
Menjelang pertengahan abad ke-21, Indonesia mengalami kemajuan teknologi yang canggih. Namun, berbagai permasalahan tidak kunjung dituntaskan, termasuk permasalahan krisis iklim yang kian mencekik negeri.
Pemerintah justru memulai ekspedisi pertama manusia untuk mendirikan koloni pertama di Mars tahun 2042. Azhar dan sembilan awak Ekspedisi Anggaraka I dikirim untuk membuka lahan di selatan Gunung Olympus.
Kedaulatan negeri berada di ujung tanduk di Bumi. Sementara di planet berlangit senja abadi itu, kemanusiaan dipertaruhkan.
[EXPLICIT CONTENT! +18]
Langit Biak nyaris gelap, separuh mentari telah tenggelam menyisakan guratan jingganya yang masih bersinar lemah ke arah Samudra Pasifik. Tidak jauh dari pemukiman Desa Saukobye, perkebunan yang dulunya asri kini telah berdiri kompleks bangunan berfasilitas megah dan padang rumput milik BAPA, Badan Antariksa dan Penerbangan Angkasa.
Di dalam kantor BAPA hampir semuanya berbeda dengan orang di kampung. Dulunya, tanah itu milik nenek moyang orang Biak, kemudian beberapa dekade silam beralih fungsi, tentunya konflik tidak terelakkan. Sekarang, kawasan itu dipenuhi sekitar ratusan orang hilir mudik mengenakan setelan jas putih, menandakan profesinya sebagai ilmuwan.
Kompleks bangunan ini punya mes pekerja. Di sinilah Azhar tinggal. Sore itu, ia baru bangun di kamarnya yang sempit. Tubuhnya basah oleh keringat, padahal suhu ruangan cukup sejuk. Ia terengah-engah karena terperanjat mengira hari sudah subuh.
Azhar menghela napas setelah jam tangan pintar yang dilengkapi kecerdasan buatan mengeluarkan suara “waktu telah menunjukkan pukul 18 lewat 14 menit di tanggal 7 Desember 2042”. Azhar rupanya baru bangun sekitar satu jam terlelap letih seusai latihan fisik untuk terakhir kalinya.
Tentu, sebagai seorang astronaut, Azhar diharuskan menjaga betul kondisi fisiknya agar selalu prima dengan rutin olahraga, bersamaan dengan pelatihan. Dia merupakan salah satu dari 10 anggota tim Ekspedisi Anggaraka I yang digagas oleh BAPA, sebagai misi kolonisasi Mars.
Azhar bersama sembilan orang lainnya meninggalkan Bumi pukul 12 malam nanti. Itu sebabnya ia terbangun dan terperanjat, berpikir telah ketinggalan pesawat luar angkasa yang membuatnya sebagai pelopor kolonisasi planet merah itu.
Dengan sigap, Azhar segera berdiri dan berkemas. Lagu lawas Minangkabau Fenny Bauty berjudul “Lah laruik sanjo” diputar Azhar lewat pelantang yang terhubung dengan jam pintarnya, sebagai pengiring suasana senja terakhir sebelum meninggalkan Bumi. Sekitar lebih dari dua jam kemudian, ia telah rapi mengenakan pakaian safari, membawa tas besar yang nantinya akan diserahkan kepada tim penyedia kargo pesawat antariksa, dan beranjak pergi menuju ruang serbaguna untuk taklimat para awak.
10 awak dari Ekspedisi Anggaraka I terdiri dari berbagai profesi mulai dari ilmuwan, teknisi, tentara, dan dokter. Azhar adalah perwira yang terlibat dalam misi ini untuk menjaga ekspedisi jika terlibat dalam kontak senjata dengan negara yang bersaing secara tidak sehat di sana.
Walau pangkatnya tak tinggi, Azhar begitu getol latihan untuk bisa ikut dalam ekspedisi ini karena merupakan cita-citanya. Semangatnya selama beberapa tahun untuk bisa terlihat dari upayanya untuk masuk ekspedisi yang memboroskan uang negara itu.
Ganjaran tiket keluar angkasa Azhar adalah dengan kehidupannya sendiri. Ambisinya bukan main-main. Sebagai lelaki, Azhar telah didik untuk fokus dan tak tergoda oleh rayuan apa pun demi mimpinya. Rayuan apa pun tak akan mempan, sehingga orang yang mengenalnya menjulukinya sebagai robot.
Azhar tak akan pernah lunak hati, termasuk urusan romansa. Baginya, seperti yang orang tuanya ajarkan, meraih mimpi adalah kunci kesuksesan, urusan cinta dan perempuan akan mengikuti di belakang.
Sewaktu kecil, Azar pernah didiagnosis mengidap Sindrom Asperger yang membuatnya sulit bersosialisasi. Kondisi psikologis inilah yang mungkin membuatnya menjadi satu-satunya prajurit dengan sindrom tersebut. Patut diacungi jempol, tetapi menyebalkan.
Ekspedisi Anggaraka I tidak hanya punya satu ‘robot’, tetapi memiliki robot sungguhan menyerupai tank seukuran tubuh manusia, yakni La Galigo Rover. Staf BAPA memperkenalkannya kepada tim saat taklimat di ruang serbaguna. La Galigo Rover digadangkan sebagai robot tercanggih, bermanuver optimal, disertai kecerdasan buatan yang dapat mengirim informasi langsung ke Bumi, dan memproyeksi citra hologram.
Citra hologramnya dapat menjadi asisten tiap awak dengan karakter berupa manusia. Hanya para awak yang dapat melihat karena mata mereka telah dilengkapi pupil buatan, tetapi proyeksinya juga bisa dilihat di layar pemantauan BAPA di Biak. Awak laki-laki mencitrakan asistennya berupa perempuan dengan karakter berbeda, begitu juga sebaliknya oleh awak perempuan.
“Wah, kalau robot mah kami sudah punya. Si Azhar, Pak,” canda salah satu awak dengan pelat dada di seragam bertuliskan “Josh”. Semua yang ada di dalam ruang serbaguna tertawa, hanya Azhar yang terdiam menerima gurauan itu ke dalam hati tanpa bisa bertindak untuk menjaga wibawa.
Bagaimanapun, La Galigo Rover akan membantu tugas misi tim di Mars. Tim Ekspedisi Anggaraka I akan menjadi “kelompok Bumi perdana dari Indonesia yang akan berangkat ke Mars”, seperti yang diwartakan berbagai media dari penjuru dunia.
Tim pun sudah bersiap di dalam Anggaraka I, wahana antariksa yang megah dengan melibatkan banyak pembiayaan. Di dalam kostum astronautnya, Azhar begitu tegang seperti anggota lainnya. Misi ini begitu berat karena entah kapan akan kembali ke Bumi, dan bisa jadi untuk selamanya tinggal di planet berlangit senja abadi itu.
Di bawah sana, mata dunia tertuju ke Biak, menyaksikan peluncuran ini dari seluruh dunia. Media menyorot dengan berbagai tema. Ada yang menarasikannya dengan positif seperti ambisi perdana manusia menuju dunia baru, atau kepesatan sains di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Ada pula yang kritis seperti pengabaian penanganan krisis iklim, atau isu pemborosan kas negara. Semua mata tertuju ke peluncuran wahana antariksa di Biak.
Peluncuran pun dimulai. Azhar merasakan gaya G yang membuat mentalnya goyah. Hanya keyakinan yang bisa dipegang saat ini, memastikan bahwa peluncuran akan berhasil. Tanpa disadar karena tiada jendela menengok keluar langsung, wahana rupanya telah lepas landas. Mereka berhasil menembus batas gravitasi menuju Mars dalam perjalanan 412 hari lamanya.
***
Wahana antariksa Anggaraka I mungkin adalah pencapaian terbesar di negeri ini, hanya saja proyek itu menjadi pertaruhan untuk entah apa yang dituju. Krisis iklim semakin tidak terelakkan, dan investasi hijau tidak berjalan dengan baik. Hanya kalangan kaya yang merasakan hidup aman, sedangkan di bawah jurang, yang miskin mendera semua yang keji.
Kekacauan menggelora di berbagai daerah mulai dari kriminalitas, hingga pemberontakan yang bertujuan untuk mendirikan negara-negara baru. Gerakan lama pun seperti di Papua, Aceh, dan Maluku Selatan semakin menggila.
Petinggi negeri ini berpikir, proyek antariksa ini akan membangkitkan semangat kebersamaan dan prestasi luar biasa untuk menjaga keutuhan. Selain itu, dengan membangun koloni di Mars, manusia bisa tercegah dari berbagai bencana iklim di Bumi sembari menyembuhkan planetnya.
“Ya enggak bisa begitu! Kan jelas, kalau membangun koloni itu butuh proyek 100 tahun. Enggak semua orang bisa langsung ke Mars, dong, apalagi yang kalangan miskin enggak punya duit untuk bisa bayar pesawat antariksa antarplanet. Naik pesawat saja susah! Pastinya mereka menjadi martir ketika Bumi sudah tidak layak untuk dihidupi,” kata seorang awak yang sedang seru-serunya berdebat politik di suatu ruangan kabin.
Jika didengar-dengar dari nada bicaranya dan paras raganya, jelas ia seorang ilmuwan wanita dan wanita satu-satunya di ekspedisi ini. Kayla namanya, menurut tulisan di dada kostum. Lawan bicaranya adalah Josh, tentara yang sempat mengejek Azhar di Bumi
Selama 412 hari di luar angkasa, para awak disibukkan dengan pemeliharaan peralatan untuk dipasang di Mars dan berkomunikasi dengan kru BAPA di Bumi. Staf BAPA menyampaikan, jika misi ekspedisi ini berhasil tiba di Mars, ekspedisi berikutnya bernama Anggaraka II akan menyusul tahun depan. Wahana sudah disiapkan dan akan memuat lebih banyak orang termasuk ahli, teknisi, dan personel militer, tetapi hanya membawa segelintir.
Setelah itu, ada waktu istirahat. Perdebatan politik sering terjadi yang pada awalnya hanya basa-basi tentang kegiatan. Namun, ilmuwan dan tentara itu tampaknya menjadi bermusuhan karena lebih dari setahun harus saling berhadapan.
Pembahasan politik tidak masuk ke dalam otak Azhar, apalagi sampai berdebat seru. Dia memilih untuk tebal telinga. Azhar hanya tahu cara menjalankan tugasnya sebagai prajurit yang harus mengondusifkan suasana dan menggunakan senjata api.
Di waktu-waktu istirahat, Azhar lebih banyak menghabiskan waktu , selain tidur, dengan mendengarkan musik lama, menonton film di layar hologram dari jam tangannya, bermain dengan La Galigo Rover, dan bermain mainan anak-anak. Dia punya lusinan miniatur tentara di dalam tas, lengkap dengan tank dan pesawat tempur mainan. Terkadang, dia menyendiri di ruang hampa gravitasi, melayang-layang larut dalam imajinasinya sebagai burung atau menjadi superman.
Aktivitas awak lainnya suka menjelajahi wahana antariksa yang sangat besar itu bersama-sama. Saking besarnya, jika para awak berkumpul, hanya sekitar 10 persen di bagian ujung depan wahana dibandingkan keseluruhannya, sampai-sampai ada ruangan yang cukup untuk bermain futsal. Wajar, ada banyak barang yang dibawa untuk menjadi bangunan pertama koloni manusia di Mars nanti.
Selain itu? Hiburan para awak adalah Azhar. Dia dilihat bagai orang tolol yang tak bisa berbuat apa-apa. Pernah ketika Azhar dilibatkan dalam pembicaraan serius, ia justru berimajinasi entah ke mana. Marsma Santosa dan Josh tak habis pikir, "bagaimana ceritanya orang dengan gangguan seperti ini bisa menjadi tentara?"
***
Wahana Anggaraka I akhirnya mendekati atmosfer Mars. Mereka berencana mendarat di tepi gunung Olympus—gunung tertinggi di tata surya—pada bagian selatan tebing raksasa nan panjang. Tempat itu segera dinamai oleh mereka sebagai Situs Anggaraka I sebagai koloni manusia pertama untuk negaranya. Pertimbangannya, kelak beberapa abad ke depan, saat planet merah itu akan diisi air, akan terpisah dari benua utama. Mereka sengaja mengisolasi di masa depan, antisipasi adanya pergolakan antarkelompok jika kelak peradaban begitu maju di sana.

Setelah mendarat dan menapakkan kaki pertama, 10 orang itu terpana dengan dunia baru yang asing. Siarannya pun dikabarkan di Bumi, tetapi baru akan tayang satu hingga dua hari, karena jaraknya yang jauh. Sementara itu, La Galigo Rover segera menjelajah sekitar untuk mengumpulkan gambar dan data yang diperlukan. Wahana kemudian berkembang secara otomatis, membentuk kompleks perkantoran baru, lengkap dengan fasilitas pertanian dan ruang pemuat daya listrik dari matahari.
“Belum ada kabar dari Bumi?” tanya Marsma Santosa yang memimpin kelompok ekspedisi, seminggu setelah pendaratan. Di dalam ruang komunikasi yang baru itu Timmy si teknisi masih sibuk mengotak-atik sejibun perangkat untuk menghubungi dengan Bumi, tetapi tidak ada hasil. Semua tim menjadi tegang. Marsma Santosa terus menenangkan para kru yang mulai panik, walau jauh di dalam dirinya lebih panik lagi. Azhar tidak panik. Dia berusaha menegarkan dirinya sendiri bahwa tidak selamanya terisolasi.
Yang mereka tahu, ketibaan mereka di Mars pada 23 Januari 2044 sebagai harapan baru bagi umat manusia dan bangsanya. Namun yang tidak diketahui, di Bumi sana, tepatnya di negeri yang tercinta, hendak memulai distribusi pemilihan umum pada Desember 2043 yang akan dilakukan pada 10 Januari. Namun pemilu gagal dilakukan karena sabotase. Kerusuhan pun terjadi di berbagai kota dengan berbagai opini yang menyebar, ditambah presiden terpilih sangat terang-terangan melakukan kecurangan demi mendapat periode kedua.
Alhasil, kabar mereka di Mars tenggelam tanpa perhatian, bahkan oleh peneliti BAPA sendiri. Mereka sedang dalam kondisi kritis, tidak boleh menginterupsi fokus pemerintah yang tengah dihadapi krisis.
Hari demi hari, kondisidalam negeri semakin tidak stabil. Pemerintahan pusat di Jakarta lepas akan kendalinya di daerah-daerah, karena kerusuhan berhasil menawan, sampai-sampai membunuh para pejabat lokal. BAPA di Biak disabotase para pemberontak yang menghendaki kemerdekaan Papua.
Dengan kosongnya pejabat lokal, negara-negara baru berdiri dan kerajaan lokal kembali berdaulat dalam waktu singkat. Kemerdekaan mereka berlatar belakang luka yang sama di tempat masing-masing. Tanah mereka telah dikavling untuk orang lain yang bukan mereka. Pemilik lahan baru, sampai-sampai, membuat kebijakannya masing-masing yang mengancam keberadaan masyarakat setempat.
Di bekas pusat pemerintahan Indonesia, yang berdiri adalah Jayakarta yang berbentuk republik pada beberapa bulan kemudian, dengan wilayah yang meliputi Banten, Jakarta, dan Bekasi. Mereka mengeklaim sebagai pewaris Indonesia yang hendak mengembalikan kejayaan Sabang—Merauke. Kelak, mereka mengobarkan fasisme, berperang dengan negara-negara tetangga yanh masih seumur jagung.
Bagaimanapun, para awak di Mars terisolasi! Tak ada media di Bumi yang menyorot misi ini. Semua berfokus pada pembubaran negara dan pembentukan daulat baru.
***
Satu tahun Mars kembali hening tanpa aktiitas manusia. Para awak terlihat lesu melakukan aktivitasnya, seolah tanpa harapan di dalam wahana. Mereka baru mendapat kabar apa yang terjadi tiga bulan berikutnya dari Stasiun Antariksa Internasional yang berbasis di bulan. Kabar begitu lambat untuk tiba dari mereka, karena para awak di stasiun di bulan berasal dari bekas negara adidaya lama seperti NASA dan ESA. Negara-negara itu kehilangan cahayanya karena krisis mancanegara yang bergejolak dalam satu dekade terakhir.
Para awak merasa tidak tenang dengan isolasi ini. Mereka menyimpulkan, tidak akan ada misi Ekspedisi Anggaraka II yang akan datang membantu atau memulangkan mereka. 10 orang itu sendirian di Mars, dan hanya ditemani La Galigo Rover yang memproyeksikan asisten khayalan mereka.
Ah, manusia, selalu saja di dalam keterisolasiannya selalu kebutuhan biologis harus dipenuhi. Selain makan, mereka memanfaatkan La Galigo Rover saat bekerja untuk memproyeksikan khayalannya masing-masing. Tentu saja, kebutuhan biologis mereka. Merancap.
Merancap dengan asisten proyeksi merupakan rahasia umum bagi tim ekspedisi. Semuanya melakukan, kecuali Azhar yang tidak berhasrat seksual seperti robot. Masing-masing dari mereka, baik yang berusia muda seperti Timmy, wanita seperti Kayla, dan tua seperti Marsma Santosa merancap saat bertugas menjaga La Galigo Rover di Ruang Pantau atau di lapangan.
Mereka, bahkan, merancap saat malam nan sangat dingin di Mars jatuh ketika La Galigo Rover di luar pantauan. Terkadang, laki-laki merancap pada dua batuan Mars yang digabungkan menyerupai farji, atau bantal guling yang dibolongi. Yang perempuan? Tentu saja, apa pun bisa menjadi pemuasnya.
Untuk mencegah bau di dalam wahana, mereka membuang sisa-sisa ‘kebutuhan biologis’ itu ke luar. Tentu merepotkan. Andai saja oksigen atmosfer Mars layak dihirup tanpa kostum astronaut, siapa pun bisa mencium bau amis di sekitar Situs Anggaraka I, ditambah bau tahi karena masalah sanitasi. Terkadang tahi mereka dijadikan pupuk, yang membuat fasilitas pertanian bau.
Ya, hanya merancap. Hanya itu yang bisa mereka lakukan sebagai pelipur sepi, menunggu ajal tiba di tengah bentang alam Mars yang ramah dan pasokan makanan yang kian menipis. Pemilihan tempat di dekat Olympus membuat tekanan udara sangat ekstrem. Ditambah perubahan musim di Mars memang dikenal sangat cepat dibandingkan di Bumi.
Pernah sampai saking tiadanya harapan, krisis moral datang pada mereka. Marsma Santosa yang dikenal eksentrik, mengadakan pesta menyentuh diri sendiri dengan asisten proyeksi masing-masing di fasilitas Ruang Serbaguna. Pesta kejatuhan moral itu diadakan dengan lagu-lagu lawas yang pernah didengar Marsma Santosa waktu muda sebagai cara berpesta ala kadarnya, salah satunya “Bercinta di Udara”.
“Papa Alpha Charlie Alpha Romeo! Mengajakmu gombal di udara. Memang cinta asyik di mana saja walau di angkasa!” begitulah yang dilantunkan Farid Hardja. Mereka benar-benar bercinta di udara, bermain-main dengan gravitasi, dan menghambur-hamburkan sumber daya, layaknya hidup tiada hari esok. Azhar hanya menghabiskan alkohol dan hanya diam berdua dengan asisten proyeksinya tanpa berbuat apa-apa, seperti dua robot berpasangan.
Sampai akhirnya, di tengah-tengah keputusasaan yang telah makin menggerogoti jiwa selama setahun lebih, harapan baru datang. Jamur dan sayur-sayuran mereka berhasil tumbuh, bahkan berbunga untuk menyediakan bibit. Ada harapan demi ketahanan pangan mereka. Tim pun segera menyiapkan keberlanjutan tanaman itu, demi keberlangsungan hidup.
Akan tetapi, malang nian nasib ekspedisi ini. Sudah terjatuh, tertimpa tangga pula. Keberhasilan penumbuhan tanaman pertanian hanya harapan sekilas, bagi mereka yang terbuang di planet senja abadi itu. Alih-alih 2046 sebagai tahun harapan bagi umat manusia di Mars yang berhasil mempertahankan pangannya, tetapi angka itu menjadi petaka bagi umat manusia di Bumi.
Suatu sore di tanggal 14 Februari 2046 menurut kalender Bumi, terlihat planet Bumi nan kecil seperti bintang kejora. Sore di Mars berbeda, langitnya biru. Tim ekspedisi tengah duduk di pinggir tebing Olympus menyaksikan planet rumah mereka, berharap kelak bisa kembali. ‘Bintang’ itu janggal karena kerlap-kerlip, seperti bintang angkasa nun jauh yang cahayanya terganggu atmosfer. Kayla langsung menyadari kejanggalan itu dan segera memeriksa teleskop.
Rupanya tamu yang diprediksi sejak lama benar-benar datang. Namanya 2023 DW. Benda angkasa itu adalah asteroid berukuran sangat besar yang sudah diperkirakan sejak tahun 2023 akan menghantam Bumi, tetapi meragukan. Asteroid tersebut menghantam Bumi di Samudra Hindia, menciptakan dentuman hebat. Di teleskop, seperti pasir yang ditumbuk batu yang menghasilkan lemparan pasir di sekitarnya. Nyatanya, di Bumi, tsunami besar terjadi di seantero tepian Samudera Hindia, termasuk Indonesia.
Kayla berkeringat gugup bak melihat setan, membuat penasaran rekan-rekannya. Berturut-turut dari Marsma Santosa, Josh, Azhar, dan lainnya menyaksikan. Kayla dengan ketakutan, menjelaskan fenomena yang terjadi.
Segera tim ekspedisi kembali ke situs mereka di bawah mencoba menghubungi siapa pun di Bumi. Mereka tidak bisa menghubungi Stasiun Antariksa Internasional di Bulan karena selama 10 hari, posisinya sudah menjauhi Mars. Tanpa ada tanggapan dari satelit mana pun di Bumi, mereka terduduk lemas.
Setelah dari 10 hari, mereka tidak bisa menghubungi Bulan. Hanya ada laporan darurat yang masuk bahwa Stasiun Antariksa Internasional di sana hancur akibat banyaknya pecahan asteroid yang menumbuk bulan terlebih dahulu.
Mereka yang tersisa di Bulan mengabarkan bahwa dentuman di Bumi sampai di Bulan, dan menghancurkan berbagai fasilitas vital. Lemparan materi dari Bumi begitu hebat karena setelah tumbukan asteroid, negara-negara yang suka mengancam nuklir fasilitasnya meledak. Ledakannya memperparah dampaknya.
Ternyata kondisinya memburuk. Namun, tim ekspedisi yakin, masih ada yang tersisa manusia di Bumi walau sedikit. Bencana besar itu membuat manusia hanya dapat menggunakan teknologi ala kadarnya, bagaikan mundur tiga abad. Bagi ‘orang Mars’, harapan pulang betul-betul sirna. Malam itu di Mars, penuh dengan kesunyian putus asa.
***
Josh berjalan masuk ke Ruang Serbaguna yang dipenuhi semua awak, tetapi dingin tanpa panas dari mulut untuk berkata-kata. Kaki Josh mengentak-entak seraya berseru, “Kita enggak bisa begini terus, kawan-kawan! Kita enggak bisa diam-diaman begini terus. Kita hadapi ini bersama-sama, sampai jauh sampai ke Mars sejak awal.”
Josh pun mengarahkan pandangannya menuju Marsma Santosa yang duduk lesu di lantai. “Sudah jadi jalan kita untuk tetap hidup sebagai manusia pertama dan—mungkin—yang terakhir di Mars. Seenggaknya kita harus cari jalan!”. Ia berusaha mendorong semangat tim ekspedisi sebisa mungkin. Dia menunjuk-nunjuk tentang keberhasilan yang telah dicapai.
Semangat Josh berhasil menular. Maka, Marsma Santosa yang tadinya terduduk lesu kembali bangkit, mengajak diskusi para awak di atas kursi, memikirkan bagaimana keberlangsungan hidup mereka. Hanya saja, pembahasan mengarah ke hal yang tidak membuat nyaman Kayla: memopulasi ulang manusia di Mars.
Bagaimana tidak nyaman? Bisa dibayangkan, baru sebentar saja manusia di planet asing ini, para laki-laki sepakat mengenai bagaimana perempuan harus difungsikan, bagaikan mendomestikasi hewan liar.
Namun, memang sudah dasarnya laki-laki di alam asing nan bahaya, sifat ingin bereproduksinya meningkat. Marsma Santosa yang sudah kepala lima rupanya puber kedua. Sebagaimana hukum rimba di Bumi, ia merasa dirinya sebagai pejantan alfa yang berkuasa untuk memiliki Kayla dan berketurunan. Tujuh awak lainnya tak terima, merasa diri mereka juga punya hak yang sama. Azhar tidak terhitung, tetapi ia berfirasat adanya bahaya antarawak. Jika terjadi, Azhar hanya punya siasat: jangan mati.
Firasat Azhar benar. Keributan para anggota semakin kacau. Mereka semua bertarung dengan tangan kosong, dan perlahan menyebar dengan tujuan melucuti senjata api di gudang wahana. Para laki-laki sibuk bertarung demi mendapatkan peluang bisa kawin dan berketurunan dengan Kayla. Sedangkan Kayla, sibuk berlari melindungi dirinya yang diperlakukan seperti piala.

Laju evolusi manusia bergerak mundur di Mars. Pertarungan di dalam kelompok kian sengit berdarah-darah. Persaingan para awak bak kelompok monyet rimba yang ingin berebut kuasa. Satu per satu korban berjatuhan disaksikan oleh La Galigo Rover, terekam di dalam sirkuit peranti memorinya.
Bagaikan seleksi alam Darwin dalam penggambaran hukum alam, yang punya kekuatan yang tersisa. Marsma Santosa, Josh, dan Azhar menjadi laki-laki yang tersisa. Berbagai ruangan kompleks wahana telah dikotori oleh darah umat manusia terakhir. Tak ada yang menyadarkan mereka tentang hilangnya kemanusiaan, termasuk Kayla sendiri yang sempat membunuh demi menyelamatkan diri.
Kayla berusaha sebisa mungkin, bersembunyi atau kabur, dan memukul agar tidak tersentuh oleh para lelaki yang kehilangan akal sehatnya. Sialnya dalam pelarian, Marsma Santosa dengan darah segar milik Josh di tangan menemukannya di luar wahana. Marsma Santosa segera mengenakan kostum astronaut untuk mengejar Kayla. Ketika sudah dekat, ia menerjang dengan beringas Kayla yang sedang berusaha lari atau melawan.
Kayla mulai lelah tak berdaya dalam keadaan terkunci kaki Marsma Santosa. Helm kostum astronautnya pun baret-baret. Mengetahui Kayla tak lagi berkutik, Marsma Santosa segera menggotongnya masuk ke wahana sampai masuk ke dalam kamar pribadinya. Ruangan itu sudah bagai tempat persembunyian singa kelaparan berbentuk Marsma Santosa yang berhasil membawa zebra buruan untuk disantap.
Tiba-tiba suara tembakan meletus. Kepala Marsma Santosa bolong ditembus peluru senapan yang dibawa Azhar. Pejantan alfa itu tumbang di kamarnya sendiri.
Suara tembakan itu membangunkan Kayla yang nyaris pingsan. Menyadari Marsma Santosa tumbang, ia masih ketakutan dengan Azhar yang memegang senapan. Lekas ia memohon pada Azhar agar tidak melukainya, dan berjanji untuk mengisi manusia di Mars bak Adam dan Hawa yang mengisi Bumi.
Kayla berada posisi antara hidup dan mati yang bergantung pada kebaikan hati Azhar. Hanya saja, bicara hati, Kayla mungkin lupa bahwa sudah berapa tahun belakangan bersama Azhar, turut menghinanya sebagai robot. Tanpa hati.
Ucapan memohon dan rayuan Kayla diterima dalam kepala Azhar. Kata-kata itu justru memanggil kembali ragam ingatan Azhar tentang hati. Berkali-kali ada banyak hinaan mengenai sifat kakunya bak robot yang tak punya hati. Ingatan-ingatan menyakitkan itulah yang terputar, sehingga meyakinkan diri untuk menutup hatinya untuk welas asih.
Permohonan dan rayuan Kayla tak lagi didengarnya. Telinga dalam hati Azhar telah tertutup. Ia pun mengarahkan moncong senapan kepada Kayla.
***
Saat cuaca cerah, langit Mars berwarna merah karena debunya yang kaya akan mineral besi oksida. Debunya sangat halus. Begitu diterpa pawana nan kencang, debu yang mengandung unsur itu menampakkan warnanya. Serupa Bumi, angin mampu mengamuk juga, berlangsung berminggu-minggu lamanya seluas benua. Pengamatan apa pun harus terhenti karena harus bergiliran pada alam yang mengamuk tanpa alasan.
Setelah peristiwa tragis itu, Situs Anggaraka I jadi lebih tertutup pasir merah. Tiada yang membersihkan. La Galigo Rover masih sibuk sendiri berkeliling mengumpulkan data dan menganalisis untuk entah siapa yang akan menerimanya. Begitu juga dengan Azhar yang disibukkan untuk mempertahankan ketahanan tanaman pangan yang tersisa setelah tragedi.
Dalam kesendirian Azhar menyadari, manusia butuh manusia lain. Benaknya yang membatu, perlahan-lahan retak memunculkan penyesalan. Apalagi ia harus melihat mayat kawan-kawannya lagi, terpaksa untuk dimakan, karena pangan belum bisa dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan.
Ada berbagai kata-kata andai di dalam kepala setiap memorinya menayangkan masa lalunya. Penggambarannya beralur maju sampai akhirnya mengenang Kayla. Ketika melihat Kayla, dia mengulang kembali gambaran-gambaran wanita yang sempat mencuri hatinya di waktu lampau. Air matanya pun bercucuran sambil berbisik dari diamnya "aku masih punya hati”, bagai pelita kecil di antara gelap.
Setelah beres-beres dan menjalankan aktivitas semuanya dengan sendiri, seperti biasa, Azhar duduk menyaksikan matahari mulai turun di cakrawala bagian barat dari ruangannya. Dia ditemani oleh La Galigo Rovers yang sudah kembali dari aktivitas di luar wahana. Lagu "Lah laruik sanjo" yang jadi favoritnya diputar seperti biasa melihat sore.
Pelita di hatinya telah berubah menjadi sosok Kayla dalam bentuk asisten proyeksinya. Diam-diam, ada penyesalan telah menghabisinya. Berharap waktu bisa diulang untuk menemani sisa akhir peradaban umat manusia yang tersisa di planet terasing.
Di ruang pribadinya, di balik selimut nada-nada lagu lama kesukaannya, Azhar meraih gulingnya. Diam-diam ia telah menumbuhkan bibit hasrat manusiawinya, merancap. Dalam suasana tak bisa digambarkan, Azhar justru seperti orang gila yang bercinta dengan bayangan orang yang sudah tiada. Untuk pertama kalinya, Azhar jatuh cinta.
"Mandi ka Lubuak Mandalian
Mandi ka Lubuak Mandalian
Udang disangko tali-tali
Udang disangko tali-tali
Mabuak untuang jo parasaian
Mabuak untuang jo parasaian
Patang disangko pagi hari
Patang disangko pagi hari
Ondeh-ondeh, lah laruik sanjo
Ondeh-ondeh, lah laruik sanjo"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
