
Free chapter 50 bab. Enjoy it :))
<< PROLOG >>
Sore itu langit masih temaram, sisa dari sinar matahari yang baru saja terbenam.
Seorang pemuda tanggung terlihat berjalan tertatih, menyeret salah satu kakinya, yang mungkin saja retak.
Ia tentu saja berharap kakinya hanya keseleo, tetapi mengajuk dari rasa sakit yang menyengat, diagnosanya kemungkinan besar salah.
Sambil merapatkan jaketnya, ia terus terpincang-pincang menyusuri jalan yang dengan cepat berangsur gelap.
Musim gugur sudah datang. Seharusnya ia memakai jaket yang lebih tebal hari ini, tetapi kemewahan untuk memiliki baju hangat yang tebal hanya ada dalam mimpinya. Isi lemarinya tidak mendukung.
Ia berhenti sesaat. Mata birunya menyipit menahan rasa nyeri kembali menghujam kaki. Dengan kesal ia meludahkan sedikit darah yang tersisa di mulutnya, lalu kembali berjalan sambil menyesali luka yang dideritanya.
Ia seharusnya bisa menghindari luka pada kakinya, jika saja ia tak mencoba menyelamatkan tas miliknya.
Tapi ia tak bisa membiarkan tas itu rusak. Akan masalah besar jika salah satu barangnya rusak lagi.
Bisa-bisa Mrs. Dorian akan marah dan mencacinya lagi. Sementara ia tak ingin mengalami hal buruk lain setelah perkelahian tadi.
Hanya membayangkan amukan itu saja sudah membuatnya lelah.
Ia sangat berharap usianya cepat bertambah menjadi delapan belas, hingga bisa dengan bebas meninggalkan rumah terkutuk itu. Tapi mimpi manis itu masih berada di waktu tiga tahun ke depan.
Dengan ukuran badannya, ia sebenarnya bisa dengan mudah melawan perlakuan kasar maupun membalas kata-kata kasar yang ditujukan untuknya. Tapi ia malas mencari masalah saat ini.
Sejak awal dia memang bukan anak yang pemberontak. Menjadi yatim piatu sejak bayi membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang lebih sering diam.
Ia hanya akan melawan jika keadaannya memang sudah keterlaluan. Seperti tadi, saat harus melawan kurang lebih dua puluh remaja yang sebagian besar berasal dari sekolahnya.
Dia tidak menyangka pembelaan diri, dengan menunjuk pelaku pencurian di kantor kepala sekolah akan menyeretnya sejauh ini.
Seminggu lalu, saat sedang menjalani hukuman karena terlambat masuk sekolah untuk kesekian kalinya, ia berpapasan dengan Tyler yang -berlari terburu-buru- keluar dari lorong tempat kantor kepala sekolah berada.
Tyler adalah salah satu anak paling terkenal di SMA-nya. Terkenal karena keahliannya menindas.
Dia tak berpikir macam-macam saat itu, dan melupakannya.
Tapi keadaan menjadi lain, saat siangnya terjadi keributan.
Dana yang dikumpulkan untuk disumbangkan ke Rumah Sakit Anak, hilang dari laci meja kepala sekolah.
Karena kemiskinannya dan juga keberadaannya di sana, pada saat jam-jam peristiwa pencurian itu terjadi, ia menjadi tersangka utama.
Tentu saja tuduhan itu segera dibantah, tapi seperti biasa, suaranya tak berarti banyak.
Tapi setelah menggeledah lokernya, dan tak menemukan amplop uang itu, beberapa guru akhirnya menanyainya lagi. Dan saat itu, ia teringat sosok Tyler yang berlari.
Setelah mendengar kesaksiannya, amplop uang itu ditemukan di dalam loker Tyler.
Tyler tentu saja dihukum, tapi mengingat umurnya baru lima belas tahun, pihak sekolah tidak melibatkan polisi untuk menangani masalah pencurian itu.
Dan lagi, orang tua Tyler, adalah pemilik Rumah Sakit Anak, tempat uang itu akan disumbangkan nantinya. Kepala sekolah hanya memberi teguran dan hukuman untuk beristirahat di rumah selama dua minggu.
Hukuman yang dengan senang hati akan dijalani Tyler.
Dan hari ini, dia baru melihat apa akibat dari perbuatannya itu.
Tyler bersama rombongan remaja lain, memutuskan untuk menghadangnya dalam perjalanan pulang, dengan tujuan membalas dendam.
Ada alasan kenapa Tyler mengajak begitu banyak orang untuk menghadangnya. Sebelum hari ini, mereka pernah berkelahi.
Tyler terlalu meremehkan sikap diamnya, dan menantang berkelahi, beberapa hari setelah ia pindah ke sekolah baru itu. Tapi sikap meremehkan itu dibayar dengan mahal. Tyler kalah telak, perkelahian itu dimenangkannya dengan mudah.
Karena itu Tyler mengumpulkan sebanyak mungkin teman untuk membantunya hari ini. Dan lagi, rencananya sedikit meleset.
Ia memang terluka cukup parah, tapi lawannya juga dalam keadaan yang payah. Tyler sendiri kabur setelah melihat sebagian besar temannya tumbang terkena terjangan dan tinju dalam perkelahian itu.
Tubuhnya tidak terlihat kekar dengan otot menonjol, tapi hal itulah yang sering menipu. Kekuatan dan juga kelincahannya lebih dari remaja biasa.
Ia tak pernah mempelajari ilmu bela diri secara khusus, tapi tubuhnya telah terlatih secara alami seiring pekerjaan sampingan yang dilakukannya.
Sejak berumur tiga belas tahun, ia telah bekerja. Dan karena daerah tempat tinggalnya adalah kota nelayan, otomatis ia bekerja di pelabuhan penangkapan ikan.
Berpuluh-puluh keranjang ikan diangkatnya setiap hari, dan ia harus membawanya sambil menghindari kerumunan di pelabuhan. Setelah menjalaninya selama tiga tahun, kekuatan dan kesigapannya tidak perlu dipertanyakan.
Tapi tentu saja ia juga harus berterima kasih kepada Lomax. Orang tua pemilik kedai teh kecil itu, juga ikut menyumbang sedikit kemenangannya hari ini. Lomax yang tunanetra mengajarkannya untuk bersabar dan menunggu kesempatan untuk menyerang.
Dan ia menerapkannya hari ini. Dengan tenang ia menghindar dan menyerang lawan yang mengeroyoknya. Kemenangan yang harus dibayar dengan luka di kaki, tapi ia menang.
"Akhhh.....!!"
Ia meremas bagian leher belakangnya, saat tiba-tiba rasa panas menyengat. Ia tidak terkejut, karena sengatan itu hal yang biasa dirasakannya. Terutama saat tubuhnya lemah atau sakit.
Tentu saja ia penasaran dengan apa yang menjadi penyebab rasa sakit itu. Tapi rasa penasarannya telah larut bersama usia dan waktu.
Ia tidak pernah memeriksakannya lebih lanjut. Dokter berkonotasi dengan kata uang, ia juga tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengunjungi dokter, walaupun hanya untuk sekedar berkonsultasi.
"Kau tidak apa-apa?"
Suara dengan nada khawatir menyahut dari belakangnya.
Ia menoleh dan mendapati seorang lelaki berumur sekitar tiga puluhan melihatnya dengan wajah ingin tahu.
Pria itu berambut sewarna jerami, kulit kecoklatan dan mata abu-abu. Penampilannya rapi, lengkap dengan jas dan dasi.
Sangat kontras dengan penampilannya sendiri yang penuh bercak darah dan compang-camping, tapi mungkin itu yang menyebabkan pria asing itu, menjadi tertarik padanya.
Biasanya sebagian besar penghuni jalan ini, tidak pernah memperdulikannya, pria itu pasti pendatang yang tak sengaja lewat.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih," jawabnya, sopan.
Pria itu sudah berbaik hati menanyakan keadaannya, ia tidak akan menjawab dengan kasar.
Setelah mendengar jawaban, pria asing itu diam. Tapi matanya masih tak lepas memandangnya.
Bingung dengan sikap mematung itu, ia akhirnya terus berjalan dan berbelok menuju rumah Mrs. Dorian. Dari sudut matanya ia melihat pria itu masih berdiri di tempatnya.
“Orang aneh,” ia membatin sambil mengangkat bahu, lalu memasuki rumah.
Sementara pria itu mengusap wajahnya dengan mata membelalak. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Ia menarik sesuatu dari mantelnya.
Sebuah alat yang terlihat seperti ponsel pintar, tapi ternyata layarnya hanya menunjukkan warna hitam dengan titik berkedip.
"Lemah, tapi tak salah lagi," gumamnya.
Setelah dugaannya diperjelas, ia bergegas berbalik, dan dengan gesit menyelinap ke pepohonan yang tumbuh di sekitar taman.
Keadaan sore yang dingin membuat suasana taman itu sepi, dan itu adalah yang dicarinya. Setelah memeriksa keadaan sekali lagi dan memastikan tidak ada siapapun di sekitarnya, ia mengayunkan tangan.
Gugusan angin menyerbu pepohonan. Dedaunan yang sudah mulai berwarna kuning dengan terpaksa menyerah pada tarikan hembusan angin itu.
Diiringi dengan helaian daun yang gugur, tubuhnya mulai melayang beberapa senti dari udara.
Setelah perlahan mencapai ketinggian sekitar satu meter, ia mengayunkan tangan lagi. Tubuhnya dengan secepat kilat melesat ke atas.
Kecepatannya tak mungkin diikuti oleh mata manusia. Tubuhnya tak lagi terlihat hanya setelah beberapa detik.
<< LIFE THAT I KNOW >>
Matahari musim gugur baru saja terbit, tapi pagi itu tetap berwarna abu-abu, karena awan mendung menggelayut di langit.
Suasana rumah Mrs. Dorian masih sunyi. Rumah itu terlihat seperti ratusan rumah lain di daerah Fulton, New York, bergaya sederhana dan pasaran. Tapi mungkin penghuninya yang sedikit unik.
Di salah satu kamar, terlihat dua tempat tidur, masing-masing terisi dua remaja tanggung, yang masih tersesat di alam mimpi. Tapi hal itu tidak akan berlangsung lebih lama.
Di ranjang sebelah barat tempat Aiden berbaring mulai bergoyang. Kesadaran Aiden mulai berkumpul, meski matanya masih terpejam erat.
"Aiden!" Suara kecil berbisik. Dan bahu Aiden mendapat goncangan, yang cukup untuk memaksanya membuka mata.
Sejenak mata Aiden menyesuaikan dengan suasana remang-remang. Ketika pandangannya jatuh pada pemilik suara bisikan itu, dia tersenyum.
"Nilam?"
"Kau harus bangun, terlambat."
Mendengar itu, Aiden seketika melompat duduk. Matanya melirik jam kecil yang ada di atas meja.
Jika tidak ingat ada Nilam di sana, Aiden pasti sudah mengumpat.
Nilam benar, dia sudah terlambat. Aiden tidak bisa lagi bersantai. Sudah dua hari ini, dia beristirahat di rumah karena cedera di kakinya,
Dia harus segera berangkat ke pelabuhan, jika masih ingin mendapat uang hari ini.
Bekerja sebagai pengangkut ikan, penghasilannya dihitung berdasarkan jumlah peti yang diangkut. Aiden akan banyak kehilangan uang jika kesiangan. Sebagian besar ikan pasti sudah diangkut ke darat.
Pekerjaan itu bayarannya tidak terlalu besar, tapi hanya pekerjaan itu yang tersedia bagi remaja tanggung seperti dirinya. Tapi selain bayaran, Aiden memiliki kepuasan lain saat melakukannya.
Aiden sangat menyukai laut, memandang laut biru membuatnya bermimpi tentang kebebasan dan perjalanan. Mengarungi dunia adalah keinginan terpendam Aiden sejak lama.
Tapi semua itu mustahil d dapat oleh Aiden saat ini.
Aiden melompat bangun dan bersiap. Berganti baju sambil menyambar tas sekolah dan juga seragamnya. Dengan sembarangan, Aiden menjejalkan seragam itu ke dalam tas bersama buku-bukunya.
"Diamlah, bodoh!"
Suara kasar terdengar dari ranjang sebelah timur. Aiden sedikit tersentak, tapi kemudian kembali tak acuh.
Tejas menghardik, karena waktu tidurnya terganggu. Sebab itu juga, Aiden selalu memperingatkan Nilam untuk berjalan pelan saat membangunkannya.
Nilam yang mendengar bentakan itu, sudah mengerut ketakutan dan bersembunyi di balik selimut.
Nilam mungkin baru berumur enam tahun, tapi tumbuh di rumah itu membuatnya gampang takut dengan suara keras. Bukan lingkungan ideal bagi anak seumurannya untuk tumbuh berkembang.
Dengan lembut Aiden mengangkat tubuh Nilam, dan menggendongnya keluar kamar. Tangan Nilam langsung berpegangan erat pada leher Aiden.
Sesampainya di pintu keluar, Aiden menurunkan Nilam. Wajah Nilam tidak lagi berlinang air mata, tapi senyumnya telah musnah.
Aiden merogoh saku kecil di bagian depan tas, dan menarik keluar sebungkus permen lolipop berwarna-warni.
Dia selalu mempunyai persediaan satu atau dua permen dalam tas, untuk mengatasi situasi tidak menyenangkan seperti tadi.
Dan senyum Nilam langsung mekar dengan indah.
Matanya yang berwarna coklat muda berkilau gembira. Permen dan gula-gula adalah barang mewah untuknya. Kedua benda itu hampir mustahil didapat Nilam, jika bukan dari Aiden.
"Jangan sampai Mrs. Dorian atau Mindy menemukannya"
Dengan bersemangat Nilam mengangguk, dan menggenggam lolipop itu erat-erat.
Setelah mengusap dan mengecup pipi Nilam, Aiden membuka pintu dan melangkah keluar rumah.
“Aku akan membeli sup dan roti hangat untuknya saat pulang nanti,” batin Aiden.
Aiden tidak suka melihat Nilam terlihat kurus.
Dia sudah berusaha sebisa mungkin untuk memberikan makanan tambahan padanya. Tapi dia tahu benar, sebagian besar makanan yang dia beri kepada Nilam, pasti direbut oleh anak lain di rumah itu.
Biasanya oleh Tejas atau Mindy. Mereka berdua tidak memandang berapa usia Nilam, dan tetap merampas makanannya.
Untuk Tejas, Aiden masih bisa mengerti, karena dia juga kelaparan seperti dirinya.
Jika saja Tejas bisa bersikap sedikit lebih manis, mungkin Aiden dengan rela akan membagi makanan. Tapi Tejas adalah remaja lima belas tahun paling kasar yang pernah ditemui Aiden.
Dia tumbuh menjadi apa yang biasanya dibayangkan orang tentang sosok anak asuh. Tidak sopan, kasar dan juga pemberontak.
Sedangkan Mindy, adalah sesuatu yang lain. Dia putri dari Mrs. Dorian yang berumur 8 tahun, dengan ukuran lebar melebihi tingginya. Dia tidak perlu makanan tambahan.
Perbuatannya merebut makanan Nilam, hanya karena kesenangan semata. Mindy gembira melihat tangisan Nilam. Aiden sudah bisa membayangkan. Mindy akan tumbuh persis sama seperti ibunya. Kejam dan tidak berperasaan.
Mrs. Dorian sendiri adalah tipe ibu asuh yang akan menjadi mimpi buruk bagi anak yatim piatu yang diasuhnya.
Dia mengambil uang jatah pengasuhan mereka dari pemerintah, kemudian merawat anak asuhnya agar tetap hidup dengan biaya seminimal mungkin. Sumber penghidupannya adalah dari sisa uang itu.
Ibu asuhnya tidak setiap hari dengan sengaja membuat mereka kelaparan, tapi tidak juga memberi makan hingga kenyang. Mrs. Dorian menghitung dengan cermat setiap potong roti yang dimakan oleh mereka.
Selain Nilam, Tejas dan juga dirinya. Masih ada seorang gadis berumur enam belas tahun berada di bawah asuhan Mrs. Dorian, yaitu Tara.
Tapi Aiden paling sering bertemu dengannya hanya sekali seminggu. Tara lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, tanpa peduli dengan apa yang terjadi dengan penghuni rumah yang lain.
Dengan empat anak berada dalam asuhannya, Mrs. Dorian mendapat jaminan untuk tetap hidup nyaman tanpa harus bekerja keluar rumah.
Aiden sudah tidak terlalu terpengaruh dengan situasi tidak menyenangkan itu. Dia telah cukup besar untuk menahan lapar. Tapi Nilam tidak.
Nilam baru bergabung di rumah itu sekitar dua tahun lalu, saat berumur empat tahun. Dan Aiden masih ingat bagaimana tangisan menyayat pelan Nilam, saat dia pulang malam dan melihatnya untuk pertama kali.
Tangisan Nilam berasal dari dalam lemari hukuman!
Hal itu membuat Aiden nyaris kehilangan kendali karena marah. Tapi dengan penuh perhitungan, Aiden menelan amarahnya. Aiden lebih peduli dengan keadaan Nilam.
Dengan enggan, Aiden memohon pada Mrs. Dorian untuk mengeluarkan Nilam dari almari itu. Setelah perdebatan panjang penuh cacian dari Mrs. Dorian, akhirnya Nilam dilepaskan.
Aiden tidak akan bisa melupakan pemandangan memilukan saat pintu itu terbuka.
Nilam meringkuk dengan wajah penuh air mata. Luka lebam berwarna ungu menghiasi kaki dan tangannya, kemungkinan besar karena bekas tali.
Begitu Aiden berjongkok dan mengulurkan tangan, Nilam langsung menghambur dan mendekap Aiden.
Tangan Nilam yang gemetar, mencengkram punggungnya dengan sangat erat karena ketakutan. Dalam waktu beberapa detik, bagian depan baju Aiden telah basah karena air mata.
Hari itu juga Aiden berjanji akan menjaga Nilam.
Aiden pindah ke rumah ini saat berumur tujuh tahun. Aiden sudah bisa menahan diri agar tidak membuat Mrs. Dorian murka, tapi Nilam tidak mungkin mengerti hal itu.
Aiden meremehkan kekejaman Mrs. Dorian, dia jauh lebih buruk dari apa yang diketahuinya selama ini.
Dan begitulah, setelah hari itu, Nilam dan Aiden hidup dalam dunia kecil mereka sendiri di dalam rumah itu. Selain Nilam, Aiden tidak peduli pada keberadaan makhluk hidup lain di rumah itu.
Alasan dia bekerja juga untuk Nilam.
Sebagian besar gaji Aiden, dihabiskan untuk kebutuhan Nilam. Aiden harus mengatur agar uang yang tak seberapa besarnya itu cukup untuk mereka berdua.
Aiden juga harus memastikan masih mempunyai uang sisa untuk di tabung. Tiga tahun lagi saat berumur delapan belas tahun, Aiden akan membawa serta Nilam saat keluar dari rumah itu.
Tapi sebelum bisa mewujudkan semua itu, Aiden harus mempunyai tempat tinggal dan juga pekerjaan yang layak agar mendapat hak pengasuhan Nilam.
Setelah itu, jika semua berjalan lancar, Aiden juga berangan-angan untuk mengajak Nilam berjalan-jalan. Karena mimpi itulah, Aiden bekerja sekuat tenaga tanpa tahu kata istirahat.
Jika tidak mengingat cita-cita itu, mungkin Aiden sudah meninggalkan sekolahnya agar bisa bekerja dengan jam lebih lama. Tapi Aiden sadar, dia tidak akan pernah mendapat pekerjaan layak jika putus sekolah.
Maka dari itu, dia akan tetap bertahan sampai lulus nanti.
Sambil menghembuskan nafas panjang, Aiden memasuki pelabuhan. Alisnya sedikit mengernyit, saat rasa sakit di kakinya kembali berdenyut.
Dia sudah membebat luka itu, rasa sakitnya sudah jauh berkurang. Tapi warna pergelangan kakinya sekarang menghitam.
Aiden jelas berharap itu pertanda kesembuhan, walau dia kembali meragukannya.
"Aiden? Apakah itu kau?"
Suara yang sudah akrab menyapanya. Lomax sedang duduk di depan kedainya, menunggu hangatnya matahari.
Lomax mungkin buta, tapi dia sudah sangat hafal dengan detak langkah kaki Aiden saat menyusuri lantai kayu dermaga. Langkah Aiden yang sedikit pincang, membuat Lomax bertanya-tanya.
"Ya, kakiku terluka."
Aiden menjelaskan tanpa diminta. Dia tahu, Lomax bingung mendengar langkahnya yang tidak biasa.
Lomax mengangguk, dan seperti biasa, mengulurkan sebotol teh hangat dari kedai miliknya. Lomax tahu, Aiden tidak pernah makan sebelum meninggalkan rumah. Sebotol teh itu akan mengganjal perut Aiden sampai nanti saat makan siang di sekolah. Kadang Lomax juga menyelipkan sebungkus sandwich polos, agar Aiden bisa lebih terlihat lebih segar lagi.
Aiden sangat berterima kasih pada Lomax untuk hal ini. Meminum teh tidak membuatnya kenyang, tapi setidaknya dia akan mempunyai tambahan tenaga untuk bekerja.
Dan karena hari ini sedikit terlambat, Aiden tidak bisa menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol. Setelah mengucapkan terima kasih dengan terburu-buru, Aiden segera menuju tempat kapal berlabuh.
Dari kejauhan dia bisa melihat berpeti-peti ikan telah menunggu. Mengabaikan rasa nyeri di kakinya, Aiden menghampiri kerumunan dan mulai bekerja.
Beberapa pekerja pelabuhan yang lain bertanya dengan penasaran, apa yang menjadi penyebab absennya Aiden selama dua hari kemarin. Setelah menjawab seadanya, Aiden baru bisa bekerja dengan tenang.
Aiden mungkin baru berusia lima belas tahun, tapi kekuatannya tidak kalah dengan pekerja lain yang rata-rata berusia dua puluh tahun ke atas. Itu juga yang membuat namanya sedikit terkenal di daerah itu.
Siapa saja tahu Aiden si anak yatim piatu yang sangat rajin.
Banyak yang simpati dengan keadaannya, tapi banyak juga yang tidak peduli. Dan Aiden tidak mempermasalahkannya. Dia cukup puas dengan lingkungan kerjanya di sini.
Pekerjaan lain yang dilakukannya juga tidak buruk. Aiden bekerja di jasa pengepakan dan pengangkutan setiap sore sampai malam. Pekerjaan itu juga membutuhkan tenaga yang besar. Sangat cocok dengan Aiden, dan jelas menambah pundi tabungannya.
***
Setelah sekitar dua jam lebih bekerja, Aiden segera berpamitan. Daftar keterlambatannya sudah mencapai batas kritis. Dia tidak boleh terlambat lagi jika masih ingin lulus sekolah.
Dengan sekali lompatan, Aiden berhasil naik ke bus yang akan membawanya ke sekolah. Lompatan yang harus dibayar mahal oleh kakinya, karena rasa nyeri menggigitnya kuat-kuat.
Setelah memijat pelan kakinya, Aiden memejamkan mata.
‘Sleeping time.'
Dalam hitungan detik, Aiden sudah terlelap. Bus ini memakan waktu setengah jam sebelum sampai ke sekolahnya. Waktu yang cukup untuk sekedar beristirahat.
***
Dengan menyeret kakinya, Aiden memasuki kamar. Dia pulang hampir tengah malam, jadi rumah itu sudah sepi saat masuk tadi.
Aiden mengambil jam tambahan, karena ada klien yang meminta barangnya cepat diantar. Dia sebenarnya malas karena ingin segera pulang dan mengistirahatkan kaki. Tapi bayaran dua kali lipat berhasil menggodanya.
Hasil kerja ekstra memberi pengaruh positif pada isi dompetnya, tapi berakibat negatif pada kakinya. Aiden belum sempat memeriksa, tapi sangat yakin, pergelangan kakinya kembali membengkak.
Dengan sembarangan Aiden menghempaskan tubuhnya ke ranjang, tidak perlu mengatur volume gerakan karena ranjang Tejas masih kosong. Dia tidak perlu berdebat dengan Tejas malam ini. Dan dia tidak ingin tahu di mana keberadaan Tejas.
Saat hendak mengangkat kakinya ke atas ranjang, pintu kamarnya terbuka. Kepala mungil Nilam muncul dari pintu. Rambut panjangnya berantakan, pertanda dia baru saja meninggalkan ranjang tempatnya tidur.
"Kau pasti menunggu lama," kata Aiden sambil menepuk tempat kosong di atas ranjangnya. Dengan lincah Nilam naik dan duduk.
"Ini untukmu!" Nilam mengulurkan ice pack pada Aiden.
Aiden terharu, Nilam mengkhawatirkan keadaan kakinya. Cara berpikir Nilam jauh lebih dewasa dibanding gadis seumurannya.
"Apakah kau mengambilnya dari kulkas? Kau akan mendapat masalah jika Mrs. Dorian melihatmu mendekati kulkas."
Aiden menegur Nilam, tapi tetap tersenyum berterima kasih. Dengan lega Aiden menempelkan ice pack itu pada pergelangan kakinya. Dan rasa sakitnya berkurang.
Nilam menggeleng, "Aku meminta tolong pada Tara. Dia pulang sebentar tadi."
"Ow..," Aiden mengangguk mengerti.
Tara dan Nilam menempati kamar yang sama. Mereka tentu saja lebih sering bertemu. Dan jika dibandingkan dengan Tejas, Tara tidak terlalu buruk.
Aiden meraih tasnya, dan mengeluarkan bungkusan dari sana.
"Untukmu," kata Aiden, sambil mencubit kecil pipi kurus Nilam.
Nilam bertepuk tangan pelan. Dengan semangat anak-anak, dia membuka bungkusan itu. Saat melihat sebongkah roti lembut, Nilam terpekik senang.
Dengan lahap dia langsung memakannya.
"Pelan-pelan, Nilam."
Aiden membuka bungkusan lain yang berisi sup dan mengulurkannya. Sup itu sudah dingin, tapi Nilam tetap menghirupnya dengan riang.
"Apa menu makan malam tadi?"
Aiden bertanya dengan getir. Melihat Nilam memakan roti yang dibawanya dengan lahap, dia yakin menunya tidak layak.
"Dua sendok kacang polong rebus, dan telur separuh."
Aiden meremas selimut untuk menahan amarah. Kacang polong dan telur tentu saja bergizi. Tapi tidak akan membuat perut kenyang.
Aiden ingin sekali membawa pergi Nilam saat itu juga. Tapi mereka hanya akan menjadi pelarian.
Dengan mudah, Mrs. Dorian akan memanggil polisi. Jika mereka tertangkap, sudah pasti akan dikembalikan ke sini lagi. Dia belum cukup umur untuk mengadopsi Nilam.
Dan melapor tentang tindakan brutal Mrs. Dorian pada dinas sosial, hanya akan membawa masalah baru.
Selain kemungkinan laporan mereka akan sulit untuk dipercaya, akibat dari semua proses itu tidak menguntungkannya. Jika sampai Mrs. Dorian kehilangan hak pengasuhan dan mereka dipindah, bisa dipastikan Nilam akan dipisahkan darinya.
Mereka akan dikirim pada dua rumah yang berbeda!
Aiden tidak menginginkan hal itu. Membayangkannya saja sudah membuat Aiden putus asa.
Dari sudut pandang orang lain, akan terlihat bahwa Aiden adalah penolong bagi Nilam. Dia menjaga dan merawat Nilam dengan telaten. Tapi yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya.
Keberadaan Nilam adalah alasan yang membuat Aiden masih bernafas sampai saat ini.
Sebelum kedatangan Nilam, Aiden berada dalam kubangan depresi. Depresi yang menyeretnya dalam keputusasaan gelap. Aiden selalu merasa menjadi makhluk terbuang.
Dirinya yang masih bayi, dibuang oleh ibunya sendiri, di halaman sebuah taman kanak-kanak. Setelah itu seperti anak yatim piatu yang lain, dia menjalani kehidupan bersama orang tua asuhnya.
Orang tua asuh pertamanya, Mrs. Morsete orang yang baik. Dia membesarkan Aiden sampai umur tujuh tahun sebelum akhirnya meninggal. Dan saat itulah mimpi buruknya dimulai.
Mrs. Dorian adalah kebalikan dari semua kebaikan yang pernah diterima Aiden dari Mrs. Morsete.
Wanita yang kini berumur empat puluh lima tahun itu, adalah serigala berbulu domba. Dan dia menyembunyikan cakar dan taringnya dengan sangat ahli. Wajah Mrs. Dorian lumayan cantik, dengan rambut coklat kemerahan dan mata hijau. Tubuhnya juga cukup terawat.
Dari luar, dia terlihat seperti wanita setengah baya yang baik, karena bersedia menampung anak-anak seperti Aiden. Tapi sifat aslinya akan terlihat begitu pintu tertutup.
Hal itu juga yang membuat Aiden kesulitan jika ingin membuktikan kekejamannya. Mrs. Dorian selalu memastikan penyiksaannya tidak meninggalkan bekas.
Dia adalah wanita yang dengan tega membiarkan Aiden yang baru berumur tujuh tahun kelaparan selama hampir seminggu penuh, hanya karena dia mencoba mengambil sebutir telur rebus.
Aiden melakukan hal itu, karena perut yang lapar. Insiden itu terjadi pada hari ketiga dia berada di rumah ini. Aiden yang terbiasa berada di bawah asuhan Mrs. Morsete, tidak mengira perbuatan yang ia anggap sepele, akan membuatnya nyaris mati.
Aiden belajar banyak hari itu.
Sifat Aiden yang semula periang, semakin lama semakin tergerus oleh sikap kejam Mrs. Dorian. Dari situ Aiden juga belajar untuk menahan segala rasa amarah dan juga kesedihannya.
Tapi semua kegelapan itu akhirnya menggerogoti akal sehatnya. Aiden mulai sering berpikir keberadaannya adalah kesalahan.
Rasa terbuang, kesepian, ditambah dengan deraan dari Mrs. Dorian, membuat hari-hari Aiden seperti mimpi buruk. Aiden saat itu hidup seperti robot, jiwanya dengan perlahan membatu.
Aiden tidak memiliki ikatan apapun dengan dunia di sekelilingnya. Terkadang pikiran jahat menghampiri, dan membujuknya untuk mengakhiri semua penderitaan.
Cengkeraman hangat tangan kecil Nilam saat memeluknya, adalah hal emosional pertama, yang dia rasakan setelah sekian lama.
Tangan itu memberinya rasa dibutuhkan dan juga keluarga. Pelukan itu mencairkan hatinya yang sekeras karang. Kehangatan air mata Nilam yang membasahi bajunya, membuat es yang melingkupi hari-harinya, meleleh.
Aiden tidak akan pernah menyesali keputusannya menolong Nilam malam itu.
Nilam menyelamatkannya dari lubang gelap, dan memberinya tujuan hidup. Tubuh mungil Nilam menjadi jangkar yang mengikatnya pada dunia yang ada di sekitar.
Karena ikatan itu, Aiden sepenuh hati berjanji, akan terus menggenggam erat tangan Nilam. Dan tidak akan pernah melepaskannya. Dia akan menjaga gadis mungil itu sampai kapanpun.
Nilam adalah manusia pertama yang bisa ia sebut sebagai keluarga.
"Aauuuggh!" Suara sendawa dari Nilam mengagetkan Aiden.
"Ops!" Nilam menutup mulutnya dengan tangan.
Aiden tertawa terkekeh mendengarnya. Dia mengusap kepala Nilam dengan puas. Melihat Nilam kenyang adalah kebahagian bagi Aiden.
"Tidurlah!"
Nilam menurut, dan turun dari ranjang. "Terima kasih, Aiden."
Nilam memberinya pelukan erat dan kecupan di pipi, sebelum keluar kamar. Dan itu juga tanda bagi tubuh Aiden untuk tumbang.
Lelah dan penat mengantarnya ke alam mimpi hanya dalam waktu sedetik.
<< CRUMBLE >>
Hari ini Aiden pulang lebih cepat dari biasanya.
Manager di perusahaan pengangkutan, akhirnya menyadari cedera di kaki Aiden.
Begitu melihat pergelangan kaki yang bengkak dan menghitam, dia menyuruh Aiden pulang untuk menyembuhkan diri. Pekerjaan mereka membutuhkan tenaga besar, cedera hanya akan menghambat.
Aiden sebenarnya kecewa, karena itu berarti bayarannya akan berkurang. Tapi pilihan lain tidak tersedia untuknya.
Dengan berat hati, dia menyeret kakinya pulang.
Jalan menuju rumahnya masih menampakkan sedikit tanda kehidupan, karena waktu belum terlalu malam. Dan lagi-lagi Aiden melihatnya. Mobil berwarna hitam terparkir sekitar dua puluh meter dari rumah Mrs. Dorian.
Banyak mobil terparkir di sepanjang jalan, tapi mobil itu mencolok di matanya. Mobil berwarna hitam itu termasuk dalam jenis mobil mewah, sangat berbeda dengan kebanyakan mobil yang ada di lingkungan suram itu.
Aiden sebenarnya tidak terlalu memperhatikan, jika ini bukan kesekian kali dia melihatnya. Dugaan Aiden, salah satu tetangga dengan sukses berhasil mencurinya.
Bukan hal yang mengejutkan. Lingkungan tempat tinggalnya memiliki catatan kriminal tinggi. Polisi lebih sering berkunjung ke daerah itu untuk menangkap seseorang, bukan sekedar berpatroli.
Tapi jika mobil itu adalah hasil curian, memarkirnya di tempat terbuka seperti itu adalah tindakan bodoh. Dan karena sampai saat ini belum ada polisi yang menangkap siapapun, hanya berarti satu. Mobil itu milik salah satu tetangganya.
Setelah menyimpulkan hal itu, Aiden kembali menjadi tak peduli. Bukan urusannya jika salah satu tetangganya mungkin memenangkan lotre.
Aiden menarik tasnya yang sedikit melorot, kembali ke bahu.
Jika ada hal positif yang bisa membuat Aiden sedikit gembira adalah, dia jadi punya lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Biasanya, Aiden harus mengerjakan PR pada detik-detik terakhir sebelum dikumpulkan.
Memikirkan tentang PR, membuat lamunan Aiden melayang pada kejadian di sekolah hari ini.
Hari ini Aiden baru menyadari perhatian tidak biasa yang tertuju padanya.
Begitu turun dari bus, Aiden bisa merasakan pandangan banyak murid yang terfokus pada dirinya. Dia terlalu lelah kemarin, sehingga tidak memperhatikan hal itu. Sepanjang jalan menuju ke loker dan ke dalam kelas, beberapa anak menyingkir dari jalannya. Sementara yang lain berbisik ribut sambil menunjuknya.
Aiden hanya bisa menyimpulkan, berita perkelahiannya dengan Tyler telah tersebar. Tidak seperti perkelahiannya dengan Tyler dulu, yang selalu menjadi rahasia karena hanya mereka berdua yang yang tahu.
Perkelahian kali ini, banyak melibatkan anak dari sekolah, mereka pasti sudah berkicau panjang lebar. Aiden sedikit tidak nyaman dengan semua perhatian itu, karena lazimnya, dia menjalani hari-hari seperti hantu. Keberadaannya tidak pernah berarti untuk siapapun.
Aiden termasuk murid yang biasa-biasa saja.
Wajahnya sebenarnya cukup menarik, tapi karena sifatnya yang pendiam dan hampir tidak peduli dengan dunia di sekitar, membuatnya selalu sendiri. Luput dari perhatian banyak orang. Dan lagi dia lebih sering berjalan menunduk karena lelah dan lesu.
Aiden juga tidak pernah menjadi korban pembulian, tapi juga tidak pernah menjadi pusat perhatian. Dia hanya murid yang sekedar lewat.
Prestasinya di sekolah tidak mencolok, hanya sebatas rata-rata, seperti banyak murid yang lain. Bukan tanpa sebab, gaya hidupnya yang tidak biasa menjadi akar masalah dalam hal ini.
Kelelahan dan juga absennya sarapan dalam daftar makannya, membuat Aiden lebih sering mengikuti pelajaran dengan terkantuk-kantuk. Jika mengingat keadaan saat di kelas, Aiden sudah sangat bersyukur dengan nilai yang didapatnya sekarang. Dia tetap akan lulus. Dan menurutnya itu cukup.
Aiden sekarang hanya bisa berharap, pihak sekolah tidak akan mendengar perkelahian itu, dia tidak ingin kejadian itu mempengaruhi kelulusannya nanti. Apalagi jika sampai membuat kepergiannya dari rumah itu tertunda.
‘Semoga saja gosip itu akan cepat hilang.’ Aiden membatin dengan muram.
Kegalauannya semakin bertambah, ketika melihat mobil butut berwarna hijau botol terparkir di halaman rumah Mrs. Dorian. Mobil itu memancarkan campuran aroma muntahan dan alkohol. Pemiliknya adalah manusia yang lebih buruk dari Mrs. Dorian, Amos.
Amos adalah kekasih Mrs. Dorian. Dan kebiasaan mabuknya, membuat Aiden lebih membencinya dari pada Mrs. Dorian.
Mrs. Dorian menjadi janda sekitar tiga tahun yang lalu, karena suaminya meninggal. Tidak lama kemudian, dia mulai membawa beberapa lelaki pulang, dan Amos adalah yang terburuk.
Lelaki yang lain, biasanya hanya akan mengeluh, ketika tahu rumah itu berisi banyak anak asuh, dan akhirnya mereka pergi meninggalkan Mrs. Dorian.
Amos tidak seperti itu. Dia juga tidak menyukai keberadaan anak asuh di rumah itu, tapi hal itu tidak membuatnya meninggalkan Mrs. Dorian. Amos melampiaskan ketidaksukaannya dengan bertindak semena-mena pada anak-anak yang ada di sana.
Biasanya Amos akan memulai dengan mencaci siapa saja yang terlihat oleh matanya. Kemudian dilanjutkan dengan usaha pemukulan.
Aiden sebisa mungkin berusaha menghindar, tapi jam pulangnya yang selalu malam, membuat Aiden sering bertemu dengan Amos.
Ukuran badan mereka yang hampir sama, membuat Amos tidak pernah mencoba memukulnya, tapi itu tidak menghentikannya untuk mengusik Aiden. Dia mengganti pukulan dengan sumpah serapah.
Aiden sebenarnya bisa dengan mudah mengabaikan cacian Amos, tapi saat Aiden memilih menghindar dengan masuk kedalam kamar, Amos selalu mengikuti, dan mulai meneruskan semua siksaan dari depan pintu.
Teriakan mabuk dan gedoran pintu yang menjengkelkan akan mengganggu waktu tidur Aiden yang sangat berharga. Jika sudah seperti itu, bisa dipastikan Aiden tidak hanya terkantuk-kantuk, tapi akan tidur dengan pulas di kelas, pada keesokan harinya.
Belum lagi berkaitan dengan Nilam, Aiden sudah memberi peringatan padanya agar bersembunyi setiap kali Amos datang. Dan selama ini cukup manjur, Nilam tidak pernah menjadi sasaran amukan ngawur Amos, karena keahliannya bersembunyi.
Tapi itu berarti Aiden tidak bisa memberi makanan pada Nilam. Hal itu yang paling disesalinya.
Dengan langkah yang semakin berat, Aiden masuk ke dalam rumah. Dengan hati-hati, Aiden membuka sepatu di depan pintu, berusaha untuk tidak membuat suara.
Jika beruntung, mungkin dia bisa menyelinap ke kamar tanpa di lihat oleh Amos.
Hal yang hampir mustahil, karena tangga menuju kamarnya terletak persis di sebelah meja makan, tempat Amos biasa menenggak minuman keras.
"Huaa...waaa!!"
Belum sampai Aiden ke ujung tangga, seruan dan tangisan merobek hatinya. Suara Nilam terdengar dari arah dapur!
Seketika Aiden menjatuhkan sepatu dan juga tasnya, menyerbu dapur dengan panik.
Di sana, Nilam menangis histeris.
Amos sedang mencengkram bajunya pada bagian belakang leher, dan mengangkatnya dari lantai. Seperti seekor induk kucing yang menggendong anaknya.
Perbedaannya, dia melakukannya untuk meneror Nilam.
Mrs. Dorian sendiri, sedang duduk di salah satu kursi menikmati pemandangan itu sambil tertawa. Matanya memerah, pertanda dia juga setengah mabuk.
Tidak mengherankan, karena di meja makan, terdapat gelas yang terisi penuh cairan berwarna kecoklatan, dan sebotol whiskey yang tersisa tidak lebih dari seperempat botol.
"Turunkan dia!"
Aiden membentak dengan keras, wajahnya memerah karena amarah, saat melihat keadaan Nilam.
"Kenapa aku harus melepaskan pencuri kecil kurang ajar?"
Mrs. Dorian yang menjawab, dia menoleh dan tersenyum mencela Aiden.
"Setan cilik ini berani mencuri makanan dari kulkas. Dasar manusia sisa!" Amos memulai ritual sumpah serapahnya.
"Itu tidak mungkin!" bantah Aiden.
Nilam tahu, akan mendapat makanan jika Aiden pulang, jadi tak mungkin dia mencuri, apalagi dengan resiko ketahuan yang besar.
"AAku---hanya ingin mengambil Ice Pack," tangis Nilam.
Wajah Aiden memucat, Nilam melakukan hal itu untuknya. Tidak seperti kemarin, Tara tidak ada di rumah untuk menolong Nilam, dia pasti ketahuan saat mencoba mengambilnya dari kulkas.
"Jangan bohong setan kecil! Kau pasti ingin mencuri ayam yang aku beli tadi sore!"
Mrs. Dorian bangun dari kursi dan menarik telinga Nilam, dan tangisannya semakin kencang.
"HENTIKAN ITU!"
Aiden nyaris kehilangan kendali, dia sudah melangkah sangat dekat, tapi masih memiliki akal sehat. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Amos pada Nilam, jika dia nekat menerjangnya.
"Jangan berlagak menjadi pahlawan, kau hanyalah remaja kurus yang sombong!"
Amos meludah di depannya.
"Lepaskan Nilam!”
Aiden berusaha sangat keras untuk menahan diri, dia harus memastikan Nilam baik-baik saja sebelum bisa melakukan sesuatu.
PYURR!!!
Basah dan aroma menyengat alkohol menusuk hidung Aiden. Mrs Dorian menyiram wajahnya dengan segelas whiskey
"Anak kurang ajar! Jangan berani-beraninya memerintah di rumah ini!"
"Aiden!”
Ditengah keadaannya yang buruk, Nilam masih mengkhawatirkan Aiden. Dia berseru panik melihat Aiden basah.
Sambil mengusap mata dan wajahnya yang pedih dengan geram, Aiden mencoba memfokuskan mata pada Nilam yang masih menangis ketakutan. Dia melakukanya agar tidak lepas kendali.
"HA....HA...HA."
Tawa gila Amos membahan di dapur kecil itu. "Rasakan itu anak sombong! Kau memang pantas mendapatkannya."
"Jangan hina Aiden!"
Diantara isakan, Nilam kembali membela Aiden.
"Mengharukan sekali, apa kalian sedang bermain drama?" Amos mengatakannya sambil beberapa kali mengguncang tubuh Nilam.
Dan tangis Nilam langsung berhenti, berganti dengan suara tercekat.
Saat Amos mengguncangnya, bagian leher baju Nilam yang digenggam Amos sedikit terselip, dan kini kerah baju itu menjerat lehernya.
Dengan perlahan, wajah Nilam membiru dan matanya membelalak karena kesulitan bernafas. Kakinya yang tergantung di udara menendang-nendang dengan putus asa.
Dan itu adalah batas kesabaran Aiden, dengan gesit, tangannya meraih botol di meja. Lalu maju dan menghantamkan botol itu tepat ke kepala Amos.
PRANGGG!
Botol itu pecah berhamburan saat menghantam Amos.
Nilam terlepas, dan dengan lega Aiden menangkapnya.
"Apa yang kau lakukan anak biadab?!"
Mrs. Dorian langsung menjerit sambil menghampiri Amos yang kini tergeletak tidak bergerak di lantai. Darah segar mengalir dari kepalanya dan mulai menggenangi lantai dapur.
Aiden memandangnya sambil menggendong Nilam, dia sama sekali tidak menyesal saat melihatnya. Amos pantas mendapatkan yang lebih buruk dari itu.
"Anak tidak tahu berterima kasih!! Inikah balasan yang aku terima setelah sekian lama aku merawatmu? Aku memberimu makan dan tempat tinggal!"
Mrs. Dorian mulai histeris, dan menunjuk Aiden, dengan tangan penuh darah Amos.
"Jika boleh memilih, aku lebih baik hidup di jalanan seperti anjing daripada berada di rumah ini!" bentak Aiden.
"Kau memperlakukan kami seperti kotoran, sementara kau menikmati uang yang seharusnya milik kami. Jangan menipu diri sendiri dan menganggap dirimu baik. Kau hanyalah wanita sampah yang menyedihkan dan keji!" tambah Aiden, sambil terengah.
Menumpahkan amarah yang terpendam.
Aiden tidak percaya Mrs. Dorian mencoba mengungkit 'kebaikannya', padahal dia melakukan semua itu dengan imbalan uang.
"Kau...kau!!" Mrs. Dorian tidak bisa membalas celaan itu, dan mulai menunjuk-nunjuk Aiden lagi.
"Aku akan melaporkanmu ke polisi, kau telah membunuh Amos. Kau akan di penjara, dan setan kecil itu akan ada di sini sendirian."
Dan Aiden langsung pias, ada sedikit kebenaran pada kata-kata Mrs. Dorian. Kedatangan polisi mungkin akan membuat perbuatan kejam Mrs. Dorian terbuka tapi dia akan mengalami kerugian yang lebih besar.
‘Bisa-bisa aku terpisah dari Nilam!'
Pikiran Aiden langsung buntu, saat dia melihat Mrs. Dorian menarik ponsel dari kantong dan memencet angka di layar.
Tapi belum sempat menyentuh satu nomor terakhir, tangan kurus berwarna kecoklatan terulur dari arah punggung Mrs. Dorian, menyambar ponsel itu.
Tara muncul dari belakang, kemudian membanting ponsel itu ke lantai. Belum puas, Tara menginjak layarnya dengan sepatu boot hitam berhak tinggi yang sedang dipakainya.
"TARA!"
Mrs. Dorian melihat Tara dengan mulut terbuka kaget.
"Dia benar! Kau hanyalah sampah!" kata Tara, sambil menendang ponsel itu menjauh.
"Aiden pergilah! Pergi bawa Nilam dari sini, sejauh mungkin!"
Tara memandang Aiden dengan wajah memerah dan mata berlinang. Dia tinggal di rumah ini lebih lama dari Aiden, dan tentu sudah mengalami yang terburuk. Malam ini Tara mencoba melawan dengan membantu Aiden.
"Tetap di tempatmu sampai polisi datang! Jangan ke mana-mana!!"
Mrs. Dorian kembali berteriak sambil menyemburkan ludahnya ke segala arah.
Dia juga mencoba untuk menghampiri Aiden, tapi Tara mencegahnya, Dia menahan tubuh Mrs. Dorian dan mendorongnya sampai jatuh.
"PERGILAH!" Tara sekali lagi berteriak, mencoba meyakinkan Aiden.
Dan Aiden akhirnya sadar, hanya itu pilihannya.
Dia memukul Amos untuk pembelaan diri dan menyelamatkan Nilam. Tapi lawannya saat di persidangan adalah Mrs. Dorian.
Dia akan menyutradarai drama menyayat, dengan jalan cerita yang akan membuatnya seperti korban tanpa daya. Aiden hanyalah remaja tanggung yang dipandang sebelah mata oleh banyak orang.
Aiden tidak akan menang melawannya.
Sambil mengeratkan gendongannya pada Nilam, Aiden beranjak menuju kamarnya. Setidaknya dia harus membawa uang tabungannya.
Tapi sampai di ujung tangga, Tejas menghadangnya. Aiden sudah bersiap untuk menerjang, namun ternyata Tejas hanya melemparkan plastik sampah hitam besar yang telah terikat di depan kakinya.
"Semua barangmu yang ada di almari," katanya.
"Dan juga miliknya!" tambahnya, sambil melirik ke arah Nilam yang masih gemetar dalam gendongannya.
Aiden sejenak terpana, karena tidak menyangka akan menerima kebaikan dari Tejas. Ucapan terima kasih tersangkut di leher.
"Cepatlah!" Tejas melirik ke arah dapur.
Aiden bisa mendengar suara Mrs. Dorian sedang beradu mulut dengan Tara, bertukar kata-kata makian.
Dan itu adalah tanda bagi Aiden untuk bergegas,
"Terima kasih."
Aiden akhirnya berhasil mengucapkannya, sambil mengambil plastik hitam itu. Tanpa menunggu balasan Tejas, Aiden segera memakai sepatunya dengan sembarangan dan tidak lupa menyambar tasnya yang tergeletak di depan pintu.
Dengan langkah secepat yang dia bisa, Aiden berlari meninggalkan rumah itu.
Kakinya tentu saja menjerit kesakitan, tapi dia tidak punya waktu untuk meratap. Aiden harus segera menemukan tempat bersembunyi, untuk dirinya dan Nilam. Sebelum ada polisi yang datang.
Langkah kaki membawa Aiden ke arah pelabuhan. Dan hal itu memberinya ide.
Aiden mengenal dengan baik beberapa nahkoda kapal. Dengan uangnya yang tidak seberapa, dia akan meminta bantuan agar bisa membawanya pergi jauh dari kota ini.
Jika perlu, dia akan meminta Lomax untuk berbicara. Lomax adalah satu-satunya orang dewasa yang bisa Aiden mintai bantuan.
Dengan tekad itu, Aiden mengerahkan seluruh kekuatan yang tersisa dari tubuhnya dan berlari ke arah pelabuhan. Tanpa menengok ke belakang lagi.
Dan karena itu, Aiden tidak melihat, saat dengan mulus, sedan mewah yang selama ini menarik perhatiannya, berjalan pelan mengikutinya dari belakang.
Mobil itu mengikuti Aiden dalam jarak aman, dan Aiden terlalu sibuk dengan pikirannya untuk sadar.
Aiden terus melangkah, padahal rasa sakit di kakinya, tidak tertahan lagi. Sampai-sampai air matanya terbit. Tapi hal itu tidak membuatnya berhenti. Aiden baru akan berhenti jika sampai di kedai teh Lomax.
Nilam yang berada di gendongannya, juga sudah berhenti menangis. Seolah mengerti kesulitan Aiden, gadis kecil itu hanya diam sambil merangkul leher Aiden dengan erat.
"AIDEN!"
Pekikan Nilam terpecah, saat Aiden tiba-tiba terjatuh dan diam.
Nilam juga terjatuh dari gendongan. Lutut dan tangannya yang menghantam trotoar langsung sobek berdarah. Tapi Nilam menangis bukan karena hal itu.
Dia ketakutan melihat Aiden terbaring tidak bergerak. Apalagi saat ditambah leleran darah mengalir dari pergelangan kaki Aiden yang menghitam.
"Aiden! Hua..aa.."
Nilam yang tahu harus berbuat apa menangis putus asa, tersedu sambil menelungkup di atas tubuh Aiden.
Dia hanyalah gadis kecil di tengah dunia yang memusuhi mereka berdua. Dan kini satu-satunya tempat Nilam merasa aman, terbaring tidak berdaya. Bahkan dalam otak kecil Nilam, dia tahu jika keadaan mereka sangat buruk.
Suasana jalan malam itu juga sangat sepi, karena malam mulai larut. Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong olehnya.
Ketika itulah, mobil yang sedari tadi mengikuti mereka, akhirnya mendekat. Nilam menghentikan tangis, saat sorot lampu mobil menerobos kelopak matanya.
Dengan takjub, dia melihat saat seorang laki-laki keluar dari mobil mewah itu.
Laki-laki tidak dikenal itu menghampiri Nilam. Pria itu kemudian berlutut di sebelah Aiden dan memeriksa keadaannya.
"Tenanglah, kakakmu hanya pingsan. Aku akan mengobatinya. Ikutlah denganku!"
Laki-laki itu bersikap ramah dan tidak terlihat mencurigakan, tapi Nilam ingat sekali pesan Aiden.
"Kata Aiden, aku tidak boleh ikut dengan orang asing masuk ke dalam mobil," Nilam menolaknya dengan tegas.
Dia mungkin putus asa, tapi tetap tidak ingin melanggar perintah Aiden.
"Namaku Xander, dan kau Nilam bukan? Aku bukan orang asing. Aku teman Aiden."
Laki-laki itu tersenyum geli melihat keberanian Nilam.
"Benarkah?!" mata Nilam membulat heran.
Pria itu mengangguk meyakinkan.
Nilam menyukai senyum ramah itu, maka dengan sikap setenang mungkin, Nilam mengambil tas dan juga plastik hitam milik Aiden.
"Kalau begitu kami akan merepotkan anda setelah ini," kata Nilam, dengan sopan.
Sopan santun adalah hal yang diajarkan Aiden dengan teratur. Kata Aiden, orang akan lebih menghargai jika mereka bersikap sopan.
Dan pria itu tergelak melihat sikap Nilam, dia tidak menyangka kalimat yang teratur dan sopan seperti itu akan keluar dari mulut anak-anak berumur enam tahun.
"Kau gadis yang pintar," setelah menghentikan tawanya, pria itu mengelus kepala Nilam pelan.
"Terima kasih," Nilam senang mendengar pujian itu.
"Ayo!"
Setelah membuka pintu belakang mobilnya, pria itu mengangkat tubuh Aiden dengan mudah. Dan dengan patuh Nilam mengikutinya.
<< TEMPORARY >>
Aiden bisa merasakan udara hangat di kulitnya, nyaman dan menyenangkan.
Apalagi ditambah empuknya kasur yang menjadi tempatnya berbaring. Semua itu membuatnya semakin malas membuka mata. Aiden ingin kembali tenggelam dalam tidur dan melepaskan segala penat dan lelah yang menimpanya.
Tapi bayangan tubuh Amos yang tergeletak berdarah, membuatnya membuka mata lebar-lebar.
‘Dimana aku?’
Sesaat Aiden bingung, karena berada ditempat asing.
Kamar yang ditempatinya sangat mewah. Dari situlah, rasa nyamannya berasal.
Semua perabotan yang ada di sana, mulai dari kursi meja sampai ranjang yang di pakainya, adalah kemewahan yang biasa dilihat Aiden di majalah atau TV.
Sinar matahari menerobos dari sisi timur kamar, dari jendela besar yang bertirai putih. Kontras dengan dinding kamar yang bercat gelap nyaris hitam.
Melihat semua benda itu secara nyata, membuatnya merasa seperti masih bermimpi. Tapi ini jelas bukan mimpi, bukankah ia sudah membuka mata? Aiden duduk.
"AACHH---!"
Leher bagian belakangnya kembali nyeri dan kepalanya terasa berputar.
Tidak terlalu parah, tapi cukup untuk membuatnya mual. Setelah menutup mata beberapa saat, pusing dan rasa sakit di lehernya berkurang, Aiden kembali mencoba bergerak.
Tapi kaki kanannya terasa kaku dan berat. Aiden menyibak selimut, dan melihat kakinya yang menghitam, kini terbungkus gips berwarna putih.
Melihat itu, Aiden sadar jika kakinya tidak hanya keseleo. Kakinya pasti retak.
‘Bagaimana aku bisa ada disini? Siapa yang merawat kakiku?’
Aiden akhirnya mempertanyakan hal yang tepat.
Dia kembali memeriksa sekeliling, tapi tidak mendapat jawaban. Kamar itu hanya memastikan, jika dia tidak sedang berada di rumah sakit.
Karena hal itu, Aiden sangat berterima kasih pada siapapun yang menolongnya. Jika dibawa ke rumah sakit, polisi akan dengan mudah menemukan mereka.
‘Nilam?’
Aiden langsung panik, saat sadar tidak ada tanda keberadaan Nilam sedari tadi.
Aiden kembali berusaha bergerak, tapi kekuatan tubuhnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.Tubuhnya hanya mampu beringsut beberapa jengkal.
Namun Aiden tidak menyerah. Dia terus bergeser sampai tepi tempat tidur. Masalah baru timbul, Aiden berhasil menurunkan kedua kakinya, tapi dia tidak akan bisa melangkah dengan normal.
Kakinya yang terbalut gips, kemungkinan besar akan cedera kembali, bila Aiden memaksakan diri. Tapi pilihan apa yang dipunyainya?
Dan jawaban datang untuk Aiden. Pintu kamarnya terbuka sebelum dia melangkah.
"Oh, Anda sudah sadar! Akhirnya."
Wanita yang mungkin seumuran dengan Mrs. Dorian, muncul dari sana. Berkacamata bulat dan berambut hitam.
‘Anda?’
Aiden mempertanyakan pemilihan kata itu karena tercengang.
Dia terbiasa bersikap sopan pada orang lain, tapi orang lain jarang bersikap sopan padanya. Apalagi sampai harus memanggil dirinya anda.
"Lebih baik Anda tidak menggunakan kaki terlebih dahulu. Luka di kaki itu cukup parah. Dokter menyarankan untuk beristirahat total selama seminggu, menunggu sambungan tulang sedikit pulih."
Wanita itu menjelaskan semuanya, sambil berdiri dengan tangan tertangkup di depan. Selain penggunaan kata anda, dia juga berdiri dengan sikap sempurna.
"Aku dimana?"
"Oh.. maaf, saya tidak bisa menjelaskan hal itu. Saya akan memanggil Mr. Raye."
Menunduk menghormat, wanita itu keluar dari kamar. Aiden kembali dibuat bengong, tata kramanya tidak bercacat. Rasa penasaran Aiden semakin mendalam.
Memutuskan untuk menuruti perkataan wanita itu, Aiden kembali bergeser ke tengah ranjang. Dia mengatur punggungnya agar bisa bersandar pada kepala tempat tidur, kemudian menunggu Mr. Raye yang tadi disebut.
BLAKKK!
Belum ada lima menit, pintu kamarnya kembali terbuka kali ini dengan kasar. Dan melihat kepala mungil yang muncul dari sana, rasa heran Aiden sirna.
"AIDEN!"
Nilam berlari masuk, dengan secepat kilat, dia memanjat ke atas ranjang dan menyerbu Aiden. Nilam nyaris menggilas kaki Aiden yang terluka, jika Aiden tidak menggesernya pada saat yang tepat.
Nilam mengubur kepalanya pada leher Aiden.
"Aku senang kau baik-baik saja, Nilam."
Sedikit beban pada hati Aiden terangkat, dia membalas pelukan Nilam dan memberinya elusan lembut di punggung.
"Xander juga berkata kau akan baik-baik saja, tapi kau tidur tiga hari. Dia bohong!"
Nilam melepas pelukannya dan mulai merajuk dengan mulut mengerucut.
Aiden tersenyum, dia justru lega melihat Nilam merajuk.
Merajuk adalah sifat anak-anak yang normal, dan Nilam jarang melakukannya. Siapapun Xander yang disebut tadi, telah merawat Nilam dengan baik, hingga membuat Nilam dengan mudah merajuk.
"Kita baru saja berdamai, kini kau sudah mengatakan hal buruk tentangku pada Aiden?!"
Suara berat khas pria menyahut dari pintu. Dan Aiden terpana.
Dia mengenali pria itu. Wajahnya yang dulu penuh raut keheranan, telah berganti dengan keramahan, karena memandang dirinya dan Nilam sambil tersenyum.
"Kau mengingatku?" tanyanya, menyadari pandangan mata Aiden.
Aiden mengangguk, "Kau bertanya tentang keadaanku beberapa hari lalu."
Pria itu adalah laki-laki asing yang ditemuinya tidak jauh dari rumah Mrs. Dorian, sore hari setelah perkelahiannya dengan Tyler.
Aiden mengingat sosoknya dengan detail, karena merasa sikapnya sedikit aneh.
Pria itu mengiyakan sambil mengulurkan tangan, "Aku Xander Raye."
Aiden menyambut tangan itu.
"Kau memang bohong!! Kau bilang kau teman Aiden, tapi kenapa kau baru berkenalan dengannya? Padahal kemarin kau tahu namaku Nilam."
Bibir Nilam semakin cemberut, sementara Xander terlihat salah tingkah karena amukan Nilam.
"Aku tidak berbohong Nilam. Aku memang teman Aiden, tapi dia belum mengenalku," elak Xander.
Nilam jelas tidak puas dengan penjelasan itu, dia masih melihat Xander dengan mata menyipit.
Sementara Aiden yang sama sekali tidak mengerti apapun, hanya bisa melihat mereka berdua bergantian dengan bingung.
"Karena Aiden sudah sadar, pergilah ke dapur. Minta tolong pada salah satu pelayan untuk membawa makanan ke sini. Aiden butuh makan."
Xander dengan piawai mengalihkan perhatian Nilam. Dan berhasil, Nilam langsung berlari keluar.
"Gadis itu terlalu pintar untuk anak seumurannya," keluh Xander, sambil menutup pintu.
Aiden tidak bisa lebih setuju lagi. Mungkin itu satu-satunya efek positif tinggal di rumah Mrs. Dorian, mereka menjadi lebih bijaksana dan dewasa sebelum waktunya.
"Kau pasti punya banyak pertanyaan."
Xander tersenyum melihat Aiden terus memandang setiap gerakannya.
"Kata Nilam kau sudah mengenal kami sebelum kau menolongku!"
Di antara keributan Nilam, Aiden masih bisa menyimpulkan satu hal, perbuatan Xander menolongnya, bukan kebetulan.
Xander berada di sekitar rumah Mrs. Dorian untuk mencarinya.
"Aku suka kecepatan berpikirmu," Xander memujinya.
"Bagaimana kau mengenal kami?"
Sebisa mungkin Aiden tidak ingin terlihat terlalu curiga, karena bagaimanapun Xander telah menolongnya, juga merawat Nilam dengan baik, selama dia sakit.
Xander terlihat berpikir keras.
"Aku sebenarnya ingin menjelaskan sedikit demi sedikit, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Karena itu, aku akan memulai dari fakta yang paling penting."
Xander mengelus dagunya pelan, dan Aiden menunggu dengan penasaran.
"Kau bukan manusia!"
Sejenak Aiden meragukan kapasitas pendengarannya. Dia menggosok telinganya dengan tangan, agar bisa mendengar dengan lebih baik.
"Kau tidak salah dengar, kau bukan manusia," ulang Xander, dengan penuh pengertian.
Aiden menggerakkan tangannya, mencoba untuk bersuara, tapi mulutnya hanya membuka menutup.
"Aku juga awalnya tidak tahu. Pertemuanku denganmu sore itu juga bukan kebetulan."
Xander meraih sesuatu dari kantong bajunya. Aiden melihatnya seperti ponsel, dan lagi Xander juga mengoperasikannya dengan sentuhan jari.
Tapi saat Xander memperlihatkan apa yang ada di layar, Aiden menjadi tahu, alat itu bukan ponsel.
Dia belum pernah mempunyai ponsel, tapi Aiden yakin, ponsel biasa tidak akan memiliki banyak tombol mungil yang tersebar di sekitar layar.
Latar belakang layar dari alat itu hitam, dengan garis-garis hijau memenuhi layarnya. Pada tengah-tengah layar, tampak titik berwarna merah berkedip pelan.
"Titik merah itu adalah kau. Dan karena alat ini dirancang khusus untuk menemukan kaum Tyaga, maka aku tidak ragu lagi bahwa kau bukan manusia."
"Tyaga?"
Xander mengangguk, "Kita mungkin tidak terlihat berbeda dengan manusia, tapi satu hal yang membedakan."
Xander mengangkat tangan, kemudian melambai ke arah tirai yang masih tertutup. Hembusan angin tiba-tiba melewati Aiden, dan tirai yang sedari tadi diam menggantung, terbang ke atas, memperlihatkan jendela kaca yang tertutup.
"Kaum tyaga mengendalikan anasir, atau kalian biasa menyebutnya elemen."
Aiden menutup matanya, mencoba mencerna hal yang baru saja dilihat.
Sejujurnya, sejak Xander menyebut bukan manusia, Aiden mulai berprasangka, jika Xander pasti orang kaya yang kebetulan saja gila.
Tapi apa yang dilihat matanya sangat sulit untuk diingkari. "Bisakah kau..."
Aiden mengayunkan tangannya meniru Xander, memintanya untuk mengulang.
Dengan baik hati Xander mengulanginya, kali ini dengan lambaian yang lebih besar. Tirai itu tidak hanya terangkat ke atas, tapi juga tersibak terbuka, lalu diam di salah satu sisi dengan permanen.
"Sihir macam apa itu?" seru Aiden.
Dua kali demonstrasi membuat Aiden sadar, Xander tidak gila. Dan dia sedang menjelaskan sesuatu yang akan membuat otaknya terpilin kebingungan.
"Bukan sihir, Aiden. Sihir, mantra dan ramuan adalah fiksi manusia. Kaum tyaga mengendalikan anasir karena memang kita terlahir seperti itu. Seperti manusia yang terlahir dengan kemampuan berbicara dan berjalan, kaum tyaga memiliki kemampuan ekstra, yaitu untuk mengendalikan anasir."
Xander menjelaskan dengan lebih detail.
Sementara Aiden dengan tidak percaya menatap tangannya. Karena selama lima belas tahun ini, dia tidak pernah merasa bisa mengendalikan apapun.
"Kaum tyaga terbagi menjadi empat, berdasarkan anasir yang dikuasainya. Pertama kaum Jei, seperti aku, anasir yang kami kuasai adalah angin. Kedua, kaum Sua, penguasa api. Ketiga, kaum Zem, anasir mereka adalah tanah. Dan yang terakhir, kaum Nir, air"
"Aku?" Aiden menanyakan kekuatan anasir apa yang dimilikinya.
"Menurut alat tadi, kau adalah Sua."
Xander menjawab pertanyaan Aiden, tapi terlihat sedikit ragu.
"Kau tersembunyi selama lima belas tahun dengan menjadi manusia biasa. Aku telah menyusuri masa lalumu dengan sangat detail, tapi semuanya biasa. Selazimnya, hampir tidak mungkin bagi tyaga untuk berbaur dengan manusia semenjak kecil, karena kekuatan yang dimilikinya akan langsung terlihat."
Xander sekarang terlihat kesal, dia sudah membuang banyak waktu untuk menyelidiki Aiden, tapi hasilnya tidak memuaskan.
"Aku datang ke daerah tempat tinggalmu, beberapa hari sebelum pertemuan pertama kita, karena sedang mengejar salah satu kriminal, dan sempat mengira sinyal yang berkedip itu berasal darinya."
Xander menggoyang alat yang ada di tangannya tadi.
"Tapi aku malah mendapat kejutan, karena sinyal itu berasal darimu. Aku kemudian mengikutimu selama beberapa lama untuk meyakinkan diri. Oh.., dan aku salut melihat perkelahianmu, kau hebat hari itu."
Xander tersenyum, rupanya dia menonton saat Aiden berkelahi dengan gerombolan Tyler.
"Terima kasih," Aiden mengucapkan hal itu sambil lalu. Pikirannya telah sibuk berspekulasi apa yang sebenarnya terjadi.
Aiden jelas merasa seperti manusia biasa. Jika tidak, dia tidak akan menanggung jajahan Mrs. Dorian selama ini. Dengan kekuatan itu hidupnya akan lain.
"Mengapa aku berbeda?"
Aiden mempertanyakan bagaimana bisa dia hidup seperti manusia.
Dan Xander menggeleng dengan wajah menyesal, "Aku tidak tahu Aiden, maaf. Mungkin aku harus menyelidiki lebih dalam lagi untuk menjawabnya."
"Sinyal yang dipancarkan kekuatanmu sangat lemah. Jika aku tidak sedang berada di sekitar daerah itu, titik merah itu tidak akan pernah muncul di alat pelacak ini. Mungkin itu juga yang membuatmu bisa hidup sebagai manusia, kekuatanmu tersembunyi."
Aiden termangu. Lemah?
Dia tidak menyukai bagaimana Xander menyebutnya lemah.
Aiden hanya terlihat lemah di hadapan Mrs Dorian karena tidak mempunyai pilihan lain. Tapi jiwa Aiden jauh dari kata lemah. Dia membenci, saat Xander menyebut kata lemah berulang-ulang.
Dan rupanya Xander mendeteksi kekecewaan Aiden, "Akan ada penjelasan lain untuk keadaan khususmu, dan dengan latihan yang keras, aku yakin kau akan baik-baik saja," hiburnya.
Xander mengatakannya, hanya agar Aiden tidak frustasi. Tapi sebenarnya Aiden setuju, dia tidak pernah merasa memiliki kekuatan anasir, jadi untuk apa mempermasalahkannya lebih jauh?
Aiden tidak akan merasa kehilangan sesuatu yang memang tidak pernah dimilikinya.
"Lalu apa setelah ini?"
Aiden lebih tertarik untuk tahu bagaimana masa depannya. Setidaknya satu hal sudah jelas, dia tidak mungkin akan dikembalikan ke rumah Mrs. Dorian.
"Setelah kakimu sembuh, aku harus membawamu ke Lumea. Aku tidak mungkin membiarkanmu tetap hidup di bumi."
"Bumi? Apakah tyaga alien atau semacamnya?"
Dari tadi Aiden mengira, tyaga setidaknya hidup di bumi.
"Ha...ha..ha!"
Xander tertawa lepas mendengar itu, "Kau ada benarnya, kaum tyaga mungkin alien, tapi tidak berasal dari luar angkasa. Lumea adalah dunia dimensi lain dari bumi."
Xander duduk kembali di kursinya, Aiden menduga ceritanya juga akan panjang.
"Beberapa ribu tahun lalu, seorang kaum Jei dengan kemampuan yang sangat hebat berhasil mempelajari cara membuka pintu dimensi lain, dan pintu menuju bumi adalah salah satunya."
"Masih ada banyak dimensi lain?" Aiden memotong cerita Xander, karena fakta itu menurutnya lebih menarik.
"Banyak, tapi bagi penduduk Lumea hanya sekitar 67 dimensi yang aman dikunjungi. Selain itu, dimensi yang lain bisa kau datangi, tapi tidak ditanggung keselamatannya."
"Bisakah kita membahas Lumea saja?"
Aiden menyesal telah bertanya, dia terburu-buru. Otaknya belum siap menerima fakta sebanyak itu. Dia akan fokus pada Lumea untuk saat ini.
Xander tersenyum simpul dan mengangguk, "Akan ada banyak waktu untuk mempelajari semua itu. Yang paling penting kau tahu adalah Lumea."
"Apa yang akan terjadi padaku di Lumea?"
"Melanjutkan hidup tentu saja. Kau akan belajar, dan mungkin bekerja jika sudah cukup umur. Di Lumea, kau tidak bisa bekerja saat remaja. Statusmu yang tanpa keluarga bukan masalah, semua anak yatim piatu kehidupannya di tanggung oleh kerajaan sampai kau dewasa. Dan tidak seperti di bumi, semua anak tanpa keluarga hanya tinggal di satu tempat."
Jawaban Xander membuat perasaan Aiden bercabang.
Dia lega, karena tidak lagi harus tinggal dengan orang tua asuh. Tapi sekaligus heran dengan hal yang mengikutinya.
"Tinggal di satu tempat? Bukankah akan butuh tempat yang sangat besar untuk menampung semuanya?" Tanya Aiden.
"Ah, aku lupa menambahkan sesuatu. Lumea tidak seperti bumi yang sangat luas dan terpisah-pisah oleh laut. Dataran Lumea hanya sedikit lebih besar dari negara Rusia dan semuanya menjadi satu. Penduduknya juga tidak padat."
Aiden mengangguk-angguk.
Dia mulai membayangkan bagaimana wujud Lumea, dan menjadi semakin penasaran, tidak sabar untuk melihatnya sendiri.
Mimpi Aiden untuk melihat dunia luas semakin membara. Dia bahkan berkesempatan untuk melihat dunia lain melebihi bumi. Tentu saja Aiden gembira.
Xander tersenyum melihat binaran semangat di mata Aiden.
"Cedera di kakimu agak sedikit parah, karena kau membiarkannya tanpa perawatan. Tulangmu yang retak mengalami infeksi, karena itu kakimu berdarah kemarin. Tapi dokter masih bisa memperbaikinya. Akan butuh waktu sebulan lebih, sebelum kau bisa berjalan normal. Sementara menunggu itu, tinggalah disini bersama Nilam. Kita akan membahas hal selanjutnya setelah kau sembuh."
"Terima kasih."
Aiden, tidak akan bisa membalas semua kebaikan Xander pada titik ini. Dirinya dan Nilam selamanya akan berhutang budi pada Xander.
Lepas dari kukungan Mrs. Dorian tiga tahun lebih cepat adalah anugerah yang tidak terkira, terutama untuk Nilam. Aiden berharap Nilam akan tumbuh normal selayaknya anak-anak setelah ini.
Hanya itu harapan utama Aiden.
Dan----satu pengertian baru tiba-tiba muncul di benak Aiden, dan membuat wajahnya pucat.
"Bagaimana dengan Nilam? Dia akan ikut bukan?"
Sebelum Xander menjawab, Aiden sebenarnya sudah bisa menduga.
Xander menggeleng, "Maaf Aiden. Nilam adalah manusia. Dia akan tetap di bumi—."
"Jika begitu aku akan tetap di bumi," putus Aiden saat itu juga.
Xander terperangah, "Jangan begitu, Aiden. Kau adalah tyaga. Kau tidak bisa terus ada di bumi."
Kali ini Aiden yang menggeleng tegas.
"Aku tidak bisa berpisah dari Nilam. Kau sendiri yang bilang jika aku hidup baik-baik saja sebagai manusia. Aku akan meneruskannya."
Aiden terlihat tegas, tapi dalam hati dia tidak tahu apa yang dilakukannya. Jika benar Xander akan melepaskan mereka. Bayangan penjara berkelebat di benaknya tanpa henti.
Tapi Aiden tidak bisa membiarkan Nilam sendiri di luar sana.
TOK....TOK...TOK!
Xander terlihat akan mengusulkan hal lain lagi, tapi ketukan di pintu menghentikannya, dia bangkit dan membukanya.
Di depan pintu, satu pelayan membawa nampan penuh makanan hangat, dan juga Nilam membawa sepiring buah segar untuk Aiden.
Xander membuka pintu lebar-lebar untuk mempersilahkan mereka masuk.
"Makanlah, kita akan meneruskan diskusi setelah kau merasa lebih sehat."
Xander terlihat kecewa saat keluar dari kamar, bahkan Nilam juga melihatnya dengan heran, karena dia tidak tersenyum ramah seperti biasanya.
Aiden merasa sedikit bersalah, karena mengacaukan rencana Xander. Dia membuat semua usaha untuk menolong dirinya menjadi percuma.
"Aiden?"
Nilam telah menyendok bubur hangat dan berusaha menyuapinya.
Aiden memaksakan diri tersenyum, "Tidak perlu seperti itu Nilam, tanganku baik-baik saja. Aku bisa makan sendiri."
Pelayan yang mengantar makanan keluar dari kamar, setelah berpesan, dia akan kembali untuk mengambil piring kotor.
Setelah sekali lagi memperbaiki posisi duduknya, Aiden mulai makan dengan diiringi celotehan Nilam. Jelas Nilam sangat bahagia bisa bebas dari rumah itu.
Makanan itu lezat dan hangat, tapi Aiden tidak bisa menikmatinya dengan senang hati.
Beban baru tumbuh di hatinya.
Pilihan apa yang harus diambilnya setelah ini?
Lumea terdengar menyenangkan, tapi Aiden tidak mungkin meninggalkan Nilam.
<< LORD >>
Aiden menyandarkan tongkat yang dia pakai berjalan ke tembok, setelah berhasil menyeberangi taman belakang sendirian.
Lalu dia duduk di kursi panjang yang tersedia, menikmati udara sore musim gugur.
Sedikit dingin, tapi jaketnya tebal. Xander menyediakan berbagai jenis jaket dengan ketebalan beragam untuknya dan juga Nilam. Kemakmuran yang belum pernah Aiden rasakan sebelumnya.
Aiden sudah menjelajahi seluruh rumah mewah itu.
Seperti kamar yang ditempatinya, rumah itu adalah banguanan termewah yang pernah dilihat Aiden, bahkan mengalahkan kemewahan rumah beberapa customer yang dulu pernah menggunakan jasa pindah rumah tempatnya bekerja.
Aiden masih tidak tahu, pekerjaan apa yang dilakukan Xander hingga bisa memberinya rumah semewah itu.
Dua minggu ini, Xander dan Aiden tidak banyak berdiskusi. Setiap bertemu, mereka hanya mengobrol ringan seputar kesehatan Aiden.
Dokter yang merawat Aiden datang setiap tiga hari sekali, dan menurutnya kemajuan Aiden sangat pesat. Aiden tidak tahu dia Tyaga atau manusia. Yang pasti dokter itu hanya membahas hal-hal yang berkaitan dengan kakinya.
Seminggu lalu, dia menyarankan Aiden untuk mulai belajar berjalan, dan Aiden menyambutnya dengan riang. Dia sudah bosan berbaring.
Tubuhnya terbiasa bekerja keras, beristirahat di ranjang selama seminggu lebih membuatnya merasa lembek.
Untunglah Xander memberinya beberapa buku tentang Tyaga yang cukup menarik. Selama ini, Aiden belajar untuk lebih mengenal Lumea.
Saat itu pula, Aiden menjadi lebih sering memandang kedua tangannya. Aiden kadang masih tidak percaya jika dia Tyaga. Aiden juga mencoba untuk mengeluarkan kekuatan sesuai dengan petunjuk dalam buku.
Tapi gagal, tidak ada yang terjadi.
Dia sempat mengatakan hal itu pada Xander, lalu memberinya alasan, jika mungkin alatnya salah, tapi Xander membantah.
Xander sendiri, sudah melalui keraguan selama beberapa hari sebelum memutuskan untuk menyelidiki Aiden. Dan dia sudah memakai tiga alat yang berbeda untuk mendeteksi Aiden.
Dan semua menghasilkan hal yang sama. Aiden adalah tyaga Sua.
Aiden kembali tercabik. Ada sebagian dirinya yang berharap Xander salah, karena itu berarti dia tidak perlu berpisah dengan Nilam.
Tapi juga berarti menghilangkan kesempatannya untuk menjalani kehidupan baru yang menarik.
Aiden tidak akan merubah keputusan yang telah dia katakan pada Xander, tapi rasa kecewa yang ada di hatinya semakin membesar. Dan Aiden mulai membenci dirinya sendiri, karena itu berarti ada sebagian dirinya yang egois dan ingin meninggalkan Nilam.
Aiden menghembuskan nafas berat, dia tidak menyukai pilihan hidup yang membuat otaknya berkonflik.
"Helaan nafas itu terdengar seperti tyaga berumur empat puluh lima, bukan lima belas."
Suara Xander terdengar geli, dia berjalan menghampiri Aiden, kemudian duduk di sebelahnya.
Aiden hanya tersenyum kecut.
"Apa yang menopang perekonomian Lumea?" tanya Aiden, dengan random.
Dia hanya ingin mengalihkan pembicaraan, Aiden malas membahas soal Nilam. Dan sepertinya Xander mengerti, dia terlihat kaget, tapi kemudian menjawab pertanyaan Aiden dengan lancar.
"Pada awalnya, seperti di bumi, penduduk Lumea bercocok tanam, beternak dan juga menangkap ikan. Tapi semua berubah setelah tyaga Jei berhasil membuka pintu dimensi, terutama pintu menuju bumi"
"Bumi sangat luas, dan memberikan kesempatan pada Lumea untuk berkembang dengan cara yang tidak terduga, melalui ini"
Xander menarik keluar sebentuk gelang dari sakunya. Gelang yang terbuat dari emas berwarna putih, berhiaskan mutiara pink pucat besar, dan juga mutiara putih.
"Emas?"
"Bukan, mutiara," Xander memasukkan gelang itu lagi ke kantong.
"Daratan Lumea sedikit sempit jika dibandingkan dengan bumi, tapi laut kami luas. Pada awalnya kami menganggap tiram mutiara adalah hama. Ketika tahu mutiara berharga mahal di bumi, para leluhur kaum Lumea tidak melewatkan kesempatan itu. Saat ini Lumea adalah pemasok mutiara terbesar di bumi. Kau pernah mendengar Lumea Inc.?"
Aiden menggeleng.
"Lumea Inc. adalah perusahaan yang sengaja dibentuk oleh Tyaga untuk menangani perdagangan dengan manusia bumi, tanpa sepengetahuan manusia tentu saja. Mereka hanya tahu Lumea adalah mitra penghasil mutiara"
"Apakah kau bekerja disana? Karena itu kau bisa memiliki rumah mewah ini?"
Aiden menunjuk rumah di belakangnya.
Tapi Xander malah tertawa. Dia pasti menganggap pertanyaan Aiden sangat lucu.
"Itu bukan rumahku, Aiden," katanya, masih sambil tertawa. Dia meneruskan cerita, setelah tawanya reda.
"Dan tidak lagi. Aku dulu pernah bekerja di Lumea Inc., tapi tidak lagi. Sekarang aku bekerja sebagai bawahan Lord Vivash, salah satu Lord yang berkuasa di Lumea. Aku adalah Arch, atau mungkin kau lebih mengenalnya sebagai kepala keamanan. Rumah itu milik Lord Vivash."
Aiden mengangguk-angguk.
"Hanya para Lord yang bisa memiliki rumah di bumi. Dan kami para Arch biasa menggunakannya, jika kami memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan manusia."
"Seperti pekerjaan mengurusku?"
Xander mengangguk, "Kau adalah kasus unik. Tidak ada anak tyaga yang berada di bumi. Kau yang pertama."
"Apa mungkin aku anak dari bangsa tyaga dan manusia?" Aiden sudah menimbang hal itu, bisa jadi kemampuan Sua-nya lemah karena dia hanya separuh Tyaga.
Dan gelengan kepala Xander membuatnya kesal, sekali lagi tebakan Aiden dibantah.
"Struktur DNA tyaga dan manusia sangat berbeda. Kau bisa---- err.."
Sejenak Xander melirik Aiden, menimbang kepantasan apakah bisa melanjutkan kalimatnya.
"Kau bisa … 'tidur' dengan manusia, tapi kau tidak akan menghasilkan keturunan."
Xander memutuskan Aiden sudah cukup umur.
Wajah Aiden sedikit memerah ketika tahu apa yang dimaksud Xander, tapi kemudian kembali datar. Dia sudah menerima materi tentang itu di sekolah, tapi belum pernah, dan belum ingin mencobanya.
"Kau sangat beruntung, karena belum pernah terluka parah yang memerlukan pemeriksaan dokter secara khusus. Jika mereka memeriksamu, kau akan menjadi penemuan sains terbesar abad ini, karena susunan DNA-mu yang aneh."
Dan Aiden sekali lagi memandang kedua tangannya.
"Aku sudah banyak mengarungi dimensi selain bumi, dan sudah bertemu penghuninya. Kau akan terkejut, betapa banyaknya penduduk asli di sana berpenampilan sama seperti manusia. Ada juga yang terlihat sangat ganjil di luar nalar. Tapi kebanyakan aku menemui makhluk yang tidak jauh berbeda dengan kita."
Penjelasan Xander semakin membuat Aiden gelisah. Jiwanya yang telah lama menginginkan kebebasan untuk menjelajah seolah terpanggil.
Tapi cita-citanya adalah membawa Nilam dalam perjalanan itu.
"AIDEN!"
Seruan melengking Nilam, membuat mereka berdua menoleh bersamaan.
Nilam berlari keluar dari dalam rumah, sambil membawa secarik kertas.
"Hati-hati Nilam!!"
Baru saja Xander menutup mulut memperingatkan, Nilam tersandung dan jatuh di rerumputan.
Xander sudah akan bangkit menolong, tapi dengan sigap Nilam bangkit sendiri, tanpa tangis atau keluhan. Xander sampai menggelengkan kepala heran.
"Lihat---lihat!"
Nilam menyodorkan kertas yang dibawa pada Aiden.
Nilam rupanya menggambar memakai krayon di kertas itu. Gambarnya kacau khas anak-anak. Tapi Aiden bisa melihat jika dia menggambar dirinya dan Xander.
Nilam menggambar Aiden dengan salah satu kakinya lebih besar, karena memakai gips, dan sosok Xander bisa dikenali dari rambut jabrik berwarna kecoklatan.
"Siapa mereka?"
Xander pura-pura melihat kertas itu dengan cermat. Dia mulai menggoda Nilam.
"Ini Aiden, dan yang ini kau!" Nilam memulai celotehnya.
"Apakah aku yang berkaki besar ini?"
"Bukan!! Itu Aiden, kau yang ini. Warna rambutnya seperti kau," Nilam mulai kesal, pertanda Xander telah berhasil.
Aiden tersenyum, "Dia hanya menggodamu, Nilam. Gambarmu bagus sekali."
Nilam cemberut sambil memandang Xander. Dan tentu saja Xander tertawa senang melihatnya.
"Karena kau sudah menggambar dengan sangat bagus, aku punya hadiah untukmu."
Xander mengeluarkan gelang yang tadi diperlihatkan pada Aiden, dan menyerahkannya pada Nilam. Mata Nilam berkilau ceria, tidak terlihat lagi amarahnya pada Xander.
Dia memakai gelang itu, dan mulai melompat-lompat girang.
"Nilam!" Aiden memperingatkan.
Nilam berhenti melompat dan berdiri santun di depan Xander, "Terima kasih, Xander."
"Sama-sama Nilam. Sekarang bermainlah lagi."
Sedetik kemudian, Nilam kembali melompat kegirangan, sambil menggoyangkan tangan yang memakai gelang.
"Apakah hadiah itu tidak terlalu mahal?"
Nilam tidak tahu seberapa berharganya gelang itu, Aiden takut, dia akan bersikap teledor dan menaruhnya sembarangan.
"Jika di bumi. Benda itu di Lumea tidak lebih berharga dari satu loyang pizza polos."
Sepertinya Xander lupa menghitung harga emas putih yang menjadi tempat mutiara itu menempel.
Aiden mengerutkan kening. Semurah itukah harga mutiara di Lumea?
Aiden bisa membayangkan kekayaan seperti apa yang di dapat oleh penduduk Lumea.
"Aku memang membawanya untuk Nilam, mutiara pink itu sangat cocok dengannya," lanjut Xander.
Aiden sudah sedikit heran, saat Xander mengeluarkannya tadi, sosoknya tidak cocok dengan bentuk feminin gelang itu. Rupanya dia membawanya untuk Nilam.
"Xander, kau baik sekali!!"
Nilam kembali meneriakkan pujian untuk Xander, dan dia menerimanya dengan senyum lebar.
"Kau tidak memiliki anak?" tanya Aiden, tanpa basa-basi.
Xander terlihat perhatian sekali pada Nilam. Aiden menduga hal itu dikarenakan absennya kehadiran anak di keluarga Xander.
"Punya, anak laki-laki berumur dua belas, tapi harus aku akui, anak perempuan lebih manis."
Xander kembali tersenyum geli, karena Nilam sekarang memeluknya, dia sangat menyukai gelang itu rupanya.
"Ah.. kau harus bertemu anakku kapan-kapan, kalian akan cocok. Ezra suka sekali menjelajah."
Xander berteriak sambil berjalan mengikuti tarikan tangan Nilam masuk ke rumah. Aiden hanya melambai pertanda mengerti.
Aiden kembali menyandarkan punggung. Sekali lagi, dia berhasil menghindar dari pembicaraan penting. Xander jelas masih berharap membawa Aiden ke Lumea. Perkataannya tadi membuktikannya.
Tapi Aiden juga tidak akan berubah pikiran. Dia tidak akan pernah meninggalkan Nilam.
***
"Mr. Raye. Lord Vivash datang!"
Salah satu pelayan datang dengan tergopoh-gopoh melapor pada Xander. Saat itu, makan malam telah selesai. Aiden, Nilam dan juga Xander sedang menikmati camilan sambil mengobrol.
Mendengar laporan itu, wajah ceria Xander langsung berubah keruh. Tidak terlihat lagi mimik ramah dan mata yang memancarkan senyum.
"Kalian tunggu di sini!" ujarnya, tegas.
Aiden berdiri dengan menyangga satu kaki dengan tongkat, sementara Nilam menyembunyikan separuh tubuhnya di belakang kaki Aiden. Peringatan Xander membuat mereka waspada.
Xander setengah berlari, bergegas menuju pintu depan, tapi belum sampai menghilang dari pandangan Aiden, seorang laki-laki bersama dengan salah satu pelayan, sampai di ruang tengah.
Laki-laki itu sedikit lebih tinggi dari Xander, berambut pirang gelap dengan mata biru, dan lebih tua dari Xander.
Penampilannya juga sedikit berbeda.
Xander terlihat seperti manusia biasa yang rapi, pria itu terlihat seperti manusia yang baru saja menghadiri pesta, karena sangat rapi.
Ia memakai jas, lengkap dengan vest dan scarf bermotif. Sepatunya juga berjenis boot berwarna hitam.
Xander melipat tangan kanannya menyilang di dada, lalu membungkuk hormat, "Lord Vivash, ini kejutan menyenangkan."
Aiden langsung tidak menyukai pria itu. Dia tidak mau repot-repot membalas sapaan Xander, dengan terang-terangan dia mengabaikan Xander, dan berjalan terus menghampiri Aiden.
"Dia anak Sua yang kau laporkan?" tanyanya, dengan suara keras. Matanya memandang Aiden dari ujung kaki sampai kepala, menilai.
"Benar, dan itu adiknya," jawab Xander, masih dengan menunduk.
"Adiknya? Apa dia juga tyaga?"
"Bukan, Lord Vivash. Aiden bertemu Nilam di rumah orang tua asuhnya."
"Manusia rupanya, kenapa dia di sini?" Lord itu memandang Nilam dengan pandangan merendahkan.
Aiden jarang membenci orang secepat ini, tapi orang yang dipanggil Lord itu membuatnya ingin menjauh dan melupakan semua janji Xander untuk membawanya ke Lumea.
"Ada kejadian yang tidak terduga yang membuat Aiden harus meninggalkan rumah itu dengan segera, sehingg---"
"Oh...Aku tak ingin mendengarnya."
Begitu selesai berbicara, Vivash mengangkat tangan, dan api cerah berwarna merah muncul dari sana. Dengan sekali kibasan, api itu menyambar seolah menari ke arah Aiden.
Aiden yang sama sekali tidak menduga, hanya bisa terpana memandang kobaran api yang semakin membesar meluncur ke arahnya, seperti ular menyambar mangsa.
"Lord Vivash!" Xander berseru panik.
Dan sebelum api itu mencapai Aiden, hembusan angin sejuk yang dikeluarkan Xander menerjang, membuat api yang berkobar itu berbelok arah, melalap tirai dan kursi yang ada di samping Aiden.
Detik itu juga, benda-benda itu tersulut api dan terbakar.
"Kau selemah itu sehingga memerlukan bantuan Jei untuk menghindar?!"
Nada menghina sangat kentara terkandung dalam ucapan Vivash itu.
Jika saja api itu tidak ditujukan untuknya, Aiden akan bertepuk tangan kagum, tapi sebaliknya, Aiden tiba-tiba saja menjadi jijik.
Kemampuan sehebat itu, hanya dia pakai untuk menyerang makhluk yang jelas sedang berada posisi yang lebih lemah.
Aiden mengira Mrs. Dorian adalah makhluk terburuk yang akan ditemuinya, tapi setidaknya dia menunggu sampai hari kedua sebelum berlaku kejam pada Aiden.
Sedangkan pria itu hanya membutuhkan lima menit, sebelum memutuskan untuk membakar hidup-hidup seorang remaja yang tidak dikenalnya.
Dia lebih dari sekedar kejam, kebengisannya tidak bisa diukur oleh akal Aiden.
"DAN KAU! berani sekali ikut campur? Kau adalah Arch Vivash, tapi berani menentang keputusanku?"
Vivash mengalihkan amarahnya pada Xander, yang kini berlutut dengan salah satu kaki di depannya.
"Maafkan saya, Lord Vivash. Bukan maksud saya ikut campur. Tapi Aiden sama sekali belum mampu untuk mengendalikan anasir, api anda akan membunuhnya."
Xander menunduk dalam-dalam, dan Vivash kembali memandang Aiden
"Bukan hanya kau hidup seperti manusia, ternyata kau adalah Gimp?"
Aiden tidak tahu apa itu gimp, tapi dari nadanya, Aiden menebak kata itu adalah celaan.
Mata biru Vivash terus memandang Aiden yang kini berdiri miring.
Kakinya sudah lebih baik, tapi dia sudah terlalu lama berdiri. Kakinya belum mampu menyangga tubuhnya dalam waktu lama. Tapi Aiden tidak bergerak, karena Nilam akan terlihat jelas jika dia duduk.
Dari tadi, Nilam bersembunyi di belakang Aiden dengan gemetar. Dia melihat bagaimana api menyerang mereka, tapi tidak bersuara sedikitpun. Dia hanya mencengkeram baju Aiden sebagai tanda ketakutan.
Firasat buruk menghampiri Aiden, saat mulut Vivash tiba-tiba menyeringai jahat.
"INI SEMPURNA!" seru Vivash, sambil bertepuk tangan dua kali.
Dan sepertinya Xander juga berfirasat sama, dia berdiri, tapi dalam posisi waspada.
"Apa kau sudah melaporkan keberadaannya kepada orang lain selain aku?" tanyanya, pada Xander.
Xander menggeleng, "Belum, Lord. Saya belum sempat memberi laporan ke Lumea, hanya anda."
"Bagus!! Aku maafkan perbuatan lancangmu tadi, karena kau telah melakukan hal yang benar, dengan menunda laporanmu ke Lumea."
Vivash kembali menyunggingkan senyum sinis sambil memandang Aiden.
"Maaf, tapi saya tidak mengerti!"
Ternyata bukan hanya Aiden, Xander juga kesulitan mengartikan maksud perkataan Vivash.
"Aku telah menemukan calon suami yang cocok untuk ratu pembangkang itu. Aku tidak sabar melihat reaksinya saat sadar suaminya ternyata gimp."
Berbeda dengan Xander yang wajah bingungnya telah sirna, keadaan Aiden masih sama. Hanya ada satu kata yang menancap di otaknya.
SUAMI!?
"Aku tidak sudi darah Vivash Sua ternoda oleh Nir berkedudukan rendah," Vivash kembali meneruskan cacian, yang separuhnya tidak Aiden mengerti.
Xander harus menunggu beberapa lama sebelum akhirnya menemukan celah untuk menyela.
"Lord, tidakkah terlalu berbahaya? Jika Synod mengetahuinya, mereka akan menjatuhkan hukuman berat."
"Jika kau tutup mulut semua akan beres," bantah Vivash.
"Tapi----"
Xander berusaha keras mencari alasan untuk mengeluarkan Aiden dari rencana Vivash, tapi sepertinya dia kehabisan ide.
"Siapa yang akan tahu? Mungkin orang tuanya sadar dia adalah gimp, karena itu dia di buang di bumi. Tidak akan ada yang mencari atau mengakui keberadaannya," lanjut Vivash, kali ini menunjuk Aiden dengan mata mengejek.
Seumur hidup, Aiden tahu, dia adalah anak terbuang yang tidak diinginkan, tapi mendengarnya secara langsung dari orang lain, membuat telinganya terasa tertusuk.
"Aku yang tahu!! Kenapa aku harus diam dan menuruti semua rencanamu?" sahut Aiden.
Aiden tidak tahu pasti apa sebenarnya yang diinginkan oleh Vivash, tapi melihat Xander berusaha keras mencegahnya, Aiden bisa menduga, rencana Vivash akan membawa bencana.
"Kau melawan?! Ketahuilah, sifat berani tidak seharusnya berada dalam tubuh gimp. Sifat itu akan terbuang percuma!"
Vivash mendekat ke arah Aiden, Xander tidak bisa mencegahnya, tapi dia ikut bergeser mendekati Aiden.
"Kita lihat apakah kau akan bersikap sama setelah ini!!" Seringai kejam kembali terukir di mulut Vivash.
"AIDEENN!
Dengan gerakan sangat cepat, tangan Vivash mendorong tubuh Aiden ke samping, Kaki Aiden yang cedera kehilangan kekuatan,membuatnya terguling ke lantai
Tangan Vivash yang lain menyambar bahu Nilam, kemudian menyeretnya menjauh.
Nilam menjerit memanggil-manggil Aiden, sambil meronta berusaha melepaskan diri. Tapi tidak menghasilkan apapun.
Xander rupanya tidak menyangka Vivash akan tega menyasar Nilam, ia terperangah.
Saat Xander mendekat mencoba menolong, tubuh Vivash dan juga Nilam sudah diliputi oleh api yang muncul dari bawah kaki Vivash.
"AIDEN!"
Jeritan Nilam semakin keras, dan itu adalah suara terakhir yang Aiden dengar.
Detik berikutnya, sosok mereka berdua menghilang dalam api, yang setelah melaksanakan fungsinya, padam begitu saja, tanpa meninggalkan bekas.
Tempat mereka berdiri hanya menyisakan udara panas yang kosong!
"NILAM!"
Adien berseru memanggil, sambil berusaha berdiri. Dia ingin mengejar Nilam, walaupun dia sama sekali tidak tahu harus kemana.
"Aiden!"
Xander membantunya berdiri, lalu menyerahkan tongkat pada Aiden.
Aiden menerima tongkat itu, tapi dia mendorong tubuh Xander menjauh dengan marah.
"Aiden, kumohon dengarkan aku dulu," desah Xander dengan suara berat. Dia tentu saja menyesal karena Aiden harus mengalami ini semua.
"AKU TIDAK PERNAH MEMINTA PERTOLONGANMU, DAN KINI KAU MEMBUATKU KEHILANGAN NILAM!" teriaknya.
Aiden bukannya tidak tahu terima kasih, mereka berdua selamat karena Xander. Tapi kini dia memilih untuk tetap berada di jalanan jika bisa membuat Nilam tetap hidup.
Entah apa yang akan dilakukan Lord bengis itu padanya sekarang.
"Dia tidak akan bertindak gegabah dengan melukai Nilam, dia membutuhkannya sebagai jaminan untuk membuatmu menurut."
Sedikit rasa lega menyusup di hati Aiden, menyadari perkataan Xander ada benarnya, tapi hal itu tidak membuatnya puas. Dia harus tahu bagaimana keadaan Nilam.
"Aku mohon padamu sekali saja, percayalah padaku. Aku akan memastikan Nilam selamat dan berada pada tempat yang aman dan nyaman. Sekarang istirahatlah. Kakimu sakit lagi bukan?"
Tidak hanya kaki, leher belakang Aiden terasa seperti terbakar sedari tadi, Biasanya dia hanya merasakan nyeri, tapi sedari tadi, lehernya seolah ditempeli oleh besi panas.
Aiden menahan rasa sakit itu sedari tadi, karena situasi yang gawat.
Aiden sekarang lebih tenang, dia bisa melihat bagaimana Xander merasa sangat menyesal. Dan Aiden tidak punya pilihan lain selain mempercayai Xander. Dia tidak tahu harus mencari Nilam kemana tanpa Xander.
Dengan dengusan kesal, Aiden beranjak menuju kamar, menuruti permintaan Xander.
Sebelum melangkah, Aiden mengusap lehernya, sambil mengernyit menahan sakit. Rasa panas di lehernya mulai susah diabaikan.
"BERHENTI!" seru Xander, membuat Aiden melonjak.
Aiden bermaksud berbalik, tapi kalah cepat dengan Xander yang kini berdiri tepat di belakangnya, menyibak rambut pirang Aiden yang sedikit panjang pada bagian belakang leher.
"TIDAK MUNGKIN! Ini Signet Anasir, bagaimana bisa ada di lehermu?"
Wajah Xander pias, melebihi saat dia mencegah api Vivash membakar Aiden tadi. Dia benar-benar terkejut.
"Apa lagi itu?!"
Tentu saja kata itu tidak berarti apa-apa untuk Aiden, dia mengernyit tak suka. Sudah cukup banyak hal yang tidak dimengerti olehnya malam ini, tidak perlu tambahan hal lain.
Xander terlihat menarik nafas untuk menenangkan diri sambil mengusap wajahnya sekali.
"Aku akan menjelaskan semua setelah aku memastikan Nilam selamat. Saat ini, hal itu yang terpenting. Istirahatlah!"
Xander akhirnya memprioritaskan Nilam, dan Aiden tidak membantah.
Rasa penasaran Aiden menumpuk setinggi gunung, tapi tidak akan berarti sebelum dia tahu keadaan Nilam. Dan kini dia hanya bisa pasrah menunggu kabar Xander.
Aiden hanya memandang, saat Xander memutar tangan mengelilingi kepala, dan angin yang hanya bisa dirasakan tanpa bisa dilihat oleh Aiden, berkumpul di sekitar Xander. Rambut dan bajunya beterbangan tak tentu arah.
Saat mata Aiden menyipit karena pedih terkena hembusan angin, tubuh Xander lenyap.
COOL!!
Aiden mengakui, anasir sangat keren, tapi jika penggunanya sebengis Vivash, hanya akan membawa bencana.
<< DEAL >>
Semalaman Aiden tidak sedikitpun memejamkan mata.
Jika bisa, dia pasti sudah mondar-mandir di dalam kamar, tapi kakinya yang pincang membuat Aiden hanya bisa duduk, dan kadang menghentakkan kakinya yang sehat dengan kesal.
Dia mencoba bertanya pada pelayan, yang sedang sibuk membereskan sisa kebakaran Vivash, tapi mereka tidak bisa membantu.
Mereka pasti tyaga, karena tidak terlihat heran, saat mendapati kebakaran lokal di ruang tengah, tapi toh mereka tetap tidak berani menghubungi Xander.
Mereka menyarankan agar Aiden menunggu dengan sabar sampai Xander kembali. Setelah menolak tawaran sarapan, Aiden hanya duduk gelisah menunggu.
Saat ingin berpindah untuk kesekian kalinya, angin berhembus dalam ruangan, berpusar menerbangkan tirai dan karpet.
Seperti tadi malam, tubuh Xander dengan perlahan mewujud di tengah pusaran angin.
Aiden agak sedikit khawatir saat melihat keadaan Xander yang payah. Jelas mereka berdua mengalami malam yang buruk.
"Nilam baik-baik saja," Xander menjawab pertanyaan utama Aiden tanpa ditanya.
Dengan letih, Xander menghempaskan tubuhnya di sebelah Aiden, yang sedang duduk di sofa.
Aiden tidak bisa menyembunyikan rasa leganya. Sedikit senyum menghiasi wajahnya.
"Apa kau sekarang akan menjelaskan apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya diinginkan Lord 'yang mulia' itu'?"
Aiden tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak bersikap sarkastik.
"Penjelasan ini akan panjang, karena aku ingin kau mengerti situasinya dengan utuh."
Aiden mengangguk. Xander menarik nafas panjang dan mulai bercerita.
"Lumea, sesuai dengan tradisi, dipimpin oleh seorang raja atau ratu. Untuk alasan keadilan dan mencegah peperangan yang didasari rasa iri, Penguasa tertinggi di Lumea ditunjuk secara bergantian sesuai dengan anasir yang dikuasai. Sua, Nir, Jei dan Zem, berurutan dan bergantian seperti itu."
"Peraturannya adalah, penguasa yang terdahulu, sebelum mereka lengser, biasanya sudah menunjuk penggantinya dari Klan Utama di Lumea."
"Klan utama?"
Aiden berkonsentrasi penuh, sadar cerita Xander masih jauh dari kata akhir. Dia akan menanyakan hal yang belum dimengerti olehnya saat ini juga. Aiden bosan karena selalu merasa tidak mengerti apapun yang terjadi.
"Klan Utama adalah pemimpin untuk masing-masing anasir. Untuk Sua, kau sudah bertemu dengannya, yaitu Klan Vivash. Untuk Jei, Klan Halila. Zem, dikuasai oleh klan Atley, dan Nir adalah Klan Raina."
"Pada saat gilirannya, salah satu keturunan dari klan itu akan memimpin Lumea. Tapi sesuatu yang berbeda terjadi. Hal itu dimulai dari dua puluh tahun lalu."
"Saat itu, setelah Raja dari Zem mundur, dia menunjuk Ratu dari Sua, yaitu Ignatia Vivash. Awal kekuasaannya semua berjalan biasa, Ratu Ignatia penguasa yang baik dan tegas. Synod juga---"
"Apa---"
"Synod semacam dewan yang memberi nasihat dan mengawasi jalannya pemerintahan. Mereka tidak memiliki kekuasaan mutlak seperti Ratu, tapi berhak untuk berpendapat, dan adalah kewajiban bagi Raja/Ratu untuk mendengarkan mereka."
Xander menjelaskan sebelum Aiden selesai bertanya. Sejenak dia memandang Aiden, untuk melihat apakah Aiden mengerti.
Aiden mengangguk, dan memberi tanda kepada Xander untuk meneruskan cerita.
"Synod dan tentu saja rakyat, sangat puas dengan cara kepemimpinan Ratu Ignatia. Terutama karena ratu berhasil menghentikan perang yang telah terjadi selama ratusan tahun."
"Perang? Bukankah tadi pemilihan Raja secara bergantian untuk menghindari situasi perang?"
"Bukan perang sesama bangsa Tyaga, Aiden. Tapi perang antara Tyaga dan Namair. Kau ingat tentang penjelasanku soal banyak dimensi lain selain Lumea?"
"Ya!"
"Bangsa Namair adalah penghuni Dugald, salah satu dimensi yang sangat dekat dengan Lumea. Namair juga sebenarnya pengendali anasir, tapi menurut sejarah, Namair sangat iri dengan keberhasilan Tyaga, karena itu mereka selalu ingin menguasai Lumea. Tapi aku meragukan teori itu, tidak ada yang tahu pasti apa sebenarnya yang menyebabkan perang itu."
Xander mengangkat bahu, dan Aiden juga berpendapat sama. Menurutnya peperangan adalah perbuatan bodoh berjamaah.
"Singkat cerita, Ratu Ignatia berhasil berdamai dengan Namair, dan itu adalah prestasi yang luar biasa. Tyaga berada dalam keadaan damai setelah sekian lama."
Senang mendengarnya.
"Dengan tidak adanya perang untuk dikhawatirkan, Ratu Ignatia mulai memfokuskan diri untuk memperbaiki Lumea. Dan hal itu membuat banyak orang tidak menyukainya."
Aiden mengerutkan dahi. Bukankah itu hal yang bagus? Kenapa mereka tidak suka?
"Tentu saja yang tidak suka adalah, orang-orang yang bersalah. Terutama yang berasal dari Klan Utama. Bukan rahasia jika kadang keluarga Klan bertindak sewenang-wenang."
"Cih... aku tidak perlu menjadi Tyaga untuk tahu mereka adalah sampah!"
Aiden baru bertemu satu orang diantara empat Klan Utama, dan dia sudah bisa membayangkan orang seperti apa mereka semua.
"Jangan salah paham, tidak semua anggota Klan utama buruk. Kau akan sangat terkejut, jika tahu betapa berbedanya Lord Vivash yang terdahulu dengan Lord Dwyer Vivash yang sekarang."
‘Jadi pria memuakkan itu bernama Dwyer? ’
Aiden mengibaskan tangan, "Lanjutkan saja ceritanya," dia malas membahas kekejaman Dwyer lebih dalam lagi.
"Ratu Ignatia dengan berani menghukum setiap anggota Klan utama sesuai dengan kesalahannya, tanpa pandang bulu. Suara dukungan untuknya mengalir dari masyarakat, terutama ketika beliau dengan berani melawan Klan Raina."
Xander kembali tersenyum getir, "Untuk perbandingan nyata, aku akan mengatakan, banyak anggota Klan Raina yang bersifat seperti Lord Vivash."
Aiden mendengus jijik.
"Kau tahu Lumea sebagian besar adalah air? Itu saja sudah membuat mereka di atas angin. Apalagi setelah ditambah fakta perekonomian Lumea ditopang oleh penjualan mutiara. Kaum Nir adalah satu-satunya yang memiliki kemampuan untuk memanen mutiara dari laut. Hal itu membuat mereka semakin besar kepala. Tidak semua, tapi beberapa anggota Klan Raina kadang melampaui batas. Mereka sekali waktu dengan terang-terangan menentang perintah Raja yang bukan berasal dari Nir."
"Puncaknya adalah dua tahun yang lalu. Ratu Ignatia tiba-tiba meninggal. Pernyataan resmi dari Synod, ratu meninggal karena sakit. Hal ini tidak akan menjadi masalah, jika saja sebelum meninggal Ratu telah menunjuk pengganti dari Nir. Tapi Ratu Ignatia tidak pernah menunjuk pengganti sebelumnya."
"Biasanya raja/ratu akan menunjuk penerus segera setelah dinobatkan. Tapi Ratu Ignatia terus menunda, sampai akhirnya beliau meninggal."
"Untuk sesaat para Synod kebingungan, tapi kabar tidak terduga mengemuka. Penerus yang ternyata ditunjuk oleh Ratu secara diam-diam, muncul. Benar dia Nir, tapi berasal dari keluarga biasa, bukan Klan Raina, Keluarga Keandra termasuk terpandang, tapi tetap mereka bukan Klan Utama."
‘Dramatis sekali’
"Raina sangat murka, tapi tidak bisa melakukan apapun. Ratu Ignatia dengan jelas memberi surat kuasa dan juga emblem kerajaan pada Hima Keandra. Mereka tidak bisa mengingkarinya."
"Apakah Hima ini yang sekarang menjadi ratu?"
"Belum, dia belum cukup umur. Saat ini para Synod yang memegang kekuasaan sementara. Tiga tahun lagi, saat Hima berumur dua puluh, dia akan dinobatkan menjadi Ratu Lumea."
"Apa hubunganku dengan semua permainan politik itu?"
"Hmm... untuk menjelaskan itu, kita harus mundur beberapa tahun ke belakang."
Setelah bercerita sepanjang itu, Xander rupanya haus.
Dia menjentikkan jari ke arah gelas yang ada di sebelah ranjang Aiden. Gelas itu dengan pelan terangkat, kemudian melayang ke arah Xander. Dia menggunakan angin untuk menggerakkannya.
"Apa aku harus bertepuk tangan sekarang?" kata Aiden. Kesal dengan pertunjukkan kekuatan itu. Dia sedikit iri.
Xander terkekeh, "Mungkin. Terlihat sangat sederhana bukan? Tapi bagi Jei, menguasai angin dalam skala kecil adalah prestasi mengagumkan. Bagi Jei, semakin besar angin yang kau hasilkan, itu berarti penguasaan anasir-nya sangat payah."
Setelah menghabiskan segelas air, Xander melanjutkan ceritanya.
"Ada hal lain yang membuat Ratu Ignatia berbeda. Saat berkuasa, beliau tidak menikah dan tidak memiliki keturunan. Menjadi masalah, karena ketika tiba lagi giliran Sua untuk menjadi raja/ ratu, tidak ada kandidat terkuat yang bisa ditunjuk oleh kaum Zem. Karena biasanya, penerus anak dari raja/ratu di siklus sebelumnya akan menjadi kandidat terkuat."
"Karena tidak adanya keturunan Ratu Ignatia, otomatis kandidat terkuat yang akan ditunjuk adalah putra dari Lord Vivash, Amery, yang merupakan keponakan dari Ratu Ignatia."
"Mereka kakak adik?!"
Aiden sangat heran, bagaimana bisa kakak adik begitu berbeda sifatnya? Dari cerita Xander, Ratu Ignatia terdengar sebagai sosok yang luar biasa, sementara adiknya pecundang kejam yang payah.
Xander mengangguk,"Ya, karena itu aku mengatakan Lord Vivash yang terdahulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Dia berhasil mendidik Ignatia Vivash menjadi ratu yang hebat dan sangat disegani. Tapi mungkin dia kurang memperhatikan anak lelakinya."
"Hmpp..... kurangnya perhatian membuatnya jadi jahat?! Menggelikan sekali. Berhentilah mencari alasan untuk membenarkan tindakannya."
Xander hanya tersenyum mendengar peringatan Aiden.
"Begitulah, Lord Vivash akhirnya berkesempatan untuk menjadikan anaknya seorang raja, atau minimal garis keturunannya. Tapi karena status keluarga Keandra yang sangat lemah, Synod memutuskan untuk menikahkan anak dari Lord Vivash dan Hima. Dengan harapan, kedudukan keluarga Keandra menjadi lebih kuat. Lord Vivash sebenarnya menentang habis-habisan usul ini. Tapi Synod telah memutuskan, dan akan lebih menguntungkan baginya jika dia menurut."
"Tidakkah itu aneh? Kenapa dia harus menentang? Bukankah dengan pernikahan itu keturunannya tetap bisa menjadi kandidat calon raja?"
Aiden mengernyit bingung, dia mencoba membolak-balik penjelasan Xander di otaknya, mencari sesuatu yang mungkin terlewat.
"Memang terlihat menguntungkan bagi Vivash, tapi ada kelemahannya. Yang pertama, karena Keandra bukan dari klan utama. Yang kedua, Pernikahan antar anasir akan menghasilkan keturunan mengikuti gen ayah atau ibunya, itu berarti kemungkinan Ratu Hima akan melahirkan anak Nir dan Sua. Tapi jika anak yang dilahirkan Ratu Hima semuanya Nir, berarti Amery akan kehilangan hak untuk menjadikan keturunannya menjadi calon Raja. Hak itu otomatis akan beralih ke sepupunya, Ember."
"Lord Vivash tidak bisa menggantungkan masa depannya pada sesuatu yang belum pasti. Karena itu, dia ingin mengirimmu untuk menggantikan anaknya menikah dengan Ratu Hima!"
"Itu rencana sinting!!! Bagaimana-----"
Aiden kehilangan kata-kata, dia mulai menggaruk kepala yang tidak gatal, mengusap wajah, sampai menarik-narik rambutnya.
Tapi penjelasan Xander membuatnya mengerti konteks perkataan Vivash tadi malam. Dia menghina calon Ratu itu, kemudian menyebut kata suami. Rupanya ini yang dimaksud olehnya.
"Bagaimana bisa? Aku bukan Vivash, dan yang pasti aku masih lima belas tahun. Aku tidak bisa menjadi suami siapapun!"
Setelah berpikir agak lama, Aiden mulai panik. Dia harus menikah dengan seseorang untuk menyelamatkan Nilam.
MENIKAH!
'‘MENIKAH!--? Itu gila, aku bahkan belum pernah berdekatan dengan gadis manapun dalam jarak satu meter dan kini aku harus menikah? ’
"Kau akan menikah tiga tahun lagi, saat kau berumur delapan belas, dan ratu Hima berumur dua puluh. Bukan sekarang!" kata Xander.
‘Tiga tahun lagi? Itu sebentar ’
Dan Aiden merasa waktu tiga tahun, tidak akan menambahkan apapun pada pengetahuannya soal pernikahan.
Xander meneruskan penjelasannya, seolah tidak peduli dengan kepanikan Aiden.
"Lord Vivash berencana untuk mengakuimu sebagai anaknya yang kedua. Selama ini orang memang jarang mengenal keluarga Lord Vivash, karena perhatian khalayak ramai, terfokus pada Ratu Ignatia. Dia sudah mempersiapkan skenario, jika selama ini kau tersembunyi karena sakit-sakitan. Dengan begitu, Amery dan keturunannya bisa tetap menjadi kandidat calon raja. Tidak perlu menunggu anak Sua yang lahir dari Ratu Hima."
Xander mengakhiri penjelasannya dengan menatap Aiden yang kini menutup wajahnya dengan tangan, karena putus asa. Harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan Nilam, sangat mahal.
Xander menarik nafas panjang.
"Dan rencana itu sangat sempurna, karena belum pernah ada yang melihatmu di Lumea. Jika dia mengaku-aku tyaga lain yang pernah ada di Lumea, bisa jadi ada seseorang yang akan mengenalinya, dan rencananya akan terbongkar. Tapi tidak ada yang mengenalmu di Lumea. Resiko rencana ini untuk gagal atau bocor sangat kecil, selama kau dan aku tidak mengatakan apapun."
Xander sangat sadar, rencana itu tidak adil untuk Aiden. Dan dia ikut ambil bagian dalam rencana itu, karena telah membawa Aiden kesini. Kini dia merasa bersalah.
"Maafkan aku, Aiden!" bisik Xander sambil mengusap punggungnya.
"Jika kau menyesal, kenapa kau masih mau melayani orang semacam itu?!"
Aiden tak habis pikir, Xander memiliki pribadi yang sangat baik, dia tidak cocok melayani orang sebengis Dwyer.
"Karena aku juga tidak memiliki kebebasan untuk menentukan. Ini adalah tugas yang diberikan padaku oleh Ratu Ignatia, dan aku telah bersumpah untuk melaksanakannya dengan sepenuh hati."
"Sumpah? Kenapa kau? Kau mengenal Ratu Ignatia dengan baik?" tanya Aiden bertubi-tubi.
Xander menggeleng, "Kau salah paham!"
"Arch adalah pekerjaan, Aiden. Emm.. di bumi mungkin seperti pegawai pemerintah. Aku dan banyak orang lain mengikuti seleksi, kemudian setelah lulus, kami mendapatkan tempat penugasan. Dan tempat penugasanku adalah menjadi Arch Lord Vivash."
"Nasibmu buruk sekali."
"Sebenarnya tidak, karena seperti yang aku bilang, Lord Vivash yang sebelumnya sangat baik. Nasib burukku baru dimulai sekitar tujuh tahun lalu, saat dia meninggal."
"Tidak bisakah kau mengundurkan diri?"
"Arch adalah pekerjaan seumur hidup. Arch akan diganti, jika aku mati, menjadi tua dan tidak bisa bertarung lagi, atau jika aku melakukan kejahatan."
Aiden mendecak, jika menjadi Xander, dia tidak akan memilih pekerjaan itu.
"Arch adalah pekerjaan terhormat, Aiden. Gaji dan tunjangan yang aku terima cukup besar. Dan walaupun tidak semewah rumah ini, aku juga memperoleh tempat tinggal yang lebih dari layak."
"Tetap saja!" Aiden kembali bersungut-sungut.
"Apa yang harus aku lakukan, Xander? Tak adakah cara lain untuk menyelamatkan Nilam?" Aiden sadar, dia sudah terpojok.
Xander menggeleng pelan.
"Dengarkan aku Aiden!" suara Xander tiba-tiba berubah menjadi sangat serius.
Aiden menoleh memandangnya, dan mata mereka bertemu.
"Aku berjanji dengan seluruh hidupku, akan menjaga Nilam agar dia bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan baik. Aku akan memastikannya. Apakah kau percaya padaku?"
"Aku percaya padamu Xander! Tapi aku tidak percaya pada Lord itu!"
Aiden dengan mudah akan percaya pada Xander, tapi lain cerita dengan Dwyer.
"Aku berhasil meyakinkan Lord Vivash, untuk menitipkan Nilam pada salah satu manusia yang menjadi temanku. Aku jamin, dia akan merawat Nilam dengan baik, Nilam tidak akan kekurangan satu apapun saat bersama mereka. Tapi kau tidak bisa bertemu dengannya lagi setelah ini, Nilam tetap berada di bawah pengawasan Lord Vivash, untuk memastikan kau melakukan tugasmu dengan baik."
Tentu saja! Tentu saja Lord bengis itu akan menggunakan Nilam untuk memerasnya. Aiden menutup mata, menahan diri untuk tidak mengumpat.
"Aku menyarankan kau menerima ide ini. Kau mungkin berpisah dengan Nilam, tapi dia akan baik-baik saja."
"Diamlah!"
Aiden tidak tahan mendengar Xander berusaha memuluskan jalan rencana Dwyer. Tapi sebenarnya dia tahu, hanya satu pilihan yang tersisa untuknya.
"Apakah aku bisa menghubungi Nilam?"
"Lebih baik tidak, Nilam sudah tenang saat aku meninggalkannya. Dia akan kembali menangis jika mendengar suaramu. Aku mengatakan padanya, kau akan pergi jauh, untuk menyembuhkan kakimu. Dia terlihat ragu. Tapi kemudian patuh dan bersedia tinggal di rumah sahabatku itu."
Aiden mendesah dan menyandarkan punggungnya di sofa. Nilam gadis pintar, dia mungkin tidak akan percaya begitu saja alasan Xander. Tapi Nilam menahan diri.
"Jika aku sedang bertugas ke bumi, aku akan menengok dan memberimu kabar tentang keadaannya. Aku berjanji!"
Aiden hanya bisa mengangguk. Dia benar-benar berharap Nilam akan bahagia dan akan tumbuh normal seperti anak perempuan lain.
"Jika aku menerima perjanjian ini, Apa yang akan terjadi setelahnya?"
"Aku akan membawamu ke Lumea, kau akan berlatih menjadi Tyaga dalam waktu tiga tahun ini. Jangan khawatir, aku sendiri yang akan melatihmu. Lord Vivash tidak bisa mengambil resiko dengan menugaskan orang lain."
"Aku tyaga gagal, jadi tidak perlu berlatih," kata Aiden ketus. Anasirnya lemah.
"Ah... soal itu. Lord Vivash salah besar! Kau bukan gimp."
"Apa itu---"
"Gimp adalah tyaga dengan kemampuan pengendalian anasir yang buruk. Biasa diderita oleh keturunan dari pernikahan antar saudara dekat. Pada jaman dulu hal ini sering terjadi, karena semua keluarga ingin menghasilkan keturunan anasir mereka sendiri. Tapi sekarang hal itu terlarang, tapi tidak menghentikan beberapa praktek yang dilakukan dengan diam-diam. Jumlah gimp sudah menurun drastis, tapi bukan berarti mereka tidak ada."
Aiden mengerti, karena hal itu kurang lebih sama dengan manusia. Pernikahan dengan saudara dekat akan menghasilkan keturunan dengan resiko kelainan genetik yang besar. Dia sudah mempelajarinya di sekolah.
Jadi pada tyaga kelainan genetik itu berupa gangguan kekuatan anasir dan disebut gimp?
"Jika Sua dengan Sua menikah akan menghasilkan Sua? Tapi jika Sua dan Nir menikah, keturunan mereka bisa jadi Nir atau Sua? Karena itu mereka menikah dengan saudara mereka sendiri?" tanya Aiden.
Aiden mencoba lebih mengerti soal ini, karena tiga tahun lagi dia akan menikah!
Xander mengangguk, "Karena itu, tyaga jaman dulu cenderung menikahkan anaknya dengan saudara dekat, jadi Sua akan selalu menikah dengan Sua, kemudian mempunyai keturunan Sua, dan seterusnya."
"Menjijikkan!!"
"Memang, dan aku senang peraturan yang melarang hal itu sudah dibuat. Karena kehidupan sebagai gimp sangat menyedihkan."
"Apakah karena itu kau tidak pernah menyebutku sebagai gimp, walaupun kau tahu aku tidak bisa menggunakan anasir?" tanya Aiden.
"Karena menurutku adalah terlalu dini untuk menyebutmu sebagai gimp. Aku berharap kau memiliki kondisi khusus, yang lain, dan tebakanku benar."
"Benar? Apa maksudmu?"
"Ini!"
Xander menyibak rambut di leher Aiden, kemudian melambaikan telapak tangannya pada jarak sekitar lima senti di atas leher Aiden.
"AAGH!"
Aiden berseru karena tiba-tiba lehernya berdenyut sakit, "Apa yang kau lakukan?"
"Rasa sakit itu, karena signet-mu bereaksi pada anasir Jei milikku."
"Apa itu?"
"Signet adalah segel anasir. Signet akan mengunci kekuatan anasir Tyaga. Karena itu keberadaanmu tidak terdeteksi dan anasir-mu tidak muncul. Siapapun yang menaruh segel itu, memang bertujuan agar kau tidak pernah ditemukan."
"Segel? Apakah bisa dibuka?" Aiden sedikit berharap.
"Sayang sekali, aku tidak bisa membukanya. Signet itu dibuat oleh Sua, dan hanya Sua yang bisa membukanya.”
"Tak bisakah kita meminta bantuan orang lain?" Aiden menggosok lehernya dengan jengkel.
Dengan kemampuan pengendalian anasir, dia akan merasa lebih aman saat di Lumea.
"Tidak bisa, karena biasanya Signet diberikan pada tahanan dengan perbuatan kriminal berat! Jika keberadaan signet itu diketahui, kau akan dijebloskan ke penjara langsung tanpa pertanyaan, atau lebih buruknya, kau akan dibunuh karena dianggap sebagai kriminal yang kabur."
"Kriminal?!" Kejutan lain untuk Aiden.
Pikiran bodoh yang terlintas pertama kali di benak Aiden adalah, dia belum pernah melakukan kejahatan. Tapi kemudian sadar, dia sudah merasakan sengatan rasa sakit ini sejak kecil. Tidak mungkin dia melakukan perbuatan kriminal keji saat berumur dua tahun bukan?
"Aku sangat penasaran sekarang, siapa yang menyegel kekuatanmu? Dan kenapa? Kenapa keberadaanmu harus disembunyikan?" gumam Xander, bingung.
Aiden hanya bisa menggeleng. Ingatan itu tidak pernah ada di kepalanya.
"Sejak kecil leherku sering mendadak sakit, apakah karena itu juga?"
Xander berpikir sejenak.
"Signet seharusnya diperbaharui dalam jarak waktu tertentu, sehingga anasir akan tersegel sempurna. Tapi jelas signet-mu tidak pernah tersentuh lagi sejak hari pertama dibuat. Aku memperkirakan rasa sakit itu berasal dari anasir-mu yang mendesak ingin keluar."
Rasa sakit itu sering menyiksanya saat dia lemah, bisa jadi teori Xander benar.
"Maaf, pengetahuanku soal Signet sangat minim. Di Lumea, signet adalah hal yang terlarang untuk di bahas. Hanya Raja/Ratu dan juga Suze -- Panglima-- yang tahu dengan detail. Hanya mereka yang berhak menjatuhkan hukuman Signet."
Aiden semakin tidak suka dengan fakta itu, misteri asal-usulnya terlihat semakin hitam.
"Signet itu juga yang membuatku sedikit mendukung rencana Lord Vivash, dengan berada di Lumea mungkin kita bisa menemukan jawaban nantinya," lanjut Xander.
"Aku tidak percaya kau masih bisa menarik kebaikan dari rencana busuk itu!" bentak Aiden, galak.
"Apalagi yang bisa aku lakukan? Aku belajar untuk berpikir lebih positif setelah bekerja di bawah Lord yang baru. Aku mencoba untuk tetap waras," Xander tersenyum masam.
"Kapan aku akan ke Lumea?"
"Setelah kakimu sembuh, kemudian Lord Vivash akan memperkenalkanmu secara khusus pada keluarga Keandra dan bertemu dengan calon Ratu Hima."
"Oh... luar biasa, sangat luar biasa," Aiden bertepuk tangan pelan.
"Itu sarkasme bukan?" Xander bertanya dengan ragu.
Aiden melotot memandangnya. Tentu saja itu sarkasme!!!
"Mmmmm---sedikit kabar baik. Hima gadis yang baik serta pendiam. Dan mungkin cantik."
"Mungkin cantik? Penilaian macam apa itu?"
Sebenarnya Aiden tidak peduli bagaimana rupa Hima, jika bisa, Aiden ingin membatalkan perjodohan politik yang konyol ini.
"Aku hanya pernah melihatnya sekali saat dia berumur dua tahun. Dan menurutku, saat itu dia lucu dan cantik."
Aiden mendesis, penilaian Xander tidak valid.
Rasa sayang Xander pada Nilam, tumbuh hanya dalam waktu kurang dari seminggu. Xander jelas menganggap semua anak perempuan cantik dan lucu.
<< LATER >>
LUMEA
Rambutnya hitam panjang, kulitnya kuning langsat dan sedikit pucat. Aiden langsung berpikir dia perlu sedikit berjemur. Aiden ingin melihat wajahnya dengan lebih baik, tapi gadis itu terus menunduk, bersembunyi di belakang ibunya.
"Maafkan kami, Hima sedikit pemalu."
Ibunya menarik gadis itu, agar posisinya lebih ke depan. Tapi dia terus menunduk, Aiden tetap tidak bisa memandang wajahnya.
"Ah —itu hal biasa, siapa saja akan malu jika bertemu dengan calon suaminya. Aku rasa Aiden juga malu, bukan demikian?" tanya Dwyer, sambil memandang Aiden.
Aiden membenci Lord itu sampai ke dalam tulang. Sangat berbeda dengan saat mereka hanya berdua, topeng wajah bengisnya sama sekali tidak terlihat.
Dia bisa memuji Hima dengan lancar, padahal tadi sebelum mereka berangkat, dia menyumpahinya agar segera mati.
Aiden melirik Xander yang rupanya sadar Aiden sedang melihatnya. Xander menggeleng dengan sangat samar, menyuruh Aiden untuk menahan diri.
Maka Aiden hanya mengangguk, mengikuti sandiwara Vivash.
Kedua orang tua Hima tertawa melihat reaksi Aiden yang mungkin di mata mereka terlihat malu-malu, tebakan yang sangat salah.
Aiden merasa kasihan kepada kedua orang tua itu. Dwyer sedang menipu mereka mentah-mentah. Mereka sama sekali tidak terlihat curiga. Mereka terus tersenyum dan menimpali semua kata-kata Dwyer dengan ramah.
Mereka berdua berasal dari jenis yang sangat berbeda dari Dwyer. Aiden membayangkan Hima tumbuh dalam keluarga normal yang hangat dan bahagia. Aiden sungguh tidak bisa menebak alasan Ratu Ignatia menunjuk Hima yang masih belia menjadi penggantinya.
Setelah sederet basa-basi tidak penting, mereka kemudian mempersilahkan semua tamu untuk duduk.
Aiden mengambil tempat di sebelah wanita yang semestinya adalah ibunya.
Wanita itu sedingin es padahal dia Sua, Aiden akan lebih mudah percaya jika dia sebenarnya Nir. Sikapnya sangat dingin.
Dia sangat memuja Amery, dan hanya terlihat hidup saat mereka ada di ruangan yang sama.
Aiden kembali memusatkan perhatian pada Hima, mengabaikan obrolan tidak jelas para orang tua di meja. Tapi seperti tadi, gadis itu terus menunduk.
"Bagaimana jika kalian berjalan-jalan di luar berdua saja? Agar bisa lebih saling mengenal."
Ibu Hima tiba-tiba memberi usulan liar. Rupanya dia melihat usaha Aiden untuk mengintip wajah Hima.
Aiden sudah akan menolak, tapi Xander yang kini ada di belakangnya, memberi senggolan kecil di punggung. Memperingatkan.
Dengan malas, Aiden akhirnya mengangguk. Wajah Ibu Hima langsung cerah.
"Hima, ajaklah Aiden keluar, kau lebih mengenal tempat ini," katanya.
Tempat pertemuan mereka berada adalah sebuah restoran mewah yang rupanya milik orang tua Hima. Mereka keluarga kaya raya.
Ayahnya bergerak, menarik Hima agar berdiri.
Tanpa mengeluarkan suara, Hima berdiri kemudian membuka pintu dengan sedikit berisik, lalu keluar.
Aiden bangkit, hanya setelah Xander kembali menyenggol punggungnya. Setelah menunduk menghormat, Aiden mengikuti Hima keluar.
"Aiden sopan sekali, dia juga terlihat dewasa. Padahal baru berumur lima belas tahun."
Pujian ibu Hima masih tertangkap oleh telinga Aiden, dan dia mendengus.
Sejak awal, Aiden bukan anak yang kasar, apalagi setelah sebulan ini, dia menyerap dengan cepat pelajaran tata krama Tyaga dari Xander. Sikap sopannya menjadi mulus tanpa cela.
Aiden bingung ketika lorong yang dijelajahinya bercabang, tidak tahu Hima menghilang ke arah mana.
Tapi kemudian, dia melihat kelebatan gaun putih yang di pakai Hima, bergerak menuju taman, di sebelah utara restoran.
Aiden mengikutinya secepat yang dia mampu. Kakinya belum seratus persen pulih, saat berjalan cepat seperti ini Aiden masih sedikit pincang.
Hima berhenti di bawah pohon dengan daun yang mulai bersemi. Dia berdiri membelakangi Aiden dan diam.
Aiden juga diam, dia sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Ini pertama kalinya dia harus bertemu dengan seseorang dalam situasi canggung seperti itu.
Lima menit berlalu, Hima sama sekali tidak bergerak, dan Aiden mulai gelisah. Pergelangan kakinya masih butuh istirahat, jadi belum mampu berdiri untuk waktu lama.
Aiden bergerak menghampiri kursi yang ada di dekat kolam, tidak jauh dari Hima.
"Siapa sebenarnya kau?!"
Baru sedetik Aiden menempelkan pantatnya pada kursi, suara Hima terdengar. Suara itu bernada sangat dingin.
Sesaat Aiden terperangah, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Aiden kemudian memandang Hima yang kini telah berbalik.
Penilaian Xander ternyata tidak terlalu meleset. Dia mungkin cantik.
Mata Hima yang sedang melebar sempurna, ternyata berwarna ungu gelap, warna mata yang tidak pernah dilihat Aiden di bumi. Sangat serasi dengan rambutnya yang hitam.
Hidungnya juga sempurna, mancung sedang, membawahi bibir yang menipis merah jambu.
"Aiden Vivash," jawab Aiden, setelah pulih dari kekagetan.
Hima tersenyum sinis mendengar jawaban itu.
"Dan kau lahir dari batu? Setahuku Madam Vivash hanya memiliki Amery."
"Kau salah, Ibu mengandungku seperti biasa, dan karena kesehatanku yang buruk, ayah tak pernah memperkenalkanku secara resmi pada masyarakat," jawab Aiden, tegas. Sesuai dengan apa yang telah dilatihnya.
Hatinya sedikit sakit saat Hima menyebutnya lahir dari batu. Dia memang tidak pernah tahu siapa ibunya.
Dan siapa tadi yang menyebut gadis ini pemalu?
Dia salah. Jika gadis itu pemalu, maka Aiden adalah seorang malaikat yang suci. Mata ungu yang memandang Aiden jauh dari kata malu. Mata itu tajam dan penuh perhitungan.
"Lord Vivash mungkin bisa menipu semua orang dengan cerita itu, tapi aku tidak. Dengan sifatnya itu, dia tak mungkin merelakan seorang Vivash menikah dengan Keandra."
Dan Aiden terkesan. Ternyata dia bukan gadis naif yang mudah tertipu dengan sandiwara Vivash rupanya.
"Terserah kau bilang apa, aku Aiden Vivash."
Aiden kemudian bangkit, dan berjalan kembali menuju ruangan tempat 'orang tuanya' berada.
"Kenapa kau pincang?" cecarnya, saat melihat Aiden berjalan, dengan kaki yang tidak seimbang.
"Bukan urusanmu!" balas Aiden.
Dia sungguh tidak ingin bertengkar, tapi nada suara ketus dari gadis itu, membuatnya jengkel. Dia juga tidak menyukai ide pernikahan konyol ini. Jika dia memang keberatan, lebih baik dia mengatakannya pada kedua orang tuanya.
Namun Aiden tidak mungkin mengatakan pemikiran itu padanya. Jika pernikahan ini gagal, kesempatan Aiden untuk bertemu Nilam lagi akan semakin kecil. Maka dengan langkah tertatih, Aiden meninggalkan taman itu, menghindari amukan gadis bermata ungu, yang kini memandang punggungya.
Aiden merasa tidak perlu lagi berpanjang lebar, karena sebenarnya dia merasa khawatir, bisa-bisa identitasnya terbongkar jika gadis itu terus bertanya.
Sebelum pertemuan ini, Aiden sempat mengira, Hima adalah gadis penurut yang pemalu. Karena dia mau begitu saja menerima perintah dari Synod. Tapi rupanya Aiden salah besar.
Kilatan di mata itu, menjadi pertanda Hima bukan gadis biasa. Aiden tidak bisa meremehkannya.
Aiden tersenyum getir, pernikahannya akan menjadi sangat menarik. Calon istrinya membenci dirinya, hanya dalam waktu sepuluh menit setelah mereka bertemu.
Indah sekali!
TIGA TAHUN KEMUDIAN
<< CONFUSION >>
Lumea mengalami pagi yang sejuk, matahari memancarkan kehangatan seperti yang seharusnya. Membuat sisa-sisa salju yang masih belum hilang, meleleh, meneteskan air di rerumputan.
Musim semi telah datang, kurang lebih seminggu lalu. Dan seperti biasa, pekerja dari Kantor Cuaca beberapa hari ini sibuk menyesuaikan suhu yang telah dipesan.
Iklim Lumea kurang lebih sama seperti bumi di bagian subtropis yang memiliki empat musim. Tapi dengan pengendalian anasir, mereka bisa mengubah cuaca di tempat yang dipilih, sebagaimana yang diinginkan.
Selama musim dingin kemarin, seperti biasa, pesanan untuk iklim hangat membludak. Sampai-sampai divisi Sua yang menanganinya, harus bekerja lembur hampir setiap hari. Tapi itu akan segera berakhir, saat musim semi dan musim panas tiba, mereka akan mulai berlibur panjang. Giliran Nir dan Jei yang akan bekerja keras. Terutama Nir, hujan es dan salju lokal adalah cuaca pilihan favorit saat musim panas.
Semua itu tidak gratis tentu saja.
Harga yang dipatok untuk memesan cuaca, sangat bergantung pada durasi dan juga luasnya daerah yang diinginkan.
Yang paling murah adalah durasi satu jam dengan cakupan luas 20 meter persegi. Cukup untuk acara kencan romantis atau sekedar berpiknik.
Yang paling hebat, tentu saja pemesanan cuaca dari Klan Utama, biasanya mereka memesan pengaturan cuaca dalam skala besar saat musim yang menjadi kelemahan anasir mereka tiba.
Seperti Klan Vivash. Saat musim dingin kemarin, mereka tanpa ragu memesan cuaca hangat musim semi, selama beberapa bulan untuk seluruh wilayah hunian Klan mereka, seluas ribuan meter persegi.
Setelah musim semi tiba seperti sekarang, para pekerja kantor cuaca kembali mengatur suhu dan juga kelembaban. Untuk musim semi dan musim panas, Klan Vivash akan menggunakan iklim asli.
Mereka tidak membutuhkan pelayanan kantor cuaca selama musim yang hangat.
Jadi pagi itu, puluhan pekerja divisi Sua dari kantor cuaca, bertugas mematikan alat pengatur cuaca yang biasa disebut Dogu.
Dogu itu yang terus memancarkan udara hangat untuk menjaga cuaca musim semi. Dogu yang terpasang di sekeliling wilayah Klan Vivash berjumlah ratusan, melayang enam meter di atas tanah, dengan selisih jarak antar dogu adalah dua meter. Dengan begitu, tidak ada salju yang turun di seluruh wilayah Klan Vivash.
Dogu akan terus berada di sana, sampai nanti Klan Vivash memesan udara hangat saat musim dingin nanti.
Seorang pemuda yang berada dalam ruang perpustakaan, memandang kesibukan mereka dengan mata biru tajam, dari balik jendela.
Pena kuno yang ada di tangannya sudah berhenti bergerak, sehingga tintanya menggumpal membentuk noda hitam di kertas berwarna buram, yang baru ditulis setengah halaman.
Lumea mungkin lebih maju dalam hal cuaca, tapi dalam bidang tulis menulis, mereka masih memakai jenis yang ketinggalan jaman.
Pemuda itu melihat dengan rasa iri setengah mati, saat Tyaga Sua yang bertugas tidak jauh dari tempatnya berada, melayang enam meter di atas tanah, dengan ahli membuat penyesuaian pada dogu yang berbentuk bulat pipih itu.
Pengendalian anasir-nya sangat sempurna. Pekerja itu mengendalikan udara hangat dalam kadar yang pas, membuat tubuhnya melayang dengan tenang.
Tidak seperti Jei yang bisa terbang kemana saja, Sua dengan pengendalian anasir sempurna hanya bisa melayang seperti itu, tetap tidak bisa terbang dengan cepat.
Tetap saja kemampuan itu, membutuhkan keahlian yang tidak main-main. Kebanyakan Sua tetap membutuhkan bantuan Jei untuk melayang, tapi pekerja yang satu itu bisa melakukannya sendiri.
"Apa yang kau lihat sampai wajahmu terlihat menyeramkan seperti itu?"
Pemuda lain yang berambut coklat kemerahan menjulurkan lehernya dengan penasaran. Ezra, putra dari Xander, berwajah sangat mirip dengannya, hanya warna rambutnya berbeda.
Aiden menunjuk pada pekerja, yang kini berpindah pada dogu lain dengan melayang pelan.
"Dia hebat sekali, tidak perlu Jei untuk membantunya melayang."
"Ah.... Mr. Clyde? Dia kepala divisi Sua di Kantor Cuaca. Tentu saja anasir-nya sangat sempurna."
"Kepala divisi?"
Ezra mengangguk, "Ayah mengenalnya, aku rasa mereka dekat."
Aiden mengernyit sebentar, berpikir keras. Tapi kemudian dia sadar Ezra masih memandanginya.
"Ada apa?"
Ezra menepuk wajah Aiden dengan main-main.
"Kau lupa kita akan keluar hari ini?"
Aiden membelalakkan mata, karena memang melupakan rencana itu. padahal dia sudah menunggu hari ini datang!
"Ah... Tapi–," Aiden melirik ke sekitar ruangan perpustakaan
"Jangan khawatir, ayah sudah berangkat bersama Lord Vivash. Dan Ibu sedang berkunjung ke rumah bibi. Mereka berdua tidak akan kembali sebelum gelap."
Mendengar itu, Aiden segera beranjak menuju gantungan mantel, membiarkan Ezra membereskan buku dan kertasnya tadi. Ezra menyelipkan buku yang dibaca Aiden pada rak buku terdekat.
Selesai bersiap, mereka berdua keluar meninggalkan perpustakaan.
Tidak lupa Aiden menutup kepalanya dengan hood. Dia seharusnya tidak boleh keluar dari lingkungan Klan. Jika ada yang melaporkan kepergiannya, Ezra akan mendapat masalah.
Mungkin bukan dari Xander, tapi dari Lord junjungannya itu.
Mereka berdua berjalan cepat di balik semak, menghindari penjaga yang sibuk mengawasi Tyaga Sua mengurus dogu-nya. Situasi hari ini, memang saat yang sangat sempurna bagi mereka untuk menyelinap keluar.
Tidak ada yang mengawasi keberadaannya seperti hari-hari biasa. Dia bisa bergerak sedikit bebas.
Aiden selama tiga tahun ini, tinggal di satu rumah kecil yang terletak tak jauh dari tempat tinggal Xander. Hal itu untuk mempermudah pengawasan, karena asal-usul Aiden harus dirahasiakan.
Aiden tidak benar-benar dikurung, karena sebenarnya dia bebas berkeliaran ke seluruh wilayah Klan Vivash, selama didampingi oleh Xander.
Keterbatasan itu yang membuatnya sebal. Masalahnya Xander sangat sibuk, jika tidak sedang mengajar Aiden, biasanya dia mempunyai tugas lain. Xander tidak punya banyak sisa waktu untuk menemaninya kemanapun.
Akhirnya dia hanya bisa bergaul dengan keluarga Raye. Aiden biasanya menghabiskan waktu dengan Ezra, jika tidak sedang belajar. Seperti kata Xander, walaupun Aiden lebih tua darinya, mereka berdua sangat cocok. Tapi Ezra adalah pelajar, dia lebih sering tidak berada di rumah, karena sibuk di sekolah.
Tanpa mempunyai banyak pilihan, Aiden hanya bisa berkunjung ke perpustakaan, karena memang letaknya hanya di depan rumah Xander.
Untunglah Aiden cukup menyenangi kegiatan membaca. Dan karena bahasa Lumea tidak jauh berbeda dengan bahasa Inggris di bumi, Aiden bisa dengan mudah mengerti literasi Lumea.
Menurut Xander, bahasa dan abjad latin yang sekarang dipakai oleh manusia secara luas, sebenarnya berasal dari Lumea. Manusia menyadurnya, setelah Tyaga melakukan kontak dengan manusia beberapa ribu tahun lalu.
Kebiasaannya membaca, membuat pengetahuan umumnya soal Lumea berkembang pesat. Aiden sangat takjub dengan keadaan Lumea yang sangat berbeda dengan bumi. Dia sangat ingin melihat seluruh penjuru Lumea dengan mata kepalanya sendiri. Menjelajah dan berpetualang,
Namun meski keinginan menjelajah Aiden begitu menggebu, tetap ada satu tempat yang tidak ingin Aiden kunjungi, yaitu rumah utama.
Jika tidak dipanggil, Dwyer dengan jelas melarangnya ke sana. Dan mutual, Aiden sama sekali tidak berkeinginan mendekati rumah itu.
Rumah itu memberinya rasa mual tidak berkesudahan. Selain karena keberadaan Dwyer, penghuni lain yaitu Amery dan juga Ibunya, memperlakukan Aiden seperti makhluk tak kasat mata.
Selama tiga tahun di sana, baik Amery maupun ibunya belum pernah berbicara atau menyapanya secara langsung. Mereka tahu benar apa rencana Dwyer membawa Aiden ke Lumea, dan kemungkinan besar mereka menyetujui rencana itu. Karena Aiden tidak pernah melihat mereka melontarkan kata keberatan.
Beberapa pelayan sering bergosip soal sikap aneh mereka berdua pada Aiden.
Tapi tangan kejam Dwyer memastikan tidak ada gosip aneh soal Aiden yang menyebar ke luar lingkungan Vivash. Mereka semua berada dalam kendali Dwyer seutuhnya.
Sesuai dengan sifatnya, Dwyer memperlakukan semua bawahannya seperti sampah. Tanpa ragu menghukum salah satu bawahannya dengan cambuk api, hanya karena kesalahan sepele. Beberapa bulan lalu, Aiden menyaksikan bagaimana Dwyer menghukum salah satu pelayan karena menyenggol Amery saat mengangkat barang bawaannya.
Bisa dibayangkan hukuman apa yang dijatuhkannya, jika salah satu pelayan ketahuan bergosip soal Klan Vivash di luar.
Dominasi dan kekejaman Dwyer membuat Aiden muak. Jika tidak sangat terpaksa, Aiden sangat malas bertemu Dwyer.
Sambil merunduk di balik semak dan pohon, dengan lancar Ezra dan Aiden menghindari para penjaga. Mereka menyelinap keluar dengan sukses, melalui celah yang terdapat di pagar perbatasan paling timur pemukiman.
"Ssshh..."
Aiden sedikit mendesah ketika keluar dari wilayah Klan, karena signet yang di lehernya mendadak sakit. dia lupa soal ini.
Dengan kesal, Aiden menggosok lehernya untuk mengurangi nyeri.
Jika dulu Aiden hanya merasa sakit saat tubuhnya lemah, sekarang dengan banyaknya anasir yang ada di sekitarnya, rasa sakit itu bisa mendadak datang, kadang tanpa sebab yang jelas.
Tapi untuk rasa sakit tadi Aiden tahu penyebabnya. Karena dia sudah keluar dari wilayah klan yang penuh dengan anasir Sua dari dogu.
enurut Xander, signet-nya menjadi jauh lebih sensitif seiring bertambahnya usia Aiden. Sangat gampang terpengaruh dengan keadaan anasir aktif yang ada di sekitarnya. Bukan kabar yang bagus, karena Lumea penuh dengan anasir yang sangat aktif di kendalikan Tyaga.
Kadang rasa sakit itu hanya ringan seperti tadi. Tapi Aiden tidak akan melupakan rasa sakit yang menimpanya saat pertama kali datang ke Lumea.
Selama lima belas tahun di bumi, dia tidak pernah berdekatan dengan anasir aktif. Terpapar anasir Lumea secara langsung dan tiba-tiba, membuat lehernya seolah putus.
Aiden sampai tidak tahan untuk tidak menjerit, menyebabkan Tyaga yang bekerja di portal masuk Lumea menjadi curiga.
Masih bagus mereka bisa lolos setelah Xander menunjukkan emblem Vivash. Emblem itu membuat petugas portal tidak banyak bertanya pada Xander soal dirinya.
Aiden hanya bisa mengerang kesakitan dan mengalami demam tinggi selama hampir seminggu setelah kedatangannya ke Lumea.
Keadaan signet Aiden membaik setelah demam selama kurang lebih lima hari. Tebakan Xander signet-nya mulai terbiasa dengan anasir Lumea.
Yang paling membuat Aiden lega, Dwyer tidak terlalu curiga saat Xander memberi alasan, jika sakitnya Aiden, berasal dari luka di kakinya yang memburuk. Dengan begitu, Aiden masih bisa menyembunyikan fakta soal signet itu dari Dwyer. Xander tidak bisa memprediksi bagaimana reaksi Dwyer jika dia sampai tahu soal signet itu, mereka dengan otomatis merahasiakan hal itu.
Saat ini, selain mereka berdua, hanya Moza - istri Xander - dan juga Ezra yang tahu. Mereka berdua melihat bagaimana kesakitan melanda Aide dengan amat sangat. Mustahil jika tidak bertanya, dan Xander menjelaskannya karena tidak ingin berbohong pada keluarganya. Aiden tidak keberatan soal ini. Dengan begitu, dia malah bisa lebih bebas berbicara dengan Ezra.
Menurut Xander, ada dua cara untuk menghilangkan rasa sakit itu. Pertama, dengan memperbaharui signet, atau cara kedua yaitu melepaskan segel itu untuk selamanya. Tapi kedua cara itu mustahil untuk dilakukan.
Seperti yang dijelaskan oleh Xander dulu, hanya orang-orang tertentu di Lumea yang tahu dan bisa memberikan signet. Dan sangat mustahil meminta bantuan mereka, karena keberadaan signet itu sendiri, akan membawa banyak pertanyaan soal asal-usulnya yang rahasia.
Untuk saat ini, Aiden hanya bisa bersabar menahan rasa sakit itu.
**
<< ELDUR >>
Aiden dan Erza berhenti untuk menarik nafas, saat mencapai jalan setapak di lereng bukit. Jalan itu lumayan curam. Dari situ mereka akan turun ke kota.
Sambil mengatur nafas yang sedikit terpacu karena tegang, Aiden menyandarkan punggungnya di pohon dan menatap ke depan.
Pemandangan kota Eldur terhampar di depan matanya.
Aiden sudah berada di Lumea sekitar tiga tahun lebih, tapi pemandangan kota itu masih membuatnya takjub.
Eldur mendekati apa yang dikatakan sebagai ibu kota Lumea, selain karena kota itu paling ramai. Kastil Lumea tempat Raja/Ratu tinggal berada di sana.
Dan bisa dibilang Klan Vivash adalah penjaga Eldur, selain karena pemukiman Vivash berada yang paling dekat dengan Eldur, di sebelah barat kota menjulang gunung Zar, gunung berapi aktif yang bisa meletus kapan saja.
Klan Vivash bertugas menjaga gunung itu, agar saat meletus, muntahan magma tidak menghancurkan kota Eldur. Tentu saja Sua bisa mengatur aliran magma dengan anasirnya.
Gunung api itu mematikan, tapi keberadaan gunung berapi memberi manfaat besar bagi Lumea.
Tyaga menggunakan panas dari gunung itu sebagai sumber listrik yang utama di Lumea. Seluruh dataran Lumea menggunakan listrik dari Zar.
Seperti bahasa, listrik adalah kemajuan peradaban yang dimenangkan oleh Lumea. Karena Tyaga terlebih dahulu menggunakan listrik dari pada bumi.
Peradaban Tyaga lebih tua dari bumi, tapi Lumea tidak mengalami perubahan peradaban yang drastis seperti manusia. Anasir mereka membuat kehidupan mereka lebih mudah, tanpa perlu penciptaan alat-alat modern.
Karena itu, Lumea mengingatkan Aiden akan pemandangan bumi pada masa sebelum mobil ditemukan bercampur dengan bumi masa depan khayalan dari karya fiksi,
Selain sebagai pembangkit listrik, gunung Zar memiliki kegunaan lain, yang menarik populasi Tyaga Zem.
Tanah sekitar gunung berapi sangat subur. Zem yang bertanggung jawab mengelola tanah, memanfaatkan daerah itu menjadi pertanian dan peternakan. Pertanian Zem, memasok sebagian besar bahan makanan pokok di Lumea.
Tanah pertanian Zem terletak sebelah timur laut kota Eldur, yaitu di kota Dym. Kota yang menjadi pusat populasi Tyaga Zem. Karena jarak kedua kota yang tidak terlalu jauh, saat ini jumlah populasi Zem di Eldur lumayan tinggi.
Aiden sendiri belum berkeinginan melihat Dym. Selain karena terbatasnya waktu ketika dia menyelinap keluar. Lagipula kota Eldur masih memberinya kepuasan menjelajah karena keunikannya.
Bangunan di Eldur atau mungkin juga daerah di Lumea yang lain, berbentuk spesial.
Aiden pernah melihat rumah yang terlihat seperti gua dengan pintu kayu, rumah yang terbuat dari bongkahan batu, dan juga rumah yang berbentuk bulat sempurna.
Tapi yang menjadi favoritnya adalah rumah kecil yang ada di sebelah air mancur di pusat kota.
Rumah itu tidak berbentuk unik, hanya kotak biasa. Yang membuatnya istimewa adalah tanaman yang menutup seluruh permukaan dinding tanpa meninggalkan celah tembok.
Saat musim semi seperti ini, pucuk-pucuk bunga beraneka warna akan muncul di seluruh permukaan dinding, saat musim gugur, rumah itu berubah menjadi kuning kemerahan karena daun kering.
Aiden betah berlama-lama memandangi rumah asri itu, setiap kali mereka berjalan-jalan di kota.
Pada umumnya, Tyaga membangun rumah hampir mirip dengan bangunan di bumi. Berbentuk kotak, namun dengan atap yang rata.
Selain pertanian, banyak Tyaga Zem yang bekerja sebagai pembangun rumah.
Dengan anasir-nya, mereka membentuk batu dan tanah menjadi bangunan. Waktu rata-rata yang diperlukan untuk membangun rumah sederhana hanyalah beberapa jam.
Seperti biasa, kecepatan dan bentuk bangunan yang diminta menentukan harga. Namun tentu saja pekerjaan itu terbatas pada rumah yang ingin dibangun menggunakan tembok atau tanah. Bangunan dari kayu dikerjakan oleh tukang kayu dengan keahlian yang tidak berhubungan dengan anasir.
Tapi perbedaan mencolok Lumea dengan bumi adalah, absennya mobil di jalanan.
Penduduk Lumea bermobilisasi menggunakan anasir.
Contohnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Xander dan Dwyer saat di bumi. Kemampuan itu disebut diffusis.
Diffusis adalah saat dimana Tyaga menyatukan raga mereka dengan anasir, kemudian memproyeksikan tubuh mereka ke tempat tujuan. Dengan syarat, tempat tujuannya itu memiliki anasir mereka.
Untuk lebih mudahnya, Jei akan bisa berpindah kemanapun selama tempat tujuannya berudara, sementara Nir hanya bisa berpindah antar kolam atau sungai dan laut.
Zem, bisa memunculkan diri dari dalam tanah dimanapun, sementara Sua bisa berpindah tempat selama daerah tujuannya masih terpapar cahaya yang merupakan bentuk lain dari api.
Diffusis adalah kemampuan paling tinggi dari pengendalian anasir karena kerumitannya dan membutuhkan konsentrasi tinggi saat melakukannya. Dan jelas sangat praktis, karena bisa menjangkau tempat yang jauh dalam waktu singkat.
Tetapi diffusis memiliki resiko besar, angka celaka karena Tyaga tidak berhasil menyatukan tubuh mereka sangat tinggi. Jika hal itu terjadi, partikel tubuh mereka akan terus bergerak bersama anasir, lenyap tidak berbekas.
Karena resiko itu, pengguna diffusis di Lumea bisa dihitung dengan jari. Xander dan Dwyer adalah dua orang diantaranya.
Xander sendiri tidak akan menggunakan diffusis jika tidak sangat terpaksa. Dia lebih menyukai terbang menggunakan angin. Dan dia sangat ahli dalam hal ini.
Karena kemampuan terbang itu juga, Jei bertanggung jawab dalam penyediaan transportasi umum.
Anasir Jei memberi tumpangan pada Tyaga dengan menggunakan Meyp. Sejenis gelembung udara yang dikendalikan oleh angin.
Sekilas alatnya terlihat seperti plat logam biasa, tapi begitu seseorang naik di atasnya, Tyaga Jei akan memunculkan angin di sekelilingnya, membungkus tubuh pengguna meyp secara utuh dalam sebuah gelembung yang terbuat dari angin. Kemudian dengan ahli, mereka akan terbang sambil bersama gelembung itu, mengantar siapapun penumpangnya sampai di tujuan.
Tidak seperti Uber, harga tumpangan meyp mahal. Tyaga hanya menggunakannya jika ingin bepergian jauh. Untuk jarak dekat, mereka menggunakan kuda. Dan Aiden bersyukur, kuda di Lumea persis sama dengan yang ada di bumi.
Tapi semua kesulitan itu tidak berarti bagi Tyaga Zem, mereka dengan mudah mengendalikan tanah yang mereka pijak dan menggesernya sesuai dengan tujuan.
Tapi ada batasan untuk daerah jelajah anasir Zem. Biasanya tanah di sekitar bangunan penting dan juga fasilitas umum sangat terlarang untuk didatangi dengan anasir Zem. Dikhawatirkan jika kehilangan kendali, anasir Zem akan merusak bangunan dan struktur tanah disekitar.
Karena hal itu juga, khusus Zem, mereka harus memiliki surat izin khusus untuk bisa berkeliaran menggunakan tanah di kaki mereka. Seperti SIM di bumi.
Tapi tidak seperti Jei, menggerakkan tanah membutuhkan banyak tenaga dari pada terbang. karena itu mereka hanya bisa membawa dirinya sendiri saat bergerak,
Semua itu berarti Lumea tidak memerlukan mobil.
Absennya bahan bakar fosil membuat udara di Lumea sangat bersih, dengan tingkat polusi mendekati nol. Hanya asap dari perapian yang mengotori udara, sangat tidak berarti jika dibandingkan jumlah udara bersih yang ada.
Itulah yang pertama kali dirasakan Aiden saat tiba di Lumea. Udara disini sangat bersih dan segar.
"Ayo," Ezra mengajak Aiden bergegas. Melambaikan tangan di wajah Aiden, memutus lamunannya.
Sambil menyentuh salju di ranting pohon tempatnya bersandar, Aiden mengangguk.
Selain hijau pepohonan dan laut, salju adalah hal kesukaan lainnya saat di bumi. Aiden bisa dibilang penikmat pemandangan alami.
Dan dengan menjadi Sua tak membuatnya membenci salju. Dia malah sedikit sedih saat tahu tak akan pernah melihat salju di pemukiman Vivash.
Kesempatan untuk melihat salju seperti ini sangat jarang terjadi, Aiden akan menikmati hari ini. Walaupun hanya ada sedikit salju yang tersisa.
Mereka berdua mencapai kota setelah berjalan kurang lebih setengah jam.
Aiden telah beberapa kali menyelinap ke kota, ia sudah terbiasa melihat lalu-lalang meyp yang melayang sekitar lima sampai sepuluh meter dari atas tanah.
Zem berdiri di atas tanah bergerak dan membelokkannya dengan ahli.
Dia juga melihat seorang Sua menyalakan panggangan dengan jentikan jari, bersiap untuk memanggang beberapa ekor ayam utuh yang menjadi dagangannya.
Tapi ada pemandangan yang tidak biasa.
Sejumlah Tyaga Nir dengan lambaian tangan gemulai, terlihat sedang membuat patung hiasan dari es. Patung es sepasang angsa yang sedang berhadap-hadapan mewujud dengan detail menakjubkan, hanya dalam waktu beberapa detik di atas kolam air mancur.
Nir yang membuatnya mengangguk dengan puas, setelah itu ia berpindah ke sudut lain, bersiap membuat bentuk patung lain.
Pemilik rumah yang penuh dengan tanaman menjalar, juga terlihat sibuk merapikan tanaman di atapnya.
Aiden meliriknya dengan mata resah. Dia tahu benar kenapa Eldur mempercantik diri.
Upacara penobatan Ratu baru Lumea hampir tiba!
Memikirkan hal itu membuat kegelisahan Aiden muncul kembali. Tapi Erza tidak membiarkannya terdiam lama. Dengan sedikit tarikan, Ezra mengarahkan Aiden pada tempat tujuan utama mereka.
Pasar!
Bangunan pasar di Eldur hampir mirip dengan pasar di bumi.
Lorong-lorongnya, juga sibuk penuh dengan berbagai penjual dan pembeli yang sedang bertransaksi. Bangunan dengan dinding berwarna kecoklatan itu berdengung penuh kehidupan.
Makanan dan pakaian yang diperdagangkan di pasar itu biasa hampir sama seperti di bumi, hanya dengan jenis yang lebih beragam.
Tapi jika mereka menjelajah lebih dalam, Aiden akan melihat hal-hal unik, yang tidak ada di bumi.
Pemberhentian pertama mereka adalah hewan peliharaan. Kucing dan anjing tentu saja ada. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Aiden.
Mata Aiden jatuh pada sangkar-sangkar yang berisi burung dengan aneka warna. Beraneka jenis burung eksotik yang belum pernah dia lihat, terpajang rapi di teras toko itu.
Aiden dengan cepat terpaku pada burung berwarna biru dengan surai pucat kehijauan. Ketika burung itu mengepakkan sayap dan terlihat bulu keunguan di bawah sayapnya.
Tapi bukan warna itu saja yang membuatnya berbeda, pada bagian ekornya terdapat bulu dengan bentuk untaian lingkaran panjang dengan warna merah mencolok.
"Kau tertarik?" Sapaan penjaga toko itu membuat Aiden mendongak. Dengan cepat Aiden menggeleng.
Aiden melihat burung itu, bukan karena ingin memiliki, Aiden justru kasihan. Dia tahu benar bagaimana rasanya harus terkurung dalam sangkar setiap harinya. Karena begitulah keadaannya sekarang.
Aiden tiba-tiba mempunyai keinginan sinting untuk membeli semua burung yang ada di sana kemudian membebaskannya. Setidaknya burung-burung itu akan menikmati sisa hidupnya di alam bebas.
Belum sempat Aiden melaksanakan keinginan gila itu, Ezra kembali menariknya pada toko lain.
Tujuan Ezra adalah etalase penuh dengan bulu. Mulai dari kucing, kelinci, hamster, sampai pada sebentuk makhluk ganjil, yang melilit jeruji kandang dengan kakinya yang berbulu keperakan.
Makhluk itu memiliki kaki lebih dari dua yang menjulur lemas, dan berkepala bulat. Membuat Aiden teringat pada gurita dengan tentakelnya, tapi bulu lembut yang tumbuh di sekujur tubuh, membuatnya terlihat lucu, alih-alih menyeramkan.
Matanya seperti kucing, tapi hanya itu yang terlihat, bagian wajah yang lain tertutup bulu lembut. Aiden tidak bisa melihat mulut maupun hidungnya.
Dengan penasaran, Aiden menjulurkan telunjuk untuk mencolek makhluk itu. Tapi tangan Ezra mencegahnya.
"Ada alasan kenapa penjualnya menaruh kain merah di kandang itu."
Aiden melihat secarik kain merah kumal yang terikat di sudut kandang. Sebagai tanda penghuni kandang itu perlu diwaspadai.
"Kurk tidak terlihat berbahaya, tapi dia bisa menggigit jarimu sampai putus," lanjut Ezra.
Untuk makhluk yang mulutnya tidak terlihat, Aiden luput menebak sifat liar itu.
"Dan kenapa ada orang yang ingin memelihara binatang yang bisa memakan jarinya?" Aiden memandang kandang itu dengan mata melotot.
"Alasan yang sama dengan kucing. Karena lucu!" Erza meringis memandang kandang lain yang berisi kucing putih yang sedang bergelung.
Kucing yang akan terlihat biasa, jika saja warna bulu di ekornya tidak berbelang ungu hitam seperti cincin berwarna-warni.
Menurut buku yang Aiden baca, Lumea memiliki banyak makhluk yang lebih ajaib dari Kurk tadi, tapi kata Xander hewan-hewan itu sudah punah, atau menyembunyikan diri jauh di dalam hutan lebat, yang berada di dataran bagian tengah Lumea. Hutan lebat berumur ribuan tahun yang tidak terjamah oleh Tyaga.
Nasib makhluk ajaib itu sama dengan hewan eksotik di bumi, habis karena perburuan dan jual beli yang tidak bertanggung jawab.
"Kau ingin membeli sesuatu?" tanya Ezra.
Aiden menggeleng, uang tidak menjadi masalah karena dia seorang Vivash. Emblem keluarga Vivash yang ada di kantongnya, bisa membeli apa saja yang ada di pasar ini. Emblem keluarga Vivash juga bisa digunakan sebagai 'kartu kredit' di Lumea. Aiden bisa memakainya untuk membeli apa saja yang dia inginkan. Tagihan belanjanya akan dikirimkan ke klan Vivash.
Menurut Xander, selama Aiden tidak membeli rumah atau mungkin perhiasan mahal, tidak akan ada masalah. Sekaya itulah klan Vivash. Mereka tidak pernah melihat jumlah tagihan yang datang, karena menurut mereka tidak penting.
Lumea sendiri memiliki mata uang yang disebut Raha, terdiri dari kepingan emas dan perak dengan nilainya masing-masing. Aiden sudah mempelajarinya dengan detail, tapi dia belum pernah berkesempatan untuk mempraktekannya.
Hari ini juga sama, Aiden hanya ingin menikmati sedikit kebebasan yang jarang didapatkannya. Terutama sebelum dia benar-benar kehilangan identitas aslinya dan menjadi Aiden Vivash secara utuh. Hal itu akan terjadi dua hari lagi.
Pada hari pernikahannya! Pernikahannya dengan calon ratu Hima Keandra.
Teringat tentang hal itu membuat mood Aiden memburuk dengan sangat cepat. Matanya yang sedikit ceria kembali muram.
Dan Ezra melihatnya. Sejak sebulan lalu setelah hari pernikahan ditentukan, Aiden gelisah. Ezra tidak heran. Pernikahan itu tidak diinginkannya.
Ezra mungkin baru berumur lima belas saat ini, tapi ia adalah satu-satunya teman Aiden. Dan Ezra adalah satu-satunya tempat Aiden bisa menceritakan segala hal tentang dirinya.
Pada awal mereka bertemu tiga tahun lalu, Ezra hanya tahu Aiden adalah Vivash yang dibawa dari bumi dan memiliki signet. Tapi seiring waktu berjalan, Ezra mulai melihat beberapa kejanggalan pada Aiden.
Bosan dengan sejuta pertanyaan yang tak pernah lelah diajukan oleh Ezra, Xander akhirnya menceritakan semua hal tentang Aiden dengan lengkap, tentu saja dengan peringatan keras untuk tidak membocorkan rahasia itu pada siapapun.
Dan Ezra melaksanakannya dengan patuh sampai dengan hari ini, sadar hidup dan matinya Aiden bergantung pada rahasia itu.
"Lebih baik kita membeli minuman hangat," ajak Ezra, mengalihkan pikiran Aiden.
Dia menarik Aiden ke cafe kecil yang tidak terlalu ramai. Mereka memesan Smarzo, minuman hangat terbuat dari susu dengan campuran rempah asli dari Lumea.
Smarzo adalah salah satu hal favorit Aiden setelah menjadi Tyaga. Minuman berwarna pink pucat dengan aroma wangi menggoda memikat Aiden sejak pertama kali dia mencicipinya.
Buih berwarna putih mengambang di permukaan gelas mereka berdua. Dengan sedikit lebih bersemangat Aiden menghirup minumannya.
Rasa dan aroma smarzo yang gurih manis memenuhi mulut serta hidungnya. Rasa yang membuatnya sedikit melupakan kegalauan dalam hatinya.
"Kau seharusnya tetap menemuinya. Setidaknya kalian lebih bisa saling mengenal sekarang," kritik Ezra, mungkin mulai tidak sabar, menghadapi kegalauan Aiden.
Aiden hanya menghela nafas panjang mendengar kritikan yang sangat terlambat itu.
Yang dimaksud oleh Ezra, tentu saja menemui Hima.
Beberapa bulan setelah pertemuan pertama antara Hima dan Aiden yang canggung, orang tua Hima dan tentu saja Dwyer menyetujui usulan Synod untuk mengatur beberapa pertemuan lanjutan untuk mereka berdua saja. Dengan tujuan agar bisa lebih mengenal satu sama lain.
Saat pertama kali mereka dijadwalkan bertemu sendirian, Aiden sebenarnya datang.
Pertemuan mereka mengambil lokasi di sebuah taman kota Eldur di dekat Kastil Lumea. Dengan diantar oleh Xander yang hanya menemaninya sampai luar taman, Aiden menuruti perintah Dwyer untuk datang.
Menurut Xander, 'kencan' itu akan berupa acara minum teh di salah satu gazebo yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Karena Aiden datang satu jam lebih awal dari jadwal, dia memutuskan untuk menunggu di lokasi yang agak jauh, dan baru akan mendekati gazebo ketika Hima muncul. Aiden tidak ingin terlalu terlihat berharap untuk bertemu.
Tapi penantiannya sia-sia, setelah beberapa jam mengamati dari kejauhan, gazebo itu tetap kosong. Tidak menampakkan kedatangan Hima.
Bagi Aiden, sikap itu jelas mengutarakan pendapat Hima yang sebenarnya tentang pernikahan mereka. Hima belum berubah setelah sejak pertemuan mereka dulu, dia masih tetap tidak menyukai Aiden.
Setelah itu Aiden tidak pernah datang ke tempat pertemuan mereka.
Aiden tetap pergi --karena tidak mungkin menentang perintah Dwyer-- dengan diantar oleh Xander, tapi dia tak pernah menunggu ataupun mendekati gazebo lagi. Dia lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan di sebelah taman, sampai waktunya pulang.
Selalu seperti itu, selama tiga tahun kebelakang.
Jadi dia tidak pernah bertemu Hima sekalipun dalam tiga tahun ini. Dan sekarang dia harus menikahinya dalam waktu dua hari!
Dengan frustasi Aiden menenggak sisa minumannya. Melihat itu, Ezra melakukan hal yang sama. Itu adalah tanda kunjungan keluar mereka selesai.
Perjalanan ini hanya bisa sedikit menghibur Aiden, batin Ezra. Tapi setidaknya dia sudah berusaha. Ayahnya dengan spesifik memberinya tugas untuk menghibur Aiden sampai hari pernikahannya, tapi tugas itu tidak mudah.
Setelah membayar minuman mereka, Ezra bergegas mengikuti Aiden yang telah keluar dari cafe. Mereka berjalan pulang dengan langkah yang lebih berat.
<< WEDLOCK >>
Aiden mengusap bagian depan jas panjang berwarna biru tua yang dipakainya dengan wajah tanpa emosi. Dia melakukannya hanya agar terlihat sibuk. Sebenarnya jas, celana hitam, dan juga sepatunya, sudah bersih tidak bercela sedikitpun.
Penampilan Aiden benar-benar dipoles menjadi sempurna.
Beberapa pelayan wanita yang sebenarnya sudah terbiasa melihat Aiden, tetap tidak bisa menyembunyikan rasa antusias mereka, saat dia berjalan keluar dari pintu rumah utama dengan langkah kaku.
Tiga tahun ini, Aiden tumbuh dari remaja tanggung yang kurus, menjadi sesosok pria dewasa dengan tubuh tegap terlatih.
Ototnya tetap tidak terlihat menonjol, tapi orang yang berpengalaman dalam ilmu beladiri, akan tahu dalam sekali pandang, gerakan Aiden yang gesit menandakan kecakapannya dalam bertarung.
Rambut pirang Aiden yang tersisir rapi berkilau di bawah belaian sinar matahari, matanya yang biru memandang ke depan dengan sorot tegas. Hidung yang tinggi dan rahang yang kokoh, membuat semua sepakat sosoknya memang menakjubkan.
Wajahnya yang sempurna menyihir banyak wanita. Dan wajah itu berhasil menyembunyikan perasaan Aiden yang sebenarnya.
Perasaan hampa yang kosong. Aiden bahkan tidak mampu untuk merasa kesal, saat keberangkatan mereka tertunda karena hal yang konyol.
Dia sudah bersiap setengah jam yang lalu, tapi Nilaya -- Ibu palsu Aiden -- memutuskan dia harus berganti gaun baru pada saat-saat terakhir, karena menurutnya warna merah tidak sesuai dengan kepribadiannya.
Maka semua anggota rombongan -- tanpa punya pilihan lain -- menunggu dengan sabar. Apalagi ternyata Dwyer juga belum siap, tidak ada siapapun yang berani mengeluh.
Emosi yang tertinggal dalam hati Aiden hanya tinggal pasrah.
Kegugupan dan rasa gelisah yang menggulungnya selama sebulan ini, sudah lenyap. Meninggalkan selongsong kosong tubuh Aiden, yang bergerak mengikuti perintah.
Nama Nilam terus digaungkan oleh Aiden dalam hatinya, mengingat untuk siapa dia melakukan pernikahan ini.
Aiden belum pernah melihat Nilam selama tiga tahun kebelakang. Dia hanya mendengar cerita Xander tentang keadaannya.
Nilam tumbuh sehat di rumah pertanian tempat Xander menitipkannya.
Pasangan yang mengasuh Nilam adalah pemilik ladang pertanian yang cukup luas di utara Inggris. Mereka menerima Nilam dengan senang hati karena kehadiran Nilam mengisi kekosongan hidup mereka setelah ditinggal menikah oleh kedua anaknya.
Aiden lega saat mendengar cerita itu. Nilam akan baik-baik saja di sana, sampai saatnya nanti.
Sampai saat Aiden menjemputnya nanti.
Aiden tidak berencana akan berada di Lumea seumur hidupnya. Dia menyukai Lumea, tapi keberadaannya di sini dengan berpura-pura menjadi Vivash yang seharusnya tidak ada, membuatnya selalu berada dalam keadaan waspada.
Terkadang dia lelah menjaga rahasia itu. Dia hanya ingin menjadi Aiden, bukan Aiden Vivash.
Aiden belum memiliki rencana, tentang bagaimana dia akan bisa lepas dari Lumea. Setelah pernikahan konyol ini, Aiden baru akan menyusun rencana.
Dia sudah memenuhi janjinya untuk menikah dengan Hima, tapi Aiden tidak pernah berjanji untuk bertahan berapa lama.
Begitu keadaan memungkinkan, dia akan pergi.
‘Persetan dengan semuanya!'
Setelah mengumpat, Aiden merasa sedikit lebih baik. Atau mungkin dia merasa lebih baik karena Nilaya akhirnya muncul bersama dengan Dwyer. Akhirnya mereka bisa berangkat.
Dengan cekatan Aiden menaiki kuda hitam miliknya yang telah dihias dengan emblem Vivas dan juga pelana yang indah.
Sanggurdinya berlapis emas putih, dan tali kekangnya bertabur batu-batu mulia beraneka warna. Kemewahan yang terlalu berlebihan menurut Aiden.
Aiden akan berkuda menuju tempat upacara, berada dalam posisi paling depan memimpin rombongan sementara Amery, menaiki kuda lain di belakangnya. Dwyer dan Nilaya menaiki kereta kuda dengan atap yang berhias ukiran indah.
Sisa rombongan yang ada di belakang mereka terdiri dari Arch beserta pasukannya, tentu saja Xander termasuk diantaranya.
Ezra serta Moza, akan menyusul bersama rombongan keluarga Vivash yang lain nanti, saat pesta akan dimulai.
Upacara pernikahan hanya akan dihadiri oleh keluarga inti dari kedua mempelai dan juga perwakilan dari Synod dan Klan utama. Tapi Aiden tidak peduli dengan detail seperti itu, dia hanya harus mengingat bagiannya dalam pertunjukan drama upacara pernikahan hari ini. Sisanya Aiden hanya akan mengikuti arus.
Begitu melihat gerbang terbuka lebar, Aiden menarik tali kekang, memacu kudanya, dan begitulah, seluruh rombongan mengikutinya beriringan keluar.
Aiden menjalankan kudanya dengan kecepatan rata-rata, menyesuaikan dengan yang lain. Keterampilan berkuda Aiden sudah mendekati Xander, lebih dari anggota pasukan penjaga yang menjadi bawahannya.
Keterampilan berkuda hanya salah satu ilmu yang dilatih oleh Xander. Dia juga melatih Aiden untuk menguasai pedang, panah dan juga beladiri tangan kosong. Xander tidak ingin melepas Aiden ke istana tanpa kemampuan untuk membela diri. Dengan semua ilmu itu, Xander berharap Aiden bisa melawan, saat harus berhadapan dengan tyaga normal, yang pasti akan menyerangnya dengan anasir.
Pengetahuan yang diberikan oleh Xander, diserap Aiden dengan kecepatan mengerikan. Otak Aiden seperti spon kering, menghisap segala ilmu yang diberikan.
Peningkatan kemampuan belajar Aiden, ditunjang oleh faktor kesejahteraan. Aiden sekarang tidak perlu lagi bekerja saat pagi buta. Dia tidak lagi mengantuk selama pelajaran. Asupan nutrisi yang berimbang, juga ikut andil dalam hal ini.
Kecerdasan Aiden terlihat jelas, setelah dia bisa belajar dalam keadaan yang lebih normal.
Selain bermacam keterampilan tubuh, Xander juga membekali Aiden dengan segala pengetahuan soal tyaga dan Lumea.
Mulai dari ilmu politik, strategi perang, sosial, matematika Lumea, sampai dengan pelajaran pengendalian anasir, semua dikuasainya dengan baik. Meski api Aiden masih tidak bisa muncul, Xander tetap mengajarkan semua ilmu Sua, sebisanya.
Sebagai Jei, Xander hanya bisa memberikan ilmu Sua yang berasal dari buku. Dan Aiden sudah cukup puas, karena dia memang tidak bisa mempraktekannya.
Aiden sebenarnya sedikit tidak peduli, jika dia dituduh sebagai gimp, bila ketidakmampuannya mengendalikan anasir terungkap. Tapi tetap saja dia sedikit khawatir bagaimana Hima akan bersikap saat mengetahui hal ini.
Hima sudah memandangnya sebelah mata sebelum ini, Aiden yakin nilainya akan semakin jelek jika kelemahannya itu bocor.
Mungkin itu bukan hal buruk, bisa jadi dia akan diusir karena dianggap tidak pantas. Dengan begitu dia bisa bebas pergi dari Lumea.
Tapi itu semua hanyalah mimpi manis bagi Aiden, karena hal itu hampir mustahil terjadi. Menjadi Vivash memberinya pondasi kokoh. Tidak akan ada yang berani mengusiknya dengan terang-terangan.
Dia hanya akan menjadi bahan gunjingan dan ejekan dari balik punggung.
Bayangan kehidupan masa depan yang 'menyenangkan'.
***
Sedikit berbeda dengan di bumi, tidak ada tyaga yang bertugas yang mengesahkan janji mereka. Upacara versi tyaga lebih singkat, hanya berupa ucapan perjanjian dari masing-masing pengantin.
Tapi tempat upacara berlangsung, dipilih secara khusus, karena harus melambangkan anasir dari kedua mempelai.
Maka untuk pernikahan kali ini, dipilih taman dengan danau yang sangat besar. Danau akan mewakili Nir, sedangkan taman dengan cahaya matahari, akan mewakili Sua.
Sepetak pulau buatan yang berjarak sekitar lima meter dari tepian danau, mengapung dengan damai.
Di pulau itu Aiden dan Hima akan mengucapkan janjinya nanti. Pulau itu penuh dengan hiasan bunga beraneka warna serta percikan air mancur mini yang secara ajaib terus berputar diantara beragam bunga.
Sepanjang tepi jalan setapak yang menghubungkan pulau itu dengan daratan, penuh dengan batu api yang menyala kuning, mengalahkan cahaya matahari sore.
Tamu-tamu yang akan menyaksikan upacara, akan duduk di kursi yang telah di tata berdekatan dengan jalan setapak. Hanya akan ada sekitar dua puluh tamu di sana. Saat ini hanya lima kursi yang telah terisi, dengan tamu yang berasal dari Vivash. Xander dan anggota pasukannya, berjaga di sekitar danau.
Aiden sendiri, telah berdiri menunggu Hima di ujung jalan setapak. Mereka akan berjalan bersama menuju tengah pulau nanti.
Dan tidak berapa lama, satu persatu tamu undangan mulai datang. Pelayan yang berjaga, mengumumkan satu persatu tamu yang baru tiba.
"Synod Elio"
Yang pertama datang adalah perwakilan Synod Elio, seorang Sua, mantan Suze pada masa pemerintahan Ratu Ignatia. Pernikahan ini adalah idenya.
Aiden rasa, dengan kedudukannya sebagai mantan Suze dari Ratu paling cemerlang di Lumea, membuat suaranya diperhitungkan.
"Klan Atley dari Dym, Lord Byan, Madam Briona dan Lady Zenia"
Aiden melihat sosok tubuh tegap dengan otot menonjol menggandeng seorang wanita yang terlihat sangat bosan. Gadis kecil berumur sekitar sebelas tahun mengikuti langkah kaki mereka dengan gugup.
Lord Byan Atley adalah penguasa Zem, Lord dari kota Dym. Dia mendapatkan kekuasaan setelah kakaknya Lord Raven dinyatakan sebagai pemberontak, dan dihukum mati sekitar delapan belas tahun lalu.
Lord Byan menikah dengan Nir dari Raina, Madam Briona. Saat ini Lord Byan sedang gelisah, karena dia belum mempunyai keturunan Zem untuk melanjutkan namanya. Lady Zenia adalah Nir.
Aiden sudah menghafal semua silsilah klan utama dengan sempurna. Lengkap dengan berbagai isu dan juga kabar terkini. Ini termasuk dalam pelajaran politik yang harus di pahami Aiden jika ingin bertahan di istana nanti.
"HIIIAYYAA!!!!"
Dan semua mata memandang asal dari teriakan keras itu.
Tyaga wanita, muncul persis di sebelah deretan kursi tamu, sambil membawa hembusan angin yang cukup kencang.
Untaian bunga, dan juga kain-kain menjuntai yang menghiasi pohon, beterbangan tanpa daya melawan angin itu. Dwyer sampai harus berdiri, karena angin itu membuat bajunya berantakan.
Tapi wanita itu terlihat tidak peduli.
Pelayan berlarian di belakang wanita itu, merapikan kekacauan karena kedatangannya.
Anasir Jei dan Zem sebenarnya terlarang untuk dilakukan di sekitar tempat upacara, karena khawatir akan membuat dekorasi rusak. Tapi jelas tamu yang datang kali ini tidak mengindahkan aturan itu.
Dengan santai dia ber-diffusis langsung ke pusat acara.
Rambut ikal berwarna kemerahan terurai panjang berkilau langsung menyedot perhatian Aiden. Rambut itu sangat mencolok jika dibandingkan dengan wajah pucat pemiliknya, apalagi gaun yang dipakainya berwarna putih.
Gaun itu melambai bebas tertiup angin, menampakkan sebagian besar porsi kaki serta pahanya. Menurut Aiden, dengan model gaun seperti itu, seharusnya dia naik kereta kuda seperti Nilaya, demi kesopanan.
Raut wajahnya cerah bersemangat dan penuh senyum, sangat berbeda dengan tamu lain, yang berusaha memasang wajah khidmat.
"Klan Halila dari Huenu, Madam Shoera dan Lord Ortzi ."
Tanpa pengumuman itu, Aiden sudah tahu siapa yang datang. Xander sudah sering menceritakan soal penguasa Klan Jei yang sedikit berbeda dari yang lain.
Madame Shoera penguasa Jei. Dia adalah satu-satunya pemimpin wanita dari klan utama. Seperti Lord Byan, dia adalah pilihan kedua untuk menjadi penguasa klan.
Menurut Xander, Airon Halila --saudara bungsu dari Madam Shoera-- adalah calon kandidat terkuat penerus Klan Halila. Meskipun Airon adalah anak terakhir, penguasaan anasirnya sangat hebat.
Dia salah satu Jei langka yang hanya muncul ribuan tahun sekali, karena mempunyai kemampuan untuk membuka pintu antar dimensi. Kemampuan itu sudah dikuasainya semenjak dia berumur tujuh tahun.
Karena itu, dia digadang-gadang menjadi penguasa Jei.
Tapi beberapa tahun lalu, dia memutuskan untuk pergi meninggalkan Lumea. Dia berkelana ke dimensi lain begitu saja. Tanpa ada yang tahu tujuannya. Akhirnya Madam Shoera yang naik menjadi penguasa Klan.
Suaminya, Lord Ortzi juga tyaga Jei, tapi tidak berasal dari Halila. Lord Ortzi adalah Raye, kakak Xander.
Aiden langsung merasa akrab saat melihat wajahnya, dia terlihat seperti Xander, hanya beberapa bagian rambutnya mulai memutih. Tidak seperti istrinya, dia datang dengan berjalan santai. Lord Ortzi mendarat di tempat yang seharusnya.
Masih dengan wajah tenang, Lord Ortzi berdiri di sebelah Shoera, kemudian mengulurkan tangannya dan tangan itu diterima dengan senyuman manis oleh istrinya.
"Kita tidak terlambat!!"
Berbalik dengan sifatnya yang nyentrik, suara Madam Shoera ternyata lembut, dan bernada sedikit tinggi.
Ucapannya itu hanya disambut oleh senyuman kecut dari semua tamu yang sudah ada di sana.
Dwyer mungkin mencoba menahan raut mukanya. Tapi Aiden masih bisa melihat, dia sebenarnya enggan menjabat tangan Shoera.
Ada sedikit pertikaian diantara mereka berdua, melibatkan Amery dan putra mereka Ozora Halila. Mungkin karena itu mereka hanya datang berdua tanpa mengajak Ozora.
Tapi sikap enggan Dwyer, tidak menghentikan mereka berdua untuk menyapa sopan kepada semua keluarga Vivash.
Dengan langkah ringan mereka mengambil tempat persis di belakang Dwyer. Aiden curiga Madam Shoera sengaja melakukannya untuk membuat Dwyer jengkel.
Dan tamu yang berikutnya, datang berjalan dengan punggung tegak. Mereka terlihat seperti akan menghadiri pemakaman, baju mereka hitam tanpa motif atau warna lain.
"Klan Raina dari Auga, Lord Varsha dan Madam Aneira"
Mereka tidak ingin berada di sini, dan tidak bersusah payah menyembunyikan perasaan. Wajah Varsha terlihat seperti baru saja dipaksa menelan api. Hima telah membuat mereka kehilangan hak untuk menjadi penguasa.
Kata murka saja tidak akan bisa menggambarkan rasa marah Klan Raina.
Xander sudah cukup memberi banyak peringatan padanya. Klan Raina sangat kuat, dan akan melakukan apa saja untuk menggulingkan Hima. Dan jika itu terjadi, kehidupannya di Lumea bisa dipastikan berakhir. Dia juga tidak akan selamat jika Hima kehilangan kekuasaan.
Raina adalah tamu terakhir klan utama. Kini mereka semua duduk memandang ke depan, sambil melihat Aiden dengan teliti.
Kemunculannya secara mendadak tiga tahun yang lalu tentu membuat mereka penasaran. Adalah kesempatan langka bagi mereka untuk bisa melihat Aiden dalam jarak dekat. Aiden sampai bisa merasakan, saat mata abu-abu Shoera mengikuti gerakan tubuhnya sedari tadi.
Tapi Aiden tidak peduli dengan semua itu, dia harus menahan semua emosi yang datang agar bisa melakukan upacara ini dengan lancar.
Perasaan Aiden masih kosong bahkan sampai Hima datang. Pelayan meneriakkan kedatangan keluarga Keandra sekitar sepuluh menit kemudian.
Dia hanya melihat dengan sorot mata mati, saat Hima dengan gaun putih semburat biru yang serasi dengan jas yang dipakainya, berjalan pelan mendekati dirinya.
Aiden memasang senyum palsu, saat ayah Hima -- Glyndwr -- berdiri bersama Hima di hadapannya. Dia masih ingin bersikap sopan tanpa cela di hadapan orang tua Hima. Namun Aiden tidak melirik ke arah Hima sama sekali.
Wajah Hima tertutup veil berwarna putih, dan dia sedang menunduk. Akan percuma walaupun Aiden memandangnya, dia tidak akan tahu.
Ibu Hima -- Ryola-- mencoba tersenyum pada Aiden, tapi dia tidak bisa menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
Melihat itu, tanpa bisa mencegah, Aiden dilanda rasa bersalah. Pernikahan ini palsu. Dia bukan Vivash, dan dia terpaksa melakukan hal ini. Tapi orang tua Hima benar-benar menyerahkan anak perempuan mereka pada dirinya. Setelah hari ini, Hima berada dalam tanggung jawabnya.
Mendadak emosi itu melibas hati Aiden, dia bisa merasakan tangannya gemetar, saat terulur menyambut tangan Hima yang diserahkan oleh ayahnya.
Kulit Hima yang terbungkus oleh sarung tangan putih, terasa dingin saat tangan mereka bersentuhan.
‘Pernikahan ini tak boleh terjadi. Pernikahan ini hanyalah sandiwara untuk memenuhi keserakahan Dwyer. Aku harus menolaknya!’
"Kedua mempelai menuju ke tempat upacara!!"
Seruan menyentak kesadaran Aiden, membuyarkan niatnya untuk menolak.
Dan sesuai dengan susunan acara yang sudah dihafal olehnya, Aiden otomatis berjalan menuntun Hima menuju pulau, sambil menyumpah dalam hati.
Dia menyesali kegoyahan hatinya tadi. Aiden melupakan apa akibatnya untuk Nilam, jika menolak melakukan pernikahan ini.
Musik yang lembut yang didominasi suara biola dan cello --rombongan musisi di sebelah selatan danau tak jauh dari tempat duduk tamu-- mengiringi langkah kaki mereka berdua.
Aiden menyadari sesuatu, tinggi Hima ternyata tidak mencapai telinganya. Padahal tiga tahun lalu, tinggi mereka sama. Laju pertumbuhan tinggi Aiden melebihi Hima.
Aiden mencoba melirik Hima, dan masih sama. Dia tetap menunduk. Sangat sulit membaca apa yang ada di pikiran Hima saat ini.
Dan tibalah mereka di pulau itu. Saatnya Aiden mengucapkan janji pernikahan mereka.
Mendadak lidah Aiden menjadi kelu. Umpatan tadi rupanya tidak bisa mengusir seluruh rasa bersalah dalam hatinya. Dia sudah mengangkat tangan kedua tangan Hima sejajar dengan dada, tapi mulutnya tetap tertutup rapat.
Hima menegakkan kepala. Wajahnya masih tertutup, tapi sorot mata ungunya berhasil menemukan Aiden. Tangannya bergerak meremas tangan Aiden, pelan. Gerakan itu tidak kentara, tapi cukup untuk membuat Aiden menguasai diri.
"Saksikanlah semua Sua, Nir, Jei dan Zem. Aku Aiden Vivash, menerima Hima Keandra sebagai istri, semenjak hari ini. Aku berjanji akan menjaga dan mencintainya, sampai menutup mata. Dalam keadaan apapun."
Mata biru Aiden menatap mata Hima yang berkedip pelan.
"Saksikanlah semua Nir, Jei, Zem, dan Sua. Aku Hima Keandra, menerima Aiden Vivash sebagai suami, semenjak hari ini. Aku berjanji akan menjaga dan mencintainya, sampai menutup mata. Dalam keadaan apapun."
Suara Hima terdengar halus di telinga Aiden, mengantarkan getaran yang membuat jantung Aiden tiba-tiba terpacu tanpa peringatan. Dengan bersusah payah, Aiden menjaga agar wajahnya tetap datar.
Begitu Hima menyelesaikan pengucapan janji, kembang api kolosal meledak di langit sore yang mulai gelap. Semburat kemerahan senja yang redup membuat suasana taman tiba-tiba menjadi lebih romantis.
Tidak hanya itu, puluhan Sua yang berdiri di sekeliling kolam, melepaskan ratusan butir cahaya dari tangannya. Aiden melihatnya seperti kunang-kunang yang melayang pelan di atas danau.
Pantulan cahaya di air danau yang gelap, berkilau bagaikan langit malam berbintang. Tapi kemudian permukaan danau terusik, kala Nir memulai pertunjukannya.
Mengikuti lambaian tangan para Nir, air danau membentuk gelembung sebesar bola tenis meja, dan mulai menari berputar seirama musik, mengelilingi cahaya Sua yang masih melayang pelan di atas air.
Pertunjukan cahaya yang indah memenuhi tepi danau saat kedua anasir itu bertemu. Cahaya yang terpantul dari bola-bola air itu mengundang tepuk tangan dari seluruh tamu undangan.
Dan tepuk tangan itu adalah tanda bagi Aiden untuk membawa Hima kembali ke tepi danau.
Dengan sedikit canggung, Aiden menekuk lengannya sebatas pinggang. Dan langsung lega, saat Hima mengerti isyaratnya, lalu meraih lengan itu. Saat berjalan kembali, Aiden masih tidak percaya jika dia baru saja menikah. Dan gadis yang ada di sampingnya kini adalah istrinya.
Aiden ingin sekali menampar pipinya sendiri, untuk menyadarkan jika semua ini adalah nyata.
Tapi Aiden tidak memiliki kesempatan untuk mengambil nafas. Begitu kakinya menjejak tanah di tepi danau, Ayah dan Ibu Hima langsung menyerbu mereka berdua dengan pelukan sambil menangis terharu.
Terutama Ibu Hima.
"Hima sayang-------Aiden."
Hanya itu kata yang bisa Aiden dengar diantara cucuran air matanya. Tangannya bergantian mengelus Hima, kemudian menarik tubuh Aiden ke pelukannya.
Aiden yang tidak terbiasa menerima curahan kasih sayang seperti itu, hanya bisa membalas dengan pelukan seadanya.
Melihat istrinya menangis tidak terkendali, Glyndwr menariknya menjauh untuk menenangkan diri, sekaligus untuk memberi kesempatan bagi tamu lain untuk mengucapkan selamat.
Dwyer bersandiwara dengan sempurna, karena dia bisa tahan memeluk Aiden saat mengucapkan selamat. Sementara Aiden tidak bisa menyembunyikan rasa jijik saat Dwyer menyentuhnya, dia terus mengerutkan kening.
Dwyer tentu saja tidak peduli dengan perasaan Aiden, dia tersenyum lebar. Aiden yakin senyum itu adalah senyum penuh rasa puas karena rencananya berjalan mulus.
Amery memberinya ucapan setengah hati, sedangkan Nilaya dengan tangan kaku, mencoba memberinya pelukan.
Pasti Dwyer yang menyuruhnya berlaku seperti itu, sebelum hari ini dia bahkan tidak pernah melirik ke arah Aiden, saat mereka berada dalam ruangan yang sama.
Setelah itu bergiliran masing-masing Klan memberi ucapan selamat. Bersamaan dengan itu, para tamu undangan lain juga mulai berdatangan. Termasuk diantaranya Moza dan Ezra.
"Selamat Hima, dan kau juga Aiden. Kalian berdua serasi sekali," kata Shoera, dengan keriangan yang berlebihan.
Aiden sangat yakin, itu hanya basa-basi.
"Aku iri padamu Hima, kau bisa mendapatkan suami setampan Aiden. Apalagi dia belum pernah terlihat bergaul dengan wanita tyaga manapun sebelum ini. Aku yakin ia masih perja..."
"Ha...ha...ha. Terima kasih Madam Shoera," Aiden memotong ucapannya dengan tawa terpaksa. Dia tahu benar hal apa yang akan dibahas oleh wanita nyentrik itu.
Aiden tidak akan membiarkannya membahas hal memalukan itu di hadapan Hima.
Sementara Hima hanya menelengkan kepala bingung.
Madam Shoera rupanya mengerti keberatan Aiden, dia terkekeh geli sambil menepuk tangan Aiden. Dan syukurlah suaminya segera menariknya menjauh.
Anggota Klan Utama yang paling akhir memberi ucapan selamat adalah Varsha. Tidak ada ucapan semoga berbahagia atau apapun, dia hanya memandang mereka dengan sangat dingin. Tangannya yang terulur disambut oleh Aiden dengan enggan.
Aiden yakin dia akan membeku di tempat, jika saja Varsha terus memandangnya selama lima menit. Dia menggigit bagian dalam mulutnya, karena signet-nya rupanya bereaksi pada anasir Varsha dan berdenyut. Anasir Nir sangat asing bagi Aiden.
Untunglah Varsha segera melepaskan tangannya.
Tapi Aiden nyaris tidak bisa menahan diri, saat dengan terang-terangan dia melewati Hima. Varsha tidak menjabat tangan Hima.
Itu adalah tindakan yang sangat kurang ajar, apalagi di tujukan kepada calon Ratu. Separuh jiwa Aiden ingin sekali memperingatkan Varsha, tapi dia tahu benar, itu adalah tindakan bodoh. Dia tidak boleh memancing keributan saat ini.
Dan rupanya Xander berpendapat sama, melihat gelagat kurang ajar Varsha, dia langsung menyambar tangan Aiden, mencegahnya berbuat nekat.
Xander menyamarkannya sebagai ucapan selamat, dia mengguncang tangan Aiden dengan sangat berlebihan.
"Selamat Aiden, aku harap kau berbahagia," kata Xander, kemudian memeluknya. "Maafkan aku," tambah Xander dalam bisikan yang sangat lirih tepat di telinga Aiden.
"Berhenti meminta maaf!"
Aiden mencoba mengatur agar bentakannya tidak terdengar oleh Hima. Dia sudah bosan mendengar permohonan maaf Xander.
Dia dulu sempat marah padanya, tapi kini Aiden mengerti. Xander semata-mata menolong seorang anak sebatang kara yang sedang kesulitan.
Adalah Dwyer yang membuat perbuatan baik itu menjadi tercela . Semua mimpi buruk kehidupan yang akan terjadi setelah hari ini adalah salahnya.
Sambil mengangguk, Xander melepas pelukannya. Memberi kesempatan pada Moza yang ada dibelakangnya.
Setelah itu, giliran Ezra mengucapkan selamat. Dia tidak menyalami Aiden secara resmi, tapi mengangkat tangannya. Aiden tersenyum, mereka ber-high five sambil tertawa pelan.
Ezra kemudian berdiri di depan Hima, dia terlihat ragu-ragu.
"Mmmmm.... Lady Hima, eh.. Apakah aku boleh menemui Aiden setelah semua ini?"
Hima terlihat terkejut, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu. Tapi kemudian tersenyum.
"Tentu saja, kau tak perlu meminta izin untuk itu. Kau bebas datang kapan saja mengunjunginya. Kau juga boleh datang ke Auga jika ingin."
"Kata ayah aku harus meminta izinmu sebelum bertemu Aiden."
"Ayahmu memang selalu sedikit berlebihan," sahut Aiden.
Auga adalah daerah tempat tinggal Hima. Terletak di sebelah utara Lumea, di dekat laut. Tempat sebagian besar Nir berada. Klan Raina berkuasa di sana, dan juga tempat keluarga Keandra tinggal.
Setelah hari ini, Aiden akan tinggal sementara di rumah Hima, untuk mengakrabkan diri dengan keluarganya. Sebelum nanti mereka pindah ke istana kerajaan setelah penobatan Hima.
Upacara pengangkatan Hima sebagai ratu, akan dilaksanakan dua minggu lagi. Tapi Aiden belum berpikir tentang kehidupannya sejauh itu. Dua minggu di rumah Hima memenuhi pikirannya.
Dia harus berakting dengan sempurna di sana, sementara dia masih tidak tahu harus bersikap bagaimana pada Hima.
Akan melelahkan! Karena pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang itu, Aiden tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi pada pesta setelah itu.
Yang pasti setelah makanan dan minuman keluar, pesta pernikahan itu menjadi sedikit santai. Obrolan yang terjadi menjadi lebih cair, apalagi setelah sarhos dihidangkan.
Sarhos adalah minuman beralkohol khas Lumea. Dibuat oleh tyaga Zem, dengan cara memurnikan jus berbagai macam buah dengan tanah liat khusus. Hanya Zem yang mampu membuatnya, karena tanah liat yang dipakai harus dipilih secara teliti.
Aiden sangat tergoda untuk meminum segelas sarhos yang ada di depannya, aroma manis diselingi oleh aroma petrichor segar, mengundang air liur Aiden.
Tapi dia tidak boleh kehilangan kesadaran hari ini. Lagipula minuman beralkohol mengingatkannya akan pemabuk Amos.
Setelah puas menghirup aromanya, Aiden meletakkan gelas itu kembali.
"Keputusan pintar!"
Hima tiba-tiba menyahut dari sebelahnya, dengan suara pelan. Tapi Aiden mendengarnya.
Ini adalah pertama kalinya Hima berbicara secara langsung pada Aiden semenjak tiga tahun lalu. Sejenak Aiden terpana.
"Terima kasih?" Aiden tidak tahu harus menjawab apa, dan menurutnya ucapan terima kasih cukup netral, karena bagaimanapun Hima memujinya pintar tadi.
Hima kembali diam dan menatap ke depan setelah itu. Seolah percakapan mereka hanya angin lalu yang tidak berarti.
Sebelum Aiden bisa menenangkan pikiran, tiba-tiba pesta itu mencapai puncaknya. Dan Xander sama sekali tidak mempersiapkannya untuk apa yang terjadi setelah ini.
Setahu Aiden, setelah makan dan minum bersama, mereka akan berangkat ke Auga memakai meyp. Tapi ternyata tidak!
Di bawah pengaruh sarhos, Shoera menarik Aiden dan Hima ke tengah-tengah pesta, dan mulai merancau.
"Aiden--- sebelum acara selesai, kau harus melakukan satu ritual lagi, bukan ritual resmi. Tapi acara pernikahan ini tidak akan seru tanpanya."
"Saya rasa tidak perlu Madam Shoera," Hima menyahut dengan nada tegas. Sepertinya dia tahu apa yang dimaksud oleh Shoera.
Aiden yang sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi, hanya berdiri sambil memandang Shoera yang kini tertawa terbahak-bahak.
"Kau tak akan bisa lari dari ini Hima, aku yakin Adien tidak keberatan. Bukankah begitu?"
Dengan gegabah Aiden mengangguk, tidak tahu apa yang menunggunya. Shoera langsung bertepuk tangan melihat anggukan itu.
Sepuluh detik kemudian, Aiden menyesal karena telah mengangguk.
Shoera kembali menarik Aiden, kali ini dia menjajarkannya dengan Hima, kemudian menyuruh mereka berdiri berhadapan.
"Untuk menandai peresmian hubungan kalian sebagai suami istri, bukalah selubung Hima, dan ciumlah bibirnya," bisik Shoera, dengan nada nakal.
‘Dan terkutuklah semua ini!’ umpat Aiden, dalam hati.
<< REQUEST >>
Aiden sangat tahu, wajahnya pasti memerah saat ini. Dia bisa merasakan aliran hangat naik ke kepalanya, begitu Shoera menjauh, masih sambil terkekeh puas.
Tubuh Aiden mungkin sudah tumbuh dewasa dan semakin pintar, tapi pengetahuannya soal wanita, masih persis sama seperti tiga tahun lalu.
Mencium seorang gadis, hanya pernah dilihatnya dari film.
Terakhir kali Aiden melihat adegan ciuman adalah sekitar lima tahun lalu, saat dia menonton televisi di kedai Lomax. Aiden juga hanya melihatnya sambil lalu, karena sedang mengobrol seru dengan Lomax. Di Lumea juga terdapat film, tapi hanya sebatas layar lebar, yang menayangkan film dari bumi. Tidak ada televisi di Lumea, karena tyaga tidak merasa perlu mengadaptasi budaya itu dari bumi. Jadi jelas pengetahuannya belum bertambah semenjak itu.
Dan kini. dia harus melakukannya pada gadis sungguhan.
Aiden ingin sekali ber-diffusis menjadi api dan menghilang saat itu juga. Tapi fakta kehidupan yang kejam menyatakan, kemampuannya ber-diffusis sama dengan kemampuannya mencium.
Sama-sama payah!!
Tapi toh dia harus melakukannya. Karena kerumunan tamu yang sebagian besar juga sudah setengah mabuk, rupanya setuju dengan Shoera. Mereka sekarang bertepuk tangan teratur sambil meneriakkan namanya seperti mantra pemberi semangat.
"AIDEN!-----AIDEN!-----AIDEN!---."
Maka tangan Aiden yang gemetar, terulur mengangkat veil dari kepala Hima.
Hima hanya diam, tapi dia mengangkat kepala memandang Aiden. Dan itu tidak membantu, saat pandangan mata mereka bertemu, jantung Aiden melompat liar. Keringat dingin membanjiri punggungnya. Apalagi saat mata beralih pada bibir Hima yang memerah, terlihat berkilau seperti apel.
Dengan tekad bulat Aiden mempertahankan kontak matanya dengan Hima, dengan maksud meminta izin. Dia tidak ingin ada tamparan, karena bisa jadi Hima merasa terlecehkan dengan ciumannya.
Dan sepertinya, Hima mengerti maksud pandangan mata Aiden. Hima mengangguk samar, kemudian menutup mata.
Aiden tidak percaya jantungnya bisa berdetak lebih kencang lagi daripada sebelumnya, tapi itulah yang terjadi. Jantungnya meronta melihat Hima menutup mata. Gugup luar biasa.
Seperti adegan film yang diperlambat, Aiden mengangkat tangannya ke leher Hima, mempersempit jarak wajah mereka. Setelah helaan nafas panjang, Aiden dengan nekat menutup mata dan menyentuh bibir Hima dengan bibirnya.
Ciuman singkat berdurasi dua detik, tapi sudah membuat tamu di sana puas. Mereka bersorak sambil bersiul nakal. Puas dan gembira. Sangat berbeda dengan perasaan Aiden yang lututnya sekarang terasa lemas.
Ciuman itu hanya terjadi dua detik, tapi rasa hangat leher Hima dibawah sentuhan tangannya, masih bisa dia rasakan. Aroma Hima yang tercium seperti buah-buahan segar, dan juga bibir Hima yang bergetar, akan tertanam di benak Aiden selamanya. Darahnya berdesir hangat, mengantarkan rasa yang aneh ke perutnya.
*Itu adalah ciuman pertamaku!!!* batin Aiden.
Hima sendiri langsung menunduk, tapi Aiden masih bisa melihat warna merah yang menjalari pipi pucatnya.
Aiden sedikit lega, karena bukan dia saja yang malu, setidaknya perasaan mereka sama saat ini.
"Ah... Youth--- Kalian membuatku merindukan masa mudaku!" Shoera memandang mereka dengan mata berkilau iri.
Aiden tersenyum kecut, sambil berharap Shoera tidak memiliki ide gila lain.
Tapi harapan Aiden tidak terkabul. Setengah jam setelahnya, Shoera kembali memberikan ide gila. Pesta dengan campuran sarhos seharusnya terlarang.
Saat Hima dan Aiden akan beranjak menuju meyp, Shoera menghadang mereka.
"Kau tidak boleh pergi begitu saja, gendonglah istrimu Aiden. Kau kejam sekali, tega membuatnya berjalan.”
Panik kembali menyerbu Aiden.
"Madam Shoera, kaki saya baik-baik saja. Tidak masalah jika saya berjalan," bantah Hima.
Aiden sangat setuju, kali ini ia mengangguk untuk pernyataan Hima.
Tapi sekali lagi, tamu yang lain mengikuti usul Shoera. Bahkan orang tua Hima mengangguk-angguk merasa itu adalah ide bagus. Dan hal itu yang membuat Aiden luluh, dia merasa harus menuruti permintaan Ibu Hima. Aiden masih merasa bersalah karena membohongi mereka berdua.
"Maafkan aku."
Tanpa memberi kesempatan bagi Hima untuk menjawab, Aiden menunduk kemudian menyusupkan tangan ke belakang lutut Hima.
Dengan sekali tarikan nafas, Aiden mengangkat tubuh Hima dengan mudah.
"Hei...."
Untuk sesaat Hima terlihat ingin protes, karena matanya melotot tidak setuju. Tapi kemudian Hima mengubah wajahnya menjadi biasa, saat orang tuanya mendekat sambil tersenyum riang.
Tanpa terdeteksi oleh orang tuanya, Hima bersandiwara mengikuti Aiden. Dia menyunggingkan senyum lebar, kemudian melambai riang.
Aiden dengan langkah lebar dan cepat, berjalan menuju meyp yang akan mereka pakai. Bukan apa-apa, leher tempat signet-nya berada, sekarang terasa membara, karena Hima memakainya sebagai pegangan.
Tangan Hima merangkul leher Aiden untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
Dan seperti biasa, anasir Hima yang asing, membuatnya kesakitan. Aiden mengerahkan segala kemampuannya untuk tetap berwajah datar menahan sakit itu.
"Agh...!"
Sebersit keluhan lolos dari mulut Aiden, saat dia menurunkan Hima. Siksaan dari anasir Hima membuat lehernya seperti tertusuk pisau panas.
"Aku tidak seberat itu!" ujar Hima, masam.
Aiden menoleh heran. Saat melihat wajah cemberut Hima, Aiden sadar telah terjadi kesalahpahaman.
"Aku mengeluh bukan karena berat tubuhmu, tubuhmu baik-baik saja. Aku hanya lelah," elak Aiden, sambil melangkah ke atas meyp.
Hima mendengus kesal, jelas tidak percaya dengan alasan Aiden.
Tapi Aiden sedang tidak ingin membuat penjelasan panjang lain, maka dia duduk diam. Sementara Jei yang akan mengantar, mulai membuat perisai angin di sekeliling mereka berdua.
Meyp yang mereka pakai sedikit berbeda. Biasanya, meyp hanya berupa lempengan tempat berdiri, untuk hari ini, meyp di sulap menjadi tempat duduk nyaman berhias bunga.
Dan Jei yang membawanya cukup ahli, veil yang masih menempel di kepala Hima bahkan tidak bergerak sama sekali, saat perisainya sudah terbentuk sempurna. Aiden akan lupa dia sedang berada di dalam meyp jika saja suara angin tidak menderu di telinganya.
Semenit kemudian, meyp melayang bersama dengan Jei pengaturnya. Di sekitarnya, Aiden bisa melihat pengawal dan juga orang tua Hima melakukan hal yang sama. Lima meyp melayang bersamaan.
Setelah dirasa mencapai ketinggian yang aman, Jei yang berdiri tegak dalam jarak sekitar setengah meter dari mereka, membuat gerakan mendorong dengan tangannya. Dan pemandangan langit malam mulai bergerak di mata Aiden. Semakin lama, semakin cepat.
Sebelum kepalanya pusing karena mabuk udara, Aiden mengalihkan pandangan ke depan memandang titik di kejauhan yang tidak bergerak. Xander sudah memperingatkannya soal ini, meyp bisa membuat penumpangnya pusing dan mual. Seperti saat naik pesawat, tapi lebih parah.
Aiden melirik ke sebelah, Hima juga melihat ke depan, tapi sambil menopang kepalanya dengan tangan. Tidak ingin mengganggu, Aiden diam.
Perjalanan itu akan sangat sunyi.
-------------0O0-------------
Dan demikian, kesunyian berlangsung selama hampir dua jam.
Kecepatan meyp lebih dari pesawat, tapi Auga berada di ujung yang berlawanan dengan Eldur. Mengingat jarak yang harus mereka tempuh, perjalanan itu terhitung singkat.
Aiden menegakkan duduknya, saat meyp turun dengan sangat perlahan ke tanah.
Pemandangan yang terlihat dari atas meyp, membuat rasa gugup Aiden kembali. Auga masih tertutup salju tebal, padahal Eldur musim semi sudah dimulai. Tapi bukan itu yang membuatnya gugup.
Puluhan orang berdiri, bersorak menyambut kedatangan mereka. Pesta belum selesai rupanya.
Meyp belum sepenuhnya mendarat, tapi Aiden bangkit, bersiap berakting, dan Hima mengikutinya. Tapi berdiri tiba-tiba, membuat tubuh Hima oleng.
Dengan cekatan, Aiden menangkap tubuh Hima, mencegahnya jatuh. Perjalanan memakai meyp pasti membuatnya pusing.
Hima tersentak saat Aiden menyentuhnya, dan Aiden otomatis menjauh, tapi tetap memegang lengan atas Hima, takut jika mendadak dilepas, Hima akan jatuh.
Suasana berubah canggung diantara mereka. Hima membuang pandangan kedepan, mencoba menetralkan suasana.
"Sir----," Jei yang membawa meyp miliknya, memanggil pelan, sebelum angin yang melingkupi meyp benar-benar hilang.
Aiden lega, setidaknya suasana kaku terpecah.
"Arch Xander menitipkan ini," lanjutnya, sambil menundukkan kepala, menyerahkan kotak terbungkus kertas coklat.
"Terima kasih," Aiden menerima tanpa banyak bertanya.
Ajaran dari Xander, jangan mudah memperlihatkan rasa penasaran di depan umum, karena akan menarik banyak perhatian.
Aiden sudah bersikap sangat biasa, tapi rupanya Hima tetap tertarik. Matanya mengikuti tangan Aiden yang memasukkan kotak itu ke dalam jas. Tapi dia tidak bertanya lebih lanjut, karena suara kerumunan yang bersorak untuk mereka mulai terdengar. Perisai angin yang melingkupi meyp sudah hilang.
Dan siksaan Aiden dimulai pada detik yang sama. Aiden sudah memperkirakan hal ini akan terjadi, tapi tidak pernah membayangkan rasa sakitnya akan menyiksa seperti ini.
Dia sudah terbiasa dengan anasir Eldur yang didominasi Sua, Zem, bahkan juga Jei karena pergaulannya dengan keluarga Xander.
Tapi Auga, penuh dengan Nir!
Signet di lehernya membara seolah membakar kulit, hampir sama seperti ketika Aiden sampai di Lumea pertama kalinya.
Tapi kali ini berjuta kali lebih buruk, karena dia harus menahan sakit itu di depan puluhan orang, yang sedang berusaha menjabat tangannya untuk mengucapkan selamat. Aiden memasukkan tangan kiri ke saku dan meremas sisi perutnya dengan sekuat tenaga, berharap rasa sakitnya akan terbagi.
Wajah Aiden pucat, tapi dia masih bisa tersenyum. Walaupun dengan mulut bergetar.
Dan akhirnya Aiden bisa bernafas sedikit lega, saat tahu rumah Hima ternyata tidak jauh dari tempat mereka mendarat. Tyaga yang menunggu mereka mulai berkurang jumlahnya, begitu mereka dekat dari rumah.
Setelah memberi lambaian terakhir dan melangkah dalam rumah Hima, Aiden berhenti sejenak bersandar pada tembok. Memejamkan mata sambil mengatur nafas. Pengendalian dirinya nyaris jebol.
Aiden berharap ada seseorang yang memotong lehernya saat itu juga, penglihatannya sudah mulai kabur karena rasa sakit itu.
"Kau sakit?"
Suara Hima menembus telinga Aiden, membuatnya membuka mata dan berdiri lebih tegak. Mencoba bersikap biasa.
Aiden melirik ke belakang dan bersyukur. Hanya mereka berdua yang ada di dalam rumah, orang tua dan kerabat Hima masih mengobrol di luar.
"Maaf, tapi aku harus ke kamar mandi."
"Di ujung lorong itu, pintu berwarna kuning," Hima menunjuk ke kanan.
"Terima kasih."
Mengerahkan kekuatannya yang terakhir, Aiden meluruskan tubuhnya, dan melangkah tegak. Dia tidak boleh terlihat sakit. Dia tidak akan bisa menjawab pertanyaan seputar penyebab dirinya sakit.
Pintu berwarna kuning itu seolah oase bagi Aiden, dia menatapnya dengan rasa lega yang amat sangat. Dengan tergesa Aiden masuk dan menutup pintu di belakangnya.
Aiden jatuh berlutut begitu pintu itu tertutup.
Dia lalu membekap mulutnya dengan erat, untuk menahan teriakan yang mungkin saja muncul, sementara tangan satunya meremas lehernya yang terus membakar kesadaran Aiden.
Aiden memukul lantai kamar mandi dengan tinju, saat denyutan panas seolah membelah kepalanya.
Pada detik-detik terakhir kesadarannya, Aiden melihat bak kecil berisi air, tanpa banyak berpikir Aiden mencelupkan seluruh kepalanya ke dalam air.
Air itu dingin, sedingin es.
Kepalanya tentu saja terasa seperti tersengat, tapi jauh lebih baik. Karena rasa sakit dari signet yang panas, sekarang berkurang. Reseptor rasa sakitnya kebas terkena air dingin.
Sepuluh detik dalam air, Aiden mengangkat kepalanya.
Keadaannya jauh lebih baik. Pandangannya sudah mulai jernih. Tapi Aiden membenamkan kepalanya lagi. Untuk lebih amannya.
Tok---Tok----Tok!
"Aiden, apa kau baik-baik saja?"
Aiden mengangkat kepalanya dari air. Dia tidak tahu siapa yang memanggilnya tadi, karena telinganya terendam air.
"Ya, baik-baik sssaja!"
Bibir Aiden gemetar karena dingin kali ini. Dia harus keluar sekarang, mereka akan curiga jika dia absen lebih lama lagi.
Aiden mengusap kepalanya yang masih meneteskan air, dan menatap bajunya. Jas birunya yang licin tidak berbentuk lagi. Basah dan satu kancingnya hilang. Aiden mendesah, dia harus bekerja keras membuat alasan yang masuk akal.
Dengan pelan Aiden membuka pintu.
"ASTAGA!! Apa yang terjadi?"
Aiden lebih suka jika yang berada di depan pintu itu Hima, setidaknya dia tidak akan banyak bertanya. Tapi dia tidak beruntung, Ryola yang menunggunya.
Ryola dengan panik memeriksa Aiden yang berantakan.
"Mmmm... saya baik-baik saja, Mrs. Keandra. Hanya terpeleset."
Menurut Aiden itu alasan yang lumayan.
"Aiden----kau harus berhenti bersikap sesopan itu padaku. Panggil saja Ryola atau Ry, dan untuk ayah Hima, panggil saja Glyn. Kita keluarga sekarang."
Ryola menyenggol perut Aiden dengan sikutnya. Dia tersenyum ramah. Kehangatannya mengingatkan Aiden pada Mrs. Morsete. Dan penyesalan menggumpal di hati Aiden, mereka benar-benar tulus memperlakukannya dengan baik.
*Seharusnya aku tidak berbohong pada mereka!!*
"Bajumu basah semua, kau harus segera mengeringkannya,"
Butuh sesaat bagi Aiden untuk mengerti, jika sebagai Sua, seharusnya dia bisa dengan mudah mengeringkan bajunya dengan anasir. Memanaskan udara untuk menguapkan air adalah mainan anak kecil tyaga Sua.
Tapi tidak untuknya!
"Saya ingin sekalian berganti baju, Baju ini sedikit merepotkan!"
Aiden menjawab cepat-cepat. Khawatir Ryola akan menyuruhnya mengeringkan diri saat itu juga.
"Jas panjang memang merepotkan, tapi aku harus mengakui, kau terlihat tampan mengenakannya."
Ryola memberinya tatapan mata jahil.
Aiden tertawa pelan, Ryola sangat jauh berbeda dengan Nilaya, bagai bumi dan langit.
"Semua kopermu sudah ada di kamar. Aku akan mengantarmu ke sana. Setelah itu 'istirahatlah', kau mengerti bukan?"
Ryola ternyata gemar menggoda, kali ini dia melengkapi kalimat bersayapnya dengan kedipan mata nakal.
Aiden kembali mencoba untuk tersenyum pada Ryola, dan ingin menanggapi dengan lelucon yang lebih baik, tapi lehernya kembali nyeri.
Maka dia hanya diam menahan sakit, saat Ryola memberinya tur ke sekeliling rumah.
Godaan Ryola tidak akan terwujud. Aiden tahu benar, malam ini tak akan terjadi hal lain selain beristirahat.
Mengingat sikap Hima saat dia menyentuhnya di meyp tadi, Aiden dengan pasti akan mengatakan 'malam pertamanya' mustahil terjadi! Hima berjengit hampir seketika saat dia menyentuhnya. Itu isyarat penolakan yang sangat jelas menurut Aiden.
Tidak menyadari kepasifan Aiden, Ryola terus menjelaskan satu demi satu ruangan yang mereka datangi.
Aiden hanya menanggapi dengan kata 'wow' dan 'wah'.
Rumah itu terdiri dari kayu dan batu. Kayu untuk lantai, sedangkan temboknya terbuat dari bongkahan batu yang dilekatkan dengan es. Bahan bangunan unik itu, membuat suhu didalam rumah tidak jauh berbeda dengan di luar, tapi bukan masalah bagi kaum Nir.
Mereka tidak kebal, tapi toleransi mereka terhadap suhu dingin, lebih tinggi dari pada tyaga anasir lain. Tapi untunglah perabotannya normal, seperti rumah tyaga yang biasa.
Untuk ruangan terakhir, Ryola membawanya ke ruang keluarga.
"Ruangan favorit Hima. Dia menghabiskan banyak waktu di sini bersama ayahnya," ujar Ryola.
Di perapian yang biasanya menyala api besar, hanya terdapat bara kecil yang menyala lemah. Hanya mampu menghangatkan udara dalam jarak beberapa jengkal.
Dan Aiden tidak terkejut melihat Glyn berada di sana, duduk sambil meminum secangkir kopi panas.
Glyn tersenyum cerah saat melihatnya datang. Dia berdiri kemudian menepuk punggung Aiden. "Selamat datang di Auga!" katanya.
"Tempat yang indah. Saya tidak sabar ingin berkeliling," kata Aiden sopan.
"Kau belum pernah kesini?" tanya Ryola. Aiden menggeleng.
"Ya--kalian Sua memang selalu sensitif terhadap rasa dingin," kata Ryola, sambil melirik ke arah suaminya.
Glyn tersenyum sambil mengusap rambut hitamnya yang mulai memutih, "Aku tidak sensitif Ry, kalian saja yang terlalu hebat. Kau tahu, ibu mertuamu ini bisa menyelam di laut es selama setengah jam?!" ujarnya, kemudian terkekeh.
Nada bicara Glyn setengah jengkel, setengah kagum.
Glyn adalah Sua. Dia menikah dengan Nir dari Auga, kemudian memutuskan untuk pindah ke sini. Suhu dingin tidak menjadi hambatan berat, karena dia bisa menghangatkan dirinya sendiri.
Sangat berbeda dengan Aiden.
"Itu hebat sekali," kata Aiden, tulus memuji Ryola. Karena manusia biasa, sudah pasti akan mati jika menyelam di laut es.
"Oh--hentikanlah, kau membuatku malu," Ryola terdengar galak, tapi dia menatap suaminya dengan mata lembut.
Tidak diragukan, Hima tumbuh dalam keluarga yang sempurna dan hangat.
"Kenapa kau tidak menghangatkan diri? Kau terlihat hampir membeku."
Glyn sekarang memandang baju Aiden yang masih basah dengan heran.
"Oh.. saya ingin berganti baju dulu," elak Aiden.
"Dan kau malah membawanya berkeliling?!" Glyn memandang istrinya dengan mata melebar.
"Aku hanya ingin membiasakan Aiden pada rumah ini," bantah Ryola. "Tapi aku rasa bisa dilanjutkan besok," tambahnya, sambil meringis bersalah.
"Biarkan dia beristirahat, kau membuat Hima menunggu lama," kata Glyn. Dan lagi, dilengkapi senyum dan kedipan mata.
*Godaan yang tidak perlu!*
"Kamar kalian ada di sudut sebelah sana, dengan pintu berwarna merah. Kami sengaja mengecatnya sesuai dengan warna favoritmu. Aku harap kau akan suka."
Dengan ramah Ryola menunjuk ke arah kiri.
‘Apa?? Merah? Warna favoritku?’
Informasi itu jelas ngawur, tapi Aiden tidak ingin meralatnya. Akan sangat kurang ajar, karena Glyn terlihat sangat yakin tentang itu.
"Tentu saja, terima kasih. Kalian sangat perhatian sekali."
Aiden menunduk hormat, kemudian meninggalkan mereka berdua setelah mengucapkan selamat tidur.
Aiden menatap pintu merah itu selama lima detik. Mempersiapkan diri untuk sandiwara berikutnya. Aiden menepuk belakang lehernya, karena rasa sakit mulai kembali.
Tok---Tok--Tok
"Siapa?" Suara Hima menyahut dari dalam
"Aiden!"
Aiden mendengar suara selot kunci bergerak, tapi pintu itu tidak terbuka.
‘Apakah ini berarti aku diizinkan masuk, tapi harus membuka pintu sendiri?’
Aiden membuka pintu dengan pelan, mendapati Hima sedang duduk, dalam ruangan yang membuat matanya menyipit. Ukuran kamar itu dua kali lebih luas dari pada kamar yang selama ini ditempatinya di Eldur, tapi dengan dekorasi 'unik'.
Semua yang ada di kamar itu berwarna merah. Tempat tidur, bed cover, tirai, kursi, meja, sofa panjang sampai almari. Aiden sangat yakin, jika tembok batu dan es itu bisa diwarnai seperti pintu kayu tadi, mereka pasti sudah mengecatnya juga.
"Kenapa kau tidak mengeringkan diri?!" tanya Hima. Memandang dari ujung rambutnya yang masih kaku karena basah, sampai ujung kakinya yang masih bersepatu.
Aiden mulai kesal, karena pertanyaan itu membuatnya selalu teringat akan kelemahannya.
‘Apakah menjadi Sua yang basah adalah kejahatan?’
"Aku ingin berganti baju."
Aiden menyisir sekitar kamar, dan mendapati dua koper besarnya teronggok di bawah jendela.
"Kita harus bicara!"
"Beri aku waktu lima menit."
Aiden harus mencelupkan kepalanya kembali jika masih ingin berbincang dengan waras. Rasa sakit itu kembali
"Oh.. tentu saja," Hima melambaikan tangan ke arah pintu merah lain di sudut ruangan. Aiden menebak itu adalah kamar mandi.
Tidak ingin membongkar koper di hadapan Hima, Aiden menyeret salah satunya ke kamar mandi.
Dengan lega Aiden menyalakan shower kemudian memposisikan kepala dan lehernya di bawah kucuran air dingin. Rasa sakitnya teredam.
Setelah dirasa cukup, Aiden segera berganti baju. Dia memakai sweater berwarna hitam dengan kerah turtleneck, untuk memerangi hawa dingin.
Aiden sudah mengeringkan rambutnya sebisa mungkin dengan handuk, tapi tentu saja rambutnya masih lembab. Aiden berharap Hima tidak akan mempertanyakan, kenapa dia tidak mengeringkannya memakai anasir nanti.
Dengan terburu-buru, Aiden membereskan jas dan baju yang tadi dipakainya, gerakannya terhenti saat tangannya menyentuh benda keras di dalam saku jasnya.
Kotak dari Xander.
Aiden ingin sekali memeriksa isinya, tapi dia sudah berada dalam kamar mandi terlalu lama. Hima akan curiga. Maka dia menyelipkannya ke dalam kantong celana longgar yang dipakainya.
Setelah selesai membereskan baju basahnya, Aiden tergesa keluar, tapi kamar itu kosong.
‘Kemana dia?’
Aiden sedikit kesal, jika tahu Hima akan keluar, dia tidak perlu terburu-buru tadi. Tapi semenit kemudian perasaannya berubah. Absennya Hima memberinya kesempatan untuk memeriksa titipan Xander.
Sambil memandang ke arah pintu dengan waspada, Aiden membuka bungkusan itu.
Xander ternyata memberinya ponsel dan sebotol obat tidur!
Aiden berkerut sambil mengelus ponsel itu. Ponsel tidak berguna di Lumea, karena tidak akan ada layanan sinyal. Botol obat tidur itu lebih berguna untuknya.
Aiden pernah meminumnya beberapa kali, saat rasa sakit di lehernya tidak tertahankan seperti hari ini. Xander mengambil langkah pencegahan yang gagal di pikirkan oleh Aiden.
Aiden masih kalah pintar dalam bersiasat, tapi wajar, karena Xander adalah gurunya.
Saat akan menghidupkan ponsel, Aiden mendengar suara dari luar. Seseorang berbicara di depan pintu.
Dengan tergesa, Aiden mengembalikan ponsel kembali ke dalam kotak, dan menyelipkannya ke kantong.
Berpikir cepat, Aiden menenggak cairan penidur itu dalam sekali helaan nafas. Dari pengalamannya, cairan itu sedikit berbeda dengan obat tidur kimia dari bumi, butuh sekitar setengah sampai satu jam sebelum bereaksi.
Waktu yang cukup bagi dirinya dan Hima untuk mengobrol.
Aiden menyimpan botol kosong itu dengan sembarangan ke dalam salah satu koper. Setelah dirasa tidak ada benda mencurigakan yang tertinggal, Aiden duduk di sofa panjang, dan mencoba untuk terlihat santai.
‘Ada yang salah!’
Aiden tiba-tiba saja merasa pandangan matanya bergoyang. Kelopak matanya juga terasa berat.
‘Ini tidak mungkin!’
Obat itu bekerja lebih cepat dari perkiraannya. Tanpa bisa melawan, mata Aiden dengan perlahan menutup.
<< COMPROMISE >>
"Lihat---lihat. Warna rambutnya indah sekali."
"Kita tidak boleh ada disini, Hita! Hima akan marah."
"Aku hanya ingin melihat wajahnya!"
"Kau akan bisa melihatnya jika dia bangun nanti."
"Tapi lama----."
Aiden mendengar pertengkaran itu dengan kesadaran yang masih terayun-ayun, matanya masih terpejam rapat, berat untuk dibuka.
"Dia bergerak!"
Aiden mengangkat tangan, mengusap wajahnya, mengumpulkan nyawa, sambil mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum dia tertidur.
‘Pernikahan, signet yang menyiksa, obat tidur, ponsel, dan pembicaraan dengan Hima!’
Untuk poin terakhir tentu saja belum terlaksana, karena dia tertidur. Aden membatin semua itu dengan rasa lega, karena lehernya sudah terasa jauh lebih baik. Masih terasa panas, tapi tidak lagi menyakitkan.
Aiden duduk setelah matanya bisa terbuka lebar.
Dua gadis kecil dengan wajah yang sangat mirip, berdiri menatapnya. Berambut coklat seperti Ryola, dan bermata ungu seperti Glyn dan Hima.
Tentu saja Aiden tahu siapa mereka, Xander sudah memberi informasinya. Tapi dia tidak ingin merusak kesempatan mereka untuk memperkenalkan diri.
"Dan siapa kalian?" tanya Aiden, pura-pura tak tahu.
Aiden tersenyum ramah, sambil menurunkan kaki. Dia masih berada di sofa yang sama, tempat terakhir dia duduk. Hima tidak mengusik posisinya, tapi Hima masih berbaik hati dengan memberi Aiden selimut tebal.
"Anahita," jawab gadis kecil yang menatap Aiden dengan berani.
"Andhita," gadis kecil yang satunya, memandang Aiden dengan wajah sedikit takut dan malu.
Mereka berdua adalah anak terakhir dari keluarga Keandra, kembar perempuan, berumur sepuluh tahun lebih muda dari Hima. Sosok mereka berdua otomatis mengingatkan Aiden akan Nilam. Mereka hanya setahun lebih tua darinya.
"Kau tidur lama sekali," kata Hita.
Sifat Hita yang paling mendekati Nilam, Dia terus bergerak gelisah, tidak bisa diam.
"Kata Hima, kau sakit," masih Hita yang berbicara, Dhita hanya menunduk.
“Kakakmu benar, aku sakit.” Alasan yang dibuat oleh Hima masuk akal, lebih baik dia mengikutinya.
"Itu juga sakit?" Hita menunjuk tangan kanannya.
Aiden kaget saat melihat plester berwarna putih membalut punggung tangan kanannya. Dia ingat tangan itu memar karena meninju lantai kamar mandi dengan sekuat tenaga. Tapi Aiden tidak terlalu memikirkannya setelah itu.
‘Apa Hima melakukan kebaikan yang lain, disamping memberiku selimut?' Aiden tidak bisa menyembunyikan senyum menyadari hal itu.
"Apa kau sekarang sudah sembuh?"
Aiden mengangguk. Hita langsung bertepuk tangan, "Bagus!"
"Dan kenapa kau gembira sekali?" tanya Aiden, penasaran.
"Aku ingin mengajakmu berjalan-jalan, dan memamerkanmu pada semua temanku. Mereka tidak percaya saat aku bilang kau tampan," jawab Hita, gamblang.
"Ha---Ha--Ha," Aiden tidak bisa menahan tawanya lagi. Jawaban jujur Hita sangat menyegarkan.
"Hita!!" Dhita menegur keterus terangan Hita, sambil menyikut perutnya.
"Jadi menurut kalian aku tampan?"
Hita cepat-cepat mengangguk, "Aku tidak akan menyetujui perjodohan ini jika kau tidak tampan!"
"Dan kau pikir Synod akan mendengar pendapatmu?" Dhita menyahut sinis.
Hita hanya mengangkat bahu.
Sifat mereka begitu berbeda, padahal wajah mereka identik. Aiden bisa membayangkan mereka berdua akan terus bertengkar karena masalah kecil sampai mereka dewasa nanti. Ryola pasti sangat kerepotan menghadapinya.
"Apa yang kalian berdua lakukan disini?!" Suara Hima lantang menghardik, bersamaan dengan pintu kamar terbuka.
Pesta telah usai! Hita dan Dhita merepet ke sudut kamar, saat Hima masuk ke kamar sambil melotot galak.
"Kami hanya ingin melihat Aiden."
Aiden merasa geli, karena sekarang justru Dhita yang menjawab, Hita mundur bersembunyi di belakangnya. Jelas dia yang lebih sering dimarahi oleh Hima.
"Apa yang aku katakan tentang masuk ke dalam kamar orang lain?" Hima berkacak pinggang.
"Kami tidak boleh masuk sebelum diizinkan," jawab mereka berdua bersamaan.
"Dan apakah Aiden mengizinkan kalian masuk?"
Aiden nyaris terkekeh, saat mereka kembali menggeleng bersama. Rupanya Hima yang menjinakkan mereka berdua.
'They're cute!'
"Minta maaf pada Aiden, karena kalian telah mengganggu."
"Tidak perlu," Aiden segera memotong permintaan maaf itu. Dia tidak merasa terganggu.
"Jangan ikut campur, mereka harus diajari sopan santun," bantahan tajam Hima, membuat Aiden terdiam.
"Maafkan kami Aiden. Kami tidak akan mengulangi lagi."
Dhita mungkin terlihat menyesal, tapi Hita tidak. Mulutnya meminta maaf, tapi kakinya bergoyang tidak puas.
"Sekarang keluar!" usir Hima galak, mereka langsung berebutan berlari keluar.
Hima mengalihkan mata galaknya pada Aiden. "Dan apa sebenarnya yang terjadi padamu? Aku belum pernah melihat seseorang bisa tidur selama hampir dua hari."
Aiden yang baru saja bangkit menggeliat, menghentikan gerakannya "Dua hari?!"
‘Obat tidur macam apa yang aku minum?' Aiden mengira dia hanya bangun kesiangan. Pantas saja Hita menyebut tidurnya lama sekali.
"Aku dengar kau memang sakit-sakitan sejak kecil, tapi aku belum pernah mendengar penyakit yang akan menyebabkan seseorang tidur selama itu."
'Karena memang tidak ada penyakit seperti itu.' Tapi Aiden tidak mungkin menjelaskan apapun pada Hima.
"Jangan khawatir, tidak akan terjadi lagi," kata Aiden.
Signet-nya hanya menyisakan rasa panas. Beberapa hari di sini, rasa panas itu akan menghilang, karena sudah terbiasa.
"Kau tahu pasti penyakitmu tidak akan kambuh?" Hima mengernyit heran. Semakin bingung dengan keadaan penyakit Aiden.
Aiden mengangguk, dan diam. Dia tidak ingin berbohong pada Hima lebih jauh lagi.
"Lalu tanganmu kenapa? Keadaannya terlihat seperti kau baru saja meninju batu."
‘Karena memang aku memakainya untuk meninju batu!’
"Kecelakaan kecil, tidak penting," jawab Aiden, pendek.
"Baiklah!" Hima akhirnya menyerah mencari jawaban dari Aiden, karena jelas dia memilih bungkam.
Hima kemudian duduk di salah satu kursi yang berada di hadapan Aiden. Aiden sendiri sudah duduk kembali di sofa.
"Kita akan berdiskusi aku rasa," kata Aiden, mengingat pembicaraan terakhir mereka.
Hima mengangguk, tapi kemudian menunduk. Berpikir keras.
"Pertama, orang tuaku tidak tahu jika kita tidak pernah bertemu selama tiga tahun ini."
Hima akhirnya bersuara, dia memandang Aiden, yang kini mengangguk.
"Apakah warna merah ini hasil pertemuan palsu kita?" kata Aiden menunjuk sekeliling kamar.
"Kau bisa menebak sejauh itu hanya dari satu kalimat tadi?." Hima terlihat terkejut, dan terkesan.
Warna favorit Aiden jauh dari merah. Karena itu, dia menebak, jika Hima telah berbohong pada orang tuanya. Hima mengarang cerita jika mereka telah bertemu secara rutin sesuai jadwal.
Aiden sudah memperkirakan hal ini, well-- warna merah itu tetap kejutan. Aiden tidak menduganya.
Gambaran itu muncul di kepalanya, begitu orang tua Hima berkata warna favoritnya adalah merah. Bukti lainnya adalah, perlakuan orang tua Hima padanya yang sangat hangat.
Orang tua Hima tidak akan menyambutnya seramah itu, jika tahu mereka berdua tidak pernah bertemu sama sekali. Mereka tentu mengira Aiden dan Hima telah menjalin hubungan selama tiga tahun ini.
Dan karena kebohongan itu juga, Aiden membayangkan Hima akan mengajukan suatu usulan padanya. Dan dia akan mendengarkannya.
"Kau lebih pintar dari pada dugaanku," kata Hima.
‘Keterusterangan yang brutal menurun dalam keluarga ini rupanya!’
Sikapnya persis sama dengan Hita, mengutarakan pikiran yang sedikit keji, tanpa perlu merasa bersalah.
"Tapi baguslah, aku tidak perlu berpanjang lebar."
"Bisa kita langsung ke intinya saja?" Aiden mulai tak sabar.
"Apa tujuanmu menerima pernikahan ini? Kau jelas-jelas tidak tertarik padaku."
"Dan kau juga tidak tertarik padaku. Jadi kenapa aku harus menjawab pertanyaan itu?" sambar Aiden cepat.
Selangkah lagi mereka akan bertengkar, karena Hima jelas tidak terima dengan bantahan Aiden. Tapi Aiden tidak akan begitu saja menjawab. Mereka berdua dalam posisi yang sama, dia juga berhak tahu apa alasan Hima.
Bibir merah Hima menipis menahan amarah. Dan menurut Aiden itu langkah yang pintar. Mereka harus menyelesaikan ini dengan kepala dingin.
Akhirnya dengan enggan, Hima menjawab.
"Pernikahan ini adalah perintah dari Synod, aku tidak bisa menolaknya. Tapi keluargamu masih memiliki kemungkinan menolak, Vivash jauh lebih berpengaruh dari pada Keandra. Kalian tidak harus menerima perintah ini."
‘Kalian?’
Aiden tidak suka Hima mengelompokkannya bersama Dwyer dengan menyebut 'kalian'.
"Aku tidak tahu apa alasan----ayah menerima perintah itu. Aku hanya menurutinya."
Aiden sedikit kesulitan menyebut Dwyer sebagai ayah.
"Kau tidak terlihat sebagai anak yang penurut."
Pembacaan karakter yang sangat tepat. Aiden tidak pernah menjadi penurut, dia mungkin terlihat diam. Tapi itu berarti Aiden selalu berpikir sebelum melawan. Aiden mengangkat bahu, tidak mungkin mengatakan alasanya karena Nilam.
Hima terlihat tidak puas dengan jawaban seadanya dari Aiden, tapi tetap melanjutkan uraiannya.
"Apapun alasannya, sekarang kita telah menikah."
Hima berhenti sejenak untuk menelan ludah.
"Tapi jangan berharap kita akan hidup sebagai suami istri!"
Jika tidak melihat wajah Hima yang tiba-tiba terlihat malu, Aiden akan bingung. Tapi warna merah yang merata menjalari wajah Hima, membuat Aden sadar benar maksud dari kalimat itu.
Untuk lebih jelasnya, mereka tidak akan 'tidur' bersama. Orang tua Hima tidak akan mendapatkan cucu dari mereka berdua.
"Percayalah---aku juga tidak menginginkannya," balas Aiden, dengan kalem.
Bukannya dia sakit atau kelainan, tapi Aiden tidak ingin menjalin hubungan mendalam dengan tyaga manapun.
Pada keadaan yang normal, Aiden akan menganggap Hima menarik. Dia cantik dan tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Tapi Aiden tidak akan berusaha mendapatkannya.
Alasannya utama, karena jelas Hima tidak menginginkannya, dan Aiden tidak mungkin memaksa. Alasan lain, sex hanya akan memperumit masalah. Dia bermaksud pergi dari Lumea secepat mungkin, akan lebih baik jika dia menghindari hal itu.
Setelah mendengar jawabannya, Hima melihatnya dengan teliti. Dia pasti meragukan jawaban Aiden.
Baik manusia biasa ataupun tyaga, memiliki sifat yang sama. Laki-laki tidak terkenal mampu dalam hal menahan godaan jika berkaitan dengan sex. Tapi itu tadi adalah kalimat terjujur dari semua yang Aiden katakan sedari tadi. Dan Hima bisa melihatnya.
"Baiklah, aku mempercayainya," Hima menyibak rambut panjangnya ke belakang telinga.
"Tapi aku ingin agar kita bersikap seperti pasangan biasa jika di depan orang. Terutama di rumah ini."
Tanpa diminta, Aiden akan melakukannya. Dia tidak mungkin membuat kedua orang tua yang ramah itu kecewa, dengan bersikap dingin pada Hima.
Aiden mengangguk mengerti.
"Untuk saat ini hanya itu saja yang terpenting. Nanti setelah penobatan, akan ada hal lain yang harus kita bahas," lanjut Hima.
"Apa keuntungannya untukku?" tanya Aiden.
Dia tidak bodoh, Aiden menjalani ini karena Nilam. Tapi Hima tidak tahu tentang hal itu. Saat ini, dari sisi untung rugi, Hima akan lebih banyak dirugikan jika pernikahan mereka gagal.
Aiden memiliki nilai tawar yang lebih tinggi, dia bisa mengajukan syarat. Hima menyadari arah pertanyaan Aiden, dan melotot marah. Tapi dia tidak bisa membantah.
"Apa maumu?" Hima melipat tangannya di depan dada dengan kesal.
"Aku ingin seratus butir mutiara setiap bulan, selama kita menikah."
Permintaannya bukan hal yang sulit, Aiden tahu benar soal ini.
Keandra bukan klan utama, tapi mereka menguasai lahan pemanenan mutiara yang luas. Keluarga mereka adalah satu-satunya keluarga Nir yang dulu bersedia memanen mutiara untuk pertama kalinya.
Pada awal mula diperkenalkan, tyaga Nir sulit menerima, jika keberadaan kerang yang selama ini mengganggu, ternyata bisa menghasilkan uang. Butiran mutiara yang berada di dalam kerang, hanya mereka anggap sebagai sampah.
Nenek moyang Keandra tanpa ragu menerima tantangan itu. Tidak mempedulikan ejekan Nir yang lain, mereka memanen mutiara. Dan begitulah Keandra sudah mengklaim lahan mutiara yang cukup luas, sebelum Nir yang lain mengikuti, termasuk Raina.
Dan ladang panen mutiara itu bukan satu-satunya bisnis Keandra. Sebagai Sua, Glyn tidak terlibat dalam bisnis mutiara, tapi dia berhasil mengelola beberapa restoran di berbagai penjuru Lumea. Mereka kaya raya.
Seratus butir mutiara yang Aiden minta hanyalah butiran debu jika dibandingkan dengan jumlah hasil panen mutiara keluarga Keandra setiap bulannya.
Rencana ini sebenarnya baru terbentuk di belakang kepala Aiden selama pembicaraan tadi.
Aiden membutuhkan jaminan kehidupan yang lebih layak begitu meninggalkan Lumea. Emblem Vivash tidak akan berguna di bumi, dia memerlukan uang. Dan mutiara adalah jawabannya.
Aiden tidak tahu berapa lama dia akan menikah dengan Hima, tapi dia akan mengumpulkan sebanyak mungkin mutiara sebelum kembali ke bumi. Aiden akan membiayai kehidupannya bersama Nilam dengan hasil penjualan mutiara itu.
Hima yang tidak tahu hubungan Aiden dengan bumi, tentu sangat heran. Matanya terbuka lebar. Jawaban Aiden sangat jauh dari bayangan Hima. Dia menyangka Aiden akan meminta kekuasaan atau apa.
"Tapi untuk apa?" Hima tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya lagi.
"Kau tidak perlu tahu. Harga yang aku minta cukup murah bukan? Jika dibandingkan dengan permintaanmu," jawab Aiden.
Hima tahu itu benar, dia meminta Aiden bersandiwara mengikuti skenario yang rumit.
"Baiklah, seratus butir mutiara setiap bulan," kata Hima. Dia bisa memenuhi tuntutan Aiden dengan mudah.
"Bagus--- Sepakat?" Aiden mengulurkan tangannya.
Hima menjabatnya erat lima detik kemudian. Dia tentu masih bingung dengan maksud dari permintaan Aiden. Tapi Aiden menolak menjelaskan apapun lagi. Hima hanya bisa menerima kesepakatan itu.
"Mandilah-- Ibu pasti sudah mempersiapkan makan siang. Hita pasti sudah memberitahunya soal kesembuhanmu."
Dan begitu saja Hima beranjak keluar kamar.
Mendengar makan siang, perut Aiden meronta. Tanpa ragu lagi dia melompat bangun, bergerak ke kamar mandi.
Tapi rasa gembiranya tidak berlangsung lama. Dia menyumpah setelah merasakan air yang keluar dari kran ternyata dingin sekali, dia lupa soal ini. Tidak akan ada yang menawarinya untuk menghangatkan air. Sebagai tyaga Sua, mereka mengira Aiden bisa memanaskan air itu sendiri.
Sambil menggigil Aiden menyelesaikan mandi kilat air es-nya. Saat menarik baju dari koper, mata Aiden melihat kotak dari Xander yang kini hanya berisi ponsel. Setelah memakai baju dua lapis yang hangat, Aiden memeriksa kotak itu lagi. Di bawah ponsel itu, ternyata ada surat yang terlipat. Aiden tidak melihatnya kemarin.
Aiden,
Aku harap rasa sakit dari signet tidak terlalu menyiksamu. Tapi untuk kemungkinan terburuk, aku menyertakan obat tidur. Tapi hati-hati, obat ini lebih kuat dari yang biasa. Reaksinya lebih cepat, dan jangan kau habiskan sekaligus. Seperempat botol akan cukup membuatmu tertidur semalaman.
Aiden mengumpat, dia seharusnya membaca surat itu dulu. Aiden tertidur hampir dua hari karena over dosis.
Untuk ponselnya, nyalakan! Ada kejutan untukmu di dalam. Aku harap bisa menghiburmu.
Aku tahu kau tidak suka saat aku melakukan ini, tapi aku meminta maafkan sekali lagi, karena telah membuatmu bertemu dengan Dwyer Vivash. Aku harap bisa menebusnya suatu saat nanti
Salam, Xander.
Aiden menggeleng tak percaya. Xander masih menyesalinya. Dia sudah menyuruh Xander untuk melupakan rasa bersalah itu. Dan untuk penebusan, Aiden merasa Xander sudah melakukan cukup banyak hal.
Selain pertolongannya dulu, selama tiga tahun kebelakang, Xander memberinya kehangatan keluarga. Selain mengajarinya banyak hal, Xander sering mengajaknya pulang ke rumahnya. Dia dan istrinya, juga Ezra memperlakukan Aiden seperti keluarga.
Terutama Ezra, dia dan Aiden sudah seperti saudara kandung. Penebusan adalah hal yang tidak perlu. Xander terlalu banyak berpikir.
Aiden beranjak ke sofa sambil menyalakan ponsel dan menunggu sejenak. Baterai ponsel itu penuh, dan tentu saja tidak ada tanda-tanda sinyal.
Tapi di layar utama, terdapat dua file video. Aiden menyentuh salah satunya. Video itu berdurasi sekitar setengah jam.
“Aideeeenn!”
Tenggorokan Aiden langsung tersumbat oleh rasa haru, saat seiring suara melengking, wajah Nilam memenuhi layar. Video itu buatan Nilam, dengan riang, dia merekam kehidupan sehari-harinya.
Dengan detail, Nilam menjelaskan suasana rumah tempat tinggalnya. Kamar yang ditempatinya, ayunan tempatnya bermain, hewan ternak yang dia rawat setiap hari.
Nilam juga memperkenalkan kedua orang yang mengasuhnya. Mereka terlihat baik, dan melambai pada kamera saat Nilam memintanya. Mereka tersenyum malu, karena tidak terbiasa dengan kamera.
"MMmmm.... kata Xander, kau sedang berada di tempat yang jauh untuk menyembuhkan diri. Aku marah padanya, karena tidak mau memberitahu kemana kau pergi. Tapi tak apa-apa, aku akan menunggu di sini. Di sini sangat menyenangkan. Datanglah jika kakimu telah sembuh. Love you Aiden!!"
Itu adalah kata-kata Nilam sebelum video berakhir. Dengan ceria dia melambai dan memberinya ciuman di udara.
Aiden menarik nafas panjang, mencegah emosinya menyeruak keluar. Tapi matanya sudah menghangat. Dia merindukan Nilam, seseorang yang paling bisa dia sebut adik, lebih dari Ezra.
Tapi setidaknya Nilam terlihat ceria dan sehat. Dia tumbuh dengan sehat. Badannya tidak lagi kurus seperti dulu. Xander telah memenuhi janjinya.
Kemampuan berbicara Nilam juga meningkat dengan pesat, Aiden ingat, dia masih cadel saat mereka bersama dulu, tapi sekarang tidak lagi, Nilam berbicara dengan jelas dan lancar.
"Aku akan datang Nilam, aku berjanji. Tunggulah," bisik Aiden sambil mengusap layar ponsel yang masih menampakkan wajah Nilam.
Aiden kemudian mematikan ponsel itu, dan menyusupkannya ke dalam tumpukan bajunya di koper. Video yang satu lagi akan diputarnya nanti, saat berada dalam tempat yang lebih aman. Karena berdurasi jauh lebih lama.
"Makan siang sudah siap!"
Aiden terlonjak, dan melihat Hima di depan pintu. Aiden tidak mendengar suara pintu terbuka, padahal biasanya dia selalu waspada. Nilam berhasil menyedot seluruh perhatian Aiden.
‘Sudah berapa lama dia di sana? Apakah dia mendengar suara video tadi?’
Tapi wajah Hima terlihat biasa saja. Tidak terlihat tanda dia mendengar atau melihat apa yang Aiden lakukan tadi.
Hima hanya memberi isyarat agar Aiden keluar kamar, kemudian berbalik keluar.
"Baiklah, mari kita mulai sandiwaranya," ujar Aiden, sambil berjalan mengikuti Hima
-------------0O0-------------
"Aiden---senang melihatmu telah sehat."
Ryola tentu saja menyambut Aiden dengan girang. Dia terus menanyakan keadaan badan Aiden. Menyuruhnya beristirahat jika belum benar-benar sehat.
Glyn tidak terlihat, menurut Hita, dia sedang pergi ke salah satu rumah temannya. Tapi ada dua pria lain yang duduk di meja makan.
Perhatian Aiden seluruhnya tertumpah pada dua tyaga itu. Tubuh mereka tidak kalah tegap dengan Aiden,salah satunya bahkan lebih besar, karena ototnya menonjol. Sosok mereka sangat mencolok jika dibandingkan Hita dan Dhita
Seperti yang seharusnya, Aiden menebak identitas mereka dengan mudah.
Ranu Keandra dan Rae Keandra.
Anak sulung dari keluarga Keandra. Mereka kembar seperti Hita dan Dhita. Jika Hima adalah satu-satunya anak dari keluarga Keandra yang tidak memiliki kembaran, maka Rae adalah satu-satunya Keandra dengan anasir Sua.
Dari lima anak di rumah ini, hanya dia yang mengikuti anasir Glyn. Melihat fakta itu, Aiden jadi mengerti kenapa Dwyer mengkhawatirkan kelangsungan darah Sua jika Amery jadi menikah dengan Hima.
Darah Nir Keandra sangat kuat.
Saat ini, Ranu dan Rae menjabat sebagai Suze - panglima - dari pasukan tempur Lumea. Ranu membawahi pasukan Nir, Rae membawahi pasukan Sua.
Ranu dan Rae adalah Suze terakhir yang diangkat oleh Ratu Ignatia, setahun sebelum dia meninggal. Seperti Arch, pemilihan Suze juga melalui seleksi ketat, mencakup kepintaran dan juga kemampuan tempur. Dan mereka berdua lolos seleksi itu dengan nilai cemerlang.
Tidak diragukan lagi, Aiden sedang berada dalam satu ruangan dengan tyaga Sua dan juga Nir yang kemungkinan besar terkuat di Lumea, saat ini.
"Aiden--perkenalkan, mereka adalah kakak Hima, Ranu dan Rae."
Ryola memperkenalkan mereka pada Aiden. Wajah yang mirip tidak membuat penampilan mereka sama.
Ranu berambut sedikit panjang, dan mengikatnya dengan sembarangan, helaian rambut hitam yang tidak terikat menjuntai menutupi mata ungunya.
Rae yang bertubuh lebih berotot, berambut sangat pendek, sampai kulit kepalanya terlihat. Pada bagian samping kiri kepalanya, dia membuat tato rambut berbentuk petir. Matanya juga berwarna ungu seperti saudara kembarnya.
Sapaan mereka pada Aiden sedikit dingin, dan itu adalah petunjuk untuk Aiden. Mereka tahu jika hubungan Hima dan Aiden adalah palsu.
Setelah perkenalan itu, semua anggota keluarga duduk. Tanpa ragu, Aiden mengambil tempat di antara Hima dan Hita.
Hita langsung tersenyum puas dan berseru senang, tidak memedulikan lirikan galak Hima.
Hita kemudian menggunakan kesempatan itu untuk bertanya banyak hal pada Aiden, dan semua dijawab dengan sabar olehnya.
Sebagian besar pertanyaan Hita soal Eldur. Dia belum pernah melihatnya langsung, walaupun kedua kakak laki-lakinya bekerja di sana. Mungkin karena jarak umur mereka yang jauh, membuat mereka tidak dekat. Ranu dan Rae berumur dua puluh lima. Tujuh tahun lebih tua dari Aiden.
Hita tentu saja masih ingin membawa Aiden berkenalan dengan teman-temannya, dan Aiden bersedia tanpa berpikir. Tapi Hima merusak rencana mereka. Dengan tegas dia melarang Hita melakukannya.
Hita memang diam, tapi Aiden bisa melihat matanya tidak menunjukkan kekecewaan. Dia pasti sudah menyusun rencana lain.
Hidangan makan siangnya cukup lezat menurut Aiden, Ryola menghidangkan berbagai hasil laut yang berlimpah dari Auga. Untuk sayurannya, dia menghidangkan salad.
Tapi sayang, smarzo yang dihidangkan dingin sekali, Aiden heran, dia tidak melihat bongkahan es batu di atas permukaannya.
Rae sendiri, dengan ahli melambaikan tangannya di atas gelas. Dalam sekejap, uap hangat mengepul dari sana. Melihat itu, Aiden langsung menenggak habis isi gelasnya. Sebelum ada yang melihat dia tidak bisa menghangatkan minumannya sendiri.
Tenggorokannya langsung mati rasa karena memaksakan minum dingin dalam jumlah banyak.
"Oh... kau memang menyukai smarzo rupanya. Hima bilang kau selalu memesan minuman itu."
Ryola menangkap gerakan terburu-buru Aiden, membuatnya nyaris tersedak. Tapi Aiden berhasil menelan semua cairan itu dengan selamat.
Tidak seperti warna merah, Hima menebak minuman favoritnya dengan benar.
"Ya, saya sangat menyukai smarzo hangat," kata Aiden, tidak lupa dengan senyum lebar.
Ryola tertawa puas, karena menurutnya, dia berhasil membuat Aiden gembira.
"Ajaklah Aiden jalan-jalan, udara di luar cukup cerah," Ryola menoleh ke arah Hima.
Hima terlihat ingin menolak, karena dia mengerutkan kening, tapi kalah oleh Aiden.
Dengan cepat, Aiden meraih tangan Hima yang ada di meja dan menggenggamnya mesra.
"Ide yang bagus. Aku ingin sekali melihat Auga saat siang, kau tidak keberatan bukan? Sayang?"
Kaki dan tangan Aiden merinding bersamaan, mendengar dirinya mengucapkan kata 'sayang', dan Hima juga sama. Dia sempat terlihat membelalak, tapi kemudian tersenyum, mengikuti skenario Aiden.
"Baiklah, pemandangan Auga sangat indah sebelum musim semi," kata Hima, dengan senyum terpaksa.
Musim dingin di Auga memang lebih lama. Di Eldur musim semi sudah tiba, tapi di Auga masih ada waktu sekitar dua bulan lagi sebelum salju meleleh.
Mereka berdua bangkit bersamaan. Hima mengikuti Aiden yang berjalan menuju kamar mereka untuk mengambil mantel.
"Sekali lagi kau memanggilku 'sayang', aku akan membunuhmu," desis Hima, saat mereka tinggal berdua saja.
Aiden terkekeh, "'Sayang' mungkin sedikit berlebihan, tapi ibumu sudah mendengarnya, dan dia terlihat gembira sekali tadi. Jika aku mengubahnya, dia akan curiga."
Hima menghentakkan kaki dengan jengkel saat keluar kamar. Dia kalah, alasan yang dikemukakan Aiden sangat tepat.
<< SLYING >>
Seperti kata Hima, pemandangan Auga sangat indah. Musim semi yang sebentar lagi tiba, membuat matahari bersinar cerah beberapa hari ini.
Aiden menyatakan pujian tulusnya saat mereka menyusuri jalanan. Warna putih salju, bertemu dengan cahaya matahari yang cerah, membuat semua benda terlihat berkilau. Aiden membayangkan, pada puncak musim dingin, badai salju pasti menghajar daerah ini tanpa ampun. Tebalnya tumpukan salju yang memberitahunya.
Kerinduan Aiden akan salju, terobati dengan tuntas hari ini. Selama tiga tahun bersama Vivash, dia tidak pernah menikmati musim salju. Aiden tersenyum puas saat matanya memandang hamparan putih mulus, yang tidak terusik.
"Kau terlalu sering tersenyum," tegur Hima, melihat Aiden tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
"Aku menyukai salju. Sudah lama aku tidak melihatnya," kata Aiden, jujur.
"Kau Sua yang aneh," sahut Hima, memandangnya sambil mengerutkan kening.
Aiden tidak membalasnya, karena itu benar. Di Eldur, dia tidak pernah bertemu Sua yang menyukai musim dingin, karena keberadaan salju membuat mereka mengerahkan tenaga lebih, saat ingin mengendalikan anasir. Kesulitan yang tidak akan pernah dimengerti oleh Aiden.
Saat berjalan menuju pusat kota, mereka berdua menjadi pusat perhatian.
Hima adalah calon Ratu, yang kurang dari dua minggu lagi akan memimpin Lumea. Sedangkan Aiden, adalah Sua yang berjalan memakai mantel tebal dengan syal. Sangat berbeda dengan penampilan Nir yang berkeliaran di jalan. Hima sendiri, hanya memakai gaun panjang hijau muda dengan ketebalan standar. Tidak repot-repot memakai jaket apalagi mantel.
Tadi Hima sempat bertanya kenapa Aiden memakai mantel yang sangat tebal, dia seharusnya bisa melindungi diri dari hawa dingin dengan udara panas. Aiden mengeluarkan alasan yang sangat lemah, yaitu malas. Beruntung, dia diselamatkan oleh kedatangan rombongan Hita dengan teman-temannya. Dengan sengaja Hita memanggil mereka, setelah tahu Aiden akan pergi bersama Hima. Dengan begitu, tujuannya tercapai.
Hita tidak mengacuhkan amukan Hima, dan mulai memperkenalkan Aiden kepada semua anak-anak yang ada di belakangnya. Tidak lupa sambil memuji ketampanannya.
Sekitar dua puluh menit, Aiden melayani rasa ingin tahu teman-teman Hita.
Hima yang selama itu menahan diri, akhirnya meledak, saat salah satu teman Hita mengusulkan agar mereka semua berjalan-jalan bersama. Dan Aiden setuju, usulan itu sedikit berlebihan. Mendengar bentakan Hima, mereka semua membubarkan diri dalam sekejap.
Semua kekacauan itu menguntungkan Aiden, karena Hima melupakan keanehan sikap Aiden.
Baru setelah Hita dan teman-temannya pergi, mereka bisa berjalan-jalan dengan tenang. Menyusuri jalanan kota Auga yang ramai. Dan keramaian itu jelas tidak sesuai dengan keinginan Aiden maupun Hima untuk mendapat ketenangan.
Lelah membalas sapaan dan juga menjawab pertanyaan dari penduduk Auga, yang antusias melihat kedatangan mereka berdua, Hima membawa Aiden ke daerah yang lebih sepi. Mereka menyusuri pantai. Dan senyum Aiden semakin lebar.
Dia juga sudah lama tidak melihat pantai. Ada pantai di dekat Eldur, tapi berada sedikit jauh dari pemukiman Vivash, Aiden belum pernah ke sana.
Pantai Auga mengingatkannya akan kota pelabuhan tempat asalnya sebelum ke Lumea. Pantai Auga sibuk penuh kapal, dan juga bangunan tempat memilah mutiara.
Dari kejauhan Aiden melihat kapal-kapal yang tertambat di pantai. bentuknya hampir mirip dengan kapal tanpa motor yang ada di bumi, tapi cerukannya lebih tipis .
Tidak ada kapal bermesin besar, karena semua kapal itu dijalankan menggunakan anasir Nir. Laut bagi Nir sama seperti tanah bagi Zem, mereka bebas kemana saja. Bahkan lebih bebas lagi daripada Zem, karena tidak ada bangunan yang menghalangi.
Aiden ingin melihat pelabuhan lebih dekat, tapi Hima yang sudah malas membalas sapaan, membawa Aiden ke pantai yang tidak digunakan sebagai pelabuhan, karena lebih sepi.
Pantai itu, berbukit batu dan berpasir hitam. Hanya terlihat dua sampai tiga tyaga berlalu lalang di laut. Mereka dengan santai berjalan di atas air yang sudah dipadatkan sehingga bisa menahan beban tubuh mereka.
Mereka rupanya menangkap ikan. Tanpa perlu pancing atau jaring. Dengan anasir, mereka mengangkat gumpalan air ke atas. Jika ada ikan yang terlihat, mereka akan membekukannya. Begitu saja.
Aiden bisa melihat tumpukan ikan beku di belakangnya. Hasil tangkapan mereka cukup banyak.
"Apakah benar-benar tidak ada pulau utama lain di seberang?" tanya Aiden, memandang laut yang begitu luas, membuat keinginannya berpetualang kembali terusik.
"Ada beberapa pulau kecil tidak berpenghuni di sekitar Lumea, tapi hanya itu. Tidak ada pulau besar lain. Kaum Nir adalah penjelajah laut, kami sudah menjelajah setiap sudutnya, dan hanya menemukan air."
Aiden mengangguk-angguk, dia sudah pernah membacanya. Tapi mendengar penjelasan Hima membuatnya lebih yakin.
"Apa kau pernah mengarungi laut sendiri?"
Hima mengangguk, "Pasti, aku ingin mengukur seberapa jauh aku bisa berjalan menggunakan anasir, sebelum akhirnya kelelahan."
Hima tersenyum saat mengucapkannya, senyum langka yang baru kali ini dilihat Aiden.
"Aku berhasil berjalan sejauh 10 km," lanjutnya dengan nada puas.
Aiden bisa melihat Hima bangga sekali dengan rekornya itu. Dan menurutnya rekor itu memang luar biasa, jika dibandingkan dengan dirinya.
Setelah menyusuri pantai tanpa berpikir, Aiden membelokkan langkahnya ke arah batu besar di bawah tebing. Mereka berdua duduk dan memandang laut dalam diam. Tenggelam dalam lamunan masing-masing.
"Truce?!" Aiden mengulurkan tangannya sebagai tanda damai. Hima menerimanya, tapi kepalanya menggeleng
"Aku tidak marah padamu, kita berdua berada dalam keadaan seperti ini karena tidak memiliki pilihan lain."
"Tapi nada bicaramu selalu terdengar marah," kata Aiden.
Saat ini adalah saat paling santai Hima, yang pernah dilihat Aiden.
"Itu karena aku tegang dan isi kepalaku penuh," jelas Hima, sambil melempar bongkahan kerikil ke air.
"Aku akan heran jika kau terlihat biasa saja. Menjadi seorang ratu tidak akan mudah, aku sendiri tidak menginginkannya."
Informasi soal dirinya tadi adalah ketidaksengajaan, dan Aiden menyesal. Seharusnya dia tidak terlalu membuka diri.
Tapi Hima sepertinya tidak terlalu memperhatikan, dia hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan Aiden.
"Ah--- ada hal lain yang harus kita bahas," ujar Aiden. Dia hampir saja lupa.
"Hal apa lagi?" keluh Hima, dengan wajah lelah.
"Aku juga tidak ingin menambah beban pikiranmu, tapi ini penting, agar tidak ada kejutan lain seperti warna merah.”
"Ow.. maksudmu kita harus menyamakan cerita?"
Aiden mengangguk, "Kita harus lebih mengenal, agar tidak terjadi kesalahan di masa depan. Ah--satu poin untukmu, kau menebak dengan benar. Smarzo adalah minuman favoritku."
Hima tersenyum geli, "Benarkah? Berarti kita sama, aku menyebut smarzo karena aku juga menyukainya."
"Bagus, setidaknya kita mempunyai suatu kesamaan. Ini awal yang lumayan. Oh--tapi warna favoritku adalah biru. Karena itu baju pengantin kita berwarna biru."
"Ah---pantas saja!" Hima menepuk lututnya, paham.
"Aku menjawab 'terserah' saat perancang gaun bertanya soal warna yang akan menjadi tema gaunku. Dia pasti memakai warna biru karena pilihanmu," tambahnya.
"Ya, aku tidak menyangka mereka akhirnya akan menggunakan warna biru sebagai tema. Aku kira mereka bertanya soal warna favorit hanya karena iseng," jelas Aiden.
"Dan ibuku menangis terharu saat perancang itu memperlihatkan gaun semburat biru itu. Dia memujimu setinggi langit, mengira kau memilih warna biru karena bertenggang rasa padaku sebagai Nir. Biru adalah warna air."
"Aku memang menyukai biru karena air, aku menyukai laut."
Aiden menunjuk ke arah laut sambil tersenyum geli. Membayangkan Ryola terharu karena hal kecil seperti itu, membuat perasaannya menghangat.
"Seleramu benar-benar tidak biasa. Aku memilih warna merah, karena mengingatkanku akan api, tapi kau justru menyukai warna biru karena air."
"Aku Sua anti mainstream," sahut Aiden.
Kalimat itu berhasil membuat Hima tersenyum, "Aku akan mengingatnya."
"Aku mengatakan pada ibu kau menyukai seafood. Aku tidak memiliki waktu untuk bersikap kreatif saat dia bertanya," lanjut Hima, menjelaskan sifat lain yang seharusnya dimiliki Aiden.
"Aku suka segala macam makanan, tidak ada yang khusus. Yang tidak aku sukai adalah kelaparan," Aiden bergidik saat menjawabnya.
Tumbuh di rumah Mrs. Dorian membuatnya bersyukur setiap kali bertemu makanan jenis apapun. Penderitaan itu tidak akan pernah dilupakan oleh Aiden seumur hidup.
"Kau pernah kelaparan?" Hima bertanya dengan heran.
Aiden mengumpat dalam hati, Hima pintar. Seharusnya dia lebih berhati-hati. Seorang Vivash tidak akan mungkin kelaparan.
"Ah-- tidak! Aku hanya membayangkan pasti rasanya akan sangat tidak menyenangkan," elak Aiden dengan lihai.
"Apa warna favoritmu? Aku juga harus tahu bukan?" tanya Aiden, untuk mengalihkan perhatian.
"Putih" jawab Hima.
"Makanan kesukaan?"
"Apapun selain ikan, aku bosan."
Aiden tersenyum mendengar jawaban itu.
"Ulang tahun?"
"Musim panas, 26 Agustus."
Penanggalan matahari, adalah salah satu sistem yang benar-benar disadur Lumea. Karena menurut mereka sistem penanggalan manusia lebih mudah digunakan. Aiden membaca salah satu buku yang menjelaskan tentang sistem penanggalan kuno Lumea, dan dia setuju, sistem itu sangat rumit. Penanggalan kuno Lumea memakai musim sebagai penanda, itu berarti, awal bulan tidak akan sama setiap tahunnya, dan kadang membuat kebingungan karena akan jatuh pada hari yang berbeda disetiap tempat. Karena itu mereka menggantinya.
"Kau?" Hima bertanya balik.
"Eh..mm 20 April," Aiden sedikit tergagap.
Aiden tidak tahu tanggal lahirnya. Tanggal itu adalah tanggal saat dia ditemukan.
Mrs. Morsete menggunakan hari itu sebagai penanda hari ulang tahunnya. Mereka tidak pernah merayakannya secara khusus, karena hanya akan membuang uang. Apalagi setelah tinggal bersama Mrs. Dorian, dia tidak pernah mempunyai kesempatan untuk merayakannya. Aiden nyaris melupakan tanggal itu jika Hima tidak bertanya tadi.
Hima terlihat geli, "Apa kau lupa dengan hari ulang tahunmu sendiri?"
Aiden menyembunyikan kegugupannya dengan tawa, "Tanggal itu hanya datang setahun sekali, aku akan mengingatnya jika datang lebih sering."
Tawa Hima kembali berderai mendengar jawaban Aiden. "Ide bagus, aku juga tidak keberatan jika bisa mengadakan perayaan lebih sering," katanya.
‘Ini tidak buruk!’
Hima yang lebih santai, jauh dari kata buruk. Mungkin Ratu Ignatia melihat sesuatu yang lain saat memilih Hima.
"Alasan apa yang membuat Ratu Ignatia memilihmu?"
Aiden langsung menyesal setelah bertanya, karena wajah Hima langsung murung.
"Aku tidak tahu. Entah apa yang dipikirkannya saat menunjukku sebagai pewaris tahta. Kami hanya bertemu sekali, karena dia cukup akrab dengan ayah. Dia salah satu sepupunya."
"Oh... ayahmu Vivash?"
Aiden kaget karena Xander tidak memberinya laporan tentang ini.
"Tidak! Nama Vivash dari Ignatia berasal dari ayahnya. Ibu dari ratu Ignatia adalah Sua dari keluarga biasa, bukan dari klan utama. Mereka bersaudara dari jalur Ibu Ratu Ignatia. Kau pasti akan tahu bukan, kalau dia Vivash? Dia akan menjadi keluargamu."
"Ha–,"Aiden tertawa, sambil kembali mengutuk dalam hati. Dia harus benar-benar menjaga lidahnya dengan lebih hati-hati.
"Aku tidak menghafal silsilah Vivash, mereka banyak sekali," kata Aiden, beralasan. Dan Hima sepertinya menerima alasan itu, dia hanya mengangguk,
Tebakan Aiden memang sedikit ngawur. Jika Glyn adalah Vivash, dia tidak akan menjadi Keandra. Glyn saat ini menyandang nama Keandra, karena keluarga tempat asalnya tidak sekuat Keandra dalam hal kedudukan sosial.
Tidak seperti di bumi, budaya di Lumea tidak mengharuskan nama keluarga mengikuti pihak laki-laki. Biasanya nama keluarga akan mengikuti kedudukan sosial yang lebih tinggi.
Contoh lain adalah, kakak Xander, Lord Ortzi.
Dia menikah dengan Klan Utama Halila, yang merupakan klan terkuat Jei, nama Raye otomatis tidak digunakan lagi. Dia memakai nama Halila, istrinya.
Untuk keturunan dari hasil perkawinan campuran, biasanya mereka memilih untuk menyandang nama sesuai anasir. Misalnya Ezra, dia adalah Zem, seperti Moza. Saat lulus dari akademi dan mendapat hak sebagai tyaga dewasa, dia ingin menyandang nama Asyabi, nama asli ibunya.
Dan Xander tidak keberatan, karena itu hal yang wajar. Saat ini nama Raye hampir musnah, karena Lord Orzi juga tidak mungkin menyandangkan nama Raye pada anaknya. Tapi Xander tidak terlalu memikirkan hal itu, dia sudah cukup bahagia dengan apa yang dimiliki.
Tapi tidak semua Tyaga seperti Xander. Karena itu, seperti yang pernah diceritakannya, praktek pernikahan antar saudara dekat sempat menjamur. Selain untuk melestarikan jenis anasir mereka sendiri, pernikahan itu juga bisa melestarikan nama keluarga mereka. Hal yang absurd menurut Aiden. Apa gunanya nama keluarga, jika akhirnya keturunannya menderita karena menjadi gimp yang dikucilkan?
Aiden cukup sibuk berpikir, tapi matanya yang tajam menangkap gerakan kecil dari balik batu di sebelah kanan Hima. Dia langsung berubah waspada.
"Menunduk!" seru Aiden. Dia melihat kelebatan sesuatu menderu ke arah Hima.
Tanpa berpikir panjang, Aiden meraup tubuh Hima dan menariknya turun.
SUUUUT!!
Suara desiran pisau, lewat persis di atas mereka. Pisau itu pasti menancap pada tubuh Hima jika sedetik saja Aiden terlambat. Pisau yang rupanya terbuat dari es itu, kini hancur menabrak batu di belakang Hima.
"KELUAR KALIAN!" seru Aiden marah, sambil melompat turun dari atas batu.
Hima juga sama, setelah pulih dari rasa terkejut, dia melompat turun mengikuti Aiden.
Aiden mencabut pedang lipat yang selalu dia ikat di kakinya, hasil tempaan pandai besi Zem kenalan Ezra. Pedang itu dibuat dari logam yang paling keras, berwarna hitam kelam.
Saat pertama kali dicabut, hanya terlihat seperti batang besi pipih biasa sepanjang dua puluh senti. Tapi begitu Aiden mengibaskannya, mata pedang muncul dalam ruas-ruas yang tersambung dengan besi lunak. Kali kedua dia mengibaskannya, ruas-ruas besi itu merapat, membentuk pedang panjang kokoh yang siap tempur.
Hima melirik senjata Aiden dengan takjub, tapi tidak bisa mengaguminya dalam waktu lama. Musuh yang ditantang Aiden muncul, mereka berlima.
"Tidak bisakah mereka membiarkanku beristirahat?" keluh Hima, sambil melemparkan sesuatu ke dalam air laut.
Aiden tidak melihat benda apapun mengambang, tapi kemudian mengerti. Hima mengirim tanda bahaya.
Melihat itu, kelima orang pembokong mulai menyerang Hima dan Aiden, sadar waktu mereka tidak banyak sebelum bantuan datang. Tapi mereka salah memperkirakan sesuatu. Aiden bukan lawan yang mudah, demikian pula Hima.
Kelima orang itu menyerang bersamaan, menggunakan air. Mereka menarik air laut dan membekukannya menjadi duri-duri raksasa di depan Aiden, tapi dengan mudah Aiden menebasnya dengan pedang. Selain kokoh, pedang itu sangat kuat, es mereka tidak mampu membuat Aiden mundur. Lemparan pisau es, juga bisa dengan mudah ditangkis oleh pedang Aiden.
Terjangan air yang coba mereka lancarkan, dihindari dengan lompatan gesit Aiden. Dalam waktu singkat, Aiden sudah berhasil mendekati mereka. Dan itu adalah kemenangan untuknya. Dalam jarak dekat, kemampuan bertarung pedang Aiden tidak tertandingi. Dia dengan mudah membabat dua musuh dalam satu kibasan cepat.
Salah satu tangan penyerangnya nyaris putus, satu lagi jatuh terjerembab karena dadanya terluka dalam. Darah mengucur membasahi pasir hitam.
Dua musuh telah tumbang.
Aiden berpaling dan melihat Hima berjuang menghadapi tiga Nir, yang menyerangnya bersamaan. Mata Aiden melihat lengan kiri Hima meneteskan darah, tergores oleh pisau es.
Hima petarung handal, dengan tongkat es yang dibuat dari air laut, dia melawan mereka dengan gigih.
Mereka sama-sama menggunakan air sebagai senjata, bergantian mereka mencoba menerjang Hima dengan ombak, tapi selalu gagal. Hima tidak kalah gesit dengan Aiden. Hima juga bisa menangkis pisau es dengan tongkatnya, dan dengan gerakan tangan dia, membalik lemparan pisau es itu.
Tapi tiga orang bukan lawan yang enteng. Hima tidak akan bertahan.
Sambil berseru marah, Aiden menyerbu ketiganya. Serangan kejutan Aiden berhasil membuat mereka sedikit kacau. Aiden mengibaskan pedangnya lebih cepat lagi, dengan tingkat keakuratan yang tinggi.
Tidak butuh waktu lama, satu musuh lagi tumbang. Aiden berhasil menusuk pahanya sampai tembus. Tapi musuh berhasil membekukan salah satu kakinya.
Aiden menggunakan pedang untuk memukul es dan membebaskan kakinya. Saat berhasil, dia melihat Hima berhasil menyapu kedua musuh yang lain dengan ombak yang luar biasa besar, mereka terseret ke laut.
Tapi musuh kembali ke pantai dengan kecepatan tinggi, mereka meluncur di atas air sambil membawa ombak besar, dan kembali menghujani mereka berdua dengan puluhan pisau es.
Mereka berdua sibuk menghindar, Aiden menghancurkan sebagian besar pisau yang meluncur ke arahnya dengan pedang. Sedangkan Hima membalikannya.
Tapi ada dua pisau yang lolos dari tangkisan Aiden. Satu menggores telinganya, satu menancap tepat di bahu kanannya. Tidak terlalu dalam, karena baju tebal Aiden.
Jengkel karena terluka, Aiden menyipitkan mata mengincar salah satu penyerang. Dengan tenaga maksimal, Aiden melemparkan pedangnya, dan tepat sasaran. Salah satu musuh jatuh ke air dengan pedang menancap di dada.
Ombak yang akhirnya menyapunya Aiden, tidak terlalu besar lagi, karena salah satu penyerangnya mati. Tapi dia tetap basah tersiram air laut.
‘Dingin!’
Aiden memaki panjang pendek dalam hati. Suhu air laut yang menyiramnya membuatnya menggigil. Dengan gigi gemertak, Aiden mencabut bilah es yang menancap di bahunya.
Satu musuh yang tersisa, akhirnya kalah di tangan Hima, dia berhasil menghantam kepalanya dengan balok es yang tebal. Dua tubuh lemas yang sudah tidak sadarkan diri itu, mengikuti ayunan ombak terseret ke pantai.
Aiden mencabut pedang dari tubuh mereka dengan terburu-buru, saat permukaan air di dekat Hima tiba-tiba naik dan membentuk sesosok tubuh transparan.
"Jangan!" Hima mencegah Aiden menyerang, "Itu Ranu"
Dan benar, sosok Ranu akhirnya menjelma dengan sempurna, dia ber-diffusis menggunakan air. Pada saat yang sama, kobaran api muncul di dekat karang tempat Aiden dan Hima duduk.
Sosok Rae muncul dari dalam nyala api.
Penampilan mereka berdua terlihat berbeda dari yang dilihat Aiden tadi pagi. Baju santai mereka sudah berganti dengan baju tempur kulit, lengkap dengan senjata di pinggang.
"Kami terlambat?" seru Rae saat melihat korban bergelimpangan.
Ranu sendiri sudah memeriksa musuh yang tergeletak di dekat air.
"Kalian sangat terlambat!" bentak Hima dengan tersengal. Pengendalian anasir seperti tadi menguras banyak energinya.
"Kami tidak melihat pesanmu tadi. Aku tidak menyangka mereka akan tetap berani menyerang saat kau bersama seorang Vivash," kata Ranu, masih sambil memeriksa korban pingsan.
Dua orang yang masih sadar dengan tangan nyaris terpotong, dan luka tusukan di paha, diberi tambahan pukulan oleh Rae, sampai mereka juga pingsan.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Aiden pada Hima yang masih terlihat kepayahan. Nafasnya belum kembali normal. Hima menyandarkan tubuhnya pada batu besar untuk beristirahat.
Dengan tangan gemetar karena kedinginan, Aiden meraih kain panjang di kakinya, dia memakainya sebagai pengikat pedang tadi. Sedikit basah karena air, tapi kain itu bersih.
Aiden meraih tangan Hima yang terluka. Hima sempat tersentak saat tangan dingin Aiden menyentuhnya, tapi tidak menolak.
Dengan lembut, Aiden membalut lengan Hima yang terluka.
"Apa kau gemetar karena dingin? Kenapa tidak menghangatkan diri?" tanya Hima.
"Kenapa kau melawan mereka dengan pedang?"
Belum sempat Aiden mencerna pertanyaan Hima, Ranu yang telah selesai membereskan musuh yang tewas mendekat dengan pertanyaan lain. Dari belakangnya, Rae memeriksa pedang Aiden yang masih mencecerkan darah dengan tertarik. Aiden menancapkannya di tanah tadi, sebelum mendekati Hima.
Gerakan Aiden membalut luka Hima terhenti, otaknya bekerja keras mencari alasan. Dua pertanyaan itu memiliki jawaban yang sama.
Situasi seperti ini, belum pernah ada dalam bayangan Aiden Dia tahu akan ada bahaya yang mengintai, tapi seperti yang dikatakan Ranu. Musuh terlalu berani menyerang Hima di siang bolong seperti ini. Aiden membayangkan serangan politik yang lebih anggun.
Dan kini dia terjebak, tanpa tahu harus menjawab apa.
"Permainan pedangmu hebat, tapi hal itu tidak biasa bagi Sua," kata Rae sambil melemparkan pedang di tangannya kembali pada Aiden.
Walaupun tangannya menggigil karena dingin, Aiden masih bisa menangkap pedang itu.
"Hangatkan dirimu! Udara Auga akan membuat jari-jarimu putus" seru Hima, mulai kesal karena khawatir Aiden akan sakit lagi, atau lebih buruk lagi, terkena frostbite.
"Aku tidak bisa!"
Aiden akhirnya menyerah, tubuh yang letih setelah pertarungan, membuat kepalanya tidak bisa mencari alasan pintar untuk menjelaskan keadaannya.
"Apa maksudmu tidak bisa?" ulang Ranu, dia mengernyitkan dahi sambil berjalan mendekat,
Aiden mengangkat tangan lurus sejajar dada dengan telapak terkepal. Dengan sangat pelan, dia membuka jari-jarinya. Itu adalah gerakan dasar Sua untuk menghasilkan api, tapi tentu saja tak ada yang terjadi, tangan Aiden tidak menyala.
Sesaat pantai itu sunyi, Ranu dan Rae memandang telapak tangan Aiden. Sementara Hima menatap wajah Aiden yang kini mengeras.
Wajah yang menyiratkan rasa sakit yang terpendam.
"Gimp, kau seorang gimp?" Hima berdesis dengan nada sedih.
‘Tidak!!’
"Ya!" jawab Aiden pendek.
Begitu Aiden mengucap kata itu, Ranu mengumpat, sementara Rae mendekati Aiden dengan mata membelalak.
Rae memeriksa tubuh Aiden, dengan meraba punggung dan tangannya, yang masih menggigil. "Kau tidak terlihat seperti gimp" katanya.
Aiden tahu apa yang dimaksud oleh Rae. Gimp di Lumea tidak bisa bertarung, dan lagi sikap mereka biasanya sedikit tidak normal. Aiden pernah bertemu dua gimp selama di Lumea, dan mereka menunjukkan tanda yang sama. Mereka sangat mudah terkejut, gugup, dan juga selalu menundukkan kepala.
Sikap itu adalah hasil dari hinaan tyaga lain yang tidak pernah menganggap mereka penting. Aiden melihat gimp dengan sikap lebih normal, hanya saat di bumi dulu, yaitu pelayan yang dipekerjakan Xander di mansion Vivash.
Aiden sangat iba dengan keadaan gimp di Lumea, tapi dia tidak bisa melakukan apapun untuk menolong.
Dan kini mereka bertiga memandang Aiden dengan mata kasihan yang sama. Mata Hima terlihat memerah, entah karena ingin menangis atau karena terpaan angin. Jika memang menangis, Aiden ingin tahu, apakah dia menangis karena kasihan atau karena kecewa mendapatkan suami gimp? Dua-duanya sama-sama tidak menyenangkan.
Rae membuat gerakan tangan melingkar di depan wajah Aiden.
Hawa panas melingkupi tubuh Aiden dan membuatnya nyaman. Hawa panas itu tidak hilang tertiup angin. Rae membuat udara hangat itu terus melekat pada tubuh Aiden.
"Apa yang akan terjadi dengan rencana kita?" tanya Ranu entah kepada siapa, karena dia sekarang memandang Aiden yang telah berhenti menggigil.
"Dan kita mengira Vivash terlalu mudah menyerah. Ular tua itu menyerahkan gimp sebagai suami Ratu!"
Rae berseru marah sambil mengayunkan tangan kanannya. Api merah menyilaukan muncul dan melecut ke arah bukit. Bukit itu tidak hanya terbakar, tapi meledak berhamburan, seperti terkena serangan rudal.
Ranu melihat perbuatan saudaranya dengan mata jengkel. Tapi tidak berkomentar. Dia hanya mengangkat tangannya ke arah laut. Mengikuti tangannya, air laut bergerak ke arah api Rae, yang mulai menyebar ke pepohonan.
Dengan sentakan tangan Ranu, api itu tersapu air dan padam.
"Ayahmu benar-benar ular! Dia mengatakan akan mendukung kami sebelumnya," kata Ranu.
Aiden sangat ingin meralat sebutan ayah itu. Tapi dia menggigit lidahnya.
"Kita harus bagaimana? Dia tidak mungkin ikut seleksi," tanya Rae, sambil berjongkok di tanah.
"Kemampuan bertarungnya tidak buruk, dia bisa mengalahkan tiga pembunuh Nir sendirian," timpal Ranu, mengikuti saudaranya ikut berjongkok.
"Empat!" Ralat Hima. Jika bisa, mungkin dia akan ikut berjongkok, tapi bentuk gaunnya tidak memungkinkan.
"Bisa tidak kalian berbicara dengan normal? Aku mungkin gimp, tapi pendengaranku baik-baik saja!" bentak Aiden. Mereka berbicara seolah-olah dirinya tidak ada disana.
"Keadaanmu membuat kami harus menyusun rencana baru, jadi diamlah!" hardik Rae.
"Rencana yang melibatkan aku bukan? Bukankah seharusnya aku ikut andil? Seleksi yang kau maksud tadi, apakah Grand Arch?" serang Aiden, bertubi-tubi.
Grand Arch adalah pemimpin pasukan penjaga istana, atau penjaga keselamatan Ratu. Seperti jabatan lain, Grand Arch dipilih melalui seleksi kemampuan. Bedanya Grand Arch berganti seiring dengan Raja/Ratu yang menjabat, tidak seperti Rae dan Ranu yang tetap menjabat sebagai Suze, walaupun Ratu Ignatia telah meninggal.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Ranu berseru kaget.
"Bukan hal yang sulit untuk ditebak!" kata Aiden, dengan nada meremehkan.
"Dia benar-benar pintar rupanya!" kata Rae, sambil memandang Hima.
Hima mengangguk pelan, tanpa suara. Semenjak tahu Aiden adalah gimp, Hima mendadak menjadi pendiam. Dia hanya mengucapkan kata 'empat' sedari tadi.
"Kami bermaksud menjadikanmu Grand Arch begitu Hima dinobatkan. Dengan begitu tidak ada kesempatan bagi musuh untuk menanamkan mata-mata di sana. Hima bisa hidup di kastil Lumea dengan tenang, hanya jika pasukan istana di bawah kendalimu. Tapi kini, semua itu tidak mungkin," jelas Ranu dengan muram.
"Raina, atau mungkin klan lain yang mencoba menggulingkan Hima akan melakukan apa saja agar bisa merebut jabatan Grand Arch. Kami pada awalnya sudah tidak berharap banyak pada kemampuanmu, karena kami masih bisa mencoba untuk membantumu lolos seleksi. Tapi mengikuti seleksi sebagai gimp adalah-----"
Rae tidak bisa menemukan kata yang tepat.
"Mustahil? Konyol?" Aiden memberi usulan kata.
"Kau bisa mati. Salah satu kategori seleksi adalah bertarung. Kau akan terpanggang dalam waktu dua detik tanpa anasir" Ranu menjelaskan dengan detail.
Jika kita membiarkan jabatan itu jatuh pada sembarang orang, kehidupan Hima akan terancam. Seperti menempatkan binatang buas di dalam kamar," Rae menggerung putus asa setelah mengucapkannya.
"Kita pikirkan nanti, Aiden terluka. Kita harus merawatnya," kata Hima, sambil menunjuk telinga dan dada Aiden.
Suhu tubuhnya yang kini menghangat, membuat darah berleleran keluar dari lukanya. Bagian depan mantelnya basah oleh warna merah.
"Bawa ke rumahku, Ibu akan panik jika kalian pulang penuh darah," kata Ranu sambil mengulurkan tangan pada Hima.
Hima menyambut tangan itu, kemudian mengikuti Ranu bergeser dalam air. Tubuh mereka berdua berselimut air sebelum akhirnya menghilang.
Rae mengulurkan tangannya pada Aiden, "Sudah pernah mengikuti Sua ber-diffusis? Ayahmu sangat ahli melakukannya."
Aiden menggeleng, seraya bergerak menyentuh lengan atas Rae.
Rae mendengus, "Dia pasti sangat mencintaimu!"
Entah itu sindiran atau pujian, Aiden tidak sempat memikirkannya. Detik berikutnya dia berkedip, matanya hanya bisa melihat kobaran api.
<< SCHEME >>
Jika suatu saat Aiden bisa menguasai anasir Sua-nya, entah dengan cara apa, dia akan berpikir dua kali sebelum ber-diffusis. Rasanya tidak menyenangkan. Seperti campuran roller coaster dan balap mobil, yang telah dipercepat tiga kali lipat.
Tubuh Aiden terasa aneh, bahkan setelah mereka mewujud lagi. Aiden menggerakkan tangan dengan ragu, dia merasa tubuhnya tidak berbobot dan sangat ringan.
"Akan kembali normal sebentar lagi," kata Rae, melihat Aiden berdiri diam ambil memandang tangannya.
"Kemarilah," Rae melambai menyuruhnya berjalan.
Setelah bisa menjejak dengan baik, Aiden mengikutinya masuk ke dalam rumah yang kemungkinan besar milik Ranu. Rumah itu tidak sebesar rumah utama Keandra yang ditempatinya sekarang, tapi sama-sama terbuat dari batu dan es.
Mereka bertemu Hima di dalam. Dia duduk di salah satu kursi di sekitar meja makan
Gaunnya yang bernoda darah, sudah berganti dengan gaun ringan berwarna ungu pastel, dan seorang wanita sedang merawat lukanya dengan teliti. Kain yang tadi dipakai Aiden membalut luka Hima, teronggok di kakinya.
Rae menunjuk satu kursi di sebelah Hima, menyuruhnya duduk.
"Afra, senang melihatmu sehat!" sapa Rae pada wanita itu.
"Ya--ya. Diamlah! Aku tidak seahli ibumu dalam merawat luka," kata Afra ketus, tapi kemudian memandang Aiden dengan ramah.
"Dan kau pasti Aiden bukan?"
"Aiden, perkenalkan, ini Afra, istri Ranu," kata Hima, tanpa menengok ke arah Aiden.
"Senang berkenalan," Aiden menjabat tangan dengan sopan.
Catatan Xander hanya menyebut, Ranu menikah dengan Zem tanpa ada namanya.
Sementara Rae masih sendiri. Menurut Xander, dia berada dalam sisi 'liar' jika berkaitan dengan wanita. Cerita petualangan cintanya, jauh lebih terkenal dari pada cerita prestasi karirnya sebagai Suze. Mungkin karena itu juga, Afra memperlakukannya dengan ketus.
Ranu melangkah keluar dari ruangan lain sambil membawa minuman pada nampan. Dia meletakkan segelas teh di depan Aiden. Dengan lega Aiden menyambar cangkir itu, teh itu sudah hangat. Aiden menghirupnya dengan cepat. Hawa panas yang tadi dibuat oleh Rae sudah hilang saat mereka ber-diffusis. Aiden kembali kedinginan karena bajunya masih basah.
"Gantilah bajumu di sana," kata Ranu, menunjuk satu pintu di sebelah kanan.
Aiden menurutinya tanpa bertanya, karena dia sudah sangat kedinginan.
Kamar itu sedikit lebih kecil dari kamar Hima, tapi lebih hangat, karena terdapat perapian yang menyala. Afra adalah Zem, dia butuh kehangatan dari api bisa.
Es di dinding tentu saja tidak meleleh karena panas api itu. Kekuatan es yang berasal dari anasir biasanya tergantung dari keterampilan penggunanya. Jika Ranu yang menempelkan batu-batu itu itu dengan es-nya, Aiden yakin tembok itu akan bertahan mengarungi ratusan kali musim panas Lumea. Kekuatan anasir seorang Suze pasti tidak main-main.
Aiden melihat Ranu sudah mempersiapkan baju ganti untuknya di atas ranjang, lengkap dengan mantel tebal.
"Agh...!"
Aiden mengeluh karena bajunya yang penuh darah, menempel pada luka di bahunya, saat dia berusaha melepasnya. Aiden lalu memutuskan untuk mengganti celananya terlebih dahulu. Kakinya tidak terluka.
Tepat saat dia mengikat tali celana panjang, pintu kamar terbuka. Hima muncul sambil membawa kotak obat.
"Kau memarahi Hita karena tidak mengetuk, sedangkan kau sendiri juga sama?" seru Aiden, marah.
Jika Hima datang dua detik lebih cepat, tubuh bawahnya masih telanjang.
"Aku akan merawat lukamu," Hima terang-terangan mengabaikan protes Aiden.
Aiden masih kesal, tapi dia menurut dan duduk di ranjang, sambil berusaha melepas sweater lengan panjangnya. Bahunya berdenyut setiap kali dia mengangkat tangan.
Aiden tersentak, saat merasakan tangan Hima menyentuh lengannya. Itu pertama kalinya Hima menyentuhnya terlebih dahulu.
"Pelan-pelan, aku akan menarik lengan bajumu," katanya, memberi aba-aba pada Aiden untuk mengangkat tangan. Posisi mereka terlalu dekat menurut Aiden, dia bisa merasakan hangat tubuh Hima di pipinya.
‘Bukankah tubuh Nir seharusnya dingin? Dan wangi apa ini?’
Aroma Hima yang segar mengingatkan Aiden akan pagi hari yang cerah.
Tapi semua bentuk di kepala Aiden ambyar saat Ranu dan Rae menyusul masuk, Hima masih membersihkan luka di bahunya.
"Hmmm--kau bukan gimp biasa! Aku tidak pernah melihat gimp setegap dirimu," kata Rae, meneliti tubuh Aiden.
Tubuh Aiden yang sejak awal tegap, kini semakin gagah. Tidak besar penuh otot, tapi kekar dengan otot liat. Kerja kerasnya berlatih ilmu pedang dan beladiri yang lain selama tiga tahun, yang memberinya bentuk tubuh itu.
"Kenapa wajahmu memerah?" Rae mengalihkan perhatiannya pada Hima.
"Jangan bilang ini pertama kalinya kau melihat tubuh pria dewasa selain kami!" Rae melanjutkan, sambil tertawa jahil.
"Tutup mulutmu!" desis Hima, sambil mengangkat tangan.
Bersamaan dengan ayunan ke bawah, sebongkah es ikut meluncur turun tepat menghujam ke arah kepala Rae. Tapi tentu saja dengan mudah Rae menghindar.
BUGH!!
Bongkahan es berisi batu jatuh berdebam menimpa lantai kayu. Yang ajaibnya tetap utuh.
"Berhenti menghancurkan rumahku!!" Ranu membentak mereka berdua. Diiringi decakan kesal, dia juga mengangkat tangan.
Lubang di atap, tempat asal batu itu, tertutup oleh lapisan es dalam sekejap.
"Kita harus berpikir soal Grand Arch, seriuslah sedikit!" ujar Ranu.
"Siapa yang kau usulkan?" tanya Hima, dia sudah selesai merawat luka di bahu, kini berpindah ke luka di telinga.
Bulu kuduk Aiden merinding, saat hembusan nafas Hima menerpa leher bagian samping. Dengan kesal, dia mencubit pahanya, dia harus berkonsentrasi pada perkataan Ranu, bukan Hima. Tapi aroma Hima yang memenuhi hidungnya, sangat sulit diabaikan.
"Hirani?" usul Ranu.
Aiden mengenal nama itu. Hirani seorang Jei yang sangat terkenal, meskipun tidak berasal dari Klan Halila.
Rae menggeleng, "Terlalu dekat dengan Aneria, mereka pernah berhubungan saat muda."
"Kau bercanda!" sahut Hima kaget.
Rae mengangguk mantap,"Sumberku sangat terpercaya mengenai ini."
Ini justru bukan kejutan bagi Aiden, dia belum pernah bertemu Hirani, tapi dia punya laporan lengkap soal hubungan Hirani dengan Aneria sebelum dia menjadi Raina. Mereka menjadi murid di akademi pada saat bersamaan.
"Arez?" Giliran Rae yang mengajukan usul.
Arez bukan anggota Klan Atley, tapi ia berhasil lolos saat penyeleksian Suze bersamaan dengan Rae dan Ranu. Tapi pada saat terakhir, dia kalah oleh calon dari keluarga Atley, Kaia, yang sekarang menjadi satu-satunya Suze wanita.
Kali ini Hima yang menggeleng, "Dia terlalu random, aku tidak yakin bisa mengaturnya nanti."
Dan Aiden sangat setuju. Kabar dari Xander, Arez adalah misteri. Setelah kegagalannya menjadi Suze, dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar kota Dym, entah melakukan apa. Terlalu beresiko jika mereka menempatkan seseorang yang mempunyai banyak rahasia.
"Aku punya usul, tapi kalian tidak akan suka," kata Hima, dengan hati-hati.
"Siapa?" Ranu dan Rae menyahut bersamaan.
"Ozora!"
"Ozora Halila?" sahut Aiden, sebelum bisa menahan diri.
"Kau mengenalnya?" tanya Hima, memandang Aiden.
"Tidak, hanya mendengar namanya saja," Aiden berhasil menyelamatkan diri dengan baik.
"Apa kau mengusulkan nama itu, karena masih memiliki perasaan yang tersisa padanya?" Rae terlihat curiga. 'Perasaan tersisa? Ada hubungan apa antara Hima dan Ozora?~~
BRAKKKK!!!
Batu kedua melayang turun dengan kecepatan yang tidak terlihat oleh mata Aiden, dan juga Rae. Menghancurkan lantai kayu.
Rae tidak punya kesempatan menghindar, tapi Hima memang sengaja tidak mengincar kepalanya. Dan justru serangan itu lebih berbahaya. Karena berarti Hima benar-benar marah.
Perkataan Rae menusuk Hima pada titik yang sangat rawan.
Ranu sudah malas menegur, tanpa menoleh dia memperbaiki lubang kedua di atapnya. Dengan kaki, Ranu menendang batu yang menghantam lantainya, ke sudut kamar.
"Aku akan mencoba menghubunginya," kata Ranu dengan nada menenangkan. Dia mencoba untuk mengendorkan amarah Hima.
Fakta soal siapa kandidat Grand Arch, seharusnya membuat otak Aiden sibuk, tapi anehnya, dia malah lebih tertarik untuk tahu soal hubungan Ozora dengan Hima. Tapi sayang, ketiga orang selain dirinya tidak terlihat ingin melanjutkan diskusi soal itu.
Setelah selesai mengobati goresan di telinga Aiden, Hima keluar dari kamar tanpa berkata satu patah kata pun.
"Hei--Bodoh!! Kau seharusnya tidak menyinggung hal itu!" tegur Ranu pada Rae. Dia memandang lantai kamarnya yang hancur.
"Aku bertanya hal yang wajar! Ozora menghancurkan hati Hima, tidak seharusnya dia muncul lagi di hadapan kita," Rae tak mau kalah
"Hentikan!"
Ranu melirik Aiden dengan sangat terlambat. Dua kalimat pembicaraan mereka yang terakhir, seharusnya tidak didengar oleh Aiden. Aiden tidak berkomentar dan tidak ingin mengambil bagian dalam diskusi soal Ozora. Karena mendadak dia merasa tidak nyaman dan gelisah.
Otaknya tentu saja tahu dan bisa menyimpulkan dengan mudah soal Hima dan Ozora. Entah bagaimana awalnya, yang pasti Hima menyukai Ozora, dan dia ditinggalkan.
"Siapa yang mengirim para pembunuh itu?" Aiden akan membahas hal lain, yang tidak membuat dadanya sesak.
"Bukankah jelas? Mereka Nir, pasti Raina. Kau tidak bisa menebaknya?" ejek Rae.
"Aku mempertanyakannya, karena menurutku kesimpulan itu terlalu dangkal. Siapa yang sebodoh itu mengirim pembunuh yang memiliki anasir yang sama dengannya?" ujar Aiden, tenang.
Dan Rae langsung diam, sebal karena tidak bisa membantah pernyataan Aiden.
"Selama ini, setiap kami berhasil menangkap penyerang Hima, mereka selalu menutup mulut rapat-rapat. Tidak pernah ada yang mengaku," ujar Ranu.
‘Selama ini’
Aiden sedikit kaget mendengar kalimat Ranu. Berarti Hima sudah sering mendapat serangan percobaan pembunuhan?
"Apakah penyerangnya selalu Nir?" tanya Aiden.
"Tidak, bervariasi. Dan semua jenis anasir sudah pernah menyerang Hima," jawab Rae.
"Melihat situasi saat ini, aku tidak bisa memperkirakan lagi siapa yang menyuruh mereka. penobatan Hima adalah ancaman bagi semua klan utama, termasuk Vivash," kata Ranu, menatap Aiden dengan mata menyipit.
"Kau termasuk dalam orang yang tidak bisa kami percaya," Rae tertawa puas, karena berhasil menyudutkan Aiden.
"Ayahmu berani mengatakan akan mendukung Hima, tapi kenyataannya dia mengirimmu yang juga seorang gimp. Aku pernah mendengar Dwyer adalah penjilat bermuka dua, dan ternyata kabar itu benar."
Aiden tersenyum masam, bukan kejutan untuknya, dan dia tidak peduli. Yang paling penting untuknya, adalah kenyataan bahwa Hima akan melawan seluruh klan.
Tidak hanya Raina, seluruh Klan utama punya alasan untuk menentang penobatan Hima. Jika Hima berhasil menjadi Ratu, maka dia akan menjadi ratu pertama yang tidak berasal dari klan utama. Setelah kekuasaan Hima berakhir, tidak akan ada jaminan bahwa calon Raja atau Ratu yang berikutnya akan berasal dari Klan Utama.
Hima bebas memilih siapapun.
Alasan mendasar kenapa calon penerus selalu dipilih dari Klan Utama, tentu saja karena pengaruh sosial dan kekayaan. Klan Utama adalah pemegang kendali dari semua tyaga berdasarkan anasir masing-masing.
Mereka kaya dan berkuasa. Begitulah, Raja dan Ratu yang berkuasa otomatis mendapat dukungan seratus persen dari mereka.
Tapi praktek itu sudah pasti memiliki kekurangan. Kekuasaan Klan Utama menjadi sangat dominan. Tidak ada yang berani menentang mereka. Bagi Klan utama, kesempatan menjadikan keturunan mereka sebagai penguasa Lumea hanyalah sekedar bonus untuk menaikkan pamor keluarga.
Keberadaan Hima menghancurkan siklus yang sangat menguntungkan itu.
Jika menilik dari sifat Ratu Ignatia yang dia dengar dari Xander, Aiden menyimpulkan, Ratu Ignatia memang ingin mengakhiri tradisi itu. Dia ingin menegakkan aturan sebagai penguasa tertinggi Lumea. Penunjukkan Hima yang diam-diam adalah langkah yang sangat berani. Dan kini tanggung jawab itu, semuanya jatuh pada pundak Hima. Dia harus menghadapi keempat klan sebagai Ratu.
Adalah pantas jika Hima menjadi ketus dan tidak bersahabat.
"Bisa dikatakan Dwyer adalah musuh yang paling tidak bisa ditebak. Saat dia menerima usulan Synod Elio, aku mengira dia agak melunak. Bagaimanapun juga, dia sudah mendapat kesempatan menaikkan keturunannya menjadi Raja, hanya karena Ratu Ignatia tidak mempunyai keturunan. Tapi ternyata tidak, dia sengaja mengirimmu untuk melemahkan pihak kami," jelas Ranu dengan lebih detail.
Penjelasan Xander tidak mencakup hal ini.
Keputusan Dwyer mengirim Aiden menjadi suami Hima, ternyata sangat menguntungkannya. Dia memukul dua burung dengan satu batu. Mengamankan posisi Amery, sekaligus memberi Hima pukulan telak dengan memberinya suami yang lemah.
Mendadak Aiden punya keinginan khusus untuk menusuk kedua mata Dwyer sebelum mencincangnya menjadi serpihan. Keserakahannya tidak terukur.
"Kami berdua tahu hubunganmu dengan Hima adalah palsu. Karena itu, kau harus memilih saat ini juga," nada Ranu tiba-tiba berubah menjadi tegas.
Ranu ingin Aiden memilih dipihak mana dia akan berada. Memilih mungkin bukan kata yang tepat. Jika saat ini Aiden mengatakan akan berpihak pada Dwyer, kemungkinannya meninggalkan kamar ini dalam keadaan bernyawa, sangat kecil.
Tapi untunglah, Dwyer tidak akan pernah menjadi pilihan Aiden dalam keadaan apapun.
"Mungkin kalian sudah menyadari, dia hanya peduli pada Amery," Aiden mengawali penjelasannya dengan pelan. Dia harus mengarang cerita yang masuk akal.
"Jika mengingat sifat ayahmu, aku heran kau yang lahir sebagai gimp, masih hidup sampai sekarang!" kata Rae, brutal.
Tapi itu benar, jika benar Dwyer mempunyai anak yang terlahir sebagai gimp, Aiden yakin dia sudah membunuhnya dari dulu.
"Keberadaanku di sini, hanya karena dia tidak ingin Amery kehilangan hak sebagai kandidat penerus tahta. Jika Synod tidak menurunkan perintah pernikahan itu, aku ragu kalian akan tahu mengenai diriku."
Aiden dengan hati-hati memilah hal yang bisa dikatakan pada mereka, ada beberapa hal yang harus tetap menjadi rahasia.
"Singkat kata, jika kalian ingin membunuh Dwyer saat ini, dengan senang hati aku akan membantu. Sebagai gimp mungkin aku tidak berguna dalam hal anasir, tapi aku akan memberi kalian apapun yang kalian minta. Informasi, uang, apapun itu," kata Aiden.
Dia memandang Ranu dengan bersungguh-sungguh. Diantara mereka berdua, Ranu yang mengambil keputusan, Rae hanyalah penggembira dengan suara keras. Dan kalimat tadi adalah jujur.
Dwyer masih memiliki Nilam di kantongnya saat ini. Kematiannya akan membuat semua masalahnya selesai, tapi hal itu hampir mustahil, karena Dwyer masih sangat sehat. Untuk saat ini, Aiden sudah cukup puas jika bisa membantu mengikis sedikit rencana Dwyer. Selama Dwyer tidak tahu tentu saja.
"Dia ayahmu!" sahut Rae.
"Aku memperlakukan seseorang sesuai dengan kapasitasnya. Jika sikap Dwyer adalah sifat umum yang dimiliki seorang ayah, maka aku tidak keberatan membunuh banyak ayah."
Dia tidak akan lupa, Dwyer pernah mempertimbangkan untuk menyakiti seorang gadis berumur enam tahun, hanya untuk membuat Aiden menurut. Dia tidak pantas disebut ayah.
"Oh----Waoww. Apa yang telah dilakukannya padamu?" seru Rae, mendengar nada kebencian itu.
"Sesuatu yang tidak akan pernah kalian bayangkan."
Kalimatnya bersayap, tapi masih jujur.
Ranu menyandarkan tubuhnya ke tembok, dengan tangan di dagu. Berpikir keras.
"Aku percaya padamu, tapi aku ingin kau mengatakan untuk apa kau meminta mutiara pada Hima!" kata Ranu.
Aiden sedikit terkejut, tapi berhasil mempertahankan wajah datar. Dia tidak menyangka Hima mengatakan kepada mereka soal kesepakatan rahasia itu. Tapi kemudian Aiden mengerti.
Dia hanya orang luar yang dipaksa masuk kedalam kehidupan Hima. Hima berhak untuk curiga. Dan mereka berdua adalah alasan Hima masih hidup sampai saat ini. Wajar jika Hima menceritakan hal itu pada mereka.
"Mutiara itu adalah jalan keluar terakhir, jika keadaanku berubah genting. Aku mungkin hanya gimp di sini, tapi aku bisa hidup normal di bumi."
"Bumi?" Ranu mengulangnya.
Tyaga yang tidak berkenaan dengan perdagangan mutiara, biasanya tidak pernah menginjakkan kaki di bumi. Bagi Ranu dan Rae tempat bernama bumi, sama abstraknya seperti saat manusia menyebut bulan.
Tempat yang jauh dan asing.
Keandra mungkin memiliki ladang mutiara, tapi seluruh urusan bisnis di Lumea inc, dipegang oleh pemerintah. Mereka hanya pemasok.
"Wow lagi. Kau mungkin gimp, tapi kelicikanmu patut diacungi jempol," puji Rae, sambil bertepuk tangan.
"Kau mempertimbangkan untuk pergi ke bumi?" Ranu masih tidak puas rupanya.
"Seperti yang saudara kembarmu bilang, aku adalah gimp. Adalah wajar jika pada masanya aku akan dibuang, setelah tidak berguna lagi. Aku tidak akan menunggu saat itu datang dalam diam."
Mata Ranu berubah, tadi penuh rasa curiga, tapi kini Aiden melihat sedikit simpati di sana.
"Jangan khawatir, aku akan tinggal selama yang kalian inginkan," sambung Aiden. Dia harus menunggu sampai Dwyer lemah untuk melepaskan diri.
"Kalian pulanglah, aku ingin berpikir tenang."
Mendadak Ranu menyudahi diskusi itu dan melangkah keluar.
Saat mereka bertiga keluar, Hima sudah kembali duduk di kursinya tadi. Dia melamun sambil memainkan cangkir teh di tangan. Aiden sangat ingin tahu apa dan siapa yang sedang dilamunkan oleh Hima.
"Kita pulang!" kata Rae. Kembali mengulurkan tangan pada Aiden. Hima bangkit setelah Ranu berdiri di sebelahnya.
Diffusis mungkin menyebalkan, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kepraktisannya. Aiden memejamkan mata erat, saat pemandangan interior rumah Ranu mulai mengabur.
-------------0O0-------------
Rae mengantar Aiden langsung ke dalam kamarnya. Tapi Hima tidak terlihat di sana.
"Tunggu sebentar!"
Rae berdiri di depan dinding bagian barat, memeriksanya dengan teliti.
‘Apa yang dilakukannya?’
Selesai memilih, Rae mengacungkan tangan ke salah satu bongkahan batu. Es yang menyelimuti dinding meleleh, mengalirkan cairan ke lantai.
Dengan tangkas, dia mencabut batu hitam, yang tidak lagi beku dan membawanya ke kamar mandi.
Aiden yang sangat penasaran, mengikutinya masuk.
Rae meletakkan batu itu di pojok, kemudian mengangkat tangan dan mengibaskan dalam gerakan tegas. Aiden tidak mengenal gerakan itu, walaupun dia sudah menghafal semua buku pengendalian Sua.
Cahaya terang sesaat membutakan mata Aiden, diikuti oleh dentuman pelan. Batu sebesar karung gandum itu pecah menjadi delapan bongkahan yang lebih kecil.
Jika tidak aneh, Aiden akan bertepuk tangan sekarang juga, tapi rupanya pertunjukan Rae belum selesai.
Dia mengangkat bongkahan masing-masing satu di kedua tangan, menggenggamnya selama kurang lebih dua menit.
Aiden berada dalam jarak satu meter dari tempat Rae berdiri, tapi kulitnya bisa merasakan hawa panas yang dikeluarkan tangan Rae. Batu yang digenggamnya perlahan memerah.
Setelah dirasa cukup, Rae meletakkan batu membara itu di wastafel yang rupanya tahan panas, karena tidak berubah bentuk. Kemudian mengulangi perbuatannya sampai batu-batu itu hanya menyisakan kerikil kecil.
Masih dengan tangan telanjang, dia meraih salah satu batu, kemudian melemparnya ke dalam bathup yang berisi air setengah penuh. Tidak butuh waktu lama, uap panas naik memenuhi kamar mandi. Sementara batu yang tadi membara, kembali menjadi hitam, setelah kehilangan panas.
"Pakailah batu ini untuk menghangatkan air. Panas dari batu itu akan bertahan kira-kira seminggu," jelas Rae, sambil menunjuk tumpukan batu menyala di wastafel.
Tidak lupa, Rae mengulurkan sarung tangan kulit yang diambil dari selipan sabuk yang dipakainya. "Pakai ini saat mengambil batu, agar tanganmu tidak melepuh" tambahnya.
‘Monster macam apa yang bisa membuat batu api menyala selama seminggu?’
"Terima kasih!" kata Aiden.
Rae mungkin terlihat kasar, tapi hatinya tidak kalah baik dari Ranu. Dia mengangguk canggung mendengar ucapan itu, kemudian memilih untuk keluar.
"Ahh....," Rae kembali, teringat sesuatu.
"Minta tolong pada Hima untuk menambal lubang di dinding. OK?"
"Tentu."
Setelah mengacungkan jempol, dia ber-difussis entah kemana.
Aiden sangat berterima kasih pada Rae untuk hal ini. Setelah mengunci pintu, Aiden mandi dengan tenang. Dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, dia bisa mencuci rambut.
---
"Oh--hai" sapa Aiden, sedikit terkejut, karena Hima sudah ada di kamar, saat dia keluar dari kamar mandi. Hima duduk di sofa tempat Aiden tidur kemarin sambil membaca buku tebal.
Dari aromanya, Hima juga sudah mandi dan berganti baju. Dia kini memakai gaun tidur panjang berwarna putih. Aiden senang, karena memutuskan keluar dengan memakai celana panjang, tadi dia sempat mempertimbangkan, hanya akan memakai handuk.
Dia belum memakai kaos, tapi bukan masalah, Hima sudah melihatnya tadi.
"Rae meminta tolong untuk----."
Aiden tidak menyelesaikan kalimatnya, karena saat menoleh, lubang bekas batu itu telah tertutup es tebal.
"Selesai!" kata Hima, mengajuk pada perintah Rae tentu saja.
"Aku bisa melihatnya!" kata Aiden.
Hima kembali membaca bukunya.
"Apa kau kecewa setelah tahu aku gimp?" tanya Aiden, sambil menarik kaos dari almari.
Seseorang telah membereskan kopernya, dan menggantung semua bajunya di dalam almari.
Kotak yang berisi ponsel dari Xander tergeletak di sebelah gantungan. Tapi talinya masih terikat rapi, seperti saat Aiden meninggalkannya. Tidak ada tanda-tanda dibuka. Aiden mendorong kotak itu ke belakang tumpukan baju.
Aiden berbalik, kembali mencurahkan perhatiannya pada Hima. Aiden merasa Hima sedikit jauh. Saat berjalan-jalan tadi, Aiden merasa jarak diantara mereka sudah berkurang.
Hima tidak mengangkat wajah dari buku, tapi juga tidak membalik halamannya. Dia berpikir.
"Kau berbohong padaku. Soal gimp itu," kata Hima.
"Kau kecewa karena aku berbohong? Bukan karena aku gimp?"
"Aku menyusun rencana dengan rapi, beranggapan kau Sua yang normal, jika sejak awal kau jujur, aku tidak perlu membuang waktu memikirkannya."Jika sejak awal aku jujur, pernikahan ini kemungkinan besar tidak akan terjadi"
"Maaf," kata Aiden, dia bersalah dalam hal ini.
Mendengar kata maaf itu, amarah Hima luruh begitu saja. Wajahnya yang galak, tiba-tiba berubah bingung. Keinginannya untuk berdebat telah menghilang.
"Sudahlah!! Itu tidak penting lagi sekarang," Hima mengibaskan tangannya.
"Lebih baik aku tidur!" lanjutnya, sambil membanting bukunya ke meja, kemudian beranjak menuju ranjang.
Langkah Hima berhenti, saat sadar, Aiden juga berdiri persis di sebelah ranjang di sisi yang lain.
"Kau ingin aku tidur di sofa seperti kemarin?"
Hima menggeleng, "Kau terluka, sofa itu akan sangat tidak nyaman. Pastikan saja kau tidak berbuat macam-macam malam nanti," kata Hima, galak.
Aiden terkekeh, "Kau lupa aku gimp? Kau bisa membekukanku begitu saja, Nyonya."
"Nyonya?!" Hima tidak terima dengan panggilan itu.
"Apa kau lebih suka saat dipanggil 'sayang'?" goda Aiden.
"TIDAK!"
Hima naik ke ranjang dengan kesal, dia berbaring memunggungi Aiden, serta menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Hanya menyisakan ujung rambut hitam di atas bantal.
Aiden menyusul masuk ke dalam selimut, dia mengangkat ujungnya--
"Pakai selimut yang lain di almari," sahut Hima, dari dalam selimut.
"Baik, Nyonya."
"Diam!!"
Setelah menemukan selimut lain, dan mematikan lampu, Aiden berbaring di sisi Hima.
Sejujurnya, Aiden juga sedikit gugup. Ini pertama kalinya dia satu ranjang bersama seorang gadis. Dan Aiden tiba-tiba menjadi sangat sadar mengenai itu.
Ada seorang gadis----cantik, muda,------
‘Sadarlah Aiden! Kau tidak berhak menyentuhnya, janji pernikahan kalian dibangun atas dasar kebohongan!’
Aiden hanya bisa mengeluh dalam hati, akal sehatnya terlalu lurus dan polos.
Setelah berbaring selama dua jam dengan resah, Aiden akhirnya tertidur.
<< TOWARD >>
Kehidupan Aiden selama dua minggu di Auga berlangsung sangat cepat, karena baik Aiden maupun Hima, sama-sama sibuk akibat status calon Ratu Hima.
Berita pernikahannya, seolah membuat masyarakat sadar bahwa Hima benar-benar akan menjadi ratu sebentar lagi. Dan akibat dari fakta itu, mulai Aiden rasakan pada hari ketiga keberadaannya di Auga.
Dimulai pada hari itu, banyak tamu yang datang ke rumah Hima. Mulai dari sekedar saudara atau tetangga, sampai dengan tyaga biasa, entah dari mana. Sangat berbeda dengan sikap klan utama yang ingin membunuh Hima, tyaga dari kalangan bawah menyambut gembira penobatan Hima.
Dan begitulah, semakin hari semakin banyak tamu yang datang, sampai-sampai mereka rela mengantri panjang untuk sekedar masuk dan bertemu Hima. Mereka tidak hanya mengucapkan selamat, tapi juga membawa keluhan.
Mereka berharap bisa mengutarakan kesulitannya secara langsung pada Hima. Jika sudah berada di kastil Eldur, kemungkinan mereka untuk bertemu Hima akan sangat kecil.
Melihat semua itu, Aiden sampai berhasrat untuk memiliki laptop, sehingga bisa mencatat semua keluhan mereka dan menyimpannya dengan ringkas.
Aiden mencoba mencatat semua keluhan yang datang dari balik punggung Hima, tapi dia selalu kehabisan tinta dan kertas saat tengah hari. Benar-benar tidak praktis. Belum lagi, tumpukan kertas hasil catatan yang Aiden kumpulkan, yang akan dengan mudah memenuhi satu koper besar miliknya.
Aiden tidak ingin melewatkan satu orangpun tanpa dicatat, karena banyak diantara mereka yang datang dari luar Auga. Mereka menempuh jalan yang cukup jauh.
Tapi yang terbanyak tentu saja berasal dari Auga, dan kebanyakan keluhan mereka sama. Soal Klan Raina yang semena-mena.
Bukan hal baru sebenarnya, karena Hima sendiri juga mengalaminya, kemungkinan besar mereka berusaha membunuhnya Seperti yang diperkirakan Ranu, dua orang penyerang yang masih hidup sama sekali tidak mau membuka mulut.
Saat Rae membawa mereka ke hadapan Synod, mereka hanya melemparnya ke dalam penjara tanpa ada tindakan lebih lanjut. Itu ketiga kalinya Rae membawa pelaku percobaan pembunuhan Hima ke Eldur, tapi semua berakhir sama.
Ranu memberi sedikit bocoran pada Aiden, anggota Synod sudah berada dalam kukungan Klan utama. Jadi mereka tidak mungkin menanggapi dengan serius kasus itu.
Hanya Synod Elio yang masih bertahan melindungi Hima, karena kesetiaannya pada Ratu Ignatia. Tapi semua pendapatnya tidak berguna. Tiga Synod yang lain dengan mudah menggunakan hak suara untuk menjegal langkahnya.
Perintah pernikahan Hima, mungkin satu-satunya usulan Elio yang mereka setujui. Itupun hanya karena mereka berpikir pernikahan ini tidak akan terlalu berpengaruh pada kekuasaan Hima.
Ignatia Vivash mungkin Ratu yang hebat, tapi semua tyaga tahu, Dwyer adalah bibit buruk dalam keluarganya. Amery dan ayahnya tidak akan melakukan apapun untuk membela Hima.
Dan mereka akan semakin gembira, jika saja tahu, bagaimana keadaan Aiden yang sangat mirip dengan gimp. Tapi untunglah berita soal itu belum ada tanda-tanda bocor.
Justru saat ini, di Auga sedang berhembus kabar, bagaimana kehebatan Aiden saat bertarung menghadapi para penyerang itu. Sepertinya tyaga Nir yang Aiden lihat sedang mencari ikan kemarin, yang menyebarkannya.
Mereka dengan bersemangat menceritakan bagaimana Aiden dan Hima melawan penyerangnya. Desas-desus itu menyebar dengan pelintiran yang membuat Rae tertawa keras.
Kabar itu masih tepat, saat menggambarkan Aiden dengan pedangnya saja, sudah cukup mampu mengalahkan lawan. Tapi menurut kabar burung itu juga, para penyerang pasti akan habis terbakar jika Aiden memutuskan untuk memakai anasir-nya.
Aiden mendadak jadi sosok elit, karena bisa mengatasi pertarungan itu dengan kekuatan ototnya saja, tanpa perlu mengumbar anasir.
Aiden belajar satu hal dari kejadian itu, manusia dan tyaga sama saja, gemar bergosip. Tawa Rae saat mendengar cerita itu, baru bisa berhenti setelah Ryola melihat dengan curiga. Mereka tidak akan bisa menjelaskan dimana letak kelucuan kabar itu.
Fakta soal gimp sepakat untuk mereka rahasiakan, bahkan dari Afra. Ranu berkali-kali mengeluh bahwa itu adalah kelemahan fatal. Ranu lega, saat Aiden mengatakan bahwa dalam keluarga Vivash, hanya keluarga Raye dan juga Dwyer yang mengetahui soal itu.
Menurutnya, Xander tidak akan membocorkan hal itu pada siapapun, dan Dwyer lebih baik mati daripada mengakui dia mempunyai keturunan gimp. Jadi rahasia itu akan aman bersama mereka.
Kehidupan Aiden di rumah Hima jauh lebih mudah, setelah dia mengaku sebagai gimp. Rae tidak segan-segan membantunya menghangatkan diri secara sembunyi-sembunyi, maupun menghangatkan minumannya.
Sekarang Aiden bisa berkeliaran di dalam rumah dengan baju yang lebih tipis. Yang paling membahagiakan, menurut Aiden, adalah keleluasaannya untuk mandi secara normal.
Satu hal yang membuat Aiden kagum pada ketiga bersaudara itu. Sikap mereka tidak banyak berubah setelah dia mengaku soal gimp. Mereka tidak sejahat tyaga yang Aiden lihat di Eldur. Ryola dan Glyn mendidik mereka dengan baik.
Karena hal itu, Aiden mempunyai kebiasaan baru. Saat melihat satu sifat baik Hima, dia akan mengaitkannya dengan sosok Ratu.
Beberapa hari setelah Aiden melihat secara langsung, dia menyimpulkan, Hima sebenarnya sangat cocok menjabat sebagai Ratu. Hima mungkin terlihat sedikit pemarah, dan kadang keras kepala. Tapi sifat dasar Hima adalah baik, yang ini jelas, dengan bukti kebaikannya pada seorang gimp.
Hima juga bisa sangat tegas saat melihat kesalahan. Seperti yang terlihat jika sedang berhadapan dengan Hita dan Dhita. Dia juga petarung yang lumayan hebat, ini adalah keahlian yang langka bagi wanita. Dia mampu menggunakan anasirnya sebagai senjata.
Hima juga cenderung untuk mendengar cerita secara keseluruhan sebelum memutuskan tindakan. Untuk hal ini mereka berdua sama, berhati-hati dalam bertindak adalah motto hidup Aiden. Dan tidak ketinggalan Hima juga pintar dalam berstrategi. Rae yang mengatakan hal ini.
Dia menyebut Aiden dan juga Hima akan menjadi Suze yang hebat saat perang, karena mereka juga sama-sama licik. Aiden mengakui ini.
Hima sama sekali bukan lawan bicara yang mudah. Lima puluh persen perbincangan diantara mereka berdua berisi perdebatan. Kehidupan pernikahan mereka jauh dari kata mudah.
Beberapa hari yang lalu, Aiden bangun dengan tubuh menggigil. Tangan kanannya membeku. Hima yang melakukan, karena menurutnya tangan Aiden melewati batas dan menyentuhnya. Aiden harus berkali-kali mengatakan, dia tidak mempunyai kuasa untuk mengatur gerakan tangannya saat tidur. Tapi Hima mencairkan tangan Aiden, hanya setelah Ryola mengetuk pintu kamar. Pertengkaran mereka terlalu berisik.
Semua itu masih ditambah dengan ceramah dari Ryola pagi harinya. Dia mengira Aiden dan Hima sedang dalam masa penyesuaian, sehingga pertengkaran menurutnya sangat wajar.
Betapa inginnya Aiden mengatakan, sumber percekcokan itu adalah anaknya. Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Dengan terpaksa Aiden bersikap manis pada Hima, agar Ryola tidak khawatir.
Pada saat seperti itu, Aiden mencoret semua sifat baik Hima yang telah dia koleksi. Tapi keadaan akan segera berubah. Sehari sebelum upacara penobatan, Aiden dan Hima akhirnya berangkat menuju Eldur. Bersiap menghadapi tantangan mereka yang baru.
***
Meyp yang mereka tumpangi mendarat di halaman sebuah rumah mewah, dengan emblem Vivash menghiasi gerbang dan juga dinding luar. Rumah itu berbentuk biasa jika dibandingkan rumah lain di Eldur, karena Aiden sudah sering melihat rumah seperti itu di bumi.
Rumah itu adalah jatah rumah yang diperuntukkan bagi klan Vivash. Masing-masing klan memang memiliki satu rumah yang letaknya tidak jauh dari kastil.
Biasanya calon ratu akan mempersiapkan diri di rumah klan masing-masing sebelum penobatan, tapi Keandra tidak mempunyai rumah seperti itu. Maka Vivash sebagai nama keluarga Aiden yang menyediakan. Malam nanti keluarga Hima juga akan menginap di sini, mereka dijadwalkan akan tiba sore hari.
Menginjakkan kaki di tanah milik Vivash memberi Aiden perasaan tidak nyaman. Setelah dua minggu menghabiskan waktu di rumah Hima tanpa rasa khawatir, Aiden mengaktifkan radar waspadanya sekali lagi.
Dan menurut Aiden ini ironis sekali. Dia merasa lebih aman berada di Auga, padahal di sana, jelas-jelas ada gerombolan pembunuh yang menyerangnya. Keberadaan Dwyer meracuni perasaan Aiden terhadap kota ini.
Tapi melihat siapa yang menyambutnya, memberi Aiden sedikit senyum. Dari dalam rumah, dia melihat Xander dan juga Ezra, melangkah keluar saat melihatnya mendarat.
"Selamat datang kembali di Eldur," sapa Xander dengan senyum memenuhi wajah. Tanpa ragu Aiden memberinya pelukan.
"Aku senang Auga tidak memberimu kesulitan yang berarti," bisik Xander.
Dia khawatir, signet Aiden akan memberinya banyak kesulitan. Dan Xander tidak salah, tapi Aiden tidak akan mengatakannya, karena hanya akan membuat Xander kembali meminta maaf.
"Jangan terlalu khawatir!" kata Aiden.
"Kau masih terlihat sama!" kata Ezra sambil berjalan mengelilingi Aiden dan memeriksa tubuhnya dengan teliti.
"Apa yang kau pikir akan terjadi?" tanya Aiden, Hima yang sedang bersalaman dengan Xander juga mulai tertarik. Matanya mengikuti gerakan Ezra.
"Kau sudah menikah, bukankah seharusnya tubuhmu berubah? Kau tahu, setelah kau tidur ----"
Aiden membekap mulut Ezra, sebelum dia mempermalukannya lebih jauh. "Bisakah kau tidak membahas hal itu?" desisnya.
Xander hanya tertawa melihat itu, sementara Hima langsung berpaling dengan malu.
"Masuklah, Synod Elio akan datang sebentar lagi," kata Xander.
Elio datang untuk memberi detail soal tata upacara penobatan. Sementara semua kelengkapan Hima dan juga Aiden untuk acara besok, sudah dikirim terlebih dahulu kerumah ini.
Mereka hanya tinggal mempelajari susunan acara yang dibawa Elio, dan semuanya akan beres.
"Ayahmu juga ada di dalam, Aiden. Dia menunggu kalian berdua," kata Xander. Dia terlihat tegang saat mengucapkannya. Tentu saja dia menyebut ayah, karena Hima ada di situ.
Tanpa sadar Aiden menghentikan langkah, wajahnya kembali muram.
"Dia masih hidup rupanya, aku berharap setidaknya dia jatuh sakit, atau mungkin mati!" kata Aiden.
Ezra yang ada di belakangnya terkikik mendengar nada serius Aiden.
"A–apa yang kau katakan? Jangan bersikap tidak sopan seperti itu pada ayahmu, Aiden."
Xander adalah aktor yang buruk, kegugupannya membuat Hima tersenyum. Aktingnya gagal total. Aiden akan mengingatkan Xander untuk menjauh dari Hima setelah hari ini.
Intuisi Hima yang tajam, dengan mudah akan menangkap kebohongan Xander. Bisa-bisa semua rahasianya terbongkar tanpa sengaja.
"Hima sudah tahu aku membencinya, tidak perlu bersandiwara di depannya," jelas Aiden.
"Eh—," Xander menatap Hima dengan bingung. Dia pasti tak bisa memutuskan seberapa banyak Hima tahu soal rahasia Aiden.
Xander mungkin buruk dalam berakting, tapi dia tidak bodoh, kebingungan itu hanya sesaat. Daripada membuat kesalahan, Xander akhirnya mengajak mereka mengobrol hal-hal ringan. Dan Hima membalasnya dengan lebih santai.
Xander dan Erza mengantar Aiden dan Hima sampai ke ruang tengah, sebelum mereka undur diri keluar.
Di ruang tengah mereka melihat Dwyer lengkap dengan Nilaya dan Amery, duduk di tengah ruangan sambil menikmati makanan ringan.
Amery sangat tidak mirip dengan Aiden. Ada sedikit kesamaan karena mata mereka sama-sama biru, tapi rambut Amery berwarna coklat tua seperti Nilaya. Hidung Amery mengingatkan Aiden akan burung kakatua, karena ujungnya bengkok ke bawah.
Dan dia terlihat luar biasa bosan. Aiden tidak heran, Amery tidak menyukai acara-acara resmi.
"Hima, Aiden. Senang melihat kalian lagi."
Mual menyerang perut Aiden mendengar kata penyambutan itu. Dwyer sedang bekerja keras dalam memainkan perannya.
"Terima kasih Lord Vivash. Madam Nilaya. Sir Amery." Dengan sopan, Hima menundukkan kepala menghormat pada Nilaya dan Amery.
Mereka semua mengangguk.
Tidak seperti Ryola dan Glyn yang menyuruh Aiden untuk bersikap santai, keluarga gila hormat itu, membiarkan Hima memanggil mereka lengkap dengan gelarnya. Aiden memandang mereka dengan muak.
"Aiden, aku ingin bicara sebentar denganmu. Kau tidak akan keberatan bukan?" Dwyer memandang Hima meminta ijin.
"Tentu saja tidak, Lord. Kalian pasti rindu setelah dua minggu berpisah."
Hima berbohong dengan lancar. Jika Aiden belum pernah bertemu Hima sebelum hari ini, dia juga akan menduga ucapan itu tulus. Tapi Aiden mengenali sedikit nada sindiran di sana. Dalam hatinya, Hima pasti tertawa keras, melihat usaha Dwyer bersandiwara.
Dengan santai Hima duduk dihadapan Nilaya dan Amery. Jika gadis biasa, pasti ia sudah gugup menghadapi ibu mertuanya. Tapi Hima bukan gadis biasa, Aiden yakin Nilaya akan kalah jika mereka mulai berbantahan.
Aiden meninggalkan Hima, mengikuti Dwyer ke ruangan lain.
"Dia belum tahu kau adalah gimp? Kalian mesra sekali!"
Kata-kata jujur pertama Dwyer tidak mengejutkan Aiden. Dia mengharapkan Hima akan bersikap sama kejamnya seperti dirinya.
"Kenapa kau tidak bertanya padanya? Seharusnya kau tanya kenapa dia belum membuangku tadi."
Dwyer tidak mungkin terang-terangan menyinggung Hima, nyalinya tak sebesar itu. Jika pembahasan soal status gimp mengemuka saat ini, Dwyer yang paling rugi. Seperti biasa, Dwyer hanya mendengus saat Aiden mengalahkannya dalam berdebat.
"Aku ingin kau melaporkan semua gerak-gerik Hima padaku saat di istana!" kata Dwyer. tanpa basa-basi.
"Itu saja?"
Aiden bahkan tidak berkedip mendengarnya. Itu karena dia sudah menduga hal ini akan terjadi jauh-jauh hari. Dwyer mengerutkan kening melihat tanggapan dingin Aiden, bingung.
"Ya, laporkan pada Xander lewat ini."
Dwyer melemparkan sesuatu, dan Aiden menangkapnya tanpa berpikir.Aiden mengenalinya sebagai Vez. Benda yang kemarin dulu dilempar oleh Hima ke dalam laut, untuk memanggil kakaknya.
Vez adalah alat komunikasi yang bekerja dengan anasir Jei untuk mengantar pesan, baik pesan tertulis maupun benda yang kecil. Benda itu berbentuk oval pipih, dengan tebal sekitar tiga centi, berdiameter sepuluh centi. Bagian tengah berongga untuk meletakkan benda yang akan dikirim.
Alat itu bekerja dengan menggunakan prinsip diffusis Jei, meleburkan benda yang diinginkan, sehingga bisa berpindah tempat sebagai anasir. Karena benda mati tidak mempunyai perasaan untuk tahu tujuannya, maka vez selalu berpasangan. Benda yang dikirim hanya bisa berpindah antar dua vez.
Pasangan vez yang saat ini dipegang Aiden tentulah berada di tangan Xander saat ini. Jika Aiden mengirim pesan, Vez yang ada Xander akan beralih padanya. Begitu seterusnya mereka bertukar vez yang berisi pesan.
Besar benda yang bisa dikirimkan lewat vez sangat terbatas, karena harus muat dalam rongga sempit itu. Karena itu pada umumnya vez hanya berfungsi sebagai pengantar pesan.
Aiden mendengar, Huenu sebagai kota Jei dan pusat produksi vez, telah menciptakan vez model terbaru, yang bisa mengirim pesan pada vez yang berbeda-beda sekarang. Tapi Aiden belum pernah melihatnya.
Hal apa yang perlu aku laporkan? Kegiatan hariannya dengan detail, seperti jadwal jam makan dan tidur? Atau bagaimana?" Aiden berpura-pura lugu.
"Jangan menguji kesabaranku gimp! Kau tahu benar apa yang aku inginkan. Kau sudah lupa dengan gadis kecil itu?" ancam Dwyer. Tidak perlu menyebut nama, Aiden sudah mengerti.
Ruas jari Aiden memutih, karena tangannya mencekal vez dengan sangat erat. Tapi wajahnya tidak berubah.
"Aku mengerti!" jawab Aiden pendek.
"Jangan besar kepala karena kau akan menjadi suami dari Ratu. Ingatlah, begitu ratu kecil itu tahu kau adalah gimp, dia akan membuangmu ke tong sampah, Sampah!"
“Sebenarnya tidak!” Aiden membalas dalam hati.
Menatap Dwyer yang sambil tertawa terbahak-bahak, keluar dari ruangan itu. Aiden berharap dia akan tersedak ludahnya sendiri dan mati.
Lima detik setelah Dwyer tidak terlihat, Xander masuk dengan wajah cemas. "Aku jarang melihatnya segembira itu," katanya.
Xander cemas, karena biasanya kegembiraan Dwyer akan membawa musibah bagi Aiden.
"Jangan khawatir, dia hanya menyerahkan ini," Aiden mengangkat vez di tangannya.
"Oh." Xander mengangguk.
"Aku tidak akan melaporkan apapun padanya, tidak usah menunggu," kata Aiden, tapi dia tetap memasukkan vez itu ke dalam kantong mantel.
"Tidak apa-apa. Aku akan mengatur sesuatu nanti. Aku akan mengatakan vez itu hilang atau semacamnya."
"Jangan memberi alasan yang akan membuatnya marah padamu," sentak Aiden.
Dwyer tidak segan berbuat kasar pada Xander. Aiden tidak ingin keputusannya untuk membantu Hima justru akan membawa masalah baginya.
"Jangan khawatir, lakukan apa yang kau ingin lakukan. Yang pasti aku senang kau memutuskan untuk mendukung Hima. Dia gadis yang manis bukan?"
“Manis?” Aiden membatin dengan ironis.
"Aku yakin kau membutuhkan kacamata Xander. Matamu pasti sakit," gerutu Aiden.
Baru tadi pagi Hima membekukan wajahnya, karena dia masuk kamar, saat Hima masih berganti baju. Dia lupa mengetuk.
Aiden tahu dia bersalah, tapi membekukan wajahnya selama hampir setengah jam adalah berlebihan. Aiden mulai curiga, Hima sebenarnya sangat menikmati kegiatan menyiksa dirinya dengan es.
"Synod Elio sudah menunggu," Xander menunjuk keluar.
"Ayo!" Aiden mendahuluinya keluar.
***
Persiapan penobatan ternyata lebih merepotkan daripada pernikahan. Aiden berpikir dia hanya perlu berganti baju seperti kemarin. Tapi ternyata tidak. Serombongan perias pria dan wanita dari istana, datang pagi buta dan mulai menyuruh-nyuruh Aiden dan Hima untuk bersiap.
Tidak hanya rambut dan wajah, sama seperti Hima, Aiden mendapatkan perawatan seluruh tubuh. Mulai dari mandi dengan aroma musk sampai pijat.
Jika tidak ingat soal Nilam, dia pasti sudah menyelinap keluar sedari tadi. Aiden hanya bisa menutup mata menahan jengkel hampir di sebagian besar kegiatan itu. Dia tidak nyaman, saat ada orang lain yang menyentuh tubuhnya.
Tapi yang paling membuatnya kehilangan kendali adalah, saat mereka hanya menyediakan satu ruang ganti untuk dipakai bersama dengan Hima. Dengan enteng mereka mengatakan agar Aiden dan Hima berganti baju bersamaan.
Untunglah, sebelum Aiden mencekik salah satu dari mereka, Hima menengahi, dengan mengajukan permintaan agar mereka merias wajahnya terlebih dahulu. Dengan begitu mereka bisa bergantian menggunakan ruangan itu.
Untuk acara ini, desiner yang juga merancang baju pengantinnya, menyediakan blazer panjang selutut dengan kerah tegak berwarna hitam, dengan hiasan bordir berwarna emas. Menurutnya warna itu akan serasi dengan rambut pirang Aiden.
Tapi kejutan datang dari Hima. Setelah semua persiapannya selesai, Aiden seperti melihat orang asing. Atau mungkin dia mulai terbiasa melihat Hima dalam balutan gaun santai di rumahnya.
Hima terlihat lebih menawan daripada saat hari pernikahan mereka. Apalagi sekarang Aiden melihatnya langsung, tanpa dihalangi oleh veil. Para perias itu berusaha ekstra keras untuk mendandani Hima hari ini.
Wajah putihnya di sapu oleh warna bedak lembut, mata ungunya dipertegas dengan eyeliner warna hitam. Bibir Hima yang ranum disapu warna merah muda tipis.
Gaunnya berwarna dasar putih, dengan bordiran rumit warna emas seperti jas Aiden. Gaun itu berlengan panjang, dengan bahu terbuka. Tapi rambut hitam Hima yang tergerai panjang menutupi bahunya dari pandangan
Aiden harus berpaling, saat sadar gaun itu membentuk lekuk tubuh Hima di bagian atas dengan sempurna. Mendadak Aiden merasa ruangan itu menjadi lebih hangat. Dan kali ini Aiden berterima kasih pada Xander, dia datang pada saat yang tepat membawa kabar bahwa mereka harus segera berangkat ke kastil.
Selama perjalanan itu, Aiden harus bersusah payah untuk tidak melirik ke arah Hima. Aiden merasa akan kehilangan konsentrasi jika melakukannya.
<< CORONATION >>
Matahari musim semi yang berkilau, seolah mendukung Hima. Cuaca Eldur tidak bisa lebih cerah lagi. Tyaga dengan suka rela, keluar dari rumahnya, membanjiri tepi jalan, untuk melihat acara arak-arakan penobatan Hima nanti.
Jalan Eldur juga telah berhias dengan meriah. Aneka patung es yang kemarin Aiden lihat, kini memenuhi setiap sudut kota, menyambut penobatan Ratu Nir. Tapi untuk melihat Hima, tyaga yang telah berjubel, harus sedikit bersabar lagi. Sebelum arak-arakan dimulai, Hima harus menjalani serangkaian upacara resmi di kasti Lumea.
Kereta kuda tertutup, tiba di gerbang belakang kastil, dengan diikuti oleh dua puluh pasukan penjaga berkuda. Pasukan itu dipimpin oleh sosok yang tidak asing. Berambut cepak dengan mata ungu.
Rae mengendarai kuda cokelat yang bisa menyaingi besar tubuhnya. Keberadaannya di situ adalah keadaan khusus. Sebagai Suze, bukan tugasnya untuk mengawal Hima. Entah bagaimana caranya, Ranu berhasil membujuk Synod, membuat Rae yang mengawal Hima sampai ke istana
Dengan langkah lebar, Rae turun kemudian berdiri di sebelah pintu kereta. Pasukannya mengikuti, mereka berjejer membentuk pagar betis sampai ke pintu masuk.
Aiden yang pertama keluar dari kereta, lalu berbalik, untuk membantu Hima turun.
Tanpa ragu, Hima menerima uluran tangan Aiden. Tidak ada sentakan atau apapun. Dua minggu yang mereka habiskan bersama cukup berguna. Setidaknya mereka sedikit lebih terbiasa dengan kontak fisik seperti itu.
Kastil Lumea mengingatkan Aiden pada gambar istana yang menjadi simbol sebuah studio penghasil film kartun terkenal di bumi. Bentuknya hampir mirip, dengan adanya banyak menara yang menjulang.
Tapi kastil Lumea berbentuk lebih spesial.
Ada empat menara utama, sebagai perlambang empat anasir. Masing-masing dinding bagian depan menara, berukir emblem Klan Utama dengan ukuran besar. Atap menara utama itu tidak berbentuk kerucut seperti yang lain, tapi berbentuk cekung seperti mangkuk raksasa.
Mangkuk itu digunakan untuk menampilkan anasir.
Untuk Sua, menara itu mengobarkan api berwarna merah yang terus bergoyang tanpa pernah padam.
Nir mengisi mangkuk itu dengan patung es transparan dengan bentuk bulat sempurna, menggambarkan mutiara.
Zem membuat patung batu raksasa, yang menggambarkan miniatur hutan dengan detail rumit yang mengagumkan.
Jei, yang menurut Aiden paling sulit, karena anasir mereka tidak terlihat. Tapi ternyata mereka membuat pajangan yang menurut Aiden paling menarik. Di atas menara Jei, Aiden hanya melihat bongkahan batu sebesar kuda, tapi batu itu melayang dan terus berputar tanpa menyentuh permukaan.
Dibandingkan hiasan menara itu, bagian dalam kastil, tidak banyak memberi kejutan. Seperti bayangan Aiden, interiornya sangat mewah dan berlebihan, karena di dominasi oleh warna krem dan emas.
"Sir Vivash, Lady Keandra."
Suara dengan nada resmi menyambut mereka berdua begitu kaki Aiden menginjak kastil bagian dalam.
Sesaat Aiden mengalami kebingungan, karena tidak merasa disebut namanya. Dia belum pernah dipanggil Sir Vivash sebelum hari ini. Aiden sudah ingin mengoreksi, tapi sudah dipotong oleh perkenalan.
"Perkenalkan, saya Ronan, yang akan menjadi asisten anda, Sir Vivash. Sedangkan mereka, adalah Kalinda dan Idalia, yang nanti akan menjadi asisten Lady Keandra."
Ronan sedikit lebih pendek dari Hima, tapi panjang rambutnya hampir sama dengan Hima. Dia menguncir rambut pirang gelap itu dengan rapi di belakang leher, menyisakan poni di sisi kanan. Dari wajah, Aiden memperkirakan usianya sepantaran dengan Rae dan Ranu.
Kalinda dan Idalia terlihat mirip di mata Aiden, tapi mungkin karena mereka memakai seragam. Baju mereka bertiga semua didominasi warna biru tua, baik gaun yang dipakai Idalia dan Kalinda, maupun setelan jas yang dipakai Ronan.
"Senang bertemu kalian. Kami akan sering merepotkan setelah ini," kata Aiden, setelah perkenalan mereka dibalas dengan kesunyian yang canggung.
Aiden diam, karena mengharapkan Hima untuk menjawab, tapi Hima dalam keadaan yang aneh. Dia hanya memandang ke sekitar, dengan mata tidak fokus.
‘Dia tegang!’
"Mari, anda berdua sudah ditunggu," Ronan memakai tangannya, untuk menunjukkan arah.
"Terima kasih, Ronan," Aiden tersenyum. Sementara Hima masih dalam keadaan yang sama.
Ronan menuntun mereka melewati lorong panjang dan juga tangga yang cukup panjang. Aula Penobatan terletak di lantai tiga.
Seperti yang diajarkan oleh Xander, Aiden berkonsentrasi menghafal lorong dan juga pintu-pintu yang mereka lewati. Menurut Xander, hal ini penting karena Aiden harus tahu dimana jalan keluar, jika ada keadaan darurat.
Tapi konsentrasi Aiden buyar, saat merasakan tangan Hima yang menggandengnya, semakin lama semakin berat.
Hima berjalan hanya menuruti tarikan tangan Aiden, pikirannya tengah mengembara tidak tentu arah. Baru kali ini Hima berada dalam kondisi seperti itu. Aiden merasa aneh, Hima yang dikenalnya selama ini begitu kuat dan tegas, dengan mata berkilau pintar.
Melihatnya seperti itu membuat Aiden ingin------melindunginya.
‘Perasaan macam apa lagi ini?’
Ronan dan kedua gadis itu, menghentikan perjalanan mereka di depan sebuah pintu besar, yang tingginya lebih dari tiga meter. Seperti pintu lain di kastil itu, permukaannya berwarna krem, berhias ukiran tribal dengan detail tersepuh emas murni.
"Synod sedang menunggu tamu untuk memulai upacara. Anda berdua akan menunggu disini sampai saatnya nanti," jelas Ronan.
"Tentu, terima kasih sekali lagi," kata Aiden.
Setelah menunduk hormat, mereka bertiga mundur, kemudian berdiri di belakang Aiden dan juga Hima, yang kini menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Hima!" panggil Aiden pelan. Tapi tidak ada jawaban.
‘Ini gawat!’
Aiden dengan perlahan memutar tubuh Hima agar menghadapnya, tubuh itu menurutinya tanpa perlawanan. Aiden meraih wajah Hima pada pipinya, menggunakan kedua tangan. Dengan gerakan pelan, Aiden mengangkat kepala Hima agar memandangnya.
Ketiga orang yang ada di belakang mereka berdua, menunduk bersamaan melihat pemandangan mesra itu. Demi alasan kepantasan dan sopan santun.
"Hima, lihat aku," kata Aiden, setenang mungkin.
Mata ungu itu akhirnya bernyawa, dengan guliran pelan, mulai fokus pada wajah Aiden.
"Tenangkan dirimu, semua akan baik-baik saja."
Sedikit kebohongan, mereka berdua tahu, hidup mereka akan jauh dari kata 'baik-baik saja' setelah hari ini.
"Ini kesalahan, Ratu Ignatia pasti melakukan kesalahan saat memilihku," rancau Hima.
"Tidak--tentu saja tidak. Aku dengar dia Ratu yang sangat hebat. Mustahil dia melakukan kesalahan," bantah Aiden.
"Tapi aku tidak pantas untuk semua ini."
Aiden bisa melihat emosi Hima yang selama ini tertimbun oleh pikiran rasional, naik ke permukaan. Matanya memerah, dan dengan sangat pelan air matanya mengalir turun.
"Jangan, aku mohon jangan. Kau tidak boleh menangis hari ini," Aiden mulai ikut panik. Dia tidak berpengalaman menghadapi air mata.
Sebelum ini, pengalamannya menenangkan tangis hanya terjadi pada Nilam. Padahal tingkat kesulitan air mata Nilam sangat rendah, karena hanya memerlukan lolipop untuk berhenti. Aiden sangat yakin, tangis Hima akan semakin kencang jika dia memberinya lolipop.
Ronan maju dua langkah, menyerahkan sapu tangan pada Aiden.
Dengan perlahan Aiden mengusap air mata Hima, sambil berjuang agar riasan Hima tidak rusak. Tapi gagal, eyeliner hitam Hima memanjang sampai ke telinga.
Sementara Hima sama sekali tidak membantu, air matanya turun semakin deras.
"Ratu Ignatia tidak melakukan kesalahan, karena aku setuju dengannya. Kau akan menjadi ratu yang hebat bagi Lumea."
Hima menggeleng, "Kau bohong!" isaknya.
"Tentu saja tidak, aku berbohong tentang banyak hal, tapi tidak tentang hal ini."
"Ups--- seharusnya aku tidak mengatakan itu! Lupakan saja kalimatku barusan," lanjut Aiden, dengan nada bercanda.
Hima menghentikan isakannya, untuk tersenyum kecil, mendengar itu.
"Dengarkan aku, Hima," Aiden memutuskan untuk jujur. Karena Hima membutuhkannya.
"Dua minggu ke belakang, aku menyadari satu hal. Kau lebih dari apa yang aku perkirakan. Menurutku kau baik, karena kau memperlakukanku seperti biasa, bahkan setelah tahu apa kelemahanku. Kau juga tidak takut untuk dibenci, saat kau yakin sedang melakukan perbuatan yang benar. Kau rela menjadi sasaran kebencian Hita dan Dhita, agar mereka tumbuh menjadi gadis yang baik. Kau juga pintar, karena bisa mengalahkanku dalam berdebat, hanya beberapa kali tentu saja, tidak semuanya—."
Hima terkikik kecil, sambil mengusap air matanya dengan tangan.
Kesalahan yang lebih besar, karena sekarang salah satu matanya seperti panda. Penata rias Lumea pasti belum mengenal waterproof makeup. Tapi bagi Aiden itu tidak penting, karena tawa Hima adalah segalanya. Hatinya lega luar biasa karena air mata Hima tidak terlihat lagi.
"Dengan semua yang ada dalam dirimu, aku benar-benar merasa kau akan menjadi Ratu yang luar biasa, bahkan mungkin lebih dari Ratu Ignatia," tambah Aiden.
"Benarkah?" tanya Hima, dengan mata ragu. Dia memandang Aiden, berharap menemukan secercah tanda kebohongan di sana.
"Ya---Aku belum pernah merasa seyakin ini seumur hidupku," tegas Aiden.
"Sekarang tenanglah, dan tunjukkan pada mereka, kau tidak mudah dikalahkan," Aiden meremas lengan Hima untuk memberinya semangat.
Dan lagi-lagi hatinya seperti tersapu oleh angin sejuk, saat senyum Hima mengembang.
"Maaf, tapi ijinkan kami untuk memperbaikinya," suara cemas Kalinda terdengar dari samping Hima.
Wajahnya semakin panik saat Hima menoleh ke arahnya. Dia tentu melihat bagaimana riasan Hima sudah berubah menjadi bencana karena tangisan. Saat Hima menyetujuinya dengan anggukan, dengan dibantu oleh Idalia, Kalinda menarik Hima sedikit menjauh dari Aiden.
Dengan alat rias yang mereka bawa, tangan Idalia bergerak cepat mulai memperbaiki wajah Hima.
"Saya akan menyimpannya, Sir Vivash," kata Ronan, meminta sapu tangan yang masih Aiden genggam.
Aiden menyerahkannya tanpa melihat, karena matanya sibuk melihat Hima.
"Saya yakin Lady Keandra akan baik-baik saja setelah ini. Penyelamatan yang hebat, Sir," puji Ronan, sekaligus berusaha membuang kecemasan Aiden.
‘Penyelamatan?’
Aiden tersenyum mendengar istilah Ronan, "Menurutku juga begitu, Ronan," katanya.
Dia menyelamatkan Hima dari rasa malu, jika penobatan ini tidak berjalan lancar hanya karena kegugupan Hima.
"Bisakah kau memanggilku Aiden saja?" pinta Aiden pada Ronan.
Aiden akhirnya bisa mengutarakan keberatannya. Dia tidak suka mendengar nama panggilan Vivash, mengingatkannya pada sosok yang menyebalkan.
Ronan mengangkat wajahnya dengan kaget. Dia belum pernah mendengar ada tyaga dari Klan Utama menolak untuk dipanggil dengan gelarnya.
"Maafkan saya, tapi itu mustahil," Ronan menunduk dalam-dalam, menolak perintah Aiden.
"Baiklah--baiklah, tapi jangan panggil aku dengan nama Vivash, Aiden saja, dan kau boleh menambahkan gelar apapun di depannya," putus Aiden.
"Saya mengerti, Sir---Aiden," Ronan masih sedikit kaku saat mengucapkannya. Tapi Aiden puas, dia mengacungkan jempolnya pada Ronan sambil tersenyum lebar.
Mau tak mau Ronan mengikutinya tersenyum lebar. Setidaknya sekarang dia sadar, tuan yang akan dilayaninya, sedikit berbeda dari bangsawan tyaga yang lain.
"Aku siap!" Hima menyahut dengan suara penuh tekad. Dia sudah kembali menjadi dirinya yang biasa. Banjir emosi karena rasa tegang sudah berakhir.
"Bagus!" Aiden membelokkan jempol yang tadi diarahkan pada Ronan, kepada Hima. Riasan Hima sudah kembali rapi dan cantik.
Dan tepat pada saatnya, salah satu pelayan berlari menuju ke arah mereka untuk membuka pintu. Saatnya bagi mereka untuk keluar menuju Aula Penobatan.
"Itu tidak akan terjadi lagi," bisik Hima, saat kaki mereka melangkah keluar.
Aiden tersenyum mendengarnya, karena Hima menyalin kata-katanya, saat dia bangun dari overdosis dulu. Hima ingin menegaskan bahwa tangisannya tadi sesuatu yang hanya akan terjadi satu kali saja.
"Kau boleh mengulanginya, tapi pastikan hanya ada aku yang ada di dekatmu."
Hima harus terlihat kuat, sedikit kelemahan akan membuat musuhnya menari bahagia.
"Kenapa harus ada kau?"
"Karena aku akan jujur memberitahu jika wajahmu terlihat aneh seperti tadi. Para pelayan tidak akan berani menegurmu, mereka pasti takut kau marahi," canda Aiden.
Hima memalingkan wajah kesalnya ke depan, tidak lupa dia memberi sengatan beku pada tangan Aiden, yang sudah kembali digandengnya.
"Auch---," Aiden mengeluh pelan, saat suhu tangannya menurun drastis. Tapi pertengkaran ringan itu tidak bisa berlangsung lama. Mereka sudah tiba di Aula Penobatan.
Dekorasi dan interior Aula itu, lebih mewah lagi, daripada ruangan yang sedari tadi Aiden lihat.
Kaca patri yang menutup jendelanya, membiaskan warna-warni merah dan oranye. Motif lukisan pada kaca itu kebanyakan menggambarkan Sua yang sedang menggunakan anasirnya dalam berbagai posisi.
Chandelier dan juga lampu hias berbagai bentuk menggantung di langit-langit, yang tingginya mencapai enam atau mungkin tujuh meter.
Langit-langit itu juga tidak membentang polos begitu saja. Mural dengan gaya realisme, yang menggambarkan dataran Lumea secara utuh, membentang memenuhinya dari ujung ke ujung.
Tapi indahnya ruangan itu seolah kalah dengan segala macam gaun yang dipakai oleh para tyaga bangsawan yang memenuhi Aula. Segala macam warna yang Aiden kenal, sampai yang tidak dikenalnya ada di sana.
Tamu yang ada di Aula seharusnya hanya terdiri dari anggota keluarga Klan Utama, para bangsawan, dan juga pejabat negara. Namun di deretan kedua dari depan, terlihat orang tua Hima berdiri di sebelah Rae dan Ranu, sementara Dhita dan Hita berada di depan mereka. Senyum penuh kebanggaan mewarnai wajah mereka berenam.
Keluarga Keandra tentu saja hadir di sana dengan undangan khusus. Dengan status keluarganya yang biasa, selain Ranu dan Rae -- sebagai Suze-- mereka seharusnya tidak diizinkan memasuki aula penobatan.
Dan terlihat bagaimana wajah bahagia mereka, sangat kontras jika dibanding wajah tamu lain, yang berasal dari Klan utama, kebanyakan mereka berdiri sambil mendekatkan kepala, berbisik menilai penampilan Hima.
Aiden tersenyum dalam hati, mereka tidak akan menemukan kekurangan Hima hari ini.
Menurut Aiden baju pesta warna-warni yang mereka pakai justru berlebihan. Aiden lebih menyukai gaun Hima yang tanpa banyak warna, tapi bisa membuat kecantikan Hima semakin menonjol.
Di depan deretan tamu, para Lord dan Madam dari Klan Utama berdiri berjejer mengelilingi panggung tempat Hima akan dilantik.
Semua berwajah tenang, Dwyer tidak mencoba untuk tersenyum. Juga Varsha, dia membunuh emosinya, menunjukkan wajah datar.
Aiden berhenti pada jarak sekitar dua meter sebelum mencapai undakan untuk naik ke panggung, Hima menaiki undakan itu, meneruskan sisa perjalanannya sendiri.
Keempat Synod maju ketika Hima berhenti di anak tangga terakhir. Synod Elio yang mewakili Sua, maju sambil membawa mahkota bertabur berlian berwarna kemerahan, di atas bantalan sutra berbordir benang emas.
Mahkota itu ada di tangan Synod Elio karena Ratu yang sebelumnya adalah Sua. Sekilas mahkota itu mengingatkan Aiden akan nyala api yang melingkar.
Begitu Synod Elio tiba di hadapannya, Hima berlutut dengan kedua kakinya dan menunduk.
"Lumea adalah tanah anasir yang berumur ribuan tahun. Sua, Nir, Jei dan Zem menopang kehidupan Lumea dengan adil sesuai perannya dalam roda kehidupan. Pada masa ini, sambutlah Ratu Nir yang akan membawa Lumea ke dalam masa kejayaan dan masa depan gemilang."
Tepuk tangan sopan terdengar dari deretan tamu, tepuk tangan paling keras tentu saja terdengar dari sudut keluarga Keandra.
"Ucapkan sumpahmu!" seru Elio.
"Aku Nir Hima Keandra, sebagai Ratu baru Lumea, berjanji akan menjalankan segala peraturan dengan selurus-lurusnya, dan menyejahterakan seluruh tyaga Lumea. Nir, Jei, Zem dan Sua akan berada di bawah perlindunganku, dan akan aku perjuangkan sampai nafas meninggalkan tubuh."
Begitu selesai mengucap sumpah, Elio meletakkan mahkota itu di kepala Hima. Saat menyentuh kepala Hima, mahkota itu seakan membeku.
Taburan berlian yang semula berwarna merah, kini berubah menjadi biru muda. Bentuk mahkota yang tadi terlihat seperti nyala api, kini penuh dengan tonggak kristal salju memutar.
Aiden nyaris tidak bisa menahan tangannya untuk tidak bertepuk. Tadi dia sempat merasa heran, karena mahkota untuk Hima terlihat seperti api. Tapi ternyata benda itu menyimpan trik khusus yang cantik.
Hima bangun dengan punggung tegak, tapi upacara belum selesai.
Tiga Synod yang lain maju dan berjajar di samping Elio. Mereka berempat mengangkat tangan ke arah Hima, yang kini telah berdiri.
Hima menutup matanya berkonsentrasi, tangan kanan Hima terangkat lurus ke depan. Dengan sangat perlahan, Hima membuat gerakan mengayun mulus, untuk menarik air dari sebuah wadah kecil di samping panggung, yang memang sudah dipersiapkan.
Butiran air melayang dengan sangat perlahan, memenuhi panggilan Hima. Butiran air itu, berputar di atas telapak tangan kanan Hima. Sebuah benda bulat transparan menjelma di tangannya.
Benda itu bulat sempurna, dan sangat bening. Di tengah bola itu, terdapat sebuah emblem yang berwarna putih keperakan. Emblem itu adalah emblem kerajaan Lumea yang diturunkan oleh Ratu Ignatia kepada Hima.
Keempat Synod yang tadi mengangkat tangan, mengeluarkan anasir dari tangannya, kemudian menyentuh bola itu. Bola bening berubah warna sesuai dengan anasir yang ditimpakan padanya.
Saat api dari Synod terakhir yaitu Elio menyentuhnya, bola itu tiba-tiba meleleh. Emblem kerajaan yang ada di dalamnya, jatuh ke tangan Hima.
Aiden mengira acara akan selesai, tapi ternyata tidak. Hima dengan anggun kembali menggerakkan tangan memutar, untuk memanggil air dalam jumlah yang lebih banyak.
Dengan gerakan cepat, Hima melebur air dan emblem kerajaan menjadi sebuah tongkat es.
Tongkat es itu putih dengan sedikit semburat biru, dengan kisaran panjang sekitar dua meter. Ujung atasnya berbentuk seperti berlian, dan pada pusatnya, terpasang emblem kerajaan Lumea yang membeku di dalam es.
Hima menghentakkan tongkat itu ke lantai sekali.
Kaca patri yang tadi berwarna kemerahan dengan lukisan Sua, seolah melipat, dan berubah menjadi biru putih, dengan lukisan Nir sedang mengendalikan anasirnya. Aula penobatan yang sedari tadi bermandikan warna merah, kini berubah menjadi sendu. Perlambang bergantinya kekuasaan Sua menjadi Nir.
Bersamaan dengan gerakan mundur para Synod, pelayan membuka pintu besar yang ada di belakang panggung, memperlihatkan sebuah balkon setengah lingkaran.
"Sir Vivash," panggil Elio.
Aiden dengan sigap menghampiri Hima, kemudian mereka berdua melangkah ke luar. Dari tepi balkon itu, Aiden melihat pemandangan luar biasa. Ribuan tyaga berjejal memenuhi halaman kastil yang ada di bawah mereka.
Begitu sosok Hima muncul, sorakan gembira memecah udara karena kerasnya. Mereka meneriakkan nama Hima bersahut-sahutan.
Sesaat Hima memandang ke arah depan dengan mata membelalak, rasa takut dan panik sepertinya menyerang lagi.
Aiden tidak heran. Melihat penduduk Lumea meneriakkan namanya, pasti membuatnya ingat akan beratnya tugas seorang Ratu. Dia akan bertanggung jawab pada kehidupan mereka semua yang kini mengelu-elukannya.
"Tersenyumlah dan lambaikan tanganmu. Mereka menunggu," bisik Aiden.
Bisikan itu menyentakkan kesadaran Hima. Detik itu juga, Hima mengangkat tangan dan melambai pada kerumunan yang menantinya.
Sorakan yang tidak kalah keras, kembali membahana di langit cerah Lumea.
-------------0O0-------------
Acara setelah upacara penobatan adalah konvoi.
Hima dan Aiden mengendarai kereta kuda terbuka, kemudian mereka di bawa mengelilingi jalanan Lumea yang telah penuh sesak oleh tyaga.
Sepanjang jalan, tidak henti-hentinya mereka bersorak untuk Hima. Dia adalah Ratu yang telah ditunggu selama lima tahun. Kegembiraan mereka memuncak hari ini.
Aiden mungkin bukan tokoh utama hari itu, tapi statusnya sebagai suami Hima juga mengharuskannya untuk tampil tanpa cela. Saat konvoi itu hampir berakhir, tangannya terasa mati, karena sedari tadi, dia mengangkatnya untuk melambai. Belum lagi wajahnya yang kaku karena menyandang senyum permanen.
Tapi satu hal membuat Aiden lega, konvoi itu berjalan lancar tanpa hambatan.
Ranu memberi peringatan, bagaimana saat konvoi adalah saat yang paling mudah untuk menyerang Hima, karena pembunuh bisa menyamar menjadi penonton biasa.
Aiden menanggapi peringatan itu dengan sangat serius. Tidak hanya pedang, Aiden membawa sebanyak mungkin pisau kecil di dalam bajunya. Kemampuan melempar pisau Aiden tidak sebaik bertarung dengan pedang, tapi pisau akan cukup ampuh untuk memberi serangan kejutan.
Ranu dan Rae juga mengerahkan pasukan mereka sendiri untuk menjaga Hima hari ini. Karena posisi Grand Arch belum terisi. Pasukan penjaga istana untuk sementara dipegang oleh Synod, Mereka tentu saja tetap mengawal Hima, tapi Ranu tidak ingin lengah. Bisa jadi pasukan itu justru menerima perintah lain selain menjaga Hima.
Melihat gerakan Ranu yang agresif dalam menjaga Hima, Aiden sangat sadar pentingnya posisi Grand Arch. Posisi itu menentukan hidup dan matinya Hima.
Memikirkan hal itu membuat Aiden semakin membenci signet yang di lehernya. Dia merasa tidak berdaya karena tidak bisa melakukan apapun untuk merebut posisi itu. Sekali lagi dia merasa menjadi orang yang tidak berguna.
Ranu berkata, dia sudah menghubungi Ozora, dan meminta bantuannya agar mengisi posisi Grand Arch. Dan Ozora sudah setuju untuk mengikuti seleksi, yang akan di gelar sekitar dua bulan lagi.
Menurut Ranu anasir Jei Ozora cukup hebat. Mereka tinggal berharap dia akan bertahan sampai babak akhir di penyisihan nanti.
Saat Ranu dan Rae membahas hal ini, Aiden sama sekali tidak merasa bahagia. Selain kesal karena tidak berguna, dengan aneh Aiden mulai membenci nama Ozora. Setelah menyebut nama itu sekali, Hima tidak pernah membahasnya lagi. Saat Ranu dan Rae membahasnya, dia juga diam.
Lebih anehnya lagi, kekesalan Aiden menjadi berlipat-lipat saat melihat sikap Hima.
Sikap diam itu membuat Aiden berpikir Hima masih merasakan sesuatu untuk Ozora. Sesuatu yang harus disembunyikan, sehingga dia memilih untuk diam.
<< VIP >>
Saat hari menjelang sore, Aiden sudah sangat membenci acara penobatan itu. Karena terlalu melelahkan. Setelah konvoi yang menguras pikiran, karena mengharuskannya untuk selalu waspada, masih ada satu hal lagi yang harus dijalani.
Yaitu pesta resmi untuk memperkenalkan Hima kepada para pejabat, baik yang menduduki jabatan penting di pemerintahan Lumea, maupun perwakilan dari negara tetangga.
Negara tetangga yang dimaksud tentu saja, dunia yang berada dalam dimensi lain.
Xander dulu pernah menyebut ada enam puluh tujuh dimensi yang aman didatangi oleh tyaga. Tapi dari jumlah itu, tidak semua dunia mengetahui keberadaan Lumea. Kebanyakan dari dunia itu seperti bumi, tyaga bisa dengan bebas berbaur tanpa terlihat.
Hanya ada tiga belas dunia yang memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Lumea. Dan mereka semua mengirimkan wakil untuk memberi selamat atas penobatan Hima. Pesta itu kurang lebih dipersiapkan untuk mereka.
Dua jam sebelum pesta dimulai, Aiden dan tentu saja Hima, kembali disibukkan dengan persiapan diri. Mereka kembali bertemu dengan Sia, desainer yang membuat baju pengantinnya, untuk kesekian kali.
Aiden merasa perlu untuk mengingat namanya, karena ternyata Sia adalah desainer resmi istana, yang akan bertanggung jawab untuk pakaian Hima dan juga dirinya. Hal itu berarti mereka akan sering bertemu.
"Bukan, Lady Hara adalah wakil dari Berill, Lady Caera yang berasal dari Calandra," ralat Aiden.
Hima memanfaatkan waktu saat wajahnya dirias, untuk menghafal deretan nama tamu yang nanti akan ditemuinya, dia tidak ingin membuat kesalahan. Aiden sedang duduk tidak jauh dari Hima, sambil memeriksa bajunya.
"Kau benar!! Ugh!" keluh Hima, sambil membalik kertas yang ada di tangannya, mengulang hafalannya dari baris pertama.
Kemarin Hima sudah menghafal daftar itu tanpa kesulitan yang berarti, tapi kecemasan membuatnya kacau.
"Acara akan segera di mulai," Idalia datang menghampiri Hima dengan tergesa.
Hima bangkit dari kursinya, seperti tersengat listrik. "Cepat sekali!" katanya.
"Aku akan membantu, jangan terlalu tegang," kata Aiden. "Pastikan saja kau selalu ada di sampingku, jangan pergi terlalu jauh selama pesta berlangsung," lanjutnya.
"Anda posesif sekali," Sia tiba-tiba menyahut sambil tertawa kecil. Dia sedang memasang mahkota di kepala Hima.
"Bukan seperti-----," Aiden batal membantahnya. Bagaimanapun mereka sedang berpura-pura menjadi pasangan mesra. Akan lebih baik jika Sia salah paham.
Dan sepertinya Hima setuju, karena dia tidak mencoba meralatnya juga. Dia hanya menunduk menekuni daftar itu lagi. Atau bisa jadi dia memang tidak mendengarnya.
"Pengantin baru selalu membuatku iri!" lanjut Sia, masih dengan nada jahil.
"Sia-- kau menyakiti rambutku," sahut Hima, wajahnya masih terpaku pada kertas.
"Oh.... maaf, Maafkan saya, Yang Mulia," Sia langsung gugup mendengar teguran Hima. Dia bergerak menjepit rambut Hima, dengan lebih pelan.
Aiden seratus persen yakin, Hima melakukannya karena tidak ingin Sia terus membahas masalah pengantin baru tadi.
"Selesai, dan sempurna."
Sia menghembuskan nafas lega. Memandang Hima yang berdiri tegak dan tersenyum kecil saat melihat bayangannya sendiri di cermin. Senyum puas.
"Tentu saja! Dia akan selalu sempurna, bukan hanya karena gaun riasanmu," kata Aiden dengan sangat ringan, menyelipkan pujian untuk Hima.
"Oh-- Lord Vivash. Jika pada hari biasa, mungkin saya akan tersinggung mendengarnya. Tapi saya akan membiarkannya hari ini."
Sia yang tadi sempat tegang mendengar teguran Hima, kini kembali santai. Gantian Aiden yang kesal. Dia sungguh berharap bisa membuat semua orang berhenti memanggilnya Vivash.
"Mari!" Ronan kembali membungkuk mempersilakan Hima untuk lewat. Kalinda dan Idalia sudah menunggu mereka di depan pintu.
"Aktingmu semakin lama semakin mencengangkan," desis Hima pelan, agar Ronan dan yang lain tidak mendengar.
"Oh--Terima kasih, Yang Mulia. Pujian anda akan saya simpan dalam hati," Aiden melengkapi kalimatnya dengan tundukan badan takzim.
"Dan entah kenapa kata-kata 'Yang Mulia' itu terdengar lebih menyebalkan dari kata 'sayang'."
Kalimat Hima mungkin terdengar kesal, tapi dia tidak bisa menahan senyumnya. Aiden kembali berhasil membuatnya lebih santai.
"Kalau begitu aku akan meneruskan panggilan 'sayang' itu."
"Jangan coba-coba. Kau tahu aku yang sekarang bisa menjatuhkan hukuman mati untukmu bukan?"
‘Selera humornya lumayan!’
Aiden sekuat tenaga menahan tawanya, karena mereka sudah sampai di balkon yang berada di atas Aula Utama, tempat pesta diadakan.
"Yang Mulai Ratu Hima Keandra dan Lord Aiden Vivash," pelayan mengumumkan kedatangan mereka.
Aiden memiliki gelar baru, sebagai suami dari Ratu. Gelar dan kedudukannya sama dan sejajar seperti penguasa Klan utama. Dan karena kedudukan Vivash lebih tinggi dari Keandra, namanya tidak berubah.
Sedangkan Hima memperoleh perlakuan khusus. Hima tetap boleh memakai nama Keandra menimbang jabatannya sebagai Ratu. Akan sangat aneh jika seorang Ratu Nir bernama Vivash.
Dalam langkah anggun, Hima berjalan menuruni tangga, sementara tangan kanannya menggenggam erat lengan Aiden, Ekor gaunnya yang berwarna ungu pastel menyapu karpet yang berwarna merah.
Para tamu bertepuk tangan sopan.
Dua orang yang berdiri di ujung bawah tangga dan menyambut mereka adalah Ranu dan Rae. Ranu tidak sendiri, di sebelahnya, Afra tersenyum cerah. Mereka juga termasuk tamu undangan karena kedudukannya sebagai Suze. Tapi status tamu tidak membuat mereka santai, dari sikap tubuhnya jelas mereka dalam posisi waspada. Berjaga dari kemungkinan terburuk.
Hima berjalan menuju ke tengah Aula sambil menyapa tamu yang dikenalnya. Tidak banyak, karena Hima berada di Eldur hanya saat dia belajar di akademi. Sudah pasti teman sekolahnya tidak masuk dalam daftar undangan.
Sementara Aiden tidak perlu menyapa siapapun karena dia tidak mengenal siapa-siapa. Keluarga Raye tidak termasuk dalam undangan. Jabatan Xander sebagai Arch di keluarga Vivash, belum cukup tinggi untuk hadir di pesta itu.
Musik dansa memenuhi ruangan, saat Hima dan Aiden tiba di tengan Aula. Sebagai pembukaan pesta Hima dan Aiden akan berdansa, sebelum nanti para tamu yang hadir akan melakukan hal yang sama.
Aiden bukan pedansa yang baik, tapi juga tidak buruk. Kata Xander gerakan dansanya sedikit kaku, tapi masih bisa diterima. Karena itu Aiden tidak keberatan untuk berdansa.
Yang menjadikan tugas itu lebih sulit, tentu saja karena partner dansanya adalah Hima, bukan Erza seperti saat dia berlatih dulu.
Tangan kanannya yang berada di pinggang Hima terasa licin karena keringat, dan tangan kiri yang menggenggam tangan Hima juga bernasib sama. Aiden harus berkonsentrasi penuh agar kakinya bergerak sesuai dengan keinginannya.
Untunglah Sia membuat baju yang sedikit lebih tertutup, daripada gaun Hima yang dipakai untuk penobatan tadi pagi. Setidaknya Aiden bisa memandang ke bawah dengan tenang.
Tapi perasaan tenang itu tidak berlangsung lama. Gaun Hima memang tertutup, tapi tetap ketat membungkus tubuhnya. Hal itu diperparah dengan posisi dansa yang mengharuskan mereka berdekatan.
Sangat dekat, Aiden bisa merasakan tubuh mereka berbenturan beberapa kali. Dan konsentrasinya pecah setiap kali hal itu terjadi.
Dekorasi khas kaum Nir yang berupa patung es dan kabut buatan, bahkan juga butiran salju samar yang dihasilkan oleh dogu, tidak berhasil menghentikan Aiden untuk berkeringat. Kedekatan mereka membuat tubuhnya menghangat.
Untunglah Hima pedansa yang handal. Kali ini dia yang menolong Aiden. Hima membuat gerakan kaku Aiden menjadi tidak kentara.
Lima menit kemudian, para tamu mulai turun mengikuti mereka berdua berdansa. Aiden hanya bisa bersyukur, karena hal itu berarti mereka bisa berhenti berdansa.
Setelah mereka memisahkan diri, Ranu dan Rae menghampiri Hima. Setelah memeluk Hima sambil mengucapkan selamat, mereka mengawal Hima menuju singgasana.
Singgasana Hima terlihat dingin, karena memang terbuat dari es. Tapi pasti Hima hanya akan merasa sejuk. Untuk Aiden disediakan kursi yang lebih tidak mencolok berjarak sekitar satu meter di sebelah singgasana.
Begitu Hima duduk di singgasananya, musik berganti dengan bunyi terompet membahana. Sebagai tanda acara dansa telah berakhir dan juga agar tamu menyingkir ke tepi Aula.
Aiden mengikutinya duduk dengan lega. Kini dia bisa melihat semua tamu dengan lebih baik. Mereka berdua berada di atas panggung setinggi tiga puluh senti, dengan begitu ruang lingkup pandang mereka menjadi lebih luas.
Aiden menyapukan pandangan pada kerumunan tamu, dan mengangguk puas. Dia bisa mengenali serta mencocokkan, wajah dengan nama dan juga wajah dari foto mereka semua dengan mudah.
Synod Elio maju. "Para tamu yang terhormat, kita bertemu dalam suasana yang bahagia ini untuk menyambut pemimpin Lumea yang baru, Ratu Hima Keandra."
Tepuk tangan terdengar, sementara Hima mengangguk sambil tersenyum sopan. Elio kemudian melanjutkan.
"Mari kita semua berharap kepemimpinan Ratu Hima akan membawa kesejahteraan dan kejayaan bagi Lumea."
Tepuk tangan kembali terdengar, kali ini AIden ikut bertepuk, sekedar menyibukkan diri.
"Baro Darpa Raina, Lumea Inc," perkenalan pertama dimulai.
Baro adalah gelar yang diberikan pada pejabat setingkat menteri. Setiap Baro membawahi satu departemen. Seperti departemen keuangan, pertanian dan banyak lagi.
Tidak seperti kabinet dalam pemerintahan negara di bumi, Ratu tidak menunjuk Baro yang baru saat naik tahta, sama seperti Suze. Ratu hanya bisa menggantinya, jika mereka memang terbukti tidak mampu melakukan tugasnya, telah melakukan kejahatan, atau meninggal.
Baro Darpa Raina adalah direktur yang menjalankan Lumea Inc. di bumi, dan tentu saja bertanggung jawab pada perekonomian seluruh wilayah Lumea. Tapi karena kesibukannya di Lumea Inc., dia lebih banyak menghabiskan waktunya di bumi.
Menyandang nama Raina, membuat Aiden menjadi lebih waspada saat dia mendekat pada singgasana. Hima sudah berdiri menyambutnya.
"Saya mengucapkan selamat atas penobatan anda yang mulia," Darpa menunduk sambil melipat tangannya ke dada. Ucapannya terdengar tulus, tapi entahlah.
"Terima kasih Baro Raina," ujar Hima, dan tentu saja sambil tersenyum.
"Baro Conary Atley, Unit pertanian."
Anggota Klan Atley memimpin departemen pertanian.
Dan begitulah, semakin lama, semakin terlihat bagaimana kekuasaan Klan Utama mencengkeram roda pemerintahan Lumea. Masing-masing Klan Utama paling tidak memegang satu jabatan.
Tidak seperti Suze dan Grand Arch yang menggunakan seleksi terbuka, jabatan Baro ditunjuk berdasarkan hasil diskusi Raja/ Ratu dengan Synod. Dan Aiden tahu, semua Baro yang ada di ruangan itu adalah hasil pengangkatan oleh Synod setelah Ratu Ignatia meninggal.
Dulu, Ratu Ignatia sekali lagi mendobrak tradisi dengan menunjuk Baro yang benar-benar ahli dalam urusannya, bukan sekedar titipan. Dan begitu Synod memegang kekuasaan setelah dia meninggal, dengan berbagai macam tipuan, mereka mengganti semua pejabat yang telah ditunjuk Ratu Ignatia tersebut.
Sekarang semua Baro hanya bisa Aiden pandang sebagai musuh.
Aiden kembali menggulirkan pandangan ke arah tamu, saat perkenalan itu mulai terasa membosankan. Melihat sekian orang berbasi-basi omong kosong tidaklah menyenangkan. Saat memperhatikan satu persatu tamu yang mengantri untuk diperkenalkan, Aiden menyadari sesuatu yang tidak biasa.
Jika semua tamu memusatkan perhatiannya pada Hima, tanpa peduli pada Aiden, ada satu tamu yang justru memandangnya dengan mata menyelidik. Berkali-kali dia melirik, lalu mengerutkan kening saat melihat Aiden.
Aiden sampai merasa risih karenanya. Bukan apa-apa, tamu itu laki-laki. Aiden sangat normal dan tidak pernah mempertimbangkan untuk berganti selera. Aiden tidak mengenali wajahnya, profilnya tidak ada dalam informasi Xander. Hal itu berarti tamu itu berasal dari negara tetangga.
Untuk tamu dari negara tetangga, Xander tidak bisa menyuplai infonya, karena perwakilan yang datang ditentukan oleh masing-masing negara.
Pada hari terakhir sebelum penobatan, Hima baru menerima data tamu. Itupun hanya nama, tanpa foto. Aiden hanya bisa menghafal namanya seperti yang tadi Hima lakukan.
Akhirnya tiba giliran pria itu. Setelah melihat lebih dekat, dia sedikit berumur, mungkin lebih tua dari Xander.
"Namaira, Sir Murado Humeera, Dugald."
Nama yang diumumkan, berhasil mengundang bisikan dari tamu yang hadir. Aiden juga cukup terkejut, tapi seperti biasa, dia hanya berkedip mempertahankan wajah normal.
Dugald termasuk jajaran negara yang paling baru, dalam daftar hubungan diplomatik Lumea, kurang dari dua puluh tahun. Ratu Ignatia tersohor karena berhasil mendamaikan perang antara Dugald dan Lumea. Kehadiran Morado adalah pertanda mereka masih ingin mempertahankan status damai itu. Menurut Aiden itu bagus.
Setelah berada di hadapan Hima, Murado tidak lagi memperhatikan Aiden. Seperti yang lain, dia hanya terfokus pada Hima.
Aiden menjadi heran karenanya, dan akhirnya memutuskan hal itu tidak penting. Masih banyak hal lain yang harus dipikirkannya, karena tyaga berikutnya yang diperkenalkan, menyedot semua perhatian Aiden. Sosoknya tidak biasa.
"Baro Visola Raina, unit kesehatan."
Saat pertama kali membaca info soal Visola. Aiden sempat mengira Xander mempermainkannya. Tapi ternyata tidak.
Baro Visola mungkin bernama Raina, tapi jabatan Baro yang disandangnya murni tanpa campur tangan Klan. Visola adalah gadis anggota keluarga Raina yang nyaris terbuang, karena sempat dianggap buta dari lahir. Matanya cacat dan hanya menampakkan warna putih, sangat kontras dengan rambut panjangnya yang hitam legam.
Tapi begitu sedikit tumbuh dan mampu untuk mengendalikan anasirnya, diketahui mata Visola ternyata tidak buta, tapi justru memiliki kelebihan tersendiri. Mata putih Visola, yang bisa melihat dunia dalam warna monokrom, tapi mata itu menyembunyikan kemampuan luar biasa, yaitu mampu melihat menembus daging.
Dengan kemampuan gabungan antara mata dan anasirnya, Visola dengan mudah mendeteksi aliran pembuluh darah dan tulang pada tubuh tyaga, seperti mesin rontgen di dunia manusia.
Aiden baru bisa mencerna fakta ini setelah menyadari sesuatu. Bagaimanapun sel penyusun tubuh tyaga hampir sama dengan manusia, terdiri dari banyak air. Dan Visola adalah Nir.
Kemampuan itu yang akhirnya mengantar Visola mendapat jabatan sebagai Baro di unit kesehatan. Dia mengepalai Foxona, rumah sakit utama di Lumea. Dan tentu saja mulai hari ini jabatannya mencakup pemeliharaan kesehatan Hima.
‘Ironis sekali!’
Jabatan yang berkaitan dengan kesehatan Hima, malah harus diserahkan pada seorang Raina. Untuk saat ini, Aiden hanya bisa pasrah, karena belum bisa melakukan apapun untuk memperbaiki hal itu.
Setelah perkenalan selesai, Hima masih harus beramah-tamah pada semua undangan. Ini menghabiskan waktu lebih lama lagi.
Dan ternyata firasat Aiden ternyata tidak salah. Begitu Aiden sedikit terpisah dari Hima yang diseret oleh Afra untuk mengobrol dengan temannya, wakil dari Dugald - Morado- menghampirinya.
"Morado Humeera," katanya sambil mengulurkan tangan, nadanya ramah.
"Aiden Vivash," balas Aiden tenang, meski dia penasaran dengan niat Morado.
"Apakah anda masih bersaudara dengan Ratu Ignatia?"
"Ti--Y --ya. Beliau adalah kakak dari ayah saya." Hampir saja Aiden berkata tidak,
"Ahh--- keponakan rupanya. Bibimu itu orang yang luar biasa." Kekaguman Morado terdengar tulus.
"Terima kasih."
Sesaat Aiden merasa tidak pantas mengucapkan terima kasih. Dia hanya tahu wajah Ratu Ignatia dari buku. Kekaguman Morado salah sasaran jika disampaikan padanya.
"Anda kenal dekat dengannya?" Aiden mulai mengira ketertarikan Morado karena hubungannya dengan Ratu Ignatia.
"Kami bertemu beberapa kali, tapi tidak sampai akrab," Morado terdengar menyesal.
Aiden mengangguk-angguk sopan. Dugaannya salah, Morado tidak tertarik padanya karena Ignatia. Lalu apa?
"Maaf jika aku terdengar tidak sopan. Tapi apakah kau anak angkat?" tanyanya tiba-tiba.
Ap--apa?
Aiden harus mencengkeram gelasnya kuat-kuat, mencegah menumpahkan minuman yang ada di tangannya. Tapi rasa terkejut Aiden hanya bertahan sebentar, dia berhasil menyuarakan tawa geli palsu, untuk menutupi kegugupannya.
"Tentu saja tidak! Apa maksud anda Lord Humeera?" Aiden berusaha keras terdengar geli, saat bertanya.
"Ah--Saya harap anda tidak tersinggung. Hanya saja ciri fisik anda tidak mirip dengan Ratu Ignatia," Morado tersenyum simpul.
"Oh... ya, saya hanya mewarisi ciri khas mata biru Vivash. Bagian wajah yang lain, saya dapat dari Ibu saya."
Mengucapkan kebohongan memuakkan itu, membuat Aiden ingin menggigit lidahnya sendiri. Wajahnya sangat jauh berbeda dengan Dwyer, dan tentu saja tidak mirip Nilaya, tapi Morado tidak tahu itu.
"Oooh-- Rambut anda juga, Ratu Ignatia, seingatku dia berambut pirang gelap!"
"Benar," Aiden sudah putus asa saat mengucapkan ini.
Aiden berharap, Morado tidak akan pernah bertemu dengan Dwyer dan Nilaya di masa depan, karena Nilaya berambut merah seperti Amery. Perbedaan yang sangat mencolok, jika dibandingkan dengan rambutnya yang pirang terang.
"Hmm--keluarga anda menarik sekali. Baiklah, senang bertemu dengan nada Lord Vivash."
Seperti kedatangannya yang tak terduga, Morado berpamitan dengan tiba-tiba.
Setelah dia bergerak menjauh, Aiden baru merasa menyesal. ‘Kau bodoh sekali!’
Dia belum tahu, alasan apa yang membuat Morado begitu tertarik dengan keluarganya. Kelegaannya karena berhasil lolos dari pertanyaan soal silsilah tadi, membuatnya lupa. Dia belum mengorek informasi apapun darinya.
Dan kini sudah terlambat. Morado tidak terlihat lagi. Aiden hanya bisa menyumpah dalam hati.
aat yang ditunggu Aiden, datang saat waktu lewat tengah malam. Yaitu saat pesta berakhir.
Aiden merasakan tubuhnya semakin berat karena lelah, padahal jam latihannya biasanya lebih panjang lagi. Kegiatan ini menguras tidak hanya kekuatan fisik tapi juga psikis.
Dan Aiden bisa melihat Hima juga merasakan hal yang sama. Tapi dia hebat, sampai saat terakhir mereka meninggalkan Aula pesta, Hima masih berpamitan dengan senyum lebar.
Tapi begitu pintu tertutup dan mereka melangkah keluar, Hima goyah.
"Hima?!" Aiden menangkap tubuh Hima sebelum dia terjerembab.
"Aku hanya lelah," katanya.
"Seberapa jauh kamar kami?" tanya Aiden pada Ronan yang terlihat panik melihat keadaan Hima. Idalia dan Kalinda sibuk mengusap keringat yang kini membanjiri wajah Hima.
"Sedikit jauh, sekitar 400 meter lagi," jawab Ronan, sambil menunjuk ke arah timur.
‘Mempunyai rumah yang terlalu luas kadang menyebalkan.’
"Aku akan mengangkatmu. Berpegangan!" kata Aiden.
"Tidak!" Hima masih punya tenaga untuk menolak rupanya.
"Kamar kita masih berjarak 400 meter! Kau bahkan tidak akan mampu berjalan 2 meter lagi," Aiden mulai gusar. Seperti biasa, Hima keras kepala.
Tapi sepertinya teriakan tadi adalah ledakan tenaganya yang terakhir. Hima hanya diam dan berpegangan pada lehernya, saat Aiden mengangkat tubuhnya dan mulai berjalan.
Ronan berjalan cepat dihadapan mereka sebagai penunjuk arah.Sementara dua gadis itu mengikuti di belakang.
Aiden senang lehernya tidak menyengat lagi, walaupun Hima menyentuhnya dalam waktu lama. Berbeda dengan dulu. Tapi yang dia herankan, jantungnya masih tidak terbiasa. Jantungnya masih berdetak liar, bergema memenuhi telinganya.
Ronan membuka pintu besar dengan hiasan emblem Lumea dengan tergesa. Dua prajurit yang berjaga di depan pintu itu, terlihat kaget oleh kedatangan mereka.
engan sangat perlahan, Aiden membaringkan Hima pada ranjang mewah dengan selimut tebal yang empuk. Hima sama sekali tidak bergerak, dia sudah tertidur nyenyak.
Idalia dan Kalinda menghampiri Hima, dan mulai menghapus riasannya.
"Pelan-pelan," ujar Aiden. Dia tidak ingin Hima terbangun, wajahnya yang berada di balik riasan sangat pucat, karena lelah.
Tapi kedua gadis itu profesional sekali, mereka dengan tenang menghapus riasan Hima, kemudian mulai membuka gaun pestanya.
"St--Stop!"
Aiden langsung berpaling, wajahnya memerah. Untung saja Idalia baru menurunkan zipper yang ada di bagian punggung. Aiden segera sadar dengan apa yang akan mereka lakukan.
"Apa anda ingin mengganti bajunya sendiri?" tanya Idalia.
"Apa?? Tidak---tidak, kalian saja."
‘Ide gila macam apa itu?'
"Aku juga akan berganti baju," Aiden tanpa berani menoleh ke arah ranjang, berjalan cepat menuju pintu lain yang ada di kamar itu.
Hima sudah pasti akan membunuhnya jika saja dia sadar tadi.
Aiden membuka pintu yang dia pikir adalah kamar mandi. Tapi ternyata salah, pintu itu menuju ruang penyimpanan.
Ruangan itu diperuntukkan khusus untuk menyimpan segala kelengkapan penampilan. Mulai dari sepatu, baju, tas bahkan topi. Aiden melihat deretan baju-baju yang tergantung itu dengan takjub.
Pada deret sebelah kiri, diisi oleh baju dan gaun Hima, sedangkan bagian kanan, menampilkan deretan jas, celana dan juga sepatu pria. Dan semua itu baru, Aiden masih bisa mencium aroma khas baju baru.
Satu-satunya barang lama yang ada di ruangan itu adalah, koper milik Aiden yang tergeletak di salah satu sudut.
Koper itu masih tertutup rapat, karena dia telah berpesan agar tidak disentuh. Dia harus berhati-hati karena masih menyimpan ponsel dari Xander di sana.
Aiden mulai membuka kancing setelan baju pestanya, sambil mengagumi tatanan ruangan itu.
"Lord Aiden, saya akan membantu anda."
Ronan yang muncul tiba-tiba, membuat Aiden tersentak.
"Jangan mengagetkanku seperti itu Ronan, berbahaya," kata Aiden, sambil menurunkan tangannya.
Gerak reflek Aiden saat waspada adalah, meraih salah satu pisau yang tersembunyi di pinggangnya. Ronan akan terluka jika tidak hati-hati.
"Maafkan saya," kata Ronan membungkuk dalam-dalam.
"Tidak apa, tapi jangan ulangi lagi. Dan untuk bantuan, aku rasa tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri."
"Apakah anda ingin membuat saya menjadi pengangguran? Tugas saya adalah membantu anda," keluh Ronan.
Aiden tersenyum, dia sudah menolak bantuan Ronan saat akan memakai baju pestanya tadi, dan kini Ronan sepertinya kesal, karena dia terus menolak bantuannya.
"Baiklah, tapi aku bisa membuka dan memakai baju sendiri. Mungkin kau bisa menyiapkan air untuk mandi atau yang lainnya."
Ronan tersenyum, "Tentu saja, saya juga akan mengambilkan baju untuk anda."
Dia sudah ceria kembali, saat meletakkan baju santai Aiden di salah satu meja, dan kembali tersenyum saat Aiden menyerahkan blazer panjang yang tadi dipakainya.
"Persiapan anda total sekali," kata Ronan, mengomentari deretan pisau yang kini terlihat, tertata rapi di sabuk pinggang Aiden.
"Kau tahu apa yang kita hadapi. Aku tidak ingin lengah."
"Benar, Suze Keandra juga mengingatkan saya untuk selalu waspada," kata Ronan.
Yang dia maksud tentu saja Ranu.
Ronan dan juga kedua gadis yang melayani Hima adalah orang pilihan Ranu. Menurut Ranu, dia harus membayar mahal untuk bisa memasukkan mereka ke istana. Tapi hasilnya sudah pasti sepadan.
Aiden tidak bisa membayangkan, jika pelayan yang setiap hari berdekatan dengan Hima ternyata tidak bisa dipercaya. Ranu sudah memikirkannya sampai sejauh itu.
"Aku akan mandi sekarang."
"Di sebelah sana, saya sudah menghangatkan airnya," Ronan menunjuk pintu di sebelah kanan. Dia kemudian berbalik keluar menggunakan pintu yang berbeda dari tempat Aiden masuk.
'Ruangan ini sebenarnya memiliki berapa banyak pintu?~~
Seperti yang Aiden perkirakan, ketidakmampuannya untuk mengendalikan anasir justru akan tersembunyi dengan baik saat berada di istana. Semua hal-hal ringan akan dikerjakan oleh pelayan.
Kecuali jika tiba-tiba dia terpaksa harus bertarung, itu lain ceritanya.
-------------0O0-------------
Idalia dan Kalinda masih berada di dalam kamar, saat Aiden selesai mandi. Aiden melihat Hima yang kini memakai baju tidur, masih pulas.
"Kami sudah selesai, apakah anda membutuhkan hal lain?" tanya Kalinda.
Aiden menggeleng, "Kalian istirahatlah, hari ini sangat melelahkan bukan?"
"Jika demikian kami undur diri dulu," Kalinda berpamitan.
"Anda bisa menarik tali bel yang ada di samping ranjang jika membutuhkan kami lagi," tambah Idalia, menunjuk tali berwarna keemasan yang menjulur di samping tiang kanopi ranjang.
Setelah Aiden mengangguk, mereka berdua keluar.
‘Aku harus membiasakan diri!’
Aiden belum merasa nyaman dengan segala hal yang berkaitan dengan pelayan. Tapi kali ini, dia tidak mungkin menghindar. Orang akan memandang aneh jika dia menolak kehadiran mereka.
Dengan penat, Aiden berbaring di sebelah Hima. Sambil berharap supaya tangannya tidak melewati batas hari ini.
<< OBSTACLE >>
"Dia berusaha untuk terlihat anggun, tapi gagal. Kau ingat bagaimana sikapnya saat pesta dulu? Memalukan sekali! Dia bukan keturunan Klan Utama, jadi pasti --------."
Aiden sudah ingin menyiramkan smarzo yang ada di tangannya ke atas kepala pelayan itu, tapi dia punya ide yang lebih baik lagi,
Tadi Aiden hanya bermaksud untuk menghabiskan sedikit waktu santai, dengan menikmati minuman di taman samping istana, tapi malah menemukan hal menjijikkan.
Fakta menyedihkan, ini bukan pertama kalinya hal seperti itu terjadi. Sudah beberapa kali Ronan melaporkan sikap pelayan yang sedikit kurang ajar pada Hima, hanya karena dia Keandra.
Tapi ini pertama kalinya Aiden mendengarnya sendiri, dan dia tidak akan membiarkannya begitu saja.
Sambil berjalan mendekati mereka, Aiden menyerahkan gelas pada Ronan yang mengikutinya.
"Kalian juga ingin menikmati matahari?" sapa Aiden, dengan nada ramah yang berlebihan.
Ketiga pelayan yang tadi bergosip, terperanjat dan berdiri sambil menundukkan kepala, "Lord Vivash," kata mereka, bersamaan.
"Apakah itu koran terbaru hari ini? Aku belum membacanya."
Aiden meraih koran yang ada di meja kemudian duduk di kursi kayu panjang yang terletak di tepi gazebo. Mereka pasti membacanya tadi.
Itu tadi kebohongan tentu saja, Aiden sudah hampir menghafal setiap kalimat yang tertera di berita utama hari ini, karena jengkel dengan isinya.
Koran itu adalah satu-satunya media masa di Lumea, tidak ada televisi di sini. Karena itu, isi beritanya akan sangat mempengaruhi opini masyarakat.
Aiden sebelum ini, selalu menyukai kegiatan membaca koran di Lumea, karena bentuknya yang unik. Tidak seperti koran di bumi yang terbuat dari kertas, koran di Lumea terbuat dari kaca.
Bukan kaca biasa tentu saja, tapi kaca hasil tempaan Zem dan Sua, yang sangat ringan dan juga anti pecah. Kaca itu disatukan sehingga membentuk bidang kotak seperti akuarium, tapi dengan ketebalan satu mili.
Tinta dengan berbagai warna sebagai dasar pembentuk tulisan, akan dituangkan ke dalam kaca. Setelah itu, Nir dengan anasir-nya akan membentuk tinta itu menjadi tulisan. Cukup seperti itu, dan koran siap beredar.
Lembaran kaca koran itu akan kembali diangkut ke penerbit pada sore hari. Para pekerja Nir akan menghapus berita basi, semudah melambaikan telapak tangan, dan menggantinya dengan yang berita hangat.
Aiden sangat kagum dengan sistem itu, karena mereka bisa menghemat banyak kertas.
Tapi semua kekaguman itu berubah menjadi kejengkelan tak bertepi. Kini isi koran itu selalu memojokkan Hima. Tentu saja karena penerbit koran itu adalah Nir dari Raina. Aiden berpura-pura membaca pembahasan utama koran hari ini yang berjudul
'KLAN UTAMA : KEJAYAAN RIBUAN TAHUN YANG MELEGENDA'
Dari judulnya saja Aiden sudah bisa menebak artikel itu sampah, dan dugaannya tidak meleset. Artikel itu kurang lebih memuji bagaimana Lumea menjadi sangat sejahtera, saat pucuk pemerintahan berada di tangan Klan utama.
Tulisan itu tidak terang-terangan menyerang Hima, tapi dengan pelan menggiring pendapat khalayak umum, bahwa pemerintahan Hima akan menemui kegagalan karena dia bukan berasal dari Klan utama.
"Artikel yang sangat menarik, membuatku bangga menjadi bagian klan Vivash," kata Aiden, dengan lancar berbohong.
Pancingan Aiden berhasil, pelayan wanita yang tadi menjelek-jelekkan Hima tersenyum lebar.
"Benar, menjadi anggota keluarga Vivash tentu membuat anda memiliki kecakapan seorang bangsawan," katanya, nada menjilat yang dipakainya membuat Aiden muak.
Dan itu tadi adalah omong-kosong paling ironis yang pernah Aiden dengar. Jika saja mereka tahu siapa dia sebenarnya, mereka akan kejang-kejang karena shock.
Tapi pelayan itu mencerminkan masalah umum yang biasa Aiden temui di Lumea. Tyaga terkadang memuja Klan utama dengan berlebihan.
Tentu saja ada sebagian besar tyaga yang tidak menyukai tindakan semena-mena Klan utama, tapi bagi yang tidak bersinggungan langsung dengan Klan utama, tyaga biasanya memperlakukan mereka seperti dewa.
Pelayan itu adalah contoh nyata. Dia tidak keberatan mencela Hima hanya karena dia Keandra, tapi kemudian memuji Aiden setinggi langit hanya karena dia menyandang nama Vivash.
"Aku harus mengakui, pemerintahan yang dipimpin oleh Klan utama tidak pernah gagal," kata Aiden. Kebohongan kedua membuat tangannya merinding.
Pelayan itu tersenyum semakin lebar, karena merasa mendapat angin segar.
"Anda benar, Lord Vivash. Karena itu saya mengkhawatirkan masa depan Lumea saat ini."
"Mulia sekali pemikiranmu."
"Terima kasih." Senyumnya semakin lebar mendengar perkataan Aiden. Dia pasti sangat puas, merasa pendapat absurd-nya mendapat persetujuan dari kaum bangsawan.
"Ronan."
"Ya, Lord Aiden."
"Berikan bonus untuk mereka bertiga, tiga kali gaji perbulan," kata Aiden.
"Terima kasih Lord Vivash, anda sangat murah hati." Mereka berebutan mengucapkan terima kasih.
"Dan setelah itu, antar mereka ke gerbang istana. Lalu katakan jika pelayanan mereka tidak diperlukan lagi mulai hari ini!"
Suara ramah Aiden sudah tidak terdengar lagi. Siapa saja bisa mendengar nada dingin penuh amarah.
"Tta--tapi--kenapa--?" Wajah pelayan itu sangat pucat, demikian juga kedua temanya.
"Kau masih bertanya? Apakah kau merasa pantas pantas mencela seorang Ratu yang telah bekerja keras menjalankan tugasnya? Bercerminlah!"
Ketiga pelayan itu mulai gemetar sekarang, sadar sedari tadi Aiden menjebak mereka.
"Dan apakah kau pikir aku akan membiarkanmu mencelanya? DIA ISTRIKU, makhluk ---!!"
Aiden hampir saja memuntahkan kata t*l*l, tapi berhasil menahan lidahnya.
"Bawa mereka pergi!"
"Saya mengerti," Ronan maju, tanpa bisa menyembunyikan senyum puas.
Aiden berbalik berjalan kembali ke dalam kastil, sementara Ronan menggiring ketiga pelayan yang kini mulai terisak itu meninggalkan taman.
Aiden harap kejadian tadi bisa memberi pelajaran pada pelayan lain untuk menjaga mulutnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Kita tidak bisa membiarkan mereka berbuat seenaknya!" Aiden membanting koran tadi ke mejanya.
Hima yang sedang berada di balik tumpukan dokumen mendongak, "Membiarkan apa?"
"Koran itu! Kau sudah membaca berita hari ini bukan?"
Hima menggeleng, kemudian bangkit hendak mengambil koran itu. Aiden langsung menyesal, dia tidak menyangka Hima belum membacanya. Tapi bisa dimaklumi, Hima sibuk sekali.
Aiden menyambar koran itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. "Lebih baik kau tidak membacanya."
"Berikan padaku," Hima berusaha meraihnya, tapi selisih tinggi mereka membuat tangan Aiden di luar jangkauan HIma.
"Berikan!" Hima membentaknya. Aiden bergeser menjauh sambil terus mengangkat koran itu tinggi-tinggi.
Hima melompat setinggi yang dia bisa, tapi masih tidak berhasil. Sejujurnya, Aiden mulai menikmati wajah kesal Hima. Aiden terus mengulum senyum, melihat usaha keras Hima untuk meraihnya.
Tapi Aiden lupa satu hal, Hima adalah tyaga.
Gagal memperoleh koran itu dengan cara biasa, Hima memanggil air dari gelas yang ada meja, kemudian membekukannya di sekeliling pergelangan tangan Aiden.
"Itu curang," keluh Aiden, menurunkan tangannya yang kini terikat oleh es. Wajahnya menunduk memandang HIma dengan kecewa.
Saat itulah Aiden menyadari sesuatu, posisi mereka terlalu dekat. Perebutan koran itu membuat tubuh mereka nyaris menempel, dan saat Aiden menunduk, wajah mereka nyaris bersentuhan.
Dan anehnya, Aiden tidak merasa perlu untuk menjauh. Dia menikmati bagaimana hembusan nafas Hima menghantarkan aroma harum tubuhnya yang segar seperti hujan.
Hima juga sama, mata ungunya dengan pelan menyusuri lekukan wajah Aiden. Seolah dia belum pernah melihatnya.
Ini adalah posisi terdekat mereka semenjak dansa di pesta dulu. Mereka masih tidur dalam satu ranjang. Tapi ukuran ranjang yang sangat lebar, memastikan ada jarak sekitar setengah meter diantara mereka.
Jarak sejauh itu, memastikan tidak ada insiden seperti saat mereka masih di rumah Hima. Lagi pula mereka berdua sangat sibuk. Kamar itu benar-benar hanya menjadi tempat mereka tidur karena letih.
Hubungan mereka sangat profesional.
"Lord Aiden----oh maaf, saya tidak bermaksud menganggangu."
Ronan langsung menunduk gugup, mendapati pemandangan yang cukup panas itu.
Hima dengan cepat bergeser menjauh, setelah mencairkan es dari tangan Aiden dan mengambil koran itu.
"Apa yang akan kau laporkan?" Aiden mengumpulkan akal sehatnya, dengan gelengan kepala.
Dia juga mengumpat dalam hati, karena Aiden merasakan kekecewaan atas kedatangan Ronan. Padahal seharusnya dia berterima kasih.
"Perintah anda sudah terlaksana," kata Ronan.
"Perintah apa?" tanya Hima dengan heran. Dia tahu benar, Aiden sangat jarang menyuruh Ronan secara langsung.
"Memecat--"
"Jangan katakan---" Peringatan Aiden terlambat, satu kata itu berhasil menarik perhatian Hima.
"Memecat? Katakan padaku."
Aiden mengusap wajahnya jengkel, dan tentu saja Ronan menjawabnya, dia tidak akan berani menolak perintah Hima.
"Lord Aiden memecat tiga orang pelayan, mereka tadi bergosip soal anda setelah membaca koran hari ini."
Hima mengerutkan dahi, kemudian mulai membaca koran yang ada di tangannya. Hima hanya membutuhkan dua detik untuk membaca judulnya, dan senyum sinis langsung tersungging di bibirnya.
Seperti Aiden, Hima bisa menebak isi artikel itu hanya dari melihat judulnya saja.
"Kita akan kehabisan pelayan jika kau memecat semua yang bergosip tentang diriku," Hima tertawa pelan.
"Mereka menyebut dirinya pelayan, tapi mulutnya ringan sekali saat mencelamu. Aku tidak bisa membiarkannya. Mereka harus belajar untuk menghormati siapapun tuannya. Bukan malah mengagungkan sebuah nama, hanya karena menyandang gelar Klan utama," ujar Aiden, panjang lebar.
"Kau juga menyandang gelar itu!" Hima kembali memandangnya dengan heran.
"Ya--maksudku--"Aku memang termasuk di dalamnya, tapi bukan berarti aku menyetujui semua itu," elak Aiden.
"Tidak hanya kau adalah Sua anti mainstream, kau juga Vivash yang penuh kejutan."
‘Karena aku bukan Vivash!." Aiden menghela napas karena hanya bisa membatin kenyataan itu.
"Saya akan menyiapkan teh," Ronan berpamitan, setelah memutuskan mereka berdua lebih baik tidak diganggu.
Aiden ingin menyuruh Ronan untuk tinggal, tapi tidak bisa menemukan alasan. Suasana kembali canggung saat mereka hanya berdua. Karena ingatan bagaimana posisi mereka berdua sebelum Ronan datang, masih tersisa di udara.
"Kita harus melakukan sesuatu pada koran itu!"
Aiden mengalihkan rasa canggung itu dengan membahas hal yang tidak menyenangkan, dan tentu saja manjur. Mata Hima kembali waspada.
"Tidak ada yang bisa dilakukan. Jika aku menegur atau membuat gerakan mendekat pada penerbit, mereka akan segera membuat berita tentang bagaimana aku mengekang kebebasan mereka dalam menulis berita, atau mungkin tuduhan lain yang lebih buruk," ujar Hima.
Dan itu benar sekali. Karenanya Aiden belum pernah mengusulkan hal semacam itu. Tapi mereka harus mencari jalan untuk menghentikan penerbitan artikel menggelikan seperti tadi.
Minggu awal Hima berkuasa, mereka mengkritik bagaimana Hima mempersingkat kunjungannya ke berbagai lembaga milik pemerintah dan juga lembaga sosial lain.
Padahal Hima sengaja mempersingkat kunjungan, karena ingin lebih berkonsentrasi pada pekerjaan administrasi yang telah menumpuk.
Saat wartawan datang menanyakan soal itu, Hima menjelaskan semua rencananya dengan detail. Tapi saat proses pencetakan, kata-kata Hima menghilang. Hanya ada pernyataan dari beberapa pejabat, bahwa tindakannya tidak pantas.
Aiden juga tidak luput menjadi bahan berita. Baru beberapa hari yang lalu, mereka memuat berita soal dirinya. Aiden berang ketika melihat berita soal dirinya, masuk dalam kolom gosip. Artikel itu menyebut dirinya playboy, karena selalu terlihat dikerumuni oleh wanita, baik pelayan maupun kunjungan dari istri pejabat dan putri-putri mereka.
Tapi itu bukan salahnya!!
Dia hanya sekedar menemui tamu yang berkunjung, tidak mungkin dia menolak mereka semua. Lagi pula penolakan akan berujung berita
'SUAMI RATU TELAH BERTINDAK KASAR DENGAN MENOLAK TAMU DENGAN ALASAN TIDAK JELAS'
Tapi setidaknya mereka menyebutnya tampan! Aiden tidak keberatan dengan bagian ini.
Aiden duduk di mejanya, mencoba kembali pada pekerjaannya. Dia membantu Hima menyelesaikan administrasi kerajaan.
Sebenarnya ini tugas dari sekretaris, tapi mereka tidak bisa mengambil resiko untuk mengangkat sembarangan orang. Ranu maupun Rae tidak punya kandidat yang bisa mereka percaya, seperti Ronan dan kedua gadis itu.
Akhirnya Aiden yang mengambil tugas itu, dan dia tidak mempermasalahkannya. Aiden akan memilih untuk bergelut dengan dokumen, dari pada melayani tamu yang berdatangan itu.
Ronan kini telah terlatih untuk membuat alasan dalam berbagai bentuk, yang intinya, Aiden sibuk.
BUGHHH!!
Aiden tersentak di kursinya, saat setengah jam kemudian, dokumen setebal ratusan halaman terbanting di lantai tidak jauh dari mejanya.
Hima yang melempar buku itu.
"BOSAN!" keluhnya, sambil membaringkan separuh badannya di meja.
Tidak mengherankan, sudah dua minggu lebih Hima bekerja nyaris tanpa jeda. Dia hanya beristirahat saat tidur. Itupun jika malam telah larut. Karena itu Aiden akan sangat marah, saat ada yang sembarangan mencela kerja Hima.
Aiden melirik keluar jendela. Langit musim semi Eldur biru jernih, hanya ada sedikit awan yang terserak.
"Ayo kita keluar!" Aiden bangkit, tersenyum lebar membayangkan petualangan kecil yang dia susun di kepalanya.
"Kemana?" Hima mengangkat badannya dengan bingung.
"Ke suatu tempat yang tidak akan membuatmu bosan," Aiden ingin membuat kejutan.
"Kita harus memanggil Ronan, kau tahu kita harus membawa pengawal," kata Hima, sambil menghampiri tali yang terhubung dengan bel pemanggil.
"Kau menyukai pergi dengan serombongan orang sekaligus?" Aiden membencinya.
Dia mungkin sudah terbiasa dengan keberadaan Ronan. Tapi Aiden tidak bisa membiasakan diri pada keberadaan segerombolan pengawal yang mengikuti kemanapun saat dia melangkah keluar istana.
Gerakan Hima terhenti, "Sebenarnya tidak." Kemudian dia tersenyum simpul, "Kita akan menyelinap?"
Aiden mengangguk, "Kita akan kembali sebelum ada yang menyadari kepergian kita."
Pompaan adrenalin membuat senyum Aiden semakin lebar. Baginya, ini seperti saat dia menyelinap keluar dari pemukiman klan.
"Tapi, tidakkah akan berbahaya?" Berbeda dengan Aiden yang sudah bersemangat, Hima masih terlihat ragu.
"Tidak ada yang mencoba membunuh kita selama sebulan ini."
Jika di hitung dari saat para pembunuh Nir itu datang, sudah satu bulan ini, tidak ada percobaan pembunuhan kepada Hima. Menurut pendapat Ranu, kemungkinan musuh tidak ingin membuatnya terlalu kentara. Mereka menyerang Hima dengan gosip dan isu yang merendahkannya.
"Tapi----"
"Tidak akan ada yang menyerang kita. Perjalanan kita keluar adalah spontanitas, tidak terencana. Mereka tidak akan punya waktu untuk menyusun penyerangan dalam waktu sesingkat ini," bujuk Aiden.
"Baiklah---" Hima tersenyum, dia sebenarnya juga menyukai rencana ini.
"Yes!" Aiden nyaris melompat berlari menuju lemari di sudut.
Ruangan kerja mereka dilengkapi dengan lemari yang menyimpan mantel bepergian. Jika sewaktu-waktu ada kejadian yang mengharuskan mereka untuk bergegas keluar istana. Dan menurut Aiden ini adalah waktunya. Dia mengambil dua mantel yang paling sederhana, berwarna hitam dan cokelat tua.
Mantel hitam paling sederhana yang ada di lemari itu, rupanya mantel miliknya yang dulu di bawa dari rumah Vivash.
Aiden mengulurkan mantel berwarna coklat pada Hima. Untunglah Hima memakai gaun ringan yang tidak terlalu merepotkan. Bajunya sudah cocok untuk menyelinap.
"Kita akan lewat mana untuk keluar?" Mereka masih ada di ruang kerja, tapi Hima sudah mulai berbicara dengan berbisik.
Ada dua penjaga yang berdiri di depan pintu.
"Pintu pelayan," kata Aiden.
Ada dua pintu di setiap ruangan yang ada di istana ini. Pintu utama untuk dilewati oleh para tamu bangsawan dan juga Raja/Ratu, pintu pelayan dipergunakan para pelayan untuk berlalu lalang. Di beberapa bagian, juga terdapat lorong khusus untuk mereka.
Yang paling menarik, sangat sedikit penghuni istana yang tahu soal jalan ini. Para Synod, Baro dan juga Raja/ Ratu yang pernah tinggal di istana ini, tidak pernah peduli dengan keberadaan jalan khusus pelayan itu. Menurut mereka, pengetahuan itu tidak perlu, dan bukan kelasnya untuk melewati jalan seperti itu.
Tapi tidak dengan Aiden!
Aiden sudah menghafal semua rutenya. Dia tertarik pada lorong dan pintu-pintu itu, semenjak melihat Ronan bisa muncul di ruang penyimpanan begitu saja. Aiden sangat gembira saat mengetahui rahasia di balik dinding istana itu. Dia akan memanfaatkan informasi itu dengan baik.
"Ayo!"
Aiden menarik Hima menuju pintu di sebelah sudut bagian barat.
Pintu pelayan itu tidak tersembunyi seutuhnya, tapi terlihat tidak mencolok karena sewarna dengan dinding. Sangat kontras dengan pintu berukir keemasan yang menjadi pintu utama.
Aiden menjulurkan kepala ke luar, dan lega, lorong itu kosong. Hima yang baru kali ini melihat lorong pelayan memandang ke sekeliling dengan takjub.
"Aku tidak tahu ada lorong seperti ini di istana," katanya.
"Hanya para pelayan yang tahu, dan kata Ronan, tidak ada yang tahu persis arah semua rute ini. Biasanya para pelayan hanya menghafal lorong yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Ronan sendiri hanya menghafal rute ke arah dapur, kamar kita, dan juga ruang kerja."
"Kau bersemangat sekali," kata Hima, takjub mendengar Aiden sangat antusias menjelaskan soal itu.
"Aku menyukai petualangan, lorong-lorong seperti ini membuatku seolah berada di tempat misterius," jelasnya.
Setelah itu mereka tidak banyak berbicara, karena Aiden harus mengingat-ingat rute yang akan mereka lewati. Hima hanya terus memandang Aiden yang sedang serius berpikir.
"Sampai!"
Setelah setengah jam berjalan menyusuri lorong mereka akhirnya sampai di pintu pintu ke kayu sederhana. Sebenarnya jarak yang mereka tempuh tidak terlalu jauh, tapi mereka harus beberapa kali berbelok arah, menghindari pelayan yang sibuk berlalu lalang.
Hima membuka pintu itu dan terkesiap, karena pintu itu membawa mereka ke halaman samping kanan istana. Mereka sampai di luar dengan sangat mudah.
"Berjalan biasa, jangan terlalu kaku," kata Aiden. Mereka berbaur dengan keramaian yang ada di halaman samping.
Aiden membawa Hima ke sisi paling timur di dekat tembok pembatas. Terdapat bangunan besar yang menempel di tembok, itu adalah istal.
Ada beberapa penjaga yang berlalu-lalang, tapi mereka tidak memperhatikan sosok mereka berdua. Mereka terlihat mirip dengan pelayan yang sedang sibuk mondar-mandir.
Sampai di istal, Aiden mendekati kandang yang ada di tengah. Kuda hitam polos berdiri tegak di dalam kandang.
"Halo Cern!"
Kuda itu mengedip dan mendengus mendengar panggilan itu. Aiden lalu mengelus kepalanya dengan sayang.
"Milikmu?" tanya Hima.
Aiden mengangguk, "Aku mendapatkannya dua tahun lalu, dan terus bersamaku selama ini."
Xander yang memilihkan kuda itu untuknya.
Hadiah pertama dan juga terakhir dari Xander. Biasanya semua kebutuhan Aiden akan di beli dengan memakai emblem Vivash, tapi khusus Cern, Xander membayarnya dari kantong pribadi.
Xander memberikan Cern karena dia sangat kagum dengan kecepatan Aiden belajar naik kuda. Hanya butuh waktu singkat, Aiden sudah mampu disejajarkan dengan penunggang ulung di pasukannya.
Dengan cekatan Aiden mengambil pelana miliknya dan juga perlengkapan lain.
"Kau bisa menaiki Hazel," Aiden menunjuk kuda cokelat yang ada di kandang sebelah. Hazel adalah kuda yang paling jinak di sini. Aiden mengambil pelana yang lebih kecil untuk Hima.
"Aku tidak bisa. Aku belum pernah naik kuda," bisik Hima, terdengar malu.
"Oh--," Aiden terdiam sejenak.
Dia tidak pernah menduga hal ini. Ranu dan Rae penunggang kuda yang sangat handal. Dan menimbang kemampuan Hima bertempur, Aiden beranggapan dia juga akan cakap berkuda.
"Kalau begitu kita berdua akan menaiki Cern," Putus Aiden. "Kau keberatan?"
Hima sama sekali tidak bergerak, dia hanya mematung di depan kandang.
"Tidak, hanya saja aku sedikit---," Hima terlihat ragu, matanya kembali melirik Cern, yang kini menghentakkan kaki depannya ke tanah. Kuda itu seolah tidak sabar untuk berlari.
Sebelum menikah Aiden hampir setiap pagi menunggang kuda dan berkeliling di istal Vivash. Tapi dengan kesibukan Aiden yang baru, dia hampir tidak pernah punya waktu untuk melakukannya. Terakhir Aiden berkuda sekitar seminggu yang lalu, itupun hanya mengelilingi istal.
Aiden mengikuti Hima berkunjung ke berbagai lembaga minggu lalu, tapi mereka berdua menaiki meyp.
Aiden masih sering datang, tapi hanya sekedar untuk mengelus dan melihat bagaimana keadaan Cern.
"Kau takut?" Aiden mulai mengenal gelagat Hima saat ketakutan.
"Tidak!! Aku hanya belum pernah naik kuda," elaknya.
Aiden tertawa pelan, tentu saja Hima takut. "Kemarilah," katanya, melambai menyuruh Hima mendekat.
"Kau takut karena belum mengenalnya, Cern kuda yang sangat ramah," bujuk Aiden.
Dengan langkah pelan Hima mendekat, Aiden mengulurkan tangan, meminta tangannya. Hima tidak ragu menyerahkannya, tapi saat Aiden menarik tangannya mendekati kepala Cern, Hima menahannya.
"Tidak apa-apa, kemarilah," Satu tangan Aiden yang lain terus mengelus Cern.
Dan Aiden tidak salah. Cern mungkin terlihat garang, tapi dia adalah kuda yang sangat tenang. Matanya hanya berkedip saat tangan Hima yang sedikit gemetar mendekati kepalanya.
Saat jari Hima menyentuhnya, Cern mendengus pelan.
"Lembut sekali," kata Hima, matanya membelalak takjub. Menyentuh kuda berbeda jauh dari bayangannya.
"Blake perawat kuda yang ahli. Semua kuda yang ada di istal ini bersih, sehat, dan yang paling penting bahagia," kata Aiden.
Blake adalah tyaga yang menjabat kepala pekerja, yang ada di istal ini. Dia dan beberapa anak buahnya mengurus semua kuda yang di pakai istana.
"Anda memanggil?"
"Ahh---," Hima memekik. Terkejut.
"Blake, jangan muncul tiba-tiba seperti itu," Aiden sudah melihat Blake semenjak dua menit yang lalu.
Dia berada di belakang salah satu tiang. Mungkin karena melihat keberadaan Hima, dia ragu untuk mendekat.
"Maaf Lord Aiden, saya tidak bermaksud membuat Yang Mulia terkejut," katanya, sambil menunduk.
Aiden cukup dekat dengan Blake, karena sering berkunjung ke istal. Dia orang yang ramah dan sangat mengerti tentang kuda. Hal itu yang membuat Aiden menyuruhnya memanggil dirinya sebagai Aiden, seperti Ronan.
Dan rupanya Hima menyadarinya, dia langsung tersenyum ramah pada Blake.
"Kami akan membawa Cern berkeliling," kata Aiden.
"Oh.. tapi--," Blake melirik ke arah pintu istal yang kosong.
"Kami akan pergi berdua saja, Blake. Kami hanya membutuhkan Cern," kata Aiden.
"Baiklah-- tapi ini sangat tidak biasa," kata Blake.
"Ssst---," Aiden mengangkat telunjuknya ke mulut. "Jangan katakan apapun pada siapapun."
Blake tersenyum mengerti, "Tentu saja, My Lord. Kencan sambil diikuti oleh pengawal tentulah menyebalkan," tambahnya.
Aiden hanya tersenyum, Hima bahkan tidak peduli lagi, dia terus mengelus kepala Cern. Mereka telah akrab.
Mereka berdua sudah tidak terpengaruh jika ada yang mengatakan hal seperti itu. Sandiwara mereka untuk menjadi pasangan yang mesra sangat mulus.
Lima menit kemudian, derapan kaki Cern terdengar. Kuda hitam itu berlari dengan penuh semangat meninggalkan istana, dengan dua orang penunggangnya.
Tudung yang tadi menutupi kepala mereka, sudah tersibak karena angin.
Hima yang berada di depan, mencengkeram pelana dengan sangat erat. Tapi wajahnya penuh dengan senyum antusias. Dia tentu saja mulai merasa ketakutannya tadi sangat memalukan.
"Kau menyukainya?" tanya Aiden, dari belakang.
Tangannya terulur di samping tubuh Hima, memegang tali kekang. Kepalanya berada persis di sebelah telinga Hima, sehingga mereka bisa mengobrol bebas, walaupun suara derap kaki Cern dan deru angin sangat berisik.
"Ya---aku menyesal tidak pernah belajar menunggang kuda sebelum ini," kata Hima.
"Tidak pernah ada kata terlambat, aku akan mengajarimu."
Hima mungkin hanya mengangguk pelan, tapi wajah yang bahagia menunjukkan bagaimana perasaan yang sebenarnya.
<< SUDDEN >>
Cern berlari bagaikan angin. Ini pertama kalinya Aiden membawanya keluar setelah beberapa lama terkurung di istal. Dengan riang, Cern memompa kakinya sekuat tenaga.
Aiden mulai yakin kuda Lumea sedikit berbeda dengan yang ada di bumi. Kuda biasa tidak mungkin bisa berlari secepat ini.
Hima sendiri tidak keberatan, dia hanya memekik senang, saat mereka terus melaju semakin kencang.
"Kita akan kemana?" tanya Hima, akhirnya penasaran. Mereka sudah berkendara selama hampir setengah jam ke arah selatan.
"Kau akan merusak kejutannya jika terus bertanya. Tunggulah sebentar lagi, kita akan sampai."
Aiden tersenyum, dia tahu Hima pasti bersungut-sungut kesal. Aiden belum pernah menempuh jalan ini, tapi dia sudah menghafal peta daerah sini. Jadi mereka tidak akan tersesat hari ini.
"Laut----aku mencium air asin!" Seru Hima.
"Ah---kejutanku sudah gagal," Aiden sedikit kecewa, tapi juga senang. Seruan gembira dari Hima cukup untuk membuatnya ikut bahagia.
Dan dua menit kemudian, mata mereka dimanjakan oleh warna biru membentang, bertepi pasir putih.
Tidak seperti pantai Auga yang penuh batu dan juga kapal pemanen mutiara, pantai Eldur mulus berpasir, tanpa kapal. Murni pantai untuk wisatawan.
Dan karena musim panas belum tiba, pantai itu sepi. Penduduk Eldur yang sebagian besar Sua, menganggap suhu musim semi belum cocok untuk piknik ke pantai. Tapi bagi Nir, suhu apapun cocok untuk bepergian ke pantai.
Begitu turun dari punggung Cern, Hima berlari menuju laut sambil memekik ceria. Dia membuka mantel dan juga sepatu yang dipakainya. Dengan kaki telanjang, dia masuk ke air. Tidak peduli dengan deru ombak yang menerjangnya.
Dan air laut seolah menyambut panggilannya. Air biru itu naik dan membentuk sulur-sulur panjang, yang menari sesuai dengan apa yang diinginkan Hima.
Hima terus tertawa, sambil menarikan tarian air yang indah. Kakinya menjejak ringan di atas permukaan air yang beriak. Dia terlihat seperti mengendarai ombak. Hima sudah membentuk tongkat es panjang, yang sekarang di ayunkan berputar mengelilingi tubuhnya, diikuti oleh butiran air yang bergerak naik turun, menari bersamanya.
Gaun putihnya yang ringan, melambai tertiup angin laut, membuat pemandangan itu semakin sempurna.
‘Anasir yang sangat indah’
Aiden memandang semua itu dengan mata tidak berkedip. Dia belum pernah melihat tyaga dan anasirnya dalam keadaan seindah itu. Selama ini, dia hanya melihat bagaimana tyaga menggunakan anasir untuk senjata, bekerja atau mengangkut sesuatu.
Tapi Hima seperti berbisik pada air. Gelak tawanya yang berdering ceria, dijawab oleh butiran air yang melompat kegirangan mendengar suaranya.
Hima melangkah dengan ringan, dan terus tertawa.
‘Dia pasti benar-benar merindukan laut’
Melihat tawa itu, Aiden merasa telah menaklukkan dunia. Hatinya penuh dengan gelembung hangat yang menyebar ke seluruh tubuh.
‘Aku akan baik-baik saja, selama Hima gembira.’
Aiden termangu saat sadar dengan apa yang baru saja dikatakan oleh akal sehatnya.
‘Ini tidak mungkin!’
Sudut hatinya yang lain menyangkal dengan keras. Tapi hatinya yang terasa hangat dan bahagia, mengambil alih. Mulutnya membentuk senyuman kecil.
‘Aku pasti sudah gila! Dia mencintai orang lain! Semua pernikahan ini hanyalah sandiwara. Aku tidak boleh terhanyut.’
Aiden menyadari apa arti Hima untuk dirinya. Dia juga sadar perasaan itu hanyalah duri yang akan menusuk hatinya dalam-dalam. Hima bukan miliknya!
Sikap Hima yang menolak untuk datang ke pertemuan yang dijadwalkan dulu, adalah buktinya.
Aiden tentu saja keberatan dengan pernikahan mereka, karena menurutnya terlalu cepat, tapi dia tidak pernah menolak Hima. Dia bersedia untuk datang untuk lebih mengenal Hima. Ada satu bagian dalam hatinya yang menginginkan pernikahan mereka akan berhasil.
Semua perasaan itu tidak menghitung pemerasan, perintah Dwyer, maupun bagaimana nasib Nilam nantinya. Aiden menginginkannya dengan sungguh-sungguh untuk dirinya sendiri.
Pada awalnya, karena dia tidak menyukai ide bersumpah palsu, mempermainkan sesuatu yang seharusnya berupa ikatan suci antara dua makhluk. Dia mencoba untuk serius menjalani pernikahan ini.
Bahkan setelah pertemuan pertama mereka yang aneh, Aiden tetap berniat sama. Tapi penolakan Hima, mengubah semua itu. Penantiannya selama beberapa jam di taman itu membalik niat Aiden. Dia akhirnya memperlakukan pernikahan ini seperti yang Hima inginkan. Pernikahan ini hanyalah kamuflase politik untuk memperkuat kedudukan Hima. Itu saja.
Kini hatinya yang bodoh berkhianat. Hatinya melewati batas akal sehat, melawan pikiran waras yang Aiden bentuk selama ini.
Aiden menikmati kebersamaan mereka.
Dia tidak suka jika ada yang menyinggung Hima. Aiden membenci tanpa sebab siapapun yang bernama Ozora itu. Dia tidak keberatan saat membunuh para penyerang yang menyakiti Hima. Dan Aiden merasa bahagia luar biasa saat Hima tersenyum. Hatinya ikut merasa hangat saat mata Hima berbinar bahagia. Aiden akan melakukan apapun agar wajah itu tidak lagi mengenal kata murung.
Sepercik air membasahi wajahnya, membuat Aiden mengejapkan mata, dan kembali ke alam nyata.
"Katanya Sua anti mainstream, tapi kau berada di laut dan hanya berdiri diam? Kau sama seperti Sua lain yang takut dengan air," seru Hima, sambil tertawa mengejek dan melambai pada Aiden. Mengajaknya turun ke laut.
‘Persetan dengan semua itu!’
Aiden memutuskan akan menikmati waktunya bersama Hima. Setidaknya untuk saat ini.
Aiden melepas mantel dan sepatunya, lalu berlari kecil menuju air.
Hima menyambutnya dengan senyum dan juga sulur air, yang menjalari lekuk tubuh Aiden bagaikan angin yang sejuk. Ini sesuatu hal yang asing bagi Aiden. Tubuhnya bersentuhan dengan air yang dingin, tapi tidak basah.
"Apa ini?" Aiden memandang air yang kini menyebar seperti aliran nadi di tangannya.
"Air, tapi tidak akan membuatmu basah, tanpa seijinku," jelas Hima, dengan nada puas.
Hima sangat menikmati rasa kagum yang kini terlukis di wajah Aiden.
"Sebagai ucapan terima kasih karena telah membawaku ke sini, aku akan mengajakmu menikmati pemandangan laut," kata Hima.
"Bukankah kita sudah menikmatinya?" Aiden bingung. Laut terbentang luas di hadapan mereka sedari tadi.
Hima tersenyum, "Kau terlalu cepat menyimpulkan."
Hima melambaikan tangan pada sepatu mereka yang tergeletak di pasir. Sulur air Hima memanjang dan menyapu dua pasang sepatu itu mendekat.
Tanpa banyak bertanya, Aiden mengikuti Hima memakai sepatu.
"Kau siap?" tanya Hima dengan senyum misterius.
Aiden hanya bisa mengangguk dengan wajah bingung.
Hima mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. Air laut dengan patuh tersibak, dan membentuk cerukan, memperlihatkan dasar laut kering yang berpasir.
"Ayo!" Hima menarik tangannya berjalan menuju cerukan itu.
Aiden mulai mengerti saat mereka sampai pada laut yang lebih dalam. Hima terus mengangkat tangan dan memutar air laut yang ada di depan mereka.
Saat kedalaman laut melebihi tinggi Aiden, mereka berada dalam gelembung udara besar dengan air di sekelilingnya. Gelembung itu bergerak sesuai dengan kecepatan langkah mereka.
Mengingatkan Aiden akan akuarium raksasa yang ada di taman hiburan. Dia belum pernah ke taman hiburan, tapi dia pernah melihat iklan, yang berupa gambar orang sedang berjalan menyusuri lorong dengan ikan berenang di atasnya.
Tapi ini seribu kali lebih cantik dari akuarium buatan manusia itu. Manusia akan bersedia membayar ratusan ribu dolar untuk menikmati pengalaman ini. Aiden menikmati pemandangan laut, tanpa menggunakan alat selam yang berat, bahkan tidak basah.
Semakin jauh mereka berjalan, air laut yang jernih memberi Aiden pemandangan yang menakjubkan.
Ikan berwarna-warni lalu-lalang di sekitarnya. Mereka seolah tahu dan menghindar saat akan menabrak gelembung Hima. Terumbu karang yang berhiaskan anemon aneka warna, bergoyang pelan mengikuti arus, saat Aiden lewat di sampingnya. Sekali waktu, ikan besar pipih yang belum pernah Aiden lihat, berenang anggun melewati atas kepala mereka.
"Amazing!" kata Aiden, memutar tubuhnya, menikmati pemandangan itu dari setiap sudut. Ini lebih dari indah.
Mendengar pujian Aiden, Hima tidak bisa menyembunyikan senyum. "Laut di sini belum rusak, karena itu pemandangannya sangat indah," katanya.
Aiden mengangguk-angguk sambil terus berjalan. Aiden mengerti kenapa Hima membuatnya memakai sepatu lagi. Karang tajam yang mereka injak akan melukai kaki.
Tapi mereka bahkan tidak menginjak karang sama sekali. Hima memilih jalur mereka dengan hati-hati, sebisa mungkin dia hanya melewati pasir dan karang yang keras. Sehingga mereka tidak merusak terumbu dengan injakan.
"Kau lihat tembok itu?" Hima menunjuk sesuatu yang jauh berada jauh di depan mereka.
Aiden memicingkan mata dan akhirnya bisa melihat sesuatu berwarna terang memanjang berliku. Masih sangat jauh, Aiden bisa melihatnya karena bantuan dari air laut yang membiaskan cahaya.
"Itu adalah tembok pembatas untuk menandai batas pemakaian anasir Nir, berjarak sekitar lima kilo dari bibir pantai. Batas itu hanya boleh di lewati menggunakan kapal di permukaan," jelas Hima, sambil menunjuk ke atas.
"Bukankah kemarin kau mengatakan kau berhasil berjalan sejauh 10 km?" Aiden ingat betul dengan cerita Hima.
Hima meleletkan lidahnya dengan malu, "Ranu hampir membunuhku hari itu, dia marah sekali saat tahu aku melewati batas itu menggunakan anasir. Ibu melarangku mendekati laut selama dua bulan."
Aiden tergelak, "Apakah setimpal dengan apa yang kau lihat di balik tembok itu?"
"Sebenarnya tidak, laut dalam setelah tembok itu gelap. Setelah beberapa ratus meter aku memutuskan berjalan di permukaan," Hima terlihat kecewa.
Hima menyentak tangannya ke atas, air segera tersibak, membentuk saluran sebesar pipa, sampai ke permukaan. Hima mengalirkan udara ke dalam gelembung, menyuplai asupan oksigen untuk mereka.
"Praktis sekali," puji Aiden, untuk kesekian kalinya.
"Kau terlalu banyak memuji," protes Hima, tapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan senyum senang karena pujian itu.
Aiden duduk di dasar laut yang kering, dan terus melihat pemandangan di depannya.
"Aku tidak akan melupakan keindahan yang aku lihat hari ini," bisik Aiden.
Dan hanya Aiden yang tahu, pemandangan itu bukan satu-satunya keindahan yang tidak akan dia lupakan.
Mereka menikmati pemandangan laut dalam selama kurang lebih satu jam, sebelum Hima menggiringnya kembali ke darat.
Setelah kembali ke pantai, mereka berdua duduk di pasir, dengan ombak menyapu ujung jari kaki yang kembali telanjang.
"Terima kasih," kata Hima.
"Aku membawamu ke sini untuk menghiburmu, tapi justru kau yang bekerja keras untuk memberiku kejutan. Kau tidak perlu berterima kasih."
Aiden harus memutar otak untuk memberi kejutan pada Hima nantinya.
"Tapi semua ini terjadi karena kau membawaku ke sini, Aiden. Aku tetap harus berterima kasih untuk niatmu yang ingin membuatku gembira."
Hima memandang Aiden, yang mendadak merasa memerlukan nafas buatan.
"Anggap saja kita impas. Kau gembira dan aku juga gembira."
Aiden akhirnya bisa menjawab setelah menenangkan diri
"Baiklah, kita impas," Hima mengangkat telapak tangannya ke udara. Aiden menepuknya, dan mereka berdua tertawa.
Mereka pulang, setelah Hima mengeringkan baju mereka yang akhirnya basah, terkena sapuan ombak saat mereka duduk di pantai tadi. Baru kali ini Aiden melihat Nir mengeringkan baju. Jari telunjuk dan tengah Hima mengayun di atas baju yang basah. Titik air mengikuti jari itu menjauh dari kain.
"Mengagumkan!" kata Aiden sebelum bisa menahan diri.
"Berhenti memuji, kepalaku akan membesar sebentar lagi," sergah Hima.
Aiden sekali lagi tertawa sambil menghela Cern. Kuda hitam itu kembali melesat bagai anak panah.
"Kita harus menjadwalkan hari untuk berlatih menunggang kuda," kata Hima, dengan sedikit berteriak.
"Kau serius ingin belajar?" Aiden mengira Hima hanya meng-iyakan tawarannya untuk bersopan santun.
"Tentu saja-----."
Belum sempat Hima menyelesaikan kalimatnya, Aiden merangkul Hima, dan mendorongnya agar menunduk.
WUZZZZ.....
Batu sebesar anjing labrador melesat di ruang yang tadi berisi kepala mereka.
"Kita diserang!" Wajah Hima memucat.
Cern yang terkejut saat batu itu menghantam tanah tidak jauh dari tempatnya berlari, mendepak dan mengangkat kaki depannya. Suara ringkikan menggema di antara pepohonan yang memagari jalan raya itu.
Begitu Cern menjejakkan kakinya lagi, Aiden mencoba menghelanya agar mereka bisa kabur, tapi tanah tempat kaki Cern berpijak, tiba-tiba retak dan permukaannya naik.
Cern semakin panik, dan Aiden tidak bisa lagi mengendalikannya. Menghindari cedera karena jatuh dari kuda, Aiden menyambar tubuh Hima dan menariknya turun.
Sejenak mereka berguling-guling karena pendaratan yang kurang mulus.
Aiden dengan cepat bangkit, dan membuang mantel untuk memudahkannya bergerak. Pedang lipatnya sudah bersiaga di tangan kanan. Aiden melihat pergerakan di pepohonan sebelah kanan, dan benar, detik berikutnya puluhan batu berapi melayang ke arah mereka.
"Zem dan Sua brengsek!" maki Aiden. Dia bersusah payah menghindar, demikian juga Hima.
"Tidak ada air!' seru Hima, sambil berlari menghindari hujan batu berapi itu.
Jarak mereka belum terlalu jauh dari laut. Tapi Hima tidak bisa ber-diffusis, karena itu dia tidak bisa mengendalikan air yang tidak terlihat olehnya.
Aiden menariknya berlindung di pepohonan. Mereka merunduk sangat rendah, batu-batu itu terbang melewati atas kepala mereka. Aiden sudah mengkhawatirkan hal itu sejak serangan dimulai. Hima setiap bepergian membawa kantung kulit yang tersembunyi di pahanya tertutup gaun, untuk keadaan darurat. Tapi tadi mereka pergi tanpa persiapan.
Rencana menyelinap yang tadi terlihat indah, mulai terlihat seperti kesalahan besar di mata Aiden.
"Aku tidak bisa memanggil Ranu tanpa air," Hima terdengar putus asa.
Pembicaraan mereka kembali terputus. Musuh yang menyerang mereka melancarkan serangan kedua.
Butiran batu yang melayang lebih besar, dan mereka tidak peduli dengan keberadaan Aiden maupun Hima. Mereka hanya menghamburkan batu itu ke pepohonan, merusak sebagian besar pohon yang ada di hutan itu.
Aiden terpaksa menarik Hima keluar dari persembunyian, mereka akan mati tertimpa pohon jika terus berada di sana. Dan itu juga yang diinginkan para penyerangnya, begitu Aiden dan Hima terlihat. Tiga orang menyerang mereka dengan bersamaan.
Tiga orang berbaju hitam dengan wajah tertutup ala ninja di bumi. Dua Zem dan satu Sua. Pikiran pertama Aiden saat melihat mereka adalah, bagaimana mereka bisa tahu Hima ada di sini?
Satu Zem menyerang Hima, dua yang lain menyerang Aiden.
Aiden dengan mudah menghindari sambaran api dan melompat mendekat untuk menyerang balik. Tapi lawannya lebih pintar dari pada yang dulu. Dia bisa menghindari sabetan pedang Aiden, dan melecutkan cambuk apinya. Pipi Aiden tersengat dan pedih.
Tapi Aiden berhasil menghindari lempengan batu yang melayang ke arahnya. Dia juga berhasil melukai salah satu penyerang yang tadi menghadapi Hima dengan lemparan pisaunya.
Berbarengan dengan teriakan kesakitan, pisau itu menancap tepat di pergelangan tangannya.
Masalah besar bagi Zem itu, karena pengendalian anasir tanah sangat bergantung pada gerakan menyentak dengan tangan. Luka itu membuatnya tidak bisa menyerang menggunakan anasir lagi.
Salah satu kelemahan tyaga, terlalu mengandalkan anasir sehingga kurang memperhitungkan penggunaan senjata.
‘Satu lawan kalah!’
"Agh--," Aiden kembali gagal menghindari cambuk api lawan, saat dia berusaha menarik Hima agar berlindung di belakangnya. Menghadapi Zem tanpa air hampir mustahil bagi Hima.
Beberapa menit ke belakang, Hima berhasil menghindari serangan tapi tidak bisa menyerang balik. Lemparan pisau Aiden bisa dibilang telah menyelamatkannya.
Cambuk api melilit tangan kanan Aiden dan membakarnya, nyaris membuatnya melepaskan pedang, tapi jarinya mencengkeram kuat-kuat. Jika pedang itu lepas dari tangan, maka tamatlah mereka.
"Aiden!" Hima panik melihat lengan kanan Aiden yang mulai menyala.
Tapi Aiden masih punya banyak pisau. Dengan tangan kirinya, Aiden melemparkan pisau kedua. Tidak tepat sasaran, tapi berhasil membuat api yang melilitnya ambyar, karena Sua itu harus melompat menghindar.
Baju bagian lengannya masih terbakar, tapi Aiden tidak punya waktu untuk memadamkannya, Zem yang tersisa, kembali menendang bongkahan tanah yang dia tarik dari bawah kaki ke arah mereka.
Sambil mengumpat, Aiden menarik Hima menjauh. Tapi sayang, Sua kembali menunggunya dengan api yang lebih ganas lagi. Setelah merasa gagal dengan serangan cambuk api, dia kini melemparkan bola-bola api, membombardir bagaikan bom molotov.
"Aku butuh senjata," rintih Hima, sambil mengusap wajahnya yang tercoreng tanah. Rambut hitamnya juga mencuat ke segala arah.
Aiden menggenggam mata pedang dengan tangan kiri, lalu menyayatnya. Darah menyembur deras, karena ketajaman mata pedang Aiden tidak perlu diragukan lagi. Aiden memerasnya, sehingga darah mulai mengalir dari sela-sela jarinya.
Hima membelalak dengan ngeri, terlalu terkejut melihat tindakan Aiden yang tidak masuk akal.
"Mungkin tidak banyak, tapi aku harap akan cukup."
"Kau gila!" seru Hima, tapi tangannya sudah berayun ke arah tetesan darah itu.
Mengikuti Hima, darah Aiden melayang naik. Hima lalu membentuknya menjadi tiga bilah es merah tajam dan mulai mendorongnya ke arah Sua tadi dengan geram.
Saat mengusap tangannya yang berdarah, mata Aiden tertumbuk pada benda kecil yang tergeletak di sebelah mantel yang tadi dilemparnya.
‘VEZ!!’
Vez yang dulu di diberikan oleh Dwyer, terlempar keluar dari kantong mantel yang tadi dipakainya. Mantelnya tebal, dan benda itu tipis. Ronan pasti tidak menemukannya saat dia mencuci mantel itu.
Aiden melirik ke arah Zem yang mempersiapkan kuda-kuda untuk kembali menyerang Aiden. Dengan kesempatan yang hanya tersedia beberapa detik itu, Aiden berpura-pura menghindari serangan, dengan menjatuhkan diri di dekat vez dan menyambarnya.
Aiden meremas vez itu sekuat tenaga dengan tangan kirinya yang tersayat. Setelah yakin darahnya mengisi celah pengiriman, dengan jari telunjuk, Aiden mendorong katupnya hingga menutup.
Genggaman tangannya perlahan terasa kosong, Vez itu telah menghilang. Sedetik kemudian tangannya sudah kembali menggenggam vez pasangannya. Pengirimannya berhasil!
Aiden harap vez yang bersimbah darah memberi pesan yang cukup kuat untuk Xander. Keahlian Xander untuk ber-diffusis akan membuatnya mudah menemukan lokasi Aiden. Saat ini mereka hanya bisa menunggu.
Aiden menyerang Zem yang kini mulai menggetarkan tanah pijakan Aiden, mencoba untuk melemparkannya ke udara.
Tapi kalah cepat, Aiden berlari menuju ke arahnya, dan musuh itu tidak bisa mengikuti kecepatan lari Aiden, hingga gagal membuatnya terlempar.
Panik melihat Aiden semakin mendekat, Zem itu mencoba untuk menghalangi langkah Aiden dengan membuat tembok instan di depannya. Tapi tembok tanah itu bukan tandingan pedang Aiden.
Dengan sekali tebas, tembok itu runtuh.
Tapi Zem itu ternyata masih punya trik lain, dengan tangan yang telah terbalut batu, dia melayangkan pukulan, yang untunglah hanya menyerempet bagian perut samping Aiden.
Tapi itu saja cukup untuk mengirimkan rasa sakit yang lumayan. Aiden memaki dengan keras, sebelum akhirnya membalas dengan tebasan pedang dan kali ini tepat sasaran, pedang Aiden meninggalkan sayatan lebar pada dada musuh.
Darah yang menyembur tersamar oleh warna hitam bajunya, Zem itu terhuyung sebelum akhirnya jatuh berlutut.
Suara berdebam dari arah belakangnya membuat Aiden menoleh, dan jantungnya mencelos panik.
Hima terlempar, dengan keadaan yang jauh dari baik. Bajunya terbakar di beberapa tempat, dan darah Aiden yang dipakai sebagai senjata kini tercecer tidak beraturan di tanah. Hima tidak akan bisa memakainya lagi.
Sua yang menyerangnya, memanfaatkan itu dengan baik, pada tangan kanannya yang terangkat, bola api menyala terang siap untuk melemparnya ke arah Hima.
Aiden berlari secepat yang dia bisa, tapi dia tahu benar, kecepatannya tidak akan bisa menolong Hima.
"TIDAK!!"
‘Jika sesuatu terjadi padanya, adalah salahku!! Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi’
Aiden hanya bisa mengulurkan tangannya dengan tidak berdaya, saat matanya melihat bola api itu meluncur ke arah Hima yang putus asa, mencoba menangkisnya dengan tangan kosong.
"TIDAK!!---HIMA!!"
Sesuatu dalam tubuh Aiden seolah meletup. Aiden merasa ada sesuatu yang bergerak mengalir dalam darahnya.
Mata Aiden membelalak terkejut, saat dari tangannya yang terulur ke arah Hima, melesat kobaran api merah terang. Api itu menerjang bola api yang tadi terarah pada Hima.
Aiden berhenti berlari, dan memandang tangannya.
‘Api? Itu tadi api? Signetku?’
"Kau bukan gimp?" Hima berseru dengan nada yang tidak kalah heran, dari posisinya yang masih terbaring, dia terpana memandang Aiden.
Belum habis rasa heran mereka, gugusan angin menderu kencang. Debu dan daun kering beterbangan, berputar dalam lingkaran tornado mini. Di tengah jalan yang kosong, muncul sosok Xander dengan wajah kalut.
Melihat bantuan yang datang tidak terduga, Sua penyerang itu, berbalik dan mulai berlari masuk hutan. Tapi dia bukan lawan bagi Xander.
Dorongan tangan Xander, membawa tiupan angin yang menghempaskan Sua itu pada pohon terdekat. Aiden bisa mendengar derakan tulang yang patah.
"Kalian tidak apa-apa?" seru Xander, masih berdiri dengan waspada sambil memandang tubuh yang teronggok di bawah pohon. Memastikan bahwa dia sudah tidak akan bergerak lagi.
Menyusul Xander, kobaran api muncul tidak jauh dari tempat Hima berdiri, Rae menjelma lengkap dengan wajah murka.
"KALIAN BODOH!" umpatnya, sambil menghampiri Hima. Xander juga memanggil Rae rupanya.
"Kau tidak apa-apa?" ulang Xander, kali ini khusus bertanya sambil melihat ke arah Aiden.
"Aku baik-------- hukk!"
Aiden merasa tenggorokannya tersumbat. Saat mencoba untuk batuk melegakannya, meluncur cairan berwarna merah dari mulutnya.
Saat itulah, Aiden merasa kepalanya seakan terbelah--- menyakitkan!!
Dia bahkan tidak bisa berteriak, karena saat mulutnya terbuka, hanya darah yang keluar dari sana.
"AIDEN!!"
Hima dan Xander berseru bersamaan. Tapi Aiden tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya, dia cuma ingin mati saat itu juga.
Kesakitan di kepalanya bukanlah apa-apa jika dibandingkan rasa panas membara yang kini menyebar ke seluruh tubuhnya.
‘Kenapa malam cepat sekali datang?’
Tubuhnya tersentak tidak terkontrol, saat Xander menangkap tubuh Aiden sebelum membentur tanah. Dia mengguncang tubuh lemas Aiden dengan panik, sambil terus meneriakkan namanya.
<< -- WHILE YOU SLEEPING -- >>
"Kenapa tubuhnya terus menyentak?"
"Karena rasa sakit. Dia pingsan dan itu lebih baik. Tubuhnya masih merasakan kesakitan yang amat sangat. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia akan menanggung rasa sakit itu, jika dalam keadaan sadar, Dia memaksa anasir-nya melawan signet, seharusnya dia sudah mati."
"Jangan mengatakan hal keji seperti itu, Sol."
"Maaf Hima, tapi ini kenyataan. Tubuhnya sangat kacau, aku harus memperingatkanmu untuk yang terburuk..........."
"Tidak!"
"Berhenti menangis, aku tidak berkata dia tidak akan selamat, tapi kau harus bersabar."
"Paling tidak hentikan rasa sakit itu Sol, aku mohon! Tubuhnya terus berkejat, dia tersiksa."
"Hima, ini sangat baru untukku, bahkan dengan kemampuan mataku. Aku hanya bisa membantu dengan mengendalikan peredaran darahnya, agar pendarahannya tidak semakin parah. Kita tetap harus menunggu kakakmu siap membuka signet itu. Itu jalan satu-satunya."
"Berapa lama lagi?"
"Kau sadar ini ilmu yang sangat sensitif bukan? Satu kesalahan kecil, akan membuatmu menjadi janda. Jadi bersabarlah, Rae akan mengusahakan yang terbaik. Dan mudah-mudahan tubuhnya bisa bertahan."
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Kau harus benar-benar yakin, atau kau sendiri juga kan terluka"
"Aku tahu bodoh!! Sekarang diamlah, dan biarkan aku berkonsentrasi"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Sol, dimana Hima?"
"Rae memindahkannya ke kamar lain, dia tadi tertidur sambil duduk. Saya rasa Hima akhirnya lega setelah melihat keadaan Lord Vivash."
"Dia terlihat jauh lebih baik."
"Benar, Suze Keandra. Rae telah berhasil, mengesampingkan masalah yang ditemuinya saat membuka signet itu. Keadaan Lord Vivash sudah jauh lebih baik berkat usahanya. Yang terpenting, dia tidak kesakitan lagi."
"Aku penasaran dengan satu hal, Sol."
"Maksud anda--?"
"Kenapa kau memanggil Rae dengan namanya saja, sementara kau memanggilku dengan nama gelar?"
"Saya rasa alasannya jelas, karena saya akan memanggil siapapun dengan hormat, apabila dia memang pantas dihormati."
"BURN!"
"Diam Bodoh! Suara sekencang itu akan membuat Hima terbangun!"
"Dia ada di kamar sebelah!"
"Tidakkah akan menjadi suatu rekor mencengangkan jika dia benar-benar terbangun karena suaramu?"
"Yee---lah."
"Kau masih tidak tahu signet apa yang tersisa di lehernya?"
"Tidak!! Padahal aku sudah membaca lebih dari sepuluh buku untuk mencari infonya. Dan kau tahu sendiri aku benci membaca."
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Xander masih tidak mau bicara?"
"Tidak, dia menanyakan keadaannya hampir setiap hari karena cemas. Tapi setiap kali aku bertanya soal signet, dia selalu menutup mulut."
"Masih dengan alasan yang sama?"
"Ya--dan ini membuatku semakin penasaran."
"Aku sudah memeriksa daftar kriminal penerima signet selama 100 tahun, dan tidak menemukan hal yang aneh. Semua penerima signet yang masih hidup berada pada tempatnya, tidak ada yang kabur atau bergerak."
"Dan untuk apa kau membuang-buang waktu memeriksa sampai 100 tahun? Aiden baru hidup delapan belas tahun yang lalu!!"
"Karena kau bilang aku harus memeriksanya dengan teliti!"
"Aku bilang dengan teliti, bukan dengan bodoh."
"Hmmp!!"
"Siapa dia sebenarnya?"
"Vivash bukan?"
"Aku meragukannya, Rae. Level signet masih terlalu tinggi untuk Dwyer, walaupun dia memiliki kemampuan ber-diffusis. Sebelum Ratu Ignatia meninggal, dia hanyalah bangsawan kasar yang terkucil. Aku ragu dia mempunyai pengetahuan soal signet."
"Jika dia bukan Vivash, lalu siapa?"
"Kemunculannya tiga tahun lalu tidak terlalu menarik perhatian, karena Dwyer baru menjabat sebagai Lord Sua. Saat berita menyebar bahwa dia bertunangan dengan Hima, orang baru sadar akan keberadaanya. Entah kenapa aku merasa itu semua terasa sedikit aneh sekarang."
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Yang Mulia, anda harus istirahat. Suze Keandra akan marah lagi jika tahu anda kembali bergadang untuk menjaga Lord Vivash. Biar Ronan yang akan menjaganya."
"Aku merasa sudah sangat mengenalnya, Kalinda, tapi ternyata aku salah. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya."
"Lord Aiden mungkin menyimpan banyak hal dari anda, tapi menurut saya, apa yang ditunjukkannya selama ini murni dirinya. Semua kebaikan yang dilakukannya pada kami, bukan suatu kebohongan, karena semua kebaikan itu justru membuatnya menjadi aneh. Lord Aiden mungkin berbohong, tapi saya sulit untuk percaya, jika beliau sengaja bersikap seperti itu karena ingin menjadi aneh."
"Maksudmu dia berbohong tapi tulus? Pernyataanmu kontradiktif, Ronan!"
"Tidak kontradiktif, jika ternyata Lord Aiden melakukan semua ini dengan terpaksa, Yang Mulia. Terpaksa berbohong sangat berbeda dengan berbohong secara licik."
"Terpaksa? Di Lumea, tyaga mana yang berani memaksa seorang Vivash?"
"Mmmm--- Vivash yang lain?"
"Maksudmu keluarganya? Tapi kenapa? Dwyer mungkin licik, tapi aku meragukan dia sampai bertindak sekejam itu, dia tidak mungkin sengaja memberi signet kepada anaknya sendiri bukan?"
"Mmmm--- izinkan saya berbicara Yang Mulia."
"Idalia, aku sudah menyuruhmu untuk berhenti meminta izin jika hanya ingin sekedar berbicara--bicaralah!"*
"Maaf, tapi saya pernah mendengar rumor soal Lord Vivash dari teman saya yang pernah bekerja di pemukiman Klan Vivash."
"Teruskan!"
"Saya mendengar jika Lord Vivash adalah anak hasil perselingkuhan Lord Dywer Vivash dengan wanita lain, karena itu Madam Nilaya sangat membencinya."
"Aku tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis mendengar hal itu."
"Saya juga mendengar jika Lord Vivash selama hidup di pemukiman Klan utama selalu di asingkan. Pelayan tidak boleh berbicara dengannya secara sembarangan. Hanya Arch Xander yang selalu bersamanya. Dengan dilengkapi cerita seperti itu, orang semakin yakin jika dia anak Lord Dwyer dengan wanita lain."
"Apa sebenarnya yang dilakukan Dwyer padanya? Aku tiba-tiba sedikit mengerti kenapa dia benci setengah mati pada ayahnya."
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Aku tegaskan sekali lagi, kau tidak boleh jatuh cinta padanya!"
"Kau tidak perlu mengulang, aku tidak mencintainya!"
"Jadi segala tangis dan malam tanpa tidur selama ini karena apa? Kau hampir menghabiskan tiga hari tanpa tidur menunggunya sadar!"
"Aku tegaskan sekali lagi, aku hanya khawatir jika dia tidak selamat, nyawaku akan semakin terancam. Dia Vivash, banyak masyarakat yang mendukungku hanya karena pernikahan kami. Jika dia tidak ada-- maka Klan Utama akan segera menyingkirkanku, bahkan dengan alasan paling konyol sekalipun. Warga umum tidak akan terlalu peduli padaku, begitu dia menghilang dari bayanganku."
"Kau mungkin bisa membohongi dirimu sendiri, tapi bukan aku. Kau berlaku sama seperti saat kau memuja pria angin kurang ajar itu!"
"TIDAK!! Kau salah"
"Hmpph----"
"Dan kenapa ini penting bagimu? Bukan urusanmu apakan aku mencintainya atau tidak. Urus saja Afra, jangan terlalu peduli dengan kisah cintaku."
"Aku peduli untuk mencegahmu melemparkan diri pada kesalahan yang sama. Pria yang kau cintai sebelum ini, mempunyai asal usul jelas dan seharusnya dia pria terhormat, tapi tetap saja dia meninggalkanmu begitu saja. Pria yang satu ini, mempunyai rahasia hitam yang masih berupa teka-teki rumit. Kau tidak tahu apa yang akan dilakukannya nanti. Dengan ditemukannya signet itu, dia sama sekali asing sekarang. Kita tidak tahu apa-apa mengenai dirinya."
"AKU TIDAK MENCINTAINYA!! Kekhawatiranmu tidak masuk akal."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
