
Dari ketinggian lantai dua puluh sebuah balkon apartemen tampak sebuah pemandangan menyebalkan! Percuma tinggal di tempat tinggi jika kelakuan masih berada di zona rendah. Masih juga ada yang hobi membuang sampah sembarangan! Sungguh tidak beradab membuang bungkus bumbu indomie ke balkon begitu saja. Tuing! Susahkah membuang ke tong sampah? Tak juga makhluk ini memikirkan deru angin yang berhembus meniup sampah sakralnya itu ke balkon di bawahnya. Dasar tetangga tak tahu diri!! Rasa jengkel menguasai...
“Akong lapar....,” demikian jawab pria beruban dan nyaris botak itu dengan suara lemah namun sorot matanya jelas tertuju pada sesuatu di balkon,“Buatkan Akong Indomie goreng. Akong lagi pingin makan itu,” lanjutnya.
Bumbu Indomie goreng jumbo yang baru saja mengesalkannya itu, kini menginspirasi Akong! Padahal sudah setahun ini tidak berani Sonya menyimpan stok Indomie di rumah. Bagaimana pula sekarang Akong sendiri yang meminta menu mie instan? Akong sudah setahunan ini sedang dijaga dietnya. Diet kanker. Dokter bilang Akong dilarang makan makanan sembarangan. No vetsin. No pewarna. No gluten. No gula. Makan buah dan sayur saja. Buah yang manis pun dilarang! Akong sudah setahun ini diet ketat sejak didiagnosa terkena kanker kelenjar. Pola makan harus dijaga. Akong tidak mau kemo. Akong tidak mau operasi. Akong mau di rumah saja menikmati sisa-sisa waktunya.
“Akong...bukan Sonya tak mau membuatkan. Tapi ingatlah kata Dokter Hardi. Akong harus makan makanan khusus. Akong...”belum selesai kalimat Sonya meluncur dari bibirnya dan kemarahan Akong meledak bak gunung Merapi memuntahkan laharnya. Belum pernah suara Akong menggelegar seperti itu.
“Aku sudah sekarat!!! Sungguh tega kalian semua! Orang yang sudah hampir mati masih juga hendak kalian siksa? Kalian berikan makanan yang hambar. Tak nikmat! Aku tidak minta yang mahal, aku hanya mau Indomie goreng jumbo kesukaanku”, nampak bercucuran peluh di dahi Akong. Napasnya tersengal. Rupanya cukup banyak energi yang terkuras untuk marah barusan. Rasa marah memang bisa menjadi marah kuadrat jika bercampur lapar.
Sonya pun kalah telak. Turunlah sang cucu berbakti ini membelikan dua bungkus Indomie Goreng porsi jumbo di minimarket yang letaknya di bawah apartemen. Kok dua bungkus? Rupanya Sonya pun tergoda menikmati Indomie Goreng setelah sekian lama….
Tak lama pula waktu untuk memasaknya, namanya juga mie instan! Sekejap saja sudah jadi! Letupan wangi khas itu tercium dari dapur. Ya..wangi mie yang baru diangkat dari rebusan air dan dituang ke mangkuk, wangi khas saat mie diaduk-aduk dengan bumbunya. Wangi yang membuat air liur siapa pun yang pernah mencicipinya otomatis keluar. Glek!Akhirnya Sonya ikutan makan Indomie juga, menemani Akong!
Rasa nikmat dan gurih khas ini kembali menari-nari di lidah Sonya. Juga lidah Akong. Tak pernah Akong bisa mengecap kenikmatan makan sejak ia sakit. Kenangan pun bermunculan. Kenangan rasa dan memori bersama Indomie. Sonya pun teringat masa-masa jadi anak kosan dan harus hidup super irit. Indomie menjadi menu akhir bulan. Masa-masa kehilangan pekerjaan, Indomie tak hanya menemani di akhir bulan.
Nyaris setiap hari aneka rasa Indomie meninggalkan jejak kenikmatan di lidah Sonya. Rasa kari ayam favorit penganti yang pas saat ngidam masakan kari mbok Darmi. Rasa ayam spesial juga favoritnya! Rasa sotomie pun sering menemani Sonya kala hamil dan mulutnya ingin yang asam-asam. Oh, Indomie memang tiada lawannya! Surga kenikmatan! Telah sekian lama Sonya tidak menyimpa stok indomie. Setahun terakhir ia hanya sibuk memperhatikan pola makan Akong.
Sonya pun teringat masa Sekolah Dasar kelas empat yang diwarnai tragedi Ayah bankrut. Ayah tak berpenghasilan mengharuskan Mama kerja keras berjualan kue-kue keliling kompleks. Titip sana sini. Makan seadanya. Nasi. Telur. Indomie. Indomie lima bungkus rasa ayam kari itu dimasak dan dihidangkan di panci besar. Ditunggu hingga mendodok agar mienya membesar gemuk dan bisa dicukup-cukupkan untuk tujuh mulut rakus yang perutnya keroncongan. Sonya terhanyut dalam lamunan hingga tak sadar Akong memanggilnya.
“Akong kenyang. Baru kali ini Akong habis satu mangkuk sejak sakit”, senyum puas pun tersungging di bibir Akong.
“Wah hebat nian, baru kali ini habis makanan Akong” , senyum pun terulas di bibir manis Sonya. Akong pun menggerakkan kursi rodanya kembali ke kamar. Besok pun ia masih minta Indomie. Ada beberapa kali dalam seminggu Akong memaksa minta menu favoritnya itu.
“Makan itu asal dimulai dengan ucapan syukur dan doa, niscaya akan berfaedah. Makan itu jangan terpaksa atau merasa tidak bersyukur. Nanti malah jadi penyakit”, demikian nasehat Akong, Sonya hanya berani menuduh dalam hati bahwa Akong cuma sok menasehati demi berkelit.
“Yang penting pengendalian diri. Tahu diri. Tahu batas. Apa pun kalau berlebihan itu tidak baik”, nasehat-nasehat itu pun berlanjut, “Sonya, kau pun tak akan berjumpa jodohmu jika terus menutup diri. Lupakanlah mantanmu. Dia tidak pantas kau pikirkan terus. Kau akan menemukan orang lain yang lebih baik. Yakinlah”.
Kini sudah tiga bulan sejak kepergian Akong. Sonya masih belum bisa melupakan kebersamaan mereka. Meski kini Akong sudah di tempat yang lebih baik, namun Sonya masih sering merindukannya. Tiap rasa rindu itu muncul, Sonya pun mengobatinya dengan memasak sebungkus Indomie Goreng Jumbo.
Hari itu….kenikmatan mengunyah Indomie Goreng terusik oleh munculnya sampah bungkus Indomie di balkon (lagi!). Bungkus itu baru saja mendarat di balkon. Bak taburan bunga yang tertiup semilir angin dan mendarat persis di balkon lantai 20. Bergegaslah Sonya menengok ke atas balkon dan nampak moncong berkumis yang bisa dipastikan pelakunya. Dua lantai di atasnya tepat! Lantai 22! Kali ini tak akan kubiarkan si kurang ajar itu lolos!

Pintu Lantai 22 diketuk dan terdengar suara menggonggong. Pintu pun terbuka dan nampak seorang jejaka yang sedang mengomeli seekor anjing pom pom imut.
“Awas kalau kau gondol lagi sampahnya!” seru si pria tinggi itu kepada anjing pom pom bulu putih yang sok polos tersebut.
Tangan Sonya masih memegang bukti kejahatan si moncong imut. Bungkus Indomie Goreng Jumbo! Wajah marahnya malah memerah. Rona malu muncul di pipinya. “Pria ini ganteng juga”, batinnya.
“Oh..ini sampah yang jatuh ke balkon bawah ya?” tanya si Ganteng dengan sopan, “Maafkan kalau anjing saya mengotori balkon anda. Saya sungguh minta maaf. Boleh silahkan masuk sebentar dan kita bisa ngobrol sejenak?”
Pria ini ternyata bukanlah tetangga kurang ajar yang disangkanya. Sonya pun tanpa sadar melangkah masuk ke ruang tamu , tanda mengiyakan ajakan “ngobrol”nya. Mangkuk berisi Indomie goreng yang setengah disantap nampak di meja makan. Wah kesukaan Akong. “Aku pun barusan makan semangkuk Indomie Goreng Jumbo, kok” .
Entah mengapa, nasehat terakhir Akong terbersit di benak Sonya.
Ini saatnya membuka diri untuk hubungan baru.
Percakapan itu pun berlanjut….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
