Untuk Aku yang Ingin Belajar Mengulas

1
0
Deskripsi

Esai ringan terkait mengulas buku. Saya bermaksud mengkritik diri sendiri pada masa silam, yang bisa-bisanya tak paham dalam menulis review. Kini saya bermaksud membuat catatan penting bahwa mengulas itu merupakan kesan-kesan setelah saya menikmati suatu karya, bukan mengisahkan ulang alur cerita (ini mah namanya sinopsis).

Saya kira sebagian orang masih suka lupa atau belum sadar ketika mereka bermaksud menuliskan ulasan/resensi/review, tetapi yang dihasilkan justru sinopsis, bahkan bocoran cerita. Saya sendiri pun baru paham tentang ‘ulas-mengulas’ ini pada pertengahan tahun 2017, tepatnya sehabis mengulas novel 24 Jam Bersama Gaspar.  Selain dari komentar blog, ada seseorang yang menjelaskan (saya benar-benar lupa siapa orangnya dan via apa menyampaikannya) mengenai apa itu review lantaran saya menulis kalimat berikut: “Sebenarnya gue takut mengulas sebuah buku. Entah kenapa pasti ada rasa cemas kalau bagusnya itu nanti malah dirusak oleh gue yang sok tahu ini. Gue malas bercerita banyak akan kisah di dalamnya. Apalagi nanti ada yang komentar kalau gue spoiler.”

Jika ingatan saya tak berdusta, kira-kira saat itu dia menggarisbawahi kalimat ‘malas bercerita banyak akan kisah di dalamnya’ dan kata ‘spoiler’ dengan komentar begini: “Ulasan memang harusnya tentang kesanmu setelah menikmati suatu karya. Apa kelebihan maupun kekurangannya, mana bagian yang kamu suka dan mana yang enggak suka. Jika cuma mengisahkan ulang sebagian plot mah sama aja seperti rangkuman atau ringkasan, dan itu lebih cocok disebut sinopsis.”

Di luar dari komentar dia yang sungguh memberi saya pemahaman terkait mengulas, kini saya merasa malu banget sewaktu membaca ulang tulisan tersebut. Waktu itu, saya menganggap gaya bercerita Sabda Armandio merupakan suatu kebaruan dan mendobrak kisah detektif, dan belakangan diketahui ternyata saya hanyalah pembaca buku yang miskin referensi. Jauh sebelum Dio menerbitkan Gaspar, sudah banyak penulis yang memakai struktur cerita detektif dan mengembangkannya dengan ciamik. Contohnya, Roberto Bolaño lewat novelnya yang bertajuk The Savage Detectives, yang akhir-akhir ini saya gandrungi. Saya tebak Dio juga terpengaruh oleh karya beliau. Ya, walaupun yang terlihat jelas pengaruhnya ialah Cortazar—merujuk pemakaian nama Cortazar sebagai tokoh motor yang konon dirasuki Jin Citah. Belum lagi saya merasa hari itu payah banget karena masih membawa-bawa perkara selera dalam menentukan bagus-tidaknya sebuah novel. Mestinya buat mengukur bagus atau jeleknya suatu karya kan bisa dianalisis pakai otak—baik secara cetek maupun mendalam. Ketika menunjukkan kesukaan-ketidaksukaan, baru deh itu urusan perasaan dan selera bisa mengambil bagian. Misalnya, novel Seratus Tahun Kesunyian Gabriel Garcia Marquez ditulis dengan teknik penceritaan yang apik, bahkan ledakan karya itu sangat berperan dalam generasi Boom di Amerika Latin*, tapi saya terus terang merasa kurang cocok, atau istilah kerennya: bukan secangkir teh untuk saya. Sedangkan novelet Bolaño By Night in Chile tehnya langsung saya teguk habis dan rasanya cocok di lidah sekalipun ini bukan karya gacoan.

Seumpama saya disuruh memberi contoh ulasan, seenggaknya saya bisa menganggap tulisan Lelaki Banyak Mau Membaca Lelaki Harimau sebagai salah satunya. Saya akui itu masih jauh dari kata bagus, dan setahu saya tak ada standar pasti bagaimana cara mengulas yang baik dan benar plus asyik. Paling enggak, saya sedikit-sedikit telah belajar untuk membedakan mana tulisan yang benar-benar ulasan, mana yang cuma sinopsis tapi ngakunya ulasan. Setahu saya, sih, sah-sah aja mengisahkan sebagian alur atau mengutip kalimat dari suatu karya dalam menulis ulasan. Namun, bagi saya itu fungsinya buat mempertegas pendapat, pujian, atau kritik yang kita bikin, sebagaimana saya mencomot kalimat pembuka Lelaki Harimau demi menjelaskan teknik foreshadowing dan keterpengaruhan Gabo.

Omong-omong soal mengulas, saya jadi ingin cerita kalau dulu sempat membuat pernyataan sok tahu sekaligus konyol tentang memberi bintang di Goodreads. Bermula dari curahan hati yang gagal diterima sebagai asisten editor fiksi pada Juli 2019—yang salah satu syaratnya punya akun Goodreads aktif, sementara akun saya kentara jelas baru mulai aktifnya saat mendapat info lowongan tersebut. Kala itu, saya kira-kira memiliki standar penilaian semacam ini: Skor 1 untuk buku yang saya anggap jelek banget, skor 2 untuk biasa aja, skor 3 buat yang bagus, skor 4 buat yang bagus banget, serta skor 5 yang alur ceritanya menempel, suka sama penokohannya, gaya menulisnya bikin saya tertantang, atau bahkan minder dan jadi takut buat menulis lagi. Saya menyatakan diri bahwa sejauh ini enggak pernah memberikan nilai 1 dengan alasan itu buku sudah jelek, jadi enggak perlu saya jelek-jelekin lagi, dan mendingan pendam sendiri aja—atau cukup membahasnya bareng kawan yang doyan diskusi sambil mengejek.

Saya merasa beruntung hari itu mendapat tanggapan dari Agia dan Rido, duo pembaca buku yang saya kagumi sekaligus hormati, karena secara tak langsung telah menegur saya terkait pemikiran bodoh barusan. Mereka berkata: keasyikan dari main Goodreads, ya, jelas dari membaca berbagai jenis komentarnya, bukan soal buku itu dapat bintang berapa. Agia bilang, ada rasa menyenangkan atau kepuasan personal setiap kali melihat seorang pembaca memuji maupun membantai habis-habisan suatu buku, padahal argumen mereka kurang meyakinkan. Sejak itu, pemikiran saya pun bergeser dan hampir tak pernah memberikan skor lagi atas pembacaan suatu buku, kecuali bintang 5 untuk buku yang benar-benar berkesan buat saya. Saya juga lebih senang menggunakan platform Goodreads sebagai pengingat atas daftar buku yang telah saya baca dalam setahun.

Belum lama ini Eka Kurniawan juga sempat mengingatkan saya lewat cuitan kalau jumlah rating sangat enggak penting dan sulit jadi pegangan. Sesingkat apa pun ulasan seseorang, katanya, mending hal itu yang dijadikan acuan. Kesimpulannya: saya sepakat dengan ujaran Rido bahwa hal yang paling persuasif bagi calon pembaca maupun penonton ini terletak di ulasannya, bukan jumlah bintangnya. Oleh sebab itulah, saya sekarang bisa bersikap lebih santai dengan ulasan orang lain atas suatu karya—khususnya buku. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, dan saya justru kepengin tahu penilaian buruk orang lain terhadap suatu karya yang saya favoritkan, yang barangkali saya lewatkan sebelumnya akibat bias dalam menilai.

Apesnya, ketika saya kebetulan berada di pihak yang netral (belum menjajal satu pun buku dari seorang penulis yang lagi dihujat), saya justru sering melihat beberapa orang yang buru-buru mengeluh tentang bookshaming, enggak terima jika buku favorit mereka direndahkan, atau selera bacaannya dianggap remeh. Di satu sisi mereka tampak baik, tapi di sisi lain sebagian dari mereka malah termasuk golongan sumbu pendek yang susah diajak berdiskusi, bahkan masih kesulitan buat menjelaskan kepada orang yang kontra kenapa suka banget terhadap buku itu. Saya tak bermaksud membenarkan sikap arogan para pengejek, tapi saya entah kenapa benci dengan orang-orang yang langsung mengumumkan jurus maut bahwa selera bacaan tiap orang berbeda-beda, seolah-olah itu hal yang sakral atau enggak bisa didebat lagi oleh siapa pun.

Saya akui, saya sendiri pun pernah menggunakan tameng selera sebagai pembenaran, alih-alih meyakinkan orang itu lewat argumen saya yang kuat, yang mestinya bisa membuka sudut pandang baru baginya. Intinya, saya pernah jengkel dengan opini-opini yang berseberangan dengan pandangan saya tanpa mau memverifikasi pendapat orang lain. Apalagi saya sampai menganggap selera mereka keterlaluan payah, padahal di kemudian hari ucapan mereka yang kontra itu justru ada benarnya sebagai kritikan ataupun bahan renungan.

Syukurlah seiring bertambahnya umur sekaligus menyerap berbagai referensi, kini pemikiran saya mulai bertumbuh. Saya juga bisa lebih kalem saat menanggapi silang pendapat. Seperti yang terjadi pada masa sebelum pandemi, kala  beberapa teman di sekitar rumah kerap menghina kenapa saya masih suka baca komik serta menonton anime dalam mengisi kekosongan waktu, sampai-sampai kelewat sering menolak ajakan mereka nongkrong di kafe, dan saya bisa dengan enteng tertawa sambil menjawab:  Saya kan memang otaku/wibu, yang sekilas tampak kalau saya sudah tak bisa diselamatkan lagi, tapi percakapan itu malah berakhir dengan salah satu dari mereka meminta rekomendasi. Kejadian itu sungguh menyenangkan bagi kedua belah pihak, sebab saya bukan lagi remaja labil yang punya sikap minder dan menyembunyikan sisi nerd, apalagi diam-diam mengutuk mereka yang berseberangan.

--

*): Generasi Boom ini setahu saya merujuk pada fenomena karya sastra Amerika Latin yang tiba-tiba meledak dan jadi perbincangan internasional pada era 1960-1970.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
UlasanEsai
Selanjutnya Termangu-mangu di Kaki Ibu Kota
0
0
Ini cerpen atau curahan hati? Simpulkan sendiri saja.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan