
Pria itu berusaha menenangkan diri, meminum air mineral sebanyak yang bisa ia tenggak, lalu mengembuskan napas sambil menunduk.
Diusapnya detak jantung yang menggila. Meski sudah lama dokter bilang, ia bisa saja mati karena serangan jantung yang menjadi salah satu komplikasi berbahaya dari penyakitnya, nyatanya Akshaya selalu ketakutan.
Terlebih saat ini.
Ia tidak ingin mati di saat ia hanya berjarak beberapa meter saja dari kediaman Bening dan Yada.
Keterangan untuk Sunrise 17, dibaca, ya, biar nggak bingung pas nemu istilah ini di dalam cerita :D
1. Nia, bahasa Manggarai dari "mana?"
2. Docking, perbaikan/pemeliharaan kapal.
3. Nekarabo, bahasa Manggarai dari "permisi" atau "maaf"
4. Lae, umpatan yang sangat kasar di Flores, tidak untuk ditiru hihiihi.
Selamat membaca Sunrise 17, siap2 war komen hahahha.
Pagi itu, 20 Juli 2022, Yada sedikit memerhatikan bangunan yang baru saja Lesmana beli. Bekas kantor operator diving itu yang biasanya gelap gulita, kini berpendar menyala meski hanya lampu kecil di bagian depan.
Masih jam 5 pagi saat itu, Yada memutuskan turun dari motor. Mengintip bangunan yang bagian depannya full transparan karena dilapisi kaca tebal. Tiga tahun yang lalu, Freaky Shark Diving Centre ditutup permanen. Entah kenapa. Lalu bangunan dua lantai yang lumayan besar dan megah itu terbengkalai hingga saat ini.
Katanya, harga sewa atau jualnya terlalu tinggi. Jadi, tidak ada yang berani melanjutkan bisnis di sana.
"Tapi, kok, perasaan Mas James bisa cepet banget jualinnya? Mana dapet komisi 30juta lagi dari yang punya bangunan." Yada bergumam sendiri, lalu kembali naik ke motor. Mengantar pesanan catering ke dermaga seperti biasa.
Seperti biasa pula, anak itu akan duduk di salah satu sudut dermaga. Ongkang-ongkang kaki menghadap lautan sambil melempar remahan roti ke laut. Sesekali terkekeh saat ada ikan-ikan kecil muncul mengeroyok umpannya.
Tak lama, Dea datang bersama satu mika nasi kuning. Berdiri kaku di belakang Yada sampai pemuda itu menoleh ke belakang dan tersenyum kecil.
"Ngapain berdiri gitu? Cosplay jadi mercusuar pelabuhan?"
Dea berdecak kesal. Gadis cantik berkulit kuning langsat itu duduk di samping Yada, menyodorkan nasi kuning yang dibawanya. "Mau nggak?"
Yada mendengkus. Namun, tangannya menjulur mengambil nasi kuning dari tangan Dea. "Makasih, Dea."
Dea tersenyum kecil. Lalu mengangguk. "Walaupun udah biasa lihat kamu marah, tapi tetep serem lihatnya. Jangan marah lagi, Da. Nanti cepat tua."
"Jangan kebanyakan ngomong, De. Lama-lama kamu mirip toa." Yada cuek, memakan nasi kuning dari Dea sambil sesekali membaginya untuk ikan-ikan.
"Lihat aja, kalau kita bertiga dijejerin, kamu, aku, Ezekiel, nggak ada yang nebak kalau usia kamu lebih muda dari kami. Sekarang kami udah 17, kamu baru mau 16 bulan November nanti."
"Cih, apalah artinya umur. Kalau pinter dan mandirinya masih kalah sama aku." Yada berdecak, menghabiskan nasi kuningnya . Harga lima ribu, porsi liliput. Hanya nasi kuning beberapa sendok, sedikit orek tempe, sepotong tipis timun, dan lima helai telor dadar yang dipotong tipis-tipis.
"Sombongnya, Da! Aku juga mandiri, aku kalau pagi ikut bapak antar air bersih ke kapal-kapal yang mau trip. Sama kayak kamu, udah kerja dari subuh juga."
Yada tersenyum kecil. Dea memang tidak sepenuhnya anak mami. Anak gadis Sumbawa-Bugis itu sudah terbiasa bangun pagi, sudah bisa memasak sedikit-sedikit, dan juga tidak malu kalau harus ikut bapaknya antar-antar air bersih ke kapal atau ke rumah-rumah.
"Omong-omong, Dea. Aku mau cerita. Tiga tahun lalu, aku pernah bilang kalau aku lebih suka ayahku mati aja ketimbang dia masih hidup tapi nggak ada. Menurut kamu, kalau itu beneran kejadian, aku harus gimana? Seneng atau sedih?"
Dea menghela napas. Berbincang dengan Yada di dermaga sembari menanti matahari naik, pasti tidak jauh dari obrolan mengenaskan itu. Tapi, Dea sedikit suka. Artinya, Yada percaya kepadanya.
"Gila, sih, kalau kamu seneng. Sejahat-jahatnya orang tua, nanti kalau mereka nggak ada beneran, pasti kamu bakalan nangis kejer."
Yada menggigit bibirnya. Ah, masa?
Kemarin, saat Akshaya bilang kalau dia sakit, ketimbang sedih, dia malah marah dan kecewa, kok.
"Kalau sedih, barulah aku bahagia, artinya sahabatku yang satu ini masih punya hati. Aku bakalan ngeri banget kalau kamu bahagia di atas penderitaan orang, Da."
Dea tersenyum sambil menatap wajah Yada dari samping.
Remaja berambut lurus dan berkulit sawo matang itu tampak menatap laut dengan binar yang sulit dijelaskan. Hidung mancung Yada, bibir ranum Yada, semuanya terlihat sempurna di mata Dea.
Yada tidak merokok seperti kebanyakan teman-teman mereka. Yada tidak minum sopi karena sopi itu memabukkan. Yada tidak pacaran. Yada tidak suka datang ke pesta. Yada anak baik di mata Dea.
Tapi, Dea tahu pagi itu Yada tidak baik-baik saja.
"Ayahmu ... meninggal betulan, kah?"
Yada terperangah, lalu balas menatap wajah Dea yang kini berubah kelam dan suram. "Dea, kamu kenapa? Kok, sedih?"
"Da, ayahmu meninggal betulan, kah?"
Yada menggeleng pelan, lalu tersenyum lirih. "Kayaknya mau ... awh!"
Dea mencubit paha Yada dengan keras. Gadis itu gemas bukan main. Ada anak durhaka di depannya, sungguh tidak bisa dipercaya.
"Kayaknya mau kayaknya mau, kalau bicara itu hati-hati, Yada. Sudah berapa kali kubilang kalau bicara itu yang baik-baik. Kukira sudah meninggal betulan. Biar kamu nggak dosa, kan, kalau koar-koar kamu ini anak yatim. Ternyata masih obsesi kamu juga buat jadi anak yatim beneran. Dasar stres!!"
Dea berdiri, lalu berjalan meninggalkan Yada yang kini ikut berdiri, lalu mengejar Dea sambil tertawa terbahak-bahak.
"Orang gilaa ... orang gilaa ... orang gilaa marah!" Yada memeletkan lidah, lalu berlari menyalip Dea, disusul oleh pekikan tak terima dari gadis itu.
Mereka berlarian di antara dekap matahari terbit di pelabuhan, dan juga suara tenang air laut pagi itu.
Tak akan percaya bila sedari tadi ternyata Natha ada tak jauh dari mereka. Natha ada di ruko ketika Yada mengintip tadi. Ia tadinya datang untuk mematikan lampu. Kemudian memutuskan untuk mengikuti ke mana arah Yada pergi. Memperhatikan saat adiknya menurunkan kotak-kotak makan dari motor.
Menerima pembayaran sambil tersenyum kecil.
Lalu duduk ke tepian dermaga tatkala pekerjaannya sudah selesai. Natha bersembunyi di balik topinya bersama orang-orang pelabuhan.
Pemuda itu kini menatap dalam diam. Ingin mendekap adiknya. Ingin menggantikan Dea, menjadi sumber tawa adiknya.
***
Akshaya berdeham sejenak.
Tangannya gemetar di atas kemudi. Susah sekali dikendalikan. Sementara jantungnya berdebar tak karuan.
Pria itu berusaha menenangkan diri, meminum air mineral sebanyak yang bisa ia tenggak, lalu mengembuskan napas sambil menunduk.
Diusapnya detak jantung yang menggila. Meski sudah lama dokter bilang, ia bisa saja mati karena serangan jantung yang menjadi salah satu komplikasi berbahaya dari penyakitnya, nyatanya Akshaya selalu ketakutan.
Terlebih saat ini.
Ia tidak ingin mati di saat ia hanya berjarak beberapa meter saja dari kediaman Bening dan Yada.
Akshaya mengangkat wajah saat dirinya mulai tenang. Ia tidak kesakitan, justru panik, takut tidak bisa menahan kerinduan yang selama ini mencengkeram relung hatinya.
Diraihnya topi dan masker hitam. Pria tampan berlesung pipi dan bertubuh jangkung itu mengusap wajah. Merapalkan doa sebelum akhirnya turun dari mobil siang itu.
***
"Saya nggak nyangka kalau Pak Aksha ini ternyata ayahnya Yada." Lesmana tersenyum canggung saat menemui Aksha di Meruorah, salah satu hotel mewah yang ada di Labuan Bajo, tempat di mana Aksha dan Natha menginap sebelum nantinya mendapatkan rumah yang pas sebagai tempat bernaung di kota itu.
Pagi itu mereka sarapan bersama. Lesmana menyerahkan kunci Toyota Rush milik Akshaya sekaligus memberi tahu sudah sejauh mana proses jual beli bangunan. Proses yang sangat ajaib. Tawar menawar hanya hitungan hari. Lalu deal, penunjukan notaris, pengiriman uang muka, dan sekarang sudah mulai proses balik nama di sertifikat tanah dan bangunan.
"Iya, Mas James. Tapi, tolong, rahasiakan ini dari semua orang yang nggak berkepentingan, ya, Mas. Saya mau jaga perasaan anak saya." Akshaya tersenyum lirih sambil menyesap air hangat bercampur madunya.
"Sejauh ini, saya cuma cerita sama istri, Pak. Karena, dia yang berhasil minta data-datanya Mbak Bening buat urusan notaris kemarin. Kebetulan, sekalian daftarin Depot Solo biar jadi official UMKM-nya Labuan Bajo. Mbak Bening sering banget dapat orderan peyek kacang sama abon ikan pogot. Catering-annya juga rame. Makanya, pas banget. Untungnya, Mbak Bening juga nggak banyak tanya pas Novita mintain data."
Akshaya tersenyum, pikirannya lantas melayang kepada istrinya yang pandai sekali memasak.
Pria itu lantas mengeluarkan ponsel, mentransfer uang sejumlah 20 juta untuk Lesmana sebagai ucapan terima kasih karena sudah banyak membantu: mencarikan lapak di Labuan Bajo, menjembatani pembelian ruko, mengambil mobil di pelabuhan, mengutus sepupunya untuk menemani Natha belanja selama di Surabaya, dan menjaga rahasia.
"Mas James, boleh kasih tunjuk di mana Yada dan ibunya tinggal?"
***
Lantas, di sinilah Akshaya berada sekarang.
Pria itu berdiri canggung di depan etalase warung milik Bening. Menatap terharu deretan makanan yang ada di sana. Juga hatinya terkikis perih saat melihat bangunan yang katanya menjadi tempat bekerja sekaligus rumah Bening dan anaknya.
Akshaya mengepalkan tangan, mulai ingin menyakiti diri sendiri.
Tepat, sekali. Selama ini ia selalu menyakiti diri sendiri karena berpikir anak dan istrinya pasti hidup sulit entah di mana. Akshaya tidak pernah membiarkan dirinya hidup dengan tenang.
Terlebih, dengan segala kejahatan yang sudah ia lakukan.
"Kakak, ada yang bisa saya bantu? Kakak cari apa?" Seorang gadis berkulit putih dan rambut sebahu bekas rebonding-an itu muncul dari dalam, menyapa Akshaya yang terlihat kebingungan.
Akshaya tersenyum di balik maskernya. Ia mengeratkan topi, lalu melangkah maju, dan berkata, "Saya mau makan."
Merlin tersenyum lebar, lalu membuka tirai yang menutupi etalase makanan. "Mari, Kak. Silakan, mau makan apa biar saya ambilkan."
Akshaya menghela napas. Kepalanya bergerak, beredar meniti ruangan yang tak seberapa besar itu. Mencoba menahan debar kerinduannya yang mulai tidak bisa ditahan-tahan.
Berbagai menu makanan yang ada di etalase membuatnya membeku. Setelah sekian lama, akhirnya ia akan memakan masakan Bening lagi.
Sepiring nasi dengan lauk sayur bayam, ikan kembung balado, dan bakwan jagung sudah ada di tangan. Akshaya membawanya ke meja yang berada di pojok ruangan. Lalu tersenyum saat Merlin membawakan sebotol air mineral yang tadi ia pesan.
Lama ia pandangi piring itu.
Dulu, begitu mudahnya ia mengecap lezat dari setiap masakan Bening. Kini, ia harus melakukan penyamaran untuk dapat menikmatinya.
Akshaya menunduk. Mengusap matanya yang merah dan berkaca-kaca.
Perlahan, tangannya menurunkan masker ke leher. Mengeratkan topi. Berjaga andai saja Bening muncul, ia tidak lantas ketahuan.
Pesan dari Yada masih jelas ia ingat.
"Jangan berani-beraninya Yayah datang dan menemui ibu. Kecuali aku yang udah ikhlas kalau kalian ketemu!"
Maka, demi rasa sayangnya kepada Yada, ia akan berusaha lebih lama lagi menekan kerinduan yang ada.
Akshaya berdiri, mencuci tangan di wastafel dekat pintu dapur. Lalu duduk dan berdoa sebelum memasukkan masakan Bening ke mulutnya.
Sedetik kemudian, pada lumatan pertamanya, air mata Akshaya menetes.
Kepalanya menggeleng, tak karuan sekali!
Sesuap demi sesuap, mampu membangkitkan nostalgia di hatinya yang membuncah bersama lara.
Sempat berhenti menyuap untuk menutup wajah, Akshaya mengembuskan napas menenangkan diri, telaten melahap hingga makanan di piringnya ludes tak bersisa.
Ayah dari Yada itu kemudian berdiri, menyodorkan piringnya kepada Merlin dan berkata, "Mbak, mau nambah."
Merlin tersenyum lebar, semangat sekali melayani Akshaya.
Kali ini, nasi dengan garang asem yang dibungkus daun pisang, tumis jamur, dan perkedel yang ada di piring Akshaya.
Lagi-lagi dengan haru yang tak tertahan, pria itu menelan makanannya dengan lahap. Kepalanya menunduk, sesekali membiarkan air matanya menetes, berusaha menyesap rindu untuk Bening lewat makanan-makanan itu.
Sungguh, Akshaya tidak kuat.
Ia merindukan belahan jiwanya.
Ia kangen Bening.
Akshaya ingin Beningnya lagi.
"Siang, Enu Merlin! Mbak Bening nia?" Sebuah suara yang mengudarakan nama mantan istrinya membuat Akshaya mengangkat kepalanya.
Di sana, di dekat etalase, ada seorang pria yang gagah, tinggi, dan tampan tersenyum kepada sang pelayan depot.
"Ada Mbak Bening di atas. Lagi setrika baju. Mau buat apa, Pak El? Pesan ayam geprek, kah?"
"Iyo, Nu."
"Baik sudah, biar saya yang buat, Pak El."
"Pesan 20, Nu. Buat ABK-ABK di kapal, lagi pada docking tipis-tipis mereka, Nu, di Pantai Binongko. Yakin Enu yang mau masak, kah?" Elbark tersenyum geli melihat wajah Merlin yang tak lagi percaya diri.
"Ih, baik sudah, tunggu sebentar Pak El, biar saya panggil Mbak Bening dulu, e. Nekarabo." Merlin segera berlari ke dalam, menaiki tangga sambil memanggil nama Bening.
Sementara Elbark masuk ke dalam warung, duduk di meja paling depan sambil mengeluarkan Iphone-nya.
Suara berisik dari atas segera terdengar. Langkah-langkah menuruni tangga pun kian kuat.
Akshaya mengepalkan tangan. Menegang di tempatnya. Hanya beberapa detik saja, jantungnya tiba-tiba serasa ingin berhenti berdetak.
Setelah lima tahun, setelah jutaan menit dan ribuan hari terbuang tanpa cinta, kini ia melihatnya lagi. Belahan jiwanya, asmara di nadinya ... Bening cantiknya.
Akshaya terpana.
Bening menuruni tangga dengan anggun, hanya menyisakan beberapa detik hingga Akshaya ingat bahwa ia harus bersembunyi.
Masker Akshaya kembali naik menutupi sebagian wajah. Namun matanya tak lantas turun.
Apalagi saat Bening muncul sepenuhnya, menatap ke arahnya, lalu tersenyum sopan dan menyapa, "Siang, Pak."
Akshaya tak memberi reaksi apa-apa selain terus menatap Bening yang kini berjalan menghampiri pria yang tadi datang untuk memesan banyak makanan.
"Mas El." Bening bersuara lagi.
Dan sapaan itu berhasil merobek hati Akshaya.
Beningnya ... menyapa pria lain, tersenyum untuk pria lain.
"Mbak, ayam geprek 20, ya. Tapi, jangan kepedesan. Takut anak-anak sakit perut di kapal."
Bening tertawa. Ia mengangguk setelah menerima pesanan dari Elbark, lalu kembali berjalan masuk, melewati Akshaya begitu saja menuju dapur.
Akshaya menghela napas. Mengusap dadanya sambil meratapi diri.
Andai saja ia berhasil menjadi jahat dan bergejolak lebih cepat, tentu ia tak akan pernah kehilangan Bening dan Yada.
Dan yang lebih menyakiti hatinya, fakta bahwa Bening kini bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Akshaya bagai dihadapkan oleh sebuah mimpi buruk berkepanjangan.
Lagu lama itu kembali terngiang, di mana liriknya berisi cacian tentangnya yang lahir sebagai musibah dan tumbuh sebagai sampah.
Akshaya yang tak pernah berguna, sejak dulu, hingga sekarang.
Menanti dua puluh menit lamanya, hingga Bening muncul lagi membawa pesanan.
Wanita yang hari itu memakai rok linen selutut berwarna cokelat dan kaos putih polos itu masih membuat Akshaya merasa candu.
Sebab itulah, nama Yada diberi kata Kamacandu, hasil buah asmara yang membuat Akshaya candu.
"Totalnya segini, ya, Mas El." Bening menyodorkan nota, yang diterima Elbark dengan senang hati.
"Saya transfer aja, ya, Mbak." Elbark tersenyum, mengetik beberapa saat di ponselnya, dan akhirnya mereka berdua berakhir dengan saling melempar senyum saat ponsel Bening berbunyi, notifikasi uang masuk.
Bening bahkan ikut mengantar Elbark sampai ke pinggir jalan. Terus berdiri di sana hingga Pajero Sport Elbark melaju setelah membunyikan klakson satu kali.
"Ih, indahnya dunia ini kalau melihat Ibu Yada dan Papa Ze saling tersenyum. Terbayang sudah seandainya Mbak Bening dan Pak El menikah, aduh, matahari Labuan Bajo nanti kalah silau." Eci yang baru pulang mengantar pesanan tersenyum menggoda.
"Iya, e. Pasangan termanis di Labuan Bajo ini suka bikin hati jadi baper, ya, Kak Eci?" Merlin pun ikut menimpali. Bening hanya tersenyum kecil digoda oleh Eci dan Merlin.
Sementara itu Akshaya gerah.
Akshaya perih.
Pria itu berdiri, menghadang Bening yang berbalik dan kembali memasuki depot. Tubuh Akshaya menjulang, sementara Bening berhenti sejenak menatap pria dengan topi dan masker hitam itu. "Sudah, Pak?"
Akshaya mengangguk kaku.
Sementara Bening menempatkan diri di balik etalase dan kembali bertanya, "Tadi makan pakai apa?"
Matilah!
Kali ini, Akshaya bahkan tak mampu untuk bersuara. Matanya sudah kembali memerah dan berkaca-kaca. Seutas suara darinya, bisa jadi pecah sebagai tangis yang menguar ke udara.
"Pak?" Bening kali ini menatap mata pria itu.
Akshaya terdiam. Tubuhnya memang banyak mengalami perubahan. Berat badannya turun begitu banyak. Tak lagi segagah dan sesehat pria yang tadi datang.
Kulit tubuhnya kini putih pucat, jika ia tidak mengenakan kemeja lengan panjang untuk melapisi kaos putihnya, tentu Bening akan melihat ada banyak ruam merah dan bekas cakaran di sekujur lengannya.
"Saya makan dua kali, Mbak." Akshaya pada akhirnya bersuara. Kemudian mengarahkan telunjuknya, untuk memberi tahu Bening ia tadi makan apa saja.
Namun selagi Bening menghitung, Akshaya sudah membuka dompet, mengeluarkan lima lembar pecahan seratus ribu dan meletakannya di bibir etalase. Bening masih kebingungan ketika Akshaya sudah kabur dari sana.
"Pak! Pak!" Bening meraih uang dari Akshaya dan hendak mengejar, namun mobil yang dikendarai Akshaya sudah melaju begitu saja.
***
"Itu bangunan lama, nggak bawa hoki. Udah dari lama disuruh banting harga, orangnya sombong, sih! Segala dipatok harga dua milyar lebih, ya nggak ada yang mau. Penyewa yang lama tutup, kan, karena kapalnya kebakaran. Makan korban. Setiap ada yang nyewa, pasti kena musibah atau ada yang meninggal. Angker tempat itu. Kok, pembelinya nggak aware, sih, sama tempat bagus tapi dijual murah kayak gitu?"
Yada diam saja, ia tekun membantu mengumpulkan data tamu-tamu yang besok mau berangkat sailing dengan speedboat Pinguin. Sementara omongan Widi, head reservation di Compastrip, hanya masuk kuping kanan keluar kuping kanan lagi.
"Manusia macam apa kamu ini, hari gini masih percaya sama tempat-tempat angker." Lesmana membalas sambil berusaha hati-hati sebisa mungkin dalam memilih kata. Di situ ada Yada, bahaya!
"Lho, benar, sih. Itu tempat strategis bukan main, seorang James saja nggak mau ambil tempat itu dulu. Malah lebih milih melipir ke Lamtoro daripada punya kantor di Soekarno Hatta."
Lesmana menggelengkan kepala. Takut lama-lama keceplosan. "Anggap saja itu rejekinya si pembeli. Dapat harga murah, tempat bagus."
"Mau buka usaha apa dia di sana? Aku lihat tadi udah mulai diberesin tempatnya. Lagi dicat ulang sama dibersihin."
Dijawab tidak, ya?
Lesmana tidak mau menjawab bahwa tempat itu akan menjadi toko baju dan sentra kaos printing. Nanti, malah Yada curiga.
Widi hampir membuka mulut lagi tatkala telepon kantor berbunyi dan ia bergegas mengangkat. "Compastrip reservation, Widi speaking. How can I help you?"
Alhasil, Lesmana memilih keluar dari kantor, merasa terselamatkan, dan menaiki motor entah ke mana. Meninggalkan Widi yang kini sedang kerja dan anak-anak magang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Yada, Ezekiel, dan Dea.
Tepat pukul 4, Yada memutuskan untuk pulang. Dari Lamtoro, anak itu tak ingin memotong jalan menuju rumah. Yada turun ke pelabuhan. Anak itu dengan santainya duduk di atas motor, jajan salome, semacam cilok, atau bakso tusuk khas Labuan Bajo.
Lalu saat ingin kembali ke rumah, melewati jalan Soekarno Hatta dan pertigaan jalur masuk KP3, Yada tercengang.
Toyota Rush yang kemarin Lesmana jemput di pelabuhan, kini terparkir di pinggir jalan, tepat di seberang bangunan 'angker' yang baru saja terjual.
Mobil berplat L itu membuat Yada meminggirkan motor entah untuk alasan apa.
Nyaris ingin pergi lagi, namun urung tatkala Yada justru melihat sosok manusia yang sungguh tak ia inginkan ada di Labuan Bajo, keluar dari ruko dan menyeberang jalan untuk memasuki mobil.
Tangan Yada mengepal. Anak itu turun dari motor dan berdiri tepat di depan mobil.
Sementara Akshaya yang baru saja menghidupkan mesin kini mengangkat wajah. Terkejut setengah mati melihat ada buah hatinya di sana.
Yada di sana ... berdiri menatapnya dengan rasa kesal yang membara.
"Yayah cari mati, ya?" tanya Yada saat Akshaya kembali turun dan kini berdiri di depannya.
Akshaya mengepalkan tangan. Ingin gentar, namun rasa rindunya memicunya untuk tetap tegar.
Kepalanya menggeleng, dan berkata, "Yayah cari kamu."
Yada mendengkus keras. Ia menoleh ke arah ruko, dan melihat ada Natha di sana sedang sibuk mengecat dinding bagian dalam. Seharusnya dia paham dan sadar, bahwa ayahnya tidak akan memenuhi permintaannya.
Hanya berselang dua minggu, nyatanya, mereka sudah ada lagi di Labuan Bajo.
"Yayah mau lihat-lihat rumah, Yada mau ikut?" Akshaya berusaha untuk tetap tersenyum, meski hatinya pilu sekali melihat wajah murung Yada.
"Olee, AJP sedang apa, AJP?" Seorang pemuda yang berjalan di trotoar bersama gerombolannya berhenti saat melihat Yada berdiri di pinggir jalan, tepat di depan mobil baru dan seorang pria.
Yada menoleh, lagi-lagi mendengkus mendapati ada Frans dan kawan-kawannya di sana. Mereka adalah teman seangkatan Yada dan sama-sama sedang PKL di salah satu kantor agen wisata di daerah Soekarno Hatta. Sayangnya, Frans bukan teman. Anak itu lebih tepat dianggap sebagai haters Yada.
"Tangkapan baru, e?" Frans melirik ke arah Akshaya sambil tertawa mengejek. "Memang pintar kamu, Da, cari mangsa buat si ibu janda. Tahu saja mana-mana pria kaya yang mau kamu sodorkan ke ibumu."
Yada menghela napas, dengan gerakan secepat kilat ia naik ke trotoar dan langsung meninju wajah Frans.
"Lae!" Yada berteriak kesal. Sementara Frans tersungkur setelah bibirnya pecah seketika. Teman-teman Frans lantas hendak mengeroyok Yada, namun Akshaya dengan sigap menarik tubuh putranya untuk menjauh dan mendekapnya dari belakang.
"Jangan pernah berani-beraninya kamu menghina ibuku, ya, Frans!" Yada kembali berteriak.
Frans berdiri, suasana mulai ramai, beberapa orang mendekat, termasuk Natha yang segera menyeberang jalan demi melihat Yada dan Akshaya.
"Apa salahku, ibumu betulan janda yang sedang cari mangsa, kan?" Frans kembali menyulut.
Yada pun mengerahkan tenaganya untuk lepas dari kungkungan Akshaya. Namun, Natha sudah terlebih dahulu berdiri menjulang di depan Frans.
Pemuda itu diam, hanya menatap Frans dengan begitu tajam. Tidak berkata-kata, hanya saja urat di leher dan rahang Natha mengeras dengan begitu jelas.
Frans terdiam. Teman-temannya pun mengkeret saat melihat kepalan tangan Natha. Belum lagi Natha saat itu hanya memakai kaos tanpa lengan dan ikat kepala dengan kain tenun khas Flores. Terbayang sudah, apabila bogeman itu melayang, bisa jadi mereka langsung masuk Siloams.
Anak-anak itu tak berani berkata-kata. Natha begitu menakutkan. Bahkan saat pemuda itu berkata, "Ibuku memang janda. Tapi, aku juga bisa bikin ibu kalian semua ikut jadi janda. Mau kalian?"
Frans menelan ludah, teringat bapaknya yang sedang sakit stroke, ia pun kini takut seandainya benar ibunya akan menyusul Bening untuk menjadi janda.
Beda dengan Frans dan teman-temannya yang mendingin, Yada justru masih mendidih.
Anak itu berhasil lepas dari tangan Akshaya dan hendak maju lagi, namun ayahnya masih mencoba untuk menahan. Yada kesal, maka dari itu ia berbalik, melayangkan tinjunya kepada Akshaya dengan begitu menggebu.
Akshaya tersungkur, sementara itu Frans dan teman-temannya terkejut bukan main. Begitu juga dengan Natha yang kini membalikkan badan. "Yada."
Yada mengepalkan tangan, napasnya tidak bisa tenang. Sudah lama ia butuh pelampiasan. "Senang, Yah? Senang bikin ibu jadi janda? Udah lihat, kan, gara-gara Yayah, ibu sering jadi bahan gunjingan! Dulu dihina keluarga ibu, di sini juga ada yang suka memandang remeh hanya karena ibu janda. Yayah seneng dengernya? Hah!! Seneng?"
Yada menghela napas. Ia lantas berbalik badan, menatap Frans dan teman-temannya yang kini berdiri tak enak hati. Lalu turun dari trotoar, memakai helm, dan menaiki motornya.
Hanya lima menit, ia tiba di rumah. Menyongsong tubuh Bening yang sedang berdiri di depan kompor. Memeluknya dari belakang. Meneteskan air mata dalam diam.
Bening tersenyum. "Assalamu'alaikum, anak ibu."
Yada menjawabnya dalam hati.
"Kangen ibu, ya?"
Kepala anak itu mengangguk.
"Hati Yada lagi nggak enak, ya?"
Lagi, Yada mengangguk. Tangannya erat memeluk Bening, membuat Bening memutuskan untuk mematikan kompor dan membiarkan Yada menyalurkan perasaan kepadanya.
Ketika Yada mendung, hujannya lebat di hati Bening.
***See You Next Chapter***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
