MIDNIGHT THEATER - SCENE I (THE PIERROT)

17
1
Deskripsi

Gedung Teater Tengah Malam yang telah lama ditutup, kini dibuka kembali setelah melalui proses renovasi. Untuk merayakannya, digelarlah sebuah pertunjukan teater bertajuk “Kertas Hitam Para Budak” yang dibawakan oleh sanggar teater Lunaskura, dibawah asuhan Kaliandra.

Darius dan Salma memulai debut pertamanya sebagai anggota baru Lunaskura. Mereka merasa kesulitan beradaptasi dengan berbagai peraturan Lunaskura yang menurut mereka terlalu ketat, serta sikap para senior yang terkesan dingin. Tak hanya...

post-image-668552b8d5658.png

 

 

                                                                                      PROLOG

 

Suara itu tidak seharusnya ada. Tidak pada pukul dua belas malam, di sebuah gedung yang sudah dipastikan tidak ada orang. Pantas bila kemunculannya memantik api curiga pada seseorang yang tak sengaja mendengar. Seorang yang tanpa pikir panjang segera pergi memeriksa. Sembari tangannya menggeser setiap kunci yang tergantung pada cincin logam, mencari angka yang sesuai dengan pintu merah di hadapannya, sambil bersungut, mengutuk, karena seharusnya ia tidak berada di sana.

“Siapa, sih, yang iseng masuk ke sini?” gerutunya. Terpaksa ia mengulang lagi pencariannya dari kunci pertama, karena tanpa sengaja ia melewati kunci yang dicari, sebab grasa-grusu, sedikit gugup, dan perasaan takut telah membuatnya pecah konsenterasi. Gedung itu tidak kekurangan pencahayaan, tapi khusus pintu merah dan ruangan yang ada di baliknya, satu lampu pun belum terpasang. “Ketemu,” serunya, girang.

Kunci berlabel angka tujuh menerobos lubang dengan sangat mudah, berputar hingga membuat bunyi klik yang terdengar renyah di kesunyian.

                                                                            NGAPAIN?

“Astaga!” pekik orang itu. Ia menoleh tanpa ragu, sebab suara yang baru saja membuatnya terkejut sudah sangat akrab di telinga. “Goblok! Kaget tahu!”

Berdirilah dua orang satpam di depan pintu merah. Satu sedang kesal sembari mengelus dada, mencoba menghibur jantungnya, satu lagi sedang terkekeh karena berhasil membuat rekannya menjerit seperti kuda.

“Serius, kamu ngapain, Fur?” tanya satpam bernama Adhar.

“Aku dengar suara orang di dalam sana,” sahut satpam bernama Furqan.

“Kucing?”

“Kalau kucing mana mungkin aku bela-belain nggak pulang buat meriksa. Tadi itu suara orang lagi ngobrol. Jelas banget.”

“Orang?” Adhar melirik pintu merah, kemudian kembali memandangi wajah Furqan. “Di dalam situ?”

Tanpa banyak bicara lagi, Furqan membuka pintu merah. Sesuai prediksi, koridor di balik pintu itu tak tersentuh cahaya. Gelap sampai ke ujung. Berbeda dengan ruangan lain di gedung itu, koridor yang sedang mereka selidiki memang belum tersentuh renovasi. Baunya masih terdiri dari ragam komposisi bebauan gedung tua yang lama tak terpakai, dengan sedikit sentuhan amis, pesing dan bau bangkai.

Kedua satpam itu melangkah. Pada langkah kedua, senter mereka mulai menyala, menerobos koridor panjang, menyorot jauh ke ujung, di mana suara misterius itu terdengar.

“Nggak ada apa-apa, Fur.”

“Di ujung sana. Aku yakin banget.” Kukuh Furqan.

Sambil terus mendekati tujuan, sambil keduanya memperhatikan sekeliling. Mereka baru direkrut sekitar satu bulan yang lalu sejak gedung selesai direnovasi dan diresmikan kembali, dan ini pertama kalinya kedua satpam itu masuk ke gedung bagian barat yang memang proses renovasinya baru sampai di tahap eksterior. Tak banyak yang bisa mereka lihat di dinding, selain cat yang pudar dan jendela yang tertutup rapat.

Setiap jarak dua jendela, ada satu ruangan yang pintunya terkunci. Ruangan yang dimaksud Furqon adalah ruangan keempat yang berada di paling ujung.

                                                                              BUNUH KAMI!

Furqan menahan langkah Adhar dengan membentangkan tangan kanannya. Ia melirik Adhar yang tampak gugup, tampaknya ia pun mendengar hal yang sama.

“Kamu dengar?”

“I-iya.”

“Kucing?” ledek Furqan.

“O-orang itu, Fur. Tapi ngapain tengah malam di sini?”

“Itu tujuan kita ke sini, buat cari tahu,” tegas Furqan.

Sampailah mereka di ujung. Jendela di sana sedikit terbuka, dari sanalah Furqan mendengar suara itu saat sedang berkeliling gedung. Sekarang, saat tujuan mereka sudah di depan mata, entah kenapa keduanya merasa ragu untuk memeriksa.

“Kamu ada kuncinya?” tanya Adhar.

“Nggak ada.”

Tangan Furqan meraih gagang pintu. Kendati rasa penasarannya besar, sebesar tanggung jawabnya dalam menjaga lokasi kerjanya tetap aman, besar pula harapan Furqan pintu itu terkunci seperti pintu lain yang ada di gedung barat. Namun, entah beruntung atau sedang sial, pintu itu terbuka dengan mudah. Decit sendi-sendi pintu tua, bersamaan dengan debu dan kotoran yang menghujani dari atas, pertanda ini pertama kalinya pintu itu terbuka setelah puluhan tahun lamanya.

“Siapa di sana?” tanya Furqan.

Satpam itu tak perlu menunggu jawaban. Senter Adhar segera menyoroti isi ruangan yang membuat kedua satpam itu nyaris sesak napas. Barulah setelah diperhatikan dengan saksama, mereka sadar bahwa yang berdiri di ruangan tersebut bukan seperti yang mereka pikirkan. Tidak ada siapapun, atau apapun yang bisa bertanggung jawab atas suara misterius tadi. Bahkan dengan sepasang mata dan mulut yang menyerupai manusia, puluhan sosok telanjang di ruangan itu hanyalah sebuah manekin.

Laki-laki, perempuan, tua, muda, semua manekin di sana punya tingkat kemiripan yang luar biasa. Kalau saja tidak dalam keadaan tanpa pakaian, yang memperlihatkan garis-garis artikulasi pada beberapa sendi seperti leher, lengan, dan pergelangan tangan, mungkin Adhar dan Furqan mengira manekin di ruangan itu benar-benar manusia.

“Boneka? Banyak banget. Buat apa?” Adhar tak henti-hentinya menyoroti, mengagumi, sekaligus heran pada setiap wajah yang begitu detail. Ia bahkan tersipu pada kecantikan salah satu manekin berambut pirang.

“Ini kan gedung teater. Mungkin memang disiapkan buat pertunjukan,” jawab Furqan. Ia tak terlalu peduli dengan asal-muasal dan fungsi dari benda-benda tersebut. Ia hanya bertanya-tanya, bila seisi ruangan itu hanyalah boneka, lantas dari mana suara tadi berasal?

“Perasaanku nggak enak, Fur. Mending kita cabut aja.” Adhar mengusap-usap leher bagian belakangnya.

“Siapa di antara kalian yang manusia?” tanya Furqan.

Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh, dan karena hanya ada dua manusia di ruangan itu, Adhar merasa jadi yang paling pintar. Sekilas di sudut matanya ia melihat pergerakan, tak buang waktu Adhar menarik tangan Furqan ke luar dari ruangan.

“Eh, tunggu bentar!”

“Goblok, nggak ada orang di sini.”

“Tapi suara tadi.”

“Kamu peka dikit napa!”

Adhar menutup pintu ruang manekin. Ia memastikan gagang pintunya kembali ke posisi semula, lalu sambil membelakangi pintu, Adhar mencoba memasukkan akal sehat pada kepala rekannya yang masih memaksa untuk masuk ke dalam. “Kita pergi dari sini. Tempat ini nggak beres,” tegasnya.

“Justru karena nggak beres, makanya kita—”

“—Bukan itu!” Adhar menoleh ke belakang, sebab baru saja ia mendengar gagang pintu tertarik ke bawah. Sontak keduanya menjauh, memandangi gagang pintu yang naik turun, seolah berusaha dibuka dari dalam. “Sekarang kamu tahu maksudku, kan?”

“I-iya,” ucap Furqan, gugup.

Keduanya bergegas pergi. Mereka ingin berlari, tapi tertahan oleh harga diri, di satu sisi mereka merasa ngeri dan ingin segera keluar dari gedung barat. Jadilah mereka berjalan secepat mungkin. Fokus mata ke depan, lurus mengikuti sorot lampu senternya. Bahkan saat mereka mendengar suara pintu di ujung koridor terbuka, mereka tetap berusaha untuk tidak menoleh ke belakang.

Adhar dan Furqan berhasil keluar dari gedung barat. Tanpa pikir panjang Furqan menutup dan mengunci pintu merah itu, sambil bersumpah tidak akan pernah bekunjung lagi. Saat sedang berusaha memutar kunci yang entah kenapa terasa sulit sekali, pintu merah itu dihantam dari dalam dengan keras, bersamaan dengan sebuah teriakan.

                                                                                  BUNUH KAMI!

                                                                                            ***

 DARIUS

Tak terhitung berapa kali ponsel Darius berpindah tangan dari kiri ke kanan, kanan ke kiri, tapi tidak sekalipun jemarinya mengukir titik pola kunci. Ia tak tertarik melihat pesan masuk, tak berminat menjelajah media sosial. Saat ini yang ia butuhkan hanyalah informasi tentang waktu, serta kepastian tentang berapa lama lagi ia harus menunggu. Meski bangku taman yang permukaannya kasar itu mulai membuat betah, Darius tetap saja tak sabar menerobos masuk pintu mahogani hitam yang sejak tadi tertutup rapat di depannya.

Menunggu membuat Darius lebih mengapresiasi pemandangan sekitar. Taman tempatnya berada itu nyaris sebagus taman kota, meski tak sama luas, tapi ia bisa membayangkan betapa sulitnya merawat semua tanaman itu seorang diri. Tak terlalu banyak bunga, hanya kombinasi tanaman hijau yang ditata dengan sangat apik. Boksus dan cemara kipas menjadi pagar, sedangkan sekumpulan mawar melingkar di tengah, mengelilingi monumen cawan putih yang ditengahnya memancurkan air ke berbagai arah, mengisi cawan putih tadi hingga meluap dan membasahi kolam di bawahnya. Bila Darius kirim foto dirinya sekarang ke media sosial, orang-orang tidak akan percaya bahwa taman itu bukanlah tempat umum, melainkan halaman sebuah gedung teater.

Teater Tengah Malam. Gedung bergaya klasik itu merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Gambir. Sempat tak terpakai selama bertahun-tahun, serta beberapa kali hendak digusur, bekas gedung kesenian itu rupanya menolak untuk mati, dan tetap bertahan dibawah kepemilikan Kaliandra, seorang seniman legendaris yang berhasil menyelamatkan gedung tua itu dari kematian. Tak hanya merenovasi gedung, Kaliandra juga membentuk kembali sanggar Teater Lunaskura yang dulu sempat berjaya di awal tahun 1940-an. Tentunya dengan sentuhan modern, dan sederet seniman muda berbakat yang Kaliandra pilih secara pribadi. 

Darius adalah salah satu dari seniman muda beruntung itu. Ia merupakan anggota baru Lunaskura, dan itu merupakan sebuah pencapaian terbesar dalam hidupnya. Pantas jika hari ini Darius bangun lebih pagi dari biasa, rela meninggalkan sarapan, dan tidak keberatan menunggu hampir dua jam hanya untuk memberi kesan disiplin pada para rekannya di sanggar. Terlebih hari ini adalah pembagian peran, sebab esok mereka akan tampil di acara peAntusiasme Darius melonjak di atas normal, ia bahkan datang lebih awal daripada satpam, dan nyaris dicurigai sebagai seorang kriminal.

“Lima belas menit lagi,” gumamnya. Kaki tak henti menghentak. Perut kosongnya tak henti berontak. Tepat saat ia perhatikan jam, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan dari Salma, rekan sesama anggota LunaskuraDarius mendengkus sebelum terpaksa mengusap tombol hijau di layar ponselnya. “Halo,” katanya dengan tidak semangat.

“Ngapain?” tanya Salma.

“Hah?”

“Kamu ngapain?”

“Aku? Aku lagi di depan gedung teater, nunggu pintu dibuka,” sahut Darius.

“Iya, aku tahu. Maksudku, ngapain kamu datang pagi-pagi banget?”

Darius menoleh ke belakang, mendapati Salma sedang berdiri sambil melambaikan tangan, menertawakannya. Darius tersenyum canggung. Hampir dua jam ia sendirian di taman, baru sekarang ia sadari betapa dirinya mirip anak kecil yang tak sabar masuk taman bermain. “Hei!” katanya seraya mematikan ponsel.

Salma menghampiri Darius. Seperti biasa, gadis itu selalu mengenakan baju yang tampak lebih besar dari ukuran badannya. Bahkan kedua tangannya pun nyaris tertutupi oleh sweter biru muda yang ia kenakan sekarang. Tinggi badan Salma terbilang standar untuk ukuran Perempuan Indonesia, tapi bila ia berdiri di samping Darius, Salma yang hanya 156 cm jadi terlihat seperti siswi Sekolah Dasar yang baru dijemput bapaknya pulang.

“Kamu nginep di sini?” ledek Salma.

“Ngaco. Aku di sini dari jam lima,” sungut Darius.

“Eh gila, gerbang kan belum dibuka, gimana caranya kamu masuk?”

“Lompat,” sahut Darius, bangga.

Salma duduk di samping Darius, langsung tercium aroma parfum yang amat kuat menelusup rongga hidung Darius, meski demikian, wanginya terasa manis dan lembut.

“Kamu bener-bener antusias banget sama peran ini,” ucap Salma.

“Ya, bisa dibilang, ini bakal jadi peran pertamaku sejak gabung ke Lunaskura, dan kamu tahu apa yang lebih bikin aku semangat?”

“Cewek-ceweknya?” tebak Salma, sinis.

“Ini!” sanggah Darius seraya menyodorkan sehelai kertas.

Salma membaca tulisan di kertas itu tanpa mengambilnya dari tangan Darius, sebab dari cara darius menggenggamnya, ia tampak tak rela kertas miliknya disentuh. “La Rapsodia,” Salma membaca tulisan paling besar di kertas itu, ia lalu menggumamkan sisa teks yang ada, hingga Salma mengerti bahwa kertas itu adalah sebuah sampul naskah. “Maksudnya?”

La Rapsodia, adalah salah satu naskah drama karya Kaliandra. Naskah ini sebelumnya berjudul ‘Kertas Hitam Para Budak’, sebelum Kaliandra pindah ke Italia dan mempopulerkannya dengan judul La Rapsodia.

“Ya, ya, aku tahu, maksudku, apa hubungannya drama lawas itu, sama antusias kamu?”

“Soalnya, dari yang aku dengar, untuk pagelaran Teater Tengah Malam besok, kita akan memainkan naskah ini. Udah lama banget aku dengar tentang Kertas Hitam Para Budak. Naskah legenda yang sempat hilang, puluhan tahun nggak pernah ada yang membawakannya lagi. Kalau info yang aku dapat itu benar, berarti aku—maksudku kita—bakal jadi orang pertama setelah puluhan tahun yang memainkan Kertas Hitam Para Budak.”

Salma tertegun. Ia dan Darius sama-sama anggota baru Lunaskura, tapi semangat Darius jauh lebih besar darinya. Berbeda dengan Salma yang bergabung dengan sanggar drama sebagai pelarian semata, agar ada alasan ia tidak selalu berada di rumah, Darius menikmati dan menghayati setiap kegiatannya di Lunaskura seolah separuh hidupnya ia dedikasikan untuk hal itu. Iri, Salma tak pernah punya hobi, ada pun tak pernah ia seriusi. Karena itu, berteman dengan Darius adalah sebuah pengalaman baru. Mungkin cepat atau lambat ia pun akan mewarisi semangat temannya itu.

"Aku nggak terlalu peduli, sih. Ini bakal jadi peran pertamaku, jadi apapun naskahnya, ya aku jalani aja," ucap Salma.

Dua mobil memasuki halaman gedung teater. Mobil merah sempat membunyikan klakson, menyapa Darius dan Salma. Mengekor di belakang dua kendaraan mewah itu, ada rombongan motor dengan beragam merek dan jenis yang mengusir ketenangan. Bukan hanya bunyi mesinnya berisik, pengendaranya pun urakan dengan segala ekspresi muda-mudi kota. Satpam pun geleng-geleng dibuatnya. Mereka adalah para anggota Lunaskura

Mudah membedakan mana senior dan junior. Cukup melihat dari cara mereka berjalan. Anggota lama cenderung merasa nyaman seolah datang ke rumah saudara, mereka berjinjit riang, tertawa dengan sesama, atau tertawa sendiri dengan ponselnya. Sementara enam orang yang jalannya menunduk malu, bahkan cenderung celingukan, bisa dipastikan mereka adalah anggota baru. Salah satu dari mereka bahkan masih keliling halaman, bingung harus memarkir motornya di mana.

"Kamu masih mau di sini, atau mau masuk?" tanya Salma.

"Sepertinya kamu duluan aja, deh. Aku mendadak mules. Tadi pagi buru-buru, belum sempat buang air besar rutin--aduh--aku ke toilet dulu. Titip tas!" ucap Darius seraya tergopoh menuju kamar mandi di samping gedung teater.

 

                                                                                        ***

SALMA

Hiruk-pikuk di ruang latihan Lunaskura. Tiap anggota membentuk kelompok kecil dengan topik perbincangannya masing-masing. Ruangan itu hampir seluas lapangan futsal. Ada platform setinggi lutut orang dewasa, yang jadi tempat para pemeran melakukan gladi panggung. Di seberang platform, layar proyektor putih menutupi separuh dinding, di depannya berbaris puluhan kursi yang biasa digunakan ketika sedang melakukan evaluasi. Namun, dari banyaknya kursi yang ada, hanya para senior yang berani duduk di sana. Para anggota baru lebih memilih lesehan. Mereka bahkan sungkan untuk menunjukkan kehebohan seseru apapun topik obrolannya. Tidak ada konsep senioritas di Lunaskura, tapi bila ditelusuri latar belakang pendidikan, jam terbang, serta pengalamannya, empat orang senior Lunaskura memang bukan orang sembarangan.

Dari segala suara yang memenuhi ruang latihan, hanya Salma yang tidak ikut menyumbang gaduh. Ia bungkam, matanya sibuk memelototi naskah. Sesekali ia membuat catatan kecil di belakang kertasnya. Sebuah tulisan singkat yang tidak terlalu penting dan mungkin tidak akan ia baca lagi setelahnya. Semua itu ia lakukan untuk mengusir bosan, sebab Kaliandra melarang seluruh anggotanya untuk membawa ponsel ke ruang latihan—atau lebih tepatnya ke dalam gedung teater—semua ponsel, bahkan milik senior sekalipun, harus masuk ke loker yang ada di lobi. 

Salma yang sejak awal menginjakkan kaki di Lunaskura, sampai saat ini tidak punya teman selain Darius. Interaksinya dengan sesama anggota pun sangat terbatas, bicaranya juga hemat. Walau demikian, Salma berusaha sebaik mungkin untuk tidak terlihat judes. Ia meramu sikap cuek tapi tidak songongnya dengan sangat baik, terbukti meski sering mengasingkan diri, rekan-rekan Salma di Lunaskura masih ramah dan baik padanya. 

Selain para senior, satu-satunya orang yang sangat Salma hindari adalah Vemas. Bukan karena dia orang jahat, tapi karena dia satu-satunya orang yang paling sering bicara, bahkan ketika tidak ada satu orangpun yang mau mendengar. Vemas selalu sibuk dengan vlog pribadinya. Kameranya tak pernah berhenti merekam, dan yang paling menyebalkan adalah, ia selalu mengarahkan kameranya pada siapapun yang berada dalam jangkauan.

“Dih, orang gila datang,” gerutu Salma saat melihat Vemas mendekatinya.

“Gais, seperti yang aku bilang kemarin, hari ini tuh pembagian peran. Buat yang sudah penasaran judul drama apa yang bakal kita mainin, kalian harus pantengin terus Channel aku, soalnya aku juga nggak tahu,” Vemas terbahak-bahak, “Eh, tapi di sini aku udah sama Mbak Salma, cie, siapa tuh kemarin yang nanyain Mbak Salma di kolom komentar? Sesuai janji, hari ini aku bakal kasih tahu kalian akun Instagram-nya Mbak Salma.”

“Elu mau ngapain?” desis Salma seraya menutupi wajahnya dari kamera Vemas. 

“Follower gue banyak yang nanyain elu, Ma, katanya elu cakep,” sahut Vemas pelan.

“Tahu gue dari mana?”

“Dari vlog gue pas latihan kemarin, please bantu gue—Nah, ini Mbak Salma-nya, Gais. Kalau bukan karena kalian yang bilang, aku nggak bakal sadar kalau Mbak Salma ini mirip banget sama Natasha Wilona.”

Salma makin jengkel setelah Vemas mencoba merangkulnya. Refleks Salma menepis tangan Vemas. Ia sudah siap menampar cowok berjanggut tipis itu hingga mental, sekaligus mengakhiri karirnya sebagai vlogger. Namun, niat itu urung Salma eksekusi, karena tiba-tiba seisi ruangan terdiam. Keramaian yang tadi menyerupai pasar, kita menjadi sehening pemakaman. Pintu belakang terbuka, dua orang masuk ke dalam ruangan. Seorang wanita cantik dengan rambut hitam terurai, hidung mancung dan tatapan mata tajam yang menunjukkan ketegasan. Tubuhnya ramping, jenjang dengan Sepatu hak tinggi berwarna hitam, sama hitam dengan setelan gaunnya, serta kontras dengan kulit putih bersihnya. Wanita itu tak memakai perhiasan apapun, tapi entah bagaimana ia seolah tampak berkilauan. 

Dialah Amara, istri dari Kaliandra, dan ia tidak sendiri. Amara datang sembari mendorong Kaliandra yang duduk di kursi roda. Aura misterius dari pria bertopeng itulah yang berhasil mendiamkan semua orang. Kaliandra adalah pendiri Lunaskura, sekaligus pemilik Gedung Teater Tengah Malam. Ia sangat dihormati, dikagumi, dan untuk sebuah alasan yang tidak jelas, ia juga ditakuti oleh semua anggota. Kaliandra mengenakan setelan jas berwarna putih. Seluruh pakaian di tubuhnya pun berwarna putih, termasuk topeng polos tanpa ekspresi yang konon tak pernah lepas dari wajahnya.

Suami istri itu membelah keramaian, berjalan lurus ke arah platform. Gema sepatu hak tinggi menapak lantai, terdengar bebas di keheningan ruang yang luas, seolah menyihir para anggota untuk berbaris rapi menghadap platform di mana kedua pemimpin mereka berada.

“Selamat siang rekan-rekan seniman yang saya cintaisesuai pemberitahuan, hari ini adalah penentuan peran untuk penampilan kita di peresmian gedung besok. Maaf kalau harus memanggil kalian secara tatap muka di hari libur, penampilan kita kali ini akan sangat berbeda … spesial, karena itu saya tidak mau membagikannya lewat grup chat seperti biasa, tapi melihat jumlah anggota yang datang, juga antusias kalian yang terbaca jelas di wajah masing-masing, saya bersyukur telah memilih anggota yang tepat,” tutur Kaliandra.

Vemas bertepuk tangan, seketika perhatian orang-orang tertuju padanya. “Woa, orang ini benar-benar tahu caranya bicara. Sedikit kaku, mungkin gara-gara kita nggak bisa lihat mukanya, tapi karismanya kerasa banget, gokil!” bisik Vemas, sebelum ia ditegur Salma karena di ruangan itu, tidak ada seorang pun yang bertepuk tangan.

“Gila! Kalau dia ngomong, nggak ada yang boleh tepuk tangan!” desis Salma, kesal. “Lagian sembunyikan kameramu!”

Teguran yang sama juga datang dari Petra, salah satu senior Lunaskura. Meski kesal dengan Vemas, Petra hanya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir seraya menggeleng pelan. Vemas menanggapi teguran itu dengan anggukan canggung seraya melihat pada masing-masing wajah sebal yang sedang menyorotinya.

Kaliandra melanjutkan sambutannya, sementara Salma telah hilang fokus. Ia celingukan mencari Darius. Tak habis pikir bagaimana bisa orang yang paling tidak sabar menunggu momentum ini, hingga rela datang pagi dan melewatkan sarapan, justru hilang saat acara telah dimulai. Diperhatikannya pintu dan jendela, berharap sahabatnya itu muncul sebelum Kaliandra pergi, karena Salma tahu betapa disiplinnya pemimpin Lunaskura itu.

Selagi Kaliandra melanjutkan sambutannya, Emili, salah satu dari empat senior berkeliling ruangan sembari membagikan naskah yang sedang ia dekap di dada, dan seperti biasa, siapapun yang didekati Emili, mendadak muncul rona merah di wajahnya. Satu menit yang lalu Emili adalah gadis tercantik di ruangan, dan akan kembali begitu saat Amara meninggalkan ruang latihan nanti.

“Ini!” Emili menyodorkan naskah pada Vemas.

“Te-terima kasih,” ucap Vemas canggung. Ia terima naskah itu tanpa melihat, karena matanya sedang sibuk mengabadikan kecantikan emili dalam ingatan. Vemas tak sabar untuk meraih kamera dalam tasnya, lalu mengabadikan momen terindah itu, tapi rasa takutnya pada Kaliandra jauh lebih besar. Vemas membuka sampul naskah, lalu sebuah tulisan besar terpampang di sana.

“Kertas Hitam Para Budak - Teater Tengah Malam?” gumam Salma, mengintip naskah milik Vemas.

“Kamu tahu naskah ini?” tanya Vemas.

“Nggak, tapi aku tahu orang yang bakal jingkrak-jingkrak kalau tahu naskah favoritnya bakal dimainkan.”

Tanpa Salma sadari, Emili melewatinya tanpa memberikan naskah. Gadis itu tampak sudah berada empat orang lebih jauh, terpaksa Salma memanggilnya. “Maaf, Kak Emil, punyaku mana, ya?”

“Oh, Salma, ya. Nggak ada nama kamu di sini, tapi habis ini kamu diminta ketemu sama Hamis. Dia nunggu di ruang tata rias.” ucap emili.

“Hah?” Salma bengong seolah tak percaya. Ia jadi satu-satunya orang yang tidak kebagian naskah. 

“Nah, sekalian aku titip naskah punya Darius, kalian pacaran, kan?”

“I-iya, kak—Eh nggak—maksudku, iya sini aku yang kasih, tapi nggak, kami nggak pacaran.” sahut Salma, kikuk.

Emili mendekatkan wajahnya pada Salma, lalu tersenyum seolah berhasil memastikan sesuatu. “Oke,” katanya seraya berlalu dengan senyum nakal yang masih sengaja ia perlihatkan pada Salma.

Sambil masih tersipu, Salma memperhatikan kertas naskah di tangannya. Ada nama Darius di sudut sampul, ditulis dengan pena. Ia mengusap permukaan kertas dengan hati-hati, tak tahu apa yang sedang Salma coba rasakan dengan ujung jari. Hanya saja, hatinya merasa sedikit kecewa, dan lebih banyak rasa iri. Ia yang semula tak begitu peduli dengan pembagian peran, justru merasa galau karena tidak kebagian peran. Lama Salma termenung, saat ia sadar, Vemas diam-diam sudah merekamnya.

“Sumpah, kalau sampai video ini elu unggah ke Channel youtube—”

“Loh, kenapa? Gue cuma heran aja, Ma. Itu bukan ekspresi yang pantas buat orang yang baru aja dipilih secara khusus sama Bang Hamis.”

Salma mengerutkan kening. Ia sama sekali tidak menganggap posisinya spesial, jadi tidak seharusnya Vemas berkata demikian kecuali untuk mengejek. “Maksud, lo?”

“Itu artinya, Elu diminta jadi asistennya Kak Hamis di ruang rias. Gila, Elu punya kesempatan masuk ke ruangan terlarang itu. Ah, kalau aja boleh, gue pengin banget kita tukeran peran. Udah lama banget gue pengin masuk ke sana. Pasti banyak hal menarik di sana yang bisa gue jadiin konten.”

“Isi kepalamu cuma konten doang! Dah, cabut dulu.”

Salma mengambil tasnya lalu pergi meninggalkan ruang latihan. Ia berniat menjemput Darius yang sudah satu jam lebih bertapa di toilet, berharap naskah yang Salma bawa bisa menyumbat dorongan kotoran di usus Darius.

                                                                                          ***

PETRA

Ragam ekspresi dan reaksi para pemeran saat menerima naskah mewarnai ruang latihan. Tak peduli mereka mendapatkan peran minor atau mayor, antagonis atau protagonis, utama atau sekadar figuran, bisa berada di atas panggung, di bawah naungan nama besar Kaliandra saja adalah sebuah pencapaian besar, terutama bagi para anggota baru. Namun, di antara barisan antusias itu, ada satu orang yang tampak tidak puas. Dia adalah Petra. Bahkan sejak ia dengar desas-desus tentang susunan pemeran untuk Kertampada, Petra sudah menunjukkan ketidaksetujuannya meski lewat raut wajah masam. Kali ini ia beranikan diri menghadap Amara, sebab Kaliandra bukan orang yang mau mendengar masukan, apalagi sekadar keluhan dari seorang Petra.

Begitu Kaliandra meninggalkan ruangan, dengan dibantu oleh Emili, Petra memanfaatkan kesempatan untuk menyapa Amara. “Bu Amara.”

Amara menoleh, seketika ia memasang senyuman ramah. Usia Amara dan Petra tidak terlalu jauh berbeda. Saat pertama kali mengenalkan diri sebagai istri dari Kaliandra, semua orang nyaris tidak percaya. Tidak ada yang tahu usia Kaliandra sebenarnya, tapi mereka yang sudah lama bergelut di dunia teater lokal, tentu pernah mendengar nama Kaliandra disebut oleh guru, ayah, bahkan kakek mereka yang sudah meninggal. Kendati terpaut usia yang sangat jauh, Amara mampu mengimbangi Kaliandra dalam hal penampilan, hingga jarak usia keduanya tak terlalu kentara. “Ya, Petra?” sahutnya.

“Ini nggak salah? Maaf sebelumnya, bukan bermaksud meragukan keputusan Master, tapi seingatku susunan pemeran sebelumnya nggak seperti ini?” Petra menunjuk nama pemeran salah satu tokoh penting dalam naskah Kertas Hitam Para Budak, yang menurutnya tidak layak mendapatkan peran tersebut.

“Oh, ya, memang ada perubahan. Kaliandra sudah mendiskusikannya sama aku, jadi ....” Amara mengangkat kedua bahunya pelan, memberi isyarat kalau tidak ada yang perlu diperdebatkan. Ia lalu tersenyum kembali. “Sekali-kali percaya sama juniormu. Mereka yang kelak akan meneruskan kejayaan Lunaskura,” ucapnya.

Petra tampak tak puas dengan jawaban itu. Bila protes barusan keluar dari mulut orang lain, mungkin akan terdengar seperti sebuah dengki. Namun, Petra mendapatkan peran utama di pertunjukan esok, tak ada alasan untuk dia iri pada siapapun. Hanya saja, sifat perfeksionisnya menghalangi ia untuk percaya pada orang yang kemampuannya masih dipertanyakan. Menurut Petra, teater ibarat sebuah irama, para pemerannya adalah sebuah instrumen. Sebagus apapun notasi yang disusun, bila satu instrumen saja berbunyi sumbang, maka kacaulah iramanya.

“Baik, Bu,” ucapnya, pasrah.

“Pastikan semua anggota hadir nanti malam, atau Hamis akan marah besar.” Amara tertawa kecil. Ia tidak sedang mengancam, ia hanya mengingatkan Petra betapa menyeramkannya Hamis bila sedang marah.

“Si-siap!” sahut Petra, gugup.

Amara pun pergi. Bila tadi ia datang dengan anggun, kali ini Amara meninggalkan ruangan dengan terburu-buru. Melihat itu, Petra merasa tak enak hati. Pertanyaannya barusan mungkin sudah menghalangi Amara untuk sampai ke tempat tujuan dengan tepat waktu.

***

Pintu toilet terpelanting keras. Darius keluar dengan tergesa-gesa. Berkali-kali ia menyebut kata gawat sambil melihat jam tangan. Saat sedang duduk untuk memasang sepatu, seseorang menyodorkan kertas naskah padanya. Darius mendongak, mendapati Salma sedang menutup mata dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangannya lagi menunggu Darius mengambil naskah.

“Ritsletingmu!” ucap Salma.

“Waduh!” Darius yang panik langsung menaikkan ritsletingnya. Ia mengelap kedua tangan yang masih basah pada permukaan celana, lalu mengambil naskah miliknya. Napas Darius menggebu-gebu, matanya bergerak dari kiri ke kanan, lalu senyuman lebar merekah di bibirnya. “Yes! Benar, kan, kataku, kita bakal mainin Kertampada,” serunya, girang seperti anak kecil.

“Iya, iya,” Salma menggeleng. “Kamu lama amat di toilet. Orang-orang lagi pada Briefing, kamu malah ngising,” sindir Salma. Kendati ia berpura menutup hidung, tapi tidak sedikitpun Salma mencium aroma tak sedap di sekitar toilet. Hidungnya justru menangkap wangi parfum yang tanpa melihat botol atau mereknya saja Salma bisa tahu itu pasti parfum mahal.

“Master datang?” tanya Darius, panik.

“Datang bareng istrinya.”

“Nggak ada yang nyariin aku, kan? Aku nggak bakal dihukum, kan?”

“Nggak, sih. Satu-satunya yang sadar kalau kamu nggak ada cuma Kak Emili. Dia yang nyuruh aku bawain naskah ini sama kamu. Mungkin karena pagi ini cuma pembagian naskah dan peran, gladi yang sebenarnya nanti malam. Awas sampai perutmu mules lagi.”

Darius nyengir sambil menggaruk-garuk kepala. “Oh, ya, naskahmu mana? Kamu kebagian peran apa?”

“Aku … aku nggak kebagian peran,” ucap Salma lesu, dikemas dengan wajah seolah tidak peduli.

“Serius?” tanya Darius, ia tidak percaya sahabatnya yang menurut Darius berbakat malah tidak kebagian peran. Darius membuka lembar demi lembar naskah mencari halaman daftar pemeran, dan benar, tidak ada nama Salma di sana.

“Ya, gitu, deh. Aku justru diminta jadi asistennya Kak Hamis,” sahut salma.

Mereka berdua berjalan beriringan. Darius yang sebenarnya tidak tahan untuk membolak-balik naskahnya terpaksa menahan diri dan memilih menghibur Salma. “Hamis kan bagian tata rias, kok bisa-bisanya minta kamu jadi asisten?”

“Emang kenapa?” tanya Salma.

Darius berhenti untuk memperhatikan Salma dari ujung kaki ke ujung kepala, kemudian ke kaki lagi. “Nggak apa-apa, sih,” ucapnya sambil memalingkan wajah.

“Kamu mau bilang kalau aku nggak bisa dandan, hah?” tebak Salma, kesal. Ia memukul-mukul lengan darius dengan tas mungilnya.

Darius hanya tersenyum canggung. “So-sorry. Tapi nggak ada hubungannya, sih, toh kebanyakan tata rias teater itu, ya bukan buat bikin orang jadi cantik, tapi bikin orang jadi kelihatan sesuai sama perannya. Misal ada adegan tonjok-tonjokan, ya kamu harus dandani pemerannya jadi bonyok, tapi harus beneran kelihatan bonyok, nggak cuma didempul mekap ungu doang.”

“Kalau pengin kelihatan beneran, harusnya ditonjok beneran,” celetuk Salma.

Darius menepuk keningnya. “Terus kalau adegannya bunuh-bunuhan, mau kamu bunuh beneran?”

“Tergantung,” jawab Salma, datar.

“Tapi serius. Selain jajaran pemerannya yang berkelas, salah satu yang bikin Lunaskura dulu terkenal itu, ya tata artistiknya. Baik tata panggung, musik, maupun tata rias. Banyak yang bilang Hamis itu anak emasnya Kaliandra. Dia jenius kalau soal mekap, bahkan sudah beberapa kali terlibat di proyek film-film besar. Aku yakin kamu bakal banyak belajar dari dia,” tutur Darius.

Tak berlebihan kalau Salma bilang Darius adalah sekumpulan energi positif yang hidup dalam rupa manusia. Meski seringkali kata-kata yang keluar dari mulut sahabatnya itu tak tersusun rapi, tapi bisa Salma rasakan aliran semangat yang sangat berpengaruh. Baru satu jam yang lalu ia kecewa dan pesimis dengan tugasnya, tapi setelah bertemu Darius, Salma jadi tak sabar untuk segera bekerja. “Thanks,” ucapnya.

“Nah, gitu, dong.” 

Darius memasukkan naskahnya ke dalam tas, bersiap untuk pulang. Salma yang melihatnya dengan tatapan heran.

“Kamu nggak mau lihat dapat peran apa?” tanya Salma.

“Eh, iya, ya. Tapi, kan, kita anggota baru biasanya dapat figuran doang.”

“Mending lihat dulu, deh!”

Keduanya berhenti di pinggir taman, duduk pada sebuah bangku panjang. Darius membolak-balik halaman demi halaman. Sejak tadi Salma menahan diri untuk tidak memberitahu sahabatnya, ia justru tak sabar melihat reaksi Darius. Ada kesenangan sendiri melihat Darius berjingkrak seperti anak kecil.

“Serius?” seru Darius. Kejutan yang ia dapat di daftar pemeran itu terlalu berat untuk ia terima sambil duduk santai, jadilah ia berdiri sambil memelototi kertas, menelusurkan jarinya pada nama sendiri, memastikan matanya tidak salah lihat.

“Cie, keren, kan?” tanya Salma. Sayang sekali, godaan itu tidak memunculkan reaksi yang ia damba. Alih-alih senang, Darius justru tampak ketakutan. Naskahnya bergetar seirama dengan kedua tangannya.

“Dorman, aku kebagian peran sebagai Dorman,” gumam Darius.

“Kenapa emang?” tanya Salma.

“Kamu tahu Dorman?”

“Nggak. Aku cuma lihat tokoh yang kamu peranin itu ada di daftar karakter utama, pastinya punya porsi besar di cerita, kan?”

“Nggak. Dia cuma muncul di satu adegan.”

“Satu doang?”

“Ya, di adegan terakhir.” Darius menutup naskahnya, lalu duduk sambil mengusap wajah. “Dorman juga nggak punya dialog apa-apa, tapi dia jadi penentu dari Kertampada.”

“Emang Dorman itu siapa?”

“Eksekutor, algojo.”

                                          DIA YANG BERTUGAS MEMENGGAL KEPALA PARA BUDAK

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya MIDNIGHT THEATER - SCENE II (THE COLOMBINA)
15
4
Satu hari sebelum penampilan sanggar teater Lunaskura. Semua anggota baru sibuk menghafal naskah, meski peran dan dialog yang mereka terima tidaklah banyak. Sementara itu, Egi yang seharusnya semangat menyambut penampilan pertamanya esok, jadi lemas gara-gara sesuatu yang ia lihat saat berada di atas panggung yang sedang sepi.Pertemuan Salma dan Hamis bukanlah yang pertama, tapi ini pertama kalinya mereka bertegur sapa. Sosok Hamis ternyata tak seperti yang Salma dengar, ia ramah dan sangat mengayomi Salma. Hanya saja, ada satu hal di ruangan tata rias yang membuat Salma ingin segera pulang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan