
Deskripsi
Belanda, 17 Januari 1969
Publik Belanda geger. Negeri yang tenang itu tiba-tiba saja diledakkan oleh pengakuan Joop Hueting, seorang mantan prajurit yang pernah ditugaskan ke Indonesia dan terlibat langsung dalam Agresi Militer. Ia memberikan pengakuan bahwa tentara Belanda saat itu melakukan hal-hal diluar batas kemanusiaan. Bermacam media mencarinya untuk diwawancara, disusul dengan berdatangannya media asing dari Jerman bahkan Amerika. Semua kesaksian mengerikan ia paparkan,...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Natal Kelabu, Kesaksian Wim Dussel
35
9
19 Desember 1948. Belanda melancarkan serangan besarnya yang kedua, mereka menyebutnya sebagai Politionile Actie atau Aksi Polisionil dengan propaganda yang senantiasa digaungkan : restoring law and order , memulihkan hukum dan ketertiban. Membasmi kelompok teroris dan ekstrimis yang menjadi ganjalan dalam misi kolonialisme mereka. Dilain pihak Indonesia menyebutnya sebagai Agresi Militer II.Kisah kali ini, saya dan Marjolein van Pagee akan menterjemahkan kisah pengalaman seorang Marinir Belanda bernama Wim Dussel yang menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku berjudul Dat was jij Marinier ! De geschiedenis van de mariniersbrigade 1945-1949. Arti terjemahan dalam bahasa Indonesianya lebih kurang Itulah kau Marinir ! Sejarah Brigade Marinir 1945-1949. Buku ini diterbitkan tahun 1950 , tak berselang lama setelah usainya perang. Ini membuat saya berasumsi dia masih memiliki ingatan yang cukup tajam atas pengalamannya di Jawa Timur, Indonesia. Berikut adalah catatannya :Suatu malam menjelang natal, Desember 1948Hujan masih saja belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti, sesekali ia mereda sebentar, kemudian kembali turun dengan derasnya. Kami dalam keadaan begitu basah dan lelah , bahkan tak ada sebatangpun rokok yang bisa diselamatkan, sungguh disayangkan walau sebenarnya kami pun dilarang keras menyalakan rokok dalam situasi siaga seperti ini. Suasana saat itu begitu sepi, sunyi, mencekam, langit begitu gelap, jalanan licin, genangan air ada dimana-mana. Suara dahan pohon yang sesekali berjatuhan membuat jantung berdegub kencang... kami diperintahkan diam dan menunggu di desa ini.Seorang marinir menggerutu sial betul kita ini, sekarang kan malam menjelang natal, kita malah ada disini !, tak seorangpun dari kami yang menyahut ucapannya. Kami semua tetap bersiaga menanti perintah selanjutnya, kedinginan, menggigil, hawa dingin sungguh terasa menusuk hingga ke tulang. Tiba-tiba saja peristiwa itu terjadi, kalian yang hanya membaca tulisan ini dan tidak ada ditempat kami saat itu berada akan sulit untuk percaya. Diantara pekat malam dan suara hujan, kami mendengar suara alunan musik dari salah satu rumah di desa itu. Sebuah rumah dimana para perwira berkumpul , nampaknya mereka menemukan gramaphone disana. Ya...sebuah gramaphone kuno dengan pengeras suara berbentuk tanduk.Awalnya seorang prajurit yang masuk dan menemukannya, bersama itu ia temukan pula sebuah piringan yang tak kalah kuno bahkan judulnya pun tidak bisa terbaca. Ia mencobanya dan diluar dugaan, itu adalah lagu natal yang cukup terkenal : Silent Night Holy Night. Lagu ini terdengar begitu indah di telinga dan hati kami, ditengah malam yang sedang hujan pada 24 Desember disebuah negeri tropis begitu jauhnya dari rumah dan dinyanyikan dalam bahasa tanah air kami. Seorang kawan mendadak berkata Diujung dunia sana, orang tuaku saat ini pasti sedang bersiap-siap pergi ke gereja, rasanya aneh membayangkan bahwa mungkin saja detik ini aku dan kedua orang tuaku sedang mendengarkan lagu yang sama...ahhh...mungkin sebaiknya aku menutup mulut saja.Dari kejauhan kudengar Kapten berteriak memberikan perintah semua bergerak maju !! kita gunakan rumah-rumah di sebelah sana untuk perlindungan!. Kami berdiri dan mulai bergerak, rasanya semua badan masih kaku dan hujan masih saja mengguyur tanpa ampun. Tak lama kemudian kami mendapatkan tempat untuk berteduh di lokasi yang memang diperintahkan oleh Kapten. Kami melihat orang-orang desa itu berkumpul jadi satu. Kami menyebar dan mengepung desa itu, disebuah rumah kecil, beberapa dari kami yang masih mempunyai tenaga berusaha membuat api dan membuat hangat hawa sekelilingnya. Kami semua kelaparan dan berupaya mencari sesuatu untuk dimakan. Beberapa ransum biskuit masih tersisa, tapi sama sekali tidak banyak. Kami lepaskan semua pakaian basah dan meletakkannya dekat perapian dengan harapan agar cepat mengering, rasanya begitu melegakan. Semua merasakan kelelahan yang teramat sangat dan butuh tidur tapi terasa sulit untuk melakukannya. Di sekitar perapian kami mulai membuat teh dan kopi sedangkan sebagian prajurit lainnya berjaga diluar rumah, prajurit-prajurit yang malang. Sekalipun demikian tak ada satupun dari mereka yang mengeluh, di kejauhan terdengar sayup-sayup suara beberapa prajurit yang menyanyikan lagu natal.Jam 6 pagi terdengar teriakan agar kami bersiap bergerak, kami masih sangat lelah dan mengantuk. Kemudian terdengar suara teriakan dari marinir lainnya, tapi kali ini bukanlah teriakan menyuruh segera bersiap. Ia berteriak mengumpat-umpat tiada habisnya karena celananya terbakar, rupanya ia menaruh celana terlalu dekat dengan api kemudian tertendang kakinya tanpa sengaja ketika ia tertidur, segala umpatan dan sumpah serapah tidak mampu membuat celananya kembali utuh. Ada perasaan lega, seragam kami mulai mengering walau menjadi kotor kehitaman akibat jelaga.Sayangnya drama kebahagiaan ini tak berlangsung lama, begitu keluar dari desa tersebut...hujan kembali turun dengan derasnya. Kami sama basahnya dengan semalam, semua orang menggerutu tapi apa mau dikata.Kami terus bergerak, berjalan, memasuki kota Ngawi...merebut benteng pendem *Bersambung PS : Terimakasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan pembaca yang menyukai artikel ini dan meninggalkan komentar. Terimakasih sebesar-besarnya bagi rekan pembaca yang memberikan donasi. Semoga tulisan ini membawa manfaat 🙏🏻
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan