar apa kata Bening, mereka tak perlu menjadi keluarga utuh untuk menjalani kehidupan yang baik.

Mungkin, permintaannya agar Akshaya menyembunyikan penyakitnya kepada Bening juga benar, agar ibunya tak lagi dibebani apa-apa.

Yada berjanji, sepulangnya nanti, dia akan membagi waktunya dengan benar. Adil untuk Akshaya, bijak untuk ibunya.

"Turun, gih," kata Akshaya kepada Bening dan Yada saat tiba di lobi MMC Kuningan.

"Yayah nggak ikut turun?" Yada protes. Takutnya, dia dibiarkan menemui kakek neneknya hanya berdua dengan Bening.

"Yayah ikut. Cuma parkirin mobil dulu. Kalian turun di sini biar nggak perlu jalan dari parkiran."

Yada terdiam patuh, lalu membuka pintu dan menggandeng tangan ibunya sambil menanti Akshaya. Perjalanan mereka menuju lantai 3 di mana ruang rawat Lasmaya berada, terasa begitu mendebarkan. Sesuai kabar, Aruni hanya mengalami luka ringan. Namun, Lasmaya masih harus dirawat karena lukanya lumayan parah setelah mobil Aruni menabrak pagar rumah orang demi menghindari anak kecil yang menyeberang jalan sembarangan.

Bening sebisa mungkin terlihat kuat dan tidak emosi.

Bahkan, ketika Akshaya ingin menggenggam tangannya, secara alamiah Bening menolak. Akshaya pun hanya tersenyum kecil, dan memutuskan untuk berjalan mendahului di depan.

"Di sini, Ning." Pria itu berhenti dan menoleh ke belakang terlebih dahulu. "Gimana? Kamu udah siap? Kalau belum, kita bisa pergi aja."

"Jangan, Mas. Ketuk aja pintunya sekarang. Aku udah siap. Biar nggak kelamaan juga, kan?" Bening tersenyum kecil. Akshaya pun mengangguk, pintu itu dia ketuk.

Saat pintu terbuka, Yada tiba-tiba bergerak, menarik tangan Bening, dan menempatkan sang ibu ke belakang punggungnya.

Di sana, wajah tua Panca muncul, menatap Akshaya dengan senyum kecil. Lalu menoleh, dan membelalakkan mata saat berserobot pandang dengan Yada.

Tangan Panca gemetar. "I ... ini ... ini ... ini apa Yada, Sha?" tanya Panca dengan suaranya yang bergetar.

Yada diam, hanya tangannya kian mengepal. Orang itu, orang tua itu, orang yang pernah menghina dan mencerca ibunya. Orang yang pernah mengusir ibunya secara tidak langsung.

"Iya, Pa. Ini Yada ... dan Bening."

Pintu kembali terbuka lebar, kali ini sosok Sandi muncul tergesa begitu mendengar kata-kata dari Akshaya.

"Ya, Tuhan! Allahu akbar! Cucuku! Cucuku!" Panca berseru. Maju ingin meraih Yada ke dalam pelukan namun anak itu justru menggerakkan tangan, enggan disentuh. "Da, ini kakek, Da. Ini Kakek Caca, Da."

Panca menangis tersedu, tapi, sama sekali tak Yada beri reaksi.

Tak ubahnya dengan Sandi, pria itu kini maju, melewati tubuh Yada, dan memeluk tubuh kakaknya dengan begitu erat. "Ya, Tuhan, Kak. Kak Bening ... Kak Bening."

Bening menghela napas. Menepuk punggung Sandi sekilas. Lalu melepaskan pelukannya sambil tersenyum kecil. "Apa kabar, San?"

Sandi menggelengkan kepala. "Kak, maafin aku, Kak. Maafin aku."

Yada ingin sekali membawa Bening pergi, namun tangan Akshaya kini meraih pundaknya, membawanya agar berdiri di depan sang ayah.

Akshaya menahannya, sekaligus memberinya kekuatan untuk menghadapi kenyataan. "Kalau nggak dihadapi, mau sampai kapan?" bisik Akshaya tepat di telinga Yada.

"Bening." Kali ini Panca yang bersuara, meraih tubuh Bening dan memeluk anak keduanya dengan tangis yang mengudara.

Kini, yang sedang tidak Bening pahami adalah, mengapa dirinya tidak merasa haru dan terusik rindu?

Mengapa rasanya biasa saja?

Tidak menakutkan, tidak juga menyenangkan.

Apalagi saat dirinya dibawa masuk ke dalam ruangan. Menatap Lasmaya yang masih terbaring lemah, juga Aruni yang berdiri di samping ranjang dengan wajah dihiasi luka-luka.

Rasanya sungguh biasa-biasa saja.

"Bening, ini mama, Ning. Bening, mama kangen." Lasmaya terisak, mengangkat tangan, meminta Bening mendekat.

Melihat Bening yang tampak terlalu tenang, Akshaya memutuskan untuk maju terlebih dahulu. Meraih tangan Lasmaya, salam, dan mencium punggung dengan santun.

Lalu, Yada yang masih dalam genggaman tangan Akshaya kini juga ambil giliran. Meraih tangan Aruni, menyalami sekilas, dan menghindar saat Aruni ingin memeluk. Lalu mendekati Lasmaya, mencium tangan neneknya, membiarkan Lasmaya menangis sambil menciumi kening dan kepalanya.

"Yada, ya Allah, Yada. Cucu nenek. Nenek kangen banget sama Yada. Nenek kangen banget sama Yada."

Yada terdiam. Berdiri lagi, menatap Lasmaya dengan mata sedingin salju.

"Nenek, cepat sembuh." Yada mengucap singkat, lalu bergeser, kembali berdiri di samping Akshaya.

Suasana sekejap terasa beku. Hanya ada isak tangis Lasmaya dan Panca yang terdengar. Sementara Bening, sama sekali tidak melirik kepada kakaknya. Tidak barang sedetik pun.

"Bening, sini, Nak. Mama rindu. Kamu apa kabar, Nak? Mama kangen. Mama kangen banget."

Aruni hanya Bening lewati, lalu Lasmaya dia salami dan dipeluk sekilas sebelum akhirnya Bening duduk di pinggir ranjang dan berkata, "Aku dan Yada baik-baik aja, Ma."

Tidak ada lagi Bening yang ceria dan menggunakan senyum sebagai penutup lara.

Bening yang datang hari itu, bagai orang lain. Tidak hangat.

Semua terdiam, Akshaya pun hanya bisa kembali mengeratkan rangkulan ke pundak Yada. Hingga tanpa disangka, Panca bergerak maju, tersungkur, lalu bersimpuh di kaki Bening sambil menangis.

"Pa!" Bening berdiri, meraih pundak Panca, meminta papanya untuk berhenti bersimpuh seperti itu. Rasanya sangat tidak pantas. "Jangan kayak gini, Pa. Bangun, Pa."

Seandainya Bening ingin balas dendam pun, dia tetap tidak ingin melihat Panca bertekuk lutut di kakinya.

"Maksud Papa apa? Kenapa Papa harus kayak gini?" Bening berseru tertahan saat Panca tak mengindahkan kata-katanya. "Berdiri, Pa. Papa mau aku ngerasain apa lagi, hm?"

Panca menggelengkan kepalanya, di otaknya kini hanya teringat dan tersadar tentang segala timpang dan kurang yang dia berikan kepada Bening sejak dulu kala.

Bening yang ia minta mengalah.

Bening yang ia minta bantuan tak henti-henti.

Bening yang ia andalkan.

Bahkan, hingga Bening yang dia manfaatkan untuk meraih uang banyak dari Akshaya dan Bening yang ia hina karena dianggap mempermalukan keluarga.

"Papa minta ampun, Ning. Papa salah. Papa salah, Ning. Papa minta maaf. Selama jadi anak papa, kamu banyak sedihnya. Kamu selalu papa minta buat ngalah. Papa nggak pernah mengerti perasaan kamu. Papa banyak bikin kamu marah. Papa sering nyakitin kamu, papa minta maaf, Ning. Tolong, tolong, maafin papa."

Kali ini, Bening tersentil.

Ketenangannya terusik. Hati rapuhnya berbicara lewat air mata. Perempuan itu mengusap wajah, lalu menoleh ke arah Yada dan tersenyum. "Mas, boleh minta tolong ajak Yada keluar? Di seberang rumah sakit ada Plaza Festival, kan? Tolong ajak Yada ke sana, ya."

"Nggak, aku nggak mau. Aku mau di sini sama Ibu." Yada bersuara, sambil menatap Panca dengan sangat tajam.

"Da, tolong ...." Bening memelas, sampai akhirnya Yada mengangguk dan patuh saja saat Akshaya membawanya keluar ruangan.

Selepas anak dan mantan suaminya pergi, Bening menghela napas. Lalu menarik pundak papanya sampai berdiri.

Bening lalu merogoh isi tasnya, mengeluarkan amplop yang berisi sejumlah uang hasil tabungannya. "Aku ke sini buat jenguk Mama. Ini mungkin nggak seberapa dibanding ... sokongan dari Sandi atau Mbak Aruni selama ini buat Mama sama Papa. Tapi ini dari aku."

Amplop itu Bening letakkan di samping tangan Lasmaya.

"Ning, jangan gini, Ning. Kami minta maaf atas kesalahan kami yang dulu, tapi tolong, Ning. Kami mengharapkan kedatangan kamu karena rindu, bukan karena uang." Aruni angkat bicara, meski suaranya hanya pelan tak berdaya.

"Anggap saja, ini bentuk kecil bakti dariku yang selama 5 tahun ini nggak pernah kasih apa-apa lagi buat Mama sama Papa." Bening tersenyum kecil, cenderung sinis sambil membuang muka ke arah tembok.

Dia lalu berdiri menatap keluarganya satu per satu tanpa melunturkan senyum. Dalam hati merapal doa, semoga apa pun yang akan keluar dari mulutnya saat ini tidak membuatnya masuk neraka sebagai anak yang durhaka.

"Insyaa Allah ... aku udah maafin Mama, Papa ... atas semuanya. Aku udah ikhlas. Aku udah berusaha menerima sejak lama. Jadi, Papa sebenarnya nggak perlu sujud di kakiku seperti tadi. Dari dulu, aku selalu merasa berdosa setiap kali aku nggak bisa mencapai standar yang kalian mau. Dari dulu, aku selalu merasa salah setiap kali ingin mengeluarkan pendapatku. Dari dulu, aku selalu merasa kerdil, setiap kali aku melakukan kesalahan-kesalahan kecil namun dibesarkan oleh Mama sama Papa. Dari dulu, aku nggak apa-apa meski diperlakukan beda mentang-mentang aku anak kedua dan nggak istimewa." Bening mengembuskan napas. Mengepalkan tangan sejenak.

"Jadi, tolong, kali ini, jangan bikin aku ngerasa lagi-lagi aku yang salah. Lagi-lagi aku yang jahat. Lagi-lagi aku yang harus menerima. Tolong, biasa aja. Aku juga minta maaf, sebagai anak, mungkin aku bukan anak yang membanggakan. Sebagai saudara, aku bukan saudara yang terbaik. Aku hanya manusia biasa. Bening Diasmara, yang sedari dulu hingga sekarang selalu biasa-biasa aja. Jadi, tolong, jangan nangis-nangis dan bikin aku ngerasa aku yang jahat sama kalian."

Bening menatap Panca. Begitu tenang, namun tajam menusuk kalbu sang papa.

"Aku lihat, Mama udah baik-baik aja. Aku nggak bisa lama-lama di Jakarta. Aku harus pulang ke rumahku sendiri sama Yada. Ini ...." Bening mengeluarkan secarik kertas yang sudah dia siapkan. Tertulis sederet nomor telepon, nomor kartu yang baru dia beli di Jakarta, bukan nomor yang biasa dia pakai selama hidup di Labuan Bajo. "Ini nomor hpku. Mulai sekarang, meski aku nggak ada sama kalian, kita bisa berbagi kabar kapan aja."

Sebelum pergi, Bening kembali mendekati Lasmaya, lalu memeluk ibunya dengan erat. Mengecup kening dan mencium tangan. "Ma, cepat sembuh, Ya. Bening akan datang lagi besok. Lusa, aku sudah harus pulang."

"Pulang ke rumah, Nak. Pulang, ya. Rumah kita sekarang udah papa balik nama jadi atas nama kamu. Rumah kita sekarang jadi milik kamu, Nak." Lasmaya merintih, menggenggam tangan Bening dengan begitu erat. Seolah tak ingin pisah.

Bening menggelengkan kepala. "Nggak perlu melakukan itu, Ma. Aku udah punya rumah sendiri sekarang. Rumahku sama Yada, hasil kerja kerasku sendiri. Rumah Mama sama Papa, selamanya akan jadi rumah kalian. Aku nggak ada hak."

"Ning, tolong, gimana caranya biar keluarga kita bisa berkumpul lagi, Ning?" Panca maju, memeluk putri keduanya dari belakang. Sementara Sandi dan Aruni hanya bisa berdiam diri dengan air mata berlinangan.

Bening yang sekarang memang tampak lebih sehat dan terawat. Namun, benar-benar berjarak, seperti bukan seorang kakak dan seorang adik bagi Sandi serta Aruni.

"Nggak gimana-gimana, Pa. Tugas Papa sebagai orang tua sudah tuntas saat Papa kasih restu buat Mas Akshaya. Meski rumah tanggaku nggak berjalan sempurna, tapi aku merasa sudah sangat sempurna dengan kehidupanku sama Yada yang sekarang. Jadi, kalian jangan khawatir. Aku bahagia. Dan tolong ... sekali lagi, jangan larang aku buat bahagia, ya?"

Bening membalikkan tubuh, membalas pelukan papanya, lalu berkata, "Kita jalani kehidupan masing-masing, ya, Pa. Dengan baik. Anakmu ini sekarang jadi perantau, jadi tolong kali ini aku minta dipahami dan dimengerti. Jangan suruh dan paksa aku untuk pulang, ya. Aku sudah punya rumah ... rumah yang bikin aku bahagia."

 

***See You Next Chapter***


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Sunrise 30: Flores Terbalut Resah
9
0
Aruni mengambil amplop dari tas selempangnya. Lalu, meletakannya di atas meja dan mendorongnya hingga mendekat ke tangan Yada. Tolong diterima, Da. Tante tahu pertanggung jawaban apa pun nggak akan mampu mengulang waktu dan memperbaiki segalanya. Tapi, tolong diterima, ya. Tante ingin gantian berguna untuk ibu kamu, Da.Yada menunduk, meraih amplop dan membukanya dengan cepat. Buku tabungan sama ATM?Aruni mengangguk sambil tersenyum tulus. Itu buku tabungan dan ATM buat kamu, Da. Tante pernah masuk kamar ibu dan nggak sengaja lihat buku catatan kamu saat masih SD. Yada bilang cita-citanya ingin jadi pilot. Dengan uang yang ada di tabungan itu, tante ingin bantu kamu mewujudkan cita-cita itu, Da. Tante ingin memulai kehidupan tante yang baru sambil berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi.Gaji Tante sebagai dokter emang berapa? Banyak? Yada masih ingat, Aruni dipuja-puja karena profesinya yang mulia. Sedangkan ibunya, dipuji-puji karena menjadi istri Akshaya.Aruni tertawa kecil. Keponakannya memang di luar prediksi. Banyak, Da. Sangat banyak untuk tante yang akan hidup sendiri sampai tua nanti.Karena nasibnya yang tak akan mungkin memiliki putra, Aruni ingin menebus segalanya dengan cara mendukung semua kebutuhan Yada.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan