
Akshaya yang sedang merapatkan selimut bergerak, sedikit membuka mata dan sekejap kaget saat melihat Bening ada di luar mobilnya. Pria itu bergerak duduk, lalu membuka kaca mobil di samping jok penumpang agar bisa melihat wajah Bening dengan lebih jelas.
"Kamu belum tidur, Ning?"
Bening diam tidak menjawab, dan seolah tahu apa yang dirasakan oleh Bening, Akshaya menghela napas.
"Maaf, Ning. Kalau keberadaan mas di sini setiap malam bikin kamu risi, mas minta maaf. Tapi ...." Akshaya mengepalkan tangan,...
Dea menyangga kepalanya dengan kedua tangan. Sementara matanya sibuk mengamati Natha yang sedang gesit mengatur ini itu untuk acara pengajian besok malam.
"Ketahuan Yada kamu tatap itu orang terus menerus, makin benci nanti anak itu sama Kak Natha." Ezekiel, baru keluar dari goa. Anak itu menjadi lebih bersih. Tidak terlihat kucel seperti kemarin-kemarin.
"Memang kenapa?"
"Cemburu lah, Bodoh!" Tangan Ezekiel melayang, mendorong kepala Dea dengan keras dari belakang.
"Eze! Lae!" Dea memekik kesal. "Baru turun gunung sudah bikin masalah!"
"Eits, Maipa Deapati, tidak boleh bicara kotor!" Ezekiel menatap Dea dengan begitu puas. Wajah anak itu terlihat menyebalkan sekali. Sedangkan mulutnya rajin sekali memamah biak jajanan yang dia beli di Dennys Mart.
Dua anak itu memang sedang duduk di samping Benaya Bajoo. Menikmati semilir angin yang lumayan kencang namun tetap terik di bangku yang dilengkapi dengan meja berpayung.
"Tapi, aku serius, Dea. Yada suka sama kamu. Jangan berani-beraninya kamu naksir sama kakaknya. Nanti, Flores terbelah tiga, Dea. Paham, to?"
Dea mencibir. Lalu merebut Taro yang sedang dipegang Ezekiel. "Siapa yang naksir Kak Natha? Aku cuma lagi lihatin, Kak Natha itu maco sekali. Kayaknya, predikat cowok terganteng se-Labuan Bajo yang dipegang Bang Stuart dan Pak Elbark bakalan tergeser sama Kak Natha. Kamu lihat itu, to, Ze?" Dea kembali menyamankan duduk, lalu mengarahkan telunjuknya ke arah depan di mana Natha berada.
"Putih, bersih, rambutnya keren, otot lengannya luar biasa. Jakunnya sama lesung pipinya mengandung kamehameha. Jangan-jangan perutnya Kak Natha juga kotak-kotak. Sudah begitu, tersenyum terus. Ramah sekali orangnya. Dan ... pekerja keras. Aku yakin, 5-10 tahun lagi, Kak Natha bakalan jadi pengusaha sukses di sini."
Ezekiel memutar bola matanya. "Sukses apanya? Kacung begitu, Dea."
"Apa kamu bilang tadi?" Lagi-lagi Dea tidak habis pikir, Ezekiel ini mulutnya sebelas dua belas dengan Yada. Sama-sama suka mengandung cabai setan satu kilo. "Kacung?"
"Iya, lah. Kamu punya mata lihat, to? Di mana ayah Yada dan Yada? Toe manga! Hanya itu orang saja yang sedari kemarin heboh kerja sendiri. Apalagi namanya kalau dia ada di dunia Yada untuk jadi kacung saja? Beuh, jangan mimpi dia bisa geser nama papaku dari tahta cowok terganteng dan terkaya di sini."
"Halah, sombong! Tercium dirjen pajak baru tahu rasa!"
"Buat apa tahu rasa? Papaku taat pajak, Dea. Memangnya ka ...."
"Kalian mau bakso nggak?"
Ucapan Ezekiel terhenti, dia dan Dea lantas menoleh, mendapati Natha kini sudah duduk di depan mereka sambil mengipasi wajah.
"Panas banget di Labuan Bajo. Tapi, aku baru tahu kalau di sini mayoritas orangnya justru kulitnya sawo matang dan putih. Yang hitam-hitam dikit aja."
"Orang Flores, kan, banyak yang asal muasalnya keturunan Portugis. Masyarakat sini, campuran etnis, Kak. Melayu, Melanesia, Portugis. Jadi, suka salah kalau orang berpikir orang NTT pasti hitam-hitam. Suka bilang orang NTT galak. Jahat lagi. Ya, memang ada yang hitam. Ada yang putih. Ada yang baik ada juga yang jahat. Tapi semua kota di Indonesia juga begitu, kan? Memang di Jakarta semua orang putih dan baik?" Ezekiel membalas dengan sedikit sinis.
Sementara Natha hanya tertawa, memang benar kata pepatah. Orang baik akan dipertemukan dengan orang baik. Orang judes akan dipertemukan dengan orang judes, seperti Yada dan Ezekiel. "Aku, kan, nggak tahu. Lagian, bentar lagi aku juga jadi orang Manggarai Barat, nih."
"Ih, masa?" Dea memekik tak percaya. "Kak Natha nggak akan balik ke Jakarta?"
Natha menggelengkan kepala. "Ibu sama Yada sepertinya nggak bakalan balik ke Jakarta, itu artinya, ayah juga. Jadi, aku juga nggak bakalan balik ke Jakarta."
"Padahal, pulang saja, to? Biar di sini tidak ganggu Yada sama ayahnya ... aw, Lae!" Ezekiel berteriak kencang saat Dea menginjak kakinya.
Melihatnya, Natha justru tertawa. Dia tidak sakit hati. Sudah biasa. Hanya perlu beradaptasi sebentar, dia pasti bisa menjadi bagian dari kehangatan di antara Yada, Dea, dan Ezekiel nantinya.
"Besok malam, datang ke sini, ya. Mau ada syukuran. Kalau ada waktu, kapan-kapan, kita jalan-jalan berempat, ya." Natha tersenyum.
Dea juga balas tersenyum. Sementara Ezekiel hanya bergumam sambil mengangkat kedua kakinya ke atas kursi, duduk mengangkang sambil menikmati jajannya dan bertanya, "Jadi nawarin bakso tidak?"
Natha tertawa. Sungguh, tinggal di Labuan Bajo dan meniti kehidupan baru di kota itu, adalah salah satu hal yang paling manis yang terjadi di hidupnya.
Natha mengangguk, mengiyakan pertanyaan Ezekiel, seperti dia yang mengiyakan pernyataan hatinya. Segala apa yang terjadi di Jakarta, segala apa yang ia lalui di Jakarta, akan ia kubur di sini. Bersama Yada, bersama orang tuanya, bersama keluarga barunya ... termasuk Ezekiel dan Dea.
***
Yada bungkam menatap ke depan.
Mungkin, dunia baru saja damai. Ayah dan ibunya tampak rukun. Tidak, tidak serukun itu. Tapi, keduanya kini bahkan sedang berjalan dengan santai membelah Pasar Wae Kesambi. Pasar rakyat yang berada di Desa Batu Cermin. Salah satu pasar tradisional terbesar di Labuan Bajo.
Akshaya menawarkan diri menemani Bening belanja kebutuhan di warung dan rumah. Pria yang kini berkeringat banyak itu tampaknya masih betah memaksakan diri. Meski, Yada yakin, Akshaya mungkin sudah lelah.
Yada maju, mencolek lengan Akshaya dan mengulurkan tangan.
"Kenapa, Nak?" Akshaya menoleh ke belakang. Membiarkan Bening yang sedang membeli sayuran sibuk dengan acara tawar menawarnya.
"Sini, itu biar aku yang bawa." Yada menunjuk tiga kantong plastik yang ada di tangan Akshaya.
"Nggak apa-apa, ini biar yayah yang baw ...."
"Sini, biar yayah nggak berat elah! Batu banget." Yada meraih tangan Akshaya, lalu merebut kantong-kantong itu dengan sedikit kesal.
Akshaya tersenyum gemas. Yada menyayanginya, dia tahu itu. Hanya saja, Yada memang malas memperlihatkannya dengan terang-terangan. "Terima kasih, Yadanya yayah."
"Najis." Yada melengos. Sementara Bening menoleh ke belakang dengan mata terbelalak.
"Mulutnya, siapa yang ngajarin coba?"
Yada diam saja. Tapi, anak itu menatap Akshaya yang kini tersenyum dengan begitu hangat sambil terus menatap Bening. Dasar, budak cinta!
"Minta maaf sama yayah, nggak boleh gitu ngomongnya, lho." Bening melotot. Tapi demi apa, di mata Yada Bening tetap cantik. Apalagi di mata Akshaya.
"Maaf, Yah."
"Iya, nggak apa-apa." Nyatanya, mata Akshaya tetap tertuju kepada Bening.
"Mas, habis ini pulang, ya. Kamu nggak perlu nganterin aku ke mana-mana lagi. Istirahat di rumah, besok, kan mau ada acara. Semalam apalagi, kamu nggak tidur. Muka udah pucat gitu."
Bening kini balas menatap Akshaya yang sedang tersenyum ke arahnya. "Jangan senyum-senyum nggak jelas, Mas. Serem."
Akshaya tertawa. Pria itu kembali menunduk, membantu memilih bahan pangan yang segar dan mulus untuk Bening dan putranya.
"Kalian harus banyak-banyak makan yang sehat, ya. Beli makanan yang bergizi dan segar-segar. Yada jangan kebanyakan jajan. Pokoknya, harus lebih sering makan di rumah daripada makan di luar. Nemenin ibu, ya, Da. Kalau perlu ...." Akshaya kembali tegak. Dia berbalik, menatap Bening dan Yada bergantian sambil tersenyum. "Kalau perlu, pagi, siang, malam, Yada makan berdua terus sama ibu."
Yada menatap Akshaya dengan begitu tajam. Namun kaca-kaca di matanya tampak begitu rapuh. Pecah saat anak itu memutuskan untuk berpaling, dan berjalan menjauhi kedua orang tuanya.
Yada gontai membelah pasar. Sementara hatinya teriris nestapa sampai gusar.
Segalanya tentang Akshaya, dia tak pernah suka. Termasuk kini, kepasrahan dan kelemahan yang ayahnya punya, Yada juga tidak menyukainya. Benci membuatnya buta. Yada membenci perasaan takut bagaimana, apabila dia tidak bisa menemukan Akshaya lagi di mana-mana.
Dan Yada takut, nantinya Bening akan merasakan hal yang sama. Takut tidak pernah ditemukan dan menemukan Akshaya lagi di dunia. Karena ... belum apa-apa, rasanya sudah sakit.
***
Senin, 8 Agustus 2022.
Selepas Isya, beberapa petinggi agama dan pemangku adat datang ke Benaya Bajoo. Ada juga beberapa tamu undangan, terutama warga dan pengurus desa di lingkungan sekitar. Tempat itu ramai, di luar bangku-bangku dijejer rapi untuk tamu-tamu yang non muslim.
Sementara di dalam, sedang diadakan pengajian. Ada Yada, Bening, Lesmana dan istrinya, Erza dan istrinya, juga kenalan-kenalan lain yang ikut membaca doa.
Setelah pengajian selesai, dilanjutkan dengan acara adat untuk menjunjung tinggi nilai tradisi di bumi di mana Akshaya memijakkan langkah barunya.
Sementara di luar, Elbark terdiam. Meski di sekitarnya banyak orang yang sedang berbincang dan bersenda gurau sambil menikmati berbagai hidangan yang sudah disediakan, pria itu bergeming dan hanya tertunduk saat mendengar lantunan doa dari dalam ruangan.
"Papa cari mati memang." Ezekiel datang sambil membawa sepiring nasi dan dua potong ayam bakar. "Saingan adakan pesta, Papa datang."
Anak itu duduk di samping Elbark, lalu menikmati makanannya tanpa peduli hati papanya yang sedang digulung sendu.
"Dengar doanya beda saja sakit, to? Papa mana bisa ikut berdoa seperti mereka. Makanya, tidak usah datang. Aku saja yang wakilkan, kan, cukup."
"Ngomong apa, sih, kamu, Ze?" Elbark tersenyum kecil, sambil mengusap kepala putra semata wayangnya. "Kamu tapi ada benarnya juga. Seharusnya papa tidak datang. Malu sekali papa ini, e."
"Tuh, kan? Benar apa kataku."
"Malu sekali, Ezekiel datang ke sini hanya numpang makan. Sudah begitu makannya banyak sekali. Papa malu dilihatin orang-orang. Dikira papa tidak pernah kasih makan Ezekiel di rumah." Elbark menggerakkan dagunya ke depan. Sementara orang-orang yang memang sudah mengamati keduanya dari tadi hanya bisa tertawa melihat tingkah Ezekiel.
"Papa, kata orang Islam, buang-buang makanan itu hukumnya haram. Ini aku sedang bantu Om Akshaya untuk tidak buang-buang makanan. Anak baik aku, to?" Ezekiel masa bodoh. Tetap makan meski sebelum itu dia juga sudah menikmati mungkin tiga piring sajian lainnya.
Memang ugal-ugalan syukuran Benaya Bajoo ini. Mengalahkan enaknya makanan di pesta nikahan anaknya Haji Naim tahun lalu.
"Kamu, sih, bukan baik. Tapi rakus." Salah satu teman yang juga ikutan datang dan duduk tepat di belakang Ezekiel bersuara. Tidak peduli kepada Elbark. Semua orang juga tahu, Ezekiel memang kadang dijadikan badut di Labuan Bajo.
"Eih, kamu tidak diajak, Dus!" Ezekiel balas mencibir kepada Ronaldus.
Semua yang datang diberi bingkisan berupa satu set handuk cantik yang di-packing dengan begitu estetik untuk sekeluarga. Satu per satu tamu mulai pulang. Ezekiel bahkan sudah lebih dulu pergi dengan Riki karena ngantuk dan kekenyangan.
Tinggallah Elbark yang masih duduk di luar bersama Erza. Bahkan Yada dan Bening pun sudah pamit begitu pengajian selesai.
"Menurut Mas Erza, Pak Akshaya mau bicara apa sama saya, ya?" Elbark bertanya serius.
"Saya juga nggak tahu, Mas." Erza mengangkat bahu. "Mungkin bisnis, mungkin juga ... perkara Buya?"
Elbark mengernyit tak paham. Dia tidak suka dengan situasi seperti ini. Terombang-ambing rasa penasaran. Dianggap sedang berkompetisi padahal tidak. Tapi dibilang cemburu, hatinya bilang iya.
"Kondisinya juga bisa jadi ada pengaruh, Mas. Saya lihat, Pak Akshaya malam ini lesu sekali. Terlihat dipaksakan untuk baik-baik saja."
Elbark nyaris menjawab, manakala Akshaya muncul dan berkata, "Maaf, saya sudah membuat Pak Elbark dan Pak Erza nunggu. Kita ... boleh bicara di atas?"
Erza dan Elbark saling lempar pandang, kemudian menganggukkan kepala.
***
Akshaya menghela napas. Menutup pintu pantry agar nanti pembicaraan di antara dirinya serta Elbark dan Erza tidak didengar oleh Natha dan beberapa pekerja yang sedang berbenah.
"Sebenarnya, ini bukan waktu yang tepat. Tapi, saya ... sudah belajar untuk nggak menunda-nunda urusan lagi, Pak." Akshaya duduk. Berseberangan dengan Elbark dan Erza.
"Pak Elbark dan Pak Erza, sudah tahu kondisi saya, ya?"
Elbark berdeham sejenak dan meletakkan kedua tangannya ke atas meja. "Sebagaimana Pak Aksha yang nggak mau menunda urusan, saya sepertinya juga bukan orang yang suka dengan pembicaraan yang berbelit-belit, Pak. Maaf."
Akshaya tersenyum. Menganggukkan kepala sebab maklum. "Saya ... ingin meminta bantuan, mungkin juga, ini akan merepotkan Pak Elbark dan Pak Erza."
Pria berwajah pucat itu tampak ikhlas dan tenang di mata Erza. Gerak-geriknya begitu lamban, namun terlihat tanpa beban.
"Saya tahu, saya bukan siapa-siapa. Saya hanya orang baru yang secara tiba-tiba datang, mungkin saya juga orang yang nggak tahu diri karena saya dengar dari beberapa orang, kedatangan saya membuat Pak Elbark harus mundur dari Bening."
"Pak Aksha, tolong, ini hanya salah paham. Saya nggak ada masalah sama sekali dengan kedatangan Pak Aksha."
"Pak, saya hanya ingin memastikan suatu hal." Akshaya menghela napas. Pandangannya sekejap berbayang dan nanar. Namun, demi menuntaskan apa yang ia emban, ia harus bertahan, bukan?
"Pak Elbark apa benar mencintai Bening dengan tulus? Lengkap dengan Yada yang ada bersama Bening?"
Erza berdeham kecil. Dia kini tahu ke mana arahnya, namun masih kurang paham mengapa dia harus disertakan dalam pertemuan ini. Tentu, pasti ada maksud dan tujuan lain.
"Pak Aksha, apa maksudnya?" Elbark tampak kurang nyaman. Namun, pria itu juga berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang.
"Saya ingin memastikan ... kalau memang Pak Elbark benar-benar mengasihi Bening dengan tulus, entah nanti ke depannya mau seperti apa, yang jelas, saya berharap Pak Elbark adalah orang yang tepat untuk saya titipi masa depan Yada." Akshaya lagi-lagi tersenyum. Pria itu lantas mengambil map di tas yang sudah dia siapkan sejak tadi. Lalu meletakannya di atas meja.
"Saya sakit parah, dan saya ... sadar, tubuh saya mulai memberontak dan sering melawan. Sedangkan, perjalanan Yada dan Bening masih panjang. Mereka nggak punya siapa-siapa di kota ini, mereka nggak ada wali, juga nggak ada keluarga. Selama lima tahun ini, Bening hanya memiliki Yada, begitu juga sebaliknya." Akshaya terhenti, mengepalkan tangan, dan terbatuk kecil.
"Saya ... datang bukan untuk memaksa Bening rujuk, meskipun itu adalah impian terbesar saya buat bisa kumpul lagi sama mereka."
Elbark dan Erza hanya bisa terdiam menunggu.
Hati kedua pria itu kini bagai tercabik-cabik menatap bagaimana Akshaya bahkan mulai kesulitan menutupi keadaannya. Mata Akshaya berembun, sedangkan wajahnya memucat begitu parah.
"Saya nggak mungkin menitipkan ini kepada Natha, karena dia juga masih sama perlu dibimbingnya seperti Yada. Saya juga nggak mungkin menitipkan ini kepada orang tua Bening di Jakarta. Saya perlu orang-orang yang benar-benar mengasihi Bening dan Yada, yang bisa saya limpahi ini, Pak."
Akshaya membuka map. Lalu mengeluarkan beberapa surat kuasa. "Saya ada beberapa aset rumah dan tanah di Jakarta yang sedang saya proses jual. Nilainya bisa mencapai, puluhan milyar. Sebentar lagi, setelah semua aset saya diuangkan, saya butuh Pak Elbark untuk bantu mengelola. Saya ... ingin beli tanah di sekitar Bukit Sylvia atau Bukit Plataran yang layak bangun, yang nantinya bisa buat rumah Yada di masa depan sama keluarganya, yang bisa memudahkan Yada lihat fajar dan senja. Juga, saya ingin cari tanah di dalam kota untuk Bening."
Erza menoleh kepada Elbark, yang kini terpaku menatap Akshaya tanpa jeda.
"Saya, sudah cari info. Tapi semua tanah di sana rata-rata sudah dipatoki keterangan kepemilikan. Saya minta tolong bantuannya, ya, Pak El. Seandainya, saya mati sebelum tanah di bukit itu ada, saya mohon tolong, tolong bantu uruskan itu demi Yada."
Akshaya menunduk, meneteskan air mata, ingin menutupinya dari Elbark dan Erza. Namun tak kuasa.
"Kenapa harus saya, Pak? Lakukan itu sendiri kalau memang Pak Aksha benar-benar mencintai dan menyayangi Yada dan Bening. Saya bukan siapa-siapa. Saya nggak berhak diamanati hal yang sedemikian krusialnya." Elbark bersuara dengan tegas. Tidak, ia sama sekali tidak bahagia di atas keputus asaan Akshaya terhadap kondisinya.
Elbark tidak akan bahagia meski Akshaya tinggal nama.
Elbark juga tidak akan melambung ke atas awan hanya karena Akshaya mulai pesimis dan menyerah perlahan.
"Proses kepindahan saya, dan birokrasi legalitas Benaya, dan hal-hal yang memerlukan proses balik tangan lainnya agak sulit dan lama, Pak El. Saya takut udah nggak ada waktu sebelum itu semua kelar. Jadi, sebab ini saya merasa Pak Elbark adalah orang yang tepat untuk melindungi dan menjaga Yada serta ibunya." Akshaya menatap Elbark dengan tenang. "Pak Elbark, sayang sama Bening, kan?"
Elbark mengepalkan tangan. Sejenak merasa perlu berdusta, namun dia bukan tipe pria yang suka menutupi fakta.
"Iya, saya sayang dan mencintai Bening."
Erza bahkan ikut was-was, Elbark begitu tegas. Sedangkan Akshaya terlihat lemas.
"Saya menaruh perasaan saya sungguh-sungguh untuk Bening sejak beberapa tahun yang lalu. Saya kejar dia. Saya selalu berusaha ada untuk Bening dan Yada. Pak Aksha benar, saya sayang sekali sama Bening."
Meski sakit, Akshaya hanya bisa tersenyum. Elbark mungkin memang orang yang benar-benar tepat untuk mengemban tugas darinya.
"Maka dari itu, tolong bantu saya untuk memastikan masa depan Yada dan Bening, ya, Pak? Ke depannya, saya hanya bisa menjamin mereka dengan harta, bukan dengan waktu dan keberadaan saya. Ruko yang ditempati Bening sudah saya lunasi dengan Mas Lesmana langsung. Namun, tolong jangan beri tahu Bening, uang yang akan dia cicil setiap bulannya akan menjadi tabungan untuk mereka. Tolong Pak Erza dan Pak Elbark bantu simpan dokumen ini. Kalau waktunya, tepat, suatu saat, apa yang sempat saya tinggalkan, dan masih bisa saya jelaskan, akan saya utarakan langsung kepada Bening dan Yada."
Elbark terdiam. Merasa Akshaya sedang melimpahi wasiat.
Sementara Erza hanya bisa bersyukur dalam hati, bahwa percintaan dan tali kasihnya dengan sang istri, tak serumit dan setragis dengan kisah milik kedua pria yang ada di dekatnya.
"Mobil, rumah saya yang di kompleks depan bandara, semua akan menjadi milik Bening dan Yada. Tapi, saya tahu siapa mantan istri saya. Bening nggak akan menerima semua ini begitu saja. Maka dari itu, sampai pada waktunya dia nggak bisa dan nggak akan menolak, tolong bantu saya menyimpan semua ini, Pak El."
Elbark menghela napas. Menatap Akshaya dari mata ke mata. Menantang sebuah keikhlasan yang baru saja diajarkan oleh Akshaya. Elbark kini sadar, cintanya kepada Bening, mungkin belum seberapa besar dibanding rasa yang dimiliki Akshaya.
Pria itu sudah berpikir jauh ke depan. Mendahului waktu, merencanakan masa depan untuk kedua orang yang sama-sama mereka sayang.
"Kalau sekiranya Pak Elbark bersedia membantu saya demi Yada dan Bening, secepatnya kita bisa bertemu pengacara dan notaris untuk melegalkan segala tindakan di masa mendatang. Pak Erza, tolong jadi saksi, ya?"
Entahlah, sekarang gantian Erza yang bahkan terlalu gamang dengan posisinya kali ini. Dia senang menjadi orang yang serba tahu, namun saat ia mengetahui kejadian ini, entah kenapa, tak ada bangga, justru hatinya ikut berjelaga.
***
Bening mengusap kepala Yada dengan lembut. Putranya tidur dengan begitu pulas. Mungkin lelah sekali menjadi Yada selama ini. Bening sadar, dia adalah orang yang memiliki andil besar dalam penderitaan putranya.
Kini, melihat Yada yang begitu tegar menghadapi dunia, sedikit merobek hatinya. Yada terlalu dini untuk semua patah hati yang mereka lalui.
Dikecupnya kening Yada begitu lama. "Ibu sayang sekali sama Yada."
Hanya dengkur halus yang Yada beri sebagai jawaban. Anak itu masih tetap lelap meski Bening bergerak bangkit dari kasur tanpa dipan dan berjalan membuka balkon.
Bulan Agustus di Labuan Bajo, sedikit berangin. Namun, tatkala ia menatap ke bawah dan lagi-lagi mendapati mobil Akshaya terparkir di depan warung, kini kepalanya yang mulai berangan.
***
"Ning, peluk." Akshaya berkata pada malam itu. Beberapa bulan sebelum mereka berpisah.
Bening tersenyum, dia melebarkan tangan, dan menyambut kehadiran Akshaya di ranjang sambil tersenyum kecil. "Capek banget, ya, hari ini?"
Akshaya mengangguk. Pria itu meraih tubuh Bening, lalu membenamkan kepalanya di dekapan sang istri. Akshaya suka posisi ini. Dipeluk, didekap. Dia menjadi merasa diinginkan dan dilindungi. Merasa memiliki rumah yang sebenarnya, dan juga mempunyai hati untuknya membagi dunia.
Akshaya merasa akhirnya punya orang yang menyayanginya dengan tulus di dunia ini. "Mas bersyukur banget kamu ada di hidup mas, Ning. Makasih, ya."
Bening mengangguk kecil. Keduanya berbaring di kasur. Bening yang mendekap Akshaya, Akshaya yang bersandar di ceruk leher Bening. Tangan Bening bergerak, mengusap kepala dan rambut suaminya dengan sayang.
Terkadang menepuk-nepuk punggung, menguatkan Akshaya yang terlihat ringkih atas segala permasalahan yang ada. "Kamu ... apa nggak capek, Mas?"
Akshaya memejamkan mata, mengeratkan pelukannya ke tubuh Bening. Semakin membenamkan wajah, menikmati wangi tubuh istrinya sebagai penawar racun yang kini mulai menggerayangi jiwa dan tubuhnya. "Kalau bilang nggak, mas bohong. Tapi, mas nggak apa-apa. Selama kamu ada di sini buat mendekap mas kayak gini, mas bahagia."
"Bahagia dan hidup tenang, datangnya satu paket nggak, Mas?" Bening menggigit bibirnya, berusaha keras agar tak salah bicara.
"Seharusnya iya."
"Apa keduanya sudah Mas rasakan?"
Akshaya menghela napas. "Kamu selalu pintar mencari cara agar mas mau cerita. Benar, Ning. Seharusnya bahagia dan hidup tenang adalah hal yang datang bersamaan. Tapi, mas nggak mau serakah. Untuk saat ini, mas hanya ingin bersyukur udah dikasih rejeki ditemenin hidup sama orang yang seberharga kamu dan Yada."
Bening juga mengeratkan dekapannya terhadap Akshaya. Demi Tuhan, dia sangat mengasihi pria malang ini. Menjadi istri dari Akshaya Bhanu Anggada adalah sebuah anugerah yang tak terperi.
Pria ini begitu mengalah, namun juga bersemangat dalam segala hal dulu. Namun, yang akhir-akhir ini Bening lihat, adalah sorot mata penuh penderitaan dan kelelahan.
Wajah bahagia yang suaminya pancarkan, datang bersama muram yang membuat keyakinan Bening tenggelam.
Akshaya menderita. Bening tahu itu.
"Mas, udah tidur?"
Akshaya tidak menjawab. Pria itu sudah jatuh, pergi entah ke mana di alam bawah sadar. Perlahan, Bening bangkit. Menatap wajah letih Akshaya sejenak, lalu mencium bibir suaminya dengan begitu lembut.
Setelahnya Bening berjalan meninggalkan kamar. Meraih sebuah map yang datang tadi siang bersama Helma dan pengacaranya.
Wanita itu membawanya ke teras belakang rumah. Di bawah lampu temaram dan gemericik air kolam ikan peliharaan Yada, Bening meneteskan air mata.
"Tanda tangani saja, Ning. Akshaya sudah tanda tangan duluan," kata Helma tadi siang. "Akshaya sudah memutuskan untuk setuju menikahi Lilian. Mau bagaimana pun juga, dia memang sedang butuh bantuan. Yang kamu ... mustahil bisa berikan."
Bening menunduk. Tangannya dengan gemetar meraih salah satu surat yang ada di dalam map. Surat gugatan cerai dari Akshaya.
"Akshaya sedang menanggung banyak beban. Pabriknya terbakar, pegawainya meninggal. Kerugiannya nggak main-main. Ini adalah solusi terbaik. Kalau kamu nggak mau cerai, kamu bisa tanda tangani surat yang satunya, persetujuan poligami. Akshaya mungkin belum bilang sama kamu, atau nggak tega. Tapi, dia melakukan ini juga demi kamu dan Yada. Lagian, kamu juga sudah hidup enak sama Akshaya. Mama rasa, kamu jangan terlalu egois, lah."
Perkataan Helma, tidak main-main dalam mencabik isi hatinya. Lebur tak bersisa. Awalnya, Bening ragu. Tanda tangan bisa dipalsukan, tapi saat melihat bentuknya, tanda tangan itu begitu luwes. Belum lagi, ada rekaman suara di mana Akshaya memang setuju menikahi Lilian dengan tujuan diberi bantuan finansial oleh Brama.
"Kamu itu selama ini jadi istri juga gunanya apa. Cuma jaga rumah, tahumu cuma terima uang dari Akshaya. Sementara Akshaya banting tulang sendirian. Nggak ada bantu-bantunya kamu sama kerjaan Akshaya. Nggak kayak mama, papa kerja apa, ya mama bantu untuk membesarkan bisnis itu. Kamu ini ... nggak guna."
Bening jujur saja lelah terhadap hubungannya dengan Brama dan Helma. Sakit hati sudah tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Terkadang, yang berdarah bukan hanya hatinya, namun juga tubuhnya. Helma, tidak pernah ragu untuk bermain tangan. Apalagi bermain pisau di lidah, wanita tua itu lihai sekali menghancurkan Bening dari luar dan dalam.
Namun, lebih dari itu semua, dia juga lelah melihat Akshaya menderita.
Musibah yang diterima Akshaya, pasti ulah mertuanya.
Segala luka di fisik suaminya selama ini, selalu sebab Akshaya yang harus berbagi hati untuk adiknya sendiri. Memang benar, nasib Lilian buruk sekali. Bening mungkin juga tak akan kuat bila harus menanggung takdir milik Lilian.
Pada akhirnya, demi menyudahi segala lara yang ia derita, juga mengurangi banyak beban yang ditanggung suaminya, Bening memutuskan untuk selesai saja.
Surat gugatan perceraian itu, ia terima. Lebih baik berpisah, daripada melanjutkan dan harus berbagi dengan Lilian. Rasa sakitnya pasti akan berlipat-lipat. Segala persyaratan dari Helma agar nanti berujung putusan verstek, dia jalani.
Tahap demi tahap, Bening hadapi sendiri. Pengacara keluarga Helma seringkali mengarahkannya untuk melakukan ini dan itu agar tujuan tercapai.
Bening diam. Bening terima.
Apalagi, saat melihat Akshaya sedikit cerah tatkala urusan pekerjaannya selesai satu per satu. Keluarga korban yang berhenti merecoki dengan dalih pertanggung jawaban yang tak sepadan, kerugian terhadap kolega yang mulai mereda, juga entah urusan apalagi yang mulai selesai.
Bening merasa, jalan yang dia ambil memang sudah benar. Berpisah, agar hidup Akshaya kembali seperti semula sebelum dia datang, kembali kepada keluarga Brama, tak kurang suatu harta, tak fakir hajat dunia.
Dia mulai mengemasi sedikit demi sedikit barangnya dan Yada. Diam-diam memindahkannya ke rumah. Melewatkan fakta bahwa ternyata selama ini Yada mendengar semuanya.
Hari di mana Helma dan pengacaranya datang. Kata-kata tentang ayahnya yang akan menikah lagi demi uang, ibunya yang mendapat surat gugatan perceraian, menari-nari di kepala anak itu.
Sehingga saat hari putusan cerai tiba dan Bening mengajaknya pergi dari rumah, Yada tidak memberontak. "Aku sayang sama Ibu." Hanya itu yang Yada ucap.
Yada mengeratkan tangannya kepada Bening. Dia sadar, mulai detik dia meninggalkan pintu rumahnya, Yada hanya akan memiliki Bening saja di dunia ini.
Bahkan, hari di mana ibunya menangis tersedu-sedu setiap kali pengacara datang memberi kabar terbaru, Yada sudah mempersiapkan diri atas kehancuran yang akan tiba.
Anak itu diam, membiarkan ibunya masih pura-pura bahagia dan tersenyum saat sang ayah yang katanya sedang sibuk setengah mati sesekali pulang. Yada diam, saat melihat bagaimana ayahnya masih sok manis dan bertingkah cinta mati terhadap Bening dari hari ke hari. Padahal, Yada yakin, Bening juga mungkin mengira, selain sibuk, Akshaya juga sudah mulai pulang ke Cideng untuk membuka hati kepada Lilian.
Bening sengaja bungkam. Biarlah terkesan ia memendam segalanya sendirian. Memang tujuannya seperti itu, dia setuju bercerai, agar Akshaya lepas dari segala penderitaan.
Sedangkan, sungguh, di mata Yada, Akshaya adalah pria yang paling tidak tahu malu, yang sayangnya, pria itu adalah ayah kandungnya sendiri.
"Kita ... nggak pamit dulu sama yayah, Bu?" Yada menarik tangan Bening sebelum mereka menaiki mobil kala itu. "Ibu nggak mau tunggu yayah pulang sebentar?"
Bening mengusap wajahnya yang basah terlebih dahulu sebelum menoleh dan menunduk menatap putranya. "Ayah kerja, Nak. Kita pulang ke rumah nenek sama kakek, ya."
Yada menganggukkan kepala. Sementara Bening hanya bisa menitikkan air mata. Betapa dia sudah berpamitan dengan Akshaya melalui pesan singkat di ponsel, yang justru dibalas oleh Helma dengan sebuah gambar di mana Akshaya sedang berpelukan dengan Lilian.
***
Bening menghela napas. Dia turun ke bawah, membuka pintu besi dengan perlahan, dan berdiri di samping mobil Akshaya dalam diam. Di dalam sana, ayah dari putranya sedang terpejam dan tidur dengan lelap.
Bening meneteskan air mata. Baginya, Akshaya terlalu banyak menyimpan rahasia yang tak pernah diungkap.
Lalu kini, dengan cara bertingkah seperti ini, Akshaya menginginkan Bening untuk merasakan apa?
Tidur di mobil setiap malam.
Meminta makan siap hari.
Akshaya mengharapkan mereka yang akan bagaimana?
"Urusan membuat hati ini merasa bersalah, kamu memang jagonya, Mas," ujar Bening dalam lirihnya malam itu. "Kamu meminta kita rukun dan berteman, tapi kamu malah bikin aku kayak sejahat ini. Pulang, Mas. Pulang. Tidur di rumah."
Akshaya yang sedang merapatkan selimut bergerak, sedikit membuka mata dan sekejap kaget saat melihat Bening ada di luar mobilnya. Pria itu bergerak duduk, lalu membuka kaca mobil di samping jok penumpang agar bisa melihat wajah Bening dengan lebih jelas.
"Kamu belum tidur, Ning?"
Bening diam tidak menjawab, dan seolah tahu apa yang dirasakan oleh Bening, Akshaya menghela napas.
"Maaf, Ning. Kalau keberadaan mas di sini setiap malam bikin kamu risi, mas minta maaf. Tapi ...." Akshaya mengepalkan tangan, menatap Bening dengan begitu yakin. "Cuma di sini, bahagia dan hidup tenangnya mas datang secara bersamaan, satu paket. Tolong diizinkan, ya. Mas akan pulang setelah merasa sudah cukup tidur."
Agustus, angin malam, dan temaram jalanan Labuan Bajo, adalah sahabat yang pas untuk menyelebungi hati Akshaya yang dicecar rindu, dan ... rasa bersalah Bening yang selama ini membelenggu.
***See You Next Chapter***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
