
Ini cerpen atau curahan hati? Simpulkan sendiri saja.
Dari kemarin Minggu sampai sekarang, beberapa teman maupun kenalanku di media sosial mengeluh karena Senin harus kembali masuk kerja dan merasa masih butuh libur tambahan, sementara aku juga ikutan menggerutu ketika membuka surel yang isi pesannya lagi-lagi berbentuk kabar mengecewakan dari suatu perusahaan yang pernah kulamar. Lowongan telah ditutup, mereka sudah menemukan kandidat yang cocok, tanpa sekali pun melibatkanku dalam proses seleksi lebih lanjut, yang kusimpulkan: aku langsung gagal duluan dalam seleksi berkas.
Aku menutup aplikasi berlogo huruf M sembari bertanya-tanya: Apa yang menyebabkanku sering gagal di awal begini, ya? Apakah karena usiaku yang sudah di atas 25 (mereka memprioritaskan yang masih di bawah 25)? Terdapat informasi terkait kuliahku yang tak selesai (syarat kandidatnya minimal bergelar S1)? Ada tahun jeda alias gap year yang terlalu lama (mereka jelas mencari pelamar yang tahun jedanya di bawah setahun)?
Pertengahan 2018 merupakan masa terakhirku bekerja di sebuah kantor. Itu berarti hampir empat tahun aku tak punya pekerjaan resmi. Tahun-tahun sisanya aku memperoleh uang lewat pekerjaan serabutan, yang kupikir tak patut untuk dicantumkan di CV. Mengiklankan sebuah produk lewat tulisan blog, menjual kumpulan cerpen dan puisi, menjadi tim perbantuan stock opname di pasar swalayan, menjadi joki permainan virtual, menjadi tukang angkat piring kotor di pesta pernikahan, menjadi petugas protokol kesehatan di suatu acara (yang memastikan setiap pengunjung mengenakan masker dan suhu tubuhnya normal), serta menjadi kurir pengantar makanan. Selebihnya, aku sibuk bekerja sosial di lingkunganku sebagai pengurus organisasi nonprofit macam Karang Taruna.
Jika mengenang hari-hari yang telah lewat, pada November 2020 sebetulnya nasib baik nyaris mendatangiku. Andai saja perusahaan itu tak terkena imbas krisis pandemi, barangkali aku kini sudah bekerja sebagai admin media sosial atau penulis konten di perusahaan cabang yang mulanya diniatkan akan rilis pada Januari 2021. Sayangnya, seperti yang sudah kubilang di awal kalimat paragraf ini, itu cuma sebatas nyaris. Nasib baik mungkin masih belum sudi memelukku dan hidup bersamaku.
Daftar ingatan semacam ini tentu bisa terus berlanjut, tapi aku segera memilih untuk menghirup napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan lewat mulut, dan berharap beban dalam diri ikut terbuang lewat karbon dioksida.
Sewaktu sedang kecewa akan realitas begini, aku biasanya melarikan diri ke dalam dunia fiksi. Sialnya, aku lagi kehabisan daftar tontonan film maupun anime. Jadi pilihannya cuma membaca buku, ya? pikirku. Barangkali ini waktu yang terbaik untuk kembali melanjutkan baca novel Bolano, 2666. Aku sebelumnya sempat membaca 2666 sekitar 200 halaman selama berbulan-bulan, sebab sehabis menamatkan satu bab pasti memutuskan jeda berminggu-minggu, sedangkan ketika lanjut lagi justru setiap harinya cuma mencicil 2-5 halaman. Sungguh proses membaca yang keterlaluan lelet. Kini, setidaknya aku ingin mencoba konsisten membacanya setiap hari tanpa mandek. Kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menamatkan novel 1.000 halaman ini?
Alih-alih membuat estimasi dari pertanyaan barusan, aku malah terseret ke pertanyaan lain yang lagi-lagi ada sangkut pautnya dengan pekerjaan. “Yoga, bagaimana hasil pencarian kerjamu?” ujar Lina di subjek surel.
Aku bisa saja sedih sekaligus marah saat mendapatkan pertanyaan itu, sebagaimana keresahan sebagian orang yang disuguhkan pertanyaan-pertanyaan mematikan dari keluarga atau kerabat sewaktu mereka sedang berhalalbihalal, tetapi aku ingin menanggapinya dengan santai sekalian tertawa. Toh, aku paham bahwa pesan itu dikirimkan oleh sistem kepada setiap pengguna yang memakai platform pencarian kerja. Beberapa detik kemudian, bahkan terlintas di kepalaku untuk iseng menanggapinya dengan surat balasan semacam ini:
Kak Lina yang baik,
Sebelumnya, saya ingin mengucapkan mohon maaf lahir dan batin, serta terima kasih sudah bertanya dan menunjukkan kepeduliannya terhadap saya. Proses pencarian kerja saya alhamdulillah berjalan dengan lancar. Sejak Januari hingga Mei, belum ada satu pun perusahaan yang berkenan menerima saya sebagai pekerja. Meski demikian, pesan dari sistem tetap lancar bilang terima kasih lantaran saya sudah melamar ke perusahaan ini dan itu, lalu menyemangati saya agar tidak menyerah. Oke, untuk yang terakhir itu bohong. Sistem tidak pernah menyemangati saya, ia cuma pernah berkata semoga pengalaman saya selama ini menyenangkan.
Saya terus terang tak tahu apa yang menyenangkan dari sebuah kegagalan. Namun, sebagai orang yang doyan main gim, saya tentu mencoba melihat hal itu sebagai suatu kesenangan ketika menerima tantangan atau melewati rintangan seperti yang biasa saya terapkan dalam permainan virtual. Kalau karakter saya tergolong gampang tewas saat menghadapi musuh, berarti tangan saya kurang gesit untuk mengisi darah, atau saya membutuhkan baju maupun aksesoris yang pertahanannya jauh lebih tinggi, atau saya memerlukan banyak kertas ajaib yang membuat saya bisa hidup lagi di tempat yang sama tanpa harus kehilangan EXP dan balik ke kota asal, atau sesimpel: saya hanya perlu mencari musuh yang lebih sebanding.
Sejak saya memutuskan buat mengirimkan lamaran, saya sudah paham mengenai probabilitas bakal ditolak, sehingga kekecewaan biasanya cuma datang sesaat, tidak mengendap selama berhari-hari. Saya barusan bukannya bermaksud sok bijak, Kak Lina, saya hanya ingin bercerita kalau itulah yang tengah saya rasakan sekarang. Apalagi lirik band Lokus masih terngiang-ngiang di kepala: “Hiduplah lepas dari kemarin. Rebutlah hari ini penuh yakin. Beban besok belum terjadi.” yang secara tak langsung menyelundupkan gagasan supaya saya tak perlu meratapi masa lalu ataupun merasa cemas lagi akan masa depan. Tapi di penutup surat ini, Kak Lina, tolong izinkan saya sekali saja buat jujur dan marah dengan menyampaikan sebuah pernyataan atau unek-unek begini:
Persetan dengan setiap orang yang bilang bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Di dunia yang berengsek ini, buktinya ada orang yang berjuang keras mati-matian, bahkan rela memangkas jam tidurnya, lalu hanya menerima hasil secuil yang sangat tak sebanding dengan usahanya. Sementara di sisi lain, ada orang yang berusaha dengan sikap ogah-ogahan atau cuma iseng, dan bisa-bisanya mereka meraih hasil menakjubkan. Apalah artinya kita berusaha giat, jika pada akhirnya kita selalu kalah dengan orang yang beruntung? Apa yang dimaksud dengan proses menyenangkan, kalau hasil yang kita peroleh sering menyakitkan? Kepadamu aku bertanya, Kak Lina.
Salam,
Pemuda yang termangu-mangu di kaki ibu kota
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
