SIT - Mushroom For Dinner

1
0
Deskripsi
post-image-66d14e24da814.jpeg

Makanan Apa?


Sekali lagi Lea merasa tak punya pilihan. Dia pasti akan memilih pergi, jika saja perutnya tidak meronta kelaparan. Semenjak mendarat dalam tubuh indah Nae kemarin, baru malam ini dia benar-benar mendapat makanan.

Kekacauan pikiran dan suasana hatinya, seakan mendorong rasa lapar menjadi daftar kekhawatiran Lea yang terakhir.

Pagi Lea melewatkan sarapan dengan bangun siang, dan siang tadi setelah insiden kamar mandi bersama dengan Rasui, Heba memberi perawatan yang sangat detail kepadanya bukan hanya menggosok punggung. 

Heba mengoleskan semacam lulur beraroma wangi ke seluruh tubuh, memijat punggung, mencuci dan memberi rambutnya semacam minyak yang sedikit beraroma kacang, membuat rambut Nae semakin hitam berkilau. 

Terakhir Heba, menyediakan berbagai parfum wangi, yang membuat Lea merasa harus membayar, karena pelayanan Heba, tidak jauh berbeda dengan salon mahal. 

Tubuhnya semakin terasa tidak seperti tubuhnya sendiri, karena semua perawatan itu. Lea bukan penggemar perawatan salon. Selain menimbang harga, dia tidak terlalu ingin mempercantik diri dengan berlebihan. Percuma cantik dan wangi, jika masih tidak mampu untuk mencium dengan wajah tanpa jijik. 

“Ini, Tuan Putri.” Heba kembali memutus lamunan Lea, menyorongkan piring tanah liat, yang sudah berisi potongan daging panggang. Asal daging panggang itu yang menjadi penyebab nafsu makan Lea nyaris terbunuh.

Lea tidak keberatan dengan daging, tetapi penampakan daging yang ada di meja itu, membuat Lea ingin menjadi vegetarian. 

Juru masak menyediakan hidangan istimewa, ingin menghormati kedatangan Lea, dengan memanggang rusa utuh, tidak terlalu besar, sedikit lebih kecil dari kambing. Masalahnya, rusa itu dihidangkan secara utuh lengkap dengan kepala yang masih menempel.

Lea kini merasa dihakimi, karena mata rusa yang sedih itu, seakan melotot ke arahnya, mempertanyakan kenapa nasibnya sial. Lea sejak tadi secara khusus menghindar memandang kepala itu, agar tidak terus bertemu dengan mata mati itu.

Untung Heba membantunya. Dia yang mengambil potongan daging rusa paling empuk untuk Lea, juga berbagai macam buah dan roti.

Lea sedikit teralih dari rusa saat melihat roti itu. Bentuk dan penampakan roti itu tentu berbeda dengan yang ada di zaman modern, tapi dibuat dengan cukup rapi, melalui proses fermentasi ragi.

Bagi Lea ini fakta menarik. Tidak menyangka sejarah ragi ternyata setua ini. Pelajaran teknologi pangan yang ia pelajari belum mencapai detail yang ini. Mengabaikan pandangan sedih rusa itu, Lea menyuapkan makanan ke mulut, dan terkejut.

“Wow!” Lea berseru lirih.

Sedikit alot, karena rusa itu jelas liar. Tapi tingkat kematangan dan bumbu yang sederhana, membuat rasa rasa daging rusa yang asli lebih menonjol. Tidak seperti sapi maupun babi, lebih ke arah kambing, tapi dengan aroma tajam yang berbeda.

Lea mungkin meneliti bahan pangan sehat setiap harinya, tapi dengan ironis, kesibukan itu justru membuatnya mengabaikan makanan yang masuk ke tubuhnya. Lea terbiasa memakan burger dan fast food dengan mutu daging di bawah rata-rata.

“Anda makan lahap sekali. Hamba akan memberi pesan kepada dapur jika anda menyukai hidangan daging rusa.” Heba menyahut.

“Tidak perlu! Jangan!” Lea menggeleng. 

“Aku menyukainya, tapi tidak perlu memaksakan diri mengolah rusa seperti itu setiap hari. Roti dan buah saja sudah cukup,” ujar Lea, dengan sangat cepat. Membayangkan setiap hari harus bertemu mata dengan rusa mati, membuatnya merinding.

Heba mengangguk mengerti. “Tadi juru masak istana hanya menyiapkan apa yang umum disukai orang, karena tidak terlalu tahu bagaimana selera Anda,” jelas Heba. Menerangkan penyebab beragamnya hidangan di meja itu.

“Seleraku tidak ada yang aneh. Aku menyukai apa saja, yang tidak terlalu ekstrim.”  Lea kembali melirik ke arah kepala rusa, yang sungguh sangat ekstrim itu.

“Ekstrim?” Heba bertanya tak mengerti.

“Hmm…Sebentar.” Lea kini sudah menyadari jika Lea dan juga Rasui tidak mengerti beberapa istilah yang dia pakai.

Kata ‘ekstrim’ sepertinya belum ada di zaman ini, seperti ‘fantastic’, dan juga ‘shit’, yang tadi siang dipertanyakan Rasui.

“Ekstrem itu, hal yang berlebihan. Tidak umum. Makanan ekstrim berarti sesuatu yang tidak biasa dimakan, seperti serangga atau ular misalnya.”

“Ular ekstrim? Tapi rasanya lezat, juru masak istana sering memasaknya,” sahut Heba. Roti yang baru saja ditelan Lea, meluncur masuk ke saluran yang salah, karena terkejut.

Heba dengan terburu-buru mengambil minuman untuknya, air segar dalam mangkuk kayu. Lea yang sempat terbatuk hebat, sangat berterima kasih untuk air itu, karena tenggorokannya tak lagi pedih.

“Kalian memakan ular?” Lea ingin memastikan.

“Anda belum pernah memakannya?” Heba yang terdengar heran sekarang.

Lea kehilangan kata-kata. Tidak menyangka jika ular termasuk dalam biasa yang mereka makan. Dia tidak takut ular, hanya memakannya tidak termasuk dalam cita-cita. Sedikit menjijikkan tentu saja.

“Tolong ingatkan, jika ada hidangan di sini yang mengandung ular,” pinta Lea.

“Oh, untuk sekarang anda tak perlu khawatir. Sekarang belum musim.”

Lea berhasil menahan makanan dalam perutnya, tidak jadi memuntahkan apapun. Membayangkan binatang melata itu dimasak membuatnya mual. 

“Aku harus cepat belajar.” Lea mengeluh dalam hati. Dia harus berhati-hati dengan apa yang dimakannya setelah ini.

Lea meraih buah anggur hijau yang segar. Buah lebih aman.

“Kenapa aku harus makan malam di sini?” 

Keluhan tajam terdengar dari belakang Lea, dan Lea tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang mengeluh, Heba yang kini bersimpuh, cukup memberi tahu siapa yang datang.

Rasui muncul dengan wajah bersungut-sungut. Ada satu orang yang mengikutinya. Dia mengeluh kepada pria itu. Pria itu sekarang terlihat gugup sekali. 

“Maaf, Pangeran. Hamba mengira Anda akan makan malam bersama Tuan Putri,” katanya, sambil membungkuk sembilan puluh derajat.

“Simpan saja pendapat lancang itu untuk dirimu lain kali!” bentak Rasui.

“Saya akan menyiapkan hidangan di tempat lain.” Pria itu semakin membungkuk.

Rasui melirik sebal ke arahnya, dan bibirnya menipis. Dan tentu Lea tak mau kalah, dia membuat mimik wajah jengkel sebaik mungkin, dengan sengaja tidak memandangnya. Agar Rasui tahu, dia juga tak suka dengan pengaturan ini.

“Tak perlu! Menyusahkan sekali. Aku akan makan di sini malam ini, tapi  jangan ulang lagi!” hardiknya.

Pria yang sepertinya pelayan pribadinya--seperti Heba untuk Lea--berjanji dengan sungguh-sungguh.

Dalam hati Lea tertawa. Sikap Rasui menegaskan, jika dia tidak ingin lagi berada dalam satu area bersama dengan Lea setelah hari ini. Dan Lea bersyukur untuk itu. Sikap Rasui yang selalu tak terduga, membuatnya sakit kepala.

Tapi jika benar Rasui tak ingin lagi menemuinya, itu berarti Lea harus segera mengatakan apa yang jadi uneg-unegnya. Dia tidak akan punya kesempatan lagi selain hari ini. Meski sudah berniat, bukan berarti mudah. 

Lea beberapa kali melirik ke arah Rasui, yang mengunyah makanannya tanpa menatap Lea sekalipun, seakan dirinya adalah bagian dari dinding. 

Lea membersihkan tenggorokannya, lalu menegakkan kepala. 

“A..Aku ingin bicara!” Lea tergagap karena jantungnya memilih untuk berdegup lebih kencang, saat matanya bertemu dengan Rasui. Mata tajam Rasui beserta wajah tampan itu, mampu membuat hatinya tak tenang. 

Lea merasa seperti remaja tanggung yang baru saja bertemu artis idola. Sampai harus bersusah payah menahan antusias untuk tidak berteriak memuji wajahnya. 

Hilang sudah kemampuannya untuk bersikap tak acuh pada pria, seperti yang biasa dia lakukan untuk menghindari kemungkinan terjadi hubungan.

“Pria itu seharusnya mempertimbangkan diri untuk memakai topeng,” keluh Lea dalam hati. 

“Kalian berdua tinggalkan kami.” Rasui memerintah pada Heba dan pria yang berdiri melayaninya sejak tadi. Tak ingin mereka mendengar pembicaraan. Kasus aneh Lea tidak untuk didengar oleh banyak telinga.

Mereka berdua undur diri, nyaris seketika itu juga.



 

Kau Setuju?

 

“Apa maumu?” tanya Rasui. Tidak membentak, tapi nada sinis itu tak pelak kembali menarik bibit kesal dalam diri Lea. Menghancurkan pesona tampan yang sejenak membuat Lea lupa diri.

“Kau tahu aku juga tak ingin ada disini bukan?!” Lea mencoba menahan diri, karena pembicaraan mereka tak akan mengalami kemajuan jika dirinya marah.

“Lalu apa peduliku?” Rasui mengangkat mangkuk, matanya menatap malas ke arah Lea.

“Kau tak harus peduli, tapi setidaknya kau harus mencoba mengerti, dan berhenti bersikap menyebalkan.”

Lea bangga pada dirinya sendiri, karena berhasil terdengar tenang. Meski separuh kalimat itu dia ucapkan dalam desisan, karena giginya mengatup jengkel.

Rasui menatap Lea. Kali ini dengan lebih tajam. 

Tatapan yang tak terbalas, mata Lea kembali ke arah makanannya, yang masih tersisa separuh. Lea tidak bodoh, menatap Rasui akan mengganggu konsentrasinya.

“Aku menyebalkan?” Rasui bergumam.

Lea melirik, mengira Rasui akan marah, tapi tidak. Dia terlihat heran. Dan bagi Lea itu kabar baik, setidaknya pria aneh itu tidak marah jadi mereka bisa bicara dengan lebih beradab.

“Aku tidak ingin ada di dalam tubuh ini. Aku juga marah sepertimu, kesal, putus asa, dan takut. Aku juga merasakan itu semua, jadi…”

Lea menelan ludah, sadar Rasui memandangnya secara langsung sejak tadi. Dia mendengarkan semua perkataan Lea dengan sungguh-sungguh. 

Hal yang baik, hanya saja Lea tidak terbiasa menerima pandangan setajam itu, dari pria dengan derajat ketampanan level tinggi seperti Rasui.

“Lalu?” Rasui tak sabar, meminta lanjutan kalimat Lea..

“Aku ingin penjelasan, tentang semua keanehan ini,” kata Lea. 

Rasui tertawa getir. “Apa harus?”

Lea menatap ke depan. “Tentu saja harus. Kau sampai memaksaku dengan…”

Lea ingin menyebut ciuman, tapi mendadak leher dan wajahnya terasa hangat. Kepalanya terpaksa menunduk.  Keberaniannya membantah, tak membuatnya mampu menghilangkan malu saat membahas ciuman. Dia membenci ciuman Rasui, tapi sekaligus malu untuk menyebutnya begitu saja.

“A..Aku juga ingin tahu apa yang terjadi. Sama sepertimu.” Lea menyusun kalimat lain.

“Aku rasa kau yang seharusnya lebih mengerti tentang semua kejadian ini.Kau dengan mudah percaya tentang kenyataan aneh jika ada orang lain dalam tubuh Na… ini.”

Lea ingin menyebut Nae, tapi telah belajar jika Rasui sensitif sekali dengan nama itu. 

“Di tempatku berasal, hal seperti ini, tidak biasa dan seharusnya tidak mungkin terjadi.”

Lea ingin terlihat sempurna dan percaya diri saat mengucapkan itu, tapi sayang kepalanya masih menunduk. Khawatir otaknya mogok jika bertemu pandang dengan Rasui lagi.

“Kau belum pernah melihat atau mengalami hal seperti ini?” tanya Rasui. Suaranya jauh lebih lunak.

“Belum. Dan seharusnya tidak akan pernah. Ini hal yang mustahil.” 

Rasui mengisi gelasnya dengan air kembali. “Dari mana asalmu? Tunjukkan arahnya.”

Rasui meminta arah, karena nama tempat asal Lea bukan daerah yang dia kenal.

“Mmm… Ke utara. Dari kota ini terus ke utara, menyeberangi laut.”

Ini hanya perkiraan sangat kasar. Meski Lea buta arah di alam nyata, tapi dia ingat penampakan peta. Inggris berada di sebelah utara Afrika. Hanya itu penjelasan terbaik yang bisa dia berikan.

“Laut? Kau berasal dari negeri dingin itu? Itu jauh sekali.” 

Rasui berseru, memperlihatkan raut wajah lain yang membuat Lea terkesima. Menemukan hal baru. Mata tajam Rasui berbinar penuh rasa ingin tahu. Dan membelalak saat Lea mengangguk.

Lea tidak bisa tahu persis apakah negeri dingin yang dimaksud Rasui adalah Inggris atau paling tidak Eropa, tapi akan lebih mudah jika dia mengiyakan saja.

Lea tidak tahu cara menjelaskan konsep lintas waktu. Itu termasuk dalam bidang scientific yang tidak dikuasai Lea. Dia tidak terlalu ahli dalam bidang fisika.

Lea bisa mencoba menjelaskan, tapi tidak menjamin juga penjelasannya tidak semakin membuat Rasui kebingungan. Untuk saat ini lebih mudah menjelaskan jika dirinya berasal dari negeri yang jauh.

“Apa yang terjadi padamu sebelum semua ini?” tanya Rasui. Menilik dari betapa cepatnya dia bertanya, terlihat sebenarnya dia sudah ingin sekali bertanya soal ini.

Lea menggeleng. “Aku tidak ingat.”

“Hm?”

“Aku tidak ingat. Kepalaku sakit setiap kali akan mengingat.”

Bukan hanya sekali saat dia baru terbangun, Lea beberapa kali mencoba mengingat, dan setiap kali berkonsentrasi, kepalanya terserang nyeri hebat yang membuatnya menyerah. Padahal ingatannya yang lain baik-baik saja. 

Dia ingat sedang bekerja meneliti salah satu fungi langka dari hutan tropis, pekerjaan yang biasa dia lakukan. Dan Lea ingat dia keluar dari laborat seperti biasa, menyapa satpam jaga malam, dan pulang.

Tapi ingatan soal perjalanan pulang ini yang membuatnya sakit kepala. Bahkan sekarang denyutan mulai menyerang, hanya karena menjawab pertanyaan Rasui.

Lea mendesis, memijat keningnya.

“Tak perlu memikirkannya. Tidak penting apa yang kau alami sebelum ini,” sahut Rasui. Obrolan yang tadi cukup lumayan hangat, kembali tajam.

Lea mengeluh dalam hati. Rasui terlalu peduli pada Nae. Dia bahkan tak ingin tubuhnya merasakan sakit.

“Bukan urusanmu, Lea”. Batin egois Lea memperingatkan. 

Bukan urusannya bagaimana perasaan Rasui. Dia hanya perlu mencari jalan keluar dari keadaan aneh ini, dan kembali ke tubuhnya yang asli.

Tak perlu memikirkan bagaimana keadaan pria bebal itu, jika tahu tubuh Nae akan mati, begitu dirinya pergi.

Lea mengatur wajah agar tetap tenang.

“Kau belum menjelaskan apa-apa padaku.” Pertanyaan Lea belum terjawab.

“Maksudmu soal penyebab ini semua?” 

Lea mengangguk, dan melihat bagaimana kerutan kening Rasui semakin dalam. Dia mengetuk meja dengan jari telunjuknya, beberapa kali, sebelum kembali menatap Lea.

“Aku sudah mencoba bertanya soal apa yang terjadi padamu. Tapi orang yang aku tanyai belum menjawab. Aku harus menunggu jawaban itu untuk tahu,” jelas Rasui.

“Harus menunggu berapa lama?” tanya Lea, mengejar jawaban pasti.

“Aku tak tahu. Orang itu, hanya akan menemuiku jika dia ingin, dan jika memang sudah waktunya.”

“Kenapa aneh sekali?” Lea mulai tak menyukai jawaban Rasui.

“Karena memang begitu adanya. Aku tidak bisa memaksa. Sudahlah! Tak usah membahas mereka. Pikirkan saja dirimu sekarang.” Rasui mengibaskan tangan, tak ingin mendengar pertanyaan lain dari Lea.

“Tak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu jawaban mereka. Tugasmu saat ini adalah berpura-pura menjadi Nae dengan baik, dan tidak mempermalukan namanya,” tukas Rasui.

“Kenapa aku harus menurutimu?!” bantah Lea. Yang segera menabuh genderang perang baru, setelah mereka bisa lumayan berdamai tadi.

Rasui tersenyum sinis mendengar bantahan Lea.

“Jangan lupa statusmu adalah istriku. Tubuh yang kau pakai itu istriku. Kau hanya menumpang pada tubuh itu!” celanya.

“Aku tidak…” Lea berang mendengar kata menumpang itu, dan nyaris saja membocorkan soal Nae yang meminum racun.

Namun Lea mengatupkan bibirnya pada saat yang tepat. Dia tidak boleh membicarakan hal itu sekarang.

Saat ini rencana yang diucapkan Rasui sudah cukup menguntungkan dirinya, meski disampaikan dengan tidak menyenangkan.

Lea akan menyimpan berita soal racun itu, karena ada kemungkinan akan membuat Rasui mengubah rencana lagi.

“Terserah kau saja!” Lea memutuskan mengalah.

Namun meski kesal pada Rasui, setidaknya nasibnya sedikit lebih jelas. Lea akan menunggu. Dia akan sabar menunggu jawaban itu.

Pembicaraan saat makan itu menemui hasil yang Lea inginkan. Masa depannya yang suram sedikit cerah, dan menilik dari sikap Rasui, kecil kemungkinan dia akan menemui Lea setelah ini. Itu melegakan.

Lea melirik ke arah Rasui yang kini menarik hidangan lain di hadapannya. Lea sebal dia terlihat puas. Perasaan yang diperoleh, karena Lea mengalah tadi.

Rasui merasa telah menang dalam perdebatan. Wajah arogan itu menggoda Lea untuk mengatakan hal yang sebenarnya soal Nae. Tapi Lea sadar risiko yang ada, dan kembali menelan berita itu dalam hati.

Namun, saat akan kembali menunduk menghabiskan makanannya, mata Lea menangkap sesuatu.

“BERHENTI!” Lea berteriak menghentikan Rasui, yang akan menyuapkan makanan ke mulut.

“Itu beracun!” seru Lea.



Darah Apa Itu?

 

“Apa maksudmu?” Kening Rasui berkerut.

Lea bangkit, lalu menghampiri piring hidangan yang tadi di ambil Rasui. Piring itu berisi semacam jamur yang ditumis.

Lea menunduk, melihat lebih jelas. Untuk meyakinkan tidak terjadi kesalahan.

“Ini Angel wing, bukan jamur tiram!” Lea menepis sendok gading yang ada di tangan Rasui, agar jamur itu jatuh kembali ke piring.

“Ini jamur yang biasa dimasak!” bantah Rasui, tak percaya.

“Bukan! Kau lihat ini?” Lea menunjuk bagian bawah potongan jamur yang terlihat pendek.

“Ini jamur beracun. Jamur tiram tidak berbentuk seperti ini.”

Satu-satunya cara membedakan jamur tiram dan angle wing. Jamur tiram memiliki tangkai yang sedikit lebih panjang.

Jamur angle wing, dan jamur tiram amat mirip. Sama-sama berwarna putih, dan memiliki kepala jamur lebar yang berserat. 

Saat telah diolah dan disajikan di dalam piring. Nyaris mustahil dibedakan. Ini yang membuat Lea tak cepat menyadari, saat melihat hidangan jamur itu.

Orang baru akan sadar jika sudah jatuh korban. Jamur angel wing, memiliki racun setara sianida. Korbannya biasanya akan sakit, bahkan jika lemah bisa mati. Separah itulah racunnya.

Untung mata Lea telah terlatih mengenali perbedaan sekecil mungkin dalam tumbuhan.

“Heba! Daka!”

Rasui memanggil, dan dua orang yang tidak mungkin pergi terlalu jauh, datang dengan berlari.

"Siapa yang menyiapkan hidangan ini?” tanya Rasui.


“Tukang masak yang biasa, Pangeran.” Pria pelayan Rasui yang menjawab, sambil membungkuk. Namanya Daka.

BANG!

Rasui menggebrak meja, wajahnya berubah kelam.

“Panggil dia!” Daka yang tadi melonjak, segera berbalik dan berlari ke dapur.

“Bawa dia masuk ke kamar!” Rasui beralih pada Heba, dan menunjuk Lea.

Heba dengan patuh menjura, lalu setengah menyeret Lea keluar dari sana.


 

***

Lea tak mengerti kenapa  Rasui terlihat amat marah. Dia lebih dari marah malah. Lea seakan bisa melihat pelipisnya berdenyut, saat Heba kembali menarik paksa dirinya, agar berjalan ke kamar.

Lea mengerti jika jamur itu berbahaya. Tapi siapa saja bisa melakukan kesalahan. Kedua jamur itu sudah terkenal sebagai pembawa bencana.

Karena itu, sudah sejak lama jamur tiram liar tidak disarankan untuk dikonsumsi. Jamur tiram yang ada di toko dan pasar modern di masa depan, adalah hasil panen perkebunan, yang menghapus kemungkinkan untuk terjadi kesalahan seperti tadi.

Tapi di jaman ini berbeda pastinya. Lea membayangkan semua jamur dipetik dari alam liar. Kesalahan fatal dalam mengenali, tapi masih masuk akal.

“Apakah anda masih membutuhkan bantuan lain?” tanya Heba, setelah dia membantu Lea bersiap tidur.

Lea menggeleng. “Kau baik-baik saja?”

Lea bertanya karena wajah Heba pucat sekali. 

“Kau tidak memakan jamur tadi bukan?” Lea khawatir, Heba terlihat sakit.

“Tidak. Tidak, Tuan Puteri. Hamba baik-baik saja. Hamba hanya harus segera pergi,” kata Heba. 

“Oh… Pergilah, kalau begitu.”

Lea tentu mengabulkan. Sambil berbaring, Lea memandang heran, pada Heba yang kembali setengah berlari meninggalkan kamarnya.

“Ada apa dengan semua kepanikan ini?” batin Lea.

 

***
 

Tidurnya gelisah, tapi Lea bangun sebelum hari siang. Dan sebenarnya sudah terlambat. Yang mengherankan adalah tidak ada Heba di kamarnya. 

Heba sendiri yang mengatakan dia akan ada setiap kali Lea membuka mata. Lea tentu bertanya-tanya.

Lea bukan ingin menyuruhnya melakukan sesuatu yang penting, hanya saja dia tidak tahu harus melakukan apa, jika tidak ada Heba.

Kegiatannya rutin Lea tiap pagi adalah membuat kopi dan sarapan. Dua hal yang tidak mungkin dilakukan oleh tuan putri yang baik.

Namun, belum sempat Lea turun dari ranjang, Heba datang dengan tergopoh-gopoh.

“Maafkan hamba, Tuan Putri. Hamba terlambat.” Heba menjura dalam-dalam. 

“Tidak perlu seperti itu. Aku tak akan marah.” Lea menggeleng, lalu menghampiri Heba, dan menegakkan pungungnya.

Lea masih harus membiasakan Heba, agar tidak menghamba berlebihan.

“Jika hanya ada kita berdua, kau bisa santai, tak perlu…"

Lea berhenti karena merasakan basah di tangannya, setelah menyentuh bahu diatas tulang belikat Heba. Kepala Lea langsung berputar, saat melihat tangannya memerah. Tangannya basah karena menyentuh darah dari luka pada punggung Heba.

“Tidak! Tunggu!”

Lea menjauhkan tangan itu dari pandangan dan memejamkan mata, tubuhnya limbung, jatuh terduduk kembali di ranjang.

“Tuan Putri!” Heba mencoba membantu, tapi Lea menggeleng panik, dan mengangkat tangannya yang ternoda merah.

Jika Heba mendekat, Lea akan semakin pusing. Lea sudah bisa mencium aroma amis darah, dan perutnya bergolak.

“Tangan anda!” Heba kini panik, melihat noda di tangan Lea. 

Heba berlari keluar, kembali membawa mangkuk dan kain bersih. Dia segera mencelupkan tangan Lea, yang masih teracung. Menyapu darah itu sampai bersih.

Lea menarik nafas panjang dan menghembuskan pelan. Menahan diri untuk tidak muntah maupun pingsan. Keadaannya dengan cepat membaik saat Heba membawa pergi mangkuk itu keluar dan kembali lagi.

Lea membuka mata. Pandangannya tak lagi berputar. Tapi dia tetap menghindar untuk memandang punggung Heba.

“Maaf, Heba. Jangan salah paham, aku bukannya jijik padamu atau apa. Ini hanya…”

Lea berusaha menjelaskan soal phobia, pada Heba yang kembali terlihat takjub karena permintaan maaf Lea.

Lea otomatis meminta maaf, karena biasanya orang akan salah paham dan menganggap dirinya sok bersih atau sok suci, saat melihatnya mual karena darah mereka.

“Anda takut pada darah. Pangeran Rasui sudah menjelaskan ini, sebelum hamba bertugas melayani Anda,” kata Heba.

Karena itu Heba mengambil tindakan tepat, saat melihat tangan Lea kotor oleh darah. Heba dengan cepat menghapus darah di tangan Lea, untuk menghentikan mual.

Gantian Lea kini takjub. Tidak menyangka Rasui akan mendetail seperti itu. Tidak cocok dengan sifatnya yang sinis pada Lea.

“Apa yang terjadi padamu? Apa kau jatuh dan terluka?” tanya Lea.

Menepis kebaikan Rasui yang tidak penting, Lea fokus pada Heba. Luka di punggungnya tidak kecil, sampai bisa berdarah seperti itu.

“Bukan, Tuan Putri. Hamba terluka bukan karena jatuh…”

Heba menggeleng, menundukkan kepala. Dia juga meremas tangan pertanda galau. Tak ingin menjawab pertanyaan Lea.

“Lalu kenapa?” Lea tentu tak akan membiarkannya diam.

“Itu luka dari hukum cambuk,” lirih Heba.

“CAMBUK?!”

Lea terhenyak bangun, dengan wajah ngeri. Lea tidak bisa membayangkan harus berapa ratus cambukan yang Heba terima sampai bisa terluka seperti itu. Mata Lea menghangat membayangkan kesakitan yang harus diderita Heba saat menerimanya. Hukuman itu tidak manusiawi.

“Kenapa kau harus dicambuk?!” tanyanya.

“Itu hukuman yang harus hamba terima, karena telah lengah,” jawab Heba.

“Lengah dalam hal apa?” Lea masih tak merasa Heba melakukan kesalahan yang membuatnya pantas mendapat cambukan.

“Hamba lengah dan membiarkan jamur itu sampai di meja makan. Ini membahayakan Tuan Putri dan juga Pangeran. Ini kelalain yang mengancam nyawa. Jadi hamba pantas mendapat hukuman ini,” isak Heba. Air matanya turun, dan suaranya kini gemetar.

“Maafkan hamba, Tuan Putri. Saya benar-benar tidak tahu jika hidangan itu bercampur jamur beracun.” Heba tak hanya terisak biasa. Dia sungguh-sungguh menyesal.

Dan Lea heran karena semenjak semalam dia masih menganggap jika ini adalah kesalahan kecil. Akibatnya besar karena Rasui bisa mati jika memang sempat memakan jamur itu. Tapi dia tidak mati. Dia hidup dan sehat. 

Tidak perlu memperbesar masalah dengan menghukum orang. Cukup dengan teguran dan pelajaran untuk membedakan  kedua jamur itu dengan benar.

Apalagi dia menghukum Heba yang sama sekali tidak bersangkutan langsung dengan piring berisi jamur beracun itu.

Bukan Heba yang memasak maupun menyiapkan makan malam itu. Dia hanya bertugas mengantar Lea ke ruang makan.

“Dimana dia?” tanya Lea, sambil berjalan keluar kamar.

“Siapa?” Heba terburu-buru menyambar jubah Lea, karena dia masih memakai baju tidur minim, dan mengikutinya.

"Rasui!”

“Pangeran Ketiga ada di kamar.” Dengan terburu-buru Heba, memakaikan jubah, saat Lea berhenti di pertigaan lorong. Dia tak tahu dimana kamar Rasui.

“Antar aku ke sana,” kata Lea, tegas.

“Tapi Pangeran tak ingin diganggu sebelum tengah hari, Putri.” Heba mencegah, dengan wajah panik.

“Aku tak peduli!” Lea mengibaskan tangan.

“Yang mana?” tanya Lea menunjuk lorong.

Heba berpikir sejenak, lalu akhirnya menunjuk lorong di depan Lea. Dengan kepala terkulai, dia mengikuti langkah kaki telanjang Lea

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SIT - She My People
1
0
Heba
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan