Sunrise 20: Bersama Fajar dan Percakapan Tentang Kematian

3
0
Deskripsi

Akshaya tersenyum lirih. Setelah menelan rotinya, pria itu bertanya, "Yada mau jadi anak yatim beneran?"

Yada tidak mengangguk. Tentu saja tidak. Hatinya bahkan mulai tidak menentu. Melihat Akshaya yang sekarang sedang sekarat ternyata menimbulkan perasaan tidak tega.

"Jadi anak yatim kalau jalannya sesuai sama takdir Allah, sih, nggak apa-apa. Tapi, yayah pesan sama kamu. Jangan berdoa yang aneh-aneh lagi. Yayah nggak mau Allah marah sama kamu. Seandainya nanti yayah pergi beneran, semua jadi nggak...

Kata orang, kalau masih ada marah dan cemburu, bisa jadi memang masih ada rasa yang tersembunyi jauh di dalam sanubari.

Tapi, ketika sudah biasa saja, tidak marah, tidak merasa ada masalah, tidak cemburu, bahkan tidak gerah, bisa jadi perasaan itu memang sudah lari tunggang langgang dan tidak lagi tersisa barang secercah.

Itulah yang dirasakan Bening untuk Akshaya, untuk Elbark, untuk pria mana pun yang selama ini mendekatinya.

Ada perasaan bersyukur karena dipertemukan dengan pria sebaik dan setulus Elbark. Kagum yang ia bina selama ini, sebatas apresiasi atas betapa Elbark sangat memenuhi kriteria sebagai suami dan ayah idaman bagi kebanyakan orang. Namun, hanya sampai di sana.

Sedangkan untuk Akshaya, ada rasa welas asih dan kasihan yang tak pernah hilang sejak detik di mana mereka berpisah. Bahkan, sejak mereka pertama menjalin hubungan. Bening mengasihi Akshaya sebagai orang baik yang hidup di takdir yang kurang baik.

Bening tidak mempunyai alasan untuk membenci Akshaya, namun juga tidak punya keinginan untuk kembali bersama.

Seperti sekarang, Bening bangun di sepertiga malam dan membuka pintu balkon, ia tertegun saat melihat ada Toyota Rush terparkir tepat di depan warung.

Bening sudah paham, itu mobil Akshaya.

Minggu, 31 Juli 2022, Bening mengikat rambutnya sembari menuruni tangga. Ia lantas membuka folding door perlahan, lalu mendekati mobil dan mengetuk kacanya.

Akshaya yang terlelap kini membuka mata sepenuhnya. Kaget, kepalanya celingukan ke samping kanan dan kiri. Lalu, membelalakkan mata saat mendapati Bening sedang berdiri di samping pintu jok penumpang. "Bening."

Akshaya menghela napas. Menenangkan kepalanya sejenak sebelum menginjakkan kaki ke aspal dan keluar dari mobil untuk berhadapan dengan Bening.

"Mas ngapain parkir di sini? Jam 1 malam ini, lho." Bening menatap kasihan kepada Akshaya.

Pria itu kini kurus. Matanya lebih sering sayu ketimbang berkobar penuh semangat seperti dulu.

"Mau bantuin Yada antar makanan ke dermaga," kata Akshaya pelan. Ia tersenyum, sedikit salah tingkah saat menangkap sorot khawatir dari mata mantan istrinya.

Bening tersenyum kecil. Kasihan sekali ayah dari anaknya. Perjuangannya tak pernah habis. Kini, bahkan rela bermalam di mobil hanya demi meraih hati Yada. "Boleh, Mas. Tapi, besok-besok, kalau mau bantuin Yada, datang jam 5 pagi saja."

"Oh, oke." Akshaya balas tersenyum. Di antara sunyi Labuan Bajo saat dini hari, jalanan kosong, dan lolongan anjing dari kejauhan, Akshaya menatap wajah Bening dengan begitu tenang.

"Terus kenapa kamu udah bangun, Ning?"

"Kan, aku masak. Yada aja masih tidur. Mas Aksha, lebih baik pulang dulu. Nanti kalau mau bantuin Yada, bisa datang lagi. Lumayan, buat istirahat lagi, Mas."

Akshaya menggelengkan kepala. Pulang juga buat apa. Sesungguhnya ia pergi dari rumah sedini itu bukan serta merta karena sudah tidak sabar membantu Yada, namun juga karena tidak bisa tenang dalam tidur. Seringkali sulit bernapas setiap kali berbaring.

Rumah yang baru ia beli di Kompleks Perumahan BTN Firdaus tidak berjarak jauh dari tempat Bening. Sepuluh menit ketika kendaraan padat, atau malah hanya 5 menit seperti 3 jam yang lalu saat ia memutuskan untuk keluar.

Ya, Akshaya sudah dari jam 10 malam berada di sana. Tidur dengan tenang dan nyaman meski di dalam mobil. Hanya karena merasa sangat dekat dengan Bening dan Yada, Akshaya akhirnya meraih kembali bunga tidur yang indah yang telah lama hilang dari setiap lelapnya.

"Mas mau bantuin kamu kalau gitu, Ning." Akshaya berjalan terlebih dahulu memasuki warung bahkan sebelum Bening mengiyakan.

Pria itu membuka folding door lebar-lebar, untuk mengantisipasi adanya fitnah. Sementara Bening menyalakan lampu ruang depan hingga terang benderang.

"Mas Aksha duduk aja, kalau mau tiduran, biar aku siapin kasur lantai buat rebahan, ya. Jangan naik ke atas, karena kita sudah nggak pada tempatnya untuk berbagi privasi. Jadi, kalau Mas Aksha mau ke toilet, bisa pakai yang di deket dapur." Bening menatap Akshaya tatkala pria itu selesai membuka pintu. "Mas, mau dibuatkan minuman apa?"

"Susu cokelat 2 sachet 1 gelas, boleh, Ning?" Akshaya juga sadar kini ia dan Bening memiliki begitu banyak batasan. Tak masalah tak diizinkan naik ke atas, sudah bisa sedekat ini pun Akshaya sangat bersyukur.

Bening tersenyum kecil. Yada dan Akshaya benar-benar berbagi selera yang sama.

"Hitung aja, Ning, nanti mas bayar sama tagihan catering punya mas."

"Nggak usah." Bening berbalik, berjalan menuju dapur dan bersiap membuatkan Akshaya minuman. Sementara itu Akshaya mengekor, berdiri di samping kulkas dan mengamati Bening dengan begitu rindu.

"Jangan apa-apa bayar jangan apa-apa bayar, Mas. Aku masih paham mana yang harus disuguhkan dengan ikhlas, mana sajian yang harus dinilai dengan nominal. Apalagi, kamu tamu di sini."

Hati Akshaya seketika bagai tersengat lebah.

Tamu, ya?

Iya, dia lupa. Bahwasanya mereka memang sudah tidak terikat jalinan kekerabatan. Kedatangan dia kali ini, mungkin masih bertaut dengan Yada. Namun, tidak dengan Bening.

Sebab, hanya ada mantan istri dan suami di dunia ini. Namun, tidak ada mantan anak atau mantan orang tua.

"Mas, bawa ke depan, ya. Mas duduk aja, nggak perlu ngapa-ngapain." Bening menyodorkan mug berisi susu cokelat untuk Akshaya sambil tersenyum, tanpa tahu bahwa hati mantan suaminya sedang pilu dan sakitnya bertalu-talu.

Akshaya sempat menuruti permintaan Bening, duduk manis di depan, diam menikmati susunya dengan mata memerah menahan haru.

Betapa ia merasa bahagia saat berada begitu dekat dengan nadi dan jantung hidupnya. Ada Yada di atas yang mungkin masih tertidur dengan nyenyaknya. Ada Bening yang sedang sibuk bekerja untuk menghidupi Yada.

Akshaya menundukkan kepala. Menutup wajah dengan kedua tangan dan mulai menahan isakan yang menggedor dadanya.

Sementara itu, di dapur sana, Bening hanya bisa menghela napas. Ia berusaha fokus memasak seperti biasa. Tak terlalu memikirkan mau apa dan seperti apa rasanya jadi Akshaya di sana.

Bening mulai menggoreng ayam di dua tungku. Lalu di kompor lainnya, Bening mulai memasak tumisan.

Hanya saja, suara tangis Akshaya mulai mengusik perasaannya. Bening terdiam sejenak. Mengintip Akshaya dari pintu. Lalu memutuskan untuk mensiasati situasi itu dengan cara tergampang yang mampir ke kepalanya.

Tak lama, Bening datang ke depan, menghampiri Akshaya dengan pisau, talenan, dan sebaskom timun, daun kemangi, dan kol.

Akshaya mengusap wajahnya dengan cepat. Kemudian mengangkat kepalanya, menatap Bening sambil tersenyum. "Ya, Ning?"

"Mas nangis?" Bening masih berdiri di tempatnya, sedikit trenyuh saat mendapati sisa basah dari wajah Akshaya.

"Iya," jawab Akshaya sambil mengangguk. "Rasanya sedih banget lihat kamu kerja, Ning. Maafin, mas, ya. Kamu dan Yada harus berjuang hidup seperti ini gara-gara mas."

"Nggak apa-apa. Justru, kami bersyukur bisa belajar hidup berjuang seperti sekarang ini. Kami jadi merasa lebih menghargai segala hal. Terima kasih, Mas."

"Kamu bilang terima kasih untuk apa? Mas yang udah bikin kamu tersisih dan harus banting tulang seperti sekarang, Ning."

"Ya udah, aku nggak akan bilang terima kasih lagi. Kalau gitu, biar Mas nggak nangis, tolong bantuin, ya." Bening tersenyum. Tidak ingin mengorek luka lama, pun tidak ingin dendam untuk waktu yang lama.

"Tolong potongin timun kayak gini, siangin daun kolnya, terus, masukin ke plastik kayak gini bareng daun kemangi, ya." Bening mencontohkan apa yang harus dilakukan Akshaya.

Akshaya mengangguk patuh. Ia menghela napas, bergerak menuju toilet untuk mengguyur wajahnya sejenak, lalu kembali sambil tersenyum.

Bening balas tersenyum. "Aku butuh 50 bungkus. Agak cepat, ya, Mas. Kayaknya Yada bau-bau mau kesiangan."

"Siap!" Akshaya melakukan apa yang Bening minta. Bukan hal yang sulit, karena dulu, mereka memang pernah meniti kesulitan hidup bersama-sama. Hanya ada waktu 7 tahun kebersamaan dengan gelimang harta dan terbebas dari himpitan ekonomi. Setelahnya, Akshaya tak menyangka ia akan membiarkan Bening dan Yada mengulang kesulitan hidup yang sama lagi.

Bening melanjutkan memasak. Akshaya membantu dengan segala yang ia bisa. Jam empat pagi, kotak-kotak makanan mulai dijejer ke meja.

Bening menata nasi, lauk, sayur, dan juga lalapan dibantu oleh sang mantan suami.

Keduanya banyak terdiam. Hingga akhirnya, Bening gatal untuk bertanya, "Lilian apa kabar, Mas?"

Akshaya menoleh, ia meringis dalam hati. Mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk membagi keresahannya dengan Bening. "Lilian ... baik, Ning. Dia sama Senada sekarang."

"Masih di rumah mama sama papa?"

Akshaya mengangguk. Mau di mana lagi, harta Brama dan Helma lebih banyak yang berada di tangannya ketimbang di tangan Lilian. Tahun lalu, saat ia memutuskan untuk menjual tanah yang di Bendungan Hilir-Jakarta Pusat, Akshaya mendapat uang belasan milyar.

Sedangkan Lilian, tak ingin tahu menahu akan banyak hal terkait harta orang tuanya sendiri.

Lilian tak peduli. Perempuan itu hanya ingin hidup dengan damai bersama Senada. Jatah 20 kos yang Akshaya beri, bagi Lilian sudah cukup untuk menghidupi keduanya hingga puluhan tahun ke depan.

"Kenapa kamu tinggalin mereka, Mas? Kasihan Lilian. Kamu seharusnya jadi suami yang baik buat dia. Dia sudah kehilangan banyak hal. Sudah terlalu banyak tragedi yang dia rasakan. Kamu malah ke sini sama Natha, Mas. Tega banget. Mana mama sama papa juga pasti udah makin tua, kan." Bening merengut kecil. Di kepalanya, terbayang betapa birunya hati Lilian saat ini.

Wanita itu pasti sedang sangat sedih.

"Jadi suami yang baik buat dia gimana, Ning? Mas nggak pernah menikahi Lilian."

Bening menghentikan kegiatannya. Ia lantas menoleh, menatap Akshaya dengan tatap tanpa percaya. "Maksudnya gimana?"

"Mas nggak pernah nikah sama Lilian. Masa gitu aja kamu nggak ngerti?" Akshaya terkekeh, menutupi getir perasaannya sambil melanjutkan pekerjaan.

"Tapi ...."

"Mas nggak pernah nikah sama dia. Kamu terlalu terburu-buru saat itu, Ning. Dari dulu sampai sekarang, predikat suami yang mas sandang hanyalah saat bersama kamu. Sebelum dan sesudah kamu, mas nggak pernah nikah dan jadi suami buat wanita lainnya."

Akshaya menghela napas. Ia kemudian menoleh, menghadap kepada Bening sepenuhnya. "Surat gugatan cerai itu, bukan mas yang bikin."

Bening berdeham kecil. Akshaya mungkin tidak tahu, bahwa Bening sebenarnya sudah tahu. Sejak lama. Sudah tahu bahwa surat itu bukan berasal dari Akshaya sendiri. Bening tahu, sungguh.

"Rencana pernikahan itu, memang ada. Tapi, semuanya sandiwara, Ning. Sama seperti surat itu, segala hal tentang pernikahan kedua mas, dilakukan di bawah tangan. Mama sama papa yang merencanakan semuanya, Ning. Mengatas namakan nama mas untuk semua keperluan, seolah-olah mas yang menginginkan. Membuat kamu percaya bahwa mas tega membagi hati dan cinta. Bahkan kamu juga ...." Akshaya mengepalkan tangan. Menatap Bening dengan tatapan yang diselimuti luka dan kesakitan.

"Kamu juga menanda tangani surat itu, membiarkan sidang terjadi berlarut-larut, tanpa sepengetahuan mas."

Bening memejamkan mata sejenak.

Ini adalah sebuah bentuk dari ketidak sempurnaan yang ia sandang sebagai ibu dari Yada. Ada keburukan yang ia tutupi. Salah satunya adalah ... mempermudah orang tua angkat Akshaya untuk merusak dan memecah belah rumah tangganya.

Benar, surat itu memosisikan dirinya sebagai tergugat. Namun, Bening lah yang meninggalkan Akshaya.

Bukan sebaliknya.

***

"Parkir di sini nggak apa-apa, ya, emang?"

"Mau di mana lagi?" Yada menjawab dengan ketus.

Hari Minggunya kelam kelabu. Begitu membuka mata, tergesa karena kesiangan, nyaris merasa bersalah karena tak dapat membantu Bening, begitu turun malah menemukan Akshaya dan wajah santainya.

Sepagi itu, sudah bertemu musuh bebuyutan. Yada kesal sekali!

Sekarang, malah diantar ke dermaga. "Aku lebih suka naik motor ketimbang diantar yayah kayak gini."

"Nanti, kalau kamu sudah besar sedikit lagi, minta diajarin nyetir sama Kak Natha, ya. Begitu udah punya SIM A, nanti yayah belikan mobil. Supaya nggak perlu diantar yayah kalau mau naik mobil pas antar-antar catering."

Dikira mata Yada akan bergelombang dan tergiur? Tentu tidak.

Yada melirik Akshaya yang kini tertawa renyah karena melihatnya merengut. Setelah mobil berhenti, Yada turun, mulai mengambil kotak-kotak nasi dan menyeberang jalan dengan sedikit teledor. Ia nyaris terserempet motor andai saja Akshaya tidak gerak cepat menahan tubuh Yada.

"Yada, hati-hati, Nak." Akshaya menghela napas, berusaha menghentikan debar dada sambil mendekap tubuh putranya. "Takut banget yayah, Da."

Yada pun sama kagetnya. Ia sampai tak sadar sedang menjadi perhatian Erza yang juga sama-sama baru turun dari mobilnya.

"Yayah, sih, ngomong mulu, aku jadi nggak konsen." Sebenarnya, ia sedang takut, tapi ia butuh seseorang untuk disalahkan. Harga diri dan ego Yada, tinggi sekali.

"Yayah ngomong mulu gimana? Orang yayah diam aja, kok. Kamu yang marah-marah terus dari tadi."

Yada melepas dekapan Akshaya, dan menyeberang jalan menuju Dermaga Biru dengan kesal.

Diikuti oleh Akshaya yang juga membawa kotak-kotak nasi. Juga Erza yang berjalan sambil mengerutkan dahi. "Bapaknya Yada masa?" gumamnya.

Yada baru saja menyerahkan pesanan catering Pinguin kepada Supar, juga mengambil kotak dari tangan Akshaya ketika sadar Erza sudah datang dan berdiri tak jauh darinya sambil bersedekap tangan. "Pagi, Pak Erza."

Yada tersenyum canggung.

Sementara Akshaya menoleh, membalikkan badan, dan ikut tersenyum kepada Erza. "Pagi, Pak."

Erza balas tersenyum. Tapi matanya jail melempar goda kepada Yada. "Pagi, Yada. Pagi Pak ...."

"Akshaya, Pak. Saya Akshaya. Ayahnya Yada," kata Akshaya dengan lantang sambil menyambut uluran tangan dari Erza. "Salam kenal, Pak."

Erza membelalakkan mata. Namun sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menggunjing di saat itu juga.

Ayahnya Yada is back, makin sulit janda premium diraih oleh pria-pria Labuan Bajo.

"Salam kenal, Pak Akshaya. Saya Erza, ini speedboat saya, Pak. Pinguin Cruise. Langganan tetap catering-nya Mbak Bening."

Akshaya tersenyum ramah. "Wah, terima kasih, Pak Erza. Terima kasih sudah men-support usaha ibunya Yada. Semoga makin lancar, Pak, bisnis kapalnya. Kebetulan saya juga mau buka konveksi dan bisnis pakaian di sini. Tokonya nanti di samping Pintu Pelni."

"Oh, ya Tuhan. Pak Akshaya ini yang beli bangunan keramat itu, kah?"

Akshaya mengangguk sambil tertawa. "Iya, Insyaa Allah seminggu lagi ada syukuran dan pengajian. Boleh minta nomor hp Pak Erza? Kalau Pak Erza dan keluarga berkenan, sekiranya dapat hadir nanti, Pak."

Erza mengangguk bersemangat.

Sementara Yada hanya bisa mendengkus. Ayahnya gampang sekali bergaul.

Baru pertama kali bertemu, langsung sok kenal sok dekat.

"Mirip sekali kamu punya wajah dengan wajah bapakmu, Da." Supar tiba-tiba berdiri di samping Yada, meneliti wajah anak itu, lalu menatap ke arah Akshaya dengan serius. "Sudah benar ini, kamu tidak perlu tes DNA. Itu memang bapakmu, Nana."

"Apaan, sih! Nggak jelas, Kep!" Yada merengut lagi. Sementara Supar, Erza, dan Akshaya tertawa-tawa di atas kebakaran hatinya.

***

Dea berlari kecil, tangannya menenteng kresek berisi satu mika nasi kuning seperti biasa. Namun, langkahnya tertahan.

Dari kejauhan, ia melihat Yada dibantu Akshaya sedang menyerahkan pesanan catering untuk kapal Red Whale.

Biasanya, sehabis itu, Yada akan duduk di tepian dermaga, menanti matahari terbit tiba sendirian. Namun, sepertinya pagi itu, Yada tidak akan sendirian.

Yada akan ditemani oleh ayahnya, dan Dea tidak ingin mengganggu kebersamaan mereka. Gadis itu membalikkan badan, berjalan santai hingga ke parkiran.

Namun, tiba-tiba ia melotot. Pajero Sport putih milik Elbark terlihat muncul. Sedangkan Yada sudah mewanti-wanti dirinya untuk tidak memberi tahu Ezekiel tentang siapa Akshaya sebenarnya.

"Palingan itu cuma Om Elbark aja yang datang." Dea berusaha berpositif thinking.

Gadis itu diam di samping mobil bapaknya yang masih berurusan dengan pasokan air bersih kapal-kapal. Sayangnya, pikiran positif yang tadi ia semai, tumbuh menjadi mimpi buruk.

Pintu penumpang Pajero Sport itu terbuka, dan Ezekiel turun dari sana dengan muka bantalnya.

"Haduh!" Dea menegakkan tubuh. "Kerikil kehidupan!"

Ia segera berjalan menyambut keduanya.

"Pagi, Om Elbark. Pagi, Ze." Dea datang dengan senyum cemerlang.

"Selamat pagi, Dea." Elbark balas menyapa. Wajah pria itu berbanding terbalik dengan wajah Ezekiel. Elbark segar bagai bunga. Ezekiel suram bagai Lubang Buaya.

"Sedang apa kamu pagi-pagi di pelabuhan?" Ezekiel mengangkat tasnya yang berisi banyak camilan.

"Temani bapak kerja, to. Kamu sendiri mau apa, Ze? Tumben sekali sudah bangun sepagi ini di hari Minggu. Ini bukan tanda-tanda Labuan Bajo mau tsunami, kan?"

"Papa ajak test drive mesin barunya Catnasze sampai Rinca. Kamu mau ikut, kah? Mari sudah."

Catnasze adalah salah satu kapal phinisi yang juga dimiliki Elbark. Alkisah, kapal itu akan menjadi warisan terhakiki yang Ezekiel minta.

Karena nama, warna kapal, perabotan, konsep kabin, semua berdasarkan pilihan Ezekiel.

"Ih, sudah tidak cantik, lambat berpikir pula kamu ini, Dea. Sudah lah, sampai jumpa. Aku pergi dulu."

"Eh, dasar mulut piranha! Kamu juga, tuh, suka loading lama."

Ezekiel berlalu begitu saja, diikuti oleh Elbark yang kini mengusap kepala Dea dengan lembut sambil berpamitan.

"Nanti om sambil mau mancing, kalau dapat banyak Dea om bagi, ya."

Dea tersenyum lalu mengangguk pelan. "Makasih, Om El."

Hati gadis itu deg-degan. Dia bahkan tidak berani mengikuti langkah kedua laki-laki itu.

Takut kena peluru nyasar!

***

"Jadi, ini tempat favorit kamu?" Akshaya menegakkan badan. Mengelilingkan pandangan. Kemarin, ia naik dan turun kapal di dermaga itu. Suasananya panas dan ramai. Tapi ia tidak tahu bahwa KP3 di kala pagi hari sebelum matahari terbit ternyata begitu indah dan syahdu.

Hanya ada ABK kapal yang lalu lalang. Suara genset mesin dari kapal-kapal phinisi yang mooring di kejauhan, dan debur laut serta angin yang sedikit menyapa kulit.

"Bukan tempat favorit juga, Yah." Yada duduk di tepian dermaga. Menikmati makanan yang ia ambil dari mobil Akshaya. Lumayan, untuk ganjal perut. Ada Sari Roti rasa srikaya dan Pringles yang kini ada di sampingnya.

"Terus apa, dong? Suka nongkrong di sini tapi bukan tempat favorit?" Akshaya kini ikut duduk. Membuka mulut, meminta bagian dari roti yang kini Yada kuasai sendiri.

Yada mendengkus. Lalu menyobek rotinya untuk diarahkan ke mulut Akshaya. "Aku suka ke sini, buat membunuh waktu. Kadang, juga minta Allah buat buat bunuh yayah. Biar aku nggak perlu bohong lagi ke orang-orang soal aku ini anak yatim."

Akshaya tersenyum lirih. Setelah menelan rotinya, pria itu bertanya, "Yada mau jadi anak yatim beneran?"

Yada tidak mengangguk. Tentu saja tidak. Hatinya bahkan mulai tidak menentu. Melihat Akshaya yang sekarang sedang sekarat ternyata menimbulkan perasaan tidak tega.

"Jadi anak yatim kalau jalannya sesuai sama takdir Allah, sih, nggak apa-apa. Tapi, yayah pesan sama kamu. Jangan berdoa yang aneh-aneh lagi. Yayah nggak mau Allah marah sama kamu. Seandainya nanti yayah pergi beneran, semua jadi nggak ada hubungannya sama doa-doa kamu, Da."

Yada menundukkan kepala. Betapa ia malu dan merasa tersentil oleh perkataan dari Akshaya.

"Kalau kamu mau tahu, yayah sakit bukan sakit biasa. Kondisi yayah bisa dibilang ada di tepian batas dan jurang. Yayah nggak bisa sembuh ... sampai kapan pun."

Kali ini kepala Yada terangkat, ia menatap Akshaya, tanpa sadar dengan mata berkaca-kaca. Ia memang belum dan tidak ingin mencari tahu tentang apa itu polisitemia vera di internet.

"Yayah nggak bisa sembuh?"

"Iya." Akshaya mengangguk. "Yayah nggak bisa sembuh. Yayah bisa bertahan dan dipertahankan dengan obat-obatan dan terapi. Yayah harus ini harus itu, yayah harus ngikuti apa kata dokter kalau mau umur yayah lama."

Yada tak tahu lagi harus berkata apa untuk menimpali Akshaya.

"Tapi, yayah bisa mati kapan saja. Yayah bisa saja mati saat lagi duduk sama kamu. Atau saat yayah lagi bicara sama ibu. Bisa juga saat yayah lagi kerja. Paling enak, yayah bisa kebablasan mati saat lagi tidur."

"Udahlah nggak usah ngomong lagi." Yada beranjak dari tempatnya. Ia tergesa meninggalkan Akshaya di saat jam menunjukkan tepat pukul 6 dan mentari mulai naik ke peraduan.

"Tunggu, Da." Akshaya juga bangkit, meraih tangan Yada. Membiarkan anak itu berdiri gamang di depan ayahnya sendiri. "Jadi, setelah kamu tahu kondisi yayah, tolong, jangan berdoa yang aneh-aneh lagi. Tubuh yayah milik Allah. Kamu nggak perlu minta hal-hal yang Allah bebas lakukan atas diri yayah."

Yada mengepalkan tangan. Sedikit banyak, menyesal dan bersedih atas jahatnya doa yang selama ini ia panjatkan untuk ayahnya sendiri.

"Tapi, satu hal, Da. Tolong jangan larang yayah yang sedang berusaha untuk membahagiakan kamu dan ibu sekali lagi. Tolong jangan larang yayah untuk berjuang mungkin untuk yang terakhir kali."

"Ibu nggak akan bahagia kalau Yayah datang cuma buat bikin ibu ngerasain perpisahan lagi, Yah."

"Bahkan saat waktu itu datang, yayah akan tetap berusaha membahagiakan ibumu sekali pun yayah udah nggak ada, Nak. Kali ini yayah janji, sekali pun nanti pisah, pisahnya akan baik-baik." Akshaya menatap Yada dengan mata bergelombang. Membayangkan dirinya sendiri mati, membuat ia terusik. Mendadak takut, mendadak menjadi cengeng.

"Kalau gitu, kalau bisa, kalau emang Yayah yakin mau memperjuangkan ibu lagi, usahain jangan ada pisah-pisahan lagi!" Yada sedikit berseru.

Tepat ketika langit sepenuhnya terang benderang, Akshaya sedikit banyak paham apa yang menjadi keresahan putranya.

Sementara Yada membalikkan badan dengan wajah dan mata memerah. Jika ia berkedip sekali saja, mungkin air mata yang sedari tadi ia tampung akan menetes dengan tidak tahu dirinya.

Sayangnya, air mata itu tetap menetes, dan saat ingin mengusapnya, ia baru sadar bahwa tak jauh darinya ada Ezekiel dan Elbark yang sedang menatap dengan pandangan tak terbaca.

"Om El ... Ze."

Ezekiel diam saja. Hanya saja tangannya mengepal erat. Matanya menuntut penjelasan dan tanggung jawab kepada Yada sekarang juga. Jika tidak ada Elbark, ia mungkin kini sudah maju. Memberi bogem mentah kepada si terduga calon adik tiri, namun ternyata selama ini ia yang kadung tinggi hati melayang sendiri.

"Jadi benar, ya, Om ini ayahnya Yada?" Ezekiel bertanya dengan suara yang begitu serius.

Ia merasa sudah ditipu mentah-mentah. Diterbangkan hingga Merkurius, lalu dijatuhkan hingga lubang tikus.

Akshaya hendak menyangkal, namun kini Yada yang menjawab, "Iya, Ze. Ini ayahku."

Ezekiel mendengkus keras. Ia bahkan tak ingin lagi melihat wajah Yada.

Memuakkan.

Pemberi harapan palsu.

Pemuda itu balik badan. Meninggalkan Yada yang kini ditimpa rasa bersalah. Sedangkan Elbark, meski kurang lebih sama merasakan apa yang Ezekiel rasa, namun pria itu memutuskan untuk tersenyum.

Langkah gagahnya maju. Mengusap kepala Yada dan tersenyum kepada Akshaya. "Maaf, Pak Akshaya. Saya tidak terlalu memperhatikan dan paham situasi. Jangan salah sangka, saya dan Mbak Bening ...."

"Nggak apa-apa, Pak El. Saya mengerti. Pak Elbark sama sekali nggak perlu minta maaf." Akshaya juga balas tersenyum.

Elbark mengangguk, lalu menyentuh pundak Yada sambil berkata, "Jangan khawatir, Da. Nanti om yang akan bicara dengan Ze. Dia nggak akan marah lama-lama."

"Om, aku minta maaf." Yada menundukkan kepala.

"Udah, nggak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan." Elbark tersenyum lagi, lalu pamit pergi dengan hati runtuh tanpa terkira.

Matahari terbit hari itu, ternyata tak mampu menyinari dunianya.

Elbark makin merasa sulit. Perasaan untuk Bening, apakah sudah saatnya ia pendam dalam-dalam?

Namun bagaimana?

Elbark dan perasaannya, hati yang tak pernah terjamah cinta yang indah sejak lama, tampaknya harus layu bahkan sebelum bunga-bunga merayu.

Namun harga dirinya sebagai laki-laki seolah berteriak, mundur bukan pilihan, maju adalah keharusan.

***See You Next Chapter***


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Sunrise 21: Sebuah Kisah Tentang Dulu dan Kini
3
0
Da, terima kasih sudah bersikap baik sama yayah hari ini, kata Bening, dengan bangga mengusap kepala sang putra. Yada sudah tahu ada yang salah dengan ibu dan yayah sejak lama. Juga dengan keluarga kami masing-masing yang membuat Yada mungkin masih sakit hati sampai sekarang. Tapi, satu pesan ibu, yayah dan ibu sama-sama punya alasan saat mengambil langkah. Bukan cuma yayah yang salah, ibu juga salah. Jadi tolong perlakukan yayah seperti kamu memperlakukan ibu. Nggak adil kalau kamu hanya baik sama ibu aja.Yada menganggukkan kepala perlahan. Nggak janji, Bu. Tapi aku coba untuk damai. Tapi, Bu, tapi ... damai bukan berarti aku setuju kalau Ibu sama yayah balikan lagi, ya. Aku suka ibu yang seperti sekarang. Ibu cuma punya aku, dan aku cuma punya Ibu.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan