
"Di dunia ini, aku maunya menua bersama kamu, Ning." Bila sedari tadi Akshaya memaksakan diri untuk tersenyum, kali ini ia tidak ingin berpura-pura lagi.
Mata Akshaya berkaca-kaca menatap Bening. Sebelah tangannya mengulur, menggenggam gadis itu dengan begitu erat. "Aku sendirian di dunia ini, Ning. Aku butuh kamu, cita-citaku nggak muluk-muluk, aku cuma ingin punya rumah yang hangat dan memiliki keluarga yang memanusiakan aku, Ning."
Bening tak bisa berkata-kata. Pada dasarnya, ia dan Akshaya sedang...
Catatan Sunrise 11:
1. Dapra, bantalan yang berbentuk bola-bola besar yang dipasang di lambung luar kapal untuk menjaga kalau-kalau kapal mau bersandar, atau parkir bersampingan dengan kapal lainnya. Biar bodi nggak lecet gara-gara gesekan.
2. Haluan, area pucuk kapal paling depan.
3. Sundeck, atap kapal.
Selamat membaca Sunrise 11 :)
Bening termangu menatap bayi yang kini berada dalam dekapan Akshaya. Di hari Minggu siang kala itu, Bening memutuskan untuk datang ke kios Akshaya, dan menemukan sang kekasih hati sedang berdagang seperti biasa.
Namun, yang berbeda saat itu, ada bayi dengan usia yang masih sangat muda yang Akshaya tidurkan di balik meja kasir.
Akshaya sengaja membawa Natha hari itu, untuk ia kenalkan dengan Bening sebagai bentuk keterbukaan darinya.
Memilih untuk menutup kiosnya, Akshaya lantas membawa Bening dan Natha untuk duduk di salah satu bangku di sekitaran area kebun Monumen Nasional yang lumayan rindang.
"Ini hidupku yang perlu kamu tahu sebelum kamu memutuskan untuk menerima aku lebih jauh lagi atau nggak, Ning." Akshaya menghela napas. Menunduk, menatap wajah Natha yang masih damai dalam lelapnya.
"Aku hanya anak angkat. Bukan datang dari keluarga terpandang seperti yang kamu pikir sebelumnya. Ibuku pelacur dan ayahku nggak jelas siapa." Akshaya terkekeh miris, lalu menatap Bening yang duduk di sampingnya dengan begitu dalam.
Bening terdiam, hanya membalas wajah tampan Akshaya yang siang itu tampak nelangsa. Sungguh, bukannya Bening mata duitan. Tapi, ia tak percaya bahwa selama ini, baik dirinya mau pun Akshaya, ternyata sama-sama datang dari keluarga yang tidak baik-baik saja.
"Dulu, saat aku umur 16, kerabat ibuku datang dan menjemputku. Ibu katanya pengen ketemu. Papa, mama, dan Lilian, ikut aku ke Pluit. Di sana, ibuku ternyata sedang sekarat. Sakit keras sudah lama, ditambah gaya hidup sebagai perempuan nggak benar. Di sana, beliau bilang, sesungguhnya dia juga nggak yakin aku anaknya siapa, Ning. Aku belum tentu anaknya Alm. Pak Raka, adiknya papa. Terlalu banyak pria yang tidur dengan ibuku. Tapi dari pria-pria yang sudah menolak aku mentah-mentah, ibuku akhirnya memutuskan menjatuhkan tanggung jawab kepada keluarga Pak Raka.
Katanya, berharap aku bisa tumbuh dengan baik di lingkungan yang baik. Semata-mata demi aku katanya, Ning. Karena, setelah aku lahir, ibu bahkan nggak bisa menghitung berapa janin yang ia gugurkan demi nggak mengulang nasib yang sama seperti nasibku."
Akshaya menghela napas. Nasib hidupnya memang semengenaskan itu. Mata yang biasanya hangat dan mengandung beribu semangat, kini terlihat lelah dan begitu layu di mata Bening.
"Aku begitu berhutang budi dengan keluarga mama papaku, Ning. Kalau nggak ada mereka, aku nggak mungkin bisa kayak sekarang. Aku nggak mungkin tumbuh di tubuh yang seolah-olah lahir tanpa cacat dan label haram. Aku anak haram, Ning. Aku nggak berasal dari keluarga baik-baik seperti keluarga kamu."
Bening mengepalkan tangan. Akshaya salah. Meskipun ia lahir dan tumbuh sesuai norma hukum dan agama, tapi itu pun tidak menjamin bahwa hatinya mengalami perjalanan menuju dewasa tanpa ditemani luka.
Bening merasa ia tak lebih dari sekedar sapi perah, ban cadangan untuk keluarganya.
"Sejak kecil, mungkin papa dan mama sudah sangsi tentang statusku. Orang seperti mereka nggak akan percaya begitu saja dengan pernyataan yang keluar dari mulut seorang perempuan nakal seperti ibuku. Mereka mengangkatku karena kasihan, dan berharap suatu saat aku menjadi orang yang bisa mereka andalkan."
Akshaya kembali tersenyum, ia lalu menatap Natha dalam pelukan. Bayi itu, adalah buah dari kelalaiannya terhadap Lilian. Padahal, sejak kecil ia sudah didoktrin untuk menjadi pahlawan yang bisa apa saja untuk membantu dan melindungi keluarga Brama.
"Natha bukan anakmu, kan, Mas?" Setelah sekian lama, Bening bersuara. Ia tak peduli Akshaya lahir dari orang tua macam apa.
Itu hanyalah masa lalu yang tidak bisa diubah meski ia protes hingga matahari berubah arah.
Namun, ia butuh masa depan di diri Akshaya. Ia butuh pergi dari rumah, dan sejauh yang Bening bisa capai, hanya Akshaya yang mampu membuatnya merasa aman dan diperhatikan.
"Natha anak adikku, Ning. Anak Lilian. Aku gagal melindungi dia, Ning. Lilian diperkosa."
***
"Mas, tolong jemput aku di Pasar Minggu. Aku ketinggalan kereta terakhir ke Tanah Abang. Cuma bisa ngangkot sampai Pasar Minggu, Mas." Lilian saat itu masih menjadi mahasiswa di Universitas Pancasila. Terpaksa pulang malam karena ia harus mengerjakan tugas bersama teman-temannya.
Akshaya pun tak jauh beda. Dalam rangka memperluas jaringan, ia pergi bersama teman-temannya ke Tangerang. Nongkrong sambil mencari celah untuk memperbesar usaha.
"Duh, Mas lagi di Tangerang, Li. Kamu nunggu agak lama nggak apa-apa?" Akshaya bergegas bangkit.
Di tahun itu, kereta Jabodetabek masih belum terkoordinir dengan baik. Masih acak-acakan dan lumayan tidak kondusif untuk para perempuan yang pulang malam. Apalagi, Lilian sampai ketinggalan kereta terakhir dari Depok dan terjebak di Pasar Minggu. Sedangkan sopir keluarga bersama Brama dan Helma saat itu sedang berada di Jogja untuk hadir dalam acara keluarga.
Hati Akshaya mulai berdebar tak karuan. Meski bukan adik kandung, tapi Akshaya sangat menyayangi Lilian, satu-satunya orang di dalam rumah yang memanusiakan Akshaya dengan baik.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku tunggu di pos keamanan stasiun, ya, Mas. Mas Aksha jangan lama-lama. Aku agak takut."
"Mas, usahain ngebut, Li. Kamu hati-hati, ya. Jaga diri baik-baik."
Ketakutan Lilian nyatanya semerbak menjadi kenyataan. Berada di tempat yang menurutnya aman tak menjamin keselamatannya. Sebuah angkot asing tiba-tiba melintas. Dua orang pemuda mabuk keluar dari angkot, menyeret Lilian yang berteriak dan meronta hingga tak berdaya.
Di malam yang sepi itu, tubuh Lilian dinodai dan baru diselamatkan oleh warga dan aparat setelah busananya terlepas dengan ganas, saat tubuhnya sudah dinikmati hingga rasanya Lilian ingin mati.
Akshaya datang terlambat. Bukan Lilian ceria yang ia dapati, tapi kehancuran Lilian yang terkapar layu di atas ranjang rumah sakit.
Kejadian itu menghancurkan mimpi-mimpi Lilian, cita-cita Lilian yang ingin menjadi guru terpaksa kandas.
Kesehatan jiwa Lilian luruh, dan keterlambatan Akshaya mendatangkan gemuruh.
Akshaya disalahkan. Dianggap tidak becus menjaga Lilian padahal Brama dan Helma sudah mewanti-wanti Akshaya dengan segala hal tentang kegiatan Lilian.
Hingga akhirnya lahirlah Natha ke dunia, sebagai anak hasil rudapaksa.
Lalu, Akshaya menjadi tersangka utama atas segala tanggung jawab dan balas budi yang harus ia haturkan untuk keluarga Brama.
***
"Sekarang aku serahkan semua keputusan sama kamu, Ning." Akshaya tersenyum pilu. Menatap Bening dengan begitu dalam. "Lilian sampai sekarang belum sembuh. Mama nggak rela kalau harus masukin dia ke rumah sakit jiwa. Kami percaya Lilian masih bisa bangkit. Tapi, aku yang sekarang ini adalah ayahnya Natha, Ning. Aku nggak berharap banyak kamu mau berluas hati menerima pemuda lajang namun memiliki putra seperti aku ini. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, aku tulus, sayang sama kamu."
Bening menghela napas. Ditatapnya wajah Natha dengan pandangan temaram.
Di antara kesedihan yang selama ini ia tanggung, nyatanya ada Lilian yang nasibnya lebih buruk dan mengenaskan.
"Di dunia ini, aku maunya menua bersama kamu, Ning." Bila sedari tadi Akshaya memaksakan diri untuk tersenyum, kali ini ia tidak ingin berpura-pura lagi.
Mata Akshaya berkaca-kaca menatap Bening. Sebelah tangannya mengulur, menggenggam gadis itu dengan begitu erat. "Aku sendirian di dunia ini, Ning. Aku butuh kamu, cita-citaku nggak muluk-muluk, aku cuma ingin punya rumah yang hangat dan memiliki keluarga yang memanusiakan aku, Ning."
Bening tak bisa berkata-kata. Pada dasarnya, ia dan Akshaya sedang berada di dalam satu perahu. Sama-sama haus kehangatan keluarga, sama-sama dibuat menderita oleh tingkah para orang tua.
"Kalau kita bersama-sama, aku nggak papa kalau Mas Aksha jadi ayahnya Natha, tapi aku juga punya satu permintaan buat Mas Aksha. Aku mau, Mas Aksha yang mandiri. Mas Aksha yang nggak berada dalam cengkeraman kendali orang lain. Aku mau ... Mas Aksha yang benar-benar memperjuangkan aku."
Bening menatap Akshaya dengan begitu tajam. Entah ini salah atau benar, ia jatuh cinta dengan Akshaya. Bening tidak bisa kembali mengalah dan mengikhlaskan perasaannya untuk yang kesekian kali. Kali ini, ia mau Akshaya. Akshaya dan segala kehangatannya adalah keinginan terbesar Bening untuk saat ini.
***
Tepat pukul 16.30 WITA, kapal Elbark tiba di perairan Pulau Kalong yang tenang. Jangkar diturunkan, dapra digantung di sisi-sisi lambung luar kapal, dan mesin-mesin dimatikan.
Bukan hanya Elbark yang berhenti di sana, tapi semua kapal yang trip regular di hari Jum'at, akan berada di Pulau Kalong untuk menikmati pemandangan matahari terbenam.
Para tamu tetap berada di atas kapal, beberapa ada yang turun ke air untuk bermain paddle board dan water sport bawaan dari masing-masing kapal yang dinaiki. Ada juga yang iseng loncat dari atas kapal dan jatuh ke laut. Mereka semua bersuka cita.
Di kapal Elbark, ada jus buah naga, spring roll, dan pie buah sebagai snack sore yang dihidangkan untuk para tamu.
Akshaya yang duduk di area haluan hanya bisa tersenyum melihat Yada yang sedang asyik loncat dari kapal berulang kali. Sebagai ayah, jantungnya terasa dicekik oleh kekhawatiran. Takut Yada cedera. Namun, di sisi lain, ia bangga Yada tumbuh menjadi anak yang begitu pemberani.
Natha juga terlihat membuntuti Yada. Yada loncat, Natha ikut loncat. Yada naik, Natha ikut naik. Wajah Yada terlihat suram dari kejauhan, namun Natha malah tertawa-tawa bagai tak ada beban.
"Dimakan, Kak, snack-nya." Bakti mendekati Akshaya, duduk di samping pria itu dengan sedikit canggung. Agak peka, Bakti punya feeling tamunya yang satu ini pasti bukan tamu biasa di hidup Yada.
Akshaya tersenyum, mengangkat gelas berisi jusnya dan meminum tepat di hadapan Bakti. "Makasih, Mas Bakti."
Bakti balas tersenyum, lalu berdeham kecil. "Sebaiknya dihabiskan sekarang, sih, Kak. Atau, kalau mau nanti-nanti, bisa ditaruh dulu di meja dining room di dalam. Nanti, pas udah mau sunset, kelelawar yang jumlahnya jutaan itu akan melintas di atas kita, Kak. Mereka akan terbang dari pulau, ke arah hutan untuk cari makan. Baru pulang besok pagi. Jadi, pas mereka terbang-terbang ini, takutnya ada yang eek dan jatuh di makanan Kakak."
Akshaya tertawa kecil mendengar penjelasan Bakti. "Sunset biasanya jam berapa, Mas?"
"Jam 6, Kak. Sama kayak sunrise di sini, sekitaran jam 6 pagi juga. Besok Kakak mau ikutan sunrise hunting ke puncak Pulau Padar?"
Terlihat menimbang sebentar, Akshaya kemudian menjawab, "Belum tahu, Mas Bakti. Sesanggupnya tubuh saya aja besok."
Bakti berusaha keras untuk tidak menampakkan wajah prihatinnya. Sebelum berangkat, Lesmana sudah bercerita sedikit banyak tentang Akshaya dan kondisi-kondisi yang mungkin saja akan dialami pria itu selama dalam pelayaran.
Sehingga label tamu dengan kebutuhan khusus itu tersemat di kepala Bakti dengan baik. "Kak, kalau Kakak ngerasa nggak nyaman dan ada hal yang udah nggak bisa ditahan lagi, segera info ke saya, ya. Speedboat kami standby di Labuan Bajo, sewaktu-waktu diperlukan, mereka siap jemput."
Akshaya menganggukkan kepala. Lalu menghela napas dan kembali tersenyum sambil melihat Yada yang terdengar ngomel-ngomel karena Natha. "Saya nggak pernah merasa sesehat ini, Mas. Saya baik-baik aja, Mas Bakti tenang aja."
Bakti mengikuti arah mata Akshaya dan berakhir sama-sama menatap Yada dari jauh. "Yada ... Kakak, ayah kandungnya Yada?"
Kalimat itu, tertahan di dada Bakti meskipun ia ingin tahu setengah mati. Semewah-mewahnya kapal, tetap saja kapal bukanlah tempat yang tepat untuk berbagi rahasia. Dinding dan sekat-sekat kayu itu, bisa mendengar desahan, hingga amukan.
Dan sekepo-keponya Bakti, tetap ada prosedur dan etika profesi yang harus Bakti patuhi.
Sebagai gantinya, Bakti mencoba ngobrol lagi dengan hati-hati. "Kakak heran, ya, sama Yada? Kayak nggak ada capeknya itu anak, ya?"
Senyum bahagia kembali muncul di wajah Akshaya. Tubuhnya sudah letih sekali hari itu, tapi tidak akan ia lewatkan hari berharga itu dengan hanya rebahan saja. "Iya, Mas. Dia memang seaktif itu, ya, anaknya?"
"Oh, bukan main, Kak. Dia dari pagi udah bantuin ibunya jualan nasi. Habis sekolah, dia masih suka bantuin agent-agent buat nemenin tamu jalan-jalan di Labuan Bajo naik motor. Makanya dia terkenal, Kak, di Labuan Bajo. Kalau istilah kekiniannya, Yada itu social butterfly. Bergaul sama siapa aja dia masuk."
Beda dengan tadi, kini senyum di wajah Akshaya luntur tatkala mendengar Bening berjualan nasi. Tangan pria itu mengepal perlahan setelah menaruh gelas kosongnya di lantai haluan. Dulu, ia pernah berjanji agar Bening bahagia sampai mati, nyatanya, ia malah membuat Bening kesusahan setengah mati.
Sementara itu melihat gelagat tak enak dari Akshaya, Bakti segera mengakhiri rasa penasarannya. Ia yakin, Akshaya memang ada hubungannya dengan Yada. Begitu juga dengan pemuda yang dibawa oleh Akshaya di trip kali itu.
"Kak, saya tinggal dulu, ya. Kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang." Bakti ngibrit berlalu setelah berhasil memporak-porandakan sanubari Akshaya.
Kepergian Bakti, berganti dengan kedatangan Yada yang terlihat begitu terpaksa datang ke bagian haluan.
"Nak." Akshaya mengangkat wajah, tak percaya dengan Yada yang mendekatinya terlebih dahulu.
"Lagi enak-enak berenang, pas naik kapal, dikasih tahu kapten. Mas James nitip tugas buat aku ngejagain Om. Lagian, Om kenapa, sih? Udah tua itu harusnya ngejagain yang muda. Ini malah kebalik!"
Akshaya terkekeh, tampaknya ia harus membiasakan diri dengan Yada yang berubah perangai terhadapnya. Tak apa, tak masalah. Yada tak perlu memaafkannya, Yada hanya perlu terus ada agar Akshaya dapat melihatnya.
"Ayah lagi nggak enak badan. Baru beberapa bulan yang lalu kecelakaan, Da." Akshaya mengucap dengan santai. Ia bohong tentu saja. Yada tak perlu tahu hal-hal remeh tentang dirinya.
Namun, sebagai anak yang masih punya hati, Yada secara otomatis segera memindai tubuh ayahnya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, rasa khawatir tiba-tiba datang meski begitu kecil kadarnya.
Akshaya memang berubah, tidak sesegar dan segagah dulu. "Kakinya patah apa gimana? Atau, gegar otak sampai sekarang?"
"Ngawur kamu."
Yada menghela napas. Lalu duduk di seberang Akshaya. Adu tatap dengan ayah kandungnya yang lagi-lagi menatapnya dengan berkaca-kaca.
Di ujung haluan kapal Elbark, sepasang ayah dan anak itu melontarkan perasaannya masing-masing. Yada dengan emosinya dan Akshaya bersama kerinduannya.
"Ibu sehat, Da?"
"Sehat, mau nikah juga sebentar lagi." Yada berkata bohong tentu saja.
Andai saja Akshaya tahu, Yada hanya sedang mencari hiburan. Ia sudah biasa melihat ibunya menangis, sekarang, ia ingin melihat ayahnya yang gantian teriris.
"Istri Om gimana? Sehat?"
Akshaya menatap Yada dengan tatapan sendunya. "Kamu menanyakan orang yang nggak ada, Nak. Seumur hidup, istri yayah cuma ibu kamu. Yayah nggak pernah nikah sama siapa-siapa selain sama ibu kamu."
Demi apa?
Yada ingin sekali mengumpat kaget, namun ia tahan sedemikian rupa. Jaga image!
"Masa iya, Om?"
"Da ... harus banget Yada panggil yayah om?"
Kepala Yada mengangguk yakin. Anak itu masih dengan garang melibas hati Akshaya lewat tatapan mata. "Masih bagus dipanggil om. Daripada dipanggil gugug, mau?"
Yada melengos, mulai jenuh dipandangi terus oleh Akshaya.
Keduanya lantas terdiam, membiarkan waktu membelenggu begitu saja.
Langit di atas Taman Nasional Komodo mulai merekah jingga. Sepintas bersemburat dipeluk ungu. Satu per satu kelelawar mulai keluar dari Pulau Kalong. Awalnya hanya hitungan jari, lama-lama muncul ratusan, ribuan, hingga jutaan.
Hewan itu terbang melintasi kapal-kapal, menghiasi langit yang mulai ditinggal matahari.
Akshaya menengadahkan kepala. Begitu juga dengan Yada.
Sepasang ayah dan anak itu tanpa sadar baru saja menghabiskan waktu berdua dalam damai. Tamu Elbark yang lain menaiki sundeck, berdiri di atap kapal sambil menyalakan musik dan menari-nari. Menikmati hidangan dari kapal dan sajian dari alam.
Lalu, bagai mendapat karma dari Tuhan, seekor kelelawar terbang santai sambil mengeluarkan kotoran yang kini mendarat di kening Yada.
"Aduh!" Yada berdiri begitu sadar keningnya basah dan berbau. Anak itu nyaris beranjak tatkala Akshaya dengan bergegas berlari mencari tisu dan kembali mendekati Yada sambil berkata, "Sini yayah bersihkan."
Yada ingin menolak, namun tangan Akshaya sudah bergerak cepat. Diusapnya kening Yada, diusap hingga tak menyisakan kotoran sama sekali, diusap terus hingga lama.
Hingga bibirnya tersenyum tanpa bisa ia cegah lagi. Ia berada begitu dekat dengan putra semata wayangnya. Ia berada begitu dekat dengan denyut nadi kehidupannya. "Da, yayah kangen banget sama Yada, sama ibu juga."
Seolah terhipnotis oleh suara alam dan sentuhan Akshaya, Yada terdiam. Menatap Akshaya sekali lagi dengan jarak yang begitu dekat.
"Dulu, aku percaya banget sama orang yang kupanggil yayah," ujar Yada selanjutnya. "Tapi sekarang, aku nggak percaya sama siapa-siapa kecuali ibu dan diriku sendiri.
Yada menggeser tangan Akshaya, lalu pergi dari haluan dengan hati tak karuan.
Akshaya hanya bisa menghela napas. Air matanya turun begitu saja, namun bibirnya tersenyum sambil menatap matahari terbenam di ufuk barat sana. "Iya, aku nggak pernah berhasil jadi apa-apa. Aku nggak pernah jadi manusia yang berharga dan berguna."
Sementara itu dari kejauhan, lagi-lagi Ezekiel memantau dengan menggunakan teropong binokular milik kapten kapal Yumana. Pemuda itu tercengang di ruang kerja kapten. Menatap sang sahabat sedang berdua dengan seorang pria.
Sangat aneh. Terlalu intens.
Teropongnya ia pegang dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya ia gunakan untuk melakukan panggilan.
"Ya, Ze?"
"Papa, apa artinya kalau ada anak seusiaku dekat dengan om-om, pakai pegang-pegangan kepala, Pa? Oh, lupa. Anak yang usianya dua tahun di bawahku."
Elbark dari seberang sana terdengar terkekeh pelan. "To the point, please."
"Yada didekati om-om. Tidak kalah tampan dari Papa itu orangnya. Lebih putih kulitnya dari Papa yang agak eksotis. Tapi di mataku Papa tetap paling keren. Cuma, om itu pun juga keren, Pa. Oh, lebih kurus badannya. Tidak seperti papaku yang gagah itu, lho."
Ezekiel masih memantau Yada yang kini menghilang di balik ruang kapal. Mungkin anak itu masuk ke kabin.
"Ze, kamu sudah besar. Jangan suka gosip. Yada memang mudah disukai orang. Wajar kalau ada om-om tamu yang deketin Yada."
Ezekiel menjejakkan kaki dengan keras. Teropongnya ia letakkan lalu kemudian anak itu keluar hingga berdiri di tepian dek. "Papa ini loading lama juga, e? Masalahnya, Pa. Bagaimana kalau om-om itu mendekati Yada untuk mengambil hati ibunya? Papa mau punya saingan lagi, kah?"
Kali ini Elbark tertawa begitu keras. Ezekiel sampai mengernyit tak paham dengan tingkah papanya sendiri. "Papa ini kenapa?"
"Eze, dengarkan papa. Itu orang-orang di sekitar Yada sekarang adalah tamu Elbark. Atas dasar apa kamu bisa bilang kalau tamu yang baru datang ke Labuan Bajo hari ini bakalan jadi saingannya papa?"
Wajah serius Ezekiel sedikit mengendur. Anak itu jelalatan, menatap Elbark dari kejauhan. "Papa, feeling anak yang kurang kasih sayang mama kadang-kadang itu sangat kuat, Papa."
***See You Next Chapter***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
