Tempat Pulang Paling Damai

0
0
Deskripsi

Puisi ini pernah tayang di blog akbaryoga.com.

Tempat pulang paling damai, katamu, berada di pelukan maupun pangkuan ibu. Kebanyakan lelaki berusaha untuk sepakat sekaligus mengamininya. Mereka malu menunjukkan sisi rapuh di samping kekasih, tetapi ingin selalu dimanja dan rela bermuram durja di hadapan ibu yang penuh welas asih.

Namun, aku ini tampaknya seorang minoritas. Aku kerap berada di rumah, tapi tak pernah merasa pulang. Tak ada pelukan maupun pangkuan dari ibuku. Ibu telah berubah abu. Ibu sudah hangus dilahap api cemburu dan meninggalkanku bersama ayah payah yang gemar melontarkan sajak-sajak jahanam. Tempat ini tak pantas lagi disebut rumah, lebih cocok bernama neraka versi murah.

Dunia maya konon bisa menjadi tempat melarikan diri. Siapa pun bebas meracau atau berkicau demi melenyapkan kacau dari dalam diri. Tapi, manusia-manusia digital itu tanpa sadar justru menyakiti kau, aku, atau siapa pun. Mereka berlomba-lomba mencari seseorang yang lebih menderita. Mereka hobi berdusta setiap bercerita demi angka-angka, sebab impresi terbanyak akan menjadi juara. Tapi aku tak butuh gelar juara. Aku cuma memerlukan pelipur lara. Jadi, kubunuh jaringan internet dan lekas kembali ke dunia nyata.

Lantas, bagaimana aku bisa menemukan tempat pulang paling damai jika kehidupan dalam setiap harinya selalu bertambah ramai? Aku mendengar tangisan bayi yang baru lahir—ia bagaikan terkejut melihat dunia yang tak senyaman rahim ibu. Kudengar suara klakson kendaraan bersahut-sahutan pada jam pergi/pulang kerja, jeritan hutan yang dibakar, pidato palsu para pejabat, ujaran kebencian pendukungnya, keluhan rakyat miskin, nada-nada lagu cengeng, raungan gosip tetangga. Semua perpaduan itu sungguh mengusik. Bahkan bunyi sialan itu masih terdengar kala aku sedang sendiri: berasal dari isi kepalaku yang sangat berisik.

Suatu waktu, ketika keheningan akhirnya bisa kutemukan, tiba-tiba kesepian mulai berbisik di telingaku: bunuhlah diri. Apakah tempat pulang paling damai bisa dicapai dengan menjemput maut? Shakespeare bilang setelah mati cuma sunyi. Sialnya, aku ini orang yang kenyi. Aku juga masih ingin bernyanyi. Barangkali yang kubutuhkan hanya tempat bersembunyi. Lagi pula, kematian adalah kepastian. Buat apa terburu-buru dan mempercepat mati yang datangnya pasti, sebab santai juga bagian dari hidup yang diberikan oleh Gusti.

Damai, jika kata itu kurenungkan kadang terdengar seperti desah para perempuan aduhai yang kutonton di film-film dewasa asal Jepang. Sebuah ruang menghibur diri yang kauanggap menyimpang. 

Tempat pulang paling damai untukku mungkin berada di hati setiap insan yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Mereka jujur dan tak banyak bacot. Saat kumasuki kamarnya, mereka lebih sering membisu. Mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk melukis atau menulis. Mempertanyakan angan dan ingin sambil sesekali menangis. Segelas air mata yang mereka suguhkan telah menjadi minuman favoritku. Rasanya menyegarkan dan dingin. Bagai menyelam ke dalam diri sendiri. Mengingatkanku pada tangisan sendiri yang kini stoknya sudah habis. Aku selalu bergembira tiap singgah di hati yang patah. Aku bisa numpang tidur-tiduran di ranjang puisi seraya membaca buku-buku fiksi tanpa perlu peduli ada apa di luar sana.

/2020

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Puisi
Selanjutnya Teman Masa Kecil
0
0
Cerpen tentang seorang protagonis yang membenci kehidupan dan kadang terlintas pikiran buat mati, sampai-sampai dia mengimpikan teman masa kecilnya yang telah meninggalkan dunia, lalu berharap bisa bertukar tempat dengannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan