Married to The Duke Twice - Part 0

5
7
Deskripsi

Free Chapter

~~Awal yang Mati~~

“Ugh!”

Bibir Bree menyebut keluhan pelan, saat lemparan batu menghantam kepalanya, membubuhkan luka lain di sana. Kepala dan wajahnya memang sudah babak belur.

Selain akibat lemparan batu dan entah benda apapun lagi, wajah Bree memang sudah terluka semenjak mereka membawanya dari penjara tadi.

Langkah Bree yang lambat dianggap tidak mengesankan, maka dia mendapat ‘hadiah’ luka. Mereka menyeretnya dengan paksa menuju kereta dengan penjara kayu, yang akan membawanya ke lapangan, tempat dimana hukuman mati untuknya akan dilakukan.

Sebelum Bree berada dalam posisi ini, dia pernah mengikuti ayahnya menonton proses pemenggalan kepala untuk terhukum mati. Dan Bree ingat, dia tidak bisa tidur nyenyak selama tujuh hari setelahnya.

Dia sama sekali tidak bisa mengerti bagaimana ratusan manusia bisa menikmati tontonan bar-bar yang mengerikan seperti itu dan menganggapnya sebagai hiburan.

Kini Bree merasakan situasi yang sama dengan orang yang dulu dilihatnya, diarak sepanjang jalan sebelum dipenggal.

Keadaan tubuhnya juga persis sama. Meski tak punya cermin, Bree sangat yakin jika tubuhnya saat ini pastilah kotor. Gaun kasar yang dia pakai, pasti penuh dengan noda darah dan juga tanah.

Gaun yang awalnya sudah jauh dari indah itu, keadaannya semakin kumal.

Keadaan mengenaskan itu seharusnya membuatnya menangis, tetapi air mata Bree sudah tidak lagi sanggup untuk menetes. Semuanya telah habis di malam-malam saat dia berharap akan ada yang membebaskan dirinya. Bree berharap akan ada orang baik hati yang akan menolongnya dari segala kesulitan ini.

Namun harapan Bree tentu saja laksana menepuk udara kosong, tidak menghasilkan apapun.
Tidak ada yang datang menolongnya, tidak ada keajaiban yang tiba-tiba membuatnya bebas dari segala fitnah bertubi-tubi yang menghampirinya.

Bree mengelus cincin yang ada di jarinya. Bukan cincin pernikahan, itu adalah cincin peninggalan ibunya yang masih berhasil dia simpan sampai sekarang, karena terlihat tidak berharga.

Cincin itu hanya berharga bagi Bree, terutama saat ini. Cincin itu memberinya kekuatan untuk menghadapi kematian. Memberinya harapan akan ada hal baik yang menantinya setelah mati. Harapan dia akan bertemu ibunya setelah mati nanti.

“Naik!” bentak penjaga, yang membuka pintu penjara kayu.

Bree tersentak, lalu menunduk saat menyadari ternyata kereta yang membawanya itu, telah sampai di tengah lapangan.

Orang-orang berteriak mengejek dan menunjuk, terlalu riuh, Bree justru tidak mendengar satupun kalimat jelas, dan bersyukur karenanya. Dia tidak memerlukan hal lain lagi untuk menjadi lebih sengsara daripada sekarang.

Bree mengubah wajahnya menjadi datar. Tidak ingin memperlihatkan dirinya tersiksa ataupun terluka. Denyut pedih antara kedua paha, maupun kepalanya yang terasa seperti berputar, semuanya dia abaikan, agar terlihat baik-baik saja.

Bree ingin orang-orang itu melihat bagaimana wajahnya hanya menampakan kemarahan, bukan takut atau mengiba.

Pengawal itu menunjuk tangga, yang akan membawa Bree menuju panggung pertunjukan hari ini. Dari bawah, Bree bisa melihat guillotine* yang ada di tengah panggung.

Diiringi oleh suara gemerincing rantai yang membelenggu kakinya, Bree menapaki tangga kayu satu demi satu, menuju alat yang akan memisahkan kepala dengan tubuhnya.

Namun, mustahil Bree tidak takut. Semakin langkah kaki membawa tubuhnya ke atas, semakin lututnya gemetar.

Kenyataan keji kembali menubruk Bree saat matanya tertumbuk pada balkon, tempat para bangsawan menonton acara ini.

Dulu Bree bersama ayahnya menempati balkon yang sama, dan balkon itu kini diisi oleh Rad, pria yang seharusnya adalah suaminya.

Saat pandangan mata mereka bertemu, jangankan bersimpati atas keadaan Bree, pria yang kaku dan dingin itu, tidak menampakan emosi apapun.

Dia tidak terlihat benci, marah maupun sedih. Rad terlihat seperti batu yang kebetulan ada di sana dan tidak berguna

Mata Bree bergulir, beralih kepada wanita yang kini ada di sebelah Rad.

Gadis berambut ikal berwarna kecoklatan, membisikkan sesuatu pada telinga Rad. Pria itu tetap tidak bereaksi. Tapi gadis bernama Amber yang seharusnya adalah kakaknya itu, tidak membutuhkan reaksi. Dia melirik ke arah Bree dengan wajah menyunggingkan senyum licik dan puas.

Amber sedang memamerkan kemesraan.

Tubuh Bree perlahan gemetar. Sejak tadi dia bisa bersikap tenang, tapi melihat senyum Amber itu, membuat Bree diserbu oleh amarah yang tertahan.

Bree tidak bisa mengerti bagaimana, tetapi Bree yakin jika Amber dan Rad, adalah dua orang yang bertanggung jawab atas nasib yang saat ini dijalaninya. Mereka berdua pastilah yang membuatnya berada dalam posisi ini.

“Berlutut!”

Bree masih menatap tajam ke arah Rad yang tidak bergerak, mata masih menatapnya dengan dingin. Tidak menunjukkan emosi.

“BERLUTUT!”


Algojo yang bertugas untuk menurunkan guillotine, membentak karena Bree belum bergerak. Dia menekan bahu Bree, memaksanya untuk berlutut.

Lutut Bree menekuk dan turun pada posisi yang diinginkan, di depan guillotine yang menantinya kepalanya.

Bree masih menghadap ke arah Rad. Tidak memutuskan kontak mata, karena ingin menghapus semua perasaan yang pernah rasakan untuk pria itu. Semua kebodohan yang membuatnya jatuh cinta kepada pria yang berkulit amat pucat dan pernah disebutnya tampan itu.

Tapi pandangan mata Bree terputus oleh orang yang baru saja naik. Dia akan mengumumkan kejahatan Bree.

“Bree Valois, hari ini akan dihukum pegal karena telah terbukti membunuh Duke Donovan dari Le Mans, juga melakukan perzinahan dengan Prince Benjamin Bourbon. Masih ditambah penghianatan yang hampir menyebabkan King Bourbon IV terbunuh. Demikian, maka saksikanlah!”

Orang itu menggulung kertas yang ada di tangannya, lalu turun tanpa menatap Bree. Sama sekali tidak peduli jika semua tuduhan yang baru saja dia bacakan, satu pun tidaklah benar.

Keinginan Bree untuk berteriak jika itu fitnah, dijegal oleh algojo yang sudah menunggunya.

Dia mendorong tubuh Bree sampai lehernya pas masuk ke dalam cekungan, dan bergegas mengembalikan papan kayu yang berfungsi untuk mengunci tubuh pesakitan.

Bree kini meronta, berlutut dengan leher terjulur.

Tangannya dan bergetar, sementara napasnya memburu. Matanya kembali nyalang menatap Rad, dan melihat pria itu bergerak berdiri, melompat turun dari balkon.

Tapi Bree menutup mata, karena mendengar suara desing pisau guillotine yang ada di atasnya, meluncur turun.

Ini akhir dari napasnya.

***

“Perbaikilah dan jangan menjadi bodoh lagi!”

Bree mengerutkan kening, saat mendengar suara itu. Suara yang salah berasal dari kegelapan entah dimana.

Dengan penasaran, Bree membuka mata, dan dinding kayu di depannya. Napas Bree tersengal dan sulit, sementara matanya membuka kebingungan.

Seharusnya dia mati saat ini.

“Apa ini? Apa mati seperti ini?” Bree memandang sekitar, lalu merasakan tangannya basah. Ada air menetes di tangannya.

Pipinya terasa basah saat tangan Bree menyentuh. Dia lalu menunduk, memeriksa tangannya yang basah. Ini bukan mimpi, karena Bree bisa merasakan air itu.

“Oh!” Bree berseru, saat melihat pakaian apa yang menempel di tubuhnya. Bukan lagi pakaian kasar yang dekil dan kumal penuh darah, tapi gaun indah putih bersih yang penuh renda.

Terasa halus menyentuh kulitnya, karena bahan gaun adalah sutra, yang dibeli dari pedagang Negeri Tengah yang bermata sipit itu. Sutra dari mereka mahal dan bermutu tinggi.

Bree bisa menyebut semua itu, karena gaun yang saat ini ada di tubuhnya adalah gaun pernikahannya.

Pernikahannya bersama Rad. Duke Radford Valois penguasa Marseille. Salah satu daerah yang ada di bawah kekuasaan kerajaan Frankia (Perancis).

Pernikahan yang akhirnya memberinya gelar Duchess Valois, meninggalkan nama Donovan milik ayahnya.

Pernikahan yang dulu dia nantikan dengan bahagia, tapi berubah menjadi petaka.

Semua fakta itu membuat Bree masih mengingat dengan jelas detik-detik apa yang terjadi hari itu, meski sudah enam bulan berlalu.

Bree menggeleng, tidak ingin mengingat kenangan itu, yang terpenting sekarang dia harus segera memikirkan keberadaannya di tempat aneh ini.

“Eh?”

Bree yang masih duduk, kini berpegangan pada kursi tempat duduknya. Ruang tempatnya berada tidak diam tapi bergoyang. Bree memeriksa sekitarnya sekali lagi, dan kini dia sadar sedang ada di mana.  

Setelah mengingat detail hari pernikahannya, Bree paham dia ada dimana. Saat ini dia sedang ada di dalam kereta kuda yang membawanya ke kastil Marseille.

Kereta kuda indah dengan tirai berwarna merah yang ada di jendela samping kereta, lalu berbagai ukiran lengkung yang bercat warna emas, jok berwarna merah. Semua sama.

Bree bergeser dan menengok ke samping keluar jendela, pemandangan rawa lebar yang dibatasi oleh langit abu-abu mendung. Dia lalu memandang ke arah depan.

Rad bersama beberapa pengawal, naik di atas kuda hitam miliknya, dia juga memakai jubah yang dipakainya saat pernikahan. Jubah hitam dengan aksen hiasan emas. Bree hanya melihat punggung, tapi dia tahu seperti apa ketampanan Rad dari arah depan.

Dulu Bree menatap punggung itu dengan malu-malu karena memang hari pernikahan itu adalah pertama kalinya dia bertemu dengan Rad. Saat pemberkatan di gereja dia melihat bagaimana Rad sangat tampan.

Tapi perasaannya sangat berbeda saat ini, hanya ada kebencian murni yang menguasai hati Bree, membuatnya ingin melompat dan menerjang ke arah Rad agar dia terjatuh terguling dari kuda, dan mungkin mati jika perlu.

Lalu Bree kembali mengedip, mengatur pikirannya.

“Apa yang sebenarnya terjadi ini? Apa aku menikah dengannya untuk kedua kali?”

~~Jalan yang Berbeda~~

Bree menunduk memijat kepalanya dengan kedua  tangan yang juga masih tertutup sarung tangan putih, bagian dari gaun pengantin.

Dia menolak mempercayai jika dia harus mengalami pernikahan ini dua kali, tapi apa yang saat ini di depan mata mempertunjukkan hal yang sebaliknya.

“Ah… Tidak. Ini pasti mimpi! Atau aku sudah mati. Apa aku menjadi hantu penasaran yang mengikuti kemanapun Rad pergi?”

Bree menimbang berbagai kenyataan yang mungkin.

Dia tidak percaya dengan hantu meski sering mendengar jerit aneh saat malam-malam dalam kastil, tapi siapa yang tahu hal itu bisa terwujud. Jika menjadi hantu, Bree tidak keberatan menghantui Rad.

Jika beruntung mungkin dia bisa mencekiknya sampai mati seperti kisah horor yang diceritakan ibunya dulu.

Bree memandang rawa di luar jendela, dan kembali mengingat apa yang terjadi hari pada hari pernikahannya. Perjalanan mereka ke Marseille tidak lancar, roda kereta mewah ini akan masuk ke lubang, dan mereka berhenti beberapa lama di tepi hutan. Lantas perampok menyerang.

Perampok malang, karena Rad dan pasukannya dengan mudah mengalahkan mereka.

GLAK!

Baru saja Bree akan menyingkirkan pikiran itu, kereta yang dia tumpangi terguncang. Bree sesaat memandang keluar.

“Tidak mungkin! Ini mustahil!”

Bree membuka pintu kereta yang ada di samping lututnya untuk memandang keluar. Tidak diragukan  lagi mereka ada di tepi hutan. Bree bisa melihat pucuk kumpulan pohon dan jajaran batang kayu berdiri rapat.

“Non!” (Tidak!)

Bree memekik pelan saat melihat gerombolan perampok yang memang sejak awal sengaja memasang jebakan agar keretanta terperosok, bermunculan dari balik pohon.

Apa yang terjadi saat ini sangat sesuai dengan apa yang ada dalam ingatan Bree. Perampok itu ada sekitar sepuluh orang.

Semuanya memakai topi lebar, sementara wajahnya tertutup kain, dengan pedang tipis dan runcing terhunus di tangan.

Bree membuka pintu, turun dan berdiri di samping kereta untuk memastikan jika semua ini adalah pengulangan. Mimpi ini terasa begitu nyata.

“Apa menjadi hantu berarti mengulang masa paling menyebalkan dalam kehidupan?” Bree mengguman pelan.

“Kalian mencari mati saja!” Teriakan nyaring terdengar

Itu adalah Rad. Dan persis sama, Bree ingat kata demi kata teriakan itu. Tapi dulu Bree hanya mendengar, karena dia meringkuk ketakutan di dalam kereta. Untuk kali ini, Bree melihat wajah Rad yang marah, sambil menunjuk orang yang menghadang mereka itu.

Lalu seolah ada orang yang melempar batu untuk mengagetkan, semua orang bergerak bersama, dan denting besi pedang beradu memenuhi udara.

Bree hanya bisa terpana, memandang apa yang sedang terjadi di depannya. Semua baru untuknya.

Ingatan Bree yang dulu, hanya berhenti saat dia melihat perampok, lalu bergegas meringkuk di dalam kereta, sama sekali tidak melihat bagaimana Rad dan para pengawal membasmi semua orang itu.

Dulu Bree tidak melihat bagaimana Rad bergerak lincah, memutar tubuh dengan cepat, sementara tangannya berayun menyabetkan pedang yang ada di tangannya, dengan wajah penuh amarah.

Bree nyaris tidak pernah melihat Rad menunjukkan emosi, kecuali saat dia terlihat puas saat memeluk tubuh wanita simpanannya. Bree pernah memergokinya saat memeluk wanita lain dengan wajah puas, dan Rad juga tahu, tapi tidak terlihat bersalah saat hal itu terjadi.

Bree mengira emosinya mati. Tapi ternyata tidak.

Di sini Bree melihat bagaimana Rad berlari ke arah dirinya dengan sangat cepat. Lalu dia menusukkan pedang di tangannya pada salah satu perampok yang ternyata sudah begitu dekat dengan Bree. Perampok itu sudah mengangkat pedang berniat menyerang Bree.

Jarak yang begitu dekat tidak terlihat oleh Bree karena dia terlalu fokus pada Rad. Bree mengedip perlahan, saat wajah dan gaunnya terciprat darah penyerangnya itu. Basah.

“Apa kau ingin mati juga seperti mereka? Untuk apa kau di luar?!” bentak Rad dengan mata melotot memandang Bree, yang juga memandangnya.

Napas Rad memburu karena kesal, sementara wajahnya juga penuh cipratan darah. Bree perlahan mengusap darah  di wajahnya sendiri.

“Kau bisa melihatku? Maksudku… Aku hidup?” Bree sekali lagi menatap warna merah pada wajahnya. Tadi Bree berharap dia hantu jadi Rad tidak akan melihatnya.

“Kau pikir aku buta?! Dan kau tidak akan hidup lebih lama jika terus berada di sini! Masuk!”

Rad menunjuk pintu kereta, dengan rahang mengatup erat, seolah sedang menahan keinginan untuk tidak meledak seperti meriam.

Bree perlahan melangkah naik ke dalam kereta, setelah itu Rad membanting pintu itu sampai menutup.

Bree duduk bersandar di dalam kereta dengan mata kosong, dan pikiran kembali berkelana.

Satu hal pasti dan jelas sekarang, dirinya masih hidup karena Rad melihatnya, juga perampok yang tadi. Bree tidak sedang bermimpi, maupun menjadi hantu. Saat ini dia sedang mengulang kehidupan yang sama.

Kejadian yang sama di hari pernikahannya dulu, dengan sedikit perbedaan, karena dia memutuskan untuk turun dari kereta, membuat gaun pengantinnya kotor penuh darah.

Bree menekuk tubuh, membenamkan wajah pada pahanya. Dia tidak mengerti kenapa semua ini terjadi. Namun, satu hal yang pasti, Bree tidak ingin mengulang, dia tidak ingin mengulang kehidupannya dalam masa ini.

Dirinya kehilangan begitu banyak hal, dan hatinya tersakiti begitu dalam. Bentuk luka dan kesakitan yang tidak ingin dia hadapi lagi.

Namun, kemudian Bree tersentak dan menegakkan tubuh. Menyadari satu hal paling penting.

Dirinya memang mengalami banyak kesakitan dan juga kehilangan, tapi sekarang Bree tahu semua hal itu akan terjadi kapan dan bagaimana.

Bree bisa mencegahnya.

Seperti gaunnya yang kini ternoda darah karena turun dari kereta, keputusan yang berbeda akan menghasilkan nasib berbeda, hasil berbeda.

Bree meremas bagian gaun putih yang menutupi lututnya dengan amat kencang.

“Aku akan mengubahnya.” Bree berguman, lalu perlahan tersenyum. Senyum dingin yang tidak mencapai matanya.

Ya, semua orang boleh menyiksanya, semua orang bisa tertawa atas penderitaannya, tapi kali ini adalah gilirannya tertawa. Gilirannya untuk merasa menang dan mengubah kedudukan.

Pembalasan.

Dan satu yang paling penting, dia harus memastikan untuk membalas Rad, dan juga tidak jatuh cinta pada pria itu. Segala bentuk pengkhianatan, tidak akan membuatnya sakit hati tanpa perasaan itu.

Bree menghela napas, kembali menatap rawa yang ada di luar sana.

Awalnya mungkin terlihat buruk, tapi pengulangan ini tidak buruk. Bree mulai merasa ini menyenangkan.

Tidak akan lagi ada Bree yang polos dan penurut. Dia akan mengubah nasibnya yang berujung kematian mengenaskan itu. Pasti.

***

Perjalanan itu membuat mereka tiba di kastil Marseilles sudah hampir tengah malam. Tidak ada apapun yang terlihat, karena cahaya obor hanya menerangi petak kecil halaman kastil. Namun, Bree tidak membutuhkan banyak cahaya.


Meski hanya beberapa bulan tinggal di kastil ini, Bree cukup mempunyai ingatan cukup tentang detail tempat ini.

Bree menghirup udara malam dalam-dalam, segar bercampur aroma laut. Kastil Marseilles  memang berada di puncak bukit, sementara bibir pantai terletak tak jauh di kaki bukit..

Tempat ini indah, Bree tidak akan mengutuk tempat seindah kastil ini. Yang salah hanyalah para penghuninya. Tetapi Bree punya cara untuk memperbaikinya kini.

Bree kembali menatap punggung Rad, yang kini ada di depan mereka, menyusuri lorong remang gerbang dan memasuki bangunan utama kastil.

Kastil batu itu masih seperti ingatan Bree, kokoh, dingin dengan warna coklat pucat. Saat mereka melewati ruang makan, Bree sedikit bergeser mendekati meja. Dengan sangat cepat, tangannya menyambar pisau buah yang ada di atas meja, dan menyusupkan pisau itu ke dalam lengan gaun.

Bree bertekad untuk membuat perbedaan lain malam ini.

~~Kau yang Tertolak~~

“Duchess Valois, selamat malam. Selamat datang di Marseilles.”

Seorang pelayang menanti Bree di depan kamar. Pelayan sopan dan manis. Dia juga tersenyum ramah tanpa cela. Dia adalah Aima, pelayan yang akan memenuhi kebutuhannya sehari-hari di kastil ini.

“Perkenalkan, saya Aima. Saya yang akan melayani Anda di sini.”

Kalimat Aima persis sama seperti yang Bree ingat. Artinya dia juga akan persis sama seperti dulu. Culas, dan ada bersamanya hanya sebagai mata-mata Irene, ibu dari Rad.

Bree punya sesuatu untuk Aima pastinya, tapi tidak sekarang. Rad lebih penting.

“Terima kasih.” Bree menjawab sopan, seperti biasa.

“Minggir!” Suara dingin menyahut, membuat Bree menyingkir seketika.

Bree ingin mengutuk dirinya sendiri setelah itu. Gerak reflek tubuhnya masih mengikuti suara itu dengan patuh.

Seharusnya dia tidak perlu sepatuh itu pada Rad. Pria itu kini berjalan masuk ke kamarnya, kamar mereka.

“Saya akan membantu Anda.” Aima menunjuk ke pintu yang baru saja Rad lewati.

“Untuk malam ini tidak perlu. Kau istirahat saja. Aku bisa sendiri.”

Bree memandang Aima dengan tegas. Aima terlihat kaget, tapi kemudian mundur setelah membungkuk, tidak mengikuti Bree masuk ke kamar. Ya, dia harus belajar siapa penguasa di sini.

Bree dulu bahkan tidak bisa memerintah Aima dengan leluasa karena canggung dan takut-takut.

Langkah kaki Bree saat masuk ke dalam kamar sedikit gemetar. Ini adalah saat dimana dia harus melawan, saat dirinya mengalami luka terbesar.

“Kita bisa!” Bree bergumam amat pelan. Kita adalah dirinya di masa lalu, dan dirinya yang bangkit dari kematian.

Bree sedang mengumpulkan keberanian.

Kamar mewah dengan tempat tidur besar dan penuh pernik keemasan itu, masih terlihat mengancam seperti yang Bree ingat. Bree benci ranjang itu, karena mengingatkan akan malam-malam yang dihabiskannya dalam tangis menanti Rad.

Pria itu sekarang berdiri di dekat meja, entah mengawasi apa, tapi kepalanya menunduk sementara di meja terbuka sebuah surat. Tapi dia tidak mungkin membaca, cahaya lilin tidak sampai pada sudut itu. Terlalu gelap untuk membaca.

Dia menoleh saat mendengar langkah Bree, sambil melepas jubah yang penuh darah akibat perampok tadi.

“Kau…”

“Aku tidak ingin kau menyentuhku!” Bree berseru lantang, memotong kalimat Rad. Bree menolak terlebih dahulu sebelum mendengar kata-kata menyakitkan dari Rad.

Bree masih ingat kata demi kata ucapan Rad malam itu.

‘Kau tidak perlu melakukan apapun. Aku tidak akan menyentuhmu malam ini.’

Kata itu yang tadi seharusnya diucapkan Rad, tapi Bree memotongnya dengan penolakan untuk menyelamatkan harga dirinya.

Bree bersyukur dalam hati karena tidak terdengar gemetar, berbeda dengan kakinya. Namun, kakinya tertutup rok lebar, maka penampilan perlawanan Bree terlihat sempurna.

Mata Rad yang tadi membuka lebar, perlahan menyipit.

“Apa…”

“Apa belum jelas? Aku bilang, aku tidak mau kau menyentuhku! Seujung jari pun!”

Bree mengulang dengan lebih keras. Menatap Rad dengan mata birunya yang kini membuka lebar.

“Kau menerima perjodohan ini, tapi menolakku?” tanya Rad, suaranya jelas terheran-heran.

Suara yang biasa tak bernada itu, kembali menunjukkan emosi untuk kedua kali hari ini.

“Ya! Apa aneh?” Bree menantang.

“Aneh, karena ayahmu jelas mengatakan kau ada di sini setelah menerima perjodohan ini dengan rela dan riang gembira.”

Bree kembali goyah saat ayahnya disebut. Itu adalah daftar lain hal yang harus dia lakukan. Menyelamatkan ayahnya. Tapi itu nanti, sekarang Bree ingin sekali menegur ayahnya. Dia tidak ingat pernah terlihat riang gembira saat menerima perjodohan itu.

Bree memang rela karena tahu perjodohan itu penting untuk ayahnya, tapi tidak mungkin terlihat riang gembira. Bree malah awalnya mengira jika Rad adalah pria tua setengah baya. Tidak mungkin dia gembira mendengar perjodohan itu.

Kegembiraan baru datang pada Bree saat mereka bertemu di gereja tadi pagi. Saat melihat bagaimana wajah Rad, tapi sekarang kegembiraan itu adalah sampah. Bree tidak ingin mengingat lagi.

“Aku tidak pernah gembira atas perjodohan ini!” Bree membantah setelah menemukan suara.

“Hmm…” Rad hanya bergumam.

“Lalu apa maumu?” tanyanya.

“Seperti yang aku bilang tadi, aku tidak ingin disentuh olehmu!”

Rad memandang Bree, lalu berjalan mendekat.

“Jadi kau akan ada di sini sebagai istriku tapi tidak berguna? Hanya ada saja?”

Bree mengacungkan pisau yang tadi dia ambil dari meja, membuat langkah Rad terhenti.

“Jangan mendekat!” Bree membawa pisau itu agar Rad mengerti jika dirinya tidak sudi tangannya itu menyentuhnya.

“Kau mengancamku?” Rad jelas terlihat semakin takjub.

“Ya! Coba saja mendekat, aku akan…”

TLANG!

Napas Bree tertahan, saat entah bagaimana tiba-tiba tangan Rad sudah menyapu pisau yang ada di tangannya. Pisau itu jatuh ke lantai. Dengan mudahnya dia menepis perlawanan Bree.

Rad kini tepat ada di hadapan Bree. Menatapnya dengan mata iris berwarna hazel yang indah itu. Apa yang ada pada Rad memang sempurna kecuali isi kepalanya.

Bree sebenarnya ingin memekik karena kaget, tapi berhasil menggigit lidahnya menahan teriakan. Tadi dia sama sekali tidak melihat bagaimana Rad bergerak. Seharusnya masih ada jarak beberapa meter di antara mereka.

“Kau berani sekali!” Rad menggeram.

“Ya, aku berani, dan kenapa? Kau akan membunuhku? Coba saja!” Tantangan kembali datang dari Bree.

Bree tahu saat ini Rad membutuhkan dirinya, paling tidak saat ini Rad tidak akan membunuhnya meski apapun yang dia lakukan. Perjodohan mereka berdasar atas keuntungan pada dua belah pihak. Bree tidak tahu apa, tapi tentu Rad membutuhkan sesuatu dari ayahnya.

“Lucu sekali.” Rad kini tersenyum.

Bukan jenis senyum ramah dan hangat, hanya senyum sinis dan dingin. Dia menghina usaha Bree untuk menolaknya.

“Aku juga tidak terlalu menginginkanmu sebenarnya. Aku benci wanita yang penurut dan hanya tahu menyenangkan orang lain. Tapi kau cukup menarik ternyata.”

Bree mengedip beberapa kali.

“Kau tidak menarik!” Bree membalas singkat, tajam dan menusuk. Meski kakinya melangkah mundur, tapi lidahnya berhasil maju menyakiti.

Rad kembali melayangkan senyum yang sama, sambil membuka kancing leher blus berwarna putih yang masih dia pakai.

“Aku memang tidak berencana untuk menyentuhmu, jangan khawatir.”

Dan begitu saja, Rad berjalan keluar kamar.

“”Camp!” Rad berseru, dia memanggil Campy, pelayan pribadinya, seraya menutup pintu.

Panggilan biasa, tapi Bree tahu benar apa yang akan terjadi. Dia sering mendengar panggilan dengan nada tegas menuntut seperti itu.

Bree tidak ingin mengulang yang buruk, tapi untuk kali ini dia ingin melihat karena harus. Dia memerlukan ini untuk menebalkan niat. Niatnya untuk membenci Rad. Dulu Bree melihatnya dengan tidak sengaja, tapi sekarang Bree sengaja.

Tangannya dengan pelan membuka pintu kamar, lalu berjalan menuju pinggir pagar pembatas lantai dua. Posisi yang membuatnya bisa menatap lantai satu dengan cukup leluasa.

Terlihat Rad turun menghampiri Campy yang berdiri di samping gadis muda berambut pirang, yang wajahnya terlihat berbinar saat melihat Rad mendekat.

Gadis itu memakai gaun yang berbahan cukup bagus, pertanda dia berasal dari kelas menengah. Tidak mewah ala bangsawan seperti gaun milik Bree, maupun kusam ala pelayan seperti Aima.

Tidak ada yang salah dari bahan gaunnya, hanya bentuknya saja yang memperlihatkan dada membusung tinggi dan menonjol.

Bree tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi bisa menebak tentang apa, karena wajah gadis itu semakin cerah, apalagi saat tangan Rad terulur menyentuh lehernya.

Gadis itu terlihat seperti akan meleleh dan goyah. Siapa yang tidak, jika pria dengan wajah Rad mengatakan menginginkannya?

Tangan Rad terus mengusap turun tak hanya di leher, tapi juga bahu, dan sampai kebagian yang menonjol. Gadis itu menggigit bibir, dengan pandangan sayu menatap Rad.

Rad mengangkat tubuhnya, dengan wajah membenam ke bagian leher, membawa gadis yang kini memejamkan mata itu, memasuki salah satu kamar di lantai satu.

Tangan Bree mencengkram pagar pembatas dengan amat erat, sampai terlihat pucat, tapi kemudian melepaskannya dan berjalan masuk kembali ke dalam kamar.

Saat itulah kakinya menyerah. Bree terpuruk dan terduduk di lantai dengan rok membuka lebar di sekitarnya.

Air matanya mengalir turun, tanpa bisa dia cegah. Bree salah untuk yang satu ini, sakit yang dia rasakan ternyata lebih buruk.

Dulu Bree merasa terhina dan buruk, saat melihat Rad membawa wanita lain di malam pertama mereka, maka kini sakit itu semakin menjadi karena dia sudah sempat mencintainya setelah ini.

Ini mungkin jalan baru yang dia pilih, tapi jiwa dan hatinya tidak baru. Perasaan yang sudah Bree anggap mati itu ternyata masih bisa menyakitinya.

Dengan tangan bertumpu pada lantai, sementara air mata menetes pada karpet di lantai, Bree kembali bertekad untuk melupakan semua itu.

Bree yang lemah dan penurut itu telah mati. Tidak akan ada lagi.

~~Mulut yang Tidak Kalah~~

“Lepaskan! Tidak! Pergi!”

Sosok Bree yang ada di atas ranjang berteriak, terlihat gelisah, sementara tangannya terus menggapai udara, mengusir sesuatu yang hanya ada dalam mimpinya.

Keringat membanjiri wajah, sementara wajahnya pucat. Kepalanya bergerak menggeleng panik, dengan mata terpejam erat. Rambut Bree yang berwarna gelap kemerahan tampak berantakan di sekitar kepala.

“Duchess?”

Panggilan itu membuat Bree tersentak dan membuka mata. Ia bangkit dan duduk, matanya yang berwarna abu-abu terang berputar memandang sekitar kamar dengan kebingungan

Napasnya memburu dan keras, bahkan tangannya yang terangkat untuk menutup mulut terlihat gemetar. Bree ingin menutup mulut agar suara nafasnya yang tersengal tidak terdengar.

Tapi tangannya gemetar terlalu hebat, dan membutuhkan waktu lama sebelum mencapai wajah.

Mimpi itu terlihat terlalu nyata, mimpi kejadian lain yang ingin Bree ubah keberadaannya. Setelah semua hal yang disusun tadi malam, ada satu kejadian lagi yang harus dia pastikan berubah.

“Duchess? Apa Anda sakit?”

Bree kembali tersentak, lalu memandang Aima, yang rupanya berdiri di samping ranjang. Lantas Bree bergegas menggeleng.

“Tidak. Hanya mimpi buruk.” Bree  mengepalkan tangan, untuk menghentikan gemetar. Dia tidak boleh terlihat lemah, terutama karena ada Aima di sini.

“Anda tidur masih memakai korset, mungkin itu penyebabnya.”

Aima tersenyum ramah, tapi kalimatnya mengandung teguran. Tadi malam Bree menolak bantuannya.

Kalimat itu singkat itu menyakitkan. Karena menyalahkan diri Bree sendiri atas mimpi buruk yang dia alami tadi.

“Kalaupun aku mimpi buruk karena korset ada di badanku, hal itu bukan urusanmu!”

Bree membalas sinis, membuat Aima pucat.

“Maafkan saya, Duchess.” Gadis mudah yang sebenarnya berumur sama seperti Bree itu -dua puluh dua- membungkuk meminta maaf.

Bree melirik ke arah Aima, dalam hati tersenyum puas tapi sekaligus menyesal, karena dulu membiarkan Aima bertindak sesuka hati.

Posisi Bree di rumah ini begitu lemah, bahkan seorang pelayan saja bisa meremehkannya. Keadaan yang pasti juga akan dia ubah.

Bree turun dari ranjang, lalu berdiri di dekat jendela, sementara Aima mulai bekerja untuk melepas tali korset yang membelit tubuhnya.

Hal ini memang tidak bisa dilakukan sendiri. Ada tiga lapis baju lain yang dipakai Bree sebelum gaun luar, salah satunya adalah korset dan menjadi yang paling menantang karena memiliki banyak tali yang terikat erat, agar bentuk tubuh pemakainya menjadi lebih sintal.

Sejujurnya Bree benci dengan korset, selain cara pemakaiannya yang merepotkan sampai harus melibatkan orang lain, benda itu membuatnya tidak bebas.

Tidak ada yang bersuara dari mereka berdua. Bree tentu saja malas untuk mengobrol. Dia ingat bagaimana dengan polos dulu bertanya tentang seluk beluk rumah ini pada Aima.

Ini membuat Aima tahu benar sifat polos dari Bree, dan membuatnya diremehkan.

Bree kini hanya memandang keluar jendela, menikmati hembusan angin dan juga ombak laut biru di bawah bukit.

Mengatur agar pikirannya tenang. Bree mencoba melupakan mimpi buruk yang tadi dialaminya. Mimpi itu adalah pengulangan apa yang terjadi pada dirinya saat ada di penjara, satu hari sebelum dia dihukum mati.

Bree memejamkan mata erat. Dia ingin melupakan kejadian itu. Kejadian mengerikan yang seharusnya saat ini tidak menjadi masalah, karena tidak berjejak apapun pada tubuhnya saat ini. Kejadian itu tidak terjadi.

Tapi ingatannya saja rupanya cukup untuk membuat Bree bermimpi buruk.

Bree menghela napas panjang, kembali memandang keluar. Menatap laut biru di kejauhan yang hari ini terlihat indah, berkilauan, dengan buih menari di antara ombak. Dia ingin pikirannya jernih saat ini, tidak ingin teralih oleh yang lain.

Sebentar lagi, dia harus melawan orang yang jauh lebih kuat daripada Aima.

“Air mandi Anda sudah siap,” kata Aima. Kali ini tidak mencoba berbasa-basi, hanya melayani seperti biasa. Bree mengangguk dengan wajah datar lalu berjalan ke kamar mandi.

***

Bree mematut dirinya, memandang sekali lagi bayangan di dalam cermin besar di depannya. Bree memilih gaunnya dengan lebih seksama. Hal yang dulu dia abaikan. Bree berpikir gaun adalah gaun saja, tidak ada bedanya dia memakai yang mana.

Namun, tidak semudah itu. Pemilihan gaun dan penampilan menjadi bahan celaan yang akhirnya membuat dirinya malu. Pelajaran berharga, dan kini Bree memastikan penampilannya sempurna.

Gaun pilihannya berwarna hijau lumut, tidak terlalu mencolok, dan gaun itu pemberian ibunya yang terakhir sebelum meninggal. Tidak baru, tapi seharusnya cukup. Gaun itu tidak akan membuatnya terlihat seperti pengemis.

Hinaan itu yang selalu dipakai Irene untuk membuatnya tersudut. Le Mans tidak sekaya Marseilles, tentu saja gaya hidupnya memang ada di bawah Irene. Namun, bukan berarti dia terlihat seperti pengemis.

Bree mengelus lengan gaunnya, tidak ada yang tercela, kini Bree menatap wajahnya. Rambutnya rapi tertata, oleh Aima. Dia juga menyapukan bedak tipis yang terbuat dari tepung terigu, membuat kulit Bree terlihat lebih halus lagi. Dia sempurna.

“Ayo.”

Bree tidak menoleh ataupun berterima kasih pada Aima, langsung saja berjalan keluar. Dia bisa menemukan dimana ruang makan berada, tapi akan aneh jika dia menemukannya tanpa Aima.

Seharusnya saat ini adalah pertama kalinya dia turun untuk makan.

Mereka kini menjalani hal yang persis sama dalam ingatan Bree. Menyusuri lorong menuju ruang makan yang ada di lantai satu.

Kastil Marseilles tidak lebih besar dari Le Mans, tapi lebih terurus. Tidak ada bagian yang dibiarkan runtuh atau terbengkalai. Dua menara yang ada juga utuh berdiri.

Ekor mata Bree terarah ke menara itu. Dia juga punya kenangan di situ. Irene pernah mengurungnya di sana selama beberapa hari.

Bree tahu seharusnya hal itu menyiksanya, tapi masa tinggal di atas menara malah menjadi masa yang sangat damai bagi Bree. Kala itu.

Tidak ada teriakan, hinaan, maupun sakit hati karena tidak ada yang mengganggunya. Bree merasa sangat nyaman dan bisa menikmati pemandangan indah dari kamar di puncak menara itu.

Namun, saat ini bukan saatnya mengenang. Bree memandang ke depan, ruang makan sudah terlihat.

“Silakan, Duchess.”

Aima  mempersilakan Bree duduk di samping kursi utama. Kursi yang selalu kosong. Seharusnya diisi oleh Rad, tapi pria itu tidak pernah muncul untuk makan jika tidak ada tamu khusus.

Saat ada tamu berkunjung, dia akan menempati kursi itu saat perjamuan, tapi saat biasa seperti ini Champy akan membawa makanannya ke kamar. Entah apa sebabnya.

Bree sendiri bersyukur atas kebiasaan itu. Dengan tidak sering bertemu dengannya, Bree bisa berpikir jernih dan menikmati suasana makan. Keberadaannya hanya akan membuat perutnya sakit menahan kesal saat ini.

Namun, ada satu lagi manusia yang datang dan akan membuat perutnya sakit. Mereka berdua kini berjalan masuk dengan mata menyipit memandang Bree.

Seharusnya Bree menyapa dan berkenalan dengannya kemarin saat baru tiba di kastil, tapi dia tiba tengah malam akibat perampok itu.

Bree memundurkan kursi, memasang senyum terindah, lalu membungkuk sambil mengangkat bagian samping gaunnya. Sikap menghormat yang membuat bulu tubuh Bree berdiri, seolah memprotes, kalau mereka tidak pantas mendapat penghormatan itu.

“Selamat pagi, Lady Irene, Blanche.”

Irene adalah ibu Rad, dia harus memanggilnya Lady, semetara Blanche adalah adik dari Rad. Meski umurnya dua tahun lebih tua dari Bree, dia bisa memanggil nama saja.

“Hmm… Rupanya aroma tidak enak yang aku cium sejak tadi adalah aroma ketidak sopanan. Pantas saja!”

Bree yang dulu akan menunduk dan menangis mendengar itu, tapi Bree yang sekarang, tersenyum mengangkat tubuhnya, sambil menatap Irene.

~~Kejutan yang Lain~~

Hinaan yang didengar Bree berbeda.

Dulu Bree mendengar hinaan tentang penampilannya yang kumuh, maka sekarang dia mendengar hinaan tentang sikapnya yang tidak sopan. Perbedaan yang hanya menegaskan jika Irene memang bertekad untuk tidak menerimanya.

Orang yang ingin membenci akan selalu menemukan alasan untuk membenci.

Meski sudah berusaha untuk memperbaiki, nyata adanya Irene tetap menemukan sesuatu untuk dicela dari diri Bree

“Maafkan saya, Lady Irene. Tapi kemarin kami menghadapi sedikit halangan di jalan, karena itu baru sampai di sini saat tengah malam. Saya rasa Anda sudah tidur saat itu. Akan sangat tidak sopan jika saya mengganggu tidur anda bukan? Jika Anda kurang tidur, bisa-bisa Anda menjadi sakit nanti.”

Bree bisa mengakhiri kalimatnya pada ucapan memberi salam tengah malam adalah tidak sopan, tapi sengaja menambahkan jika soal sakit. Dengan begitu Irene tidak punya balasan yang cukup pintar. Alasannya memperlihatkan seolah Bree peduli padanya. Alasan yang manis.

Irene memang diam dengan bibir berkerut setelahnya. Lalu kembali mengamati Bree, tentu untuk menemukan bahan kecaman yang lain.

“Hmph! Dan lihat apa yang kau pakai? Gaun itu tua bukan? Untuk apa masih kau pakai? Kau akan mempermalukan Valois jika berpenampilan seperti itu.”

Itulah hinaan yang lebih mirip dengan apa yang didengar Bree dulu. Bedanya dia tidak menghina soal wajah lagi. Hanya gaun.

Bree meremas bagian samping gaunnya dengan erat, saat dia membungkuk, saat dia berusaha tersenyum, tidak mungkin menunjukkan luka.

“Saya pastinya masih harus banyak belajar tentang Valois dan segala standarnya. Saya mungkin akan lebih bisa menyesuaikan diri, seandainya saja pernikahan ini tidak terburu-buru seperti keinginan Radford.”

Bree tak mau meminta maaf, dan mengalihkan kesalahan pada Rad, memang dia yang memburu agar pernikahan ini dipercepat sejak awal perjodohan.

Hal yang membuat Bree tidak bisa menyiapkan apapun, tapi dengan waktu lebih pun, dia tidak akan bisa mengubah koleksi gaunnya.

Uang akan datang ke Le Mans setelah pernikahan, bukan sebelum.

Ayahnya sudah menghabiskan banyak uang untuk membuat gaun pengantin sutra mahal itu. Bree tidak ingin ayahnya menghabiskan lebih banyak uang lagi untuk dirinya.

Gaun pengantin itu adalah usaha terakhir ayahnya untuk memperlihatkan jika Le Mans sejajar dengan Valois dan pantas. Jelas menurut Irene masih kurang pantas.

Hal ini seharusnya dibicarakan Rad dengan ibunya sebelum melakukan pernikahan. Tapi sepertinya Rad tidak melakukan pernikahan ini dengan izin ibunya. Bree punya tebakan kenapa bisa seperti itu.

“Kau seharusnya mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk keadaan apa pun, bukan hanya karena akan menikah.” Celaan lanjutan dari Irene, yang membuat telinga Bree panas.

“Putri seorang Duke seharusnya tahu tentang ini, tanpa perlu diingatkan. Kau hanya mempermalukan kami.” Kali ini Blanche yang menambahkan hinaan.

“Aku tahu soal itu, Blanche.” Bree senang Blanche ikut menyahut. Dia bisa berbicara lebih bebas padanya.

“Yang tidak aku tahu adalah kenyataan jika ternyata keluarga Valois sangat mementingkan penampilan dan gaun. Aku kemarin berharap keluarga Valois yang tersohor lebih mementingkan kepintaran dan kecakapan. Atau mungkin menilai wajah paling tidak, tidak sampai detail kekayaan. Valois yang kaya seharusnya tidak perlu menilai uang orang lain lagi,” lanjut Bree, dengan perkataan yang sedikit kejam.

“Berani sekali kau!”

Irene berseru marah, sementara Bree hanya tersenyum padanya. Kemarahan itu berarti dia memenangi perang kecil urat syaraf itu.

Dia memang sudah menghina Valois dengan menggunakan topik pembicaraan Irene dan Blanche.

Bree menyebut wajah karena percaya diri mempunyai wajah yang lebih unggul daripada Blanche. Sebenarnya, bukan sifat Bree untuk membandingkan wajah dengan siapa pun, dan Blanche tidak buruk rupa sebenarnya.

Tapi Bree butuh menjadi kejam saat ini. Mereka berdua harus dilawan dengan mulut brutal. Menjadi lunak dan baik tidak membawa Bree kemanapun.

Terutama melawan Irene, Blanche kadang masih terlihat segan, tapi racun sikap ibunya membuat Blanche bisa berkata kejam terkadang, dan Bree tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.

“Kau memang tidak memiliki sopan santun rupanya! Berani sekali kau menghina Valois?!” Bentakan Irene masih berlanjut.

Dia ingin melanjutkan perang ini, dan Bree menerima dengan senang hati.

“Saya akan sopan saat suasana sedang sopan. Saya akan kasar jika suasana memang kasar.” Bree menyahut kalem.

“Apa ini cerminan dari Donovan? Oh... Aku rasa tidak. Ini adalah cerminan dari ibumu yang rupanya berasal dari kelas rendah itu!”

Pukulan keras, tapi Bree sudah siap. Cepat atau lambat Irene pasti akan memakai fakta itu untuk menghinanya.

Fakta jika ibunya bukan kaum bangsawan. Ayahnya menikahi ibunya yang merupakan seorang pelayan setelah istri pertamanya meninggal, yaitu ibu dari Amber.

Itulah kenapa Irene kecewa padanya. Amber lebih cocok untuk masuk ke keluarga Valois menurut Irene.

Perkataan yang melukai Bree dulu, dan sekarang masih, tapi Bree punya senjata lain untuk menepis sakit hati itu.

“Mungkin ibu saya bukan bangsawan, tapi ayah menikahinya, dan saya resmi menjadi Donovan. Tidak seperti seseorang yang seharusnya bukan Valois, tapi mengaku Valois.”

Bree tersenyum sangat manis, memandang Irene dan Blanche. Wajah Irene pucat pasi, sementara Blanche terlihat menunduk dan mundur di belakang ibunya.

Orang yang dibicarakan Bree tentu saja Blanche

Dia bukan anak dari ayah Radford. Duke Valois yang sebelumnya, juga menikah lagi dengan Irene setelah Ibu Rad meninggal, dan Blanche adalah putri dari suami Irene yang dulu.

Blanche tidak berhak menerima nama Valois, tapi menggunakannya sampai saat ini karena memang tidak banyak yang tahu tentang ini. Bree awalnya mengira Irene ibu kandung dari Rad, dan banyak orang seperti itu.

Dulu Bree mengetahui keadaan ini dari Benjamin, dan berbelas kasihan pada Blanche. Tapi tidak sekarang.

“Dari mana? Kau tahu…”

“Lady Valois, maaf. Saya sudah lapar, dan sarapan akan menjadi dingin jika kita terus  bicara.”

Bree tidak mungkin menjawab pertanyaan itu, dan Irene jelas tidak mungkin lagi bisa mengeluarkan hinaan lain.

Pengetahuan Bree soal rahasia itu, jelas membuatnya berada di atas angin. Irene mati kutu, dan terheran-heran.

Bree kini duduk, lantas mengulurkan kedua tangan pada Aima, yang dengan terburu-buru mengambil mangkuk berisi air dari meja.

Wajah Aima terlihat tegang saat mencelupkan jari-jari Bree ke dalam air, sambil menggosoknya pelan.

Bree masih tidak bicara. Setelah tangannya kering, dia mengambil potongan roti dan daging bacon yang ada di meja. Makan dengan damai.

Irene dan Blanche yang telah duduk di sisi meja yang lain, juga terlihat mengambil makanan, tapi tidak mungkin akan bisa mengunyah dengan damai.

Bisa menelan saja, sudah cukup bagus untuk mereka.

***

Bree masih makan, dan menikmati kemenangannya, sama sekali tak melihat sesosok tubuh dengan mata berwarna hazel yang menatapnya dari balik pagar pembatas lantai dua.

Mata itu tak lepas memandang Bree.

“Itu tadi istriku?” Rad bertanya pada Camphy yang ada di belakangnya.

“Benar, Your Grace. Itu Duchess.”

Pertanyaan itu sebenarnya tidak butuh jawaban, hanya ekspresi rasa terkejut saja. Tapi wajah Rad yang tidak menunjukkan emosi membuat Camphy menjawab dengan serius.

Kejutan yang di dapat Rad, adalah kenyataan jika Bree begitu berani.

Dia memilih putri Donovan karena mereka terkenal tenang.

Apa yang dilihatnya jauh dari tenang, menegaskan apa yang terjadi tadi malam memang Bree yang sebenarnya.

Rad sekali lagi menatap Bree, lalu turun tapi tidak menghampiri ruang makan. Dia berjalan keluar kastil.

Rad lebih memilih mengurus pekerjaan. Dia tidak mendukung siapapun dalam pertengkaran itu tadi. Kedua pihak sama di mata Rad, tidak terlalu penting untuknya.

~~Niat yang Baru~~

Aima membantu Bree memakai celana kain longgar, setelah melepaskan korsetnya. Kebebasan yang dinanti Bree, membuatnya bernapas lebih lega.

“Saya rasa ini bukan ide yang bagus.”

Aima bergumam takut-takut, saat mengikat tapi celana kain itu. Dia lalu membantu Bree memakai gaun yang lebih ringan.

“Aku tidak memerlukan pendapatmu. Aku tahu ini bukan ide bagus.”

Bree setengah membentak Aima, sambil memakai mantel panjang, untuk menutupi bentuk tubuhnya.

Tidak memakai korset membuatnya bebas, tapi sekaligus telanjang, dan terbuka. Dia tidak pernah memakai gaun luar tanpa korset begitu menginjak umur sepuluh tahun.

“Tapi Anda akan dipandang aneh oleh…”

“Memang kenapa kalau aku dipandang aneh? Apa akan ada yang berani melarangku? Kalau ada biarkan mereka mencoba!” sergah Bree.

“Tapi Lady Irene…”

“Kau sudah melihat beberapa hari ini jika aku tidak peduli pada pendapatnya bukan? Aku tidak peduli!”

Bree menegaskan agar Aima mengingat ini. Setelah konfrontasi saat sarapan beberapa hari lalu, Irene selalu mencoba menyindir segala hal yang dilakukan Bree, meski tidak berani terang-terangan.

Rahasia soal Blanche membuatnya terlalu takut untuk mengganggu Bree, tapi Irene tidak bisa juga hanya diam saat melihat Bree yang jelas-jelas berani melawannya.

Akhirnya hanya ada sindiran-sindiran pedas yang sama sekali tidak diacuhkan oleh Bree.

Bree tidak akan peduli pada suara suara serangga yang telah dia injak. Hanya perlu satu lagi hentakan, dan Irene akan kalah. Irene bukan ancaman untuknya saat ini.

Bree memilih fokus pada kejadian lain yang harus diperbaiki, yaitu pembunuhan itu. Pembunuhan ayahnya.

Menurut ingatan Bree sebelumnya, masih ada sekitar empat bulan sebelum pembunuhan itu terjadi, dan saat ini belum ada yang bisa dilakukan untuk memperbaiki itu. Karena Bree tidak tahu bagaimana asal dan sebab hal itu terjadi.

Bree hanya berharap dia bisa menyelamatkan ayahnya pada saatnya nanti.

Untuk mencapai hal itu, Bree akan melakukan beberapa hal yang menurutnya akan membantu memperlancar rencana itu.

Pertama dia harus belajar berkuda. Terdengar sepele, tapi keterampilan ini penting, karena bisa membuatnya lebih mudah berpindah tempat.

Bree ingat bagaimana saat dirinya merasa tidak berdaya, saat harus lari dan tidak bisa melakukannya. Kakinya hanya bisa membawa tak sampai jauh, dan mudah sekali ditemukan.

Bree tidak berharap dia akan perlu lari lagi, tapi itu adalah kemungkinan terburuk. Dan Bree akan mengusahakan perubahan meski dalam skala sekecil itu. Hal kecil itu bisa jadi akan menyelamatkan nyawanya nanti.

Bree melompat di tempat sekali, memastikan pakaiannya nyaman.

“Anda hobi melukis.”

Aima tiba-tiba menyahut, Bree menoleh padanya.

Dia rupanya membuka satu box besar diantara barang-barang yang dibawa Bree dari Le Mans. Satu kotak yang diabaikan selama beberapa hari ini.

Kotak itu berisi sejumlah gulungan kanvas terbuat dari kulit yang tersusun rapi, juga peralatan untuk membuat pewarna yang ada dalam tas kulit. Alat itu untuk menghaluskan buah dan daun, sampai menyaring hasilnya menjadi tinta.

Di sebelah peralatan itu, terlihat gulungan kulit lain, berisi kuas terbuat dari bulu ekor kuda dalam berbagai ukuran. Semua masih tersusun seperti saat Bree membawanya ke sini.

Tidak pernah disentuh olehnya.

“Ya, tapi aku tidak lagi ingin melakukannya. Tutup!”

Bree kembali terdengar ketus. Dia tidak ingin diingatkan tentang sesuatu yang membuatnya lemah saat ini.

Bree dan melukis adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan sebelumnya. Bree bisa menghabiskan sehari sampai dua hari, sampai kadang terlupa untuk makan, jika sedang menyelesaikan lukisan, mencari buah dan daun yang memiliki warna unik dan cocok untuk mewarnai lukisannya.

Dulu hal itu tidak berubah, Bree selalu menghindari masalah dengan melukis saat merasa sakit hati dan putus asa dengan segala perlakuan penghuni rumah ini kepadanya.

Sekarang tentu harus berbeda. Bree tidak akan mengisi waktu dengan hal ‘tidak berguna’ itu. Dia dengan sengaja melupakan dan menekan keinginannya untuk melukis, untuk melakukan sesuatu yang lebih berguna.

“Ayo!”

Bree menggelengkan kepala, mengusir kerinduannya untuk menyentuh semua benda yang ada dalam kotak itu. Itu adalah salah satu dari sedikit pengorbanan yang harus dia buat untuk  bisa bertahan hidup.

***

“Apa Anda tidak akan mendapat masalah dari Duke Valios?”

Aima masih mencoba mengingatkan, saat Bree melangkah melintasi halaman samping kastil, menuju istal yang ada di dekat tembok pembatas.

“Aima!”

Bree berbalik sambil membentak, Aima hampir saja menabrak Bree karena berhenti tiba-tiba.

“Apa kau akan terus memprotes? Jika iya, lebih baik kau tidak perlu bersamaku lagi! Aku akan mencari pelayan lain, dan kau bisa kembali melayani Irene!”

Bree sebenarnya ingin mengganti Aima dengan cara yang lebih tidak mencolok, tapi sudah jengkel akibat segala keberatan itu.

Bree menatap Aima tajam, sementara gadis itu balik memandangnya panik, mata mengedip cepat.

“Tapi saya tidak pernah melayani Lady Irene. Saya baru bekerja di kastil ini karena Duke Valois meminta saya datang untuk melayani Anda. Sebelum ini saya bekerja di ladang pelabuhan penangkap ikan.”

Bree mengernyit sambil mengamati Aima. Dia tidak terlihat berbohong, Aima tidak memahami apa yang Bree katakan.

“Tapi kenapa kau dekat dengan Irene dan melaporkan semua kegiatan…”

Bibir Bree mengatup sebelum kalimatnya selesai. Dia paham.

Aima tidak menjadi pelayannya karena Irene yang menyuruh menjadi mata-mata. Dia menjadi mata-mata karena diminta oleh Irene setelah melayaninya. Ini adalah perang kekuasaan.

Di waktu yang lalu, Irene berhasil ‘menguasai’ Aima, karena Aima mengikuti perintah dari pemenang, penguasa di kastil itu.

Ini berarti jalan keluarnya mudah. Bree hanya harus memastikan Aima paham dia adalah pemenang di sini, berkuasa atas nasib Irene, bukan sebaliknya. Dengan begitu Aima tidak akan menggeser kesetiaannya.

Aima hanya tipe pelayan patuh pada siapa yang kuat. Untuk jalur waktu yang ini, dia sudah ‘menempel’ pada majikan yang jelas lebih kuat.

“Lupakan kata-kataku tadi. Aku akan tetap berlatih menunggang kuda. Kau tidak perlu mengkhawatirkan Irene dan apa yang dia katakan. Aku yang sekarang menyandang gelar Duchess, bukan dia.”

Bree berkata tegas, sementara Aima membungkuk dalam-dalam.

“Baik, Duchess.”

“Bagus kalau kau sudah paham.”

Bree berbalik meneruskan langkah menuju istal. Hari sudah sedikit siang meski matahari tidak nampak karena cuaca mendung. Bree tidak lagi ingin membuang waktu.

Namun, langkah kakinya kembali terhenti, dan kali ini Aima benar-benar menabrak punggung Bree.

“Ada apa, Duchess? Oh…”

Aima tidak perlu penjelasan, dia juga bisa melihat apa yang menyita perhatian Bree.

Bree memandang kereta kuda yang ada diam menunggu di jalan berbatu pada bagian belakang halaman kastil.

Jalan itu berakhir di gerbang belakang kastil. Gerbang yang biasanya hanya dipakai untuk jalan masuk selain tamu.

Gerbang itu akan dibuka jika ada kiriman bahan makanan, kayu bakar, atau mungkin saat ada pelayan yang masuk.

Bisa dikatakan diluar kebiasaan jika ada hal lain yang melewati gerbang itu, tapi terlihat jika apa yang dilihat Bree saat ini wajar terjadi di kastil Marseilles, karena terlihat tidak ada yang mengambil peduli pada kejadian itu kecuali Bree.

Bree berharap tidak peduli setelah sadar apa sebenarnya yang saat ini dia lihat, tapi terlambat.

Bree terlanjur melihat wanita yang baru saja menghabiskan malam dengan Rad.

~~Niat yang Bodoh~~

Bree tidak bisa melihat wajah gadis itu, karena dia memakai jubah dengan tudung menutup kepala, tapi beberapa helai rambutnya terlihat mengintip, dan rambut itu berwarna gelap. 

Itu berarti dia adalah wanita berbeda dari yang Bree lihat pada malam hari pernikahannya. Malam itu, wanita yang bersama Rad berambut pirang pucat. Dan itu kurang lebih seminggu yang lalu. Rad telah berpindah selera, dalam waktu singkat. Dia mengganti wanita semudah cuaca Marseilles berganti karena angin laut.

Kenyataan itu bukan kejutan lagi untuk Bree, tapi ini pertama kalinya dia melihat wanita yang bersama Rad keluar dari kastil saat hari terang. Dulu Bree hampir setiap hari hanya berada di dalam kastil, mencoba untuk tidak membuat Irene marah.

Bree kini ‘menikmati’ pemandangan baru yang belum pernah dialaminya. Wanita itu terlihat lemas, sampai ada dua orang pelayan yang membantunya berjalan menuju kereta, langkah kakinya juga pelan.

Melihat bagaimana dua pelayan harus membantunya untuk berjalan, membuat pipi Bree menghangat. Bayangan apa yang Rad dan wanita itu lakukan, sampai membuat wanita itu tak sanggup lagi berjalan membuatnya malu, tapi kemudian amarah datang menghampiri. 

Pria itu benar-benar tidak tahu malu. Bree membatin dengan geram.

Dia masih terus melakukannya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Janji pernikahan yang dia ucapkan dulu, sama sekali tak berarti. Tak lebih dari omong kosong.

Jika Aima memiliki sisi lain yang membuatnya hampir tidak bersalah karena pilihannya dibuat berdasar keadaan sekitar, tidak demikian dengan Rad. Pria itu masih seperti dulu. Dia memang berengsek sejak awal. Sejak sebelum bertemu dirinya, dan tidak akan bisa diperbaiki.

Jalan satu-satunya untuk mengatasi Rad adalah tidak peduli padanya. Bree memutuskan untuk belajar bertahan disini sebagai seorang Duchess demi ayahnya. Agar Le Mans mendapat bantuan sesuai dengan yang diharapkan.

Bree telah mengambil sikap tidak perlu memperdulikan pria itu. Rad boleh melakukan apa yang selama ini dia lakukan. Bree tidak akan menegur mau pun berkomentar.

“Duchess, itu…”

Aima mencoba berbicara, tapi Bree mengangkat tangan sambil menggeleng.

“Kita ke istal.”

Bree  tidak akan mengomentari perilaku Rad di hadapan siapa pun. Dia tidak peduli, atau mencoba untuk tidak peduli.

Meski hati dan pikirannya mantap dengan niat itu, Bree tetap menyadari jika ada sudut hatinya yang kembali tergores
Bree menahan napas saat pandangan matanya mulai kabur oleh air mata. Rumput hijau yang dia injak seakan bergoyang saat dia melangkah

Namun, Bree menolak untuk takluk pada rasa sakit itu. Bree menggigit bagian dalam bibirnya untuk mengalihkan pikiran. Rad bukan untuk ditangisi, pria itu ada untuk dilupakan.

Tidak mungkin mudah. Pria itu berengsek, tapi Bree juga tahu bagaimana Rad pernah peduli padanya.

Pria itu tidak selamanya dingin. Setelah malam pertama yang menyakitkan itu, Rad tidak selalu mengabaikannya.

Bree tidak buta dan jatuh cinta padanya hanya karena wajah tampan saja, meski hal itu mungkin terjadi, tapi Bree ingat dia tidak sebodoh itu. Yang membuatnya goyah adalah perhatian, dan juga sedikit kebaikan yang ditunjukkan oleh Rad untuk dirinya. Sikap Rad mulai melunak, seiring waktu.

Dulu Bree tidak pernah bermimpi untuk bisa mengambil hati Rad karena paham dengan kebiasaannya berganti wanita. 

Namun, Bree sangat lemah saat pria itu mulai memberinya perhatian. Hatinya dengan bodoh jatuh cinta, tergila-gila, bahkan pernah berniat untuk mengubah Rad agar tidak lagi menjadi seseorang yang begitu mudah berganti wanita.

Niat yang naif tentu saja, dan akhirnya terhempas oleh seluruh kemalangan itu. Seluruh kehidupannya seolah berputar dengan begitu cepat saat Amber datang, Benjamin, lalu ayahnya. Semua menyerbu bertubi-tubi, dengan kecepatan yang hampir tidak bisa diikuti oleh Bree.

Semua begitu cepat berganti, dan saat dirinya belum tahu apapun, serta masih berduka atas kehilangan ayahnya, tiba-tiba saja dirinya menjadi tertuduh dan masuk penjara.

Itulah akhir dari segalanya, akhir dari kenaifan Bree. Hari-harinya di penjara itu menghancurkan seluruh harapan Bree.

Kini Bree tidak akan bodoh lagi dan berharap keajaiban yang terlalu tinggi seperti dulu. Dia tidak perlu peduli pada orang lain.

“Tidak ada gunanya kau mencintainya.”

Batin Bree berteriak keras, meminta agar otaknya menjadi lebih masuk akal, karena itulah jalan pikiran yang paling sehat.

Tidak jatuh cinta pada Rad akan membuatnya hidup dan kuat. Itu adalah tujuannya saat ini.

Bree menghapus air mata yang lolos dari pipinya. Air mata yang menunjukkan kebodohannya. Bree berharap itu adalah air mata terakhir yang dia teteskan untuk Rad.
 

***

Bree sudah merasa lebih baik saat mereka sampai di area istal. Penampakan bangunan itu menyentak Bree ke alam nyata. Kenyataan dimana dia harus menjadi kuat agar bertahan hidup.
Terlihat beberapa orang berdiri  di depan istal. Bree mengenali sebagian besar di antaranya. Mereka anak buah Rad, bagian dari pasukan milik Marseilles. Tentu saja Bree hanya lewat di depan mereka tanpa menyapa atau apa pun. Dia tidak ingin menjadi ramah. 

Dia hanya berjalan masuk, sementara pandangan mata heran mengikuti punggungnya. Keberadaan Duchess di tempat ini tentu mencengangkan.

Bree masuk ke dalam istal, mencari pengurus istal yang bernama Curtis. Pria yang terlihat berusia sama dengan ayahnya itu ada di bagian dalam istal, sedang memasang sepatu kuda. Seperti yang lain, dia terlihat kaget saat melihat Bree.

“Maaf, tapi…”

“Duchess Valois.” 

Aima menyebut nama dan kedudukan Bree, karena Curtis tidak membungkuk. Dia tidak tahu siapa Bree, dan langsung membungkuk begitu mendengarnya dari Aima.

“Apa yang bisa saya bantu, Duchess?”

“Aku ingin kuda yang bisa aku tunggangi dengan mudah.” Bree menyebut keinginannya.

Curtis mengangguk, dan bergegas mengantar Bree ke area kandang kuda.

“Dari tinggi tubuh Anda, saya rasa Briar akan cocok.”

Curtis menunjukkan kuda paling cantik yang pernah dilihat Bree. Valois terkenal memiliki kuda yang luar biasa kuat, tapi Briar sangat cantik. Tubuhnya berwarna putih bersih, dengan surai di leher berwarna kelabu.

Curtis juga memilihkan kuda yang ramah untuk Bree, karena Briar tidak banyak bereaksi saat Bree perlahan mendekat dengan wajah bersemangat. Senyum Bree mengembang, saat tangannya mengelus punggung putih itu.

Lembut dan hangat.

Bree tidak tahu bagaimana tinggi tubuhnya akan mempengaruhi pemilihan kuda, tapi dia akan menerima Briar apapun syaratnya.

“Baiklah. Aku menyukainya.”

Curtis mengangguk, lalu bergerak cepat memasang pelana pada Briar lalu memuntunnya keluar dari istal.

Sekali lagi Bree menjadi tontonan anak buah Rad yang ternyata masih ada di depan istal.

“Terima kasih, Curtis.”

Bree mengucapkan terima kasih, karena masih sangat puas dengan pilihan kuda yang dia berikan.

Pria itu terlihat heran, karena ingat belum menyebut namanya pada Bree, tapi dia hanya membungkuk saja, karena Bree sudah menuntun Briar menuju gerbang istal. 

Namun, seseorang menghampiri, dan membungkuk sopan pada Bree. Rambutnya ikal sebahu, sewarna rumput kering yang ada di sekitar gerbang itu. 

Bree mengenalnya, dia Edmond. Bisa dikatakan tangan kanan Rad. Bree selalu melihatnya bersama Rad biasanya. Dia ikut dalam konvoi yang membawa Bree dari Le Mans, jadi tahu benar siapa Bree.

“Maaf, Duchess. Anda akan kemana?”

“Apa penting kau tahu aku ke mana?” Bree tak punya dendam pada Edmond, tapi dia akan membenci siapapun yang dekat dengan Rad, karena lebih mudah seperti itu.

“Penting, karena Anda tidak boleh pergi jauh tanpa pengawal.” Edmond kembali membungkuk.

“Aku hanya akan ke pantai untuk berkuda.” Bree tidak ingin berdebat lagi.

“Kalau begitu saya akan…”

“Apa harus? Aku tak akan pergi jauh.” Bree memotong.

“Harus!”

Suara lain menyahut, membuat Bree terperanjat. Itu adalah Rad. Dia akan melakukan perjalanan ke kota. Karena itu banyak anak buahnya menunggu di depan istal.

Rad berjalan dari arah kastil memakai jubah bepergian, dengan tudung menutupi kepalanya. Wajahnya jelas terlihat tak suka saat melihat Bree ada di situ.


~~Kebencian yang Nyata~~


Bree menatap wajah Rad sekilas lalu berpaling.

Ini pertemuan kedua mereka setelah hari pernikahan itu. Bree memang tidak pernah berpapasan saat mereka ada di kastil.

Bree hanya melihatnya dari kejauhan saat dia masuk ke kastil atau keluar, hanya itu.

Bree dengan sengaja menghindari Rad. Tidak ingin mengobrol maupun bertemu dengannya. Itu adalah cara satu-satunya agar Bree tetap merasa waras, dan tidak mengulang segala kedekatan mereka yang membuatnya bodoh.

Tapi ternyata tidak bertemu sekian lama dengan Rad tidak berpengaruh apapun. Jantung Bree tetap saja meronta hebat begitu mata Rad menatapnya.

Kulit wajah Rad yang pucat terlihat kontras dengan tudung kepala hitam yang dipakainya. Tudung jubah itu seolah membingkai ketampanan Rad, menegaskan jika wajahnya rupawan, tanpa cacat.

Dia tidak terlihat buruk sama sekali dengan cambang di dagu yang mulai terlihat lebat, sementara bibir merah gelap berpadu sempurna dengan kulit pucat miliknya. Jenis tampan yang dengan mudah membuatnya menjadi perayu wanita yang ulung.

Mata tajam Rad menyipit, sementara alisnya nyaris menyatu karena mengerutkan kening memandang Bree.

“Kau tidak bisa keluar begitu saja dari kastil, apa kau tidak tahu peraturan seperti ini?” Suara Rad mirip seperti geraman. Bibirnya juga nyaris tak bergerak saat bicara.

“Aku tahu, tapi aku tidak akan pergi jauh. Aku hanya akan ke pantai!” Bree mementahkan larangan itu.

Bantahan itu, membuat kerutan pada kening Rad semakin dalam.

“Pantai ada di luar gerbang kastil ini. Itu berarti kau tetap tidak bisa pergi sendiri sedekat apapun jaraknya. Itu peraturannya!” Rad menegaskan dengan nada yang terdengar tak ingin dibantah.

Sementara Bree kini ingin menampar atau mungkin mencakar wajah sempurna itu. Bagaimana mungkin Rad membahas peraturan dan kepatuhan sementara dia sendiri bertindak sesuka hati tanpa peduli dengan norma dan etika?

Tapi Bree tidak memuntahkan keluhannya. Dia tidak ingin terlihat peduli pada perilaku Rad.

“Aku hanya ingin ke pantai!”

Bree menyudahi perdebatan, lalu kembali menarik Briar berjalan menuju gerbang istal.

Langkahnya terhenti, kali ini oleh cengkraman tangan di bahunya. Cengkraman itu tidak menyakitkan, tapi kuat dan sulit sekali dilawan, meski Bree berusaha menggerakkan bahunya.

“Siapa yang mengatakan kau boleh pergi ke pantai begitu saja?” Rad kembali menggeram.

“Siapa yang mengatakan kau boleh menyentuhku?!” Bree dengan jijik menepis tangan Rad.

Dua mata itu saling berpandangan. Bree jelas penuh dengan kebencian, sementara Rad tidak terlalu tampak sedang merasakan apa tadinya. Sekarang dia heran, menatap tangannya yang tadi ditepis oleh Bree.

Pikiran Bree sangat jernih, dengan membayangkan wanita yang tadi dilihatnya masuk ke dalam kereta, Bree menampakkan emosi marah tanpa kesulitan. Tidak lagi terpengaruh oleh perasaan lemah.

“Kau membenciku?” Rad menurunkan tangan menatap Bree yang mengangguk tanpa ragu.

“Apa kurang jelas? Apa aku perlu meneriakkannya agar kau paham?”

Bree melirik Rad sekilas, terlihat dia ingin mengatakan sesuatu tapi menahan diri, dan Bree tidak ingin menunggu.

Bree melangkah dan kali ini benar-benar keluar dari gerbang istal, berjalan menuju gerbang belakang kastil. Pantai lebih dekat dijangkau dari situ. Setelah gerbang, Bree hanya harus menuruni jalan berbatu yang cukup landai, tidak perlu berputar dan mereka akan sampai di pantai.

“ED!” Terdengar teriakan Rad, tapi Bree sudah tidak lagi peduli.

Dia melambai pada orang yang berjaga di gerbang belakang, dan mereka berlarian membukanya untuk Bree.

Namun, saat melangkah keluar gerbang, Bree menyadari ada langkah kaki lain yang mengikutinya selain Aima.

Bree menoleh, melihat Edmond mengikutinya juga dengan menuntun satu kuda berwarna coklat tua.

“Untuk apa kau ada disini?!” Bree membentak tak puas.

“Duke Valois meminta saya untuk mengawal Anda.”

Edmond terlihat puas. Dia yang sejak awal melarang Bree keluar sendiri, dan sekarang ternyata Rad mendukungnya. Tentu saja dia merasa menang.

“Tidak perlu! Kau kembali saja!”

“Maaf, tapi saya harus mengawal Anda. Ini perintah.” Terlihat jika Edmond sikapnya berada dalam sisi tenang.

“Maka aku perintahkan kau untuk kembali!”

“Maaf, Duchess. Tapi hanya Duke yang bisa membatalkan perintah ini. Saya lebih berkewajiban untuk memenuhi perintah beliau daripada Anda.”

Bree ingin sekali membantah, tapi tidak punya balasan pintar. Memang benar perintahnya tidak akan berguna jika melawan Rad. Sebagai Knight, Edmond berkewajiban mematuhi Rad lebih dari dirinya.

Edmond adalah salah satu dari lima Knight yang membantu Rad dalam mengelola pasukan dan area Marseilles.

“Sesukamu sajalah!”

Bree berseru kesal, berbalik menuruni jalan berbatu itu. Dia malas berdebat lagi, terutama jika ada dalam posisi yang kalah.

Bree sekarang benar-benar jengkel. Dia hanya ingin keluar belajar menunggang kuda. Kenapa menjadi sulit sekali?

Pertama Aima yang menegur, lalu Edmond dan sekarang Rad. Seolah seluruh alam raya tidak mengizinkannya naik kuda.

Pada alur waktu yang lalu, Bree tidak pernah mengalami masalah seperti ini, karena sekali lagi dia terlalu takut untuk keluar dari kamar karena teror Irene. Tapi untuk keluar dan melakukan hal yang diinginkannya pada jalur waktu ini, ternyata dia harus mengalahkan Rad.

Ini lebih sulit.

***

Pantai yang sejak tadi disebut akhirnya terlihat. Sepi tentu saja, tidak terlihat siapa pun. Bukan karena musim, karena udara belum terlalu dingin.

Pantai itu sepi karena terlalu dekat dengan kastil Marseilles. Tidak sembarang orang boleh mendekati pantai itu.

Sekitar lima kilometer sebelah barat pantai ini, baru ada keramaian. Yaitu pelabuhan yang selalu sibuk oleh kegiatan nelayan menangkap ikan, serta lalu-lalang kapal dagang dari berbagai daerah.

Bree menghentikan Briar pada ujung timur pantai itu, lantas menumpukan satu kaki pada sanggurdi yang ada di sisi perut kuda itu.

“Tunggu! Maaf. Anda ingin belajar berkuda seperti apa?”

Edmond terburu-buru mendekat saat melihat ancang-ancang Bree yang terlihat tidak biasa itu.

“Berkuda, menunggang kuda sepertimu.”

“Oh!”

Edmond tercengang. Keinginan Bree memang tidak normal.

Bukan hal aneh bagi wanita untuk menunggang kuda, tapi biasanya hanya untuk rekreasi saja. Berjalan-jalan pelan di taman atau berpiknik. Biasanya kaum wanita akan menaiki kuda dengan posisi menyamping.

Gerakan membuka kaki lebar-lebar saat menaiki kuda cara pria, akan dianggap sangat tidak sopan. Karena pastilah akan menampakkan betis, paha, serta anggota tubuh lain di balik rok.

Dengan posisi duduk menyamping seperti itu, tentu saja mustahil bagi para wanita bangsawan untuk bisa berkuda dengan kencang. Tubuh mereka akan terpelanting jika nekat menjalankan kuda dengan kencang, belum lagi sedikit lebih sulit mengendalikan arah kuda dalam posisi itu.

Dan jika hanya berkuda seperti itu, Bree sudah cukup mampu. Alasan dia berlatih karena ingin menunggang kuda dengan benar, bukan sekadar rekreasi.

Edmond otomatis menunduk dan berpaling saat Bree mengangkat kaki kirinya menuju sisi lain perut Briar.

Tidak perlu sebenarnya. Bree memakai celana di balik rok dengan tujuan agar tidak memperlihatkan anggota tubuh apapun.

Awalnya Bree dengan takut-takut menarik kekang Briar, dia harus mengatur kecepatan agar tidak terlalu kencang.

Tapi rupanya Bree kurang memahami jika Briar termasuk kuda sensitif. Tarikan pelan yang dilakukan Bree membuatnya Briar berlari kencang, dengan mendadak.

Kuda putih itu melesat secepat kilat, mendepak butiran pasir pantai yang basah dengan kakinya.

Wajah Bree kini memucat, dia tidak tahu harus melakukan apa, untuk memelankan laju lari kuda itu.

~~Rencana yang Lainnya~~

"Non!" Bree berteriak panik

Dia tidak membayangkan akan menjadi seperti ini. Niatnya baik, hanya saja seharusnya tidak belajar sendiri tanpa pendamping. Kuda adalah makhluk yang tidak bisa prediksi tingkah dan perilakunya.

Kini nyawanya kembali terancam, sebelum dia bisa memperbaiki apa pun. Dia pasti mati jika sampai terjatuh dari punggung Briar.

Tapi kemudian suara derap kaki kuda lain terdengar dari arah samping. Bree menoleh, dan terlihat Edmond, memacu kuda di sebelahnya.

Berlawanan dengan Bree yang panik, Edmond terlihat tenang. Memakai perhitungan yang tepat, dan kaki menjepit perut kuda tunggangannya, Edmond mencondongkan tubuh ke arah Bree, lalu merebut tali kekang yang tidak berguna dari tangan Bree, karena dia tidak tahu harus melakukan apa.

Dengan sangat ahli, Edmond menarik tali kekang itu. Kekuatan Edmond sangat terukur dan tahu seberapa besar tarikan yang diperlukan agar Briar tenang.

“Ha!”

Mulut Edmond menyerukan aba-aba lain yang membuat Briar dan kuda tunggangannya memelankan langkah, dan akhirnya berhenti.

“Anda baik-baik saja?” tanya Edmond.

Bree mengangguk dengan susah payah.

“Terima kasih,” katanya, dengan napas yang masih tersengal. Edmond tersenyum dan mengangguk.

Bree merasa sedikit malu setelahnya.

Ucapan terima kasih itu mungkin pertama kalinya dia bersikap ramah pada siapa pun di Marseilles. Sejak datang ke sini dengan ingatan baru, Bree selalu bersikap ketus pada siapapun, kapan pun, karena tahu mereka semua akan menjadi musuh.

Ucapan terima kasih itu memunculkan Bree lama yang biasa. Dan ini membuat Bree menyesal. Dia tidak seharusnya ramah. Dia tidak menginginkan ada celah dalam dirinya, meski itu kepada Edmond yang dalam waktu yang lalu tidak terlibat apa pun dalam kehidupannya.

“Anda harus sedikit berhati-hati saat mengendalikan Briar. Dia kuda yang terlatih untuk dikendarai menyamping. Dia sensitif, jadi sedikit tarikan sudah cukup untuk membuatnya bergerak. Anda bisa membawanya lari, tapi hati-hati saat mengatur tarikan tali kekang.”

“Bagaimana caranya menghentikan kuda yang lari?” tanya Bree.

Dia melupakan ini tadi. Bree tahu bagaimana cara memacu kuda, tapi tidak tahu cara membuatnya berhenti. Ini kebodohan yang patut ditertawakan, tapi Edmond tidak terlihat ingin tertawa.

“Pertama memakai ini.” Edmond menunjuk kekang.

“Anda harus bisa mengendalikan ini dengan kekuatan yang tepat. Yang kedua, dengan tubuh Anda. Perlahan condongkan tubuh ke belakang, tahan otot perut dan kaki Anda, agar kuda bisa merasakan tekanan lebih di punggungnya, dengan begitu dia akan memelankan langkah.”

Penjelasan kali ini diiringi dengan praktik dari Edmond, yang menunjukkan pada Bree bagaimana caranya.

Edmond dengan sabar menjelaskan detail jawaban pertanyaan Bree, dan juga pertanyaan lainnya. Bree tidak ingin terlihat bodoh lagi, jadi dia bertanya apa saja yang sekiranya akan membuatnya cepat mahir mengendalikan Briar.

Edmond bahkan menunjukkan seberapa kuat Bree harus menendang perut Briar untuk membuatnya lari.

Secara tidak resmi Edmond akhirnya menjadi pelatih berkuda untuk Bree.

“Perlahan!”

Edmond berseru saat setelahnya Bree mulai mempraktekkan seluruh ajaran Edmond. Karena menunggang kuda bukan hal baru bagi Bree, dia menyerap semua pelajarannya dengan cukup mudah.

Namun, tetap butuh sampai waktu yang cukup lama bagi Bree untuk menguasai teori dengan benar. Saat Edmond memberi tanda puas karena Bree sudah bisa berhenti dengan cukup mulus, matahari telah condong ke barat.

Kini Bree sudah bisa melaju dan berhenti sesuai dengan kehendak hatinya. Bree benar-benar puas.

“Anda sudah hebat.” Edmond melontarkan pujian juga dengan senyum puas. Murid yang berhasil tentu saja adalah kegembiraan bagi gurunya.

“Anda hanya harus belajar untuk mengendalikan arah, tapi saya rasa tidak akan terlalu sulit karena Anda sudah cukup menguasai caranya.”

Edmond tentu bisa melihat jika ini bukan pertama kalinya Bree menunggang kuda, hanya memang belum mahir mengendarainya dengan cara laki-laki.

“Aku akan belajar lagi besok.” Bree tentu saja tidak ingin membuang waktu.

“Saya rasa itu tidak mungkin.” Edmond menyanggah dengan senyum meragukan.

“Aku akan belajar lagi besok!” Bree mengulang lebih keras, saat melihat keraguan Edmond. Dia tidak suka diremehkan.

“Tentu saja.” Edmond kembali tersenyum, tapi kali ini diiringi bungkukan. Tidak ingin mendebat keinginan Bree.

Tapi Bree belum selesai.

Dia punya satu ide yang sebenarnya baru muncul di pertengahan latihan. Dan ini adalah kesempatan terbaiknya untuk meminta, karena belum tentu punya kesempatan untuk berbicara pada Edmond lagi sesudah hari ini.

“Edmond, kau seorang Knight bukan?”

“Benar, Duchess.” Edmond masih membungkuk.

“Itu berarti kau bisa bermain pedang dengan baik?”

“Tentu. Saya dipilih menjadi Knight oleh Duke Valois karena kemahiran saya bermain pedang.”

Ada terselip bangga dalam nada suara Edmond, karena dia adalah Knight pertama dalam keluarganya. Dia tidak terlahir dari keluarga Knight yang sudah ada.

Knight adalah bangsawan tingkat paling rendah, bertugas untuk memimpin kelompok pasukan. Tugas ini penting, karenanya Rad selalu memilih dengan hati-hati.

Cara Rad menyeleksi Knight masih sangat benar, yaitu melihat dari kemampuan. Sebagian besar Duke daerah yang lain, hanya memilih dari keturunan Knight yang sudah ada.

Tidak ada yang salah dari memilih Knight baru dari keturunan Knight sebelumnya, asalkan memiliki kemampuan bertarung yang hebat.

Rad melakukan seleksi ketat dan tidak sembarangan mengangkat Knight. Dari lima Knight yang ada di Marseilles, tiga berasal dari keturunan, dua berasal dari rakyat biasa, termasuk Edmond. Tentu saja dia akan terus bangga dengan keberhasilan itu.

“Kalau begitu aku bertanya pada orang yang tepat,” ujar Bree. Setelah mendengar penjabaran kemampuan Edmond.

“Maaf, tapi ada apa?” Edmond tak paham Bree akan membawa pembicaraan ini kemana.

“Selain berkuda, aku ingin kau mengajariku memakai pedang.”

Seketika melintas rasa menyesal pada wajah Edmond. Permintaan Bree sungguh diluar dugaan, dan jauh dari mudah. Tapi Edmond tidak bisa menolak, setelah dia menyematkan gelar sebagai ahli pedang terhebat pada dirinya sendiri.

“Anda ingin bisa memakai pedang?” Edmond berharap dengan mengulang jawaban Bree akan berubah.

Tapi anggukan penuh tekad dari Bree memusnahkan setitik harapan Edmond.

Bree tentu saja memang sudah berniat belajar bermain pedang sejak awal. Ini adalah langkah kedua yang diambil Bree untuk mengubah nasibnya.

Bermain pedang adalah caranya selamat dari nasib mengerikan itu. Bree ingin bisa membela diri sendiri, tidak berharap pada bantuan maupun pertolongan.

Waktu yang telah dia tinggalkan itu, membuktikan jika harapan akan pertolongan hanya membuatnya berkubang dalam kekecewaan yang pedih.

Tidak ada yang akan menolongnya, kecuali diri sendiri. Percuma berharap pada orang lain. Kini Bree hanya akan menaruh harapan pada diri sendiri. Dia akan menyelamatkan dirinya sendiri.

“Saya tidak keberatan membantu Anda, tapi saya harus meminta izin pada Duke Valois.”

Edmond menambatkan harapan terakhir pada Rad, dan Bree tahu itu.

“Terserah kau! Tapi aku akan meminta Knight yang lain untuk mengajariku kalau kau tak mau.”

“Jika Duke tidak mengizinkan, Anda tidak bisa memaksa…”

“Kalau begitu aku akan memaksa Rad!”

Bree tidak tahu bagaimana caranya, tapi jika pria itu tidak mengizinkan Bree akan bersiap mendebat.

Rad mungkin brengsek, tapi Bree tahu dia tidak akan menyakiti dirinya. Terutama jika hanya untuk hal seperti ini.

Satu sifat yang Bree masih ingat sampai sekarang, Rad tidak akan pernah menyakiti wanita, karena dia terlalu memuja wanita.

“Aku ingin memulai pelajaran besok, jika pelajaran berkuda selesai.”

Pelajaran mengarahkan kuda seharusnya tidak akan berlangsung lama. Bree ingin langsung memulai pelajaran pedang setelahnya.

“Itu tidak mungkin. Anda akan…”

Namun, Edmond terlihat jengah. Dia membatalkan ucapannya, dan membungkuk.

“Saya akan meminta izin pada Duke Valois secepatnya.” Edmond kembali menyerah.

Dia menahan apapun hal yang akan dia katakan tadi, dan menuruti permintaan Duchess baru yang antik itu.

“Bon!” (Bagus)

Bree menghela tali kekang Briar, membawa kuda itu maju menuju kastil, jalan ke sana mungkin landai, tapi tidak banyak berbelok. Bree tidak akan kesulitan menunggangi Briar sampai ke sana.

Terlihat Aima berlari kecil di samping Briar yang juga berjalan perlahan.

Bree bisa memacu Briar, tapi tidak akan setega itu membuat Aima berlari mengejarnya. Dia akan memperlakukan Aima dengan lebih baik, tapi tetap tegas.

Membuatnya tidak akan memiliki keinginan untuk berpaling pada Irene.


~~Sakit yang Berisik~~



Bree kini paham kenapa Edmond membantah setiap keinginan Bree untuk berlatih besok hari.

Seluruh tubuhnya terasa pegal dan nyeri. Meski tidak tidak jatuh dari kuda, Bree merasa dia seperti sudah jatuh dari kuda, karena semua terasa menyakitkan.

Penyesalan lain. Bree tadi menolak mandi memakai air hangat. Dia malas menunggu Aima menyiapkannya, karena tubuhnya terlalu lengket dan penuh keringat.

Bree merasa air dingin akan membuatnya segar. Memang segar, tapi kini air dingin itu membuat tubuhnya terasa kaku, dan pegal. Belum nyeri di beberapa bagian tubuh yang menyebalkan.

Bree kini juga mengerti kenapa Edmond akhirnya memilih diam daripada menjelaskan apa yang sebenarnya akan terjadi pada tubuhnya.

Pusat dari seluruh rasa sakit tubuhnya ada pada paha. Paha bagian dalam lebih tepatnya. Bagian yang bertumbukan dengan pelana dan punggung Briar.

Edmond telah bersikap sopan dengan diam saja, tak ingin membahas area rasa sakit itu lebih jauh.

Bree berbalik mencoba menyamankan posisi berbaring, tapi tentu tidak berguna. Yang menjadi masalah bukan posisi tidurnya. Rasa sakit ini memperburuk keadaan malam Bree yang biasanya juga tidak terlalu indah.

Semenjak bangun dan mengulang waktu, hampir setiap malam Bree selalu bermimpi buruk. Mimpi yang diisi kejadian yang dialaminya di dalam penjara. Tentu membuatnya tidak nyenyak tidur, tapi setidaknya dia tidur.

Tapi malam ini dia tidak mungkin tertidur dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri itu.

Bree menyibak selimut, bersusah payah duduk, lalu mengangkat gaun tidurnya. Bibirnya mengeluarkan kesiap, saat melihat paha bagian dalamnya terlihat memar, berwarna biru.

“Très mauvais!” (Buruk sekali)

Bree mengumpat pelan, lalu mengusap wajahnya. Sekali lagi harus mengakui Edmond benar. Lupakan berlatih berkuda lagi besok, apalagi berlatih pedang, bisa duduk dengan normal saja Bree sudah bersyukur.

Tubuhnya terlalu tidak terbiasa melakukan kerja keras seperti itu. Melukis dan menunggang kuda sangat jauh berbeda.

Bree menurunkan kaki pada lantai, ingin mengambil minum yang disediakan Aima di meja.

BUGH!

“Ha!”

Bree berseru kesal, saat tubuhnya terjerembab begitu saja ke lantai saat mencoba berdiri. Kakinya terlalu lemas untuk menopang tubuhnya, dan sangat kaku saat digerakkan. Tidak merespon keinginan Bree untuk berjalan dengan baik.

Bree bergerak, menyeret kakinya mendekati ranjang, melupakan keinginannya untuk minum. Bree memilih kembali ke atas ranjang.

Namun, Bree kembali terjatuh karena selimut yang dia pakai untuk berpegangan, ikut tertarik ke bawah, menutupi tubuhnya yang kembali terhempas.

“Bodoh!” Bree mengamuk sambil mengacak selimut itu.

“Kebodohan macam apa ini?”

“AGHHH!”

Tentu saja Bree berteriak. Dia tidak mendengar apa pun, atau mungkin terlalu sibuk sampai tidak mendengar maupun melihat pintu kamarnya membuka.

Kini Rad berdiri di sampingnya, menunduk menatap Bree yang masih terbaring dengan selimut berantakan di lantai.

“Mau apa kau ke sini? KELUAR!”

Bree tidak ingin dilihat oleh siapa pun dalam keadaan lemah, terutama oleh Rad.

“Apa itu pantas dikatakan oleh orang yang bahkan tidak bisa mengangkat tubuhnya sendiri ke atas ranjang?”

Tidak sulit menebak apa yang dilakukan Bree.

“Apa latihan berkuda menyenangkan?” Sindiran dengan nada mengejek. Tentu Rad juga tahu apa akibat yang timbul bagi penunggang kuda pemula.

“PERGI DARI SINI!”

Bree mengusir kasar. Dia tidak butuh ejekan.

“Aku juga tidak ingin datang kalau kau tidak berisik bersuara seperti pohon tumbang.”

“Aku tidak berisik!”

Bree tahu bantahannya konyol. Dia ada di lantai dua, yang seluruh lantainya terbuat dari kayu. Suara jatuhnya pastilah terdengar cukup keras di lantai bawah.


“Aku tadi mengira ada badai yang membuat atap runtuh. Ternyata hanya suaramu sedang jatuh. Itu bukan termasuk tidak berisik.”

Rad berjongkok, sementara Bree bergeser mencoba menjauh, tapi uluran tangan Rad lebih cepat.

Kedua tangan Rad meraih tubuh Bree, mengangkatnya tanpa kesulitan.

“Kau ringan, tapi kenapa suara jatuhmu keras sekali?”

Pertanyaan yang menyentak Bree dari rasa terpana. Dia tidak menyangka sama sekali Rad akan mengangkat tubuhnya.

“LEPAS!”

Bree memekik, mendorong dada Rad, meronta berusaha turun. Tapi tangan Bree seolah mendorong tembok.

Dengan gerakan santai, Rad menggeser tangan yang ada di punggung Bree, mengeratkan pelukannya, agar Bree tak bisa lagi meronta.

“LEPASKAN! Kau akan membawaku ke mana?”

Bree terus memukul, meski tidak terlihat berefek apa pun pada Rad. Wajahnya sangat datar, tidak terganggu sama sekali.

“Kau itu mau ke mana?!”

“Kau bau sekali!” Rad mendesis, dan sesaat Bree berhenti memberontak.

“Tidak!” Bree jelas memprotes. Dia mandi sebelum tidur tadi.

“Kau tercium seperti Edmond!” Rad mengernyit dan mengerutkan hidung.

“Connerie!” (Omong kosong). Bree membentak Rad.

“Kau berdekatan dengannya?” Rad masih terlihat mengerutkan kening.

“Sudah jelas bukan? Dia mengajariku naik kuda. Tapi aku rasa hidungmu rusak, aku berdekatan tapi tidak sampai… Tunggu!”

Kepanikan Bree datang lagi dan kembali meronta, saat Rad memasuki kamar yang dipakainya setelah diusir oleh Bree. Kamar yang dipakai Bree adalah kamar Rad sebelum Bree datang.

Masih ada di lantai dua, berjarak tidak jauh dari kamar Bree, hanya diselingi ruang bersantai.

“Kau mau apa?!” seru Bree. Dia jelas tidak mau ada di dalam kamar yang sama dengan pria itu.

Rad masih memilih tidak menjawab pertanyaan Bree, dan terus berjalan ke kamar mandi yang ada di kamarnya.

“Aku tidak…”

Sebelum Bree menyelesaikan kalimat, Rad sudah melonggarkan pelukan tangannya lalu menunduk.

Dan tubuh Bree tenggelam dalam kehangatan.

Tubuhnya tenggelam dalam air hangat. Rad membawanya ke kamar mandi di kamarnya, untuk membuat Bree berendam dalam air hangat.

Bree yang sesaat tenggelam karena kebingungan, akhirnya berhasil duduk dengan berpegangan pada sisi bak yang terbuat dari kayu itu.

“Kau.. Uhuk!” Bree mulai terbatuk karena ada air yang memasuki hidungnya.

Bak mandi yang terbuat dari kayu itu lebih luas dan dalam dari pada yang ada di dalam kamar mandi miliknya.

Kepala Bree tadi terbenam karena terlalu banyak bergerak dalam usahanya untuk melepaskan diri dari Rad.

“Nyerinya akan berkurang dengan berendam air hangat,” ujar Rad.

Protes yang sudah menggantung pada ujung lidah Bree kembali tertahan, berganti dengan mulut ternganga.

Rad membawanya kesini karena tahu Bree sedang kesakitan, dan menyuruhnya berendam agar penderitaannya berkurang.

Ini perhatian yang membuat leher Bree tercekat.

“Dan itu pemandangan menarik. Kau lebih berisi dari apa yang aku bayangkan.”

Bree mengusap wajah -terutama matanya- yang basah, agar bisa melihat lebih jelas. Dia menatap Rad. Berdiri di samping bak dengan celana yang sedikit basah.

Mata Rad mengarah ke bawah, dan Bree mengikuti jalur mata itu, yang rupanya sedang memandang tubunya.

Bree hanya memakai gaun tidur, tanpa apapun di baliknya, kini dalam keadaan basah. Gaun longgar berwarna putih itu menempel ketat, tak lagi menyamarkan bentuk tubuh Bree.

Dan karena bahan yang tipis, terlihat jelas perbedaan warna bagian menonjol pada tubuh Bree, yang sejak tadi menarik perhatian Rad.

“PERGI!”

Hilang sudah sedikit haru yang dirasakan Bree, berganti jijik. Dia menyesal telah menilai Rad menjadi lebih baik. Sekejap tadi Bree tertipu. Tentu saja Rad akan lebih peduli pada tubuh wanita.

“KELUAR!”

Bree kembali berseru marah, menutup tubuhnya dengan meringkuk. Jika tak ingat dia tak ingin terlihat lemah di mata Rad, Bree ingin menangis.

Malu dan marah.
 

~~Kotor yang Dibenci~~

“Pergi, dan jangan pernah menyentuhku lagi!”

Bree membentak lebih keras, karena tahu Rad belum bergerak, dan kemungkinan saat ini sedang menatap punggungnya.

“Aku masih tidak mengerti kenapa kau membenciku.”

Rad akhirnya menunjukkan emosi, nada suaranya terdengar heran. Bree menoleh, menambahkan pandangan benci lain untuknya.

“Tak perlu mengerti! Itu terserah padaku!”

“Hmm… seharusnya tidak begitu. Kau adalah milikku, dan aku tidak melakukan…”

“AKU BUKAN MILIKMU, Pria Brengsek! Kita mungkin menikah, tapi bukan berarti aku milikmu! Kau…Agh!”

Bree berseru karena Rad entah bagaimana sudah mendekat dan menjepit kedua pipi Bree, memaksa Bree menatapnya.

“Aku memilikimu bukan karena pernikahan itu. Kau lupa? Kau tak akan hidup dan bernapas tanpa diriku! Kau milikku karena itu!”

Kesal. Bree kembali melihat wajah kesal Rad. Dia tidak suka dengan kenyataan Bree membencinya.

“Tidakkah kau seharusnya merasa berterima kasih padaku?”

Bree menarik lepas tangan Rad, dan kembali berpaling, meringkuk menutupi tubuhnya.

Rad benar, Bree lupa sama sekali.

Pada hari pernikahannya, ada sesuatu yang berubah, Rad menyelamatkan nyawanya saat itu, dengan membunuh perampok yang menyerangnya, pada saat yang tepat.

Umur pengulangan ini, nyaris berakhir dalam waktu singkat, jika Rad tidak menyelamatkannya saat itu. Bree memang berhutang nyawa padanya, meski dia juga yang menjadi sasaran balas dendam Bree.

“Kau tidak hanya tak berterima kasih, tapi juga membenciku? Tidakkah ini konyol?”

“Tu es sale!” (Kau kotor!)

Bree nyaris saja mengumpat, tapi berhasil memilih kata yang lumayan sopan. Meski akhirnya membuat Rad kebingungan.

“Apa? Aku tidak…”

“Kau telah memeluk banyak wanita lain dengan tubuhmu! Aku membencimu karena kau kau kotor! Kau lebih…”

Bree menghentikan lidahnya yang baru saja akan mengatakan ‘Kau lebih memilih mereka daripada aku’.

Ucapan itu adalah kecemburuan. Bree tidak sudi menunjukkan kecemburuan untuknya.

“Kau tahu?”

Bree melirik karena suara Rad telah menjauh. Pria itu telah kembali berdiri.

“Aku tidak buta!”

“Merepotkan!”

Begitu saja. Setelah mengucap kata membingungkan itu, Rad beranjak keluar.

“Camp! Panggil Aima!”

Terdengar suara Rad memanggil, sementara Bree mengusap wajahnya dengan air hangat. Dia menyembunyikan tangis, dan merasa bodoh.

Kenyataan bagaimana Rad sama sekali tidak membantah dia telah bersama wanita lain, ternyata sulit sekali diterima Bree.

Bantahan setidaknya akan menyelamatkan harga diri Bree sebagai istrinya, tapi tidak. Dia mengaku dengan sangat tenang, dan menempatkan Bree lebih rendah dari semua wanita itu.

Kenyataan yang pastilah membuat Bree membencinya, atau seharusnya seperti itu.

“Jangan bodoh! Jangan menjadi bodoh!” Bree berseru marah untuk dirinya sendiri, yang tadi begitu mudah condong pada harapan jika Rad berubah.

Bree meremas kedua pahanya dengan tangan, agar tidak lebih banyak lagi air matanya menetes. Pria itu tidak pantas mendapatkan air matanya.

“Duchess?”

Terdengar panggilan takut-takut dari arah pintu.

Bree tergesa meraup air di sekitarnya, membasuh wajah agar Aima tidak melihat air matanya.

“Ambil baju,” kata Bree, dengan suara sedikit serak, tapi jelas.

“Sudah, tadi Duke Valois sudah meminta saya untuk mengambil gaun Anda.” Aima menjelaskan, sambil berjalan menghampiri Bree.

“Saya rasa, Anda harus berendam beberapa lama lagi jika memang tubuh Anda sakit.”

Aima tentu mendengar penjelasan keadaan Bree dari Rad.

“Dimana dia?” tanya Bree.

“Duke Valois?” Aima tidak yakin Bree bertanya tentang siapa, baru mengerti saat Bree mengangguk.

“Kembali ke ruang kerja di bawah.”

Jawaban yang membuat otot tubuh Bree kembali lemas, lega Rad tidak ada di dalam kamarnya.

“Kalau begitu aku akan berendam sebentar,” kata Bree.

“Baik. Kalau begitu saya akan menaburkan garam.”

Aima membuka kotak kayu yang dia bawa, dan menaburkan beberapa sendok garam dalam air mandi Bree.

Garam dan air hangat memang manjur untuk mengurangi pegal kaku karena nyeri otot. Bree beringsut, bersandar pada tepi bak kayu itu. Menenangkan diri, mengumpulkan akal sehat agar tidak lagi goyah.

Jika menuruti emosi, Bree mungkin akan secepatnya pergi dari kamar ini, dan kembali ke kamarnya.

Namun, bagi Bree itu adalah keputusan bodoh karena Bree butuh sembuh. Jika berendam air hangat ini akan membuatnya lebih cepat sembuh, maka Bree akan menjalaninya.

Mengesampingkan bagaimana caranya sampai pada keadaan saat ini. Bree ingin cepat sembuh dan menjalankan rencananya.

Dengan begitu sakit hatinya akan terbalas.

***

Bree menghabiskan waktu di dalam bak air hangat itu kurang dari setengah jam. Bree tidak keberatan lebih lama lagi, tapi setengah jam membuat air isi bak sudah dingin.

Jika diteruskan ototnya akan kembali kaku. Dibantu oleh Aima, Bree merapikan diri di dalam kamar mandi itu. Memakai baju yang dibawa Aima, dan mengeringkan rambut.

Perjalanan kembali ke kamar juga tidak dramatis seperti tadi. Rad masih tidak ada di kamarnya, jadi Bree sampai di kamarnya kembali tanpa hambatan.

“Anda akan langsung tidur?” tanya Aima.

Bree mengangguk sambil duduk di atas ranjang. Begitu tubuhnya kering dan hangat, Bree diterpa kantuk dahsyat.

“Duchess, Anda harus meminum ini.”

Aima menyodorkan gelas piala yang berisi cairan berwarna coklat tua.

“Apa ini?” Dari aromanya yang jauh dari manis, Bree bisa menduga itu obat, tapi tidak tahu obat apa.

“Ini agar anda tidur lebih nyenyak. Duke Valois tadi meminta dapur menyiapkannya.”

Dan Bree kembali membenci dirinya. Hatinya begitu mudah dipermainkan. Tadi dia sudah bertekad membenci Rad setengah mati, tapi kini kembali dengan mudahnya Bree berubah dengan setitik perhatian itu.

Perhatian ini kembali membuat Bree berharap, padahal dia tahu benar jika ini semua pada akhirnya hanya akan membuatnya sakit hati.

Bagaimanapun perhatian Rad padanya saat ini, pada akhirnya dia akan menjatuhkan pilihan pada Amber dan mengabaikannya.

Sebagian diri Bree ingin mengubah masa depan ini, mungkin dengan mencegah Rad bertemu Amber. Tapi untuk apa?

Pada akhirnya Rad tetap saja pria brengsek yang memilih tidur bersama wanita lain daripada istrinya pada malam pernikahan.

Pria yang menghabiskan puluhan malam berganti wanita yang berbeda.

Pria yang tidak bisa diharapkan.

Bree ingin membencinya, dan akan lebih mudah jika pria itu mengabaikannya. Perhatian ini membuat pikiran Bree berkabut.

Bree mengatupkan kedua tangan, sementara jempolnya bergerak mengelus cincin di jari manisnya. Cincin pemberian ibunya yang Bree pakai untuk memberi rasa tenang dalam hati.

Namun, jempol Bree berhenti bergerak, cincin yang tersentuh berbeda bentuk.

Bree menunduk, dan sadar jika jarinya masih berisi cincin pernikahan yang diberikan Rad.

“Aima, tolong ambilkan kotak itu.”

Bree menunjuk kotak di atas meja rias miliknya.

“Tapi ini…” Aima mengangkat piala berisi obat tadi.

Bree menyambar, dan meminum tanpa berpikir. Seperti tadi, Bree berpikir praktis. Dia membutuhkan tidur nyenyak untuk sembuh, maka dia akan meminumnya tanpa berpikir dari mana asal obat itu.

Berpikir seperti itu tidak bisa menghapus harapan Bree pada Rad, tapi setidaknya tubuhnya sehat.

“Kotak,” kata Bree, dan Aima mengangguk. Dia bergegas mengambil kotak dan menyerahkannya pada Bree.

Bree terburu-buru membuka, mencari cincin ibunya. Saat di Le Mans, Bree tidak pernah melepaskan cincin warisan itu dari jarinya.

Tapi di sini, Bree tidak bisa memakainya karena cincin sederhana itu dianggap buruk dan tidak pantas dikenakan oleh seorang Valois. Pendapat Irene tentu saja.

Karena itu Bree melepaskan cincin itu, dan memasukkannya ke dalam…

“Tidak ada?” Bree menuang isi seluruh kotak itu di ranjang, tapi cincin ibunya itu tidak ada. Hanya ada sedikit perhiasan yang dia bawa dari Le Mans.

Bree lalu menyadari sesuatu.

Dia seharusnya tidak pernah memasukkan cincin ibunya ke dalam kotak, karena di alur waktu yang ini, Irene tidak berani menegurnya.

Bree mengangkat tangan, menatap jari manis yang berisi cincin pernikahannya. Seharusnya cincin itu tetap ada di jari tengahnya.

Bree tidak menyadari dimana keberadaan cincin itu dimana sampai hari ini, karena merasa cincin itu selalu ada di jarinya.

"Aima, tolong bereskan."

Bree menyerahkan kotak itu, dan kembali melamun sementara Aima bergerak.

Bree merebahkan tubuh dengan kening berkerut. Dia tidak akan menuduh siapapun mengambil, karena cincin itu tidak berharga. Itu bukan perhiasan, lebih mirip cincin mainan. Terbuat dari tembaga dengan mata batu alam berwarna kebiruan.

Kemungkinan kecil cincin itu jatuh, karena cincin itu sedikit terlalu sempit, sulit sekali melepaskan cincin itu dari jarinya.

Kemana cincin itu?

~~Julukan yang Mengerikan~~


Dua hari.

Dua hari penuh Bree harus beristirahat agar tubuhnya pulih. Dan ini membuat Bree jengkel. Rencana latihannya mundur karena tubuhnya yang lemah. Tubuhnya tidak bisa dipaksa untuk latihan.

Kini setelah pulih, Bree benar-benar bertekad meneruskan rencana, dan berharap tak ada lagi yang mengganggunya.

Bree berjalan terburu-buru keluar dari kastil, melewati pintu samping. Terlalu terburu-buru, sampai hampir menabrak Irene yang kebetulan akan berjalan masuk ke dalam.

Tidak ada tabrakan yang terjadi, hanya saja Irene harus berpegangan pada tembok agar tidak jatuh. Bree tidak repot-repot meminta maaf tentu saja. Dia hanya melirik sambil meneruskan langkah lagi.

“Kasar sekali! Gourgandine!” Irene menggumam dengan cukup keras.

Dia tidak berani menegur langsung, dan hanya bisa menggerutu. Biasanya Bree hanya berjalan berpura-pura tidak mendengar, tapi ucapan Irena kali ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

“Maaf, tadi Anda mengatakan apa?”

Bree berbalik, menatap Irene yang menggeleng.

“Tidak ada. Kau salah dengar.”

Bree tersenyum sambil mendecakkan lidah.

“Saya sudah mendengar tadi!” Bree berusaha sopan, meski amarahnya memuncak.

“Saya tidak akan tersinggung jika saja tadi Anda tidak mengatakan kata itu, tapi yang Anda ucapkan adalah ironi. Anda menyebut sesuatu tentang perilaku saya yang kasar, tapi ucapan itu sendiri jauh lebih kasar dari sekedar perilaku kasar. Mungkin Anda memerlukan pengingat tentang apa yang saya ketahui?”

Bree bisa melihat warna merah kesal merambat naik pada leher Irene, tapi bibirnya mengatup erat. Tidak berani melawan Bree.

“Lain kali bicara dengan hati-hati!”

Bree menyudahi luapan amarahnya, sambil menatap tajam Irene. Wanita itu melengos, lantas berjalan masuk ke dalam kastil dengan langkah kaki menghentak.

Beberapa helai rambutnya yang berwarna abu-abu terlepas dari tatanan, bergoyang karena tubuhnya gemetar menahan murka.

Bree mendesah diiringi napas berat. Dia ingin menjalani hari tanpa amarah hari ini, tapi ternyata mustahil.

Umpatan yang dipakai Irene sangat kasar. Gourgandine berarti jalang. Bree tidak mungkin diam saja setelah mendengar itu.

Umpatan itu lebih cocok dikatakan untuk Rad bukan dirinya. Sayangnya kata jalang itu hanya berlaku untuk wanita, sedang untuk pria cukup disebut dengan tidak setia. Bree ingin sekali menyamakan standar ini.

Bukan hanya wanita yang bisa disebut murahan, pria seharusnya juga sama.

Penyebab lain amarah Bree sangat mudah terpancing oleh kata itu, karena dia sudah mendengarnya entah ratus kali. Hampir semua orang mengumpatkan kata itu pada Bree, saat dirinya berada di dalam penjara.

Tuduhan yang membuat Bree terhukum mati, diantaranya adalah berselingkuh dengan Benjamin. Pangeran negeri Frankia. Bree tentu saja tidak melakukannya.

Karenanya kata itu sensitif untuk Bree.

“Anda akan tetap menemu Sir LeBlanc?”

Aima yang ada di belakangnya menyahut saat Bree kembali berjalan menuju bangunan barak yang terpisah dari bangunan kastil utama. LeBlanc adalah nama belakang Edmond.

“Tentu saja!” Bree ketus menjawab.

Dia tidak akan mengubah niat hanya karena Irene.

Wanita itu menyebutnya jalang tentu dengan berbekal informasi bagaimana dia dekat dengan Edmond.

Kemarin Aima memberi info bagaimana pelayan bergosip tentang dirinya yang berlatih berkuda dengan Edmond.

Berita panas, karena semua orang di kastil ini tahu jika Rad dan dirinya tidak pernah menghabiskan malam bersama.

Sebutan jalang itu kembali melekat pada Bree, tetapi dengan alasan yang berbeda. Bree disebut sebagai istri yang kurang ajar karena tidak melayani suaminya, dan berselingkuh dengan Edmond.

Namun, bagi Bree semua itu adalah persetan. Gosip itu tidak bisa membunuh dirinya, selama dia bisa menyelamatkan ayahnya.

Berita perselingkuhan Bree dengan Benjamin menjadi besar, karena tuduhan pertama sebagai pembunuh ayahnya dirasa belum cukup untuk untuk mendiskreditkan dirinya. Karena itu hakim memberinya tuduhan berzina dengan Ben, untuk memperburuk Citra dirinya di masyarakat.

Langkah yang berhasil, karena Bree menjadi perempuan sundal yang paling dibenci masyarakat saat itu. Tidak ada yang keberatan dengan hukuman mati itu.

Bree sekarang paham, dia hanya harus memastikan agar ayahnya tidak terbunuh, maka semua nasibnya akan berbalik.

Untuk itu dia memerlukan Edmond saat ini, karena pastinya dia akan melawan siapa pun orang membunuh ayahnya nanti.

***

“HEI!”

“APA..”

Berbagai keluhan dan juga teguran langsung muncul begitu Bree membuka pintu barak, tapi semua mulut langsung diam mengatup saat melihatnya.

Berbeda dengan tangan mereka, dengan terburu-buru mengambil baju atau kain apa saja untuk menutupi tubuh mereka yang setengah telanjang.

Barak itu diisi oleh prajurit laki-laki yang sedang bersiap untuk melakukan latihan sore. Kebanyakan dari mereka sedang menukar baju biasa dengan perlengkapan baju zirah pertempuran.

Seharusnya Bree mengetuk terlebih dahulu, tapi karena sudah sangat kesal akibat gangguan Irene, dia membuka pintu itu begitu saja. Lupa jika isi bangunan itu adalah laki-laki.

Kini semua laki-laki bertubuh liat tanpa baju yang lengkap semua kebingungan memandang Bree, yang sesaat juga kebingungan. Tapi tidak lama,

Bree yang dulu mungkin akan berteriak dan berlari malu. Bree yang sekarang tetap merasa terkejut, tapi wajahnya tertatih untuk selalu bersikap ketus. Dia berhasil menyembunyikan rasa terkejut dan malu. Meski jantungnya mencelos, wajahnya tetap datar.

“Dimana Edmond?” tanya Bree.

“Sir LeBlanc sudah ada di lapangan.”

Salah satu prajurit menunjuk ke arah lapangan samping barak. Edmond adalah Knight pemimpin pasukan. Dia harus bersiap terlebih dahulu untuk memberi contoh rajin.

Tak ada kata terima kasih atau apapun, Bree hanya berbalik sambil diam-diam menghembuskan nafas lega.

Sejak tadi Bree menahan nafas karena tegang. Setelah malu dan terkejut, muncul sedikit rasa takut dalam pikiran Bree. Kerumunan pria itu membuat bayangan kelam yang menyebabkan Bree bermimpi buruk hampir setiap malam, datang tiba-tiba.

Sambil berjalan menghampiri Edmond yang terlihat sedang mengayunkan pedang, Bree menghembuskan nafas dalam-dalam, mengusir bayangan kelam di dalam pikirannya. Dia harus tenang saat ini.

Edmond membungkuk begitu melihat Bree.

“Aku ingin pelajaran ilmu pedang itu segera dimulai.” Bree tidak membuka dengan sapaan.

Edmond menegakkan tubuh memandang Bree, sekilas saja. Memandang lebih lama akan terhitung kurang ajar.

Bree kini geli dengan gosip yang beredar. Edmond bahkan tidak mau memandangnya. Gosip itu tidak bisa lebih salah lagi. Lagi pula dia terlalu setia pada Rad untuk melakukan hal seperti itu.

“Maaf, saya rasa ini bukan ide yang bagus.”

Edmond membungkuk, lalu menjawab dengan perlahan. Dia tidak ingin terlihat bersama Bree lagi seperti kemarin.

“Apakah kau peduli dengan gosip itu? Aku tidak peduli! Aku hanya ingin belajar pedang dan kau harus mengajariku!”

Bree menuntut dengan tegas.

Edmond menggeleng.

“Saya mendengar gosip itu, tapi saya menolak bukan karena gosip itu semata. Duke Valois tidak mengizinkan...”

“Maksudmu Radford tidak mengizinkan kau mengajariku?” Bree memotong dengan nada tinggi.

“Bener, Duke Valois tidak memberi izin kepada saya untuk…”

“Di mana dia sekarang?” Bree kembali menyela.

Dia tidak perlu penjelasan panjang. Bree dia sudah paham apa yang ingin dikatakan Edmond. Kini berarti Bree harus bergeser ke rencana yang lebih menjengkelkan, yaitu memaksa Rad untuk memberi izin.

“Beliau ada di kastil, sedang…”

Bree tentu saja tidak mendengar kalimat Edmond dengan lengkap, sekali lagi merasa tidak perlu.

Dia meninggalkan Edmond begitu saja. Membuat pria itu menggelengkan kepala dengan heran. Duchess yang ini sungguh terlalu berbeda dengan wanita pada umumnya.

Bree berjalan ke dalam kastil dengan langkah yang lebih lebar.

Hari tenang yang diimpikannya sepertinya jauh sekali dari jangkauan. Sekali lagi Bree perlu untuk marah. Rad seharusnya tidak perlu melarang seperti ini, dia tidak berhak.


~~Aroma yang Menganggu~~
 

Bree berjalan tanpa menoleh kanan dan kiri, langsung menuju ke ruang kerja Radford

Jika ada di kastil, kemungkinan hanya ada di dua tempat Rad berada. Kalau tidak di kamarnya, berarti ada di ruang kerja. Saat ini hari belum sore, jadi kemungkinan besar dia ada di ruang kerja.

Bree berjalan menuju ruang kerja yang ada pada bagian selatan kastil, dan membuka pintu tanpa permisi. Kesalahan kedua Bree hari ini, akibat terlalu terburu-buru.

Ruangan itu memang tidak berisi pria bertubuh liat setengah telanjang, tapi ruangan itu berisi pria-pria tua yang merupakan bawahan Rad. Mereka sedang memberikan laporan.

Ada lima orang di sana termasuk Rad, dan Bree kembali menjadi pusat perhatian. Terutama dari Rad, yang terlihat tidak suka dengan gangguan itu.

“Aku ingin bicara.” Bree menyahut terlebih dulu, sebelum Rad bisa mengucapkan satu patah kata

“Jika kalian belum tahu, perkenalkan, ini adalah Duchess Valois.”

Rad memperkenalkan dengan wajah datar. Semua yang ada disana langsung berdiri, dan membungkuk memberi hormat dengan bungkukkan badan.

Bree menekuk lututnya sedikit sebagai balasan, kepalanya masih tegak, malas menunduk.

“Aku rasa pertemuan ini kita sudahi sampai disini saja. Aku sudah memberi perintah yang jelas tadi. Aku harap kalian melaksanakannya. Jika ada masalah atau ada yang ingin kalian tanyakan, kirim surat saja.”

Rad mengakhiri pertemuan itu, keempat orang anak buahnya itu berpamitan satu demi satu, juga kepada Bree yang kini berdiri di samping pintu, agar tidak menghalangi mereka keluar.

Rad menunggu sampai mereka semua keluar, lalu menatap Bree.

“Apa yang ingin kau bicarakan sampai harus mengganggu pekerjaanku seperti ini?”

Rad meletakkan tangan di meja, sementara Bree menghampiri dan berhenti tepat di depan meja kerja, yang penuh lembaran kertas berwarna kekuningan.

“Kenapa kau melarangku untuk berlatih pedang dengan Edmond?” Bree tidak akan berbasa-basi.

“Apa kau baru saja bicara pada Edmond?” Rad malah bertanya balik.

“Apa itu penting? Aku bertanya kenapa kau melarang Edmond untuk melatihku?!”

“Tubuhmu berbau seperti Edmond lagi!” Rad menarik tubuhnya menjauh, kembali terganggu dengan aroma apapun yang dibawa tubuh Bree.

Bree mengernyit, kedua kalinya Rad membahas hal tidak penting seperti ini.

“Kau itu bicara apa?” Bree mengendus lengannya, yang tentu saja beraroma biasa.  Aroma pewangi gaun yang dipakainya saat ini.

Tidak tercium aroma yang aneh di sana. Lagipula mustahil aroma Edmond menempel pada tubuhnya, karena mereka tadi berdiri dengan pada jarak satu langkah kaki yang lebar.

Saat melatihnya menunggang kuda, Edmond berada dalam jarak yang lebih dekat, tapi malam itu dia sudah mandi. Tidak mungkin juga Rad bisa mengendus aroma Rad.

Pernyataan Rad sangat aneh.

“Tidak mungkin aroma tubuh Edmond menempel padaku! Aku tidak pernah memeluknya! Tidak sepertimu yang sangat murah dan memeluk wanita lain! Tubuhmu yang seharusnya berbau busuk di sini, bukan aku!” tandas Bree dengan tajam.

Namun, kemudian Bree menyesal. Dia berbicara terlalu banyak padanya. Bree merasa dia terlalu menunjukkan emosi kecemburuan. Seharusnya dia tidak menyebut apapun tentang wanita lain lagi.

Wajah Rad yang pucat terlihat semakin menyeramkan. Kedua alisnya kini bertemu, tapi dia diam saja.

Rad mengatupkan tangan dengan rahang mengeras. Jelas ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi menahan diri.

Bree sebenarnya tidak keberatan jika Rad marah. Bree lebih menyukai perdebatan, dari pada bertanya-tanya apa yang melintas dalam kepala Rad.

Namun, Rad memilih diam. Ini tidak mengejutkan bagi Bree. Memang Rad jarang mau berdebat. Jika marah, biasanya Rad hanya pergi begitu saja.

Selama beberapa saat mereka hanya saling memandang. Sampai akhirnya wajah Rad kembali datar.

“Kemarin kau ingin berlatih berkuda, dan sekarang ingin mempelajari pedang. Sebenarnya ada apa ini? Kau ingin melakukan apa?”

Pertanyaan itu sudah kembali dilontarkan dengan nada datar.

“Bukan urusanmu aku ingin melakukan apa! Dan memang kenapa kalau aku ingin belajar tentang pedang? Apakah salah? Aku tidak mau sampai harus berhutang nyawa pada seseorang lagi. Apalagi jika orang itu akhirnya menyebut-nyebut jasanya itu, dan merasa bisa menguasiku hanya karena hal itu.”

Bree menyindir keras, dengan sedikit senyum sinis.

Rad akhirnya juga ikut terpancing, dan menyunggingkan senyum sinis yang sama.

“Alasanmu tapi tidak masuk akal. Kau ingin berlatih pedang dengan Edmond bahkan sebelum kau merasa berhutang nyawa padaku. Aku harus mengingatkan tentang berhutang nyawa itu kemarin dulu, sementara kau meminta Edmond untuk mengajarimu sebelum kita membahas soal hutang nyawa. Tidak mungkin tujuanmu berlatih ilmu pedang hanya sekadar tak ingin berhutang nyawa padaku! Alasan ini tidak tepat.”

Bree berkedip cepat, tidak menyangka Rad akan ‘menyerang’ dengan kalimat sepanjang itu.

Bree kembali melupakan satu hal. Rad bukan orang yang mudah dibohongi, dia pintar. Empat bulan waktu bersamanya, Bree sudah bisa menyimpulkan otak Rad tajam. Jika ingin melawannya, Bree harus bisa memberi alasan yang lebih baik.

“Aku…”

Bree memutar otak, sibuk memilih jawaban di dalam kepalanya.

“Aku ingin bisa melindungi diri saja, karena kejadian hampir mati itu.” Bree membelokkan sedikit alasan yang ada,

“Maksudmu niat ini timbul karena kau ketakutan saat diserang kemarin?”

Bree mengangguk.

“Aku ragu.” Meski wajahnya tidak menunjukkan keraguan, tapi jelas Rad masih curiga.

“Bukan urusanku apakah kau percaya atau tidak! Itu adalah alasanku. Sekarang katakan pada Edmond kau mengijinkannya untuk melatihku!”

“Tidak!” Penolakan itu datang begitu cepat, dan tangan Rad terangkat saat Bree terlihat ingin memprotes.

“Aku akan mengizinkanmu berlatih pedang, tapi bukan Edmond yang melatih.”

“Oh?” Bree terkejut atas persetujuan itu, sampai tidak bisa berkata-kata selama beberapa saat. Dia tidak mengira Rad akan menyetujui secepat ini.

“Eh, tapi kenapa bukan Edmond? Dia Knight dengan permainan pedang paling hebat diantara Knight yang lain!” protes Bree. Izin dari Rad belum lengkap. Bree ingin Edmond yang melatihnya.

Mata Rad kembali menyipit.

“Dari mana kau tahu itu? Dari mana kau tahu Edmond pemain pedang terhebat di jajaran Knight?” tanyanya.

“Itu…” Bree terdiam. Dia tahu ini dari Rad, di jalur waktu yang dulu. Bree pernah bertanya kenapa Rad selalu membawa Edmond, dan jawabannya itu tadi.

Masalahnya mereka belum, dan kemungkinan tidak akan melakukan percakapan itu pada alur waktu yang sekarang.

“Dari Edmond. Dia mengatakannya padaku saat kami berlatih berkuda.”

Edmond kemarin mengatakan dia direkrut karena permainan pedangnya, tidak sampai mengatakan permainan pedangnya yang paling hebat. Alasan Bree sangat lemah. Jika sampai Rad bertanya pada Edmond, maka habislah sudah.

Rad masih curiga, karena terus memandang Bree, sampai Bree merasa perlu memintanya berhenti memandang.

Bree tidak mungkin melawannya lagi, jika Rad terus ‘menggodanya’ dengan mata itu. Mata hazel itu mungkin bagian wajah Rad yang paling bisa membuat lutut Bree lemas.

Mata itu sering terlihat tanpa emosi, tapi menurut Bree indah. Begitu jernih, dan semakin indah saat ada emosi yang mengisi. Sangat jarang, tapi Bree dulu selalu menanti saat dimana hal itu terjadi.

Saat ini… Bree tidak ingin mengenang semua pesona Rad.

“Aku ingin Edmond!” Bree berhasil kembali ke akal sehat.

“Tidak!” Mata hazel itu terisi emosi. Dia kesal.

“Tapi kenapa? Aku harus…”

“Jika kau memilih Edmond karena permainan pedangnya yang paling baik diantara semua Knight, maka orang yang akan melatihmu nanti, punya ilmu pedang yang lebih baik darinya.”

Kejutan lagi, Bree terdiam lagi karena tercengang.

“Itu.. Siapa? Siapa yang lebih hebat dari Edmond?” Bree ingat Rad tidak pernah menyebut orang hebat selain Edmond.

“Aku.”

Jawaban singkat yang ini, lebih mengejutkan dari semua ucapan Rad sejak tadi.

“Kau? Kau yang akan melatihku?” Bree jelas tidak percaya.

“Ya, paling tidak dengan begini tubuhmu tak akan beraroma Edmond.”

Rad bangkit, dan berjalan keluar setelahnya, tidak menunggu sampai Bree pulih dan kembali marah.

Bree sendiri tak ingat untuk marah karena pembahasan aroma Edmond. Dia terlalu terkejut dengan kenyataan Rad yang akan melatihnya bermain pedang.


~~Kebingungan yang Dimanfaatkan~~

Pagi ini, Bree melangkah menuju halaman samping dengan hati penuh rasa bimbang. Dia sedang menimbang baik buruknya situasi yang dialaminya kemarin. Situasi yang di luar dugaan.

Keadaan dimana Rad yang melatihnya bermain pedang, tidak mungkin pernah terbetik dalam benak Bree. Dia termasuk dalam alasan kenapa Bree ingin berlatih pedang. Pria itu termasuk orang yang akan menjadi sasaran balas dendamnya.

Selain dendam karena ketidaksetiaan serta pengabaian saat Bree mendapat tuduhan itu, ada kemungkinan Rad terlibat dalam peristiwa pembunuhan ayahnya. Kemungkinan kecil memang, tapi bukan tidak ada.

Dengan  Bree terhukum mati, Rad mendapat keuntungan hingga bisa dengan bebas menikah dengan Amber, tapi ini keuntungan sepele jika dibanding nyawa ayahnya. Jika seperti itu, Rad atau Amber cukup membunuh dirinya saja.

Bree paham, ada konspirasi lebih besar dibalik pembunuhan ayahnya, apalagi kemudian ada bukti mengarah pada kudeta King Bourbon. Kematian ayahnya jauh melebihi persaingan cinta memperebutkan Rad.

Perkiraan kasar Bree mengarah ke Rad sebagai Valois karena keluarganya lah yang akan menguasai tahta jika Bourbon dan Donovan tak ada.

Bree berjalan sambil bergumam, mengulang peta politik Frankia dalam kepalanya, agar tidak sembarang mengambil kesimpulan.

Bourbon, Donovan dan Valois berasal dari satu nenek moyang. Saat ini yang menguasai tahta adalah Bourbon sebagai anak pertama dulu. Donovan dan Valois masing-masing menempati satu daerah kekuasaan sebagai Duke.

Namun, masing-masing memiliki jalur untuk mengambil tahta jika terjadi sesuatu kepada Bourbon. Tetapi tidak ada perang saudara di negeri Frankia selama hampir ratusan tahun, karena bisa dikatakan ketiga keluarga itu berdamai. Donovan dan Valois mengakui kedudukan Bourbon.

Pada generasi ini, Donovan atau Ayah Bree memiliki posisi yang paling lemah, karena dia tidak memiliki pewaris sebagai pemegang gelar Duke Donovan yang berikutnya, karena kedua anaknya adalah perempuan.

Perjodohan antara Donovan dan juga Valois, merupakan pukulan bagi Bourbon karena dua keluarga saingannya bersatu, tapi Bree tahu ayahnya menerima perjodohan ini bukan karena ingin bekerja sama dengan Rad menggulingkan Bourbon.

Alasan Bree tidak keberatan dengan perjodohan ini karena Le Mans membutuhkan Marseilles agar ekonominya tidak runtuh.

Marseilles mendapat kekayaan dari nelayan dan juga perdagangan, Le Mans selama ini mendapat kekayaan dari pertanian dan juga tambang. Hanya beberapa tahun ini, Le Mans mendapat cobaan berat. Mulai dari wabah tanaman, sampai salah satu tambang bijih besi yang menjadi tulang punggung Le Mans produksinya jauh berkurang, karena habis habis terkuras.

Perekonomian Le Mans goyah, karena itu ayahnya memutuskan untuk menerima penawaran Valois. Inilah misterinya.

Bree tidak tahu apa tujuan Rad menawarkan perjodohan itu. Tapi Bree sulit membayangkan Rad akan mencoba untuk melakukan kudeta, karena Rad dan Benjamin berteman akrab.

Namun, di sisi yang lain, apabila ayahnya meninggal dengan catatan ada usaha kudeta, maka hanya Rad yang bisa menjadi tersangka. Karena hanya dia yang pasti naik tahta, ketika Bourbon dan Donovan sama-sama tidak lagi bisa menguasai tahta.

Kesimpulan ini membuat Bree semakin merasa ironis, karena berarti dia akan berlatih bersama dengan orang yang kemungkinan adalah ‘musuh’.

Tapi mungkin saat ini adalah saat dimana Bree memanfaatkan musuh yang ada untuk keuntungannya.

Bree perlahan tersenyum memikirkan hal itu.

Bree tidak tahu bagaimana jadinya kemampuan memakai pedangnya nanti, tapi setidaknya dia sudah berguru pada orang yang tepat. Tentang apakah Rad adalah musuhnya atau tidak, Bree bisa memikirkannya nanti. Saat ini dia akan fokus pada memperkuat dirinya.

Lagi pula kalaupun Rad bukan musuh. Bree masih ingin membalas dendam atas sakit hati padanya. Hanya Bree belum menemukan cara yang ampuh.

“Duchess?”

Bree menghentikan langkah dengan sedikit sentakan, karena Aima memanggil sambil menahan lengannya.

“Duke ada di halaman,” kata Aima, menunjuk Rad.

“Oh!”

Terlalu larut dalam lamunan politik yang memusingkan itu, Bree melewatkan tempat tujuannya, yaitu halaman samping. Tempat yang ditunjuk Rad untuk memulai latihan mereka kemarin.

Pria itu kini berdiri di bawah kerimbunan pohon dengan mata menatap Bree.

Bree tidak mengucapkan apapun setelah mendekat. Meski Bree tahu dirinya telah melakukan kesalahan. Karena melamun, perjalanannya ke sini menjadi sedikit lebih lama, dan membuat Radford menunggu. Bree salah, tapi dia tidak akan pernah meminta maaf pada Rad.

Bagi Bree, kesalahannya hanya berupa titik debu jika dibanding dengan kesalahan berat Rad pada dirinya.

“Salah satu syarat untuk berlatih dan belajar ilmu apapun adalah disiplin. Jika pertama saja kau sudah terlambat seperti ini, masa depanmu untuk menguasai pedang tak akan cerah!”

Rad menegur, tidak terkesan dengan sikap Bree yang seenaknya itu. Tapi Bree juga tidak terkesan pada sikap Rad jadi dia mendengus.

"Jika aku sudah terlambat, maka lebih baik kita segera memulai pelajaran, daripada menghabiskan waktu bicara."

"Kepribadianmu sangat menyenangkan bukan? Aku yakin kau memiliki banyak teman yang kagum dengan sikap baikmu itu."

Sindiran penuh ironi yang diucapkan Rad dengan sengaja.

Jika hubungan mereka dalam keadaan baik-baik saja, mungkin Bree tidak akan mengenali kata-kata sinis itu, dan menganggap Rad sedang serius, karena diucapkan dengan nada serius.

"Bukan urusanmu aku punya teman atau tidak. Saat ini kau sedang membuang-buang waktu!"

Bree mengingatkan jika mereka belum mulai latihannya.

Rad melontarkan desahan berat, lalu menunjuk keranjang yang ada di bawah pohon.

"Ambil pedangmu," kata Rad.

Dia sendiri mencabut pedang miliknya yang telah menancap di tanah, persis di dekat kakinya.

Bree menurut, dan mengambil pedang di dalam keranjang. Tapi lalu mengernyit, dan kembali menatap pedang yang ada di tangan Rad.

"Kenapa kau memberiku pedang yang kecil, sedang yang kau membawa yang besar?"

Pedang yang ada di tangan Bree bermata tajam dan berujung runcing, tapi besarnya jauh jika dibanding milik Rad. Mungkin dua atau tiga kali lipatnya.

Rad memejamkan mata sejenak sambil menghela napas, lalu mengulurkan pedangnya pada Bree.

"Baiklah, kalau kau ingin memiliki pedang yang lebih besar, kita bertukar. Bawa ini!"

Bree menerima uluran pedang itu.

"Eh!"

Bree memekik, karena saat menerima pedang itu, tubuhnya tertarik ke depan, pedang itu terlepas begitu saja dari genggamannya. Beban pedang itu ternyata berat sekali.

Bree kini paham kenapa semua prajurit yang ada di barak kemarin, memiliki tubuh yang kekar.

Setiap hari mereka mengayunkan pedang berat seperti itu, tentu akhirnya akan membentuk otot tubuh mereka menjadi sempurna.

“Kenapa kau tidak menerimanya? Kau tidak menginginkannya lagi?"

Rad mengejek, sementara Bree kembali harus mengatupkan mulut rapat-rapat.

Bree menerima kekalahan yang amat memalukan. Siapa yang tahu jika pedang perbedaan berat pedang yang dipakai oleh Rad dan juga dirinya ternyata sangat jauh.

"Pedang yang kau pakai itu, adalah pedang untuk anak-anak. Biasanya dipakai oleh calon Knight yang memang sudah dilatih sejak kecil oleh keluarganya. Karena itu mereka membuat pedang kecil dan ringan. Khusus untuk pemula. Setelahnya berat pedang akan sesuai dengan perkembangan kemampuan," jelas Rad.

"Apa ini berarti suatu saat aku akan bisa memiliki pedang seperti itu?" Bree menunjuk pedang Rad.

Pertanyaan yang membuat Rad menunjukkan sisi lain pada wajahnya yang sangat jarang terlihat.

Rad tidak bisa mempertahankan wajah dingin dan tersenyum geli, sampai Bree merasa harus menengok dua kali karena tidak percaya Rad tersenyum tidak dengan sinis.

Senyum karena sesuatu yang lucu.

~~Pesona yang Mematikan~~

 

"Kau bermimpi terlalu jauh. Edmond saja tak bisa mengangkat pedang ini,” kata Rad, seraya mengambil pedangnya di tanah, dan melemparnya ke udara, lalu ditangkap dengan mudah.

Seolah dia baru saja bermain lempar tangkap menggunakan apel, bukan pedang tajam dan berat. Otot lengan Rad pastilah sangat kuat.

"Sombong sekali!"

Alih-alih mengungkap kekaguman, Bree mendesis jengkel. Tak mau mengakui kehebatan Rad.

"Memang kenapa jika berat? Bukannya pedang yang berat justru akan menghalangi ayunan pemakainya?" Di balik rasa jengkel itu, Bree bertanya tentang hal yang membuatnya penasaran.

"Salah. Pedang yang berat di tangan seseorang yang ahli, lebih mematikan daripada pedang yang ringan."

Rad berjalan mendekati pohon besar yang menjadi tempat mereka bernaung, lalu mengayunkan pedang berat itu memakai satu tangan, dengan amat cepat.

Bree bisa mendengar desau angin saat pedang itu melayang.

BAK!

Suara benturan pedang dan batang pohon yang begitu keras membuat Bree tersentak. Bree mengira pedang Rad hanya akan sedikit menggores, tapi benturan itu mencabik batang pohon keras, melemparkan serpihan kayu ke udara.

Pedang Rad tidak hanya melukai tapi menghancurkan. Pohon itu tidak tumbang, tapi hampir sepertiga batang pohonnya telah terkoyak. Mungkin hanya butuh tiga atau empat ayunan lagi, pohon yang berumur tiga puluh tahun lebih itu akan hancur.

“Kemarikan!” Rad mengulurkan tangan, meminta pedang yang ada pada tangan Bree.

Bree yang masih takjub memandang bagaimana batang pohon itu ‘terluka’, mengulurkan pedangnya tanpa banyak berpikir.

Rad kembali mengayunkan pedang kecil yang tampak seperti pedang mainan di tangannya, ke arah batang pohon.

Suara yang dihasilkan bahkan tidak membuat Bree mengedip. Sisi pedang tipis itu menancap cukup dalam, tapi hanya seperti itu.

“Kau lihat perbedaanya?” Rad menunjuk kedua luka yang ada pada batang itu.

“Pedang berat mematikan, pedang ringan melukai. Di medan perang, pedang berat lebih berguna, karena harus membunuh musuh yang kebanyakan memakai baju zirah yang terbuat dari besi. Pedang ini tidak berguna.”

Rad mengulurkan pedang itu kembali pada Bree, yang menerimanya sambil menelan ludah.

Rad hanya mengungkap sedikit kengerian peperangan pada Bree, tapi hal itu cukup untuk membuat tenggorokan Bree merasa kering.

Bree tidak mempelajari pedang untuk berperang, tapi tetap suatu saat dia harus mengarahkan pedang untuk melukai seseorang.

Rad kembali menarik perhatian Bree saat dia melempar pedang ke udara. Penjelasannya masih belum selesai.

“Seorang petarung pedang juga harus bisa bergerak semakin cepat saat pedang semakin berat. Ini mutlak. Pedang tidak boleh menghalangi gerakan penggunanya, dia adalah alat yang harus menunjang kemampuan penggunanya bukan menghambat. Karena itu selain mempelajari cara mengayunkan pedang, kau juga harus melatih kekuatan tanganmu. Tangan ringkih seperti itu tak akan bisa melukai apapun.”

Mata Rad menatap tangan Bree yang memang sama sekali tidak berotot. Dia hanya terbiasa memegang kuas, bukan pedang.

Tapi Bree melewatkan ejekan itu, dia kembali menatap Rad dengan seksama. Bree sedang terkejut, pada kenyataan jika Rad ternyata tidak main-main.

Dari semua penjelasan panjang itu, Bree bisa melihat jika Rad benar-benar serius mengajarinya. Saat kemarin Rad mengatakan akan mengajari, Bree mengira dia melakukan itu hanya untuk sekadar membuatnya diam.

“Hei!” Rad menjentikkan jari di depan wajah Bree.

“Apa kau baru saja mengabaikanku? Apa kau mendengar semua penjelasanku?”

Rad tidak bisa menyembunyikan rasa jengkel dalam teguran itu.

“Kau yang meminta ini, serius sedikit!” Lalu disambung dengan omelan lain, yang akhirnya membuat Bree tersadar.

Dia ke sini untuk belajar, bukan untuk mengagumi.

“Aku akan serius.”

Bree mengumpulkan tekad lalu berdiri lebih tegap menatap Rad.

“Begitu lebih baik.”

Mata Rad menyipit menilai niat, memastikan Bree sudah kembali memperhatikan tidak lagi melamun

Rad lalu mengangkat pedangnya. “Ikuti aku.”

Bree mengangguk. Menyalin pose Rad dengan sempurna.

“Tahap awal ini, kau tidak perlu melakukan gerakan yang rumit. Kau hanya harus membiasakan diri dengan keberadaan pedang yang ada di tanganmu. Kau harus terbiasa jika pedagang itu adalah kepanjangan dari tanganmu. Eratkan pegangan!”

Bree tersentak saat Rad tiba-tiba maju, menyentuh telapak tangan, memperbaiki genggaman tangannya.

“Pastikan kau menggenggam erat. Tidak akan berguna jika kau hanya memegangnya biasa. Kau ingat pisau yang dulu kau acungkan padaku? Mudah sekali bukan menjatuhkannya? Itu karena genggamanmu sangat longgar. Perbaiki itu dulu, genggam gagangnya seerat mungkin!”

Perasaan Bree terserang badai hebat, saat Rad kembali memberi perbaikan. Dia menggenggam tangan Bree yang teracung, menekannya sedikit. Mempraktekkan kekuatan yang harus dipakai oleh Bree, untuk memegang pedang itu.

Ini adalah pertama kalinya Rad menyentuh tangan Bree dengan rela seperti ini, tidak juga di alur waktu yang dulu.

Tangan Rad hanya pernah menggandengnya, saat mereka keluar dari gereja di hari pernikahan itu. Bree tidak menghitung itu rela, karena dia akan dipandang aneh jika tidak melakukannya.

Sedang malam kemarin itu Bree juga tidak akan memasukkannya dalam kategori sentuhan. Rad tidak menyentuh kulitnya secara langsung.

Tidak seperti saat ini. Tangan yang menggenggam ini terasa istimewa bagi Bree.

Tadinya Bree berharap tangan yang kasar, tapi ternyata telapak tangan Rad tidak kasar. Tidak juga halus seperti telapak tangannya sendiri. Tangan itu hanya terasa kokoh.

Namun, Bree sedikit terkejut karena tangan itu ternyata terasa sejuk di kulitnya, tidak hangat seperti bayangannya.

“Sudah benar.”

Suara Rad yang berat, akhirnya kembali menyentak Bree ke alam nyata. Dia mengedip, lalu mengatupkan rahang dengan sangat erat. Jengkel dengan keadaan dirinya sendiri.

“Ayunkan!”

Rad memberi perintah, sambil memberi contoh. Dia mengayunkan pedangnya dari bawah ke atas, dan Bree yang telah tersadar mengikutinya.

“Serampangan! Ikuti garis lurus! Tetapkan tujuan pedang pada satu titik, jangan sembarangan mengayun!”

Hujan kritikan dari Rad segera datang, dan perlu paling tidak sepuluh ayunan sebelum Rad akhirnya memberi penilaian lumayan.

“Ulangi. Lima puluh kali!”

Rad berdiri diam sambil bersandar pada pohon, sementara matanya menatap wajah Bree yang mulai berkeringat.

Rad bisa melihat dia lelah, apalagi napasnya juga tersengal, tapi Rad berencana untuk menambah jumlah ayunan pedang itu nanti.

Dia menikmati bagaimana Bree terlihat berusaha melawan kelemahan dirinya sendiri dengan wajah penuh tekad.

“Intéressante.” (Menarik)

Rad bergumam perlahan.

***

KLANG!

Bree membuang pedang miliknya ke lantai begitu dia sampai di dalam kamar. Tidak peduli jika suara bantingan itu akan mengganggu orang di lantai bawah.

“Saya akan menyiapkan air hangat lagi.”

Dengan terburu-buru Aima berlari keluar kamar, menduga jika amarah dan sikap Bree itu timbul akibat kelelahan.

Ya, memang Bree merasa lelah, tapi amarah ini tidak timbul dari rasa lelah. Bree sudah siap untuk merasa lelah. Bree sudah sadar jika tubuhnya tidak atletis berdasar pengalaman menunggang kuda. Dia tahu akan ada kesakitan lain yang dirasakannya malam ini.

Bree tidak marah karena rasa sakit dan lelah. Bree marah karena muak pada dirinya sendiri yang begitu mudah terbuai oleh keberadaan Rad.

Jika dulu Rad dalam keadaan jauh dan hanya menunjukkan sedikit emosi sudah bisa membuatnya lumayan tergila-gila, bagaimana mungkin hatinya sanggup menepis Rad yang sekarang?

Pria itu berbeda, ada sebagian besar brengsek yang sama, tapi detail kecil mengalami perubahan. Dia lebih manusiawi.

Bree menatap tangan yang tadi ada dalam genggaman Rad.

“Berhenti terpesona!”

BRAK!

Bree menghantamkan kedua telapak tangannya pada permukaan meja, rasa pedih panas kini melengkapi nyeri capek yang dia rasakan akibat latihan.

Bree menyimpan rasa sakit itu dalam otaknya, untuk mengingatkan jika terus seperti ini, maka dirinya akan menderita rasa sakit yang lebih lagi nantinya.

Tidak akan ada yang berubah jika dia terus bodoh dan mencintai Rad.

"Fokus, Bree! Kau harus fokus. Ini keajaiban yang langka. Kau harus bisa berubah!"

Bree mengepalkan tangan erat-erat. Mempertahankan tekad saat makhluk yang menggoda berwujud Rad, sungguh amat sulit.

~~Tubuh yang Lemah~~

Aima memandang langit kelabu yang menurunkan jutaan tetes air untuk yang kesekian kali. Saat ini sudah hampir malam, dan tentu kepanikannya bertambah.

Dia menunggu Bree yang belum pulang. Majikannya itu tadi meminta Aima agar tidak ikut karena akan naik kuda sejak dari kastil. Dan tentu saja Aima menurut karena dia tidak mungkin menyamai lari kuda.

Tapi kini kecemasan membuat Aima merasa perlu untuk ikut, jadi tahu apa yang terjadi. Hujan yang semakin lebat ini tentu membuat siapa saja akan mudah cemas.

“Duchess!”

Aima berseru lega, saat akhirnya melihat kelebat tiga ekor kuda, melesat memasuki gerbang belakang kastil di antara hujan lebat yang turun. Salah satunya kelebat berwarna putih dari Briar.

Bree tentu ada di atas punggung Briar. Meski tergesa, Bree memelankan laju kuda putih itu, untuk lebih berhati-hati, karena jalan menuju kastil sudah mulai tergenang air. Hujan mendadak seperti ini biasa dialami oleh Marseilles. Bree yang belum terbiasa dengan cuaca yang seperti ini.

Bree tadi berlatih berkuda di pantai seperti biasa, dengan ditemani oleh dua pengawal, yang kali ini diterimanya dengan lebih baik.

Bree paham jika tidak ada gunanya melawan perintah Rad yang itu. Bagaimanapun akan tetap ada orang yang akan mengikuti jika dia keluar gerbang.

Sebenarnya bisa saja Bree berlatih di halaman di depan barak yang biasanya juga dipakai berlatih oleh para Knight dan prajurit yang berjaga di kastil.

Namun, Bree tidak ingin menjadi tontonan gratis para pria yang kemarin dia lihat menghuni barak. Tidak lucu rasanya, jika saat dia berkuda, banyak prajurit dan Knight berlatih. Karena itu Bree memilih untuk keluar ke pantai yang sepi itu.

Tetapi keberuntungan belum memihak pada Bree hari ini, karena tiba-tiba saja cuaca berubah drastis saat sore.

Hujan turun dengan sangat lebat, memaksa Bree memacu Briar sekencang mungkin, dalam batas keberaniannya, untuk pulang. Tapi sudah terlambat, tubuhnya basah kuyup.

Sampai di teras kastil belakang yang sudah tertutup atap, tempat Aima menunggu, Bree melompat turun, dan meneteskan butiran air ke lantai batu.

“Oops!”

Bress nyaris saja terjatuh, tapi berhasil berpegangan pada punggung Briar. Kepalanya terasa sedikit ringan saat menjejak tanah. Bree beranggapan itu terjadi karena dia terlalu terburu-buru turun.

“Anda tidak apa-apa?" Aima menghampiri, dan Bree menggeleng.

“Tidak masalah. Aku hanya sedikit pusing tadi,” kata Bree, sambil menyerahkan tali kekang pada salah satu pengawal yang menemani.

Salah satunya ikut turun, karena dia yang akan membawa Briar kembali ke istal.

“Lebih baik anda segera mengeringkan diri,” kata Aima, mengikuti Bree berjalan masuk ke kastil.

“Anda bekerja terlalu keras.”

Dengan takut- takut, Aima menyampaikan pendapat sensitif. Bree biasanya akan kesal jika Aima membahas hal seperti ini, dan memang begitu. Bree langsung merasa kesal.

“Menurutku malah belum cukup!” Bree mengerutkan kening, bukan karena rasa kesal pada Aima, tapi kebingungan karena ruangan dalam kastil terlihat bergoyang di matanya.

“Duke Valois sedang tidak ada. Anda seharusnya bisa beristirahat lebih dulu sampai beliau kembali.”

Bree mendecakkan lidah.

“Aku tidak peduli dia ada atau tidak! Aku ingin berlatih agar lebih cepat menguasai kuda dan juga pedang. Ini tidak ada hubungannya dengan hadirnya Rad atau tidak. Aku akan berlatih dengan atau tanpa dirinya!”

Beri kembali menukas dengan sedikit tajam. Tak suka Aima mengira dirinya bekerja keras karena Rad.

Pria itu pergi selama empat hari terhitung semenjak mereka berlatih pedang bersama sampai hari ini. Bree tidak tahu dia pergi kemana, dan tidak peduli.

Ketidakhadiran Rad tentu bukan menjadi alasan Bree untuk bersantai, dan Rad juga tidak membuat Bree bersantai.

Dia tetap memberikan jadwal latihan kepada Bree. Rad memberi tugas pada Bree untuk mengulang gerakan mengayun yang sama dalam hitungan yang telah ditentukan selama tiga hari.

Gerakan dasar itu rupanya dipandang penting oleh Rad, jadi dia ingin memastikan Bree bisa menguasainya.

Dan Bree sangat patuh dengan itu.

Pagi hari Bree sudah berlatih, tanpa peduli bagaimana tangannya terasa pegal akibat melakukan ratusan kali ayunan pedang yang sama. Lalu siang sampai sore, Bree biasanya berlatih menunggang kuda di pantai, untuk membiasakan dirinya dengan hentakan tubuh kuda.

Hampir setiap malam Aima menyiapkan air hangat untuk merendam tubuh Bree yang kelelahan, akibat semua latihan itu.

Beberapa hari ini, Bree semakin menyadari jika tubuhnya memang benar-benar sangat lemah. Dia terlalu fokus pada melukis dulu, sampai tidak peduli dengan apapun.

Tapi memang jalan nasib yang dipilihnya kali ini lebih keras. Bree tak akan mengeluh. Dia harus terus berlatih.

“Aima? Apakah ada gempa?” tanya Bree.

“Apa maksud anda?” Aima kebingungan, sambil berlari kecil mendekati Bree, tapi saat sampai di samping Bree...

BRUGH! Tubuh Bree tersungkur ke lantai.

“Duchess!”

Aima berseru kaget, dan bersimpuh di samping tubuh Bree yang tidak bergerak.

“Duchess! Duchess!”

Aima memekik bingung, sambil terus memanggil dan menggoyangkan tubuh Bree, tapi Bree tidak bergerak.

Dengan wajah panik, Aima berlari ke bagian belakang kastil. Memanggil bantuan pelayan untuk membawa Bree ke atas. Dia takkan bisa membawa tubuh Bree sendirian.

Saat menyentuh tubuh Bree tadi, Aima bisa merasakan jika tubuh Bree terasa sangat panas. Wanita sinis yang dilayaninya itu, terserang demam.

***

“Selamat datang.”

Campy membungkuk saat Rad turun dari kuda, di halaman depan kastil. Dan dia langsung berjalan masuk, sementara wajahnya tampak jengkel.

Apa yang dialami selama tiga hari ini menguji mentalnya untuk bersabar, padahal sabar tidak termasuk dalam salah satu sifatnya.

Rad membuka tudung dan juga mantel paling luar yang dipakainya. Seluruh bagian mantel itu terbuat dari kulit, untuk menepis air hujan yang turun. Mantel itu tidak sempurna, karena masih banyak bagian tubuhnya yang basah, tapi paling tidak keadaannya tidak basah kuyup.

“Kau kembali saja ke barak,” kata Rad, saat sadar jika Edmond masih mengikutinya masuk ke kastil.

“Oh? Tapi bagaimana dengan masalah itu? Tadi Anda…”

“Besok saja! Aku lapar.” Suara Rad terdengar seperti geraman.

Edmond langsung paham, dan berhenti berjalan.

“Kalau begitu saya permisi.” Edmond membungkuk, lalu berbalik keluar.

“Saya akan menyiapkan hidangan anda.” Campy ikut berjalan cepat, menuju pintu keluar samping kastil.

Rad menepis basah pada lengannya, sambil berjalan cepat menuju tangga. Langkahnya berhenti, saat telinganya menangkap suara berdebum sesuatu terjatuh.

“Duchess!”

Rad berbalik, berpaling ke arah mana pintu belakang kastil berada. Letaknya jauh di belakang, tapi telinganya bisa menangkap semua suara dengan jelas.

Kembali terdengar teriakan panik Aima, dan sebelum Rad bisa berpikir akan melakukan apa, kakinya sudah bergerak ke sana.

Biasanya dia tidak akan peduli dengan hal seperti ini. Bukan masalahnya jika terjadi sesuatu dengan penghuni kastil ini, tapi kakinya punya pilihan sendiri, dan berjalan cepat menuju suara Aima.

 

~~Tubuh yang Harum~~

Tiba di sana, Rad bisa melihat Aima yang berlari ke belakang untuk memanggil bantuan. Meninggalkan Bree tertelungkup di lantai.

Rad menghampiri, sesaat hanya berdiri di samping tubuh Bree. Sambil menatap punggung basah Bree yang tertutup mantel.

Dia sedang berpikir harus melakukan apa. Yang benar menurut Rad tentu saja meninggalkan Bree disana. Seperti seharusnya. Dia tidak harus peduli, tidak perlu, dan tidak boleh.

Wanita ini ada hanya untuk memuluskan tugasnya, tidak seharusnya Rad peduli.

Apa yang dilakukannya dengan menggantikan Edmond untuk melatih pedang, adalah di luar kebiasaan. Dan Rad kembali dibuat terkejut dengan kenyataan bagaimana dirinya sendiri ternyata bersungguh-sungguh saat melakukannya.

Niat awalnya, Rad hanya ingin melihat bagaimana Bree menyerah karena latihan yang berat, dan mungkin mengejek di depan wajah Bree yang ketus itu.

Namun, Rad kembali dikejutkan dengan kenyataan yang tidak sesuai dugaan.

Gadis ini bertahan, dan tetap bersikeras melakukan niatnya. Rad melihat bagaimana tangannya gemetar karena lelah saat hari pertama mereka latihan, tapi terus bergerak sampai batas dia nyaris tak bisa bergerak.

Tangan Bree kurus dan kecil, tidak ada harapan baginya untuk mengangkat pedang yang sesungguhnya. Namun, saat melihat tekad itu, Rad menjadi sedikit teryakinkan jika bisa jadi suatu saat Bree akan mampu membawa pedang.

Sama seperti saat dia berniat menunggang kuda. Untuk ukuran pemula, kemampuannya sangat bagus. Dan itu juga diraih dengan menukar kerja keras yang membuat tubuhnya memberontak. Niat Bree benar-benar kuat.

Ini niat unik yang belum pernah dilihat Rad dari gadis manapun.

Rad ingin berbalik pergi, kembali tidak peduli seperti rencana. Namun, seperti kakinya tadi, tubuh Rad seolah punya keinginan sendiri.

Rad menunduk, membalik tubuh Bree dan mengangkatnya.

“Apa yang kau lakukan?”

Rad bertanya dengan heran dalam hatinya sendiri, karena ini tidak seharusnya dilakukan. Bree hanyalah alat, bukan untuk diperhatikan.

***

Ini hanya masalah kebiasaan. Rad berjalan menaiki tangga membawa tubuh Bree menuju ke kamarnya, bukan kamar Bree.

Rad tidak memikirkan apapun saat melakukan itu. Dia hanya ingin membawa tubuh Bree ke tempat nyaman, dan kamarnya nyaman. Itu saja pikirannya.

Rad masuk, dan membaringkan tubuh Bree ke atas ranjang. Lengan bajunya menjadi sedikit basah akibat membopong tubuh Bree, tapi Rad lebih peduli untuk menyentuh kening Bree.

Tubuh Bree terlalu panas. Penyebab Bree pingsan ditemukan dengan mudah.

Rad lalu berjalan keluar kamar, saat telinganya kembali menangkap suara panik Aima dari luar. Tentu saja Aima akan panik karena Bree tiba-tiba menghilang.

Rad berdiri di samping pagar pembatas dan berseru ke bawah. “Aima!”

Terdengar Aima berlari, lalu muncul dengan wajah menangis.

“Dia ada bersamaku,” kata Rad.

Dan Aima berseru lega sambil mengusap dada. Tangis panik menjadi karena lega. Tadi dia terbayang akan dipecat jika kehilangan Bree yang sedang pingsan.

“Suruh seseorang untuk memanggil dokter.” Rad memberi perintah, lalu mundur kembali ke kamar.

Aima berbicara pada pelayan yang dia panggil tadi untuk melaksanakan perintah Rad, lalu dia naik ke atas mengikuti Rad.

“Bajunya basah,” kata Rad, begitu Aima masuk ke kamar.

“Akan saya buka.” Aima yang tadi sudah merasa melakukan kesalahan, bergegas menghampiri Bree, dan bekerja.

“Apa yang terjadi? Kenapa dia terbaring di lantai?” tanya Rad, sambil menatap Aima bekerja.

“Belau tadi berlatih berkuda di pantai, lalu hujan turun sebelum beliau kembali.” Aima menjelaskan, sementara tangannya bergerak membuka kancing mantel Bree.

“Dia masih berlatih saat aku pergi?”

“Masih, Your Grace.”

“Menunggang kuda saja?”

“Tidak. Beliau juga berlatih pedang saat pagi. Siang atau sore seperti ini Duchess baru berlatih berkuda.”

“Apa yang ingin dia capai?”

Itu adalah gumaman pertanyaan untuk dirinya sendiri, tapi Aima menjawabnya.

“Duchess hanya mengatakan ingin menguasai semua itu karena ingin lebih kuat.”

Jawaban Aima tidak membantu Rad menjadi lebih mengerti. Tujuan Bree menjadi lebih kuat apa? Keinginan menjadi kuat seharusnya tidak dibutuhkan oleh Bree.

“Beliau bahkan meninggalkan hobi melukis untuk mencapai itu. Kemungkinan Duchess demam karena terlalu memaksakan diri.” Aima menambahkan informasi extra.

“Dia melukis?” Rad heran.

Tapi kemudian sadar jika dia memang tidak tahu apapun tentang Bree. Seharusnya dia menikah dengan kakaknya. Rad sudah tahu semua hal tentang kakak Bree, bukan Bree.

“Benar. Duchess membawa satu peti perlengkapan melukis tapi tidak pernah menggunakannya di sini. Beliau hanya peduli dengan pedang dan kuda sekarang.”

Kening Rad berkerut. Dua kegiatan itu begitu kontras, dan tidak mungkin bisa berubah begitu saja tanpa kejadian besar.

Rad meragukan Bree jujur soal alasan ketakutan pada perampok itu. Perampokan itu kejadian besar, tapi saat perampokan itu terjadi Bree tidak terlihat takut. Matanya terlihat heran, bukan takut.

Rad sangat menghapal pandangan ketakutan, dan berani bertaruh Bree tidak takut hari itu. Ini saja sudah cukup mencengangkan bagi Rad. Bagaimana mungkin dia begitu tenang melihat pembunuhan?

Itu bukan sikap seorang Lady yang Rad lihat saat mereka menikah. Saat pernikahan itu, Rad hanya melihat gadis normal yang bersikap malu-malu. Apa yang membuatnya berubah begitu drastis selama perjalanan?

Rad tak akan lupa bagaimana Bree yang mengacungkan pisau padanya, dan juga Bree yang lantang melawan Irene. Bahkan saat Bree melawan Edmond, Rad juga menganggapnya unik.

Gadis yang menjadi istrinya ini sungguh tidak biasa.

“Ah!”

Bree mengeluh, dan Aima terkejut dan melepaskan tubuhnya. Tapi Bree hanya mengeluh biasa, matanya tetap tertutup, sementara kepalanya menggeleng gelisah. Igauan karena demam tinggi.

Sejak tadi pekerjaan Aima tidak terlalu maju, dia bahkan belum berhasil membuka mantel perjalanan yang dipakai Bree.

Aima sulit mengangkat tubuh Bree yang benar-benar tak sadar. Tubuh Aima besarnya tidak jauh berbeda dari Bree, dan dia harus hati-hati karena tak ingin menyakiti.

Rad bisa melihat kesulitan itu.

“Aku saja, kau buka bajunya.”

Rad melepaskan mantel lembab yang dia pakai, lalu menyusul naik ke atas ranjang, dan mengangkat tubuh Bree dengan mudah.

Rad menahan punggung Bree agar duduk, dan tubuh lemas itu dengan otomatis bersandar dengan kepala terkulai pada bahunya.

Rahang Rad mengeras, saat merasakan tiupan napas hangat Bree pada lehernya, dan segera menahan napas, saat Aima membuka kancing gaun yang dipakai Bree di balik mantel.

Dengan bantuan Rad, Aima bisa bergerak cepat, dan kini tangannya sudah menurunkan gaun itu. Memperlihatkan kulit bahu Bree yang lembab, dan harum.

Rad harus menahan napas karena ini.

Aroma harum murni dari tubuh Bree, tidak tercampur dengan parfum seperti sehari-hari, aroma Aima juga belum sampai menempel.

Yang jelas tidak ada aroma Edmond yang membuatnya jengkel. Edmond tidak bau, hanya saja Rad tidak suka saat mendapati aroma itu menempel pada Bree.

Aroma yang menerpa hidungnya saat ini adalah Bree murni, karena tubuhnya terbasuh oleh air hujan.

Rad mengelus bahu Bree yang menjadi sumber aroma ini. Hangat karena demam, seolah membuat aroma Bree menguat.

Wangi tubuh Bree menguar seiring desah napas dan denyut nadi yang teraba oleh ujung jari Rad.

Aroma Bree tidak tercium seperti benda apapun. Tidak bunga, tidak rumput atau apapun. Dan yang pasti, tidak tercium seperti semua wanita yang pernah bersamanya, dan itu berarti banyak.

Aroma ini lebih dalam, menggelitik hidung tapi lembut, sejuk seperti udara pagi musim gugur yang berkabut, penuh embun. Hampir terasa seperti air di lidah Rad.

“Keluar!” Rad berseru dengan suara serak, kepada Aima, meski pekerjaannya belum selesai.

Aima tersentak, dan sesaat bingung. Dia belum membuka celana panjang yang dipakai Bree saat berkuda.

Namun, saat melihat bagaimana wajah Rad membenam di leher Bree, sementara tangannya memeluk erat punggung Bree yang telah terbuka, wajah Aima memerah, lantas terburu-buru keluar dari kamar. Aima sesaat lupa mereka suami istri. Permintaan Rad sangat wajar.

Tangan Rad mengelus punggung Bree, dan menarik lepas sisa kain yang ada pada tubuh Bree.

Rad menarik napas panjang, menghirup aroma tubuh Bree dari lehernya. Dan tidak salah, aroma itu terlalu manis untuk diabaikan.

Perlahan, Rad membaringkan tubuh Bree.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ch. 73 ~ Great Jump
12
13
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan