

Apa Itu?
Lea membuka matanya yang sembab dan perih, saat telinganya mendengar panggilan. Bukan memanggil namanya. Tapi memanggil nama yang kembali membuat Lea ingin menangis.
"Hayya qumii, ya Amirotu Nae!" (Putri Nae, hamba mohon bangun)
Lea menggosok wajahnya sebentar, lalu menyingkirkan rambut dari telinga, karena mendengar ucapan aneh lagi.
"Tuan Putri Nae?"
Kini Lea membuka mata sempurna, dan telinganya terbuka sempurna pula.
Dengan mata sembab dan tebal itu, Lea bisa melihat jika dia masih berada di kamar yang aneh, bukan kamarnya sendiri. Tidak mengherankan jika dia mendengar panggilan nama Nae.
“Ucapan aneh tadi sepertinya hanya mimpi”, putus Lea dalam hati. Lea bergerak, dan bangun. Melawan kepalanya yang sakit berdenyut, akibat tangisan hebatnya tadi malam.
"Putri Nae?"
Lea menoleh dan melihat seorang wanita berdiri di dekat ranjang, terpisah oleh kain tipis kelambu berwarna putih. Tidak terlalu jelas, tapi tubuhnya mungil seperti gadis remaja. Mungkin enam belas atau tujuh belas.
Rambut panjang berkepang kecil-kecil. Lea tak bisa melihat wajahnya dia menundukkan kepala.
"Siapa?" Lea sungguh berharap dia tidak mengenal Nae. Pertanyaan seperti itu akan membuatnya heran.
Tapi Lea tak punya pilihan selain bertanya. Dia tidak ingin melakukan kesalahan di tanah asing ini. Lebih baik bertanya meski terdengar gila, daripada salah.
Lea sedikit bergeser mundur, saat melihat gadis itu tiba-tiba bersimpuh dan menunduk kembali. Gerakan yang aneh tentu saja.
"Maafkan kelancangan hamba. Seharusnya hamba memperkenalkan diri terlebih dulu." Dia menjawab, dengan punggung semakin bungkuk.
"Oh.. Tidak apa. Maksudku, tidak masalah. Tak perlu minta maaf." Lea lega sekaligus gugup. Setidaknya dia tidak mengenal Nae, jadi pertanyaannya tidak aneh.
Namun, Lea gugup karena sadar jika sikap sopan berlebihan disertai duduk bersimpuh itu, dilakukan dengan alasan Nae adalah istri dari Pangeran. Lea melupakan status barunya dengan mudah.
Pangeran itu... Lea ingin mengacungkan jari tengah, saat bertemu dengannya lagi nanti. Tapi kemudian sadar, belum tentu dia mengerti apa maksud dari jari tengah teracung. Meski gampang nekat, tapi bukan kebiasaan Lea untuk menjadi kasar sebenarnya.
Kekasaran kemarin itu, hanya terbit karena keadaan aneh, putus asa dan kecewa. Lalu pria itu mendorongnya sampai ke titik emosi tak tertahankan, saat menciumnya. Ciuman itu jelas membuat Lea lepas kendali.
Pangeran menyebalkan itu, semakin memperburuk catatan rekor ciuman Lea, yang sebelumnya sudah buruk. Pengalamannya mencium pria, hanya membutuhkan sebelah jari tangan untuk dihitung, dan jumlah itu sudah termasuk ciuman pertama yang membuat bibirnya bengkak, karena lawannya adalah teman sekelas Lea yang terlalu bernafsu.
Tapi ciuman itu yang bertanggung jawab atas payahnya kehidupan percintaan Lea. Bisa dikatakan trauma, karena setelah itu, Lea merasa semua ciuman yang dia terima adalah payah. Dan karena itu juga, hubungannya tidak pernah berjalan lama.
Lea hanya pernah menjalani hubungan asmara dengan empat pria, dan salah satunya dengan berani menyebut jika Lea terlihat jijik saat berciuman dengannya.
Lea baru menyadarinya saat itu. Tanpa sengaja dia selalu menampakkan wajah jijik saat ada pria yang menciumnya.
Setelahnya, Lea praktis membujang, dan memutuskan tak ingin terlibat dalam urusan percintaan, ingin hidup sendiri selamanya. Dia malas berpikir cara untuk mengatasi masalah ‘wajah menjijikkan’ itu.
Dan kini semua keinginan itu terasa konyol. Tak hanya ada pria yang baru menciumnya secara paksa, dia juga telah menikah dengannya.
Tapi setelah memikirkannya di pagi yang terang benderang ini, tubuh yang dicium oleh pangeran itu adalah Nae, bukan dirinya. Ini sedikit membuat Lea merasa lebih baik.
"Maaf, Tuan Putri. Apa hamba boleh memperkenalkan diri sekarang?"
Pertanyaan itu mengejutkan Lea. Dengan panik dia menatap gadis itu yang masih bersimpuh. Padahal entah berapa lama dia melamun tadi.
"Silahkan, tentu saja."
"Nama..."
"Tunggu, apa kau harus terus bersimpuh seperti itu?" Lea heran dia betah. Duduk dengan dua kaki tertindih badan, tidak mungkin akan nyaman.
"Anda belum menyuruh hamba bangun," jawabnya.
Lea nyaris mengumpat. Ternyata dia sumber ketidaknyamanan itu. Usahanya untuk tidak melakukan kesalahan sudah gagal total.
"Bangunlah." Lea berusaha terdengar seanggun mungkin. Dia tidak tahu bagaimana caranya bersikap seperti seorang putri.
Gadis itu bangun, tapi masih dengan membungkuk. "Perkenalkan, nama hamba Heba. Hamba yang akan menjadi pelayan tuan putri mulai hari ini."
"Mmm.. ya. Baik." Lea mengangguk paham. Istri seorang pangeran tentu mendapat pelayan pribadi, ini wajar. Lea mencoba berpikir dari sudut kehidupan Nae.
"Baiklah, lalu apa yang harus aku lakukan?" Lea bermain aman, dan kembali bertanya. Dia memutuskan akan bertanya setiap kali kebingungan.
"Eh..." Heba terdengar bingung, kepalanya yang masih menunduk, menekuk ke samping sedikit. Mempertanyakan kegiatan hidup sehari-harinya kepada orang lain yang baru saja dia temui, tentulah terdengar bodoh.
"Itu terserah anda, Tuan Putri." Heba menjawab setelah mempertimbangkan baik buruk.
"Apa yang biasanya aku lakukan.... Maksudku apa yang biasanya seorang putri lakukan?"
Heba baru bertemu dengannya hari ini, tidak mungkin tahu apa kebiasaan Nae.
“Hmm...” Heba kembali bergumam bingung. Pertanyaan Lea sudah jauh melebihi aneh.
"Maaf, Putri. Apa Anda sedang sakit?" Heba menyimpulkan, ocehan tak jelas Lea sebagai igauan karena sakit.
"Tidak. Aku sehat, dan hanya ingin tahu apa kebiasaan putri yang ada di istana ini. Aku ingin cepat menyesuaikan diri." Lidah Lea berhasil membentuk kebohongan dengan lancar.
Bukan kebiasaannya untuk berbohong, tapi dia tidak keberatan melakukannya jika terpojok. Berada di tempat entah kapan di masa lalu, tentu termasuk keadaan terpojok.
“Oh...” Heba perlahan mengangguk. Alasan Lea sepertinya masuk akal baginya.
“Bagaimana jika mandi? Kata Pangeran Anda sakit, jadi hamba hanya sempat mengganti baju yang anda pakai kemarin,” usul Heba.
Lea memandang baju yang dipakainya tidur itu dengan mata menyipit. Dia ingin bertanya pada Heba, kenapa dia memilihkannya baju yang kurang bahan seperti itu Tapi pertanyaan itu, sepertinya berlebihan.
Memandang Heba, dia juga memakai pakaian yang berjenis sama. Hanya bagian dada lebih tertutup, mirip tunik berbahan ringan. Lalu Lea masih ingat betul, penampilan Rasui yang membuat Lea malu saat memandangnya.
Lea bisa menyimpulkan jika baju minim adalah kebiasaan orang di situ. Meski sedikit mengerti, Lea kini bertanya-tanya.
“Aku sebenarnya ada dimana? Kebiasaan berpakaian mereka unik sekali.”
Namun, pertanyaan itu hanya bisa dia tanyakan dalam hati saat ini. Hanya Rasui yang bisa menjadi tempatnya bertanya hal itu.
Seperti Heba tadi, orang lain akan menganggapnya sakit, jika mendengarnya bertanya hal yang sudah seharusnya jelas itu.
Memikirkan harus bertanya pada pria itu, membuat mulut Lea terkatup erat. Dia memilih untuk mencari jawaban sendiri, meski prosesnya akan lama. Lea tidak akan memaafkannya dengan mudah.
Perlahan, Lea turun dari ranjang, menapaki lantai yang terbuat dari batu itu.
“Sebentar. Hamba akan mengambil sandal untuk anda.”
Heba bergerak dengan terburu-buru ke sudut kamar. Dia lalu menyibak tirai dan kembali berlutut.
“TIDAK! Jangan!” Lea panik saat tangan Heba meraih kakinya mencoba untuk memasangkan sandal itu. Jenis penghambaan yang berlebihan, menurut Lea, tapi Heba berubah pucat saat mendengar penolakan Lea.
Dia melepas sandal, lalu bersujud rendah, dengan kening menempel pada tanah. “Maafkan hamba Tuan Puteri. Apakah hamba melakukan kesalahan?”
Suara Heba gemetar ketakutan, kali ini Lea menyadari kesalahannya dengan sangat cepat. Penolakan tadi, rupanya dianggap amarah oleh Heba.
“Kau tidak salah,” keluh Lea. “Bangunlah.”
Heba tak lagi bersujud, tapi dia kembali duduk bersimpuh, belum berani memandang Lea.
“Aku hanya terkejut tadi. Maaf ya.”
Heba kini memandang Lea dengan mata membulat lebar. Keheranan terlukis jelas di wajahnya.
“Anda apa?” tanya Heba.
“Aku terkejut, jadi berteriak. Kau tak perlu takut. Itu tadi salahku.”
Tapi penjelasan itu semakin membuat Heba heran, dia menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan, karena terkejut.
“Ada apa?” Lea menyadari jika dia pasti telah melakukan kesalahan besar. Reaksi Heba tidak normal.
“Anda.. Anda.. Maksud saya..Mmm.. Anda meminta maaf pada hamba.” Heba sampai terbata.
“Ya. Aku mengejutkanmu tadi. Apa aku tak boleh meminta maaf?” Lea heran.
Reaksi Heba yang berikut, sangat mengejutkan Lea. Air mata Heba perlahan turun.
“Tapi hamba hanyalah budak,” lirih Heba.
Saat mendengar kata budak, Lea paham. Ada sistem kasta atau kelas di negeri ini.
Sistem kasta yang membuat orang dengan kedudukan seperti Heba, tidak pernah mendengar permintaan maaf dari tuannya. Dia heran dan terharu sampai menangis, hanya karena Lea meminta maaf padanya.
“Ini menyedihkan,” kata Lea, dalam hati, sambil menghela nafas panjang.
“Apa karena budak itu berarti kau bukan manusia? Budak atau bukan, kau adalah manusia yang tentu saja berhak untuk mendapat ucapan maaf jika ada yang bersalah padamu.”
Tangis Heba semakin kencang. Lea tak tahu apakah harus menangis atau tertawa karena ini. Siapa sangka ucapan maaf bisa berbuntut hal rumit seperti ini.
“Kita jadi akan mandi bukan?” Lea merasa lebih baik dia mengalihkan perhatian Heba.
Gadis itu mengangguk, lalu berdiri. Dia menghapus air mata, lalu menunjuk ke arah barat.
“Hamba akan mengantar,” katanya.
Lea turun, dan menggeliat meregangkan otot. Kejadian beruntun yang sangat intens semenjak kemarin, membuatnya merasa pegal.
Saat baru saja melangkah, pandangan mata Lea tertuju ke arah jendela, yang membuka, tanpa penutup di sebelah ranjangnya. Sedari tadi dia tidak menyadarinya.
Lea berdiri mematung, matanya berkedip pelan menatap sesuatu di luar sana.
“Heba? Itu apa?” Lea menunjuk keluar jendela.
Heba melongok ke jendela. “Taman?”
Ada taman kecil di bawah jendela itu. Tapi Lea menggeleng.
“Itu. Tanah luas cokelat tak ada apa-apa?”
“Padang pasir?” Heba sekali lagi memandang Lea dengan heran. Karena bertanya sesuatu yang tidak perlu. Semua orang tahu itu adalah padang pasir.
“Kenapa ada di sana?” Pertanyaan bodoh yang lain dari Lea. Otaknya seakan membeku setelah melihat gurun pasir itu.
“Karena Yamu memang berada di dekat gurun pasir.” Heba kini menyerah untuk heran, dan hanya menjawab pertanyaan Lea sebisa mungkin.
Lea mendekat ke jendela, berharap jika lebih dekat, maka pemandangan akan berubah. Tapi tentu tidak, gurun pasir kosong dan gersang itu tetap ada di sana.
“Bagaimana aku bisa kesana?” tanya Lea.
“Keluar dari pintu itu dan lurus saja, Tuan Putri.” Heba menunjuk pintu, dan Lea segera berlari keluar, tidak peduli dengan Heba yang berteriak mencegah.
Kaki telanjang dan baju minim yang Lea pakai, sangat tidak pantas dipakai keluar kamar.
Aku Dimana?
Untung saja arah yang ditunjuk Heba sangat sederhana, karena Lea sebenarnya buta arah. Dia mudah sekali tersesat, jika berada di bangunan atau tempat baru yang memiliki lorong yang mirip.
Lea kini berlari menyusuri lorong di luar kamarnya, tanpa peduli beberapa orang berseru kaget.
Prajurit yang berjaga dan juga pelayan lain, kebingungan melihat Lea, dan Heba--yang coba menghentikannya--ikut berlari di belakangnya.
Lea terus berlari, melintasi taman yang tadi dilihatnya dari kamar, mencapai gerbang kecil, yang dijaga dua prajurit.
Mereka seharusnya menghentikan Lea, tapi karena terkejut, mereka malah diam dengan mulut ternganga.
Lea dengan mudah menerobos gerbang itu, dan kakinya yang tak beralas menginjak permukaan lembut dan hangat. Permukaan pasir yang segera melambatkan langkah Lea, karena kakinya terbenam.
Lea menatap lautan pasir tak berujung yang membentang di depan matanya. Tak ada satupun benda yang menandakan kehidupan. Hanya padang kosong yang mati.
Kulitnya yang sebagian besar terbuka, hangat oleh terpaan angin kering yang terasa sedikit kasar, karena butiran pasir halus yang ikut terbang bersama angin. Dunia yang terlihat jauh berbeda dengan apa yang biasa dia lihat. Perbedaan yang mengirim ketakutan.
Mata Lea kembali pedih, dan berair. Tapi bukan hanya karena butiran pasir halus itu. Air matanya terbit tanpa bisa dicegah.
Dia ada di suatu tempat asing, yang dikelilingi gurun pasir. Meski katakanlah dia berusaha lari atau apa, dia tak mungkin bisa mengarungi gurun pasir itu dalam keadaan hidup. Gurun pasir itu adalah kematiannya.
Lutut Lea lemas, dan dia jatuh bersimpuh.
“Di mana aku? Di mana aku sebenarnya?!” Lea memekik putus asa.
“Anda di negeri Tamiat.” Heba yang berhasil menyusul, menjawab seadanya dengan napas terengah.
Memandang bingung kepada Lea, yang terlihat berduka memandang gurun pasir. Dari semua misteri hari ini, mungkin ini yang paling aneh bagi Heba.
Namun Lea sudah tidak mengingat niatnya untuk bersikap wajar, tak peduli jika Heba menganggapnya gila. Niat itu terlupakan, begitu melihat padang pasir itu.
Kemarin Lea berharap dia masih bisa menemukan jalan untuk menjauhi semua kerumitan, tapi kini itu tak mungkin.
“MOM?!” panggil Lea, meski tahu tak akan mendapat jawaban. “Fred?”
Lea memandang kaki langit, sambil terus menggumamkan kedua nama itu. Air mata putus asa, turun tanpa henti. "Aku harus bagaimana?" isaknya.
***
“Aku tahu itu bukan tubuhmu, tapi bisakah kau tidak memamerkannya dengan bebas?!” Suara dingin yang sekarang sudah sangat Lea kenal, menegur keras di belakangnya.
Heba yang tersentak, langsung duduk bersimpuh dan bersujud. Sementara Lea tak menoleh, tak ingin memandangnya.
Dia tak peduli lagi dengan apapun, dia hanya ingin pulang. Tapi Lea berdiri, mencoba untuk tidak terlalu terlihat mengenaskan.
“Apa kau tuli?! SOPANLAH SEDIKIT DAN JAGA KEHORMATAN NAE!” bentak Rasui.
“NAE?.. NAE?! Dia saja yang kau pikirkan? Lalu bagaimana dengan aku? Kau pikir aku gembira dengan keadaan ini?!” pekik Lea, berpaling memandang Rasui, dengan wajah basah.
Rasui yang tidak menyangka akan mendapat perlawanan, mundur dua langkah. Teriakan itu adalah bentuk frustrasi dan kesal, yang sejak kemarin Lea tahan.
Dia berada sendirian di tanah asing, tanpa mengenal siapapun, tidak tahu kapan dan dimana, entah apakah setelah ini dia masih bisa bertemu dengan keluarganya lagi.
Dan lebih mengenaskan lagi, dia bahkan tidak memiliki tubuhnya sendiri. Keadaan itu sudah sangat bisa membuat siapapun putus asa dan menjadi gila.
Kini Rasui berhasil mengusik kesabaran Lea yang sudah habis tanpa sisa, dengan terus menanyakan Nae. Dia iba pada Nae yang memilih mati, tapi ketidakpedulian Rasui pada perasaannya, dengan mudah mendorong amarah Lea ke permukaan.
Dia juga berada dalam situasi yang dipaksakan padanya. Lea juga merasa berhak marah, berhak merasa sedikit egois dan memikirkan nasibnya sendiri.
“Aku punya keluarga! Aku punya pekerjaan! Aku punya kehidupan, meski tanpa budak yang berlutut padaku! Aku punya rencana masa depan! Cita-cita dan banyak lagi!”
Dada Lea naik turun, terengah karena berteriak. Tapi adrenalin dari amarah itu, dengan cepat kalah oleh putus asa. Lea menutup wajah dengan kedua tangan. Dia ingin sekali memaki Rasui, tapi percuma saja.
“Pria bebal itu tak akan mengerti!” batin Lea.
“Aku tak tahu cita-citamu apa, tapi apa itu termasuk memamerkan tubuh pada orang banyak?” Rasui masih sinis, tapi tak lagi berteriak.
Lea tersentak, saat bahunya tertimpa kain. Dia mendongak, melihat Rasui telah membuka jubah yang dia kenakan, dan menyelimuti tubuhnya.
Lea menunduk memandang tubuhnya, lalu terkesiap. Lea menyilangkan tangan di depan dada, baru menyadari penampilannya tak pantas.
Dia masih memakai baju tipis minim, yang dipakainya tidur tadi, kakinya juga tak tertutup.
Jika masih berada dalam tubuhnya yang lama, mungkin tidak akan terlalu tampak mencolok. Tubuhnya tipis, tanpa lekukan berarti, tapi Nae adalah apa yang disebut wanita bentuk tubuh S.
Sebutan yang menggambarkan keseimbangan antara bagian tubuh depan dan belakang, sama-sama menonjol dan padat. Saat dilihat dari samping, tubuh wanita seperti itu, akan tampak seperti huruf S.
Nae akan dengan mudah lolos menjadi model peragaan Victoria’s Secret jika ingin. Tubuh itu yang tadi membuat penjaga hanya bisa memandang heran, saat dia berlari.
“Kalian yang memberiku baju seperti ini sejak kemarin!” Lea tak terima dengan tuduhan sengaja memamerkan tubuh itu.
Dia tadi tak mampu berpikir sehat, dan sejak kemarin Nae memang memakai baju yang terbuka. Gaun yang dia pakai sesaat sebelum pingsan tidak kalah sexy dan terbuka. Karena itu Lea menyimpulkan memang kebiasaan Nae dan yang lain untuk berbaju terbuka.
“Itu baju khusus untuk kau pakai di dalam Serail. Apa perlu aku jelaskan apa maksudnya juga?!” Rasui membentak.
Lea ingin menjawab jika dia memang perlu penjelasan, dia tak tahu apa itu Serail. Namun, Rasui telah berpaling pada Heba.
“Bawa dia masuk, dan ajari segala hal kebiasaan di sini. Dan lupakan semua yang kau dengar tadi, jika masih sayang dengan nyawamu!” Rasui memberi perintah yang separuh melegakan, separuhnya lagi menyebalkan bagi Lea.
Melegakan karena dia menyuruh Heba untuk mengajarkan segala macam kebiasaan asing. Menyebalkan karena dia mengancam Heba.
“Hamba mengerti, Pangeran. Hamba akan diam.” Heba bersujud, sampai keningnya berhias butiran pasir, saat mengangkat kepala. Dia baru berani mengangkat kepala saat Rasui pergi.
“Putri Nae. Kita kembali saja ke dalam,” bujuk Heba. Nyaris memohon, agar keributan ini selesai.
Lea menghapus air mata, lalu menarik nafas panjang.
Rasui memang datang bukan untuk menghibur, tapi bahasan soal kepantasan berpakaian, cukup ampuh meredakan histeria Lea. Dia kini sedikit malu.
Sambil merapatkan jubah Rasui, Lea melangkah kembali ke dalam lingkungan istana. Pilihan apalagi yang dia punyai? Saat pilihan lainnya adalah gurun pasir mematikan itu.
“Heba?”
“Ya, Tuan Putri?” Heba bergeser ke samping, bersiap menerima perintah, yang tidak akan datang, karena Lea hanya ingin bertanya.
“Kemana semua orang?” Lea menjulurkan leher dengan heran melihat keadaan bangunan kosong di depannya. Keadaan istana itu cukup padat tadi.
Meski tak terlalu memperhatikan, tapi Lea masih ingat beberapa orang berseru terkejut saat melihatnya lari tadi, dua penjaga yang menjaga gerbang juga sudah tidak ada.
Heba memandang sekitar sekilas. “Hamba rasa, Pangeran menyuruh semua orang menyingkir sampai Tuan Putri kembali ke Serail.”
“Perhatian mengharukan,” batin Lea. Sinis. Perhatian itu, dilakukan karena Rasui tak ingin dirinya semakin mempermalukan tubuh Nae.
Keinginannya menjaga kehormatan Nae, membuat Lea ingin mengacungkan jempol, tapi saat mengingat sikap Rasui pada dirinya, Lea tetap memilih jari tengah untuk diacungkan padanya.
“Apa itu Serail?” Lea teringat ketidaktahuannya, mendengar Heba menyebut kata itu tadi. Pertanyaan Lea kini terdengar wajar bagi Heba, meski seharusnya aneh.
“Serail adalah kediaman khusus bagi para istri pangeran atau pharaoh, melayani suami. Kamar tempat Anda tidur tadi adalah bagian Serail Pangeran Rasui.”
“Fantastic!” gumam Lea. Mendapatkan pemahaman yang terasa bagai tamparan.
“Apa itu panpastik?” Heba bertanya polos, mendengar Lea menggumamkan bahasa asing.
“Oh.. Lupakan!” tukas Lea. Penjelasannya akan panjang, dan Lea sedang sibuk, menyatukan segala puzzle di otaknya.
Kini jelas baginya, alasan Nae selalu memakai baju terbuka, karena dia saat itu sedang menunggu suaminya. Dan baju itu khusus untuk dipakai di lingkungan itu.
“Kau tadi menyebut ‘para istri’?” Lea akhirnya juga menyadari potongan kalimat Heba yang janggal.
“Benar, Tuan Putri. Tapi saat ini Anda tak perlu khawatir. Anda satu-satunya penghuni Serail. Pangeran Rasui, baru mengambil Anda sebagai istri.”
Lea memejamkan mata sambil mendesis kesal. Penjelasan Heba hanya membuat keinginan Lea untuk meninggalkan istana ini semakin tebal.
Masa depannya kini ‘secerah’ langit London pada musim dingin di bulan desember. Abu-abu, dan akan hitam jika badai datang.
Sekarang Apa?
“Tidak. Tidak usah. Tidak perlu, Heba.” Lea mencoba menghindar, saat Heba membantunya membuka baju. Itu pekerjaannya seperti memasang sandal pada kaki.
“Kau boleh membantuku dalam apa saja, tapi aku bisa mandi sendiri, dan memakai baju sendiri.”
Heba menelan keluhan, tak ingin terdengar kurang ajar. Ingat jika Putri yang ini memang aneh. “Setidaknya biarkan hamba membantu anda menggosokkan punggung. Anda tidak bisa meraihnya sendiri.”
Lea masih ingin menolak, tapi tak tahu harus menjawab bagaimana. Memang tangannya tak bisa menggosok bagian punggung.
Biasanya Lea hanya meraih seadanya, atau menggunakan spon mandi panjang untuk menggosok punggung tengah. Benda yang tak mungkin ada di situ, meski pemandian itu luar biasa megah.
Tempat itu berupa kolam besar berair jernih. Berada di bawah naungan atap batu, disangga tiang batu besar, dengan hiasan ukir.
Batu yang menyusun lantai, telah digosok dengan halus. Meski tidak sampai mengkilap seperti marmer, tapi mulus. Mirip dengan lantai kamarnya tadi.
Kekurangannya, pemandian itu tak memiliki tembok. Hanya tertutup oleh tirai tipis, yang membuat Lea merasa sedang berada di gazebo terbuka.
Lea tadi juga sempat memprotes, tapi Heba menenangkan. Menurut Heba semua pelayan di sini wanita, jadi tak perlu khawatir.
Masih menjadi masalah untuk Lea yang pemalu soal memperlihatkan tubuh, terutama saat tahu akan ada Heba di dekatnya selama mandi.
“Baiklah, tapi untuk sekarang aku ingin mandi sendiri dulu, setelah itu kau bisa membantuku. Bagaimana?” Lea mencoba berkompromi. Heba tak mudah menerima. Curiga ini usaha Lea untuk menghindar.
“Aku akan memanggilmu nanti,” bujuk Lea.
Heba mungkin lebih muda dari Lea, tapi ketegasannya jauh lebih berkembang dari Lea.
Tapi Heba kalah karena status sebenarnya. Lea tak perlu membujuk, atau meminta. Jika dia memerintah dengan tegas, Heba akan menurut dan pergi. Sesuatu yang belum disadari Lea.
“Baiklah, Tuan Putri. Hamba akan menunggu panggilan itu.” Heba mundur ke balik tirai, belum jauh, tapi sudah cukup lumayan menurut Lea.
Lea membuka baju minim yang seharusnya berwarna putih itu, menjatuhkannya ke lantai. Baju itu berubah kecoklatan, setelah Lea memakainya duduk di pasir.
Perlahan dia turun ke air, melalui undakan batu yang ada di tepi kolam. Lea mendesah senang. Air itu segar dan dingin, mengusir gerah dan pasir yang menempel di tubuhnya. Lea mencelupkan seluruh tubuh, termasuk rambut, lalu bergerak menggoyangkan kaki, berenang dengan gaya bebas yang anggun.
Satu-satunya olahraga yang Lea rela lakukan adalah berenang, dan dia sangat menyukai air. Kolam pemandian itu seukuran kolam renang yang biasa Lea kunjungi di waterboom, hanya lebih dangkal. Kedalamannya tidak lebih dari satu setengah meter.
Ukuran yang luar biasa itu, mungkin untuk memastikan semua istri mempunyai tempat untuk mandi. Ukuran kolam itu jelas bisa menampung lebih dari lima belas wanita.
Lea kembali menelan makian, saat Heba dengan santai menceritakan ayah Rasui memiliki lima belas istri resmi, dan entah berapa banyak selir tak resmi di luar sana. Jumlah itu bisa bertambah jika masih ingin.
Mendengar kisah itu, Lea mulai menduga Nae lebih memilih mati karena hal ini. Hanya dugaan tentu saja, Lea masih tak bisa menyatukan dugaan itu dengan kenyataan Rasui mengenal Nae.
“Itu bukan urusanku!” Lea berteriak dalam hati lalu menepikan diri.
Yang terpenting untuknya saat ini, adalah mencari tahu apa penyebab kejadian ajaib ini, dan bagaimana caranya kembali ke tubuhnya sendiri.
Namun sebelum itu, Lea ingin menyimpulkan soal tempat mendaratnya ini. Pertama, dia ada di daerah bergurun pasir. Nilai geografi Lea buruk tak pernah lebih dari C. Ini membuat Lea tak tahu persis daerah padang pasir ini dimana.
Tebakan paling bagus adalah daerah Asia Barat, atau daerah Asia Selatan. Atau bisa jadi Afrika Utara. Perkiraan daerah yang terlalu luas. Dia harus bekerja lebih keras untuk menyimpulkan.
Lea melirik ke arah jubah Rasui yang diletakkan Heba di dekat bibir kolam, tak jauh dari bajunya. Lea berenang pelan mendekatinya.
Lea buruk dalam geografi, tapi dia botanis. Sentuhan sekilas, memberi tahu Lea jika kain itu terbuat dari linen, hasil olahan batang tanaman flax. Dan menurut sejarah yang yang dia baca, olahan flax untuk kain dimulai oleh orang Mesir kuno.
“Oh, tidak!” Lea mengeluh.
Kesimpulannya cepat terbentuk. Gurun pasir, dan kain linen memberinya jawaban Mesir kuno. Dia ada di suatu tempat di antara Afrika Utara.
Lea memijat kening, menenangkan diri. Dia kembali panik saat semakin yakin, jika kesimpulan ini yang paling benar. Penampilan tubuhnya, gaya berpakaian Nae dan Rasui, bahkan Heba yang berupa tunik tanpa lengan, kini menjadi masuk akal.
Nae mengingat salah satu pelajaran sejarah yang menampakkan foto gambar orang pada zaman Mesir kuno. Ada kemiripan dengan gaya Rasui, meski tidak sama persis.
Dan kesimpulan ini juga cocok dengan kenyataan Rasui tidak mengenal istilah tahun. Mesir kuno ada pada masa waktu lima ribu tahun sebelum masehi.
Jadi kini masalah terbesarnya adalah waktu dan tubuh. Katakanlah dirinya berhasil menyeberangi laut tengah dan mencapai Eropa, Lea hanya akan masuk pada masa pra sejarah Inggris, bertemu pendiri Stonehenge, bukan keluarganya.
Dan kalaupun entah bagaimana dia kembali ke masanya, keluarganya tidak akan mengenali Lea lagi, karena terlalu cantik. Lea kembali ingin menangis, tapi apalah gunanya. Menangis sekarang tidak akan memberinya jalan keluar.
“This is shit!” umpat Lea. Dia tak tahu harus berbuat apa sekarang.
“Apa itu ‘shit’?”
“AGHH!” Lea memekik kaget, saat mendengar suara berat kali-laki.
Dengan otomatis menarik jubah Rasui yang ada di tangannya, menutupi bagian depan tubuhnya yang telanjang. Wajah Lea yang pucat, memandang pemilik jubah itu, yang berdiri menatap ke bawah. Menatap dirinya.
“APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?! SUDAH BERAPA LAMA?!” bentak Lea. “Pria tak boleh ada di sini!”
Lea tentu saja panik. Sejak tadi dia berenang bebas, dengan tubuh telanjang. Rasanya Lea ingin menyusup masuk ke dalam bumi, membayangkan jika Rasui menatapnya sejak tadi.
Rasui kini mengangkat alis. “Kau bicara apa? Serail hanya terlarang untuk pria selain aku. Istana ini milikku! Aku bebas berada dimana saja!”
“Istana ini milikmu, tapi aku tidak!” seru Lea, menunduk untuk menebar jubah itu di dalam air, berusaha menutupi seluruh tubuhnya.
Dia melewatkan bagaimana Rasui mendekat dengan langkah cepat, mengulurkan tangan menarik wajah Lea.
Lea kembali memekik, selain terkejut, tangan Rasui mencengkeram terlalu kuat, sedikit menyakiti pipinya.
“Kau penyusup, dan jelas aku juga tak ingin memilikimu! Tapi ingat, tubuh itu adalah milikku. Milik Nae, istriku! Ingat itu!”
“Kau pikir wanita itu barang yang bisa kau miliki begitu saja?!” Lea emosi, dan membentak. Sambil menepis tangan Rasui, dan mendorongnya menjauh.
Usaha yang hanya bisa berhasil karena Rasui memang ingin melepaskan wajahnya. Lea hanya menggunakan satu tangan. Satu lagi tangannya masih mencengkram jubah Ra yang menutupi tubuhnya.
“Nae istriku, tentu saja dia milikku.”
“Menggelikan! Pikiranmu dangkal, picik, dan egois! Status istri bukan berarti kepemilikan tanpa batas. Kau pikir wanita itu boneka?!” bantah Lea, sinis. Jijik dengan pola pikir Rasui.
“Tapi pendapat apa yang bisa aku harapkan dari seseorang yang memiliki ayah dengan lima belas istri?” Lea mengomel dalam hati.
Sikap Rasui yang meremehkan wanita jelas hasil ajaran ayahnya.
Kesinisan Lea, kembali membuat Rasui terperangah. Baru sekali ini dia bertemu dengan wanita yang begitu berani membantahnya.
“Bagaimana kau bisa di dalam sana?! Kau membuat Nae terlihat buruk” ketus Rasui. Sikap klasik pria, lebih menyukai wanita penurut, dan mencela Lea karena melawan.
“Apa kau benar-benar bodoh dan sudah lupa?! Aku tidak tahu! Berapa kali aku harus mengulang?!”
Mata coklat Rasui menatap Lea tajam, tapi perlahan mata itu melembut. Meski ucapannya sangat pedas, Lea dengan mudah menemukan kelembutan di sana.
Lea paham. Mata lembut itu untuk Nae, ucapan pedas itu untuk dirinya. Dan kini pria itu mengalami dilema, tak tahu harus bersikap seperti apa pada Lea. Kemudian Rasui memilih pergi, setelah melirik Lea sejenak, dia berbalik meninggalkan kolam.
Lea sedang menggosok wajahnya, saat Heba datang menghampiri.
“Anda tidak apa-apa, Tuan Puteri?” Heba menunduk di atas kolam.
Lea menggeleng. Rasui tidak akan mungkin menyakiti tubuh Nae, cekraman itu tidak sengaja pastinya.
Lea kini mengerti sepenuh hati jika Rasui menginginkan pernikahan ini, dia menginginkan Nae. Melihat mata sedih itu, keinginan itu lebih dari nafsu.
Yang menjadi masalah adalah Nae. Dia memilih mati, daripada menikah dengannya. Misteri yang membuat Lea masih tak habis pikir.
Lea menurunkan tubuh, menenggelamkan kepala ke dalam air. Lagi-lagi berharap air akan membawanya kembali ke masa depan, meninggalkan tempat itu.
Lea tak ingin tersangkut dalam masalah Nae dan Rasui, yang terlihat lebih kusut daripada lalu lintas London pada hari senin.
“Apa aku harus mati?” Batin Lea berbisik. Tapi kemudian dia mengangkat kepalanya kembali ke atas air. Berbeda dengan Nae, Lea lebih memilih menghadapi Rasui daripada mati.
“Well, setidaknya dia sedap dipandang.” Lea menyebut satu-satunya nilai plus dari pria itu.
Selain wajah, Lea tak menemukan hal lain yang pantas dipuji darinya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
