Sunrise 1: Yang Yada Rasa

2
0
Deskripsi

"Apa yang kamu nggak punya sampai kamu melihat laut dengan mata seperti itu?"

Bibir Yada terangkat kecil, ia lantas menjawab, "Aku nggak punya ayah."

Dea bungkam. Gadis keturunan Makassar-Sumbawa itu jadi tidak enak hati.

"Kalau kamu mau tahu, De, aku bahkan ingin sekali bilang kalau aku nggak punya ayah karena dia sudah mati. Sayangnya, dia masih ada di dunia, dan dia jadi ayah yang nggak berguna."
 


 

***Selamat datang di Sunrise at Six. Sebuah cerita tentang romansa dewasa, dan rasa-rasa remaja di dunia yang penuh huru-hara ini. Melalui cerita ini, aku, Yada, Bening, Akshaya, dan Natha akan membawa Teman-teman untuk melayangkan imajinasi ke sebuah kota di Nusa Tenggara Timur, yaitu Labuan Bajo. Semoga, selain semakin gemar membaca, kami juga menggugah Teman-teman untuk lebih mencintai wisata di Indonesia saja.***

***

Tidak ada istilah bergelung dalam mimpi saat pagi mendekap di kamus hidup Yada. Pemuda berusia 15 tahun itu sudah membuka mata sejak jam tiga pagi. Mondar-mandir ke dapur, lalu ke warung. Membentuk nasi dalam mangkuk-mangkuk kecil, lalu meletakkannya ke wadah warna-warni yang tersusun rapi di meja panjang.

"Ayam gorengnya nih, Da!"

"Meluncur, Bu Bening!"

Yada melesat ke dapur, lalu kembali ke depan dengan membawa 50 potong ayam goreng lengkuas yang potongannya besar-besar dan menggiurkan. Dengan gesit, Yada kembali bekerja. Menata semua lauk ke dalam wadah, membiarkannya agak dingin sebentar lalu baru ditutup agar tidak basi.

Setelahnya, jam 05.00 pagi, Yada membuka pintu folding gate, mengeluarkan motor matic-nya, lalu memasang delivery bag gandeng di jok belakang.

Bening yang melihat betapa gesitnya Yada hanya tersenyum kecil. Kemudian ia membantu mengisi delivery bag Yada dengan kotak-kotak bekal. Dua puluh lima kotak di sebelah kanan, dan dua puluh lima kotak di delivery bag sebelah kiri.

"Padahal, tamu ngumpul jam 05.30 pagi, Da. Kamu kepagian." Bening menarik bahu Yada, lalu mengusap wajah putra semata wayangnya dengan begitu bangga.

"Bu Bening, mendingan aku yang kepagian daripada tamu yang kepagian. Lagian, kalau aku datang pagi, suka ada tamu yang ke dermaga duluan, Bu. Belum tentu Bang Oscar datang lebih cepat dari tamunya juga. Kalau ada aku di dermaga, kan, tamu jadi nggak was-was." Yada tersenyum. Mengecup pipi Bening dengan begitu usil. "Ibu cantik banget pagi ini. Meskipun bau bawang, Ibu tetep cantik!"

"Ibunya siapa dulu, dong?" Bening tergelak. Ia lantas membantu Yada memakai helm dan melambaikan tangan saat Yada mulai menjauh.

Anak itu selalu membelah pagi di Labuan Bajo sejak matahari belum muncul. Meniti jalanan dengan membawa pesanan-pesanan untuk makan siang para tamu yang akan berangkat sailing satu hari menggunakan kapal open deck dan speedboat ke Taman Nasional Komodo.

Begitu menjauh dari ruko tempat dirinya dan sang ibu tinggal, Yada menghilangkan senyum. Ia menatap jalanan Labuan Bajo dengan begitu dalam.

Mengulang setiap kenangan betapa di kota kecil di ujung barat Nusa Tenggara Timur itu ia hanya punya sang ibu, dan ibu juga hanya memiliki dirinya.

Yada menyukai kebersamaannya dengan Bening. Ia senang meski hanya hidup berdua. Tapi, setiap kali ia berdiam diri, kilas balik tentang kehancuran keluarganya selalu muncul tanpa permisi.

Yada benci kalau tidak sibuk.

Naik motor sendiri pagi-pagi juga kadang mengundang melankolianya datang. Tapi persetan, Yada ingin hidup dengan banyak manfaat. Meski pernah sedih-sedih, meski pernah marah-marah, Yada ingin meyakinkan sang ibu bahwa ia bisa diandalkan.

Usia lima belas, tak akan kalah bersahaja dengan mereka ... pria-pria yang katanya tua, tapi kadar kedewasaannya amblas.

***

"Ole! Anak janda premium di destinasi wisata premium ini rajin sekali e! Pagi-pagi begini sudah datang, Yada!" Erza, pria 34 tahun, pemilik speedboat Pinguin Cruise menyambut Yada dengan senyum semringah di dermaga.

Yada nyengir!

Anak janda premium katanya. Sudah biasa Yada dipanggil seperti itu. Tidak masalah, Yada justru bangga. Tidak banyak di dunia ini janda yang disebut premium. Mahal, ekslusif, berkualitas, prioritas!

Bening Diasmara, wanita cantik berusia 37 tahun yang merupakan ibu kandung Yada, memang kerap membuat oleng laki-laki yang ada di Labuan Bajo. Sejak kedatangannya ke kota itu 5 tahun yang lalu, dari pengusaha kapal, saudagar ikan, sampai pemuka agama pun, berbondong mencari perhatian Bening.

Namun, hingga kini, Bening pandai sekali menjaga muruah dan martabatnya sendiri.

Menjadi janda, tidak berarti harus menjadi gatal dan buru-buru mencari pria untuk dijadikan ladang penghasilan. Janda juga bisa menjadi sosok yang berharga!

"Pagi, Pak Erza!" Yada mendekat untuk cium tangan. Erza ini selain punya speedboat, dia juga memiliki bisnis sewa motor dan mobil. Terpenting, Erza bersama istri dan anak-anaknya sering melakukan hal-hal baik yang terlihat di mata Yada. Yada tentu saja jadi segan dan menaruh hormat.

"Buat Pinguin 01, 10 lunch box paket ayam goreng lengkuas." Yada menurunkan 12 lunch box yang tersisa dari delivery bag. "Yang dua ini, buat dede Revanya dan Rafa di rumah, ya, Pak."

"Wah, jadi enak saya, Da! Makasih, ya. Bilang sama ibu juga. Makasih gitu, ya." Erza menepuk bahu Yada, lalu mengeluarkan uang dari dompet, membayar pesanan lunch box untuk tamunya hari ini.

Yada tersenyum, lalu pamit undur diri.

Dari 50 lunch box tadi, memang didistribusikan untuk pemesan yang berbeda-beda. Tugasnya sebagai kurir makanan, sudah selesai tepat pukul 05.45 WITA.

Namun pemuda dengan nama lengkap Kamacandu Danurdara Prayada itu tak lantas pulang.

Ia melipir ke salah satu sudut dermaga. Berdiam diri menatap ke arah lautan yang langitnya mulai terang benderang.

Jam 6 pagi, matahari terbit sepenuhnya. Kapal-kapal trip satu hari mulai meninggalkan dermaga dan pergi. Membunyikan klakson-klakson tanda tegur sapa antar sesama kapten dan armada.

Suara mesin-mesin saling bersahutan. Bukan suasana syahdu yang dibayangkan banyak orang memang. Dermaga itu berisik, tapi lalu lalang orang di sana, kesibukan yang meraja lela, semuanya membuat Yada tenang.

Ia lebih suka menatap dunia dari sudut pandang yang keras dan penuh perjuangan.

Ketimbang dulu, pernah hidup enak, nyatanya hanya dihiasi perundungan yang berakhir dengan ia dan ibunya yang terbuang.

"Apa enaknya melamun di sini?"

Suara itu mengganggu Yada, namun tak dipungkiri, Yada tak masalah meskipun gadis bernama Maipa Deapati itu akan berceloteh berisik seharian di telinganya.

"Apa enaknya ikutan duduk di sini?" Yada balas mencibir.

Dea berdecak, kemudian duduk di samping Yada sambil menyerahkan satu mika nasi kuning dengan santai. "Makan, nih."

"Ibuku yang janda premium itu, lho, punya warung makan, De. Masih juga kamu kasih aku nasi kuning."

"Yada, kamu tahu, pas aku beli nasi kuning itu, penjualnya senyum, seneng! Jadi, bukan perkara, kamu di rumah banyak makanan apa nggak, tapi, bagaimana kamu bisa menjadi bermanfaat meskipun cuma modal 5ribu perak aja. Punya ibu penjual nasi bukan berarti kamu harus tutup mata dengan penjual nasi lainnya, kan?"

Yada terkekeh keras. Dea memang mirip Bening, kalau bicara suka tidak bisa dibantah. Pandai berargumentasi, juga pandai ... mencuri hati.

"Da, jangan sering bolos sekolah, dong. Nanti kalau kamu nggak naik kelas gimana?"

"Aku pasti naik kelas." Yada memang pintar, dulu di Jakarta saat SD dia akselerasi. Alhasil, di usia 15 tahun, Yada sudah duduk di kelas 11. "Bentar lagi, juga PKL. Sekolah juga nggak peduli-peduli amat sama absensi muridnya. Yang penting, kan, datang pas ujian dan nilainya bagus."

Yada menoleh ke arah Dea, menatap teman sekelas yang usianya lebih tua 2 tahun darinya.

"Kadang, aku suka takjub lihat kamu, Da. Udah ganteng, kerja keras, masih muda udah ngehasilin uang sendiri, pinter lagi. Ibu kamu juga cantik banget. Tapi, kenapa setiap pagi, aku lihat kamu murung di sini, Da? Hanya orang-orang yang punya masalah besar yang melihat laut dan matahari terbit dengan tatapan membunuh seperti mata kamu itu."

Yada menghela napas. Ia kembali melepas pandangan ke arah laut. Labuan Bajo, kini sudah sepenuhnya terang benderang. Wajah putih dan tampannya terlihat bersinar di mata Dea. Perpaduan yang tepat untuk dinikmati bersama matahari terbit.

"Apa yang kamu nggak punya sampai kamu melihat laut dengan mata seperti itu?"

Bibir Yada terangkat kecil, ia lantas menjawab, "Aku nggak punya ayah."

Dea bungkam. Gadis keturunan Makassar-Sumbawa itu jadi tidak enak hati.

"Kalau kamu mau tahu, De, aku bahkan ingin sekali bilang kalau aku nggak punya ayah karena dia sudah mati. Sayangnya, dia masih ada di dunia, dan dia jadi ayah yang nggak berguna."
 

***See You Next Chapter*** 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Sunrise 2: Yang Keruh di Hati Bening
2
0
Da. Bening tersenyum kecil sambil berjongkok di depan Yada. Hidup berdua sama ibu mau?Yada mengangguk, tanpa berpikir dua kali.Meski hidup sama ibu nanti nggak semewah saat Yada hidup sama yayah, Yada mau?Mau, Bu.Apa Yada nggak papa kalau Yada nggak punya yayah, nggak punya kakek nenek dan oma opa? Yada pokoknya cuma punya ibu, dan ibu cuma punya Yada aja. Yada nggak apa-apa?Yada tersenyum kecil sambil maju, mengecup pipi ibunya. Nggak apa-apa.Bening terkekeh pelan. Ia memeluk putra semata wayangnya. Lalu berbisik, Kita pergi, ya, Da. Pergi yang jauh.Iya, ayo, Bu.    
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan