
Deskripsi
Ini Ekstended Part yg terakhir ya 🥲 jgn minta lagi!
5,106 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Ghinaraga
Selanjutnya
Under Ex control
129
26
UNDER EX CONTROL Prolog Gaun bertumpuk di pinggul Linang saat Ia berada di atas pangkuan Bara dengan kedua paha terlipat, mengapit sisi tubuh pria itu.Desah halus lolos dari bibirnya yang mungil kala Bara meremas pinggulnya dan membantunya bergerak, mengisi Linang dengan gairah demi mencari kepuasan seperti malam-malam terakhir mereka.Terhitung sejak dua Minggu pernikahan, dan Bara tak pernah tidak menyentuh Linang. Setiap malam, setiap ada kesempatan. Dia selalu punya stamina untuk meluluhlantakkan Linang hingga tak bersisa.Mata Bara terbuka, mengawasi Linang dengan tajam dikala wanita itu mempercepat pacuan di atas tubuhnya bersama mata terpejam, sesekali berkedip sayup melihat gairah yang menyala di mata suaminya.Mas... lenguh Linang. Mengalungkan tangan di leher Bara. Lelaki itu beralih ke puncak dadanya. Mengecup dan meninggalkan hisapan teramat kencang.Panas tubuh Bara ... Aromanya yang kuat. Setiap inci ototnya yang mengagumkan, menghipnotis Linang hingga setiap kali berhadapan, akalnya selalu lenyap. Linang bukan hanya menggilai Bara, Ia mencintai Bara, memujanya. Sepenuh hati.Mas, nggak kuat.Tahan, jangan berani keluar sebelum saya nyuruh kamu.Mengigit bibir pasrah, Linang menekan bahu Bara, tak ingin mulut Bara meninggalkan dadanya.Kacau, putus asa. Eumh— rengek Linang gelisah, terpaksa mengontrol diri.Ia dengar Bara memaki, namun
tak lama kemudian ia melepaskan dadanya untuk memfokuskan diri pada
Kedua tangan yang memegang sisi
pinggang Linang. Umpatan-umpatan kecil, mulai terdengar kembali saat dirinya menuntun Linang bergerak tanpa jeda, lebih cepat dan semakin cepat.Nafas Linang tersengal, menggigit bibir bawahnya kuat. Ia sungguh tidak tahan hingga tak memusingkan citranya dengan bergerak liar, memacu pinggulnya menunggangi Bara, sambil merintih pada setiap hentakan keras yang juga pria itu lakukan.Ah.. kepala Linang menengadah, sementara kedua tangannya merambahi Surai Bara, menenggelamkan jari-jarinya disana, sedikit meremas.Sampai Gelombang itu nyaris tiba dan siap memecah keduanya menjadi kepingan. Bara menggeram, memerintahkan Linang untuk datang dan wanita itu menurutinya. Menjerit kencang karena Bara terus memacu percintaan dengan ritme berantakan seiring klimaks melanda.Linang menjatuhkan tubuhnya diatas Bara sesaat setelahnya. Bertumpu di dada lelaki itu sambil menyamakan erangan napas, serakah meraup udara, sebelum sisa desahan teredam oleh bibir Bara saat keduanya kembali bercumbu mesra.Dengan mudah Bara melentangkan Linang di atas ranjang mereka, menarik selimut hingga tubuh mereka tertutup sempurna. Rambut Linang yang telah basah oleh keringat dan pengap Ia singkirkan dari wajah sembab istrinya.Linang mendongak menatap wajah puas Bara.Jangan mandang saya kayak gitu kalau nggak mau dihajar sampai pagi. bisik Bara serak. Menatap Linang dengan sorotnya yang dalam. Ibu jarinya menyentuh pelipis Linang, menyapu bulir yang bertitik.Menyembunyikan wajah merona di balik dada keras Bara, Linang bergumam. Bisa nggak aku dapat jeda besok malam?Kenapa? Mulai bosan?Enggak, cuma pengen bener-bener ngerasain istirahat aja. Kilah Linang. Mas Bara selalu pulang larut, dan kita selesai melakukannya dini hari.Bukannya saya selalu nyuruh kamu tidur sebelum dibangunin tengah malam? Salahmu kenapa nunggu saya pulang. Saya nggak butuh disambut, cukup kamu standby di ranjang, lakukan tugasmu. Sekalipun harus bersenggama dengan wanita tidur, itu bukan masalah.Linang tercekat menatap Bara yang mendeliknya tanpa ekspresi. Saya nggak keberatan melakukannya meski kamu sedang nggak sadar sekalipun.Mas harusnya nggak bicara seperti itu.Kenapa? Tersinggung?Aku ngerasa direndahkan sama kalimat itu.Bara tertawa renyah sembari menjumput helaian rambut Linang, lantas menyelipkannya di balik telinga. Kamu sudah merendahkan dirimu sendiri sejak memutuskan untuk menjadi penggoda kecil, Linang.Sampai kapan mau bahas ini terus?Sampai kamu berhenti bertingkah. Tukas Bara dingin.Jangan mengatur. Saya pria bebas. Satu-satunya yang membuat saya terikat disini adalah karena permainan licik yang kamu mainkan. Kamu yang mendesak ingin dinikahkan. Terima saja konsekuensi nya.Aku pikir mas menyukaiku.Saya menyukai kamu, tetapi tidak untuk sebuah pernikahan, Linang.Jadi sekarang bagaimana?Entahlah. Jalani saja.Tangan Bara terulur, mengelus puncak kepala Linang, menyelipkan seluruh jemari di sela-sela surai wanita yang tenggelam dalam dekapannya itu.Sementara Linang dengan segera merasa tentram dalam pelukan hangat suaminya. Mencoba melupakan percakapan barusan. Berusaha mengaburkan fakta bahwa mereka menikah karena kesalahan, atau tentang Bara yang belum bisa menerima cinta dan kehadirannya. Linang tidak peduli.Ya, ia memang selalu membutakan mata dan menulikan pendengaran terhadap semua keburukan Sabara. Pada semua catatan buruk Lelaki itu di masa lalu, track record maupun skandal-skandalnya bersama para gadis di luaran sana, yang Linang tahu, Bara sekarang miliknyaTentang arti kehadirannya di mata pria itu tak Linang permasalahkan. Toh mengetahui bahwa Bara menyukainya saja sudah cukup. *** Semua berawal dari tiga bulan lalu. Pasca ditinggal oleh sang Ayah yang memutus hubungan dengan mereka demi wanita lain, Linang ikut bersama Ibunya menyambangi kediaman baru di kota. Dan di sanalah ia bertemu Bara. Putra tertua keluarga tersohor Arjanta.Bara yang tampan, namun berbeda dari pemuda kaya kebanyakan sangat memenuhi tipe kekasih ideal gadis muda nan naif seperti Linang. Keberuntungannya adalah karena saat itu Bara turut memancarkan ketertarikan serupa.Pemuda itu dingin, memang tak banyak bicara. Namun caranya memperlakukan Linang berbeda. Bara tidak angkuh, apalagi munafik seperti para temannya yang memandang rendah Linang sebagai gadis Desa namun melecehkannya secara terang-terangan jika ada kesempatan. Bara tidak seperti itu.Dia baik. Meski pembawaannya terkesan dogmatis dan abusive. Mungkin karena image berandalan pembangkang sangat melekat pada diri Bara yang menyenangi dunia balap liar. Sebagian orang menganggap Bara menakutkan. Tetapi bagi Linang, itu menjadi daya tarik tersendiri untuknya.Karena Bara, Linang jadi menyenangi bahaya.Dengan Bara, Linang jadi tahu sisi gelap yang tersembunyi dalam dirinyaKenyataan bahwa sekarang keduanya telah resmi terikat adalah satu wujud doa Linang yang dikabulkan Tuhan. Tuhan sangat baik padanya bukan? Meski sang Ayah menghancurkan hati dan melunturkan warna hidup Linang, namun tak lama waktu berselang Tuhan mempertemukannya dengan lelaki yang akan menaburkan warna itu kembali.Senyum terus pengantin baru, goda Bianca, adik perempuan Bara.Linang lantas bergeming, kedua pipinya sontak merona. Mau pulang sekarang, Bi? Alih nya ketika Bianca terlihat memakai tasnya kembali.Iya. Nanti bilangin ke mas Bara ya, aku mau pamit langsung tapi males diatas ada kak Liam. Kita lagi marahan soalnya.Marahan kenapa?Ya iyalah orang dia baru balik Aussie yang disamperin duluan mas Bara, padahal yang pacarnya kan aku bukan mas Bara. Cerocos Bianca terlihat amat kesal.Ya meskipun salah aku juga sih awalnya nolak jemput di bandara, tapi kan itu karena bestie ku pemberkatan di jam yang sama. Au ah, intinya aku lagi bete sama dia. Nggak mau ketemu dulu sampai dia datang minta maaf!Linang yang baru saja selesai memotong buah tertawa melihat tingkah misuh-misuh adik iparnya itu. Bianca memang ekspresif, lucu ketika sedang kesal. Itulah mengapa Linang selalu merasa terhibur atas kedatangannya. Kadang juga gadis itulah yang kerap kali mencairkan ketegangan suasana antara dirinya dan Bara.Udah ya, mau ngampus dulu. Kelasku mulai bentar lagi nih. Bye-bye sista! Pamit Bianca setelah mencubit kecil pipi Linang. Sudah menjadi kebiasaannya. Toh mereka memang sudah dekat semenjak kepindahan Linang, yang artinya sebelum pernikahan ini ada.Bukan hanya Bianca, Tuan dan Nyonya Arjanta juga sangat baik. Awalnya Linang pikir orang-orang dengan nama besar seperti mereka tak akan sudi memiliki menantu dengan latar belakang berbeda sepertinya. Ternyata tidak, justru merekalah yang mendesak pertanggungjawaban Bara terhadap Linang, kala keduanya tertangkap basah. Dan sampai saat ini pun, Linang masih diperlakukan selayaknya.Ah, bolehkah kini Linang mengklaim diri sebagai salah satu dari mereka yang beruntung? Memiliki Bara seutuhnya didukung sambutan hangat dari keluarga pria itu membuat duka yang yang sempat menyarangi batin Linang mulai tergantikan oleh bahagia yang tak terkira.
***
Gimana rasanya dapat istri perawan? Sebuah pertanyaan frontal bernada humor datang dari Liam, sahabat Bara yang satu jam lalu baru landing di bandara dan langsung menyambangi kediaman Bara, tak sabaran, semata-mata karena Ia telah melewatkan momen pernikahan sahabat karibnya itu. Dan kini Liam sangat penasaran.Not bad. sahut Bara enteng sembari sibuk mengotak Atik mesin internal motor besar kesayangannya.Not bad kata Lo?! Liam ternganga lebar. Ia tahu Bara memang berbicara singkat. Tapi ya jangan 'Not bad' juga lah. Seperti tidak ada yang spesial saja, padahal seingatnya Bara sangat menggilai fisik dan rupa Linang.Anjirlah! I hope to hear something in excess, bro. Bikin kacau ekspektasi aja. Sewot Liam. Respon Lo terlalu biasa. Ini Linang woy! Linang! Primadona, idaman para jantan.Bullshit. Bara menyeringai. My life is full of shit, setelah ketemu dia.What?! Liam semakin terperangah, untung saja masih sempat peka untuk menangkap soda kaleng yang dilempar Galang ke arahnya.As we know, Linang hanya gadis naif yang tolol dan mudah diperdaya. Sambil menjatuhkan bokongnya ke sofa, Galang menimpali.Woy Bar! Galang baru aja ngerendahin istri Lo sendiri di depan gue. Kok Lo diam aja sih? Adu Liam, namun respon Bara ternyata tak seperti dugaannya.I don't give a fuck.Hell yeah! Kekasih Bianca itu tak habis pikir. You're such an asshole! Makinya pada Bara.Udahlah, Bara pecinta hidup bebas. Yakali kehadiran Linang berpengaruh? Buktinya Bara masih aja main cewek tuh, di arena.Serius lo?Galang mengangguk. Ingat Lea kan? Dia jadi gift win taruhannya semalam.Jadi lo pake, Bar? Tanya Liam, Bara hanya diam, masih sibuk pada motornya.Yoi, mobil gue jadi saksinya. sambar Galang.Anjing. Nggak mikir perasaan Linang Lo? Kalian baru aja nikah woy. Cerca Liam yang lagi-lagi tak ditanggapi Bara. Galang sudah seperti juru bicara Lelaki itu sekarang.Bara nikahin dia sebagai bentuk tanggung jawab karena udah ketangkap basah sama nyokap si Linang.Pas lagi tancep-tancepan?Tepatnya nyaris.Bunyi dari Tang yang diletakkan Bara secara kasar membungkam kalimat yang hendak keluar dari mulut Liam. Bara berdiri, membersihkan tangan dan meneguk minumannya.Setelah tandas, barulah ia bersuara. Tau Gue kan? ucapnya pada Liam.Soal perempuan, Gue gak pernah serius.Apa itu berarti Lo bakal ninggalin Linang?Kalau udah saatnya. Gumam Bara.Kapan?Bara berkata. Maybe when I'm done with her body?Galang dan Liam lantas terbahak.Di sisi lain. Bak baru saja disirami es dari ujung kepalanya, tubuh Linang membeku. Matanya mengerjap dan hatinya menghitung setiap detik yang dilalui dalam keheningan, saat suara tawa para lelaki itu tak lagi mampu ia dengar.Mulut Linang terbuka namun tidak ada yang keluar dari dalam sana. Hanya matanya saja yang mulai memproduksi banyak cairan yang siap tumpah.Seakan-akan ketakutan terdalamnya hendak keluar untuk menyapa, Linang ingin berbalik demi memastikan bahwa ini tidak nyata, namun sesuatu tentang dirinya yang dijadikan lelucon dan dibanding-bandingkan dengan wanita yang memuaskan Bara semalam memaksanya untuk diam di tempat. Bayangan perselingkuhan sang Ayah muncul seiring dengan trauma yang membuat sekujur tubuh Linang gemetar, dadanya bergemuruh.Apapun, apapun akan Linang pertimbangan kecuali perselingkuhan. Bara bersenang-senang di masa lalu nya, Linang tidak keberatan. Tetapi bermain wanita disaat dia sudah berstatus suaminya, Linang tidak terima. Jika kalian berkata bahwa Linang terlalu cepat mengambil keputusan, coba pikirkan apa yang kalian harapkan dari putri seorang mantan peselingkuh? Yang hidupnya berubah total setelah sang Ayah memilih hidup bersama wanita lain ketimbang istri dan anaknya sendiri? Trauma itu membekas, masih belum hilang. Ketakutan akan bernasib sama seperti Ibunya menghantui Linang, Ia sungguh tidak bisa. Meski akan mengecewakan banyak pihak, toh Linang ingin egois dengan menyelamatkan diri sendiri kali ini.Ia tak bisa lagi menunggu. Matanya sudah basah. Meletakkan piringan buah di sembarang tempat, Linang kepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Berusaha mati-matian sampai dadanya sesak hanya agar bisa terlihat tegar di depan mereka.Setelah dirasa cukup terkendali, Linang melangkah, memunculkan diri di ambang pintu besar basecamp yang sudah terbuka sejak awal. Dimana kehadirannya lantas menimbulkan pucat pada permukaan wajah Liam, dan tegang pada Galang.Nggak perlu nunggu sampai saat itu kok, Bar. Pungkas Linang, meniadakan sematan yang menandai rasa hormatnya pada Bara, meski pria itu berusia tiga tahun diatasnya.Sekarang aja. Linang menarik napas tajam sebelum berkata. Ayo pisah.Bara lantas mengangguk dengan wajah dingin. Oke. . PART 1
Siang berlalu dengan cepat. Pekerjaan usai, dan seperti biasa, Linang berjalan keluar dari kantor bersama dua rekannya. Sore ini sedikit mendung dan gerimis-gerimis kecil mulai jatuh, ya meskipun tidak cukup menggangu.Akhirnya bisa pulang juga. Seru Casey, wanita berambut ikal pirang dan lipstik merona. Terkenal dengan gaya bicaranya yang blak-blakan, sesuai dengan penampilan. Gila, capek banget gue.Sama. Eh habis ini ke tempat biasa yuk. Mendung-mendung gini enaknya makan Coto.Gas!Ngga ikutan ya, tolak Linang.Loh kenapa?Harus jemput Aksa di rumah Omanya.Bocah itu dititipkan disana setiap kali Linang pergi bekerja. Sudah sejak seminggu terakhir. Mbak Tami pengasuh Aksa mengundurkan diri sebab akan segera menikah, sebenarnya pengasuh lain ada, hanya saja baru tiga hari bekerja sudah dipecat Bara karena dianggap tidak becus mengurus Aksa yang nyaris tenggelam di kolam renang. Sejak kejadian itu Bara menolak pakai pengasuh dan lebih mempercayai Ibunya sendiri untuk mengasuh sang putra.Yaah, ngga jadi nebeng dong? Tanya Sita.Iya, nanti naik bus aja atau nggak taxi.Okedeh!Btw lo ngga ada niatan ganti motor Ta? Tanya Casey pada Sita saat mereka melangkah menuju parkiran motor.Dih ngapain?Ngga pengen upgrade gitu? No good looking banget motor butut lo tuh, gini-gini kita bakal jadi bagian dari RJ group ya. Minimal Scoopy kek. Gerutu CaseyDipastikan Sita sudah bersiap menyemprot wanita itu dengan stok kata-kata mutiara nya jika saja Linang tak lebih dulu menghela. Bagian dari RJ group? Tanya Linang bingung. maksudnya?Tuh kan kebiasaan ketinggalan berita. Celetuk Sita.Aku nggak masuk kerja dua hari ini, Aksa demam.Minimal nonton TV kek Lo di rumah,
Grup WhatsApp juga dianggurin Mulu. Omel Casey. Nih ya, kemarin tuh lagi heboh News tentang RJ group yang mau akuisisi Andar.Andar adalah tempat ini, PT menengah dimana Linang bekerja sebagai karyawan tetap. Dan RJ group merupakan perusahaan raksasa di bawah kendali Sabara sebagai pimpinan.Sekarang Linang berharap bahwa itu hanya isu belaka. Bara tidak mungkin ...Wait! Lo pura-pura nggak tahu apa gimana? RJ kan punya Papa nya Aksa. Masa sih dia nggak ngasih tau? Cecar Sita heran.Linang lantas menggeleng. Bara memang tidak pernah bicara soal itu padanya.Eh tapi dengar-dengar mereka emang lagi banyak akuisisi company kecil. Tau sendiri si RJ lagi naik-naiknya tiga tahun belakangan. Laba mereka selalu gila-gilaan di penutup tahun. Siapa coba yang nggak mau jadi mitra mereka.Tapi ya tetap aja nggak nyangka Andar bakal diangkut juga. Sambung Casey.Linang masih tak bergeming. Denyut nadi menggemuruh di telinganya. Ia memegang dada, merasakan Jantung yang berdebar sangat keras di bawah telapak tangan.Kita duluan ya Lin. Atau lo berubah pikiran pengen ikut? Tawar Sita sekali lagi yang kembali Linang tolak secara halus.Yaudah kalau gitu. Bye Lin!Linang mengangguk dengan wajah tidak fokus sambil melambaikan tangannya pada Casey dan Sita yang menjauh. Saat kendaraan kedua wanita itu sudah hilang dari pandangan, Linang melanjutkan langkahnya lesu. Akan tetapi keterkejutan menyergapnya.Mah!Suara itu... Linang menoleh cepat, mendapati Aksa sedang berlari kecil ke arahnya.Aksa? Kok kamu disini? Wanita itu berjongkok panik, mengusap-usap pipi Aksa beserta ujung bibirnya yang terdapat lelehan cokelat.Aku minta ke Papa Bara buat sekalian jemput Mama.Tercekat, Linang lantas melayangkan pandangan paniknya pada Range Rover hitam yang terparkir dengan gagahnya. Mengingat siapa sosok dibalik kemudi, telapak tangan Linang mulai dirambahi keringat dingin.Aksa lain kali jangan gitu. Cicitnya pelan.Why Mah? Ngga boleh ya?Iya. Ngga baik. Mama bisa pulang sendiri sayang. Ini yang terakhir ya. Lain kali jangan minta Papa Bara buat jemput Mama juga. Halus, Linang memperingati.Okay. Angguk Aksa mengerti.Keduanya lalu dikagetkan oleh bunyi klakson yang nyaring. Linang terdiam sejenak untuk menarik napas dalam-dalam, sebelum menggenggam tangan putranya dan berjalan menuju mobil.Linang membukakan pintu untuk Aksa, memasangkannya sabuk pengaman, namun saat Ia juga hendak menaiki kursi penumpang. Suara berat Bara menginterupsi dengan cepat.Ngapain kamu? Mata tajamnya melirik sinis Linang lewat spion tengah. Duduk di depan.Sembari menahan malu, patuh Linang mengangguk. Ia usap puncak surai Aksara sebelum kembali menutup pintu penumpang untuk menempati kursi disamping Bara. Dan kecanggungan pun langsung terasa hingga mobil melaju meninggalkan area perkantoran.Pah, Puterin lagu Aksa dong! Titah Aksa pada sang Ayah.Bara langsung menyetel lagu permintaannya. Lagu yang baru intronya saja sudah langsung membuat Linang tersentak kaget, ditambah lagi oleh suara melengking sang putra dibelakang sana.DON'T WANNA BE AN AMERICAN IDIOT! Terereng terereng!Aksa—Biarkan dia. Baru hendak menegur, Linang telah diperingati lebih dulu oleh Bara, untuk tidak menggangu kesenangan putra mereka.Gedein lagi Pah! Teriak Aksa di sela nyanyiannya. Dan Bara menuruti tanpa membantah.Di samping pria itu, senyum Linang mengejang kaku. Selera musik berat Aksa sama persis dengan Bara. Semingguan lalu ia masih menggemari Numb dari Linkin Park, dan sekarang lagu kesukaannya sudah berubah lagi. Meskipun sama-sama berisik.Di tengah perjalanan, ketika mendengar kata umpatan yang terselip di lirik, Bola mata Linang membulat dengan sempurna. Ia menoleh supaya bisa membaca ekspresi wajah Bara, namun pria itu masih saja datar seperti kertas.Mas, lagunya banyak kata kasar. Peringat Linang pelan. Aksa sangat baik dalam bahasa Inggris, Linang tak ingin bocah itu pandai berbicara kotor nantinya.Dia tahu mana yang boleh disebut dan mana yang tidak. Putraku tidak sebodoh itu. Sahut Bara tanpa mengalihkan pandangan.Linang mengigit bibir, menoleh pada Aksa yang sibuk bernyanyi dengan penuh antisipasi, dan benar kata Bara—bocah itu diam di setiap part yang berisi umpatan, membuat Linang sedikit legah. Untungnya Bara cukup kritis.Menit-menit berlalu seiring musik yang berganti menjadi slow dengan volume kecil, untungnya Aksa tidak minta untuk mengulangi lagu kesukaannya dan memilih tertidur setelah menghabiskan setengah batang cokelat.Tertidurnya Aksa membuat suasana sedikit tenang, namun membangkitkan kecanggungan yang sempat teredam oleh tingkah hebohnya. Sisa perjalanan bagi Linang terasa seperti tekanan berat, Ia tidak menyenangi momen ini. Kadang muncul niatan bertanya dalam keheningan. Bara setidaknya terlihat tenang seperti biasa, namun Linang tetap tidak memiliki cukup keberanian.Dirinya dan Bara memang masih berhubungan baik selama lima tahun terakhir, tapi itu semata-mata hanya untuk Aksa. Bertemu karena Aksa, sekali berbincang pasti membahas Aksa. Diluar dari itu Linang tak yakin keduanya bisa akur. Mereka bahkan tidak berpisah secara baik-baik dulu.Satu-satunya harapan Linang usai bercerai dengan Cara adalah Ingin pria itu hilang selamanya dari hidupnya, dan Ia yakin Bara juga mengharapkan hal serupa. Namun kenyataan bahwa Arjanta kecil tumbuh dirahimnya perlahan memupus harap Linang.Proses perceraian memakan waktu empat bulan kala itu dan sebisa mungkin Linang menutup rapat kondisinya. Bahkan tak Ia beritahukan perihal itu pada sang Ibu. Bukan apa-apa, Ia takut kehamilan hanya akan menyulitkan proses perceraian yang berlangsung. Hingga usai palu diketuk, barulah Linang berani jujur. Pada ibunya, pada Bara dan orang tua pria itu. Toh sejak awal Linang memang tidak pernah berniat terus menyembunyikan fakta.Karena jika bicara soal realitas, Linang tentu tak yakin bisa membesarkan putranya sendirian.
Untuk tumbuh dengan baik, Aksa butuh kebutuhan dasar, stabilitas dan kehadiran orang tua yang lengkap.Lain dari itu, Aksa juga pantas mendapatkan apa yang menjadi haknya. Dia lahir sebagai Arjanta dan dia layak untuk pengakuan dari mereka.***Begitu tiba di bassement Linang melangkah terburu menyambangi Aksa yang tertidur, berniat menggendong namun Bara menyergah, mengambil alih putranya dari Gendongan Linang dan berjalan mendahuluinya. Sebuah tindak yang membuat wanita itu waspada. Bara akan singgah. Padahal sepanjang perjalanan Linang berharap pria itu hanya sekedar mengantar.Menatap punggung tegap Bara yang sedang menggendong Aksa dengan tas kecil si bocah di bahu kirinya, Linang menghela nafas berat. Kenapa mesti mampir sih, monolognya muram sebelum berderap menyusul Bara dengan langkah tak niat.Sampai di unit miliknya Bara lantas mengeluarkan kartu akses yang serupa dengan Linang. Pria itu memang punya kebebasan sebab hunian ini dia yang belikan, diperuntukan bagi Aksa. Bara awalnya sempat menawari rumah yang pernah mereka tinggali bersama, namun Linang menolak. Alasannya cukup klise, karena setiap sudut rumah itu dipenuhi oleh kenangannya bersama Bara yang tak ingin diingat.Usai menidurkan Aksa, Bara keluar dari kamar bocah itu dan melangkah ke arah dapur, membuka freezer untuk mengambil minuman bersoda. Di sudut lain Linang membuka sepatu dan blazernya, lengan kemeja putih Ia naikan karena harus membasmi sisa piring kotor yang tak sempat dicucinya pagi tadi. Bukan malas, Linang hanya keteteran karena lembur semalaman suntuk.'krek'Mainan Aksa berserakan, dan Bara tak sengaja menginjak salah satu dari mereka, pria itu refleks mengumpat.Tempat ini mengerikan. Sindir Bara pedas. Itu karena kamu terlalu keras kepala.Masih dengan memunggungi Bara, Linang berhembus lelah. Bara pasti akan mengungkit perkara asisten rumah tangga yang selalu Linang tolak mati-matian. Tak bermaksud angkuh. Jika Linang mampu ia akan menyewanya sendiri. Bukan dengan uang Bara.Memutuskan untuk tidak membalas, Linang memilih diam, dan fokus pada pekerjaannya agar lebih cepat selesai, sehingga Ia bisa pergi ke kamar dan meninggalkan Bara sampai pria itu berinisiatif pulang dengan sendirinya. Namun Linang baru saja mengingat sesuatu, dan Ia menyesal tidak menanyakan hal itu selama mereka di mobil.Mematikan air kran sekaligus menyeka tangannya menggunakan lap kering, Linang kemudian berbalik, menyandarkan pinggulnya di sudut kabinet. Tak lagi memunggungi Bara yang kini duduk di salah satu stool sambil meneguk isi kalengnya.Pria itu memakai kemeja navy polos tanpa dasi yang tersisip di kerah. Rambutnya tidak tersisir rapi. Rahangnya terlihat tegas dari samping.Linang menggulum bibir sejenak, tanpa sadar meremas ujung kabinet ketika melontarkan pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya.Kamu akuisisi Andar, mas?Bara mengalihkan pandangan, menghujam manik Linang. Atmosfer diantara mereka seketika berubah, terisi dengan arus antisipasi yang meluap.Tak lama waktu berselang, Bara mengangguk, membenarkan. Remasan Linang pada ujung kabinet kian erat.Kamu nggak pernah bilang ke aku sebelumnya..Apa harus? Sahut Bara, tenang namun tajam.Matanya bertemu dengan Linang sekali lagi dimana wanita itu langsung tunduk menghindari. B-bukan gitu. Aku kerja di Andar, kita juga sering ketemu—Dan kamu jadi merasa penting.Linang memejam oleh semprotan Bara sambil berusaha meraup ketenangan. Mengambil nafas, mengembuskannya, Linang kembali bersuara.Kenapa Andar, mas? Tanyanya pelan.Tidak ada yang salah dengan Andar.Andar masih sangat menengah, bahkan cenderung kecil. Untuk perusahaan sekelas punyamu ... aku pikir ada kesenjangan.Mau menggurui saya? Bara serta Merta tersenyum meremehkan. Berasa lebih pintar sekarang?Maaf mas. Tampik Linang. Ingin heran pada nada suara Bara yang tak bersahabat, namun pria itu tak lain adalah mantan suaminya yang pemarah. Linang harusnya tidak lagi terkejut bukan? Bara sudah sering seperti ini.Jangan berlagak penting. Ini bukan urusanmu....Akan ada pembaharuan kontrak baru dalam beberapa hari, pastikan untuk tandatangani karena relokasi mulai berjalan dalam waktu dekat.Kontrak baru? Relokasi?Bara mengangguk. Ada dua lantai kosong di perusahaan yang bisa ditempati kalian.Linang tak mendalami kerja sama semacam itu, dan Ia baru tahu jika relokasi juga termasuk dalam proses akuisisi. Apa ini berarti dirinya akan berada dalam satu tempat kerja bersama Bara?Tidak. Sepertinya Linang tidak bisa.Bagaimana kalau aku ngga bersedia?Maksudmu?Aku ... akan mengundurkan diri dari Andar. Pungkas Linang meski suaranya kedengaran tidak semantap yang diinginkan.Kenapa?Personal reasons.Kenapa Linang?Sudah hampir gelap. Aku pikir sebaiknya kamu pulang mas—Sialan. Ada apa hah? Kepala Linang terangkat mendengar nada bentakan Bara. Refleks Ia melirik penuh antisipasi ke arah kamar Aksa.Mas Bara—Apa yang kamu pikirkan, Linang?
Tanya Bara dengan nada menuduh.Linang mengalihkan pandangan lagi begitu dilihatnya Bara mulai bangkit. Ia merasa Pria itu
bisa membaca pikirannya hanya dengan menatap ke dalam matanya dan itu berbahayaSekalipun disana, saya atasan kamu dan kamu bawahan saya. Nada suara Bara selalu begitu, sangat diktator, gila kontrol seperti biasanya.
Linang tercekat saat jarak keduanya hanya tersisa selangkah, dimana Ia bisa merasakan panas napas Bara menerpa kulit wajahnya.Nothing will happen between us. Bisik pria itu disana. Tidak usah berlebihan. Kecuali jika kamu berpikir bisa mendapat pekerjaan diluar sana dengan gaji yang pantas.Linang meneguk ludah, merasakan sedikit keberanian yang tersisa di ujung lidahnya. Gapapa. Gaji di Andar juga standar. Nggak terlalu besar.Kamu lupa milik siapa Andar sekarang.Linang menggelengkan kepala.
Bukan itu. Linang tidak mau bekerja untuk Bara. Ia tidak mau diberi makan oleh Bara. Sejak awal Ia telah bersikeras menolak Bara nafkahi dalam konteks apapun. Karena Jika itu soal materi, tanggung jawab Bara hanya pada Aksa.Aku bakal tetap ajukan resign, Mas.Pelanggaran besar apa yang telah Linang perbuat sekarang? Hingga Otot rahang Bara mengencang.We'll see. Lalu dalam hitungan detik pria itu mundur, mengangguk dengan wajahnya yang tetap kaku tanpa ekspresi.
PART 2 Hari sudah mulai gelap saat Linang tiba dan melewati persimpangan pertama menuju Halte bus di jalan bebas hambatan, Ia baru saja pulang setelah diskusi panjang dengan atasannya mengenai pengajuan resign.Seperti dugaan, Gabe, Bossnya itu tidak begitu saja menyetujui pengajuannnya. Dia adalah pria paruh baya dengan hati hangat, yang menganggap semua karyawan di perusahaan seperti anak sendiri. Dia benar-benar baik, itulah salah satu alasan mengapa Linang memilih bertahan di Andar meski gajinya tidak menjamin. Karena sistem kekeluargaan nomor satu disana. Tetapi sekarang semua itu Tidak berarti lagi karena Bara lah yang akan menjadi atasannya, dan mereka akan satu tempat kerja. Andar adalah satu-satunya tempat dimana Bara tak bisa mengontrolnya, namun kini Andar adalah milik Bara, Linang tidak punya pilihan.Ketika berhenti di depan toko roti pinggir jalan, Linang menyadari bahwa dirinya tak sempat makan siang, perutnya seketika berteriak kelaparan jadi ia masuk kesana untuk satu satu Meat bun dan dua roti cokelat untuk Aksa.Saat keluar dan hendak menyebrangi jalan, entah karena Ia terlalu fokus pada kegiatan membuka bungkus roti sehingga tak sadar ada motor yang melaju kencang, atau karena pengendara itu yang tidak tahu etika, tau-tau saja Linang sudah terperosok ke aspal, membentur dengan keras. Rotinya yang belum sempat digigit terhempas, begitu juga dengan tasnya dan mini paper bag berisi roti Aksa.
Akh.. ringis Linang, melihat luka di telapak tangan, siku serta lututnya. Sekarang Linang menyesal tak memakai blazer dan celana bahan dibanding kemeja yang lengannya digulung hingga siku dan rok diatas lutut.Ya Tuhan! Yang benar saja? Linang ditabrak. Memang bukan tabrakan besar, hanya terserempet dengan keras. Namun bajingan berseragam SMA itu malah melarikan diri dengan motor besarnya yang sialan.Hey! Berhenti! Seru Linang, dan ia diabaikan oleh pengendara yang semakin kencang melaju.Dasar brengsek, umpat wanita itu, berusaha untuk tidak menangis saat dua orang gadis muda yang kebetulan berjalan kaki mendekat dan menanyakan keadaannya. Linang terpaksa berkata dirinya baik-baik saja meski—Oh, Kondisinya menyedihkan, luka-lukanya mulai perih sekali.Maaf, biar saya membawa anda ke rumah sakit. Ujar sebuah suara yang bukan milik gadis-gadis itu, karena mereka sudah pergi tepat setelah sebuah sedan putih berhenti dan sang pemilik keluar menyambangi.Tidak, ini hanya luka kecil. Tidak apa-apa. Tolak Linang tanpa melihat siapa, hanya fokus memungut dua roti Aksa yang berserakan keluar dari mini paper bag, untung saja plastik kemasannya cukup tebal sehingga roti-roti itu masih aman.Bukan perkara luka, ini soal tanggung jawab. Tadi itu adik saya, dan kami baru saja bertengkar. Dia sudah ceroboh dengan membahayakan anda, maafkan dia. Saya yang akan bertanggung jawab.Maaf? Tidak terimakasih. Linang tetap akan menjewer kuping remaja ugal-ugalan itu jika mereka bertemu. Dasar tidak tahu sopan santun.Dengar ya Tuan, adik anda—Angin mempermainkan rambutnya, saat Linang mendongak dan seketika bungkam.Kilau biru kehitaman yang sama, seperti yang sering dijumpainya. Linang perhatikan sosok dihadapannya lalu menguji ingatannya.Rafael? ucap mulut mungil wanita itu.Melihat bagaimana dua alis rapi itu terangkat, Linang semakin yakin bahwa feelingnya tidak salah. Pria itu mungkin banyak berubah, tetapi sorot matanya Linang ingat.Maaf, apa kita kita pernah bertemu sebelumnya?Dan seketika Linang memalingkan wajah. Lelaki itu mungkin tidak mengingatnya. Ayolah, sudah bertahun-tahun lamanya. Lagipula Rafael punya pilihan untuk melupakan gadis desa yang dengan begitu tidak tahu diri menolaknya di sekolah menengah.Lelaki itu ... Lelaki yang sama dinginnya dengan Bara, yang tidak pernah memandang rendah pada Linang, menghargainya, dan yang lebih mengejutkan adalah menaruh perasaan terhadapnya, saat itu... Disaat anak lelaki lainnya beramai-ramai melecehkannya, Rafael satu-satunya lelaki yang malah mengungkapkan perasaannya, begitu tulus. Namun dulu, Linang masih buta. Buta oleh kegilaanya pada Bara.Eumh—mungkin ya.. gumam Linang, gelagapan menggigit bibir bawahnya. wajahnya semakin disembunyikan.Sedetik kemudian kekehan keras terdengar. Linang mengangkat wajah heran melihat wajah jenaka Rafael.Baiklah, kata pria itu setelah berhenti tertawa dan menjulurkan tangannya kepada Linang. Kenalan lama, jika kamu menolak dibawah ke rumah sakit, setidaknya ijinkan saya memapah kamu kesana, kebetulan di mobil ada kotak obat.Linang terperangah. Jadi dia ingat? Lalu apa maksudnya pertanyaan tadi?Ingin berceloteh, namun Ia sadar tidak boleh sok akrab, Linang akhirnya hanya mengangguk pasrah, membiarkan Rafael memapah dan mendudukannya di salah satu kursi taman yang berada tak jauh dari toko roti.Ketika punggung pria itu berbalik dan melangkah ke mobilnya, pandangan Linang terus mengikuti. Rafael ...tidak bisa dipungkiri dia semakin tampan dan jangan lupakan fakta bahwa Ia mengendarai mobil dengan merk bukan pasaran, dalam artian hanya segelintir orang saja yang punya. Dia pasti berkarir dengan cemerlang.Lihat siapa yang pernah kamu sia-siakan, Linang?Bara mungkin tidak akan pernah kalah soal kedudukan dan finansial, tetapi ini perkara satu hal dalam diri Rafael yang tidak dimilikinya. ketulusan. Dan tololnya Linang baru menyadari itu sekarang. Oh, ayolah Linang. Masa lalu yang diungkit tidak akan mengubah kenyataan. Batinnya mencemooh lagi.Tidak, Linang tidak berharap apapun sekarang, yaampun, ia cukup tahu diri. Ia hanya menyayangkan kebodohannya dulu. Itu saja.Ketika Rafael kembali dan mulai membersihkan lukanya, Linang berusaha untuk tidak fokus pada pria itu, Ia juga tidak ingin terasa seperti Canggung.Kamu membawa kotak obat super lengkap kemanapun. Komentarnya berbasa-basi.Rafael mendongak dan Linang langsung melarikan matanya ke sembarang arah. Hanya bagian dari profesi. Lagipula cukup berguna untuk kecelakaan kecil seperti ini. Kamu .. dokter? Linang bertanya, menyadari maksud tersirat dari kalimat Rafael.Ya.Pekerjaan itu memang paling cocok untuk kamu. Kata Linang tanpa bisa ditahan. Detik selanjutnya ia menyesal luar biasa ketika pria itu membalas.Kamu bicara seolah-olah tahu saya cukup banyak.Linang memerah.Maaf, gumamnya.Jangan terlalu serius. gurau Rafael, meredakan sedikit ketegangan yang Linang rasakan.Ngomong-ngomong, tadi itu Raka. Dia lagi dalam keadaan marah besar karena saya. Anaknya memang seperti itu, tempramental dan kalau sudah marah bisa jadi bar-bar. Sekali lagi maaf. Jelas Rafael.Linang mau tidak mau menganggukkan kepala, tapi tentu saja Ia belum memaafkan anak bodoh yang membuatnya kehilangan pengganjal perut sekaligus terluka itu.Mereka terjebak dalam hening beberapa saat, sampai Rafael selesai dengan aktifitas mengobatinya. Pria itu lalu berdiri sambil mengusap tengkuk. Sudah gelap, mari saya antar pulang.Ngga usah. Linang menggeleng. Responsnya cepat, tanpa menunggu.Aku biasa naik bus. Kamu bantu aku nyebrang aja kesana. Karena demi apapun kakinya bila sudah ditekuk lalu diluruskan kembali, rasanya masih perih sekali.Dan menunggu sampai bus datang?Eh, buat apa? Aku—Membantu kamu menaiki tangga bus? Kata Rafael dalam nada tanya. Kamu bahkan tidak bisa menyebrang jalan, sindirnya.Linang meneguk ludah. Itu ... Kan ada pegangan.Kamu takut dengan saya?Eh? Sebelum sempat linang membantah, laki-laki itu kembali bicara.Makanya kamu menolak diantar pulang oleh saya. Saya ngga akan ngapa-ngapain kamu kalau itu yang kamu takutkan..Astaga, bukan begitu. sungutnya.Lalu?Aku ngga mau ngerepotin aja.Saya tidak merasa direpotkan. Kamu tidak mau ke rumah sakit, dengan mengantar kamu pulang setidaknya saya terlihat sedikit bertanggung jawab.Kali ini raut laki-laki itu seperti tidak ingin dibantah.
Menghela nafas, Linang pun ragu-ragu menyetujuinya, kemudian mengijinkan Rafael memapahnya ke mobil milik pria itu.Jadi, bagaimana kabar kamu? Tanya Rafael begitu kendaraannya melaju.Baik.Kerja dimana?PT Andar sampai hari ini. Gak tau besok, sahut Linang.Dipecat?Resign.Rafael mengangguk. Tidak lagi bertanya lebih lanjut tentang itu.Kamu belum menyebutkan alamatmu.Linang langsung merutuki dirinya yang sama sekali tidak ingat. Dikata Rafael sopir taxi langganan apa ya?Usai menyebutkan alamatnya, Linang sudah menduga respon seperti apa yang akan Rafael berikan, dan dugaannya tepat sasaran.Kamu pasti memegang posisi penting di Andar. Kata Pria itu.Hanya karyawan biasa. Jawab linang seadanya.Senyum Rafael menggambarkan ketidakpercayaan, seperti senyum sarkas. Karyawan biasa yang tinggal di Sun and Moon?Hunian itu memang dikenal sebagai salah satu yang termahal di ibukota. Linang pikir hanya dirinyalah satu-satunya penghuni yang tidak memiliki kendaraan beroda empat pribadi disana.Maaf. Ungkap Rafael usai menotice perubahan raut wajah Linang yang signifikan. Sadar, dirinya telah lancang.Pria itu berdekhem. Sudah menikah?Meneguk ludah, Linang menjawab. Sudah bercerai.Rafael sontak memandang Linang sekilas sebelum kembali menjaga raut dan fokus kemudinya.Punya anak? Tanyanya lagi.Iyaa. Jawab Linang jujur, tak berniat menutupi apapun.Hening setengah perjalanan... Linang pikir tadi itu akan menjadi percakapan terakhir mereka sebelum ucapan selamat tinggal dan terimakasih nanti. Namun suara berat Rafael kembali mengudara.Kamu banyak berubah. Ujarnya terdengar dalam. Awalnya saya emang ngga ngenalin kamu.Linang menoleh, meringis kecil. Wajar aja sih, namanya juga udah punya anak yah gini bentukannya.Rafael meralat cepat. Bukan itu maksud saya.Terus?Menampilkan senyum penuh arti di antara raut lelahnya, Rafael berucap. Tidak usah dipikirkan.Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di basement apartement Linang. Rafael membukakan pintu untuk Linang dan membantunya turun, tak sampai situ, dia juga menemani Linang menaiki lift dan memapah wanita itu sampai di depan unit miliknya.Saat hendak mengeluarkan kartu akses, Linang terperanjat ketika pintu lebih dulu terbuka, menampilkan presensi seorang pria dengan kemeja tidak tertata dan raut masam.Bara ... Tatapannya dan Linang bertemu, membuat wanita itu sedikit terkejut.Linang melirik cepat ke arah dalam apartemen— mendapati Aksa yang sibuk bermain mobil-mobilan. Lalu Kembali Ia alihkan perhatiannya pada Rafael yang hanya diam mematung, wajah pria itu datar tetapi matanya memancarkan kebingungan dan sedikit keterkejutan yang mungkin berusaha ia samarkan sekarang.Tak ingin berlama-lama dalam situasi tersebut, Linang berkata pada pria di sisi tubuhnya, pria ternyata memiliki tinggi yang setara dengan Bara.Rafael, terimakasih. ucapnya terdengar tak yakin.Saat meluruskan pandangannya kembali, Linang sedikit berjengit melihat raut wajah serta tatapan Bara yang terang-terangan memindai tubuhnya. Apalagi saat Bara memandang keduanya secara bergantian dengan kemarahan.Linang meneguk ludah.M-mas..Masuk.Suara Bara yang sedingin es memotong ucapan Linang, disaat yang sama membuatnya ingin melarikan diri detik itu juga. PART 4 Bagian ini terasa seperti drama pengkhianatan dan tuduhan. Seperti Bara yang merasa agak... dikhianati lantaran Linang membiarkan sosok pria masa lalu kembali ke kehidupannya. Well, lelucon omong kosong. Mungkin hanya perasaan Linang saja, namun terlepas dari itu Bara tetap tidak berhak menampilkan respon sebagaimana dia sekarang, karena itu sedikit berlebihan. Rafael bisa saja berpikir macam-macam.Mata Dokter muda itu perlahan berkelebat ke arah Linang, mengabaikan kesinisan yang ditunjukkan Bara. Sekali lagi maaf soal yang tadi, ucapnya begitu tenang, tidak terburu-buru dan tidak terlihat terintimidasi sama sekali.Saya harap kita bisa ketemu lagi di lain kesempatan. sampai jumpa, Linang... Rafael menyebut namanya. Dia masih ingat namanya. Oh, Jika tidak ada Bara Linang pasti sudah berdesir.Permisi. Pamit Rafael seraya mengangguk kecil pada Bara.Dagu Bara mengeras, alisnya bertaut. Ia tidak menyahut, hanya membiarkan pria itu berlalu sebelum menyergap lengan Linang dan membawanya masuk.Dari mana semua luka ini? Erang Bara marah, Wajahnya mengernyit dengan tatapan menyelidik.Tak pernah melihat air muka Bara yang sedemikian mengerikan, Linang rasakan sekujur tubuhnya bergidik. T-tadi ada sedikit kecelakaan—Pria itu pelakunya? Bara memotong perkataan Linang, dan wajahnya seketika berubah lebih menakutkan – sangat menakutkan.Cepat-cepat Linang menyergah. Bukan, bukan dia. Justru dia yang nolong aku tadi.Dan orang yang menabrakmu?Euhm dia ... Sejenak Linang menelan ludah, memandangi Bara dengan sikap waswas. Kabur. Tandasnya. ketakutan saat Bara memeriksa lengannya lagi, menatapnya dengan mata yang tajam menusuk.Bara membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, sesuatu bernada marah kalau dilihat dari ekspresinya, tapi hal itu kandas saat sosok kecil Aksa mendekat, menghampiri mereka.Mah.. gumamnya sambil mengucek-ngucek mata, terlihat lesu dan tak bersemangat.Lama banget sih pulangnya.Senyum Linang mau tak mau mengembang, dengan gerakan samar Ia menarik diri dari Bara untuk meraih Aksa. Pria itu tak punya pilihan selain melepaskan cengkeraman dan membenamkan kedua telapak tangannya ke saku celana. Namun matanya yang gelap terus mengikuti Linang—dimana wanita itu kini berinteraksi dengan Aksa.Maaf ya. Ucap Linang , sedikit merunduk dan mengabaikan perih di lutut. Kamu udah makan? Mama ada bawain roti loh.Terimakasih Ma. Tapi Aksa udah kenyang. Besok aja makannya di sekolah.Linang mengangguk sembari mengusap Surai Aksa, mencubit kecil pangkal hidungnya. Wangi banget anak mama.Kan udah mandi di rumah Oma.Udah minum susu juga?Udah barusan.Ya, Linang melewatkannya lagi hari ini, beberapa rutinitas Aksa yang harusnya menjadi tanggung jawabnya. Mungkin setelah pengajuan resignnya disetujui Linang memang harus rehat sementara waktu untuk fokus mengurus Aksa dulu.Ngantuk mah, lirih bocah itu mengerjap sesaat sebelum menguap. Tapi Bobonya sama mama, ya? Di kamar mama aja, pintanya dengan mata berair.Boleh, yuk. sanggup Linang tak bisa menolak meskipun sudah sangat lelah dan butuh membasuh diri sebelum benar-benar istirahat.Alhasil, masih dengan pakaian kantor lecet dan penampilan super miris, Linang yang menahan diri untuk tidak tertatih dan meringis agar Bara tak salah mengira Ia mengemis atensi, menggiring bocah kecilnya yang manis melangkah dengan teratur menuju kamar tidur.Bye bye..good night Papa, pamit Aksa, melambai tak fokus ke arah Bara..
.
.
Waktu menunjukkan Pukul 22:30 saat Linang tersadar setelah tak sengaja ikut terlelap bersama Aksa. Faktor belum membersihkan diri membuat tidurnya tak bertahan lama, timbul rasa tak nyaman.Bangkit dari pembaringan, Linang melirik Aksa yang nampak sangat nyenyak, napasnya teratur begitu damai. Linang mengelus-elus halus dahi Aksa menggunakan telunjuk beberapa saat sebelum melabuhkan kecupan singkat, memperbaiki letak selimut Aksa dan mulai bergegas turun dari ranjang untuk memasuki bathroom.Dengan satu tangan yang tidak terluka Linang membasuh diri mengunakan air hangat, menggosok gigi lalu berganti baju dengan sweter kebesaran, pengganti terusan tipis yang biasa Ia pakai tidur. sesekali wanita itu meringis saat gerakannya membuat luka di lengan seperti tertarik.Selesai berpakaian Linang disentak oleh suara dari perutnya yang sama sekali belum diisi sejak tadi, wanita itu lantas melangkah keluar dari kamarnya, bermaksud menyambangi dapur—namun langkahnya terhenti di ruang tengah.Linang terlonjak karena terkejut, refleks mundur saat sosok berpunggung tegap ia dapati disana.. berdiri menghadap keluar jendela berlatarkan ibukota ditemani kepulan-kepulan Asap yang timbul dari aksi merokoknya.Bara masih disini ... Pakaiannya masih sama.Mas, belum pulang? Kesiap halus Linang yang muncul di tengah keheningan tak membuat Bara berjengit.Pria itu diam, hanya melirik samar ke arah sumber suara tanpa sahutan.Bola mata Linang yang berwarna gelap tampak tenang dan merenung saat Ia kembali berkata dengan nada teramat sopan. Udah malam, Aksa juga udah tidur. Mas bisa pulang sekarang.Saya tidak ingat—pernah melihat kamu seberani ini sebelumnya.Jawaban Bara membuat Linang bingung. Ia pandangi Bara, berusaha memahami maksudnya. Tak lama lelaki itu berbalik, balas menatap dingin. Dengan perasaan mual, Linang pun memahami maksudnya. Ia menggelengkan kepala dan berusaha menjernihkan pikiran sedang Bara menunggu tanpa sedikit pun tanda tidak sabar. Butuh beberapa menit baru Linang bisa bicara.Ngga berani kok. Aku cuma negur aja. Iya ini tempat punya kamu. Cuma ga enak kesannya masih stay larut begini. Wanita itu menyanggah halus.Aku juga ngga enak sama orang tua kamu, mas. Mama kemarin telfon, nanya kamu ngapain aja kalau kesini....Mama sepertinya ngga nyaman. Timpalnya sangat hati-hati, takut bila Bara merasa tersinggung. Dan entah darimana datangnya keberanian sehingga Linang mampu menguarkan kata-kata seperti; Aku ga mau dikira macam-macam, jadi sebaiknya ... mas jangan sering datang. Tandasnya.Bara tergelak samar, memadamkan rokok dan membuangnya ke tempat sampah. Kenapa bukan kamu saja yang keluar? tantangnya masam, dengan dagu terangkat arogan.Respons Bara lebih mudah dibaca, membuat Linang mengunci bibirnya. Kegarangan Bara membuatnya letih – sampai harus menenangkan diri sebentar agar tidak mudah terpancing.Aku bisa saja pergi, asal Aksa ikut denganku. Sahutnya yang langsung dihadiahi dengusan sinis.'Ayolah. Membayar biaya Preschool saja tidak mampu. Bagaimana kamu bisa membual seperti itu? Dewi batin Linang merutuk, sudah siap menahan malu.Jika bicara seperti itu di tengah kondisimu yang tidak sedang menganggur, mungkin jatuhnya tidak akan sehumor ini. Bara menyeringai, remeh.Perlu diingatkan isi perjanjiannya?Linang menelan ludah dengan susah payah, dan hanya berani memandangi ujung kerah Bara.Aksa boleh tinggal denganmu, asal saya bebas mengunjunginya kapanpun. Dan kamu tahu jelas, saya benci tempat kumuh.Lagipula Bara tidak gila dengan membiarkan putranya tumbuh disana sementara ia lebih dari mampu untuk memberikan hunian semestinya.Ah .. selalu saja seperti ini, bukan? Aksa akan selalu menjadi alasan mengapa Linang tidak bisa sepenuhnya lepas dari Bara.Wanita itu tersenyum setengah hati. Kilas kalimat Bara seolah mengingatkan kembali dimana kelasnya. Namun pria itu terlalu meremehkan Linang. Toh sekalipun Ia membawa Aksa, sebisa mungkin Linang akan mencari tempat yang layak untuk ditinggali. Defenisi kumuh bagi Bara memang tak sesuai standarnya.Lama disergap keheningan, Terlihat pria itu mendekat, berjalan menghampiri Linang. Sinar lampu ruang tengah yang diredupkan memantulkan bayangan hitam tubuh Bara. Ia menakutkan, berbahaya, meski memikat. Ditempatnya Linang berusaha tidak menunjukkan perasaan takutnya. Bukan takut membayangkan apa yang akan dilakukan Bara terhadapnya, tetapi takut terhadap respon yang muncul dari dalam dirinya bila Bara benar-benar melakukan sesuatu yang tidak terduga.Lain kali jangan coba-coba melarang jika tidak mau diingatkan soal kesenjangan kelas. Jarak mereka hanya tersisa tiga jengkal. Suara Bara merendah satu oktaf ketika ia melanjutkanTentang Perspektif orang-orang. Mau itu mama sekalipun, kamu tahu saya tidak pernah terpengaruh.Mungkin emang ngga ada ruginya buat kamu, mas. Hardik Linang serak. Tapi aku, kerasa banget imbasnya buat aku..Itu urusanmu. Geraman mengerikan itu sepertinya berasal jauh dari dasar dada Bara, yang mengatupkan giginya hanya beberapa sentimeter dari wajah Linang.Lagipula, Ia menjeda, menyeringai, dan mundur kamu memang sudah terbiasa dipandang buruk, kan? Kata-kata itu lambat dan jelas, matanya yang dingin menatap wajah Linang, memerhatikan sementara Linang menyerap semua perkataannya. Dan tersadar.Merasa terhina, Linang mengangkat tangan hendak memberi tamparan. Tetapi Bara menangkap tangan itu dan memelintirnya ke belakang, menarik tubuh Linang mendekat ke tubuhnya. Dada wanita itu menempel di dada Bara yang bidang. Ibu jari kakinya bersinggungan dengan ujung pantofel Bara.Menekan ketakutannya, Linang mengatupkan gigi rapat-rapat, geram. Kedua tangannya gemetar tak karuan.Ia menggeleng dan menghirup napas dalam-dalam dua kali, mengisi paru-parunya dengan udara. Kamu tidak berhak bicara seperti itu—Sebelum Linang selesai Bara sudah menyanggah. I speak, because I know you well—...—little slut... Satu alis Bara naik, Wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Linang. Ketika ia berbicara, setiap kata yang meluncur dari bibirnya penuh amarah dan kesan merendahkan yang kental.Or should I call you ... Slave?
PART 5 Aku kerja disini ya, Fi. ujar Linang nelangsa.Part time? Wanita dengan celemek merah muda dihadapannya menyahut tanpa menoleh. Elah, lo di Andar aja keteteran, ini sok-sokan mau part time. Ada goals apa sih? Kali-kali pakai tuh duit mantan. Lo punya banyak peluang buat morotin dia. cibir Alfi, si pemilik Cafe tempat Linang mengadu nasib di pagi hari ini.Alfi merupakan sahabat pertama dan satu-satunya yang Linang miliki semenjak datang ke Ibu kota. Keduanya menjadi dekat lantaran satu tempat part time di cafetaria. Mereka masih pelajar saat itu dan biasa bertemu sepulang sekolah meski tidak satu SMA. Sekarang Alfi sudah mendirikan Cafetarianya sendiri, yang cukup banyak peminat dari berbagai kalangan. Sedangkan Linang, ya.. masih begini-begini saja. Kalau gue jadi elu, Gue bikin miskin tuh Si Bara. Udah mana nikah muda, diselingkuhin, dibuntingin lagi. Gue masih kesel ya sama lu Lin, bisa-bisanya ngga minta harta gono gini. komentar Alfi tak acuh dan blak-blakan seperti biasa.Meringis, Linang membalas. Maksud awalku kan biar ngga ada keterikatan sama dia lagi, mana tau kalau—Lo hamil. Sambar Alfi lagi. Justru itu! harusnya lo bisa manfaatin keadaan. Ibarat udah terlanjur basah ya nyebur aja sekalian.Linang menunduk saling membenamkan jemarinya. Apa yang dikatakan Alfi ada benarnya, tapi kembali lagi pada kepribadian Linang yang tidak setegas wanita itu membuat Ia hanya bisa menyesali keputusan yang diambil dalam situasi emosi dan pemikiran yang masih naif.Aku ngga kerja lagi di Andar by the way, ungkap Linang alihkan topik.Hari ini, Pengajuannya sudah disetujui.Alfi memberhentikan gerakan tangannya yang sedang menyusun cup cake di etalase dan menoleh. Dipecat lo? tanya Ia lalu memiringkan tubuh untuk menatap Linang secara langsung. Namun, selanjutnya ia melongo saat wanita itu menyahut.Ngundurin diri.Wah! Meletakan Cup cake strawberry terakhirnya diatas meja, Alfi lantas bertepuk tangan sebagai bentuk kesarkasannya. Tuh kan, emang sok lu. Ninggalin perusahaan buat kerja di cafe pinggir jalan, situ waras?Ngga usah ngegas dulu bisa ngga? .Kagak!Napas Linang terhela panjang. Bara ambil alih Andar.Maksud lo?Ya Andar sekarang jadi milik dia.Mantan lakik lu maunya apa sih? Sahutan Alfi kian melengking, untung saja Ini masih terlalu pagi hingga Cafe pun masih sepi. Ya mana aku tau. Linang mengangkat bahu.Alfi merunduk dan mencondongkan tubuh pada wanita yang tengah bertopang dagu di seberang meja itu.Gini ya, gue tuh udah curiga dari semenjak lo bilang kalau lo dighosting sama semua teman kencan. Itu udah aneh tau gak? Ya masa satupun dari mereka ngga ada yang stay? Minimal pamit kek, atau ngomong baik-baik, bukan ngilang gitu aja.Linang mengernyit mendengar penuturannya, butuh jeda sampai Ia menjawab dengan keraguan. Mungkin mereka ga betah?Ga betah tapi harus ya ninggalin dengan cara yang semuanya sama? Lu yakin?Ya tapi rasanya gak mungkin juga curigain mas Bara—Kenapa ngga mungkin?Linang merengut. Alfi, kamu tau kan dia ke aku kayak apa?Tau, dia selalu mandang lo dengan tatapan Horny. Tau banget gue. Mata Alfi menyipit dengan telunjuk bergerak-gerak ke arah Linang yang rautnya sudah memerah.Alfi!Lah emang fakta kok. Sahut Alfi sewot. Mantan laki lu masih demen sama lo Lin. Apaan tiap hari berkunjung gitu.Kan apartemen punya dia, ada Aksa juga.Dan lo ngga merasa harus punya privasi gitu? Deket sejengkal doang ama dia jari lo udah gemetaran. Seenggak nyaman itu lo ke Bara, kok dia ngga notice sih? Atau dia emang seneng ya lihat lo Tremor?Linang bungkam, tak bisa menjawab apapun. Alfi juga kembali sibuk dengan kue-kue mangkoknya dan membiarkan sang sahabat merenung, tenggelam dalam pemikiran sampai suara dari TV di sudut utara memaku keduanya.Bak relate dengan pembahasan, Sosok Bara muncul disana— sedang diwawancarai secara langsung oleh kerumunan reporter dan wartawan. Itu seperti di sebuah acara peluncuran resmi dimana Bara tampil gagah dengan setelan tiga potong gelap. Terlihat Bara membenarkan simpul dasinya dengan gerakan elegan, lalu mengusap pelan rambutnya yang kaku oleh Pomade.Semua orang mendesakinya dengan pertanyaan, beberapa diantaranya cukup rancu. Namun Ia menjawab tanpa ragu dan membuat kerumunan tersentak saat Ia mempertahankan senyum gelapnya yang serius.Ah, dia membuat wartawan wanita menjadi tidak professional terhadap pekerjaan mereka, hal itu terlihat dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan dengan gugup.Bara selalu seintimidasi itu bukan? Sulit mengantisipasi auranya. Namun wanita cantik disisi tegap pria itu nampak luwes-luwes saja. Disandingkan dengan Bara seperti sebuah kehormatan besar yang membuat dagunya terangkat bangga.Laura McKiel sangat percaya diri, luar biasa cantik dalam balutan Coat brand ternama. Rambutnya tergerai bergelombang dan sangat indah. Well, media sering menyebutnya Lambang wanita Idaman para pria berintelegensi tinggi, dan bukan tanpa alasan. Dia memiliki pesona tak terbantahkan.Cih, cantik-cantik doyannya duda. Cibir Alfi yang sedari tadi nampak sensi menyaksikan tayangan tersebut.Jadi, Nona McKiel, kira-kira kapan kalian akan meresmikan hubungan? Tanya salah seorang Wartawan Pria, mendadak out the topic namun disambut riuh kerumunan yang ikut menanyakan hal serupa.Linang menahan napas awalnya, tak lama setelah itu Ia hembuskan. Sedang Alfi berdecak ke arah layar, sudah mulai mengeluarkan umpatan-umpatan samar.Terlihat wanita yang katanya menjadi Pionir kesetaraan itu tersipu, nampak malu-malu meski disampingnya Bara masih betah memasang wajah kaku.Kesal, Alfi meraih remote dan mematikan TV nya disaat Laura baru akan membuka mulut untuk berbicara.Kenapa lo? Ketusnya saat sudah kembali menghadap Linang.Gapapa. gumam wanita itu berusaha tidak terlihat murung.Gapapa tapi mukanya gitu ya? Sindir Alfi telak. Lihat kan tadi? Bajingan yang udah bikin lo kacau, kata Alfi melipat tangan di dada, dengan tatapan menghakimi. Bahagia banget ya dia sekarang. Lo nya kapan?Ditatap seperti itu dengan ajuan pertanyaan yang tak mampu Ia jawab, Linang memilih memalingkan wajah dan lagi-lagi bungkam.Ngga bisa kalau kayak gini caranya, Lin. Lo nggak akan pernah bahagia kalau masih simpan rasa ke dia. Lima tahun Ini! masih aja bego lo ya?Aku bukan ngga pernah usaha—Berarti usaha lo harus Extra! celoteh Alfi sangat berapi-api. Kalau lo sendirinya gak bisa, cari seseorang yang mampu Protect lo dari Bara. Ngerti kan maksud gue? Kalau dia billionaire lo gaet triliuner lah enak aja!Linang terlonjak dan sontak menatap ngeri. Mana bisa kayak gitu?Iya juga sih, cengir Alfi tengil. Mustahil ya? Tanyanya yang sepertinya tak butuh Jawaban.
Ck, intinya Jangan nurunin standar lah, minimal satu tingkat dibawah Bara. Ibarat buang thoroughbred gantinya Morgan. Jadi ngga jomplang-jomplang amat.Linang kalau sedang tidak percaya diri akan kelihatan sekali, seperti saat ini. Alfi sangat tahu apa yang wanita itu pikirkan. Berdecak, Ia tepuk meja dengan keras hingga Linang tersentak dari lamunan. Lo bisa banget kali Lin, yaampun. kalau gue hidup pakai fisik lo mah udah kaya dari lama! Sugar Daddy dimana-mana....Itu tadi si Lora Mekdi—Laura McKiel, koreksi Linang.Nah iya itu! Cantikan elu kemana-mana lah! Dia mah menang pakai Brand mewah sama bejibun perhiasan doang, kalau dikasih daster auto sama aja kayak Emak emak.Kalau Linang itu usianya sudah pertengahan dua puluh, tapi mukanya masih kayak remaja enam belas tahun.Elu, Lin. Biar dikata udah punya anak kalau dipakein seragam SMA juga orang masih pada percaya, kalau si Lora beda ceritanya, pasti udah dikira tante-tante lagi nyamar. Alfi berkata. Si Barbara aja yang buta. Tandasnya sebelum terbahak.Tawa yang tak bertahan lama sebab pelanggan pertama di hari yang cerah telah menunjukkan hilalnya. Tapi bukan itu faktor kebisuan Alfi sekarang, karena Ia bersumpah pelanggan pertamanya hari ini merupakan jenis pria tampan versinya setelah Bara.Pria yang sepertinya memiliki tinggi seratus depalan puluh sentimeter itu tampak ramping dan menjulang, bahu lebarnya semakin nampak ketika satu lengannya naik mengusap tengkuk. Dia memakai kemeja biru dan dasi navy bergaris vertikal yang tersisip di kerah, sepatunya mengkilap. Rambutnya tersisir klimis ke belakang. Struktur wajahnya lumayan tegas, dan yang paling menarik adalah bibirnya, sexy nan Cipokable.Nah ini. Ini Lin yang gue maksud! Sungut Alfi dengan raut terkesima, satu tangannya yang semula sudah memegang toples kopi dijejal kedepan untuk mencubit bahu Linang karena wanita itu hanya menunduk mengaduk minuman.Sshh! Apa sih? Ringisnya.Kalau thoroughbred nya tadi di TV, Mata Alfi lurus, berkedip-kedip takjub.Morgan nya ada disini, Lin.Baru hendak menoleh ikuti arah pandang sahabatnya, sebuah suara yang tak asing bagi Linang menyapa seperti alunan nada. Permisi?Rafael? Linang tidak tahu apa ini hanya perasaannya saja atau Rafael memang tersenyum saat mendapatinya ada.Kamu disini? Tanya pria itu, lebih ramah dari pertemuan pertama.Linang kontan beringsut bangkit. Uhm, Cafe ini punya temanku. Kamu langganan disini juga?Bukan, sanggah Rafael pelan. Rumah sakit dekat sini. Saya lagi free aja dan kebetulan belum sarapan, pengen minum kopi. Temen rekomendasikan Cafe ini, kata dia racikannya Juara.Kalau itu ngga usah diragukan, mas! Lagi dan lagi Alfi dengan kebiasaan menyambarnya yang sulit dikondisikan. Untung saja Rafael tipikal pria ramah yang tetap merespon dengan senyuman, karena jika itu Bara—maka akan lain cerita.Mau pesan apa mas ganteng? Eh yaampun, mulut jahanam ini. Maap ya hehe.Linang meringis. Malu, sangat malu pada tingkah Alfi yang terlampau tengil. Entah kenapa sahabatnya ini benar-benar tidak mengenal kata jaim.Saya ingin toast dan Macchiato, ujar Rafael sejenak dengan mata terpaku melihat papan menu.Note. Masing-masing seporsi ya?Rafael tak langsung menjawab. Pendaran matanya yang hangat menyambangi Linang, sebelum nama wanita itu keluar dari bibirnya. Linang.Iya?Kamu sibuk?Senyum kaku Linang timbul. Enggak.Masih disini, atau sudah mau pergi?M-masih disini, Raf. Karena jam pulang Aksa masih sekitar dua jam lagi.Kalau begitu, keberatan kalau temani saya ngopi sebentar?Temani sampai ke pelaminan juga boleh, mas!Lagi-lagi Alfi dan mulut jahanamnya...
PART 6 Kamu sering kemari?Usai linang menyetujui ajakannya, Rafael lekas memesan menu untuk wanita itu juga. Mereka lalu duduk berhadapan di sudut kanan Cafe, meja nomor delapan.Ngga juga, tadi sekalian mampir setelah anterin Aksa ke preshcool. Sopir Bara Linang mintai untuk sekalian mengantarnya ke tempat ini.Aksa.. gumam Rafael.Linang tersenyum hangat. Anakku.Ah, He's a boy.Uhum.. wanita itu mengangguk.Rafael memperhatikan Linang selama mereka mengobrol ringan, dan harus berterus terang bahwa dirinya berdesir setiap kali mereka bertatapan.Baginya, Linang sangat tidak biasa.
Dia bukan hanya cantik, tetapi polos dan penuh perhatian. Dia memiliki mata yang menunjukkan keluguan di dalamnya, dia juga sedikit canggung. Sebagai wanita yang pernah menikah, Linang harusnya memancarkan getaran yang cukup dewasa, namun wanita itu tidak.Jadi Bara orangnya? Rafael akhirnya memberanikan diri bertanya topik sensitif.Ya?Mantan suami kamu. Timpalnya.Ah, Iya. Itu dia. Angguk Linang, canggung.Well, Tidak mengejutkan mengetahui Rafael mengenal Bara. Mantan suaminya memang cukup tersohor meskipun bukan selebriti atau petinggi politik negeri.Kamu tersinggung kalau saya bilang dia angkuh?Secepat pertanyaan itu datang, secepat itu pula Linang menggelengkan kepala. Nggak kok, kenyataannya memang begitu. cicitnya di akhir kalimat.Tapi dia enterpreneur yang hebat.
Pujian Rafael Linang setujui lewat anggukan. Meskipun sedikit destruktif dan brutal. sambung Rafael membuat luntur senyum Linang.Tidak, bukan sedikit. Bara sangat brutal. Itu merupakan rahasia umum dan semua orang di kota ini tahu bagaimana cara dia bekerja.Ngomong-ngomong. Tentang dua malam lalu—Pesanannya datang, Pungkas Linang cepat. Itu mungkin tidak sopan tetapi Ia lega karena makanan mereka tiba saat Ia hendak mengalihkan topik percakapan. Linang hanya enggan harus membahas lagi tentang malam dimana Rafael mengantarnya pulang. Karena itu hanya akan membuatnya gemetar.Terimakasih, ucap wanita itu ketika pelayan Alfi selesai menghidangkan.Rafael langsung menyeruput kopi nya kala itu, lalu meletakkan cangkir dengan pelan sambil memperhatikan Linang yang menaburkan garlic diatas toastnya.Mau? Tawar wanita itu dan Rafael mengiyakan.Linang mengulurkan tangannya melintasi bagian tengah meja untuk melakukan hal serupa pada menu Rafael, namun ujung lengan panjang sweaternya yang longgar malah mengenai permukaan kopi pria itu. Refleks Rafael menangkap pergelangan tangan Linang, gerakan yang membuat lengan bajunya terdorong keatas dan secara tak sengaja—Rafael temukan bekas memar kebiruan yang memudar di sana.Sadar akan pusat penglihatan Rafael, cepat-cepat Linang menarik tangannya kembali dan menyembunyikan nya di bawah meja.Itu—Bukan apa-apa, pungkas Linang, nampak pucat.Karena cedera atau muncul tanpa sebab?Rafael, ini gapapa. Tolong naluri dokternya disimpan dulu ya. Wanita itu mengeluarkan nada teguran seperti bujukan, menerbitkan senyum Rafael yang semula tenggelam.Baik, pria itu menghormati keputusannya yang tidak ingin bicara soal memar dan sepertinya tidak juga curiga.Tapi saya masih boleh tanya soal luka kecelakaan kan?Udah baikan, mulai kering juga. Jawab Linang tenang.Rafael lalu bicara soal cara menghilangkan bekas luka dan sebagainya. Percakapan keduanya mengalir begitu saja dan tidak lagi terasa canggung.Kamu belum sempat ceritain tentang kamu.. waktu itu kita hanya bicara soal aku. Kata Linang saat keduanya sampai di topik yang dirasa tepat.Apa yang kamu ingin tahu?Uhm.. Linang nampak berpikir. Mungkin, aku perlu tahu semisal ada yang marah kalau aku duduk disini bareng kamu? Rafael meninggalkan hidangannya dan bersedekap dengan alis terangkat. Misalnya?Misalnya, Istri? Ini pertemuan kedua mereka tetapi Linang sama sekali tidak tahu status Rafael sekarang. Bukankah lumrah jika Ia bertanya?Saya belum menikah, jawab Rafael diiringi tawa pelan.Kalau gitu, Pacar?Sambil tersenyum, Rafael menjawab. Saya single, Linang....Bagaimana dengan kamu? Tanyanya langsung.Aku?Saya juga perlu tahu semisal ada yang marah kalau kamu duduk disini bareng saya. Rafael mengulang kembali pertanyaan Linang dengan nada jenaka.Nggak ada juga. lirih wanita itu.Yakin? Rafael memastikan sementara
Linang mengangguk mantap.Baguslah. Dari sudut matanya, Linang melirik Rafael dan mendapatinya menghela .. legah?Matanya gelap dan selalu ekspresif, tidak seperti Bara yang hanya memperlihatkan ketajaman dan kesinisan didalamnya.Ck, Linang memaksa berkonsentrasi. Jengah setiap kali harus mengingatkan diri sendiri bahwa tidak semua pria seperti Bara. Itu merupakan reaksi naluriah yang belum bisa Ia kendalikan.Rafael... Pria ini mungkin baik. Tetapi Linang tak bisa menahan diri. Bahkan Lima tahun setelah Bara Ia mendapati dirinya bersikap defensif setiap kali bertemu pria baru.Tapi ... bukankah Rafael dari masa lalu?Ponsel berdering mengisi keheningan kosong yang sempat tercipta. Rafael meraih benda pipih yang adalah milikinya kemudian mengangkat panggilan. Sedang Linang memilih fokus pada hidangan selagi pria itu berbicara.Saya harus kembali ke rumah sakit, ungkap Rafael tergesa usai panggilan ditutup.Tersentak dan kembali pada kenyataan, Linang terpekur saat ponsel pria itu kini malah disodorkan ke arahnya.Saya boleh minta kontak kamu?Linang berkedip dua kali sebelum menyambut sambil meringis kecil. Boleh. Bibir bawah ada diantara giginya saat mengetikkan nomor panggilan.Ada lagi?Rafael mengambil kembali ponselnya yang disodorkan Linang sambil berkata. Kalau sewaktu-waktu saya hubungi untuk sesuatu yang mungkin tidak begitu penting, apa kamu akan merasa terganggu?Mendadak Linang lupa cara menelan, pernyataan itu benar-benar tidak terduga. Ia hampir tersedak saat menjawab. T-tidak.Rafael tertawa kaku dan kemudian menunduk, mengusap tengkuk. Saya tahu ini canggung. Maaf, saya cuma nggak terbiasa.Tidak sulit untuk memahami maksud perkataannya. Tapi Linang hanya... sedikit tidak menyangka? Bagaimana bisa dia—Saya pikir masih terlalu dini untuk mengatakannya secara gamblang, kamu pasti butuh waktu.Sambil meremas jari-jari, Linang memendam reaksi berlebih saat Rafael mendongak, tersenyum dan memberikan perhatian penuh sebelum bertutur..Karena saya hanya akan mendekati kamu, jika diijinkan. *** Rafael mungkin keliru? Tapi dia terlihat sangat serius. Ah entahlah, Linang masih bingung.Selama ini Ia cenderung menghindari Pria-pria Alpa sebab mereka mengingatkannya pada Bara. Kriteria teman kencannya hanya sebatas karyawan kantoran dan pegawai biasa yang dirasa tidak memiliki kepribadian kuat. Baginya itu sudah cukup. Linang enggan menaruh harap pada mereka yang berkedudukan.Tetapi Rafael, meskipun adalah tipe yang berbanding terbalik dari Bara, tapi tetap saja dia bukan pria biasa. Tampilan luar sudah menjelaskan segalanya, jam tangannya sangat mahal, kemeja pria itu terbuat dari sutra dan jasnya jelas-jelas karya perancang terkenal. Linang ragu Rafael mampu membeli semua itu dengan gaji dokternya——yang berarti sudah jelas bahwa Ia berasal dari keluarga kaya.Dia muda, kaya, berkarir cemerlang dan yang terpenting, belum pernah menikah. Lalu bagaimana dia bisa berpikiran untuk mendekati Linang?Tante mamanya Aksa kan? Seorang anak kecil menarik-narik ujung sweater Linang yang sejak tadi hanya terpekur di halaman sekolah Aksa, menunggu bocah itu keluar sambil tenggelam dalam pemikirannya tentang Rafael.Eh iya, sentak Linang, menunduk sedikit untuk menyesuaikan tinggi dengan bocah gempal itu. Kamu liat Aksa gak?Si bocah mengangguk, lalu mengarahkan telunjuk ke dalam gedung preshcool. Di dalam dengan Bu guru. Tadi Aksa berantem sama Bagas dan dia dimarahin Omanya Bagas, ungkapnya yang menyalakan alarm panik dalam diri Linang.Segera Ia berterimakasih pada bocah tersebut sebelum berjalan cepat ke pintu masuk, menemukan Aksa berada di koridor depan ruang kelasnya dengan bibir mengerucut menahan tangis. Tak hanya bersama sang guru, tetapi disana juga ada Bara dan ... Laura, mereka nampak berbincang.Linang sedang menguatkan diri, bersiap menemui mereka ketika Aksa melihatnya dan tiba-tiba berlari melewati Bara, menuju ke arahnya sambil menangis. Aksa sangat berantakan, bajunya kusut dan kotor, tidak biasanya Aksa seperti itu. Lagi, ada memar di sudut dahinya, seketika jantung Linang seperti teremas.Jangan nangis, bujuk Linang berusaha tenang sesaat.Aksa mengedipkan matanya yang basah pada sang Ibu, sesenggukan berkata. Bukan salah Aksa. Bagas yang mulai, tapi dia bohong ke Bu guru sama Oma.Linang mengerti, Aksa menangis karena tidak terima disalahkan padahal Ia justru tidak bersalah.Iyaa iya gapapa. Jangan nangis, nanti kita omongin di rumah ya, bujuknya lembut, berusaha meredakan tangis Aksa.Terlihat Bara yang telah selesai berbincang dengan guru Aksa berjalan mendekat diikuti Laura.Gurunya menelfon tadi, ungkap Bara pada Linang sambil mengusapkan Ibu jarinya pada memar di kening Aksa. Memberitahu kalau Aksa berkelahi dengan temannya. Bocah itu meringis dan mendongak dengan tatapan nelangsa. Bukan salah Aksa, pah.Jelaskan di rumah, pungkas Bara singkat.Linang hanya diam, sebelum kemudian mengutarakan. Mas, kalau masih ada pekerjaan, Aksa pulang bareng aku aja—Tidak ada. Sanggah Bara cepat.
Masuk ke mobil sekarang. . .
Di mata Laura, mantan istri Bara itu sangat biasa——tinggi tubuhnya biasa saja, dengan rambut hitam panjang dan mata oriental. Tanpa rias wajah, memakai flat shoes dan terusan sederhana. Oh, Wanita itu sama sekali tidak istimewa.Sementara kesan pertama Linang saat bertemu Laura secara langsung adalah kembali terngiangnya kata-kata Alfi soal pakaian bermerek dan perhiasan yang mendukung penampilan. Pakaian Linang memang tidak buruk namun cukup menunjukkan kesenjangan, itulah alasan mengapa Laura menatapnya dengan tatapan menilai. Tapi sungguh, Ia justru penasaran bagaimana wajah wanita itu tanpa bantuan kosmetik tebal.Oh, Linang biasanya tak suka julid, dan ia memang tidak akan melakukannya jika seseorang tak lebih dulu mencari gara-gara.Membuka pintu mobil Bara, Linang membiarkan Aksa yang tangisnya sudah redah untuk terlebih dahulu masuk kedalam sebelum Ia susul.Laura nampaknya sungkan saat mereka harus semobil bersama. Tanpa bertanya Ia masuki kursi samping kemudi yang ditempati Bara. Sedang Linang duduk bersama Aksa di kursi penumpang.Aksa sangat ingin mengambil tempat Tante penyihir itu agar tidak berdampingan dengan Papanya, sang Papa pasti akan dengan mudah mengiyakan bila Ia meminta. Namun Aksa juga merasa enggan jika harus meninggalkan Mamanya bersampingan dengan penyihir itu di belakang. Bagaimana jika Ia lupa mengawasi dan tertidur ketika Linang sedang diganggu?Mobil bergerak meninggalkan sekolah dengan masing-masing penumpang bungkam didalamnya. Bara sibuk menyetir, dan Linang hanya menaruh atensinya pada Aksa. Segalanya tenang dan terkendali sampai Laura menyuarakan opini.
Menurutku Aksa harus pergi ke konseling anak. Komentar Laura santai namun terkesan menggurui.Linang menipiskan bibir, menarik napas panjang, salut akan kelancangan Laura. Putraku baik-baik saja. Hardiknya, menyorot wanita itu tegas.Really? Dia empat tahun dan dia baru saja menindas dan menghajar temannya. Laura kembali berkata dan semakin menyulut ketidaksukaan Linang.Ini pembicaraan pertama mereka, harusnya tidak didasari dengan perdebatan, tetapi jika itu soal Aksa—Linang tidak bisa diam saja.Itu perkelahian kecil. Anak laki-laki seusia mereka selalu melakukannya. Lagipula kita tidak benar-benar tahu siapa yang bersalah disini. Kalaupun Aksa yang mulai, dia ngga mungkin menangis.Perkelahian kecil katamu?Diam. Suara berat Bara menengahi. Ia tatap Laura dengan ekor mata yang menajam bengis. You shouldn't be so stupid untuk membahasnya di depan anakku, Laura, gumamnya geram. Saliva Laura terteguk dengan sendirinya. Bara, I'm just giving—Nonsense. Tandas Bara yang membuat
Laura bungkam, bersedekap dan membuang pandangan keluar.Tante turun aja deh! Seru Aksa yang semakin membuat wanita itu kesal bukan main.Sedang Linang yang masih sangat menjunjung kesopanan, menegur putranya pelan. Aksa, ngga boleh gitu.Dan mereka pun kembali terjebak hening selama perjalanan. Aksa benar-benar tidak banyak bicara, wajahnya masih kesal. Linang berinisiatif mengembalikan moodnya, sengaja menggenggam tangan Aksa, membelai rambutnya dan bercakap-cakap dengannya sampai ketidaknyamanan hilang dari wajah anak itu. Dia juga memberikan ponselnya dan menunjukkan tayangan video jenaka hingga Aksa tertawa ditemani senyumnya.Mobil berhenti di lampu merah, Wajah teduh Linang terangkat saat hendak menatap sekitar, namun hujaman iris Bara yang terarah padanya lewat pantulan spion adalah hal pertama yang Linang temukan. Wanita itu kontan menunduk kembali—menghindari kontak mata kemudian menotice kerah bundarnya yang sedikit turun, dan memperbaikinya dengan gerakan samar.Sepuluh menit kemudian Laura diturunkan di Area perkantoran besar yang ternyata lokasinya searah dengan apartemen Bara. Sebelum turun Laura menoleh dan meremas lembut lengan atas Bara. Papa akan senang jika kamu singgah, sayangnya ngga bisa. Ia tersenyum miring, sambil melirik sekilas ke arah Linang. Lain kali saja. Tandasnya sebelum pamit hanya pada Bara dan Aksa, seolah tak menganggap keberadaan Linang. Aku disini saja, tolak Linang sopan ketika Bara memintanya pindah setelah Laura beranjak.Saya bukan sopir kamu.Ya, itu adalah senjata andalan yang mau tak mau membuat Linang patuh, hingga disinilah Ia sekarang, di kursi yang sebelumnya ditempati Laura. Aroma familiar pria itu semakin merajai penciumannya dan Linang mencoba untuk fokus alih-alih mengingat detail parfum yang dipakai Bara hari ini. Karena ya, Ia hafal nyaris semuanya. Oh hentikan nostalgia itu Linang!Bersiap-siaplah malam ini, kata Bara pelan seraya mulai memutar alunan musik agar Aksa yang sedang memainkan ponsel Linang semakin tidak terfokus pada percakapan mereka.Buat apa? Linang merengut.Makan malam di Rumah. Hari ini ulang tahun Mama.Ah ya, itu sudah seperti tradisi lama dan Linang tidak pernah absen dalam list undangan setiap tahun, meski statusnya sudah bukan lagi menantu.Apa wanita itu juga akan ikut? entah kenapa Linang jadi begitu sensi seperti. Pertanyaan itu tau-tau saja sudah keluar dari mulutnya.Wanita siapa.Laura.Jika ya, apa ada masalah? Tanya Bara.Linang meremas tepi terusan berlapis sweaternya sebelum berkata. Berarti aku masih harus pertimbangkan untuk datang. Aku ngga suka dia. Dia terlalu arogan—menganggap remeh orang lain.Bara menoleh kecil kemudian mendengkus dan tertawa kering. Responnya membuat Linang tersentil. Sepertinya Bara menganggap lelucon keluhannya yang tidak ingin diperlakukan remeh oleh Laura. Oh, Linang lupa harusnya tidak berharap banyak sebab Bara juga tidak ada bedanya. Tinggallah di Apartemen kalau begitu, karena makan malam akan tetap berlangsung dengan atau tanpa kamu.Bibir Linang bergetar, sementara hatinya berdenyut menyakitkan. Itu bukan yang terburuk yang dimiliki Bara, Linang pernah menghadapi sesuatu yang lebih—namun semua sesak tetap saja tak mau pergi.Harusnya memang seperti itu, kan?
Sengau suara Linang mengalun pelan. Karena aku bukan dan tidak akan pernah lagi menjadi bagian dari kalian. Hanya Ibu Aksa. Selebihnya Ia bukan siapa-siapa.
PART 7
Ngga mau! Aksa berseru, bersandar penuh pada sofa dengan kaki menggantung dan wajah cemberut. Linang berhembus pelan melihat ulah Aksa yang tiba-tiba merajuk, Ia baru saja membantu bocah itu bersiap dan Aksa kini sudah rapih dengan balutan kemeja mungil berwarna biru muda, celana jeans seperempat, sepatu cokelat dan kaos kaki. Rambutnya bahkan sudah disisir rapi meski berujung berantakan lagi.Entahlah, Aksa memang sensi sekali hari ini. Mendengar Linang tidak ikut ke rayaan ulang tahun sang Oma saja membuatnya histeris.Jangan gitu dong Aksa. Oma bakal sedih kalau ngga ada kamu loh, kata Linang—sedari tadi mencoba yang terbaik untuk membujuk Aksa.Makanya Mama ikut dong, Oma sama Aubi aja nyuruh Aksa datangnya bareng Mama, rengek bocah itu membuat Linang buntuh, tak tahu harus memakai cara apa lagi untuk memberi pengertian pada Aksa. Terakhir—saat mengaku tak enak badan dan ingin istirahat, Aksa malah bersikeras untuk tinggal agar bisa menjaganya. Tentu Linang tidak bisa membiarkan itu terjadi lantaran sedari tadi, ponselnya berdering tanpa jeda akibat notifikasi dari Bianca dan mantan sang Ibu mertua yang menanyakan kedatangan Arjanta kecil itu.Lain halnya dengan Linang yang kelimpungan, Bara justru nampak tenang, bersandar di jendela kaca sambil menatap mereka tanpa turut masuk dalam perdebatan.Pokoknya Aksa ngga mau pergi kalau Mama nggak ikut. Bocah kecil itu melipat tangan di dada, memasang ekspresi merajuk lalu berjalan masuk ke kamarnya sambil menghentak-hentak.Mengisap rokok dalam-dalam dan mengembuskan asapnya dengan perlahan, Bara rendahkan suaranya menjadi bisikan. Jadi ... berapa lama lagi saya harus menunggu? Ia menyeringai kecil, puas menyaksikan wanita itu tak memiliki opsi.Lima menit. sungut Linang, mendengkus dan tidak bersemangat sambil melihat ke arah lantai demi menghindari tatapan Bara. Kasih aku lima menit buat siap-siap, tandasnya sebelum beranjak.Ketiganya berangkat usai Linang bersedia ikut serta dan Aksa berhenti merajuk. Memakan waktu dua puluh menit perjalanan hingga tibalah mereka di The palace, begitu orang-orang biasa menyebutnya. Sebuah mega house berperabotan mewah elegan dengan deretan pelayan dipekerjakan. satu hal yang selalu identik di ingatan Linang adalah, The palace memiliki dapur modern lengkap langsung dengan juru masaknya. Kediaman ini benar-benar melambangkan kekayaan serta reputasi Arjanta.Melihat sekeliling, Linang selalu merasa dejavu. sudah lama sejak terakhir kali menginjakkan kaki di rumah ini, jadi sekarang Ia tengah berusaha menguasai diri.Bara menggenggam tangan Aksa sehingga mereka berjalan lebih dulu darinya yang membuntuti dari belakang.Linang? Sapa Utari, Ibu Bara dengan nada memekiknya yang khas.Segaris senyum membentuk bibir Linang, sejenak membungkuk sopan dan berucap pelan. Ma, selamat ulang tahun.Tersenyum lebar, tanpa menunggu Utari berjalan memeluk mantan menantu yang begitu disayanginya itu. Cantik banget yaampun. Dumelnya. Linang memejam membalas pelukan Utari yang sudah Ia anggap seperti Ibu sendiri sambil membisikkan harapan-harapan untuk kebahagiaan wanita itu di usianya yang bertambah.Bisa gitu ya, makin umur malah makin cantik. Bagi resep dong mbak! Bianca menimpali, Linang tersentak baru menyadari kehadiran wanita itu di salah satu sofa ruang tengah. Terakhir kali keduanya bertemu adalah dua bulan lalu, dimana mantan iparnya yang tengah berbadan dua itu menyambangi Linang untuk sharing perihal kehamilan.Kamu sehat, Bi? Tanya Linang beralih pada Bianca saat perhatian Utari berpindah pada Aksa yang memeluknya dan mengucapkan selamat ulang tahun.Sehat mbak. Sahut adik Bara itu. Bianca sudah menikah kurang lebih setahun, namun alasan mengapa dia masih tinggal di The Palace adalah karena suaminya berprofesi sebagai pilot maskapai.Perlu digarisbawahi bahwa itu bukan Liam. Mereka memang berpacaran namun kandas di tahun kedua. Dulu, Bianca sering mengungkapkan ketidaknyaman terhadap Liam yang tak lain adalah sahabat dekat kakaknya, hingga ketika perceraian Bara dan Linang terkuak, hubungan Bianca dan Liam pun turut memburuk.Mau kue cokelat yang kemarin, kata Aksa pada sang Oma. Utari lekas memanggil seorang pelayan untuk menuntun Aksa memilih kue kesukaannya, sebab saking banyaknya kadang Utari sampai lupa kue mana yang dimaksud sang cucu.Ikut sama mbaknya ya. Interupsi wanita yang hari ini genap berusia setengah abad itu sambil menurunkan Aksa dari gendongannya. Bara yang jemput ya tadi? Tanya Utari kembali beralih pada Linang dan mengajaknya duduk bersama.Ngomong-ngomong soal Bara, Linang tak melihat pria itu sekarang. Mungkin dia sudah pergi lagi, menjemput Laura mungkin?Iya, mah, jawab Linang.Utari sentuh lengan mantan menantunya dengan lembut sambil melayangkan pendaran jenaka. Dia ngga nakal kan, sama kamu?Linang tersentak meski harusnya tidak lagi terkejut pada jokes menjebak ala Utari yang senang menggoda ini.Engga lah, ma, kata Linang sambil tertawa kecil.Ih masa sih? sungut Utari bernada kecewa. Detik selanjutnya Bianca sudah ikut menimpali, wajahnya menjadi penuh selidik. Ngga percaya aku mah! Sepasang Ibu dan anak itu kemudian saling melempar lirikan seraya memasang senyum penuh makna. Sementara Linang yang melihatnya hanya bisa memerah dalam diam.Tatapannya lalu tertuju pada sosok berwibawa yang baru saja menuruni tangga dengan lengkungan senyum samar. Satya Arjanta, masih gagah di usianya yang tak lagi muda.Papa. Linang bergegas bangkit mengitari ruangan, menyambangi Satya untuk menyalaminya.Baru datang lagi kamu, Lin. Dibilangin ikut Aksa aja kalau main kesini, malah ngilang terus kamunya, ujar Satya membuat Linang meringis merasa tak enak.Kemarin-kemarin Linang sibuk kerja kan Pa, makanya Aksa juga sering dititipin disini. Maaf ya kalau ngerepotin.Bahasamu, Lin. Aksa itu ibarat Bara kecil disini, ngapain mesti ngerasa nggak enak sih? Utari menengahi.Tau nih mbak Linang, bila perlu mbak sama Aksa pindah sini aja deh, Aksa ngangenin mulu kalau nggak ada. Kekeh Bianca. Aku juga kesepian karena ga bisa kemana-mana. Kalau ada Aksa kan enak bisa diajak main.Linang tersenyum sambil menggulum bibir sebagai reaksi atas kehangatan yang ditawarkan keluarga Bara, gesturnya menjadi lebih santai seiring percakapan berjalan. Tidak berubah memang, satu-satunya yang disukai Linang dari lingkungan Bara; keluarganya.Aksa mana?Lagi ke dapur, nyari kue kesukaannya, sahut Utari pada sang suami.Mengangguk, Satya kemudian melirik jam di tangannya. Ini makanan udah pada siap belum?Dikit lagi, Pa.Yaudah nanti panggil papa di ruang kerja kalau sudah siap, pesan Satya pada Utari sebelum menepuk lembut bahu Linang. Enjoy ya.Tersenyum, Linang mengangguk patuh dan kembali mengambil tempat di sisi Bianca sepeninggal Satya dan juga Utari yang beranjak pamit untuk memeriksa dapur. Bertepatan dengan itu Bara turun, ternyata pria itu berada di lantai atas sejak tadi. Seraya fokus pada ponsel Bara menduduki sofa di depan Linang dan Bianca sehingga mereka saling berhadapan di ruang tengah yang luas. Demi menghindari kecanggungan, Linang terus mengajak Bianca bicara, keduanya seakan tak memiliki Jeda dan terlihat begitu asik sampai Linang lamat-lamat melupakan kehadiran Bara yang tatapan gelapnya sudah jatuh pada wanita itu.Okay, Linang tak benar-benar mengabaikan Bara saat ini tetapi ia hanya berusaha tidak terlihat peka saja kendati jantung berdetak kencang. Bara menahan pandangan padanya untuk waktu yang lama dan membuat Linang merinding lantaran pria itu selalu tampak marah.Terbukti, bukan hanya Linang yang sadar akan hal itu.Biasa aja dong mas, liatnya gitu amat, sindir Bianca tanpa diminta.Awalnya Linang sangat mendukung aksinya, namun Ia menyesal karena tak lama berselang, Bianca malah berkelakar. Ngga tahan pengen nerkam ya?Linang mencubit pelan lengan Bianca, membuat wanita itu meringis sekaligus tertawa. Aww, Canda mbak—elah.Tak tahan pada serangan dua sisi dari tatapan Bara dan godaan Bianca, Linang memilih berlalu dari sana dengan dalih Aku nyusul Mama dulu.Ih mbak, baru aja duduk sini juga, aku masih mau nanya-nanya mbak, rengek Bianca kembali ke kebiasaan manjanya selaku bungsu Arjanta.Entar dilanjutin kok, pungkas Linang sembari melipir. Mbak Linang! Seru Bianca, mendengkus geli. Elu sih, mas. Mupeng tau tempat dong, jadi kabur kan mbaknya.Bara tidak menjawab. Untung saja Bianca sudah kebal dengan sikap dingin sang kakak.Mupeng tuh apa, Aubi? Ah, ini dia versi mungil kakaknya yang terlahir banyak bicara. Aksa muncul dengan mulut penuh sambil menenteng piring mungil yang tak berisikan kue, melainkan steak. Bianca menggelengkan kepala, mereka bahkan belum memulai Dinner tetapi Aksa pasti telah menjadi orang pertama yang mencicipi semua hidangan.Kepo lu bocah. Sini yuk deketan, mau dengar tendangan bayi ngga? Tawaran Bianca disambut antusias oleh Aksa yang langsung menaiki sofa. Ini adalah salah satu kebiasaan mereka ketika bersama.Aksa sangat senang tiap kali merasakan tendangan calon sepupunya, dan Bianca pernah berjanji akan membuat bocah itu merasakan tendangan adiknya sendiri begitu Ia selesai melahirkan.Karena sebenarnya, Bianca punya obsesi kecil untuk menjadikan kakaknya bapak dua anak.Dan ia yakin, Bara tak akan menolak.
_____ Makan malam berlangsung tanpa Aksa sebab bocah itu lebih dulu kekenyangan dan berakhir tertidur di ruang tengah sebelum Bara mengangkatnya ke kamar. Lalu satu orang lagi yang Linang antisipasi kedatangannya sejak tadi pun nyatanya tak juga muncul sejauh ini. Entah Bara membohonginya atau apa, yang jelas—Laura tidak ada.Tapi jika diingat-ingat Bara memang tidak secara gamblang mengatakan jika wanita itu akan hadir. Maka Kesimpulannya, lelaki yang duduk dihadapannya ini memang hanya ingin membuat Linang mati gaya lewat siratan sinis dari kata-katanya.Seperti biasa, Utari lah yang lebih dahulu mengurai kecanggungan, diikuti sang putri Bianca, karena ditilik dari sisi manapun makan malam ini tak terasa akrab sama sekali. Disamping Linang yang akan selalu canggung pada Bara, lelaki itu juga telah menjadikan Satya sebagai musuh berkedok mentor selama lima tahun. Ya, Hubungan Bara dan sang Ayah memang tidak begitu baik.Dan Linang tak bisa menepis tudingan soal dirinya yang menjadi penyebab retaknya jalinan mereka.Sepanjang makan malam, percakapan berlangsung tenang dan beberapa hal ringan dijadikan topik untuk saling melempar candaan terlebih oleh Bianca dan Utari, sedikit-sedikit Linang dan Satya menimpali. Waktu yang panjang membentang di
hadapan mereka tanpa gangguan apa pun.Bara satu-satunya yang tidak mengeluarkan suara. Utari tak pernah mengomentari kondisi sang putra yang kelihatannya juga tak punya selera makan. Semua orang seperti sudah memaklumi tabiatnya.Uhm, Laura kok nggak datang ya?
Ah, pertanyaan Linang akhirnya terwakilkan oleh Bianca.Mengedikkan bahu, Utari melirik ke arah Bara yang bersandar di kursinya sambil menunjukkan ekspresi kebosanan.Mami nggak ngundang? Tanya Bianca lagi.Ya, biasanya juga datang sendiri kan, jawab Utari.Bianca manggut-manggut. By the way, aku tadi ngeliat kamu sama dia di berita, mas. Makin lengket aja sih kalian haha, godanya setengah hati sebelum melarikan sorot pada Linang. Kalau mbak Linang gimana? Udah punya pacar belum sekarang? Pancingnya bermaksud ingin membuat sang kakak cemburu.Berbeda dengan Bianca yang seperti menginginkan jawaban Ya, Linang justru merasa Utari menatapnya seolah berharap ia berkata tidak.Tidak usah terburu-buru. Tanpa disangka Satya menengahi. Gaet yang lebih bermoral dan memegang teguh prinsip, soal lama atau tidaknya bukan masalah—asal terhindar dari potensi mengulangi kesalahan yang sama.. Utari lantas menyentuh punggung tangan suaminya, dan wajah Bianca yang semula sumringah langsung berubah cemas, ketegangan langsung terasa dan sekarang Ia menyesal telah memancing topik sensitif ini.Kesalahan.. gumam Bara rendah. Suaranya begitu tenang tetapi bisa membuat siapapun gemetar layaknya Linang sekarang.Seperti menjebak dan bertindak sebagai korban, begitukah? Dia memulai, dan sesuatu seperti jatuh ke lubang terdalam perut Linang.Mas Bara.. Bianca menegur bermaksud menyudahi tetapi Satya— entah mengapa terus meladeni.Bukan, sangkal sang Ayah. Keningnya berkerut saat melarikan tatapan penuh. Lebih ke pada siapa menjatuhkan pilihan.. supaya tidak berurusan lagi dengan orang yang salah, Satya menyarkas, mengundang kedut samar di sudut bibir Bara yang sudah berdecih sinis.Don't you think she met the wrong person, cause there's something wrong with her too? Netra Bara menyorot tajam dan meremehkan, tertuju pada Linang yang menunduk dalam. Kalau kalian lupa, dia juga tidak punya moral.Bara! Hardik Satya.Apa? Sentak Bara tak mau kalah.
Mau membela partnermu disini?Linang menipiskan bibir sambil menelan ludah, gugup. Membuang muka lantaran tidak sanggup menahan tatapan dingin Bara yang begitu menuntut.
How much did he pay you to trap me, hm? Bara tersenyum, seperti sedang mengejeknya.Terdiam, Linang mencoba yang terbaik untuk tidak panik meski mata sudah mengeluarkan aba-aba ingin menangis.Bara.. lirih Utari, mulai ada sedikit air mata di wajahnya yang berubah dingin. Tolong hentikan. pintanya pelan.Bara lantas mendengkus dengan rahang terkatup, berdiri dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Sejenak Linang hanya bisa tercenung—shock, satu-satunya yang terlintas di benak hanya soal menyalahkan diri sendiri. Ia menghela napas yang tidak disadari sedang ditahan sebelum meminta ijin menarik diri, meninggalkan meja makan dan bergegas menyusul Bara.Suara langkah kaki pria itu bergema di lorong sayap kanan The Palace, menuntunnya menuju paviliun yang dekat dengan gudang penyimpanan anggur, sementara Linang mengekori dengan langkah kikuk seraya memberanikan diri menyambar lengan kekar Bara dengan tangannya yang gemetar.Mas Bara—Bara menepis keras dan berbalik, matanya menjadi gelap saat menatap Linang yang mendadak merasa sangat rentan berdiri di hadapannya. Air mata wanita itu mengancam akan tumpah.Ini salahku, murni salahku. Kamu ngga harus melampiaskannya pada mereka. Linang berbisik, pelan. Dan jantungnya benar-benar berhenti berdetak ketika Bara tiba-tiba mendekat.Menggigit bibir, Linang mundur beberapa langkah mencoba menjauhkan diri tetapi sebelum Ia bisa berkedip, Bara mencengkram rahangnya menyakitkan.Sudah sadar? Tatapan yang Ia berikan akan membuat siapapun lari dan bersembunyi. Sayangnya bagi Linang, ia tidak memiliki tempat untuk dua hal itu. Ini wilayah Bara, dan Linang tidak punya pilihan selain menghadapinya.Sadar sudah merusak banyak hal, ingat? Tanya Bara dengan nada rendah.Pria itu maju selangkah lebih dekat. Napasnya yang hangat beraroma bourbon mahal menerpa wajah Linang saat Ia merunduk. Kamu sadar usai berperan sebagai yang paling tersakiti disini.Bukan cuma impian Bara, tetapi juga hubungannya dengan sang Ayah.Kamu yang menjauhkan kami, Linang. Genggaman Bara mengencang saat Linang menggelengkan kepala. Semua karena ulahmu.Menjauhkan wajahnya dari wajah wanita itu dengan mudah, Bara melepaskan cengkeraman—sehingga Linang yang dibebaskan begitu mendadak, terhuyung dan bersandar di salah satu tiang penyangga. Ketika keseimbangan tubuhnya kembali, Bara melewatinya—melanjutkan langkah dengan sikap murka.
PART 8 (Flashback) Hari panjang yang melelahkan, dan semakin terasa penat ketika Linang mengambil jalan pulang setelah kerja paruh waktu dan terjebak hujan deras yang membuatnya harus berteduh di halte selama beberapa saat——sedang yang sangat ingin Ia lakukan sekarang adalah berbaring di ranjang berbalut selimut tebal hangat.Ck, andai Ia seperti Alfi yang selalu menyediakan payung saat pergi kemanapun. Cuaca hari ini sangat tak menentu, pagi begitu cerah, siang amat terik, siapa yang menyangka akan turun hujan deras begini.Melirik pergelangan tangannya yang dilingkari jam tangan jadul milik sang Ibu, Linang mendesis saat waktu menunjukkan Pukul 19:30 yang berarti— sudah dua puluh menit Ia terjebak disini. Sendirian dan sedikit lapar, ponselnya juga mati karena kehabisan batrei.Sangat membosankan, Linang membatin lelah. Terhitung sembilan bulan setelah kelulusan dimana mayoritas teman sebayanya sibuk berkegiatan sebagai mahasiswa, Linang masih berkutat dengan rutinitas kerja paruh waktu seperti biasa. Bangun, pergi bekerja, pulang, tidur dan ulangi keesokan harinya, karena Ia tidak bisa pergi ke universitas.Andai Ayahnya yang berengsek tidak meninggalkan mereka dengan setumpuk hutang, Linang dan Ibunya pasti akan hidup berkecukupan meski sederhana, mereka tidak harus merantau ke kota, dan menjual gudang pemintalan kapas peninggalan sang kakek demi menghindari penindasan rentenir.Selama sembilan belas tahun hidupnya Linang tak pernah memupuk kebencian pada siapapun. Sungguh disayangkan orang pertama yang menumbuhkan rasa itu justru ayahnya sendiri.Lama termangu lesuh merenungi nasibnya yang naas, sikap Linang berubah siaga saat mendengar deruman yang teredam hujan serta cahaya lampu yang menyorot langsung ke arahnya.Sebuah motor hitam besar berhenti tepat di sisi kanan halte tempat Linang bernaung. Seorang pemuda dengan Hoodie hitam dan Ripped jeans turun dari atasnya.Jantung gadis itu sontak mengancam untuk keluar dari dada menyadari bahwa motor tersebut bukan hanya familiar, Ia bahkan sangat akrab dengan design dan modifikasinya, karena hanya ada satu orang di wilayah ini yang mengendarai motor seperti itu—dan sang pemilik, tak lain merupakan lelaki yang diam-diam ditaksir Linang sejak usianya tujuh belas.Menyeka telapak tangannya yang basah ke rok yang Ia kenakan, Linang membatin—berharap itu bukan dia, meski dari postur sudah meyakinkan, Linang tetap berusaha menyangkal dan berharap pria itu cuma salah satu dari komplotan mereka. Namun harapan gentingnya pupus saat si pengendara menanggalkan Helm-nya.Adalah Pemuda berusia dua puluhan, rambutnya acak-acakan. Tetapi seberantakan apapun dia tetap tampan melebihi siapapun di luar sana.Sabara ArjantaJantung Linang berhenti sejenak saat dia semakin mendekat, menjulang diatasnya. Dia menatap Linang sekilas layaknya gadis itu menatapnya sebelum tertunduk karena Bara memiliki ekspresi membunuh di wajahnya yang membuat Linang mendadak takut.Prince of The palace itu menyelipkan tangan ke saku dengan acuh tak acuh, mengeluarkan energi yang jauh lebih sedikit canggung daripada Linang saat menduduki ruang kosong di sisi gadis itu.Oh Tidak. Tidak bisa seperti ini. Linang memang menyukai Bara, bahkan saking menyukainya Ia sampai merasa ketakutan. Hanya melihat Bara dari kejauhan Jantungnya sudah berdetak tak karuan, apalagi sekarang? Serasa ingin meledak saja.Jari-jari Linang menggigit telapak tangan saat Ia mengepalkannya agar tidak gemetar. Ia ingin pulang, sungguh Ia semakin ingin pulang. Tapi tidak mungkin mengambil resiko dengan menorobos hujan, kekebalan tubuhnya sangat rentan.Linang hanya berharap ada seseorang yang bergabung dengan mereka di halte ini. Ia tidak ingin sendirian karena itu hanya akan menarik semua fokusnya pada Bara. Lelaki itu pengalih perhatian yang sempurna.Akh shit, erangan rendah datang dari Bara membuat Linang otomatis melirik ke arahnya. Tampak lelaki itu sedang menyeka dahi dengan Ibu jari dan yang mengejutkan, ada darah membekas disana.Naluri Linang tersentak kemudian lekas merogoh tasnya untuk mendapatkan sesuatu dan setelah ketemu— Ia pandangi Plester putih bercorak hati pink itu sebelum ragu-ragu menyodorkannya pada Bara. karena Linang malu, Ia hanya menyerahkan benda tersebut sambil menunduk tanpa bertutur. Tatapanya tertuju pada apapun kecuali lelaki itu, namun ketiadaan respon dari Bara atas ulurannya membuat Linang terpaksa menubrukan pandangannya pada Bara yang sekarang menatapnya bertanya. Oh, segera Linang tidak dalam ruang kepala yang baik kali ini.Buat kamu.. ucapnya menyerupai bisikan pelan, mencoba tidak terdengar gemetar.Ngga sekalian bantu pasangin?Linang terhenyak sesaat. Bara bertanya dengan suara dalam, faktor lain yang membuat Ia menggigil selain oleh dingin yang menghembus kulit.Alih-alih menunjukkan kepada Bara betapa mudahnya Ia terguncang karena suaranya, Linang menghela nafas, lalu menggeleng samar—namun Bara sepertinya tidak menerima penolakan.Deketan sini. Pintanya, dia terdengar akrab tapi itu tidak menghentikan syaraf gelisah yang menyerang seluruh tubuh Linang.Dengan sedikit limbung dan sikap antisipasi penuh Linang mendekat namun tetap memberi jarak aman. Untung saja hujan, karena jika tidak Bara mungkin akan mendengar degup jantungnya.Lelaki itu menyugar rambut setengah basahnya keatas, memperlihatkan kening yang terdapat goresan luka.
Membuka pelan bungkus plester di tangannya, Linang mendongak tak berani berpandangan dengan laki-laki yang kini menatapnya dalam jarak dekat.Tanpa mengatakan apa pun dan dengan penuh kehati-hatian, tangan gemetar Linang menyeka titik air di sekitar luka Bara agar plester dapat melekat sempurna.Lelaki itu diam saja. Membiarkan Linang merawatnya sambil memejamkan mata dan menghela napas. Keduanya tidak bicara. Lagi-lagi hening, berbanding terbalik dengan gemuruh jantung gadis itu yang sadar betul, jika tengah berhadapan dengan seseorang yang bukan hanya memikat tetapi menakutkan dan berbahaya bagi kesehatan jantungnya.Lo yang baru pindah itu kan? Bara memecah sunyi yang canggung. Dia menaruh sorot padanya dan itu membuat wajah Linang terasa hangat. Udah lama pindahnya. jawab gadis itu lembut. Kemudian, meski agak gemetar ia mengangkat kepala dengan sikap percaya diri.Tetap aja di wilayah ini Lo yang paling telat masuk. Bara berkata dengan lancar, menatapnya dengan intens sekarang membuat Linang seolah bisa mendengar denyut nadinya sendiri di telinga.Udah, ucap gadis itu dengan suara lirih, menarik kembali tangannya dimana Ia tak sengaja menatap mata Bara di waktu yang sama. Mereka berpandangan. Sesudah beberapa lama baru-lah keduanya bergerak dan melepaskan sorot masing-masing.Thanks. ucap pemilik suara berat itu. Linang hanya mengangguk. Waktu bergulir, serangga berderik, hujan pun masih turun membasahi. Beberapa saat Linang hanya
melempar pandangan ke arah berlawanan dari Bara, sambil meremas-remas jarinya.Nama lo siapa?Gadis itu terkesiap menatap Bara, tak menyangka akan ditanya. Lalu buru-buru Ia menunduk lagi, benar benar tak tahan menatap tatapan mata tajam Bara lama-lama.Linang. Ia sebut namanya dengan tenang.Tanpa diduga lelaki itu menjulurkan tangannya, dan Linang terpaksa menyambut walau was-was.Bara, ucapnya. Setelah itu tautan terurai dengan sendirinya.Linang sibuk menghindari interaksi sedang di bibir Bara melengkung seringai kecil tanpa gadis itu sadari.Perkenalan hanya sebatas formalitas dan basa-basi, Bara tahu siapa Linang dan Ia yakin begitu juga sebaliknya. Hanya saja, ini kali pertama mereka bicara. Bara pernah melihat gadis itu sebelumnya karena mereka satu wilayah. Dia hanya gadis biasa. Delapan belas? Sembilan belas? Sepantaran Bianca atau satu dua tahun diatasnya. Dia tampaknya takut sekali padanya. Tetapi, ya—gadis ini cantik sekali. Kulitnya bersih, matanya Indah dan tubuhnya molek menunjukkan lekuk feminin. Ram-butnya mengilap dan lebat.Tak heran Ia sering menjadi topik pembahasan terpanas di kalangan teman-temannya. Dia gadis muda dengan sensualitas yang mengundang tanpa harus berpakaian terbuka. Mereka sering berandai bisa menaklukkannya untuk dibawa ke ranjang, bahkan beberapa ada yang nekat menyusun rencana penjebakan. Bara tidak pernah termasuk di dalamnya, tapi bukan berarti Ia tak punya ketertarikan serupa.Haira Linang.. Ia sudah tertarik pada gadis ini sejak awal. Bukan hanya karena wajahnya yang cantik, tetapi juga karena penampilannya yang berbeda. Sederhana, seperti saat ini dimana Ia mengenakan Rok yang terbuat dari bahan katun bersih dan licin tetapi sudah ketinggalan zaman. Blusnya juga terbuat dari bahan serupa berwarna putih. Sangat biasa'sekali. Satu nilai plus yang akan membuat orang-orang tak mempedulikan penampilan Linang ialah parasnya.Terlebih jika mereka adalah pria, tak cukup hanya memandang gadis lni sekali atau dua kali. Percayalah, Linang akan dengan sangat mudah hadir di mimpi pria-pria penggila wanita pendiam dan lugu, dia sangat memenuhi kriteria.Tak berselang lama hujan yang tadinya lebat kini tinggal titik- titik air gerimis dan kemudian berangsur reda. Terasa sekali jika Linang tengah terburu-buru karena Ia yang lebih dulu bangkit dari tempat duduk.Duluan, kak, pamitnya tanpa melihat Bara. Siap untuk pergi saat dia ditarik kembali oleh lelaki yang menangkap pergelangan tangannya. Anggota tubuh Linang sontak meregang oleh sentuhan Bara.Kita searah, bareng gue aja, tawarnya dengan wajah serius.Dingin mengalir di tulang punggung gadis itu dan ingatkan Ia untuk bernafas, karena suaranya seperti tercekat. Makasih tawarannya, katanya dengan kedipan lugu di kedua mata.Alis Bara melengkung, beberapa saat sebelum Ia mengangguk dan melepaskan cekalan untuk membiarkan Linang melanjutkan langkahnya.Ketika sudah cukup jauh berjalan meninggalkan halte, Linang tak bisa menahan diri untuk tidak menoleh lagi ke belakang dan berujung memegangi dadanya yang berdetak kencang——mendapati Bara tersenyum padanya.Banyak yang tak terucapkan lewat kata-kata di obrolan pertama mereka dan pada waktu mereka berpisah. Linang baru teringat, sejujurnya Ia tak pernah membayangkan momen interaksi itu terjadi—namun kini, Ia hanya ingin mereka bertemu lagi.Ya, mereka harus bisa berjumpa lagi.
.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan