Kuncoro Anjani - Part 2

14
5
Deskripsi

Awal mula Kuncoro bertemu dengan Anjani di sebuah tempat yang tentu saja sangat tidak romantis. Pertemuan yang sangat tidak disangka-sangka.

Kuncoro dan Anjani bertemu pertama kali awal tahun lalu. Keduanya bertemu di tempat praktik sunat Pak Palupi yang memang seorang bong supit terkenal di Magelang. Mereka berdua sama-sama tak menyangka bahwa hubungan mereka terjalin justru melalui perantara tempat sunat. Tempat yang tentu jauh dari kesan romantis.

Anjani beserta keluarganya sedang menyunatkan Arya, adik Anjani. Kebetulan, Kuncoro juga sedang mengantarkan keponakannya sunat di sana.

Perjumpaan mereka berdua terjadi di ruang tunggu. Saat itu, Anjani dan keluarganya sedang sibuk meyakinkan Arya yang terus nangis kekejer tidak mau masuk ke ruang sunat karena ketakutan. Adiknya yang bongsor itu bahkan berkali-kali meronta dan mencoba kabur. 

Seminggu sebelum disunat, Arya yang duduk di bangku kelas 5 SD itu sebenarnya sudah mantap dan mengaku berani disunat. Bahkan ia sendirilah yang sebenarnya meminta disunatkan. Namun, dua hari jelang “pemotongan”, seorang tetangganya iseng menakut-nakuti Arya. Keusilan tetangganya itu melahirkan ketakutan yang amat dahsyat. Keberanian yang tadinya menggelembung dalam diri Arya langsung kempes untuk kemudian berganti menjadi ketakutan.

“Arya nggak mau disunat, Paaak!” teriak Arya kepada bapaknya sambil menangis dan terus berontak. “Katanya kalau sunat, titit Arya bakal sakit seminggu penuh. Pokoknya Arya nggak mau sunat.”

“Nggak boleh begitu, Arya. Arya sudah besar. Kan kemarin Arya sendiri yang minta sunat biar dibelikan PS sama remote control.” Kata bapaknya seraya terus mencoba menahan agar anaknya tidak berontak dengan makin brutal.

“Kalau begitu bapak aja yang sunat. Nanti PS-nya buat bapak!” Kata Arya tetap berteriak. Anjani dan anggota keluarganya yang lain sempat tertawa mendengar alasan Arya itu, namun mereka tetap waspada dan berjaga mencegah Arya lari dan membuat keributan.

“Nggak usah takut, nggak sakit kok, cuma kaya digigit semut,” kata Anjani mencoba menenangkan adik kesayangannya yang masih terus berteriak menolak untuk disunat itu.

Kuncoro yang saat itu kebetulan berdiri tak jauh dari kerumunan keluarga Anjani itu kemudian tertarik menyambangi sumber keributan. Ia berinisiatif ikut membantu menenangkan adik Anjani yang makin lama makin brutal itu. 

“Nggak usah takut, Dik. Beneran nggak sakit, kok,” kata Kuncoro yang sudah menyembul di antara rombongan keluarga Anjani. “Ponakan Om tadi juga disunat, dia berani, nggak nangis, padahal ponakan Om masih kecil lho,” lanjut Kuncoro.

“Tuh, dengerin Masnya,” bujuk Anjani pada Arya, “Enggak sakit.”

Kuncoro kemudian membantu lebih jauh untuk membujuk adik Anjani itu agar mau disunat.

Arya tampak mulai terpengaruh oleh kata-kata Kuncoro. “Beneran nggak sakit, Om?” Tanya Arya pada Kuncoro mencoba memastikan. Isak tangisnya masih tersisa, namun ia sudah tampak lebih tenang.

“Iya, beneran nggak sakit. Itu ponakan Om, lihat saja sendiri. Dia nggak nangis, kan?” Jawab Kuncoro sambil menunjuk dengan dagu ke arah keponakannya yang sedang duduk bersarung ditemani ibunya, tak jauh dari tempat Arya dan keluarganya berkerumun. “Ngapain juga Om bohong.”

Perlahan, keberanian Arya mulai timbul kembali setelah melihat keponakan Kuncoro yang tampak tenang dan tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda kesakitan sehabis sunat. Ia malu sebab merasa kalah berani dengan anak yang lebih muda darinya.  

Lima menit berselang, Arya akhirnya mau digiring ke ruang sunat. Seluruh anggota keluarga Anjani, terutama ayahnya, tampak sangat lega.

“Matur suwun, Mas, sudah ikut membantu membujuk dan menenangkan anak saya,” kata bapaknya Anjani pada Kuncoro.

“Nggih, Pak. Sama-sama,” jawab Kuncoro, “Memang urusan burung itu dari dulu sampai sekarang, selalu merepotkan ya, Pak.”

“Hahaha. Kalau itu, tergantung apa yang dihadapi, Mas.”

Kuncoro tertawa, begitu pula ayah Anjani. 

“Ya sudah, saya duluan, Pak. Semoga sunat anaknya sukses dan lancar.”

“Ah, ya. Monggo. Sekali lagi, terima kasih, Mas”

Kuncoro kemudian berjalan ke arah keponakannya. Ia mengedarkan pandangan ke arah beberapa kursi yang ada di sana sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi persis di sebelah keponakannya duduk ditemani ibunya yang tak lain dan tak bukan adalah kakak kandung Kuncoro. 

Kakak Kuncoro duduk sambil mengelus-elus tangan anaknya yang baru saja disunat. Terlihat jelas raut bangga dan bahagia karena anak lelakinya kini sudah menapaki fase kedewasaan seorang lelaki. Sesekali ia menciumi rambut anaknya itu sambil berucap “Anak ibu sudah sunat, sudah gedhe”. Ia tampak sudah tak sabar menunggu suaminya yang sedang antre di ruang kasir menyelesaikan urusan administrasi biaya sunat agar bisa segera pulang dan langsung bikin acara syukuran di rumah.

“Masih lama, Mbak?” tanya Kuncoro kepada kakak perempuannya itu.

“Paling dua puluh menit lagi. Semoga kurang dari itu. Tadi mbak lihat, masih ada satu antrian di depan Masmu.”

“Ya sudah, aku nunggu di sana aja ya, Mbak?” ujar Kuncoro sambil menunjuk selasar klinik.

“Ya, nanti kalau Masmu sudah selesai, Mbak kabari.”

Kuncoro pun beringsut bangkit, ia berjalan menuju selasar klinik.

Di selasar klinik, Kuncoro duduk di lantai keramik yang sebelumnya sudah ia gelari jaket agar pantatnya tidak kedinginan. Ia lalu mengambil ponsel dari saku celananya dan langsung membuka Twitter. Ada satu-dua twitwar politik yang belum sempat ia baca. Ia sudah menandainya dengan menulis balasan “Nitip sendal dulu, Bung!” Pada konvo twitwar tersebut.

Baru juga tiga sekrolan ia membaca utas twitwar tersebut, mendadak dari belakang, punggungnya ditepuk oleh seseorang. 

“Terima kasih ya, tadi,” kata si penepuk punggung yang ternyata adalah Anjani.

Kuncoro agak tergeragap. “Oh, yang tadi…” ujarnya sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.

“Iya, terima kasih karena tadi sudah membantu meyakinkan adik saya agar mau disunat.”

“Oalah, Mbaknya ini kakaknya Adik yang nggak berani disunat tadi, tho?”

“Iya, namanya Arya. Saya kakaknya,” kata Anjani, “Ehm, boleh saya duduk di sini?” tanya Anjani seraya mengambil posisi di sebelah Kuncoro.

“Boleh-boleh saja. Wong klinik ini juga bukan punya saya, kok,” jawab Kuncoro. “Jangankan duduk di sini, Mbaknya mau bakar klinik ini juga saya nggak keberatan.”

Anjani tertawa tipis. “Pengin sih, tapi nggak punya bensin,” timpal Anjani mencoba mengimbangi guyonan Kuncoro.

“Gampang,” kata Kuncoro, “Itu di depan klinik ada penjual bensin eceran, kok. Mau saya belikan?”

“Boleh, tapi nanti, ya.”

“Nggak sekarang?”

“Nunggu adik saya selesai sunat dulu, dong.”

“O iya ding.”

Anjani diam sejenak, Kuncoro pun demikian. 

Kuncoro baru menyadari bahwa perempuan yang duduk di sebelahnya itu parasnya amat manis dan cantik. Tadinya Kuncoro memang sekelebat sudah melihat kecantikan Anjani saat membujuk adiknya agar mau sunat tadi, namun ia tak menyangka bahwa Anjani ternyata secantik itu. Awalnya ia mengira cantiknya Anjani ya cantik yang “B” saja. Namun saat ia punya kesempatan untuk duduk di sebelahnya dan menatap lebih lekat, baru ia menyadari bahwa level kecantikan Anjani adalah “A”. Ah tidak, mungkin “A+”. Ah, tidak juga, lebih tepat kalau “A++”. Pokoknya cantik sekali. 

Maka, dalam hati, Kuncoro merasa deg-degan juga duduk bersebelahan dengan perempuan secantik Anjani. Dan lebih deg-degan lagi sebab momen tersebut terjadi bukan karena usahanya, melainkan perempuan itu sendiri yang meminta untuk duduk di sebelahnya. 

“BTW, sudah berapa anak yang pernah Mas bujuk biar mau sunat?” Tanya Anjani mencoba memecah kekikukan. Tentu saja itu jenis pertanyaan yang konyol. Namun tak apa, setidaknya itulah pertanyaan cepat yang kebetulan sekelebat terlintas di kepala Anjani.

Demi mendengar pertanyaan konyol itu, Kuncoro terkekeh. “Kalau dihitung sama Adik Mbak,” kata Kuncoro, “Satu!”

Anjani tertawa. Ia sadar bahwa pertanyaannya konyol, dan ia mafhum kalau pertanyaannya dijawab dengan konyol pula.

“Hahaha, maaf, maaf. Maaf kalau pertanyaan saya aneh.”

“Nggak papa, santai saja,” kata Kuncoro sambil mengangkat pantatnya. Ia menggeser jaket yang ia pakai sebagai alas duduk.

“Mau jaket, Mbak?” Kuncoro menawari Anjani, “Buat alas duduk, biar pantatnya nggak dingin.”

“Nggak usah, Mas. Pantat saya tahan dingin.”

“Alhamdulillah. Saya sebenarnya juga berharap Mbak menolak. Pantat saya nggak tahan dingin soalnya.”

Anjani tersenyum geli mendengar akrobat kata Kuncoro. Kuncoro menyaksikan senyuman itu dengan debar yang luar biasa. Manis sekali. Senyuman yang berjarak tak sampai satu meter itu amat menggetarkan hati Kuncoro. Jarak yang amat dekat membuatnya bisa menyaksikan detail keindahan bibir Anjani yang simetris beserta gigi-giginya yang rapi walau dengan tatapan yang curi-curi sesekali. 

Tanpa sadar, Kuncoro berkhayal terlalu jauh. Ah, tidak terlalu jauh sebenarnya. Ia “hanya” membayangkan seandainya ia bisa menjadi kekasih perempuan yang ada di sebelahnya itu. 

Kuncoro bukan tipikal lelaki yang pengecut untuk membayangkan masa depan indah yang bahkan tampak mustahil. Baginya, tak ada yang tak mungkin. Ia sudah menyaksikan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan hidup yang terlihat mustahil namun pada akhirnya terwujud.

Aji, adik kelasnya di SMA, yang amat manja dan pemalas, yang saking malasnya sampai-sampai ia rela menonton acara televisi yang membosankan hanya karena ia tak bisa menemukan remote dan malas bangkit dari sofa untuk mengganti channel dengan memencet langsung tombol di televisinya, kini sudah berubah menjadi seorang pekerja keras yang kelewat rajin.

Benar bahwa ia berubah menjadi sosok yang rajin setelah bapak dan ibunya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil dan membuatnya terpaksa hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuanya. Namun itu sebab yang tak penting. Yang lebih penting adalah fakta bahwa hidup penuh dengan perubahan-perubahan atas kemungkinan-kemungkinan yang mustahil. 

Ia juga menjadi saksi betapa Ginanjar, kawan satu tongkrongannya yang dulu amat miskin, kini diangkat derajatnya dan menjadi seseorang yang kaya raya karena menikah dengan Ratih, anak juragan batako yang tingkat kesejahteraannya tak masuk akal. 

Benar bahwa Ginanjar menikahi Ratih melalui mekanisme “hamil duluan”, namun sekali lagi, itu tak penting. Yang lebih penting adalah fakta bahwa hidup penuh dengan perubahan-perubahan atas kemungkinan-kemungkinan yang mustahil. 

Maka, bukan hal yang lancang bagi Kuncoro jika ia membayangkan dirinya bisa memacari Anjani, perempuan cantik yang beberapa menit yang lalu meminta izin untuk duduk di sebelahnya itu. 

Kuncoro punya semacam kepercayaan diri yang mantap. Wajahnya memang tidak tampan, tapi setidaknya, juga tidak buruk-buruk amat. Kalau ada penilaian tingkat ketampanan wajah dengan skala 1-10, ia yakin bahwa nilai ketampanan wajahnya tidak akan lebih rendah dari 6. Memang Kuncoro sadar diri bahwa mustahil baginya mendapatkan nilai 9 atau 10, tapi setidaknya, tidak akan pernah di bawah 6. Mungkin 6,5 atau bahkan malah 7. Angka yang menurutnya cukup moderat untuk bisa bersanding dengan Anjani yang tingkat kecantikan wajahnya berada di angka 9,7 dari maksimal 10. 

Kuncoro juga merasa ia bukan lelaki sepele. Ia lelaki pemberani, humoris, dan yang paling penting, punya selera visual yang bagus. Hal yang disebut terakhir itulah yang membuat Kuncoro cukup beruntung punya banyak proyek sambilan sebagai seorang desainer grafis.

“Saya nggak bisa bayangin kalau tadi nggak ada Mas. Mungkin sampai sekarang dia masih terus berontak,” kata Anjani memecah lamunan kuncoro yang memang hanya sepersekian detik itu. 

“Begitulah, Mbak,” ujar Kuncoro, “Tampaknya saya memang lelaki yang dikirimkan Tuhan untuk membantu melancarkan sunat adik Mbak,” lanjutnya.

Anjani merenges, “Urusan sunat saja sampai bawa-bawa Tuhan.”

“Eh, jangan salah, sunat itu sendiri adalah perintah Tuhan,” kata Kuncoro seraya menunjuk jarinya ke atas, “Mungkin Tuhan prihatin dengan cara Mbak yang membujuk adiknya dengan bujukan kuno itu.”

“Kuno? Maksudnya?”

“Iya, kuno. Kayak digigit semut. Itu kan bujukan yang sudah ada sejak jaman Pak Harto dulu,” ujar Kuncoro, “Kayak yang pernah sunat aja.”

Anjani terkekeh kecil, “Namanya juga membujuk mas,” kata Anjani agak canggung, “Lagian, sunat itu rasanya memang kaya digigit semut, kan?” lanjutnya

“Iya, tapi semutnya segedhe anjing.”

Kali ini Anjani tertawa. Ia membayangkan bagaimana rupa semut dengan ukuran sebesar anjing. Betapa mengerikannya. Ia melempar ingatannya pada serial National Geographic yang pernah ia tonton, terbayang bentuk kepala semut yang sebenarnya jauh lebih mengerikan ketimbang buaya atau bahkan kuda nil sekalipun. Semut menjadi tampak tidak mengerikan hanya karena kebetulan ukuran tubuhnya yang kecil, sehingga orang tidak terlalu peduli pada penampakan kepala semut yang mengerikan dengan permukaan yang kasar dan bergerigi itu. 

Kuncoro yang melihat Anjani tertawa dibuat makin tratapan. Jantungnya bekerja makin keras. Degup-degupnya makin tak karuan. 

“Ya ampun, manisnya perempuan ini,” Kuncoro membatin sambil menatap wajah Anjani yang tertawa dengan mata yang sedikit terpejam itu. Kuncoro tak habis pikir, bagaimana bisa perempuan semutiara Anjani kini duduk bersebelahan dengannya dan tertawa oleh guyonannya.

Sebelum ketahuan kalau ia sedang terkagum-kagum dan amat telaten menatap Anjani, Kuncoro buru-buru menyibukkan diri. Ia mengambil kembali ponsel dari dalam sakunya. Berlagak seolah sedang membuka pesan WhatsApp, padahal sama sekali tidak ada pesan baru yang masuk.  

Ia memencet tombol home, membuka aplikasi WhatsApp, membuka pesan dari sebuah grup —yang semua pesannya sudah ia baca, lalu memencet tombol home lagi, dan kemudian memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku.

Ia tampak sangat kikuk. Baru kali ini ia merasa kehabisan gaya dan agak salah tingkah. Hal yang sebenarnya wajar saja. Lagipula, siapa pula lelaki waras yang tidak kikuk kalau duduk di sebelah perempuan secantik Anjani?

“Namanya siapa, Mas?” Tanya Anjani agak mengagetkan Kuncoro yang memang sedang berusaha menyibukkan diri. Belum sempat Kuncoro menjawab, Anjani langsung menyusulkan hentakan yang lain. “Nama saya Anjani, Mas,” ujarnya sambil mengulurkan tangannya.

Kuncoro berusaha menenangkan diri dan mengatur kekagetannya. Ia sambut tangan Anjani. “Kuncoro, Mbak. Kuncoro Pangestu!”

“Wah, namanya bagus.”

“Nama Mbak juga bagus. Anjani. Siapa nama panjangnya?”

“Tebak siapa?”

“Kalau disuruh tebak umur, saya masih bisa, minimal antara lima belas sampai tiga puluh. Apes-apesnya kalau meleset ya empat puluh. Tapi kalau disuruh tebak nama ya keriting ndasku, Mbak.”

“Tebak saja, siapa tahu langsung benar di percobaan pertama.”

“Anjani Anjangsana!”

“Bukan dong.”

“Anjani Anjanarko!”

“Apalagi itu. Lama-lama nanti nebaknya Anjani Anjing Kintamani pasti.”

“Anjani Soekarnoputri.”

“Bukaaan!”

“Anjani Subianto.”

“Yeeee, sebutin aja semua ketua umum partai. Nggak ada yang bener.”

“Ya habis apa dong, Mbak? Tiiiit. Saya nyerah.”

“Ya sudah kalau nyerah. Saya juga lagi males ngasih tahu,” kata Anjani sambil merenges.

Kuncoro tampak mangkel. Ia tersenyum kecut. “Kalau tahu kakaknya bikin mangkel kayak begini, saya jadi nyesel sudah bantuin mbujuk adik Mbak. Tahu begitu saya biarkan saja tadi, biar adik Mbak sunatnya mepet pas mau kawin, pas sudah alot kulit burungnya.”

Anjani merenges, lalu tersenyum. Senyuman yang lagi-lagi membuat Kuncoro berdesir. Rasa-rasanya Kuncoro rela tak kunjung tahu nama panjang Anjani asal ia bisa terus menyaksikan senyuman yang teramat manis itu. Senyuman itu membuat waktu terasa melambat. Membuat dirinya makin berani menerawang bayangan-bayangan masa depan yang indah. 

“Anjani Widyaningrum.” Kata Anjani membuyarkan terawangan Kuncoro yang sejenak itu.

“Apa?”

“Anjani Widyaningrum,” kata Anjani kembali menyebut namanya, “Itu nama panjang saya, Anjani Widyaningrum.”

“Nah, kan,” kata Kuncoro, “Sudah saya duga, pasti nama panjangnya nggak kalah cantik.”

“Memangnya Mas tahu apa arti Widyaningrum?”

“Nggak tahu.”

“Lalu tahu dari mana kalau itu nama yang cantik?”

“Dari wajah Mbak,” jawabnya. “Perempuan secantik Mbak, dulu pas bayi nggak mungkin dikasih nama yang nggak cantik,” terang Kuncoro menggoda.

“Idiiiiiiiih…”

“Bener kan? Coba kalau Mbak nggak cantik, pasti dulu sudah dikasih nama Anjani Asturo.”

“Dasar lelaki ya, baru juga kenal, sudah berani merayu.”

“Lelaki memang harus begitu, Mbak. Harus inisiatif. Kalau apa-apa harus kenal akrab dulu, saya nggak mungkin ikut membantu membujuk adik Mbak, soalnya saya nggak kenal apalagi akrab sama dia.” Timpal Kuncoro defensif. 

“Ah, kalah omongan terus saya.” Kata Anjani dengan wajah bete.

Kuncoro tertawa mendengar pengakuan kekalahan Anjani yang disertai dengan raut kepasrahan itu. Sejujurnya, Kuncoro merasa tidak sedang memenangkan apa pun. Justru ia yang merasa kalah karena terlalu cepat untuk menyukai Anjani. Baginya, seharusnya butuh lebih dari sekadar wajah yang cantik dan senyuman yang menawan untuk membuat jantungnya berdebar dan merasa ada sesuatu yang lain di dalam hatinya. 

* * *

Dari ujung selasar, kakak perempuan Kuncoro tampak melambaikan tangan kepada Kuncoro, ia memberi tanda bahwa suaminya sudah selesai menyelesaikan administrasi pembayaran. 

Kuncoro seperti disergap perasaan yang aneh. Tadinya ia menunggu di selasar berharap agar suami kakaknya segera selesai mengurus administrasi dan ia bisa segera pulang, namun sekarang, ia justru merasa masygul saat hal tersebut terjadi. 

Ia berharap agar suami kakaknya masih mengantre mengurus pembayaran. Ia ingin lebih lama berbincang dengan Anjani. Mencoba peruntungan siapa tahu ia masih bisa kebagian senyuman-senyuman Anjani yang lain. Perempuan itu benar-benar telah memenangkan hatinya, dalam durasi pertandingan yang amat singkat. Kuncoro kalah. Dan ia mengakuinya. 

“Ehm… Mbak, saya pulang dulu. Kakak saya sudah selesai,” kata Kuncoro sembari menunjuk kakaknya yang berdiri menanti di ujung selasar, “Kapan-kapan kita sambung lagi.”

“Memangnya kita masih akan ketemu?”

“Saya sih berharapnya begitu,” jawab Kuncoro, “Boleh saya minta nomor WA Mbak?”

“Nggak boleh.”

Kuncoro agak kaget, ia memang spontan saja meminta nomor WA Anjani, namun ia tak menyangka juga bahwa yang diminta ternyata menolak memberikan nomor WA-nya. Tentu saja masuk akal bagi Kuncoro jika seorang perempuan menolak memberikan nomor WA-nya kepada lelaki yang baru ia kenal, namun sekali lagi, ia tak menyangka jika Anjani akan melakukannya.

“Ah, pelit.”

“Biarin,” timpal Anjani, “Ini pembalasan karena dari tadi saya kalah omongan terus.”

Kuncoro merenges kecut. Ia tidak berusaha meminta sekali lagi nomor WA Anjani. Dirinya sudah kalah, tak perlu baginya membuat kekalahannya makin telak.

“Dasar, cantik-cantik tapi pendendam.”

“Bukan pendendam, sekadar menyamakan kedudukan.”

“Oke deh, kedudukan kita seimbang. Kapan kira-kira kita bisa bertemu lagi untuk melanjutkan pertandingan?”

“Nggak tahu kapan, tapi kalau memang jodoh, kita bakal ketemu lagi di sini. Saya masih punya adik laki-laki yang belum sunat kok, dan kalau mau sunat, pasti sunatnya di sini juga. Siapa tahu pas adik saya itu disunat di sini, Mas juga lagi nganterin adiknya atau keponakannya sunat, lalu Mas ikut bantuin keluarga saya lagi mbujuk adik saya yang nggak mau sunat kayak adik saya yang pertama tadi.”

“Kalau begitu kesempatan kita bertemu lagi di sini sangat tipis.”

“Kenapa?”

“Saya nggak punya adik, dan keponakan saya sekarang sudah sunat semua.”

“Ya sudah, kalau begitu kita nggak jodoh buat ketemu lagi,” kata Anjani sambil bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Kuncoro.

Kuncoro diam termangu menatap Anjani yang berjalan menjauh meninggalkannya. Dalam hati, ia berharap bahwa Anjani yang sedang berjalan menjauh itu akan berhenti sebentar lalu menoleh ke belakang, seperti adegan-adegan di film, ketika seseorang merasa berat meninggalkan seseorang yang lainnya.

“Satu… dua…” Kuncoro membatin, ia berhitung dan berharap semoga pada hitungan ketiga, Anjani akan menoleh ke arahnya.

“Ti….” Tak ada tanda-tanda Anjani bakal menoleh, “Ga…”

Anjani benar-benar tak menoleh. 

“Empat… lima…” Kuncoro melanjutkan hitungannya. Siapa tahu Anjani baru akan menoleh pada hitungan yang keenam, bukan ketiga. 

“E…” Masih nihil, “Nam…”

Anjani tak menoleh. Kuncoro menyerah, ia tak mau mempermalukan harga dirinya semakin jauh dengan melanjutkan hitungan konyolnya itu. 

Kuncoro pasrah. Ia membalikkan badan, berjalan gontai ke arah kakak perempuannya. Ia kalah, untuk kesekian kalinya. 

Rini, kakak perempuan Kuncoro tampak bingung dengan perubahan wajah adik lelakinya yang mendadak tampak sangat loyo dan sayu itu.

“Ada apa, Kun?” tanyanya.

“Dari dulu beginilah cinta, Mbak, deritanya tiada akhir!”

(bersambung…)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kuncoro Anjani - Part 3
4
5
Kuncoro akhirnya menemukan harapan untuk bisa bertemu dengan Anjani. Harapan yang ia temukan secara tak sengaja karena bantuan kawannya, Marwan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan