
Jika ayahnya datang hanya untuk menjadi pesakitan yang butuh disayang, Yada tidak rela jika tawa Bening harus kembali hilang.
Namun, tiba-tiba ia ingat, pada suatu pagi 3 tahun silam, di Bukit Amelia saat matahari terbit pukul 6 pagi, Dea pernah berkata, "Yada, setiap ucapan itu bermakna doa. Kata ibuku, kita harus bicara yang baik-baik. Supaya, kalau ada malaikat lewat, ucapan atau doa kita bisa menjadi nyata, dikabulkan dengan indahnya. Begitu juga, jangan bicara yang buruk-buruk. Kalau malaikat...
Permintaan mahar dan pelangkah 100 juta itu, membuat jiwa dan semangat Akshaya berkobar dengan begitu dahsyat. Pemuda berusia 23 tahun itu kerja mati-matian, membesarkan usaha kain dan pakaiannya di Tanah Abang, juga melakukan banyak hal untuk mendapatkan uang.
Bening berhenti melangkah beberapa meter dari kios Akshaya. Gadis itu terdiam, menatap kekasihnya yang giat dan bersemangat sekali melayani pembeli grosiran.
Suara tangis bayi juga sesekali terdengar, membuat Akshaya bagaikan orang tua tunggal yang sedang kerja keras sembari mengasuh buah hatinya.
Dia masuk ke dalam, lalu keluar lagi untuk membantu mengangkat barang bersama Natha yang ada di gendongan.
Bening menghela napas, matanya berkaca-kaca. Lalu memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan menenangkan diri.
Ia ingin sekali mundur, tidak ingin membebani Akshaya yang hidupnya sudah penuh rintangan.
Tidak ingin menjadi pasangan hidup yang menguras tenaga dan darah kekasihnya. Namun, Akshaya selalu berpesan agar Bening tidak pergi. Akshaya selalu bilang takut kehilangan Bening.
Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, pemuda itu lupa akan dirinya sendiri. Di pikirannya hanya ada kerja untuk memperjuangkan Bening, juga membuktikan diri bahwa tanpa Helma dan Brama pun ia bisa membentuk dunianya sendiri.
Berjualan pakaian, menjadi makelar tanah, bergabung menjadi agen properti yang mencari komisi dari penjualan rumah, bahkan berkeliling berjualan baju dari rumah ke rumah, Akshaya lakukan.
Hingga satu tahun kemudian, Akshaya datang lagi ke rumah Bening dengan gagah dan bangga. Memberi mahar dan pelangkah yang orang tua Bening minta.
Kemudian, pada akhirnya ia resmi mempersunting Bening meski Brama dan Helma selalu menentangnya.
***
"Ini rumah kita sementara, Sayang. Nggak papa, ya?" Akshaya tersenyum begitu lebar sambil merangkul Bening di depan sebuah rumah. Rumah sederhana di Palmerah.
"Nggak apa. Ini aja cukup. Yang penting, kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Begitu juga dengan aku," kata Bening, ia menatap Akshaya dengan penuh binar cinta.
"Nanti kalau uang kita udah cukup, kita nggak perlu ngontrak lagi. Kita cari rumah yang lebih besar. Biar anak-anak kita bisa main basket atau sepeda-sepedaan karena ada halaman di depan sama samping rumah."
"Aamiin."
Rumah tangga Bening dan Akshaya terlampau sederhana dan bahagia. Mereka saling melengkapi, mengurangi yang perih, mengisi yang kosong, dan merangkul di kala sepi.
Meski demikian, untuk baktinya terhadap keluarga Lilian, Akshaya sering membawa Bening untuk berkunjung. Hanya sekedar salam dan sapa, agar tidak dikata kacang lupa kulitnya.
"Li, Lili gimana kabarnya?" Akshaya tersenyum saat memasuki kamar Lilian. Adiknya itu kini sudah mau merespon, meski semangat hidupnya tetap tak seberapa.
Lilian balas dengan senyuman kecil. Ia menatap Bening dengan hangat, lalu melambai agar Bening dan Akshaya mendekat. "Maafin aku, ya, Mas. Aku nggak ada di hari bahagia Mas Aksha dan Mbak Bening."
"Nggak papa, Li. Yang penting kamu sehat. Kamu harus kuat, Li. Kamu harus bangkit. Ada mas sama istri mas yang akan jadi temen kamu."
"Iya, Mas. Temen-temen aku semua pada ngilang. Nggak pernah ada yang datang atau telepon ke rumah. Aku juga malu kalau harus keluar-keluar rumah." Lilian menundukkan kepala. "Aku juga nggak bisa kalau harus liat Natha sebesar apa pun mama dan papa maksa. Aku nggak bisa lihat anak itu. Aku takut."
Bening tersenyum perih, tangannya bergerak, mengusap bahu Lilian dan memeluknya dengan hangat. "Jangan khawatir, Li. Kita laluin ini sama-sama. Natha nggak salah. Dia nggak ada salah apa-apa. Kamu nggak perlu takut lihat Natha. Dia rindu sekali sama bundanya, lho."
Akshaya menghela napas. Seandainya bisa, ia ingin sekali membunuh pelaku pemerkosaan yang menghancurkan hidup Lilian. Lilian tidak pantas berakhir menjadi manusia yang terpuruk sendirian seperti sekarang ini.
"Sekarang Mas Aksha dan Mbak Bening tinggal di mana?"
Bening melepas pelukannya, mengusap air mata di wajah Lilian dengan lembut. "Di Palmerah, Li. Mas Aksha sengaja ngontrak rumah di sana, biar nggak kejauhan dari Cideng dan Tanah Abang. Mau main ke rumah?"
Lilian menggeleng. "Aku belum berani keluar rumah, Mbak."
Bisa dipahami, mental seseorang selalu berbeda satu sama lain. Mungkin, ada korban rudapaksa yang mudah bangkit, ada juga yang sulit menatap dunia kembali seperti Lilian.
Seumur hidup tidak pernah mengalami kesulitan, segala keinginan selalu dipenuhi dengan mudah, seolah jalan hidupnya sudah semulus itu, namun tiba-tiba harus hancur di tengah jalan.
Sekalinya mendapat cobaan, adalah masalah yang bukan main-main.
Akshaya prihatin sekali. Ia menggenggam tangan Bening, lalu mengusap kepala Lilian sebelum akhirnya pamit keluar.
Di ruang keluarga, Helma sudah menanti bersama Natha yang sedang menangis dalam gendongan. "Itu ayah, Nath!"
Bening tersenyum sopan, sedangkan Akshaya mengulurkan tangan, meraih tubuh Natha dan menggendongnya dengan sayang.
"Meskipun kamu sudah nikah sama dia, jangan lupa tanggung jawab kamu kepada Natha, Sha." Helma berkata dengan dingin. "Kamu adalah orang yang harus bertanggung jawab dengan menjadi sosok orang tua buat Natha."
Akshaya diam tak menanggapi. Malas kalau harus berdebat.
Sementara Helma kini menatap Bening dengan sengit. Namun, tak sedikit pun membuat Bening gentar. Jauh sebelum menikah, Akshaya sudah memberi tahunya segala tingkah laku dan kebiasaan orang tua angkatnya.
Bening sudah mempersiapkan diri untuk tidak gampang menangis ketika mendapatkan intimidasi semacam ini.
"Demi menikahi perempuan matre seperti kamu, Akshaya sampai harus kehilangan semua fasilitas dari kami dan hidup susah sama kamu."
Bening mengembuskan napas perlahan. Matanya melirik, menatap Akshaya yang kini keluar rumah untuk menenangkan Natha.
"Maaf, Ma. Tapi setahu saya, saya dan Mas Aksha nggak hidup susah sekarang ini. Kami berkecukupan." Bening menjawab dengan tenang.
Wajah ayunya seolah tak berdaya, namun tak cukup dihancurkan oleh mata panas milik Helma.
"Cih, berkecukupan apanya? Hidup ngontrak, kerja serabutan kayak gitu kamu bilang hidup enak? Dasar udik!"
"Nggak papa kalau Mama mau berpikir seperti itu. Terkadang, hidup di dalam rumah semewah ini pun belum tentu menjamin kebahagiaan seseorang. Contohnya ... anak mama di dalam. Atau, Mas Akshaya dulu." Kepala Bening bergerak, seolah menunjuk ke arah kamar Lilian berada.
Dan itu membuat Helma murka bukan main.
"Dasar wanita kampungan! Kurang ajar kamu, ya!" Wanita itu berdiri dengan napas menggebu, nyaris melangkah untuk menampar wajah Bening andai saja Akshaya tidak datang dan menarik Bening dari tempatnya duduk.
"Ma! Tolong, jangan begini! Hargai Bening sebagai istriku, Ma." Akshaya menatap Helma dengan garang.
"Kamu ngomongin harga? Emang kamu siapa, Aksha? Kamu juga sama kayak istrimu, sama-sama orang nggak jelas yang bisanya cuma cari bantuan ke orang-orang yang punya uang!"
Bening mengepalkan tangan, sementara Akshaya malas sekali untuk membalas Helma. Ia mengeratkan genggamannya terhadap Bening, lalu berkata, "Ma, Aksha pamit pulang. Natha aku bawa. Pekan depan, aku antar Natha pulang. Atau, silakan Natha dijemput kalau Mama atau Papa keberatan."
Helma mengepalkan tangan.
Pasangan pengantin baru itu pergi dari hadapannya begitu saja. Ketika Helma membalikkan badan, ia melihat Akshaya berjalan merangkul Bening, sementara Natha berada di dalam dekapan Bening dengan begitu nyaman.
Mereka kemudian menaiki motor dan meninggalkan rumah itu tanpa menoleh lagi.
Helma marah!
Helma tidak suka melihat Akshaya bahagia tanpa campur tangannya dan Brama!
Wanita itu lantas berteriak kesal, duduk di sofa dengan tangan mencengkeram kepala. Keluarganya kehilangan anak yang bisa diandalkan. Akshaya sudah tidak bisa dikendalikan. Sementara Lilian hidup dalam ketidak berdayaan.
***
"Di kamar Bening, ada Akshaya, ya?" Lasmaya bertanya kepada Panca yang duduk termangu di ruang tamu.
Panca menganggukkan kepala. "Baru datang langsung izin tidur. Kasihan, makin hari makin kelihatan lesu. Padahal, katanya baru pulang jalan-jalan. Nih, bawa oleh-oleh dia."
Lasmaya menatap lima pouch besar berisi kopi khas Flores. Juga ada dua lembar kain tenun warna cokelat yang sangat cantik.
"Sendirian aja dia?"
"Iya, bawa mobil sendiri."
Sepasang suami istri lanjut usia itu kini duduk berhadap-hadapan. Menghadapi pelik dan sepinya masa tua. Menyelami sesal yang tak pernah berhenti menggerogoti.
Tak lama kemudian, mobil Aruni berhenti di depan rumah. Putri pertama keluarga itu datang sambil menyeret koper. Matanya sembab dan wajahnya suram bukan main. Begitu tiba di ambang pintu, perempuan itu terdiam sejenak.
Bagaikan mengulang cerita 5 tahun yang lalu, di mana Bening datang bersama Yada dengan kondisi yang sama hancurnya.
Aruni menggelengkan kepala. Lalu menangis tatkala Lasmaya dan Panca kini berdiri dan menatapnya dengan iba.
"Pa, Ma. Aruni sekarang sudah resmi jadi janda." Aruni melepas koper, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Maaf, maafin aku. Maafin aku yang membuat papa dan mama malu."
Lasmaya dan Panca spontan terngiang lagi dengan kisah yang sama.
"Tolong, jangan tolak aku. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain mama sama papa dan Sandi."
Namun, kisah yang nyaris sama itu dibalas dengan perlakuan yang berbeda. Kali ini, Aruni tidak mendapat caci maki. Panca dan Lasmaya justru mendekat, memeluk putrinya, lantas menangis bersama-sama.
"Ini adalah karma Aruni karena aku nggak pernah membantu adik sendiri saat Bening kesusahan. Bahkan, aku diam aja saat Bening merasakan hal ini dulu. Sekarang, Allah kasih tahu aku bagaimana rasanya menjadi Bening. Maaf, maafin aku, Ma, Pa. Tolong jangan usir aku juga."
Suara tangis Lasmaya dan Panca makin keras. Mereka tidak menangisi nasib Aruni, tapi mengarungi penyesalan yang selama ini menghantui.
Dulu Bening pernah datang untuk meminta disambut oleh kehangatan, justru disuguhi cacian panjang.
Tangis penyesalan itu tak luput dari pendengaran Akshaya yang duduk bersandar di ranjang kamar Bening.
Kamar kecil itu begitu penuh dan sesak oleh barang-barang Bening dan Yada.
Lima tahun yang lalu, sebelum kisah miris itu terjadi, Bening memindahkan barang-barang miliknya dan Yada ke rumah itu diam-diam secara berkala sebelum keputusan cerai diketuk palu hakim. Bening seolah tidak ingin meninggalkan jejak apa pun di rumah yang dibeli oleh Akshaya untuk keluarga kecil mereka.
Menatanya di dalam kamar, karena memang tidak ada lagi tempat yang bisa Bening tuju selain rumah orang tuanya sendiri. Namun, rencana Bening untuk pulang pun nyatanya ikut tersapu gelombang.
Bening tak pernah lagi datang, karena pergi dengan hati bagai terusir bersama segelintir barang saja.
Pun sekarang, Akshaya dilarang mengangkut barang-barang itu oleh Lasmaya dan Panca. Mereka masih berharap Bening dan Yada menjadikan rumah itu sebagai tempat pulang ... meski entah kapan.
Akshaya menghela napas. Meraih boneka bantal besar berbentuk ceplok telur milik Yada kecil, memeluknya dengan seerat yang ia bisa.
Pria itu lantas terlelap. Tak peduli dengan suara isak tangis yang samar terdengar di luar kamar. Ia hanya ingin di sana, menikmati kesendiriannya bersama bayangan Bening dan Yada.
Hanya lima belas menit berselang, ponselnya berdering. Nama James Compastrip terpampang di layarnya.
"Ya, Mas James?"
***
"Ngapain, sih, Mas James nyari-nyari ruko lagi?" Ezekiel protes sore itu. Bukannya bersantai di kantor, ini Lesmana malah mengajaknya berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari ruko.
Yada berdecak. Ezekiel benar-benar bising! Sedikit-sedikit protes, sedikit-sedikit mengeluh. "Diam bisa nggak?"
Ezekiel menutup mulut, menoleh kepada Yada yang kini sedang memberikan tatapan tajam kepadanya. "Apa hakmu suruh aku tutup mulut, hah?"
"Mulutmu bau! Bau neraka!"
"Kamu pikir kamu bau surga? Kamu pun bau, Da. Bau-bau masa depan suram!"
"Kalau begitu bilang papamu untuk tidak dekat-dekat lagi dengan ibuku. Aku bau masa depan suram, kan? Papamu nggak level punya janda anak satu yang bau masa depan suram!" Yada juga kesal.
Hari itu, Selasa, 12 Juli 2022, saat pergi ke dermaga tadi pagi, semua orang bertanya nasib asmara di antara Bening dan Elbark. Katanya, selama ia pergi ke laut, Bening dan Elbark sering terlihat bersama dan mesra. Yada terganggu, Yada tidak suka!
Semakin terganggu karena Ezekiel juga menyebalkan!
"Kamu tidak punya hak juga untuk kasih larang papaku. Memang kamu ini siapa? Dasar egois! Cuma pikir diri sendiri sa. Kalau papaku bisa kasih senang ibumu, kamu bisa apa, e?"
"Ngimpi kamu! Ibuku nggak akan mau sama papamu! Mereka beda server! Buka mata, pakai otak, Ze. Mereka beda agama! Lagian, aku nggak sudi punya saudara kayak kamu!"
Ezekiel nyaris maju, ingin menghantam Yada andai saja Lesmana tidak sigap menahan dengan berdiri di tengah-tengah keduanya. "Hadeuh, kalian ini kenapa, sih? Kekanakkan banget."
"Ya emang kita masih anak-anak, to, Mas James!" Ezekiel menoleh, gantian menyemprot Lesmana hingga laki-laki itu terkejut.
"Iya, kamu anak dugong!" Yada kembali menyulut.
"F*ck, kamu, Da!"
Lesmana menghela napas. "Udah dong, ya. Nggak lucu banget kalian berantem di tempat umum kayak gini."
Ezekiel dan Yada diam. Mereka memang sekarang sedang berada di sebuah bangunan bekas outlet operator diving tepat di jalan masuk menuju Dermaga KP3.
Sekarang saja, banyak mata sudah tertuju kepada Ezekiel dan Yada. Mungkin, menanti terjadi senggol bacok betulan. Kalau berkelahi, direkam, viral, masuk ke Instagram labuanbajoinfo, kan, lumayan. Pengirimnya bisa pansos! Numpang eksis.
"Cepat minta maaf. Lagian kalian ini, berangkat sailing akur, pulang-pulang berantem. Kenapa, sih?"
Yada menghela napas. Enggan menjawab. Begitu juga dengan Ezekiel.
"Nggak mau jawab?" Lesmana bertanya sekali lagi. "Ya udah, aku telepon Pak Elbark dan Bu Bening, nih!"
"Yada marah karena aku minta tukar tempat di kapal. Padahal, tadinya dia, kan, setuju sendiri, to, Mas James? Aku di Yumana, dia di Elbark. Kenapa pas di Pulau Padar dia malah marah-marah ke aku?"
Ezekiel menurunkan nada bicaranya, ia menatap Yada yang kini membuang muka sambil mendengkus keras. "Kamu marah kenapa? Kasih tahu sekarang, Da."
"Ayo, Da. Jujur, kenapa marah sama Ze?" Lesmana meraih bahu Yada, meremasnya untuk memberi dorongan semangat.
"Ezekiel bilang dia pantau aku dari Yumana. Dia juga tanya hal yang aku nggak suka. Aku tersinggung. Aku ngerasa Ezekiel terkadang nggak mikirin privasi orang dan aku nggak suka."
Lesmana menghela napas, lalu kini beralih menatap Ezekiel. "Benar itu, Nana?"
Ezekiel mengangguk menyesal. Sejujurnya, ia tidak betah berkelahi dengan Yada. Ia tidak nyaman kalau Yada marah. Tapi, ia juga tidak bisa tahu salahnya di mana. Lebih tepatnya, Ezekiel tidak bisa meraba dirinya sendiri.
"Aku heran saja, lho, Mas James. Yada sore-sore dipeluk om-om di Elbark. Paginya, Yada bicara tidak jelas dan mau kasih tinggal om itu di Padar. Padahal om itu mimisan, Mas. Mas James pernah lihat Yada benci orang, kah? Tidak, to? Kita semua tahu Yada cuma benci sama ayahnya saja. Maka aku tanya, jangan-jangan om itu ayahnya Yada. Eh, Yada marah, Mas James."
Yada nyaris meledak lagi. Tapi tangan Lesmana menahan tubuhnya agar tidak bisa menubruk Ezekiel.
"Jiwa kepomu memang patut diacungi jempol, Ze." Lesmana terkekeh ringan, lalu meraih bahu keduanya, merangkulnya di samping kanan dan kiri. "Damai sudah! Damai itu indah. Sebentar lagi, nih, ada yang mau beli ruko ini. Aku dapat komisi. Kalian mau ditraktir apa?"
***
"Hasil pemeriksaan ayah gimana, Nath?" Lilian bertanya kepada Natha malam itu.
Keberadaan Natha di rumahnya bisa dihitung dengan jari. Semenjak Helma dan Brama meninggal, juga sejak Bening dan Akshaya bercerai, Natha lebih sering memilih pulang ke rumah Akshaya di Permata Hijau. Rumah yang dibeli Akshaya setelah tiga tahun pernikahan dengan Bening kala itu.
Rumah hasil kerja keras Akshaya sendiri bersama Bening. Rumah yang dibeli tepat di ulang tahun kedua Yada.
"Kata dokter, ayah bisa perawatan di rumah. Bunda tahu, kan, ayah nggak akan bisa sembuh. Cuma bisa bertahan aja dan itu entah sampai kapan. Jadi, tolong izinin Natha rawat dan temenin ayah, ya. Setidaknya, sampai ayah bener-bener ada yang ngurusin, Bun. Sampai ibu dan Yada mau maafin ayah. Sampai ayah nggak sendirian lagi."
Lilian tersenyum kecil. "Tapi nanti kamu gimana? Sambil kuliah, ya, Nath? Di mana pun itu bunda nggak masalah."
"Aku bisa kuliah nanti, Bun."
Natha sama sekali tidak ingin melanjutkan kuliah, atau menjauh dari Akshaya yang hidup dalam kesendirian.
Lima tahun yang lalu, ia turut serta menjadi saksi tindakan ekstrim yang dilakukan Akshaya terhadap Brama dan Helma.
Natha menjadi saksi mata betapa Akshaya hancur lebur tanpa Bening dan Yada.
"Aku ke kamar dulu, Bun." Natha meraih tangan Lilian, menciumnya, dan berlalu pergi begitu saja. Saat melewati tangga, ia berhenti sejenak. Mengenyahkan rahasia yang selama ini membayanginya.
Pemuda itu menutup pintu kamar, menguncinya dari dalam.
Hari ini, dokter ayahnya bilang bahwa Akshaya harus tetap menjalani berbagai terapi untuk mempertahankan nyawa. Membuang sel darah merah berlebih, terapi obat untuk rasa gatal yang menyiksa, meminum obat-obatan untuk menjaga kondisi, menghindari pantangan-pantangan untuk meminimalisir terjadina komplikasi, dan terpahitnya, Akshaya harus kemoterapi.
Kanhanatha:
"Sampai sekarang, aku nggak bisa jauh dari ayah bukan karena aku egois, Da. Tapi karena, ayah hidup sendirian. Kalau ayah kenapa-kenapa nggak ada yang bantuin dia."
Pesan itu Natha kirim kepada Yada. Yada sendiri yang memberi nomor ponselnya, dengan syarat, mereka tidak akan pernah datang lagi ke Labuan Bajo, dan tidak ada yang berusaha mencari Bening.
Ceklis dua biru.
Pesan itu sudah Yada baca.
Natha tersenyum kecil. Pemuda itu kemudian mengirim sebuah pesan lagi.
Kanhanatha:
"Sakitnya ayah, sakit yang nggak bisa sembuh. Harus ditemenin, harus ada yang ngertiin. Kadang, ayah bisa nggak tidur semalaman karena susah napas kalau rebahan. Kadang, ayah nggak bisa tidur semalaman karena tubuhnya gatal-gatal tapi nggak boleh digaruk. Kadang, ayah pusing sampai pingsan."
Pesan itu sudah Yada baca lagi.
Kanhanatha:
"Ayah sampai sekarang tetap kerja keras. Tetap ngejalanin bisnisnya. Tetap berusaha sibuk semata-mata biar dia ngerasa nggak kesepian.
Tiga tahun yang lalu, ayah pingsan di tokonya yang di ITC Kuningan. Tahu-tahu, kena vonis PV. Sejak saat itu aku mutusin buat nemenin ayah, Da. Semata-mata karena kondisi ayah, juga untuk menebus rasa bersalahku terhadap kalian."
Natha berharap, dengan cerita itu, cerita di balik kedekatannya dengan Akshaya, bisa membuat Yada paham. Bahwa dia tidak memiliki tendensi apa pun untuk merebut. Apalagi berbahagia karena monopolinya sukses selepas Bening dan Yada pergi.
Natha tidak pernah bermaksud seperti itu.
"Aku akan menjauh dari ayah, tapi itu nanti. Setelah ayah dapat keluarga yang baik. Entah itu kembali bersama ibu dan Yada, atau bersama keluarga yang baru," ujar Natha, berbisik di antara sunyi rumahnya.
Sementara itu Yada di Labuan Bajo terdiam, melirik ibunya yang sedang melayani pesanan ayam geprek dari Elbark untuk dibawa pulang. Bening terlihat tersenyum ramah, sedang berbincang tipis-tipis dengan Elbark yang juga terlihat begitu cerah.
Yada menghela napas. Meyakinkan diri, bahwa kemalangan hidup Akshaya saat ini bukanlah tanggung jawab Bening. Tidak ada kaitannya dengan Bening. Bukan hal yang penting untuk Bening.
Ibunya berhak bahagia, berhak tersenyum.
Jika ayahnya datang hanya untuk menjadi pesakitan yang butuh disayang, Yada tidak rela jika tawa Bening harus kembali hilang.
Namun, tiba-tiba ia ingat, pada suatu pagi 3 tahun silam, di Bukit Amelia saat matahari terbit pukul 6 pagi, Dea pernah berkata, "Yada, setiap ucapan itu bermakna doa. Kata ibuku, kita harus bicara yang baik-baik. Supaya, kalau ada malaikat lewat, ucapan atau doa kita bisa menjadi nyata, dikabulkan dengan indahnya. Begitu juga, jangan bicara yang buruk-buruk. Kalau malaikat dengar dan Allah nanti bilang iya, gimana?"
Yada terdiam di bangku pojokan warung sambil membaca pesan Natha sekali lagi.
Saat itu, ia lagi-lagi bilang bahwa lebih baik Akshaya mati betulan daripada masih hidup tapi tidak ada.
Mungkinkah, tiga tahun yang lalu, malaikat lewat, dan Tuhan berkata iya?
***See You Next Chapter***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
