Sunrise 22: Sebuah Lara di Masing-masing Cerita

2
0
Deskripsi

Kaki Yada kembali melangkah. Sedikit gugup. Butuh alasan mengapa ia sampai berani memasuki Akshaya, biar bagaimana pun juga, sekat di antara mereka sudah jauh. Memasuki kamar orang, bagi Yada adalah bentuk dari ketidak sopanan bila dilakukan tanpa izin.

"Yah." Hanya saja, Akshaya masih saja tidak bergerak. Jantung Yada berdegup kencang. Anak itu melangkah cepat dan terbelalak kaget saat mendapati bantal yang ditiduri Akshaya sudah bersimbah darah.

"Yayah!"

Panik, anak itu takut sekali. Yada mendekat,...

"Eh, masa, ya, kata tante aku, Natha itu mamanya pernah masuk koran dulu."

Bisik-bisik itu, terlalu keras untuk tidak sampai ke telinga Natha. Anak yang kini duduk di kelas 6 itu sudah menjalani hari-hari kelamnya sejak setahun ke belakang.

"Ih, kirain nggak sampai masuk koran."

"Masuk, tahu, Din. Kayaknya, kalau jaman sekarang, mah, mamanya Natha pasti udah trending di Twitter sama Instagram kali."

"Terus, terus, papanya Natha atuh jadinya siapa? Supir angkot gitu?"

"Ih, nggak tahu. Kan, denger-denger mah ada dua orang. Berarti papanya Natha ada dua?"

Natha menghela napas. Anak itu memutuskan untuk keluar dari kelas dan ingin pergi ke kelas Yada saja. Ingin mengajak adiknya menikmati bekal bersama. Meskipun, bekal miliknya, tak akan selezat bekal milik Yada. Tangan pembantu di rumah Helma, beda dengan tangan dingin milik Bening.

"Natha, gimana? Udah tahu siapa papanya?" Niko dan tiga temannya datang menghadang sambil cengengesan. Natha adalah bintang kelas. Pintar dan disayang guru. Keberadaan Natha, kadang membuat teman-temannya iri.

Namun, sejak berita bahwa dulunya Lilian diperkosa oleh dua orang pemuda antah berantah, Natha jadi dipandang rendah.

"Kata orang, ya, kalau anak yang lahir tapi papa mamanya nggak nikah itu anak haram, Nath. Berarti, kamu anak haram, dong? Mama kamu, kan, diperkosa." Niko mencibir lagi.

Sementara teman-teman yang lain mulai menggerombol dan berbisik, "Diperkosa itu kayak gimana?"

"Iya, diperkosa itu kayak apa?"

"Diperkosa itu apaan?"

Natha menutup telinganya. Matanya memerah, sedikit berkaca-kaca.

"Iya, udah gitu, mamanya Natha katanya gila. Makanya, Natha suka pinjam papanya Yada."

"Oh, iya. Papa Natha nggak pernah ke sekolah. Pinjam Papa Yada terus."

"Mama Natha gila?"

"Iya, gara-gara diperkosa jadi gila gitu? Emang diperkosa itu maksudnya gimana, sih?"

Niko terkekeh sinis melihat Natha mulai menangis meski tanpa suara. Gara-gara Natha yang suka mencuri posisi pertama dan lebih banyak ditunjuk untuk ikutan lomba, Niko jadi dibanding-bandingkan terus dengan dua saudaranya kalau di rumah.

"Anak haram." Niko berbisik di telinga Natha, dan itulah yang membuat Natha marah. Anak itu melayangkan pukulan, membuat pipi Niko memar seketika.

Anak-anak mulai ribut, Niko menyingkir namun tetap menatap Natha dengan marah. Pada akhirnya akan terus sama, pulang sekolah, Natha akan dibawa ke sudut sekolah yang sepi. Dikerjai Niko dan kawan-kawannya.

Natha pernah didorong ke kolam ikan di kebun sekolah sampai terbentur batu. Natha pernah diguyur cat dinding. Suatu hari pernah diikat di pohon mangga belakang sekolah sampai sore karena tak ada yang menemukannya.

Setiap pulang sekolah, baik ke rumah kakek neneknya mau pun ke rumah Akshaya, Natha selalu berbohong. Menutupi segalanya dengan tawa yang menyebalkan di mata Yada. Bilang ceroboh lah, tidak hati-hati lah, keasyikan main tanpa peduli sekelilingnya. Natha menutupi segalanya dengan baik.

Menutupi kesedihan hatinya karena tak pernah disentuh kasih sayang orang tua kandungnya. Menahan gejolak rasa ingin tahunya tentang kebenaran siapa ayah kandungnya.

Natha selalu berlindung di balik kata ceroboh. Menjadikan dirinya sendiri sebagai kambing hitam, demi tidak membuat Akshaya kesulitan.

Namun, hari itu rasanya Natha sudah tidak bisa menutupi lagi. Ia diikat dengan begitu erat di bangku gudang oleh Niko dan teman-temannya. Kedua lengannya sampai memerah dan bengkak karena ikatannya begitu kuat.

Natha ditemukan bersimbah tangis. Dibawa ke UKS oleh salah satu guru dalam keadaan yang begitu memprihatinkan. Lalu, hanya Akshaya satu-satunya tempat Natha mencari perlindungan.

"Yada, mau lagi ayamnya?" Suara Akshaya memutus lamunan Natha kala itu.

Yada berhasil loncat kelas. Adiknya pandai. Masuk SD lebih awal, pun bisa loncat kelas karena terlalu pintar.

Ia sendiri sudah duduk di kelas 1 SMP sekarang. Menatap kehangatan keluarga Akshaya seperti biasa. Bersyukur meskipun di sana ia bukan siapa-siapa.

"Aku mau beliin ibu rumah nanti kalau aku udah punya uang." Yada berceloteh. Mereka berempat sedang berada di kantin sebuah taman bermain. Merayakan keberhasilan Yada dan mengganti hari-hari Akshaya yang selama ini disibukkan oleh pekerjaan dan urusan Natha.

"Aamiin. Makasih anak ibu yang paling ganteng." Bening tersenyum, ia lalu meletakkan satu ayam lagi di piring Yada, tak lupa ke piring Natha juga. "Kak Natha, makan yang banyak, ya. Biar kuat."

"Iya, Bu. Terima kasih," balas Natha dengan bahagia.

Di rumah, Lilian tidak segila yang orang-orang kira. Wanita itu seperti wanita normal pada umumnya, meski tidak pernah keluar rumah. Lilian mengerjakan banyak hal. Bahkan, sudah bisa membantu Brama mengelola keuangan dari bisnis kontrakan dan kos.

Namun, tetap saja. Lilian tetap dingin kepada Natha. Lebih sering menghindari ketimbang mengasihi.

Tidak galak, namun juga tidak membuat hati Natha semarak.

Natha kesepian di rumah itu.

Ibunya sudah menikah lagi dengan salah satu kenalan dari Brama sendiri. Keberadaan ayah baru pun tak banyak membantu. Meski pria itu baik hati, namun Natha tetap merasa terasingkan di dunia ini.

"Jangan melamun, semuanya akan baik-baik aja." Akshaya tersenyum, menepuk pundak Natha. Sadar bahwa anak dari Lilian itu sedang gundah gulana. "Kalau ada masalah lagi di sekolah, bagi cerita sama ayah dan ibu, ya. Jangan dipendam sendirian lagi kayak pas SD."

Akshaya memutuskan untuk memindahkan Natha ke sekolahan lain. SD Islam Unggulan Harapan Ibu menjadi tempat yang Akshaya percaya. Bahkan, hingga ke jenjang selanjutnya, Natha masih sekolah di sana.

"Natha udah punya temen banyak sekarang, Yah." Natha menjawab dengan tenang, sambil mencuri pandang ke arah Yada yang asyik dengan makanannya sendiri. "Nanti, Yada sekolahnya apa di tempat Natha juga?"

"Kalau yayah, sih, terserah maunya Yada aja." Akshaya tersenyum menggoda kepada anaknya. Tapi benar, demi Tuhan, selama ia mampu, ia akan mendukung kemauan anaknya dengan fasilitas yang terbaik.

"Nggak mau aku sekolah sama Kak Natha. Aku mau ke Binus School aja yang deket rumah. Biar nggak ngrepotin ibu buat antar jemput. Soalnya, kan, yayah lebih sering jemput Kak Natha." Yada mengatakannya tanpa emosi, murni kata hati dari seorang anak yang ingin berbicara.

Namun, itu justru membuat hati Akshaya serasa menangis meronta.

"Nanti, aku nggak mau ikut les taekwondo kayak Kak Natha." Yada meletakkan ayamnya dengan santai. Sedangkan hati mungilnya kembali teringat kejadian beberapa bulan yang lalu.

Ia kira kotak hadiah berisi sarung tangan tinju dan baju taekwondo di rumah adalah pemberian Akshaya untuknya. Ternyata, kotak itu Akshaya berikan kepada Natha diam-diam di belakang Yada.

Yada sesungguhnya sudah lama ingin ikut les taekwondo, ingin menjadi penjaga Bening yang hebat di kemudian hari. Tapi, sudah tak ingin lagi sejak Akshaya lebih mendukung Natha ketimbang keinginannya.

"Ya, nggak apa-apa. Yada bebas mau ikut les apa aja. Yayah dukung Yada terus pokoknya." Tangan Akshaya menjulur, mengusap kepala Yada dengan sayang. Suasana di kantin taman bermain itu begitu riuh, namun keluarganya terasa berbagi kehangatan.

Akshaya ingin sekali bilang bahwa ia sangat merasa bersalah atas Yada. Bukannya tidak tahu, Akshaya mendengar saat Yada menangis mengadu kepada Bening. Kenapa kotak hadiah itu bukan untuk dirinya?

Akshaya ingin menjawab, sebab Natha ia masukkan untuk ikut taekwondo, semata-mata agar anak itu bisa menjaga dirinya sendiri. Natha di-bully sangat lama tanpa pernah bisa melawan. Dengan mengikuti kegiatan itu, Akshaya harap Natha dapat melindungi dirinya sendiri, baik untuk sekarang mau pun nanti.

Yada dan Bening lantas pergi untuk mencari minuman yang sedang diinginkan Yada. Sementara Akshaya ditinggalkan sendiri bersama Natha.

"Maaf, ya, Yah. Gara-gara aku, Yada salah paham terus sama Ayah." Natha menundukkan kepala. Selalu merasa malu di hadapan Akshaya.

"Bukan salah kamu, Nath. Ayah, kan, nggak mungkin ada sama kamu selama 24 jam. Ayah juga nggak mungkin membimbing kamu di segala hal. Jadi, berlatih yang giat, ya, apa pun ilmu yang nanti kamu dapat, tolong gunakan itu untuk kebaikan. Untuk melindungi diri sendiri, dan untuk melindungi Yada dan ibu kalau nanti ayah nggak ada."

"Ayah emang mau ke mana? Kenapa nggak Ayah aja yang melindungi Yada sama ibu?" Natha kini mengangkat wajahnya, menatap Akshaya dengan mata berkaca-kaca.

Entah kenapa, hatinya tiba-tiba merasa tidak nyaman.

Sementara Akshaya juga bingung dengan perkataannya sendiri. Di balik ketegarannya sebagai kepala rumah tangga, di dalam tubuh dan jiwanya mekar dengan subur sebuah rasa rendah diri yang tak pernah ada habisnya.

Ia takut, tak selamanya bisa sempurna sebagai suami Bening dan ayah untuk Yada.

Akshaya takut, tak selamanya rasa percaya diri yang ada, hinggap di hatinya.

Ia takut tak selamanya ia sekuat itu dalam menanggung banyak hal.

Sehingga, Natha, mau tak mau, ia titipi pesan meskipun terkesan terlalu awal. Ia yakin, Natha dapat melindungi Bening dan Yada, jauh melebihi apa yang dirinya bisa.

***

Jum'at, 5 Agustus 2022, Ezekiel masih belum terlihat lagi batang hidungnya. Bahkan ketika Yada turun ke pelabuhan untuk membantu tamu-tamu open trip yang hendak naik kapal. Ezekiel tetap tak terlihat.

Kepada Compas, anak itu izin ada acara keluarga. Tapi jelas, itu bukan alasan yang sebenarnya.

Tamu-tamu Compas sudah menaiki kapal masing-masing tatkala Yada masih berdiam di pelabuhan, dan menanti munculnya ABK-ABK kapal Elbark, Cordelia, Elysian, atau pun Catnasze. Siapa tahu, Ezekiel ikut sailing lagi bersama salah satu dari tiga kapal itu.

Namun, hingga siang, Ezekiel tetap tidak muncul. Hanya papanya saja yang seperti biasa, ikut sibuk mengakomodir agent-agent dan tamunya.

Yada menghela napas, lalu menaiki motor, keluar dari pelabuhan, dan malah berdiam diri di depan ruko ayahnya. Benaya Bajoo semakin bagus. Dengar-dengar, akan ada pengajian sebelum acara grand opening pada tanggal 8 Agustus nanti.

"Cie, yang ayahnya nyusulin ke Bajo." Beberapa teman satu sekolah yang sama-sama sedang PKL dan baru balik dari KP3 berseru usil saat melihat Yada di depan bangunan itu.

Kabar bahwa ayah Yada datang dan buka usaha di Labuan Bajo sudah santer terdengar di mana-mana. Bagaikan debu diterpa angin. Semua orang mendengar dengan begitu merata.

"Cie, diam-diam Yada anak orang kaya."

Yada tak ambil pusing. Memang iya, sedari dulu ayahnya memang kaya raya. Hanya saja, sejak lima tahun yang lalu, ia tak butuh lagi kekayaan ayahnya. Buat apa, senyum ibunya sudah yang paling mahal di hidupnya.

"Cie, tidak betulan jadi anak yatim."

"Cie ...."

Anak-anak itu nyaris bersuara lagi, namun tidak jadi saat sosok Natha terlihat berdiri di ambang pintu. Seperti biasa, berpenampilan seperti tukang yang memakai kaos tanpa lengan.

Pamer otot kalau Yada bilang.

"Mau kaos gratis, kah?" Natha berseru, sedikit-sedikit mencoba logat orang Manggarai. "Mari masuk sudah, ayahnya Yada akan bagi kaos untuk teman-temannya Yada."

Yada berdecak kesal. Sementara anak-anak itu masuk mengikuti Natha.

Cewek cowok sama saja. Kalau dengar kata gratis, harga diri mendadak tipis.

Natha membongkar satu bal pakaian yang baru tiba dari Jawa, membebaskan teman-teman Yada mengambil dengan suka cita.

Alhasil, setelah mendapat kaos baru, anak-anak itu tersenyum lebar ke arah Yada. "Terima kasih, Yada nana reba."

"Mulut kalian bungkam sama satu kaos saja itu?" Yada terkekeh sinis, selanjutnya ia tetap duduk di atas motor, melihat teman-temannya bubar ke kantor masing-masing saat tangan Natha kini merangkul lehernya dengan kurang ajar. "Ih, awas! Bau banget, bau bangke."

Natha tertawa, ia malah kini mengendus ketiaknya sendiri. "Wangi gini masa bau bangke? Itu bau mulut kamu kali, Da. Belom sikat gigi dari tahun berapa?"

Yada merengut. Ia nyaris men-starter motor saat Natha kembali meraih tangannya. "Da, tunggu."

"Apa, sih, berisik banget."

Senyum di bibir Natha merekah miris, Yada masih saja membencinya. Di saat yang sama, Natha sama sekali tidak pernah membenci Yada. Justru sangat menyayangi adiknya itu. Bahkan bila bukan karena balas budi atas semua kebaikan Akshaya selama ini, Natha akan tetap menyayangi Yada dengan segenap hatinya.

"Da, ayah lagi di rumah. Boleh minta tolong jengukin sebentar, ya? Tadi pagi, agak nggak enak badan lagi. Lagi agak rewel. Tolong, tengokin sebentar, ya?"

"Kenapa nggak Kak Natha aja? Aku sibuk, mau balik ke Compas." Yada menghempaskan tangan Natha, lalu pergi begitu saja tanpa pamit lagi. Natha yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas.

Entah harus bagaimana meluluhkan hati adiknya itu. Akshaya sangat menyayangi Yada, namun tampaknya hati Yada sudah tak lagi ada.

Sementara itu, inginnya tidak memikirkan apa pun tentang Akshaya. Namun, bahkan hingga ia tiba di depan kantor Compas, wajah Akshaya tak juga mau pergi dari kepalanya.

"Dea di dalam. Nggak usah dilamunin. Langsung temuin. Tembak. Gampang, to?" Lesmana muncul dari belakang Yada. Pria itu juga baru saja kembali dari pelabuhan. Habis mengantar tamu istimewa yang naik kapal mahal.

"Siapa juga yang lagi ngelamunin Dea." Yada melempar pandangan sengit ke arah Lesmana. Biar pun benar, di dalam hatinya, tersimpan sedikit rasa nyaman dan percaya atas gadis bernama Maipa Deapati. Tapi, tetap saja, sebagai remaja yang banyak masalahnya, Yada tidak akan serta merta menyimpulkan perasaannya kepada Dea sebagai rasa suka.

"Terus ngapa bengong?"

Yada berpikir sejenak. Masih di atas motornya, tertunduk sebentar sambil memikirkan sesuatu sebelum akhirnya ia berkata, "Mas, aku boleh izin keluar dulu nggak, sampai habis salat Jum'at. Aku balik ke sini jam 1-an lagi boleh?"

"Mau ke mana?"

Yada enggan menjawab. Namun matanya terlihat bimbang dan Lesmana dengan mudah bisa menangkapnya. Anak itu galau bukan perkara cinta, namun sedang resah sebab keberadaan sang ayah.

"Ya, udah sana. Asal, jangan macem-macem, ya. Selama masa PKL, kamu berada di bawah tanggung jawabku, lho, Da."

"Siap, Mas James. Makasih, ya." Yada turun sebentar dari motor, meraih tangan Lesmana dan menciumnya dengan santun. "Aku pergi dulu, Mas."

Lesmana menganggukkan kepala. Pria itu masih berdiri di pinggir jalan sampai Yada melajukan motornya. Lesmana terkekeh, ia tahu ke mana Yada mau pergi. Namun sumpah, langit terasa lebih rendah dari gengsi yang Yada miliki.

***

Elbark mengelap wajahnya yang lumayan berkeringat, AC mobil yang menerpa selama 5 menit dari pelabuhan ke warung Bening belum cukup membantu mendinginkannya. Sedikit bercermin, pria itu bahkan sempat menyisir rambut, meski beberapa detik kemudian ia acak-acak lagi.

Setelah itu Elbark turun, berjalan dengan gagah seperti biasa. Ia memasuki warung Bening sambil tersenyum dan menyapa banyak orang yang sedang makan di sana.

Elbark bahkan tak segan bila harus mendekat dan bersalaman dengan orang-orang yang mengenalinya. Pria itu berbasa-basi dengan sopan sebelum akhirnya meminta Eci untuk memanggilkan Bening.

"Mas, udah lama? Mau ambil abonnya, ya?" Bening muncul dari dapur, melayangkan senyum untuk menyapa Elbark.

"Hai, Mbak. Iya, gimana? Sudah jadi?"

"Yah, masih packing di belakang, nih, Mas. Butuh cepat, ya?"

Elbark menganggukkan kepala. "Iya, mau saya foto, saya lagi bikin program online order untuk oleh-oleh. Jadi tamu-tamu yang hari Minggu langsung terbang setelah turun kapal, nggak perlu pergi ke toko oleh-oleh lagi. Bisa pesan dari katalog online. Sebenarnya, sih, bisa pakai satu atau dua bungkus dulu, tapi sekalian aja, ya. Biar katalognya cakep nanti."

"Kalau gitu tunggu sebentar, ya, Mas. Mas El duduk saja dulu, mau minum apa nanti bilang ke Merlin, ya?"

Tidak, bukan itu yang Elbark inginkan. Dia tidak ingin duduk, dan dilayani oleh orang lain. Ia ingin menatap Bening lebih lama lagi, hingga hatinya tak lagi cemas karena rindunya yang ganas.

"Mbak, biar saya bantuin, ya? Biar cepet." Elbark tersenyum, tanpa menunggu persetujuan dari Bening, ia menerobos pintu dan masuk ke dapur. Dengan sigap, pria itu mencuci tangan, memakai sarung tangan plastik yang ada dan mulai membantu Bening mengemas abon ikan pogot yang akan ia bantu pasarkan.

Meskipun sudah ada Akshaya, Elbark tak akan membiarkan pria itu membuat Bening ketergantungan. Bening harus berdikari, Bening harus mampu melakukan segalanya sendiri.

Bening menggelengkan kepala, maka dari itu ia menyingkap tirai, menggulungnya, dan menaruhnya ke atas pintu hingga dapurnya kini terlihat dengan mudah dari depan.

Wanita itu melangkah, melanjutkan pekerjaannya, dan membiarkan Elbark membantu dalam tenang.

Keduanya tak banyak bicara. Sering kali terdiam. Bersuara hanya untuk menanyakan sesuatu. Kerja sama yang terjalin begitu baik.

Siapa yang tahu bahwa jauh di dalam hatinya sana, Elbark merasakan ketenangan yang luar biasa. Sedari dulu, impiannya memang lumayan sederhana. Sekedar melakukan pekerjaan rumah bersama-sama dengan orang yang ia kasihi, rasanya bagai dihujani rezeki.

"Dulu, mamanya Ze pasti bahagia banget punya suami seperti Mas El." Bening memutuskan untuk bersuara saat melihat Elbark bekerja dengan mata kosong. Takut pria itu kesambet dan keselamatannya terancam, lebih baik Bening mengalah untuk memulai percakapan.

Elbark menoleh sekilas, lalu terkekeh kecil. Bahagia? Pernahkah Eleanor bahagia memiliki suami seperti dirinya? Mungkin tidak. Hanya ia yang bahagia sendirian, dan itu pun hanya sebentar.

"Iya, mendiang istri saya pasti bahagia, Mbak. Soalnya saya bapak rumah tangga yang rajin." Elbark tertawa, tak peduli luka di hatinya kini kembali menganga.

"Cerita, dong, Mas. Dulu ketemu Mama Ze di mana?" Bening tersenyum, mengira Elbark menyambut perbincangan dari dirinya dengan baik.

Elbark mengepalkan tangan sejenak. Sedikit tidak ingin mengungkit lagi cerita apa pun tentang Axela Eleanor, ibu kandung dari putra satu-satunya. Namun, demi bisa berbicara banyak dengan Bening, Elbark tetap mengumbar senyum sehangat biasa. "Dulu, teman kuliah di Munich, Mbak."

Bening menganggukkan kepala, semakin kagum dengan Elbark. Ternyata pria itu dulunya kuliah di luar negeri dan kini sudah menjadi pemuda asli NTT yang berhasil dalam bisnisnya.

"Kalau Mbak Bening ... sama ayahnya Yada gimana?" Elbark bertanya dengan hati-hati, takut Bening akan tak enak hati. Kebalikannya, ternyata Bening justru terlihat tenang-tenang saja.

"Dulu, saya pelanggan di tokonya, Mas. Terus lama-lama, saya ikut jualan, ambil barang di sana. Ya, begitulah, sering banget ketemu di Tanah Abang."

Elbark ikut menganggukkan kepala. Cinlok juga ternyata.

"Mbak Bening sudah tahu kalau orang-orang udah heboh banget begitu tahu bangunan angker di samping Pintu Pelni dibeli sama ayahnya Yada?"

Bahu Bening terguncang sekilas. Perempuan itu tertawa, betapa dirinya di kota itu sering kali dijadikan buah bibir. Janda yang terusir, janda malang, janda gatal, hingga sebutan janda premium sudah lama ia sandang.

Sekarang, entah apa lagi gelar baru yang akan ia sandang setelah kedatangan Akshaya sebagai saudagar pendatang di Labuan Bajo.

"Sudah tahu dan sudah biasa, Mas El. Biar saja orang mau heboh seperti apa. Saya tetap menjalani hari seperti biasa."

Hati Elbark sedikit tenang saat mendengar jawaban dari Bening. Namun, jika teringat bahwa di antara dirinya dan Bening ada sekat yang lebih tinggi dari sekedar masa lalu yang dibawa Akshaya, ketenangan itu seolah memudar dengan kurang ajar.

"Mas El, Yada cerita kalau Ezekiel sudah dua hari nggak masuk PKL. Ze baik-baik saja, kan, Mas?"

"Oh." Elbark menoleh, lalu tersenyum lebar. "Dia lagi sakit."

"Loh, sakit apa? Kok, izinnya ada acara keluarga ke Ende?"

"Iya, sakit tipus, Mbak." Tertipu dan pupus maksud Elbark.

Pria itu tertawa dalam hati. Ternyata, yang patah hati bukan hanya ia saja. Putra satu-satunya pun sama.

Anak itu sampai malas keluar kamar. Tidur-tiduran. Tahu kalau pusing palsu, demam pun tidak. Sakit perut juga mengada-ada. Elbark tahu Ezekiel hanya sedang menghibur dirinya sendiri.

Mau dikasari, rasanya tak tega. Ezekiel adalah harta paling berharga yang Elbark punya.

Tapi kalau dibiarkan, manjanya semakin menjadi-jadi. Elbark jadi suka merasa bersalah karena harus membesarkan Ezekiel tanpa sosok ibu yang mendampingi.

"Lho, ya Allah. Bilang ke Ze, ya, Mas. Salam dari saya, nanti malam, saya buatin makanan untuk Ze."

"Terima kasih, Mbak." Elbark tentu senang. "Jujur, setiap kali Ze sakit, saya selalu paranoid, Mbak. Takut dia sakit parah. Terus dia ninggalin saya seperti mamanya."

"Memang, Mama Ze dulu sakit apa, Mas?"

Elbark mengangkat wajahnya, lurus menatap tembok. Mungkin inilah saat yang tepat ia membagi cerita dengan Bening. Meluruskan asumsi bahwa duda yang ditinggal mati istrinya terkadang dinilai terlalu jahat apabila memilih untuk jatuh cinta lagi.

Barangkali, Bening juga pernah berpikir seperi itu. Sehingga selain beda agama, bisa saja Bening punya pendapat yang sama bahwa duda cerai mati seperti dirinya terlalu urakan dalam memupuk rindu dan perasaan.

"Eleanor dulu sakit HIV, Mbak."

Bening terdiam, ternyata benar ucapan Merlin yang didapat dari Riki dulu.

"Nggak banyak orang yang tahu, tapi, ya, itu kenyataannya. Ezekiel itu ... dari kecil nggak pernah dapat kasih sayang ibunya. Jadi, mohon maaf, ya, Mbak, kalau setiap Ze main ke sini, dia suka agar overdosis kalau bertemu Mbak Bening."

Senyum nestapa di wajah Bening menguar begitu saja. Teringat dulu saat Ezekiel pertama kali datang ke warung, anak itu memuji masakannya dengan sangat berlebihan.

"Senang sekali Yada punya ibu pandai memasak, e? Tante, Tante, kalau aku setiap hari makan di sini, boleh tidak?"

Di lain hari, Ezekiel akan tetap datang untuk makan siang meski sedang tidak membawa uang.

"Tante,aku punya uang tapi ketinggalan di rumah. Aku makan dulu boleh tidak? Nanti Tante catat saja, e. Papaku nanti yang bayar."

Bening mengangguk lucu pada saat itu. Hanya Ezekiel satu-satunya tukang utang yang tidak menyebalkan di matanya.

"Tante, Tante, Yada kalau minta makanan malam-malam, apa Tante kasih masak lagi? Aku cuma punya papa di rumah. Pintarnya goreng sosis dan nugget saja. Di rumahku itu, isinya sarden, ayam pun boleh beli yang beku. Ole."

Sekarang Bening paham, di antara ayah anak itu, dua-duanya menaruh perasaan yang sama besarnya. Satu, mengharapkan pendamping hidup. Satu lagi, mengharapkan lentera kasih untuk sepi yang membuat hari-harinya redup.

"Sakitnya sejak kapan, Mas? Setahu saya HIV itu ...."

"Sakitnya sudah sejak Ezekiel berusia 2 tahun, Mbak." Elbark masih mempertahankan senyumnya. Namun, meski hatinya sedang meronta-ronta, ia tetap mengerjakan tugasnya dengan cekatan dan telaten. "Tapi aman, saya dan Ezekiel nggak tertular, kok. Sehat sampai sekarang puji Tuhan."

Wangi abon ikan pogot buatan Bening memang tidak ada duanya. Saat ini, perutnya saja mulai melilit kelaparan. Dengan santai, Elbark meraih sendok makan, mengambil abon, dan melahapnya sambil terkekeh kepada Bening. "Lapar, Mbak."

Bening pun tertawa. Tidak anak, tidak papa, sama saja. Kalau lapar, jujur sekali.

"Dulu, saya bawa istri saya dari Jerman ke Ende. Supaya, berhenti dari gaya hidup yang kurang sehat di sana. Kami dulu sama-sama mahasiswa teknik di Munich. Saya tahu Eleanor bukan orang yang benar-benar mendewakan pernikahan. Tapi, dia mau saya nikahi. Satu tahun setelah menikah, orang tua Eleanor meninggal dan dia kembali ke gaya hidupnya yang lama. Akhirnya, saya bawa Eleanor ke Ende. Orang tua saya juga senang, menyambut Eleanor dengan baik." Elbark menguatkan hatinya untuk bercerita di depan Bening. Pria itu meletakkan bungkus abon terakhir dan berbalik badan, bersandar ke meja keramik dengan santai sambil melepas sarung tangan plastik.

"Saya sama Eleanor sering LDR karena saya dapat kerjaan di Freeport, dan Eleanor juga dapat kerjaan di Bali. Sempat berhenti saat hamil Ezekiel, lalu mulai bekerja lagi setelah Ezekiel berusia tiga bulan. Saya pikir, Eleanor murni bolak-balik Ende Bali untuk bekerja, Mbak. Ternyata, kebiasaan memang susah diubah, dia mengingkari janji suci pernikahan kami dengan banyak pria.

"Eleanor baru berhenti total setelah divonis HIV saat Ezekiel berusia 2 tahun. Setelah itu, ya, sudah. Saya rawat dia sesuai dengan janji saya sama Tuhan. Bukan lagi karena cinta, tapi karena Eleanor adalah tanggung jawab yang harus saya pegang sampai selesai."

Bening tanpa sadar bahkan sedang menahan napasnya.

Nyatanya, rumah tangga Elbark ternyata jauh lebih menyakitkan daripada yang ia rasa saat bersama Akshaya.

Bening meninggalkan Akshaya semata-mata untuk kebaikan pria itu. Bukan semata karena Akshaya yang buruk.

Tidak seperti Elbark yang sudah mencintai sepenuh hati, namun diingkari. Baru kali ini pula, pria itu mengumbar lara yang selama ini tidak banyak orang tahu.

"Tapi, sampai sekarang, saya cuma ingin Ezekiel tahu yang baik-baiknya saja, Mbak. Dulu, saya bilang kalau penyakit Eleanor itu dapat menular, untung Ezekiel anaknya nggak rewel. Bertahun-tahun ikut mama papa saya, sebelum akhirnya saya selesai kontrak dengan Freeport dan balik ke Ende. Habis itu, saya ajak Ezekiel pindah ke sini. Buka lembaran hidup yang baru." Elbark memasang wajah bahagia sambil menoleh kepada Bening. "Itu cerita hidup saya dan Ezekiel, Mbak. Nggak banget, ya?"

Bening menghela napas, ia lantas berjalan ke kulkas, mengambil jus semangka yang tadi ia buat dan menuangkannya ke gelas. "Bukan nggak banget, sih. Cerita hidup Mas El dan Ze luar biasa. Kalian hebat, nggak semua orang bisa melalui hal itu dengan baik," kata Bening sambil menyerahkan jus itu untuk Elbark.

"Terima kasih, Mbak." Elbark menerima dengan senang. "Jujur saja, Ze kemarin terlalu bahagia atas ucapan Yada di Mai Ceng'Go. Dikiranya, kita mau betulan bersatu, Mbak."

"Bilang sama Ze, ya, Mas. Mungkin, seumur hidup saya, saya bisa memosisikan diri sebagai mama untuk Ze. Kapan pun dia butuh, selama saya mampu, saya akan selalu ada untuk Ze. Tapi, untuk bersatu sebagai keluarga di mana saya dan Mas El harus menjalani hubungan pernikahan, itu yang nggak mungkin." Bening tersenyum. Tanpa sadar, ia menepuk lengan Elbark sebagai upaya untuk menguatkan pria itu. "Nggak apa-apa, ya, Mas?"

Saat Elbark termangu, Bening justru dengan santai menata bungkus-bungkus abon ke dalam kardus. Lalu menyerahkannya kepada Elbark sambil berujar, "Cuma jadi 40 bungkus, Mas. Ukuran 250 gram. Mau dijual berapa saya bingung soalnya ikannya dari Mas El."

"Mas El?" Bening berseru sekali lagi, sementara Elbark masih sibuk menatap lengannya dengan mulut sedikit terbuka. "Papa Ze!"

"Ya, Buya?" Elbark terkaget-kaget.

"Saya bingung mau jual berapa."

"Apanya?"

"Abonnya, Mas." Bening tertawa, dan tanpa sadar kembali menepuk lengan Elbark begitu saja. "Soalnya ikannya dari Mas El."

"Biasanya ukuran segini dijual berapa?"

"Biasanya, 75 ribu."

"Oke, saya jual 75 ribu juga. Nanti kita bagi hasil saja, ya. Mbak Bening hitung biaya produksi dan kemasan. Laba yang nanti didapat, kita bagi dua. Gimana?"

Bening menganggukkan kepala, setuju dengan usulan dari Elbark.

Kemudian keduanya keluar dari dapur dengan Elbark menggotong kardus berisi 40 kotak abon. Seperti biasa, Bening masih akan berdiri di pinggir jalan sampai Elbark pergi.

Dan Elbark tidak akan lupa membunyikan klakson satu kali sebelum ia pergi.

Semua orang bisa menilai. Mereka berdua cocok dalam bekerja sama. Namun tidak untuk berumah tangga.

***

Yada terdiam cukup lama di depan sebuah rumah yang belakangan sering ia datangi saat malam untuk mengantar makanan dari Bening. Rumah yang berada di pojokan salah satu jalan di Kompleks BTN Firdaus itu terasa begitu sepi.

Rumah besar dua lantai. Cat warna putih dengan gerbang hitam setinggi 150 cm. Ada halaman yang lumayan luas, ditumbuhi pohon mangga di sudut. Ada bekas kolam dan air mancur yang saat ini masih kering. Di sampingnya, ada halaman ber-paving yang bisa muat untuk parkir dua mobil.

Rumah mahal. Dibeli dalam hitungan hari. Gaya sekali.

Perlahan, Yada turun dari motor, menguncinya, dan membuka gerbang. Dengan langkah pelan ia masuk. "Cih, nggak dikunci lagi." Yada menggerutu saat mendapati pintu utama tidak dikunci.

Anak itu kembali bergerak. Namun, sepi yang menyambutnya di rumah itu membuat Yada merasa aneh dan tidak nyaman.

"Yah." Yada memanggil lirih. Kakinya melangkah mendekati meja di mana banyak sekali dokumen berserakan. Di ruangan itu juga masih berantakan. Banyak barang-barang dalam kardus yang belum terbuka.

Namun saat dilihat baik-baik, Yada baru sadar bahwa rumah itu dan segala perabotan mengingatkannya kepada rumah lama di Jakarta.

Beralih dari ruang tamu, Yada melangkah menuju ruang keluarga dan kali ini matanya terbelalak tak percaya. Kemarin-kemarin belum ada, tapi kini, di salah satu tembok, sudah terpampang nyata sebuah pigura besar berisi foto keluarga. Ada Yada, Akshaya, dan Bening di sana. Bahkan di satu tembok yang lain, ada foto pernikahan Bening dan Akshaya.

Tanpa sadar, mata Yada memerah. Ia mendekati rak pendek di bawah foto keluarga. Di sana, Akshaya meletakkan banyak pigura yang berisi masa-masa indah keluarga mereka dulu.

Potret saat Yada masih bayi hingga SD, ada semua.

Tidak ada foto Natha sama sekali. Hanya ada foto Yada dan ibunya.

Yada meraih foto saat ia berulang tahun ke 9, ulang tahun terakhir yang ia rayakan bersama keluarga lengkap. Akshaya memberinya hadiah yang luar biasa.

Merenovasi satu ruangan di rumah secara diam-diam, menyulapnya menjadi arena pribadi yang sangat lengkap. Ada komputer dan kursi yang nyaman. Ada PS terbaru dan home theater. Ada samsak, sofa bed yang nyaman, dan semua barang yang Yada mau ada di sana.

Sekarang, memori itu kembali menghinggapi kepala Yada hingga anak itu menitikkan air mata.

Pigura itu diletakkan kembali. Kepala Yada menoleh, menyisir ruangan dan mendekati kamar utama di lantai satu yang ia tebak ditempati oleh Akshaya.

"Yah." Yada memanggil pelan. Namun, tak ada balasan.

"Yayah!" Pintu diketuk, namun tetap saja belum ada jawaban.

Yada menghela napas lalu membuka pintu. "Aku masuk, ya."

Yada masuk dan mendapati Akshaya sedang tertidur miring membelakangi pintu. Menghadap jendela dan bergeming. "Yah."

Kaki Yada kembali melangkah. Sedikit gugup. Butuh alasan mengapa ia sampai berani memasuki Akshaya, biar bagaimana pun juga, sekat di antara mereka sudah jauh. Memasuki kamar orang, bagi Yada adalah bentuk dari ketidak sopanan bila dilakukan tanpa izin.

"Yah." Hanya saja, Akshaya masih saja tidak bergerak. Jantung Yada berdegup kencang. Anak itu melangkah cepat dan terbelalak kaget saat mendapati bantal yang ditiduri Akshaya sudah bersimbah darah.

"Yayah!"

Panik, anak itu takut sekali. Yada mendekat, menggerakkan tubuh Akshaya, namun ayahnya tetap diam saja. "Yah, bangun, Yah."

Pipi Akshaya ia tepuk, dari pelan hingga kencang. Kepala Akshaya Yada goyang-goyangkan, namun tetap tidak ada reaksi berarti. "Yayah, tolong."

"Yayah!"

"Tapi, yayah bisa mati kapan saja. Yayah bisa saja mati saat lagi duduk sama kamu. Atau saat yayah lagi bicara sama ibu. Bisa juga saat yayah lagi kerja. Paling enak, yayah bisa kebablasan mati saat lagi tidur."

Yada menggelengkan kepala saat teringat omongan Akshaya. Tidak, tidak mungkin akan terjadi secepat itu. Tidak.

Yada istighfar banyak-banyak dalam hati. Ia mencari tahu apa Akshaya masih bernapas atau tidak, dan menghela napas saat jantung Akshaya masih berdetak dan napasnya masih ada. Hanya saja, wajah pucat pasi Akshaya membuat Yada takut setengah mati.

Tangannya bergerak, mengambil telepon, ingin menelepon Natha atau Lesmana. Meminta bantuan agar mereka datang.

Namun, saat tangannya kembali menepuk-nepuk pipi Akshaya, pria itu menggeliat pelan dan mata sayunya terbuka dengan begitu berat.

"Yah."

Akshaya menghimpun kembali kekuatannya. Masih dalam keadaan berbaring miring, ia mendapati wajah Yada tepat di depannya. Pria itu menyipitkan mata, mencari tahu siapa sosok itu. Apakah Natha, atau Yada?

"Ini aku, Yah. Yada."

Akshaya menghela napas. Tubuhnya tidak karuan. Efek terlalu letih dan sering kali lupa daratan bila sedang bersama Yada. Akhirnya tubuhnya protes.

"Da, jam berapa ini? Kenapa datang? Yada baik-baik aja?" Suara lirih Akshaya begitu mengiris hati Yada. Anak itu tanpa sadar menangis sesenggukkan. Tangan yang tadinya memegang ponsel kini bergetar tidak beraturan. Ponsel itu terlepas, terjatuh begitu saja ke lantai.

"Kenapa nanyanya gitu? Yayah yang lagi sakit, bukan aku." Yada terisak. Ia lalu membantu Akshaya bangun. Membuang bantal keparat itu ke lantai dan menggantinya dengan bantal yang lebih baik. Membantu ayahnya agar duduk bersandar dengan nyaman.

Setelah kesadarannya terkumpul, Akshaya tersenyum lirih. Ia melihat bantal putihnya sudah berubah warna menjadi merah.

Saat ia meraba wajahnya, juga masih tersisa anyirnya bau darah.

"Ini hanya mimisan biasa. Yayah nggak papa, Da."

"Yayah itu pingsan pasti tadi! Nggak papa gimana? Yayah dari dulu terlalu banyak bilang nggak papa padahal sebenarnya ada apa-apa. Itu yang bikin aku nggak ngerti sebenarnya yayah maunya apa. Itu yang bikin aku nggak ngerti sebenarnya yayah lagi ngalamin apa. Yayah terlalu sering bilang nggak papa!"

Akshaya tersenyum, pria itu lantas meraih tubuh Yada, membawa ke dalam pelukannya. Ia memang terlalu sering memanipulasi situasi dan keadaan. Iya, Akshaya paham, ia yang bersalah sejak dulu hingga sekarang.

Sementara itu Yada menangis kencang di pelukan Akshaya.

Yada takut. Takut sekali.


 

***See You Next Chapter***


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Sunrise 23: Sebuah Manis di Antara Pahitnya Jujur
2
0
Natha berdiri, membuka bajunya di depan Yada, tak peduli di sana banyak orang lain yang sedang sama-sama menghabiskan waktu.Yada sendiri membelalakkan mata, melihat banyak bekas luka di perut, dada, dan punggung Natha.Luka dari lama, tapi bekasnya susah hilang. Natha kembali memakai kaosnya, lalu duduk kembali dengan tenang. Kalau dulu kakak cerita kakak begini karena jatuh dan ceroboh, hari ini kakak ingin kamu tahu kalau semua luka ini kakak dapat dari perundungan yang kakak alami sejak kelas 6 SD.Kenangan saat Natha pulang dalam keadaan buruk saat itu kembali melintas di kepala Yada. Dulu, Natha bilang kalau dia terjatuh, tidak hati-hati saat bermain.Apakah selama ini Natha mengkambing hitamkan diri sendiri?  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan