Sandyakala Terindah (06)

7
0
Deskripsi

06. Hari Pertama

"Kamu ini nggak ada kosakata lain, selain hah?" –Kafi.

06. Hari Pertama

Pagi itu tampak sedikit cerah, matahari tanpa malu-malu menampakkan wujudnya padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan. Enam remaja yang sudah lengkap dengan jas almamaternya sedang berkumpul di ruang utama kantor desa.

"Syila, tolong panggil Kafi di luar." Suara bariton milik Septian berhasil menyadarkan Syila dari lamunannya tentang kejadian nahas semalam.

"Apa?" tanya Syila.

"Tolong panggil Kafi di luar," ulang Septian.

"Karena kamu paling dekat dengan pintu, jadi tolong panggil dia sebentar." Septian kembali melanjutkan ucapannya sebelum Syila menyela.

Menurut, Syila bangun dari posisi duduknya. Kemudian ia keluar untuk memanggil Kafi. Perempuan itu celingak-celinguk saat tidak menemukan keberadaan Kafi, padahal ia sudah berdiri di teras.

Dengan langkah terpaksa, Syila menuruni anak tangga, lalu ia mendapati Kafi sedang mengutip sampah di samping kantor desa. lalu membuangnya ke tumpukan sampah.

"Alkahfi," panggil Syila pelan, ia belum terbiasa memanggil nama lelaki itu dengan panggilan 'Kafi'.

"Alkahfi." Syila mengulang panggilannya saat lelaki itu tak juga menjawabnya.

"Al–"

"Kafi." potong Kafi, lelaki itu sudah berdiri tepat di depan Syila.

"Hah?"

"Panggil saya Kafi."

"Hah?"

"Kamu ini nggak ada kosakata lain, selain hah?"

"Nama kamu 'kan Alkahfi, jadi ya aku panggil sesuai nama."

"Bukannya saya udah pernah bilang kalau nama panggilan saya 'Kafi'?"

Syila terdiam, benar yang dikatakan lelaki itu. "Iyaaa," jawabnya pasrah.

"Iya apa?"

"Iya, Kafi."

"Nah, gitu."

Syila mendengkus, "Kamu dipanggil Septian," ujarnya kembali fokus pada tujuan utama memanggil lelaki itu.

Kafi mengangguk, ia mengangkat tangannya, mengisyaratkan bahwa tangannya masih kotor.

"Ya, cuci dulu!"

Kafi tertawa, "Iya, saya mau cuci tangan dulu. Kamu duluan aja, nggak usah nunggu saya," katanya sambil tersenyum jahil. Setelah mengatakan itu, Kafi beranjak menuju sumur yang terletak di belakang kantor desa.

"Cowok aneh, siapa juga yang mau nungguin dia!" gerutu Syila ketika Kafi sudah berjalan jauh meninggalkannya.

"Mana Kafi?" tanya Septian saat melihat Syila masuk ke kantor seorang diri.

"Lagi cuci tangan," jawab Syila ketus. Kemudian ia mendaratkan bokongnya di kursi samping Ana.

"Nasyila," panggil Septian.

"Apa?"

Menghela napas, Septian meletakkan pulpen yang sedari tadi dipegangnya ke atas meja. Lalu ia menatap Syila serius. "Kamu bisa nggak jangan ketus gitu? Kita di sini semuanya keluarga, jangan anggap seperti orang asing."

Ucapan Septian kontan membuat keempat temannya tertawa.

"Sep, kamu itu belum terlalu kenal Syila. Dia nggak seketus itu kok aslinya," sahut Giska yang masih tertawa.

"Ya, mana aku tahu dia aslinya gimana. Orang dia kayak membatasi diri dengan kita."

"Syila itu belum terbiasa aja. Nanti juga keluar aslinya gimana. Sekarang kita mau bahas apa?" ujar Amanda, bertujuan agar mereka kembali fokus pada tujuan utama.

"Hari ini kita diajak berkunjung ke masyarakat oleh Pak Sekdes. Gimana? Pada bisa, 'kan?" tanya Septian yang dijawab anggukan oleh semua anggotanya.

"Maaf teman-teman, saya baru selesai mencuci tangan." Suara Kafi yang baru datang dari arah pintu membuat semua orang yang berada dalam ruangan itu menatapnya.

"Jadi pergi sama Pak Sekdes?" tanya Kafi lagi.

"Jadi, ayo kita tunggu di depan aja." Septian mengambil langkah untuk keluar dari kantor terlebih dahulu.

Saat baru keluar dari kantor desa, seorang lelaki setengah baya terlihat sedang berjalan memasuki gerbang kantor desa. Septian dan Kafi langsung berjalan menghampiri lelaki tersebut.

"Mau langsung jalan?" tanya Pak Rahmat.

"Iya, boleh, Pak," jawab Septian.

***

"Kak, tambah es teh satu lagi, ya." Giska mengangkat tangannya, meminta tambahan es teh kepada pemilik warung.

"Kepedasan, Gis?" tanya Septian.

"Nggak sih, lagi haus aja."

Saat ini, para anggota kelompok KKN Hutan Mekarsari sedang makan siang di sebuah warung kecil depan masjid. Mereka memilih makan siang mi goreng yang terkenal enak di desa ini.

"Panas banget," keluh Ana seraya mengipasi wajah dengan tangan kanannya.

"Iya, capek banget tadi jalan kaki," sahut Giska seraya menyeruput es tehnya yang baru diantar ke meja mereka.

"Susah banget karena nggak ada motor, ya."

"Iya, Manda. Ada motor supra ibu tapi cuma satu. Mana bisa kita bonceng berlima." Syila ikut-ikutan mengeluh.

"Sudah, jangan banyak mengeluh. Tujuan kita ke sini untuk mengabdi, jadi lakukan dengan sepenuh hati."

Syila memutar bola matanya begitu mendengar penuturan Kafi. Kenapa sih, lelaki itu sangat menyebalkan?

"Nanti malam ada kajian ibu-ibu di menasah, Teungku Imum mengajak teman-teman agar berhadir, sekalian pendekatan dengan ibu-ibu kata beliau," seru Kafi seraya membaca pesan di ponselnya. Setelah itu, ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dan menatap kelima teman perempuannya secara bergantian.

"Gimana? Pada bisa, 'kan?"

"Bisa, soalnya udah diajak. Jam berapa kajiannya?" tanya Giska.

"Habis isya."

"Oke."

"Yang lain gimana? Kok cuma Giska aja yang jawab? Nasyila, gimana?"

Syila yang disebut namanya oleh Kafi, mendongak menatap lelaki itu. Kenapa harus namanya yang disebut? Padahal teman-temannya yang lain juga hanya diam saja, sama seperti dirinya.

"Bisa," jawab Syila singkat.

"Yang lain? Manda, Nafiza, Ana, kalian bisa juga, 'kan?"

"Bisa," jawab Amanda, Nafiza dan Ana serentak.

Kafi mengangguk, "Masya Allah, saya bangga sekali dengan teman-teman sekalian. Udah kelompok paling sedikit bawa perkakas, kelompok tersabar dan juga bersosial," lanjutnya seraya mengacungkan kedua jempolnya.

Syila tergelak, ucapan Kafi barusan terdengar seperti sindiran di telinganya. Yang benar saja lelaki itu mengatakan bahwa mereka adalah kelompok paling sedikit mebawa perkakas, kelompok tersabar dan juga bersosial? Sekali lagi, Syila ingin tertawa mendengarnya.

"Kenapa kamu senyum-senyum, Nas?"

"Hei, Nasyila! Kenapa kamu senyum-senyum?" ulang Kafi karena Syila tak menjawab pertanyaannya. Perempuan itu malah sibuk dengan ponselnya.

"Lho, kamu ngomong sama aku?" tanya Syila dengan dahi yang berkerut.

"Memangnya ada yang namanya Nasyila selain kamu?" Kafi balas bertanya.

"Lho, kamu 'kan tadi manggilnya, Nas. Mana aku tahu kamu ngomong sama aku!"

"Nama kamu 'kan, Nasyila. Jadi wajar dong saya panggil, Nas. Ada yang salah?"

Dahi Syila semakin berkerut, ada apa dengan lelaki aneh itu?

"Tapi nama panggilan aku, Syila. Bukan, Nas!" balas Syila tak mau kalah.

"Lho, suka-suka saya dong. Saya maunya panggil, Nas!" Kafi tetap kukuh ingin memanggil Syila dengan 'Nas'.

"Kalian berdua ribut mulu. Jodoh baru tahu rasa!" sahut Septian yang sudah lelah mendengar perdebatan tidak penting antara kedua anggotanya itu.

***

Malam harinya, Syila dan keempat teman perempuannya menghadiri kajian di menasah yang terletak tepat di samping kantor desa. Bangunan berbentuk rumah panggung itu sudah dipenuhi oleh para perempuan, baik tua maupun muda yang akan menghadiri kajian.

Acara kajian tersebut selesai pukul setengah sepuluh. Para ibu-ibu yang berhadir sudah membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing, begitu juga dengan Teungku Abdullah yang memimpin kajian. Sementara para mahasiswa KKN perempuan itu sedang berada di kantor desa untuk bertemu dua anggota lelakinya.

"Gimana kajiannya?" tanya Septian.

"Ya, Alhamdulillah lancar. Tapi aku nggak terlalu ngerti bahasa Aceh," ujar Amanda, ia berasal dari Sumatra Utara, sama halnya dengan Septian. 

Anggota kelompok KKN Hutan Mekarsari yang bisa berbahasa Aceh hanya Syila, Nafiza dan Ana. Giska hanya mengerti jika ada yang berbicara, namun ia akan menjawabnya dalam bahasa Indonesia. Sementara Kafi yang berasal dari Sumatra Barat juga tidak bisa berbahasa Aceh.

"Sama dong, nggak apa-apa 'kan ada translator tuh tiga orang." Septian menunjuk Syila, Nafiza dan Ana.

Amanda terkekeh, lalu ia bertanya, "Kita kapan pertemuan sama aparatur desa nih? Biar bisa langsung bicarakan program kerja kita."

"Kapan, Kaf?" Septian malah bertanya pada Kafi. Sebab, selama ini Kafi lah yang berkomunikasi dengan kepala desa, sekeretaris desa, maupun teungku imum.

"Katanya malam besok, Pak Geuchik udah tentukan jadwal dengan aparatur desa," jawab Kafi.

"Kita jadi ke sungai, 'kan?" tanya Giska. Ia sudah excited ingin pergi ke sungai yang menjadi perbatasan kecamatan tempat mereka KKN dengan kecamatan sebelah. Yang membuat gadis itu excited adalah adanya jembatan gantung di atas sungai itu.

"Jadi, tapi paginya kita diminta untuk berhadir ke peresmian jalan yang ada di dusun Bunga Teratai, tempatnya nggak jauh dari sini, kita jalan kaki bersama Pak Geuchik dan Pak Sekdes. Saya harap teman-teman dapat hadir lebih awal, tolong kerjasamanya." Kafi berusaha bersikap tegas kepada teman perempuannya. Pasalnya tadi pagi mereka sudah berjanji untuk hadir ke kantor desa pukul delapan, namun malah molor menjadi pukul sembilan dengan alasan mengantre untuk mandi.

"Kami nimba, loh. Makanya lama. Ibu belum sempat hubungi tukang untuk pasang sanyo." sahut Ana membela diri.

"Kan bisa bangun lebih awal, tolong jangan cari-cari alasan." 

Menghela napas, Ana memilih mengalah daripada harus berdebat dengan Kafi. Lelaki itu tampak masih sedikit kaku, jadi ia tidak berani untuk mengajak bercanda berlebihan.

"Saya ingatkan lagi kepada teman-teman, besok pagi jam delapan sudah berkumpul di kantor."

"Iya, oke," jawab Amanda.

"Kita ke sana naik apa?" tanya Giska.

"Saya sudah bilang kalau tempatnya dekat, kita jalan kaki bersama Pak Geuchik dan Pak Sekdes. Tolong jangan bertanya apa yang tak patut untuk ditanya!"

"Ya, maap. Salah aja Giska. Perasaan aku nanya baik-baik, loh. Biasa aja lah!" balas Giska sewot.

"Lho, 'kan Giska nanya baik-baik. Emang pertanyaan itu nggak patut untuk dipertanyakan ya, Kaf?" Amanda ikut menyahut.

"Saya tidak suka menjawab pertanyaan yang sebelumnya sudah saya kasih tahu jawabannya. Sudah, kalian pulang aja. Tidur sana!" seru Kafi yang terkesan seperti mengusir.

"Nggak mau tidur, mau nunggu besok pagi." Ana ikut bersuara lagi. Ia merasa kesal dengan Kafi yang tiba-tiba jadi suka marah-marah.

"Ya sudah, nggak perlu bilang ke saya juga, 'kan?"

"Kaku banget kayak mau sidang aja!" cibir Ana.

"Iya, nggak bisa apa biasa aja ngomongnya. Nggak usah ngegas gitu!" sahut Giska kesal. Baru hari pertama KKN, lelaki bernama Alkahfi Pratama itu sudah menguji kesabarannya.

"Udah, nggak usah ribut-ribut. Udah malam ini, sebaiknya kalian pulang aja. Nggak enak dilihat warga nanti kalau kalian masih di sini." Septian akhirnya bersuara, berusaha menengahi kegaduhan yang terjadi.

"Dia tuh, baru hari pertama aja udah menguji kesabaran!" Giska masih berdebat.

"Terserah kalian, saya juga sudah capek ngomong sama kalian. Di awal aja udah nggak disiplin, gimana nanti?"

"Kamu juga, Nas. Jangan sampai telat besok pagi!" Kafi menunjuk Syila dengan jari telunjuknya.

Syila melongo. Kenapa malah dirinya yang dibawa-bawa dalam perdebatan ini?

Aku dari tadi diam aja loh, Alkahfi Ngeselin Pratama! Batin Syila kesal.

***

**Catatan

*menasah : bangunan umum di desa-desa sebagai tempat melaksanakan upacara agama, pendidikan agama, bermusyawarah, dsb.

jadi menasah ini biasanya kalau di Aceh jadi tempat kajian kitab-kitab gitu, bisa juga untuk melaksanakan salat. Tapi di desa tempag mereka KKN ini menasahnya nggak digunakan untuk salat, karena kebetulan ada masjid yang letaknya di samping menasah itu.

*Teungku Imum : seorang ustaz yang ada di desa yang biasanya memimpin sebuah dayah/pesantren (bagi desa yang memiliki dayah/pesantren)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sandyakala Terindah (07 & 08)
7
2
07. Sungai dan KamuFirst impression kamu waktu ketemu aku itu, gimana? –Kafi.08. Perhatian KecilMinum itu aja, kakimu 'kan masih sakit, nggak usah banyak jalan ke sana kemari. –Kafi. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan