Kisah perjodohan Hinata dan Sasuke karena surat wasiat Hiashi Hyuuga. Cinta pertama yang jadi kenyataan?
Unwanted Bond (SasuHina) 01-12
by
acyanokouji
.
BUKAN BAGIAN DARI UNWANTED BOND SHIKAHINA!
Summary: Hinata memang pernah ingin terikat dengannya. Membayangkan ia tenggelam pada titik terdalam Hinata. Tapi, Hinata sudah tidak mau. Keinginannya sudah mati sejak bertahun-tahun lalu. Namun, ia dipaksa harus terikat. Kali ini benar-benar ancaman untuk hartanya.
.
Sasuke x Hinata x Kiba
All Naruto’s characters are belong to Masashi Kishimoto.
Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.
Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!
.
.
Sasuke Uchiha, 28 tahun. Bekerja sebagai kepala manajer pabrik kimono cabang Tokyo. Yatim piatu sejak usia delapan tahun tapi diasuh oleh salah satu keluarga terpandang di Jepang. Yang terpenting, single. Menurut pengakuannya ia belum pernah dekat dengan wanita manapun secara romantis, kecuali saat awal kuliah dulu.
“Sasuke? Kau sudah tiba?” seorang perempuan berambut coklat terang menyambut Sasuke yang baru tiba di kediaman keluarga Hyuuga.
“Ya. Apa Tuan Hiashi ada, Matsuri?” perempuan bernama Matsuri mengangguk. Lalu, ia berjalan di depan Sasuke untuk mengatarnya ke belakang rumah.
“Seperti biasa. Ia sedang menikmati tehnya sambil memandang kolam ikan.” Sasuke mengikuti arah pandang Matsuri.
Tak jauh dari jaraknya berdiri ada seorang pria paruh baya yang sedang duduk memunggunginya. Pria itu adalah Hiashi Hyuuga, kepala keluarga Hyuuga yang mengasuhnya sejak ia ditinggal pergi keluarganya.
“Kau ingin minum sesuatu?” tanya Matsuri saat Sasuke hendak beranjak.
“Teh yang biasa saja.” Matsuri mengangguk. Sepeninggal perempuan coklat itu, Sasuke mendekati Hiashi, berdiri tepat di belakang punggung pria itu.
“Sasuke?” Sasuke tersenyum simpul saat mendengar suara Hiashi.
“Sepertinya aku tidak pandai menyelinap.” Sasuke berdiri di hadapan Hiashi sekarang. “Bagaimana kabarmu, Tuan Hiashi?”
Sasuke menarik kursi di seberang Hiashi dan duduk di atasnya. Ia bisa melihat sebuah kantung obat yang terletak di samping cangkir minuman Hiashi.
“Memangnya siapa yang peduli terhadap kondisiku selain dirimu, Sasuke?” Hiashi memandang tepat ke dalam mata Sasuke. “Bahkan anak-anakku pun tidak.”
“Mereka sedang sibuk bekerja, Tuan.”
“Ya. Sampai-sampai lupa siapa yang memberinya pekerjaan.” Hiashi sedikit terkekeh. Matsuri yang tiba dengan nampan tersenyum melihat majikannya tertawa kecil.
“Terima kasih, Matsuri.” setelah menaruh secangkir teh untuk Sasuke, Matsuri kembali ke dalam rumah.
“Omong-omong, ada apa Tuan memanggilku?” Sasuke menghirup aroma teh.
“Kau harus berhenti memanggilku begitu, Sasuke. Setidaknya kau bisa memanggilku paman, mungkin.” Sasuke terdiam. Matanya memandang Hiashi yang sedang memerhatikan kolam ikan. Apa ia boleh memanggil seperti itu?
“Tapi yang lebih penting, aku ingin meminta bantuanmu.” Hiashi menyebar pakan ikan yang sedari tadi ada di genggamannya.
“Jadilah mantuku. Aku ingin kau menikah dengan Hinata.”
Sasuke membulatkan matanya. Cangkir yang sudah hampir menyentuh mulutnya tertahan di udara. Untuk menenangkan diri, Sasuke meminum beberapa teguk.
“Aku tidak bisa, Tuan.” Hiashi berbalik pada Sasuke.
“Apa kau punya kekasih?”
“Tidak.”
“Kau tidak menyukai Hinata?”
“Bukan begitu, Tuan.”
“Berarti kau menyukainya, ya?” Hiashi tersenyum miring. “Kau tahu? Di antara ketiga anakku, aku paling khawatir pada Hinata, putri bungsuku. Aku takut tidak ada yang menjaganya kalau aku meninggal.”
“Tolong jangan bicara seperti itu, Tuan!” Sasuke menunduk saat sadar suaranya sedikit meninggi. Hiasi melirik Sasuke sebentar, laki-laki itu memang selalu sopan.
“Yah, mungkin di umur dan kondisiku saat ini, aku hanya ingin melihatnya menikah.” Hiashi mendongak. Matanya menatap langit-langit sambil tersenyum lembut.
“Terima kasih sudah selalu menjaganya, Sasuke.”
Sudah lewat beberapa menit. Sasuke mengangkat kepalanya. Di hadapannya Hiashi masih mendongak dengan mata terbuka.
“Tuan Hiashi?”
Tak ada sahutan. Sasuke menunggu sedikit lebih lama lagi. Ia memerhatikan Hiashi dengan seksama. Tak lama kedua tangannya mengepal. Badannya bergetar dan tangisan lolos begitu saja untuk beberapa saat sebelum Sasuke memanggil Matsuri dan orang-orang Hyuuga.
.
.
“Di mana?” seorang pria berambut coklat panjang tiba dengan napas sedikit terengah.
“Di kamarnya.” Sasuke mengantarkan pria itu ke sebuah pintu besar. Ia menunggu di depan pintu saat pria coklat itu masuk.
Sasuke bersandar pada dinding, masih dengan kepala yang menunduk dan mata yang terpejam.
“Apa sudah dimakamkan?” sebuah suara muncul, membuat Sasuke mendongak pada perempuan di hadapannya. Rambutnya coklat panjang, seperti pria tadi. Dilihat dari mana pun, mereka berdua sudah pasti memiliki hubungan darah.
“Belum. Neji masih ada di dalam, Hanabi.”
Neji Hyuuga dan Hanabi Hyuuga. Putra dan putri Hiashi Hyuuga yang baru saja meninggal dunia beberapa waktu lalu.
Sekitar sepuluh menit kedua Hyuuga berada di kamar, tempat Hiashi Hyuuga sedang ditidurkan. Saat kakak-adik itu keluar ruangan, Sasuke bisa melihat jejak-jejak air mata di kedua wajah mereka yang mencoba untuk tetap datar.
“Tegarlah. Kita harus mengatur pemakaman.” Neji mengusap bahu Hanabi yang ada di dalam rangkulannya.
“Apa tidak menunggu Hinata dulu?” Hanabi mengernyit pada Sasuke.
“Untuk apa? Anak itu palingan tidak tahu kalau ayahnya meninggal.”
“Dia tetap adikmu, Hanabi.”
“Cih, jangan bersikap seperti kau bagian dari keluarga ini, Uchiha!” Hanabi menatap nyalang. Ia melepaskan diri dari dekapan Neji dan pergi menjauh. Tak lama Neji menyusulnya setelah membuang napas lelah.
.
.
Malam ini club ramai seperti biasa. Suara dentuman musik, alkohol di sana-sini dan cumbuan muda-mudi di setiap sudut ruangan. Seorang perempuan dengan mini dress berjalan gontai menuju meja bar. Ia duduk dengan anggun di salah satu bangku.
“Wow! Kau terlihat cantik malam ini, bos!” seorang pria menyambut dari balik meja bar.
“Terima kasih, Hidan. Tapi apa itu berarti aku tidak cantik malam-malam sebelumnya?” si perempuan mengerling.
“Oh, tentu kau selalu cantik! Pasti!” Hidan mengangkat ketiga jarinya ke atas, membuat perempuan berambut ungu gelap terkekeh pelan.
“Berhenti merayuku. Buatkan aku cocktail seperti biasa.”
“Yes, mam! Segelas cocktail akan datang dengan segera.”
Dengan cekatan Hidan mengambil bahan-bahan untuk menyiapkan pesanan.
“Mencari seseorang, Hinata?” Hidan menatap Hinata yang terlihat sedikit celingukan.
Hinata Hyuuga, bungsu keluarga Hyuuga yang baru berusia 23 tahun desember lalu. Pemilik salah satu club dan bar terbesar di Okinawa. Dengan modal pemberian orang tuanya, ia sudah memulai usaha sejak awal masuk kuliah, sekitar lima tahun yang lalu.
“Kalau kau mencari pria anjingmu, ia ada di meja nomor tujuh. Menyambut gadis-gadis dari Tokyo.” Hidan menunjuk dengan dagunya.
“Dia bukan anjing, Hidan.” Hinata berdesis pelan sambil menatap tajam pada Hidan. Lalu, ia ikut menoleh pada meja nomor tujuh di sudut ruangan. Di sana pria berambut coklat sedang berdiri. Ia terlihat bercakap-cakap pada sekumpulan wanita.
“Mungkin kau harus menghukumnya karena menjadi liar, Hinata.” Hidan menaruh gelas berisi cocktail. “Hukuman yang manis tapi menyiksa.”
Hinata menatap benda kecil yang diletakkan Hidan di dekat gelas. Permen berwarna merah. Mungkin rasa strawberry. Yang terpenting, bukan permen biasa.
“Kau memang selalu tahu yang kubutuhkan.” Hinata tersenyum miring. Ia meminum cocktailnya beberapa teguk. Lalu, ia pergi menuju meja nomor tujuh sambil membawa bungkusan permen.
“Permisi, Nona-Nona. Waktu belajar sudah habis. Aku harus mengambil pria ini.” Hinata menginterupsi acara ‘pemberian materi’ tentang club dan bar. Ia menarik pria berambut coklat dengan tanda lahir berbentuk segitiga di kedua pipinya.
“Hei, aku belum selesai. Mereka baru tiba di Okinawa.” si pria segitiga menahan Hinata yang membawanya ke pojok ruangan.
“Kau sudah selesai dengan mereka, Kiba.” Hinata menatap tajam pada Kiba. Kalau sudah ditatap dengan suara tegas begini, Kiba cuma bisa diam.
“Oke, oke. Sekarang aku harus bagaimana?” Kiba menyandarkan punggunggnya pada dinding bar.
“Diam dan rasakan.”
Hinata menyatukan bibirnya dengan bibir Kiba. Mereka berciuman. Tak butuh beberapa lama sampai mereka saling memagut. Lidah Kiba berada di dalam mulut Hinata, atau mungkin sebaliknya, entahlah. Setelah melihat Kiba mengikuti permainan mulutnya, Hinata mendorong badannya semakin merapat bersamaan dengan Kiba yang merasakan sesuatu yang manis di mulutnya.
Permen strawberry. Kiba tidak masalah jika Hinata ingin memiliki variasi dalam ciuman mereka. Yang jadi masalah, Kiba tahu permen ini jelas bukan permen biasa. Setidaknya jika mereka masih berada di bar yang penuh orang-orang seperti Hidan.
“Ngh~” Hinata melenguh. Desahannya tertahan karena mulutnya masih bergelut lidah.
“Akh!” pagutan mereka terlepas karena Hinata yang terkejut akan sentuhan Kiba di antara kedua pantat sintalnya.
“Kau memang tidak sabaran!” Hinata memukul pelan dada bidang Kiba.
“Heee aku? Atau kau yang menciumku duluan sambil memberi permen perangsang?” Kiba menarik Hinata dalam pelukan sensual.
Hinata terkekeh pelan. “Bagus ‘kan? Kau akan jadi liar dengan itu.”
“Tanpa perangsang pun aku sudah liar.”
“Benarkah?”
“Huum.” Kiba memandang wajah Hinata lekat. “Jadi, kita harus ke mana, Bu Bos?”
“Tentu saja kau akan menggendongku ke kamar.”
Kiba tersenyum sebentar. “Sayangnya aku khawatir itu tidak akan terjadi.”
“Kenapa?” Hinata mengernyit pada Kiba yang menatap ke belakang punggungnya. Ia pun berbalik untuk memeriksa.
“Hinata, kita harus bicara.” oke sekarang Hinata tahu. Ia menatap sebal pada pria jangkung yang ada di hadapannya. Bagus, sekarang dia sudah turn off.
“Tunggu aku di kamar, Kiba.” mutlak, Kiba tidak bisa melawan. Ia pergi menuruti perkataan Hinata dengan patuh.
“Ada apa kau kemari, Sasuke?” Hinata memandang tajam. Ia mulai berjalan menuju bangku di meja bar. Sasuke mengikutinya dan duduk di samping Hinata.
“Kau harus pulang, Hinata.”
“Tidak akan.” Hinata menanggapi tanpa memandang Sasuke. Bahkan kini ia kembali meminum cocktailnya yang tadi tertinggal setengah.
“Akan ada rapat keluarga Hyuuga. Kau harus hadir.”
“Heee bukankah kau yang lebih Hyuuga daripada aku?” Hinata mendelik.
“Kau harus melayat, Hinata.”
“Apa? Aku tidak dengar.” Hinata bicara setengah hati. Suara musik menutupi pendengarannya. Untuk beberapa saat pria yang ada di sampingnya terdiam, mungkin ia menyerah.
“Hinata.” Sasuke menarik kedua sisi bahu Hinata. Memaksa perempuan itu berhadapan dengannya. Sasuke menarik napas dalam sebentar.
“Tuan Hiashi Hyuuga telah meninggal dunia.”
Sasuke meninggikan suaranya. Bicara tepat di depan wajah Hinata. Suaranya sedikit keras dan bergetar untuk melawan dentuman musik. Seketika mata Hinata membulat mendengar ucapan Sasuke. Ia tak bergeming di posisinya. Sedikit ia menggigit bibir dalamnya dan mengeraskan rahangnya.
.
.
.
“Kalian benar-benar memakamkannya tanpa menungguku.” Hinata bergumam di hadapan saudara-saudaranya.
“Untuk apa menunggumu? Palingan kau tak akan peduli meski dihubungi berkali-kali.” Hanabi menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ucapannya membuat Hinata mengeraskan rahangnya. Bagus, hatinya tercubit karena dia memang mengabaikan semua panggilan dan pesan dari Sasuke ataupun Neji kemarin.
“Aku masih bagian dari Hyuuga, Hanabi!”
“Benarkah? Tapi menurutku kau sudah memilih tak terlibat dengan Hyuuga sejak kau ke Okinawa sialan itu!”
Hinata dan Hanabi saling memandang sengit. Kembar putri Hyuuga itu menguarkan aura membunuh satu sama lain. Bahkan ketiga pria yang ada di ruangan itu tidak bisa menengahi.
“Padahal Okinawa adalah tempat ibu berasal.” Hinata berbisik pelan untuk dirinya sendiri.
“Apa? Kalau bicara itu yang benar sialan!” Hanabi menyulut pertikaian lagi.
“Berhenti memanggilku sialan! Kalau aku bukan bagian dari Hyuuga, lalu kenapa ada pria ini?!” Hinata ikut berteriak sambil memandang Sasuke.
“Kau lebih suka dia yang jadi saudaramu ya, Hanabi?!”
“Jangan bercanda! Uchiha tidak akan pernah menjadi bagian Hyuuga!”
Bagus, sekarang kedua orang itu ikut menyeret-nyeret Sasuke.
“Bisakah kalian berhenti? Setidaknya jaga nama baik Hyuuga di depan orang lain.” Neji akhirnya bicara yang membuat Hinata menoleh pada pria berambut merah. Ia bergidik ngeri, mata pandanya terlihat mengintimidasi.
“Jika sudah tenang, izinkan aku melakukan bagianku.” panda merah, begitulah panggilan dari Hinata, itu mulai bicara.
“Perkenalkan, namaku Gaara Sabaku. Aku adalah seorang pengacara yang akan memaparkan isi surat wasiat Tuan Hiashi Hyuuga.”
Sudah dimulai, ya?
“Sebagai mana yang tertera dalam surat wasiat, kepemimpinan Hyuuga Corp akan diserahkan pada Neji Hyuuga sebagai putra sulung Hyuuga. Hanabi Hyuuga akan ikut mengelola perusahaan dan butik kimono Hyuuga yang ada di Tokyo. Sementara itu, operasional pabrik Kimono dan pabrik Hyuuga lain akan diberikan pada kepemimpinan saat ini.”
Oke, Sasuke hanya harus melanjutkan pekerjaannya saja, ‘kan?
“Mashion Hyuuga boleh ditinggali oleh putra-putri Hyuuga selama mereka belum menikah. Tapi, sebagai putra Neji Hyuuga berhak memiliki manshion Hyuuga setelah kedua adiknya membangun keluarga baru.”
Cih, keuntungan lahir sebagai anak laki-laki.
“Hinata Hyuuga dibebaskan untuk tinggal dan hidup mandiri di Okinawa. Akan tetapi, semua wasiat yang tertera memiliki syarat. Selama satu tahun ke depan seluruh putra-putri Hyuuga termasuk Sasuke Uchiha harus tinggal bersama di mansion Hyuuga.”
Hinata, Hanabi, Neji, dan Sasuke saling berpandangan. Yang benar saja mereka harus saling melihat wajah satu sama lain lagi? Selama satu tahun dan setiap hari.
“Terkhusus untuk Hinata Hyuuga, karena modal usaha miliknya di Okinawa seratus persen dibiayai oleh Tuan Hiashi Hyuuga, ada sebuah syarat yang harus dipenuhi. Jika tidak, kepemilikan usaha akan diambil alih oleh Hyuuga Corp dan menjadi aset perusahaan.”
“Yang benar saja!” Hinata menyela. “Usaha itu aku sendiri yang mengembangkan!”
“Biarkan Tuan Sabaku melanjutkan ucapannya, Hinata.” Neji berkata tegas. Sebagai penerus keluarga Hyuuga mungkin ia harus lebih mendisiplinkan adiknya.
“Baik, akan saya teruskan.” Gaara berdeham sebentar. “Hinata Hyuuga dan Sasuke Uchiha harus bertunangan dan memutuskan untuk menikahi satu sama lain dalam waktu satu tahun.”
“Apa kau gila?!” Hinata berdiri, matanya melotot pada ketidakadilan yang terimanya. “Jangan mentang-mentang aku anak bungsu dan seorang perempuan, ayah bisa berlaku tidak adil begini!”
“Lalu bagaimana, hah?!” Hanabi ikut berdiri. “Kau pikir, setelah kau kabur dulu siapa yang mengurusi ayah? Siapa yang mengurusi Hyuuga Corp dan seluruh keluarga Hyuuga di saat kondisi tengah terpuruk? Kutanya, siapa, Hinata?!”
“Hanabi, cukup!” Neji berteriak.
Keadaan menjadi hening. Sasuke tetap tidak bicara sejak tadi. Perasaannya sedang kalang kabut sekarang. Hanya terdengar suara deru napas Hinata dan Hanabi yang terengah.
“Baiklah, kurasa aku sudah selesai dengan tugasku. Selanjutnya kalian diberi waktu satu minggu untuk memutuskan menerima persyaratan ini atau tidak.” Gaara merapikan surat-surat yang tadi dibawanya.
“Aku harap apapun hasilnya nanti, semoga kalian lebih bisa mengendalikan diri. Aku permisi.” Gaara bangkit, ia membungkuk sebentar sebelum pergi meninggalkan kediaman Hyuuga. Menyisakan keempat orang yang terdiam sambil merenung.
.
.
‘TOK TOK’
“Hinata, boleh aku masuk?” Hinata yang sedang berbaring di sofa menoleh pada pintu kamarnya.
“Ya, masuklah.” dari balik pintu Neji masuk. Ia mendekat dan duduk di samping Hinata yang bersantai pada sofa setengah berdiri.
“Kau sudah makan siang? Matsuri masak di dapur kalau kau mau.”
“Nanti saja. Aku belum lapar.” Hinata menimpali seadanya.
“Aku senang bisa melihatmu lagi, Hinata. Di sini, di dalam kamarmu dulu.” mata Neji memutari kamar Hinata. Warnanya ungu cerah. Barang-barangnya juga hampir semua berwarna senada. Dibandingkan dengan Hanabi, Hinata memang lebih girly dan suka barang-barang yang lucu.
“Aku menyayangimu, Hinata. Sama seperti aku menyayangi Hanabi. Tidak bisakah kalian lebih akur?” Hinata menatap Neji yang juga menatapnya.
“Dia yang sering mengajakku kelahi!” Hinata mendengus.
“Hanabi memang berwatak keras. Tolong lebih memahaminya. Dia telah berjuang sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa perempuan Hyuuga juga mampu memimpin perusahaan seperti laki-laki Hyuuga.”
Itu lagi. Hinata makin diingatkan kenyataan jika ia tak bertanggung jawab dan melarikan diri sebagai perempuan Hyuuga.
“Kau tahu? Hanabi sangat mengkhawatirkanmu. Dia takut kau akan kesepian di Okinawa. Bahkan, dia hampir ingin ikut menyusulmu dulu. Tapi yah, kau juga tahu, Hanabi harus tetap di Tokyo.”
“Benarkah?”
“Ya. Bahkan dia sudah menyeret koper sampai ke depan rumah.” Hinata ikut terkekeh melihat Neji yang tertawa. Membayangkan anak berusia lima belas tahun bertingkah akan kabur sambil menangis.
“Dia memang bodoh!” Neji tersenyum melihat Hinata tertawa kian lebar.
“Ya. Karena itu, aku ingin melihat kalian berdua lebih lama lagi. Tinggallah di sini selama setahun, Hinata.”
“Tidak semudah itu, Kak. Ada syarat lain untukku.” Hinata menunduk.
“Tidak papa, kau tidak harus menerimanya, Hinata. Kau tidak perlu khawatir. Meskipun club-mu diambil alih perusahaan, aku akan menunjukmu sebagai pengelolanya.”
Hinata mendongak. Ia melihat Neji yang sedang menatapnya dengan lembut. Kapan ya terakhir kali mereka bertatapan seperti ini?
“Kau memang pandai merayuku, Kak.” Hinata duduk dan menghamburkan dirinya pada Neji. Untuk sesaat Neji sempat terkejut tapi tak lama ia tersenyum dan balas memeluk Hinata. Membelai surai adiknya yang berbeda dengannya ataupun Hanabi. Neji mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir kali ia bisa menghirup aroma lavender dari Hinata, yang sama seperti mendiang ibu mereka.
.
.
“Maaf, aku sedikit terlambat.” Gaara segera duduk. Ia bergerak sedikit gusar melihat tatapan orang-orang padanya.
Neji dan Hanabi menatap Gaara tajam, tipikal Hyuuga yang tidak suka pada orang yang tidak taat aturan. Sasuke memberinya tatapan tidak peduli, entah kenapa pria Uchiha itu sedikit terlihat berantakan. Sementara si bungsu Hinata Hyuuga memberikan tatapan mengejek. Gaara si pengacara terlambat saat melakukan pekerjaannya, untuk keluarga Hyuuga lagi.
“Baik, kita bisa mulai sekarang.” Gaara berhasil menenangkan diri. “Bagaimana dengan keputusan kalian?”
“Aku, adik-adikku dan Sasuke memutuskan untuk menerima persyaratan tinggal bersama di manshion Hyuuga.” Neji berujar tanpa basa-basi.
“Begitukah?” jujur sebenarnya Gaara sudah memprediksi ini. “Bagus kalau begitu. Tapi kalian harus bertahan tepat satu tahun setelah pertama kali tinggal bersama. Tidak boleh ada yang pindah selama waktu tersebut. Untuk itu, mungkin aku akan berkunjung beberapa kali untuk memastikan.”
“Tidak ada kalimat yang menyuruhmu untuk mengontrol kami, Tuan Sabaku.” Neji mengernyit.
“Ya tapi aku menafsirkannya begitu sebagai seorang pengacara.”
“Haha kau bekerja pada tafsiranmu, ya? Pengacara macam apa?” Hinata tertawa mengejek. Gaara mengernyitkan alisnya yang nyaris tak terlihat. Ia harus membalasnya.
“Untuk persyaratanmu yang lain, apa kau sudah memutuskannya, Hinata-san?” Gaara balik menyerang.
“Ya.”
“Jadi, bagaimana?”
“Aku akan bertunangan dengan Sasuke.”
Ucapan Hinata membuat Gaara, Neji, dan Hanabi terkejut. Terlebih Hanabi yang kini sudah mengernyit bingung. Ada apa dengan Hinata? Setelah lima hari tak bertemu kembarannya itu terlihat sedikit berbeda.
“Sasuke-san, apa itu benar?” Gaara menatap Sasuke sekarang.
“Ya, kami sudah sepakat.” jawab Sasuke.
“Benarkah? Kalian setuju untuk menikahi satu sama lain?”
“Kubilang aku akan bertunangan dengannya.” Hinata berdecak. “Keputusan untuk menikah masih satu tahun lagi, ‘kan?”
Gaara bingung. Bukannya tunangan dan menikah sama saja? Sama-sama mengikatmu dengan orang lain.
“Benar. Kalau begitu tahun depan adalah batas waktu untuk menentukan semuanya. Aku akan kembali dengan surat-surat yang diperlukan tahun depan.”
Neji mengantarkan Gaara ke depan rumah. Pertemuan kali ini berjalan tanpa ada drama pertikaian seperti minggu lalu.
“Heee kalian pasti punya kesepakatan, ya?” Hanabi menatap Hinata dan Sasuke bergantian. “Beruntungnya. Kini kau semakin merasa jadi bagian keluarga, Kak Sasuke.”
Hanabi berdiri. Ia memilih masuk kamarnya untuk beres-beres. Meskipun kepalanya sedang berpikir keras karena penasaran dengan tindakan Hinata. Perempuan itu tidak akan terlibat masalah lagi, ‘kan?
.
.
.
Makan malam Hinata bersama Neji dan Hanabi setelah kurang lebih delapan tahun sangatlah canggung. Well, meskipun mungkin sejak delapan tahun yang lalu pun sudah canggung. Tapi ini benar-benar rasanya seperti bukan makan dengan keluarga.
“Bagaimana kabarmu, Hinata?” Neji mencoba memulai pembicaraan.
“Serius?” Hanabi menatap malas pada Neji. “Kau bertanya soal kabarnya seperti bertanya pada anak kecil.”
“Setidaknya Kak Neji mencoba dengan baik. Tidak sepertimu.” ucap Hinata sambil menyuap makanan.
“Kau bukan anak kecil, Hinata. Dan bukankah Hinata sudah di sini sejak kemarin? Kenapa kau baru bertanya, Kak?”
“Kemarin Hinata tidak makan malam bersama kita.”
“Ya, karena dia memilih untuk menghindar dan makan malam di kamarnya seperti anak kecil.”
“Hentikan sebelum aku melempar sup ini ke wajahmu, Hanabi!” Hinata memukul sendok ke meja. “Kau membuatku dan Kak Neji canggung.”
“Ya, dan kalau kau lupa, kau yang membuat keluarga kita canggung, Hinata.” lagi, Hinata dan Hanabi saling memandang sengit.
“Bisakah kalian berhenti ribut? Tolong hargai aku sebagai kepala keluarga sekarang.” Neji menghela napas lelah. Keadaan jadi hening sebentar.
“Selamat untuk itu!” Neji menatap tajam pada Hanabi. Entah sejak kapan adiknya yang itu mulai pandai menyulut emosi siapapun.
“Aku mungkin tidak sehebat ayah tapi aku tidak ingin gagal menjaga kalian. Tolong bantu tugasku menjadi lebih mudah.”
“Bahkan ayah pun gagal.” Hinata berbisik pelan.
“Jaga omonganmu, Hinata!” Neji berteriak mendengar bisikan Hinata. “Dia adalah ayahmu. Mantan kepala keluarga Hyuuga. Jangan sekali-kali kau merendahkannya lagi!”
“Dan kalian menguburnya tanpa menungguku!” Hinata menggebrak meja, matanya terlihat berkaca-kaca. Bagus, alasan ngambek Hinata sudah diketahui.
“Jangan manja, Hinata. Saat hidup kau tidak ingin menemuinya tapi saat ia sudah pergi kau malah sedih karena tidak bisa melihatnya? Apa bedanya untukmu?” Hanabi menatap tajam pada Hinata, nadanya menggambarkan kemarahan.
“Kau tidak akan mengerti, Hanabi. Tidak akan. Jangan coba-coba bertanya untuk memahamiku kalau kalian sebenarnya tidak peduli. Sebagai Hyuuga yang kalian pedulikan hanya menjaga citra dan menyelamatkan perusahaan, ‘kan?”
“Cih, padahal dia juga masih Hyuuga.” Hanabi berbisik pelan saat Hinata mulai bangkit dan pergi dari meja makan.
“Bicaramu sudah cocok seperti orang yang akan berganti marga Uchiha tahun depan!” sekali lagi, Neji menatap tajam pada Hanabi. Siapa sih yang mengajari adiknya memiliki mulut tajam begini?
.
.
Hinata capek ribut dengan Hanabi. Ia masih marah karena tidak bisa bertemu ayahnya untuk terakhir kali. Jujur, Hinata lebih marah pada dirinya sendiri tapi kedua saudaranya memang pas dijadikan sasaran. Dengan niat menenangkan diri, Hinata pergi dari rumah. Ia akan menginap di hotel. Biarlah tabungannya sedikit terkuras untuk makan dan beli baju baru. Hinata menghiraukan komentar pedas Hanabi saat ia pergi di siang hari tanpa koper ataupun mobil.
“Kau lama.” Hinata mendorong pintu hotel sambil cemberut. Kemarin ia sudah meminta Kiba untuk menyusulnya ke Tokyo. Dan di sinilah ia sekarang, memasuki kamar hotel yang ditempati Kiba. Atau mungkin akan ditempati oleh ia dan Kiba selama beberapa hari ke depan.
“Maaf, aku habis dari kamar mandi.” Kiba menyisir rambutnya yang masih basah sehabis keramas.
“Kenapa mandi duluan?” Hinata bersandar pada punggung sofa. Membuat Kiba menatapnya dalam diam sebentar.
“Jangan mulai menggodaku, Hinata.”
“Kenapa? Kau tidak suka?” Hinata memeluk Kiba dari belakang. Pandangan mereka bertemu melalui cermin.
“Aku baru mandi.” Kiba menyentuh tangan Hinata yang memeluknya.
“Kau bisa mandi lagi. Kita akan mandi bersama kalau kau mau.”
Kiba menggigit bibit bawahnya. Siapa yang tahan digoda Hinata? Mata yang sayu dengan kepala bersandar pada bahunya sangat menggoda.
“Baru beberapa hari di Tokyo dan kau sudah rindu disentuh olehku?” Kiba berbalik untuk berhadapan dengan Hinata.
“Kita tidak jadi melakukannya terakhir kali.”
Ya, dan terima kasih pada Sasuke Uchiha yang tiba-tiba muncul. Oke, ini hanya sindiran.
“Kau bawa permen dari Hidan?”
“Nope.” Kiba menggeleng. “No candy. Dan aku tetap akan menjadi liar.” Kiba menyeringai. Tanda lahir berbentuk segitiga di kedua pipinya benar-benar membuatnya terlihat seperti binatang buas yang akan menerkam dengan senyuman lebar.
Setelah itu kita semua tahu. Kiba dan Hinata saling menerkam. Ruangan itu akhirnya dipenuhi oleh desahan-desahan Hinata. Suara itu terus keluar seolah menggantikan tangis Hinata yang masih sedih karena ditinggal sang ayah.
“Aku benar-benar turut berduka untuk ayahmu, Hinata.” Kiba mengelus-elus Hinata yang ada di dalam dekapannya. Setelah kegiatan ‘menerkam’, mereka berbaring di atas ranjang.
“Setidaknya dia sudah tidak menderita lagi. Dia juga akan bertemu dengan ibu, ‘kan?” Kiba berdeham. Suara Hinata terdengar sedikit bergetar.
“Soal pertunanganmu, apa kau akan menerimanya?”
“Tidak tahu.”
“Lagipula kenapa ayahmu melakukan itu? Kau mengurus club dengan baik.”
“Aku tidak tahu, Kiba. Semuanya terlalu tiba-tiba untukku.”
“Kau tidak akan menerimanya, ‘kan?” Kiba menarik dagu Hinata agar mendongak padanya. “Pasti ada cara lain, Hinata.”
“Entahlah. Rasanya seperti aku terlalu banyak membangkang pada ayahku.” Hinata membuang muka dan menghela napas kasar.
“Kau masih mencintai pria Uchiha itu?” Kiba kembali menarik dagu Hinata. Kini ia menggenggamnya dengan sedikit kasar.
“Kau membuat daguku sakit, Kiba.”
“Jawab, Hinata!” Kiba berteriak tepat di depan wajah Hinata. Membuat Hinata terkejut dan takut melihat wajah Kiba yang mengeras.
“Kau tidak usah ikut campur, Kiba!” Hinata balik berteriak. Ia menepis keras tangan Kiba yang mencengkramnya.
“Ini urusanku dan apapun keputusanku tidak ada sangkut pautnya denganmu!”
“Kau sudah dewasa, Hinata. Jangan bertingkah seperti perempuan polos yang labil!” Kiba bangun. Ia meluruskan badannya hingga mau tidak mau Hinata pun ikut mendudukkan dirinya.
“Kalau kau bersamanya, lebih baik aku tidak menemanimu lagi.”
“Oh, kau bicara seperti aku yang lebih membutuhkanmu, Kiba!”
“Ya! Kau membutuhkanku. Kau memang hanya membutuhkanku untuk menghangatkanmu, Hinata!”
Hinata terkejut. Kiba juga lebih terkejut atas apa yang diucapkannya. Keadaan menjadi hening meskipun Kiba berkali-kali berteriak dalam hatinya. Kemudian Kiba memutuskan untuk berdiri duluan. Ia bangkit dari kasur dan mulai memakai pakaiannya.
“Aku pergi. Aku akan bilang pada resepsionis untuk mengganti dan memperpanjangnya atas namamu.” Kiba memutuskan untuk keluar setelah tak kunjung mendengar apapun dari Hinata. Perempuan itu masih diam di atas kasur sambil menutupi badannya yang polos dengan selimut.
.
.
“Mau makan siang bersama?” Sasuke menoleh pada suara yang tiba-tiba muncul di ruangan kerjanya. Neji Hyuuga. Tumben sekali pria itu ada di pabrik.
“Tentu. Ada menu baru di kafetaria kami.” Sasuke ikut tersenyum pada Neji. Ia bangkit dan berjalan beriringan menuju kantin.
“Omurice? Matsuri bisa membuatnya di rumah.”
“Tunggu sampai kau mencobanya.” Sasuke menyeringai. Keduanya duduk di salah satu bangku. Neji terheran, memang apa yang spesial dari omurice di kantin pabrik kimono?
“Sial. Dari mana kau dapat koki-nya?” Neji melotot setelah makan sesuap nasi dan telur. Rasanya sangat nikmat. Semua perpaduan bumbu menyatu dengan baik. Bahkan ia yang biasa tidak suka dengan campuran saus tomat di omurice, kini malah memakannya dengan lahap.
“Told you.” Sasuke tersenyum miring. “Omong-omong, ada apa kau ke mari? Belum waktunya pemeriksaan, ‘kan?”
“Oh, ya. Sebentar.” Neji menelan sisa makanan yang ada di mulutnya. “Aku ingin membahas tentang wasiat ayah.”
“Menurutmu, bagaimana kalau kita menerimanya?”
“Kita? Kenapa? Tidak ada untungnya bagiku, ‘kan?”
“Ya, kita. Kau tahu kalau di wasiat ayah bilang akan membiarkan kepemimpinan perusahaan dengan syarat tertentu. Kita harus melakukannya. Kalau tidak, perusahaan akan mengalami perpecahan. Kepemimpinan bisa saja digantikan dan posisimu juga terancam. Memang untuk sekarang rahasia wasiat ayah masih terjaga, tapi tidak ada yang tahu. Dinding bisa saja punya telinga.”
“Lalu? Kau mau aku membantumu?”
Neji menyeringai. Sasuke memang selalu tahu maksud intinya.
“Ya, tinggallah dengan kami. Hanya setahun, toh kita pun akan hidup seperti biasa. Bukan sesuatu yang sulit, ‘kan? Dulu juga kita tinggal bersama.”
Kalau hanya Sasuke dan kedua Hyuuga sih mungkin biasa-biasa saja. Tapi, Hinata? Apa perempuan itu akan nyaman? Jelas hubungannya dengan saudara-saudaranya tidak baik. Dengan Sasuke juga sepertinya.
“Oke. Aku tidak keberatan.” Sasuke berkata santai.
“Benarkah?” Neji menaikkan alisnya. “Kau memang bisa andalkan sebagai yang tertua, Kak Sasuke.”
Sasuke memutar bola malas. Jangan ingatkan tentang umurnya, tolong.
“Apa kau bisa menghubungi Hinata?” Sasuke mengernyit.
“Tidak. Kenapa?”
“Kata Hanabi kemarin ia pergi dari rumah.” Sasuke menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap sebentar. Kabur lagi? Hinata memang tidak bisa diam saja, ya?
“Ke mana?” Neji mengedikkan bahu.
“Kalian yang harus bicara, ‘kan?” Neji menatap lekat pada Sasuke yang sibuk makan omurice. “Kenapa tidak langsung diterima? Aku tahu kau senang diberi izin oleh ayah.”
Sasuke menghentikan makannya. Ia mendongak untuk menatap Neji. “Kita tahu ini tidak mudah. Ini bukan hanya tentang aku, Neji.”
Ya, ya, ya. Neji tahu apa yang terjadi antara Sasuke dan Hinata cukup rumit. Neji juga tahu kalau kini mereka semua sudah dewasa. Neji tidak boleh terlalu ikut campur. Biarlah mereka bicara dulu. Kalau ada saatnya, Neji baru bisa ikut andil. Bagaimana pun dia kepala keluarga sekarang, ‘kan?
.
.
DING DONG
DING DONG
Sasuke menghampiri pintu apartemen dengan malas. Ia baru pulang dari pabrik dan berniat menyiapkan makan malam.
“Apa yang kau bicarakan pada ayahku?” baru membuka pintu, Sasuke sudah disuguhi Hinata yang menatap tajam padanya.
“Hinata? Sedang apa di sini?” tanya Sasuke bingung.
“Kutanya. Apa yang kau bicarakan pada ayahku?!” Hinata maju. Ia mendorong Sasuke hingga pria itu mundur beberapa langkah. Hinata pun ikut masuk ke dalam apartemen Sasuke.
“Apa? Aku tidak bicara apa-apa.”
“Bohong! Tidak mungkin ayahku mau menikahkanku denganmu secara tiba-tiba!” Sasuke mengerjap, akhirnya ia tahu ke mana arah pembicaraan Hinata.
“Aku benar tidak tahu kenapa Paman Hiashi ingin kita menikah.” Sasuke beranjak menuju dapur. Mungkin Hinata butuh segelas sirup dingin.
“Apa-apaan? Ayahku bukan pamanmu!”
“Dia yang memintaku memanggilnya begitu.” Sasuke mengedikkan bahu. Sambil memunggungi Hinata, ia masih sibuk menuangkan sirup.
“Lihat aku, Sasuke!” Hinata menarik lengan Sasuke hingga pria itu berhadapan dengannya. Hampir saja sirup yang Sasuke siapkan terjatuh.
“Aku mengerti kalau mungkin ayah ingin seseorang mengawasiku. Tapi kenapa harus kau?”
“Aku tidak tahu, Hinata. Lebih baik kau minum dulu.” Sasuke menyodorkan segelas sirup dingin pada Hinata. Perempuan itu menatap aneh padanya. Bisa-bisanya Sasuke menyajikan minuman untuk tamu yang tiba dengan tidak ada ramah-ramahnya.
Tak lama Hinata meraih gelas yang diulurkan padanya. Ia meneguk sirup rasa jeruk hingga sisa setengah. Menyodorkannya kembali pada Sasuke dan membiarkan pria itu menaruhnya lagi ke meja dapur.
“Sekarang kita akan bicara.” Hinata menyilangkan kedua tangannya di dada. “Kira-kira apa yang bisa membuat ayahku ingin menjodohkan kita?”
“Entahlah. Terakhir kali dia bicara ingin melihatmu menikah dan memintaku jadi mantunya.”
“Kenapa?”
“Kalau aku tahu, aku pasti sudah menjawabmu dari tadi, Hinata.” Sasuke mengambil gelas yang tadi ia berikan pada Hinata. Ia meminum sisa air yang ada. Ia juga butuh minum karena pusing menghadapi putri Hyuuga.
“Kau pasti mengambil kesempatan, Sasuke!”
“Kesempatan apa?”
“Kesempatan untuk memilikiku.”
Sasuke terkekeh. Ia menaruh gelas ke meja dapur lagi. “Kau tahu jelas kalau aku tidak diuntungkan apa-apa dari wasiat Tuan Hiashi.”
“Oh, ya?” Hinata berjalan mendekat. Sasuke mengernyit saat Hinata sudah berada di depannya.
“Kau yakin tidak akan merasa beruntung kalau mendapatkanku?” Hinata menyentuh dada bidang Sasuke dengan telunjuknya. Lalu, tangannya bermain-main di sana sambil membentuk lingkaran-lingkaran. Sasuke meneguk ludahnya saat Hinata menyenggol putingnya.
“Katakan, Sasuke.” Hinata menempelkan telinganya ke dada Sasuke. “Apa jantungmu berdegub karena sentuhanku?”
“Menjauh, Hinata!” Sasuke mendorong Hinata dengan kedua tangannya.
“Hee kau takut pada perempuan yang lima tahun lebih muda darimu?” Hinata tersenyum miring. Ia hendak kembali mendekat pada Sasuke. Tapi laki-laki itu bergerak lebih cepat untuk menghindarinya.
PRANG
Sasuke menyenggol gelas hingga terjatuh. Gelas itu pecah dan tanpa sengaja serpihannya mengenai kelingking Sasuke. Luka Sasuke berdarah. Sasuke terkejut merasakan perih di tangannya. Hinata ikut terkejut hingga meraih tangan Sasuke.
“Asataga! Kau ceroboh!” Hinata mengambil jari Sasuke yang terluka. Ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Iya, mengemutnya untuk membersihkan lukanya.
Sasuke kembali terkejut merasakan sesuatu yang lunak menempel di jarinya. Seperti tadi, ia bereaksi pada sentuhan Hinata dan mati-matian menelan ludahnya sambil mengeraskan rahangnya. Setelah sadar, Hinata ikut membelalakkan matanya. Ia segera melepas jari Sasuke yang dikulumnya.
“Aku hanya melakukan seperti ibuku dulu.” cicit Hinata.
“Jangan mendekat, Hinata.”
“Aku tidak mendekat!”
“Mundurlah. Aku akan membereskan pecahannya.” Sasuke melambai, menyuruh Hinata untuk menyingkir. Hinata berdecak sebal karena yang pria itu pikirkan hanya memperbaiki semuanya. Jadi, setelah Sasuke membuang pecahan gelas ke tong sampah, Hinata menarik kerah baju Sasuke dan mendorong pria itu ke sudut ruangan.
“Oke. Kita terima pertunangannya. Kau akan senang ‘kan karena menuruti permintaan ayahku?”
“Aku tidak mau, Hinata. Tidak ada untungnya bagiku dari hubungan yang dipaksakan.” Sasuke memegang tangan Hinata yang mencengkramnya. Mereka bertukar pandang dalam diam selama beberapa saat.
“Terima saja. Kita akan lihat siapa yang lebih diuntungkan.” Hinata menepuk pelan pipi Sasuke. Lalu, perempuan berambut ungu gelap itu pergi meninggalkan apartemen. Membiarkan Sasuke seorang diri dengan gejolak di hatinya. Sasuke bersumpah, hidupnya tidak akan mudah lagi kalau Hinata di dekatnya.
Eh, sejak kapan hidupnya menjadi mudah saat tidak ada Hinata?
.
.
.
Makan malam pertama putra-putri Hyuuga plus Sasuke sejak mulai tinggal bersama. Mereka bukannya tidak pernah dekat. Dulu sekali mereka semua hidup bersama di manshion Hyuuga. Keluarga Hyuuga adalah gambaran keluarga bahagia dengan seorang putra dan dua putri kembar. Lalu, saat putri mereka hampir berusia tiga tahun, seorang anak laki-laki tiba di rumah Hyuuga.
Awalnya anak laki-laki itu diadopsi untuk menjadi tukang kebun keluarga. Saat melihat bocah berambut hitam di panti asuhan yang sering dikunjunginya, Hikari si istri, memutuskan untuk merawatnya. Lama-lama anak itu tumbuh dengan baik. Hiashi menyadari kecerdasan Sasuke dan potensinya. Setelah berdiskusi yang dengan jelas disetujui sang istri, Sasuke diasuh hampir seperti anak sendiri. Meskipun ia masih sering ikut bersih-bersih rumah dan entah sejak kapan menjaga anak-anak Hyuuga, terlebih si bungsu yang memang sangat menempel padanya.
“Bagaimana –ka”
“Jangan tanyakan kabar siapapun saat makan malam!” Sasuke mengernyit pada Hanabi yang memotong ucapan Neji. Andai Sasuke tahu, Hanabi sudah muak pada kakaknya yang tidak pandai berbasa-basi.
“Kita sudah bahas tentang kau yang harus lebih menghargaiku, Hanabi.” ucap Neji.
“Aku menghargaimu, Kak. Sangat. Asal kau perbaiki saja caramu berbasa-basi itu.” Neji menghela napas. Kritikan Hanabi meluncur dengan lancar.
“Aku serius ingin bertanya pada Sasuke dan Hinata.” Hinata mendelik saat namanya disebut. “Kalian benar-benar yakin dengan pertunangan ini?”
“Kenapa? Itu keinginan ayah. Dengan begitu kau juga bisa mengawasiku lewat orang yang dengan mudah kau kontrol ‘kan, Kak?” jelas Hinata mengejek saat bicara.
“Kita saudara, Hinata. Kita berempat sudah dekat sejak lama. Aku benar-benar serius ingin kita semua berbaikan seperti dulu.”
“Oh, ya? Tapi aku merasa kalian hanya mencoba agar bisa mengontrolku.”
“Bisa tidak sih kau berpikiran baik tentang kami?” Hanabi mendelik pada Hinata. “Delapan tahun pelarianmu, apa kau pikir ini mudah untukku dan Kak Neji? Tidak. Kita juga butuh penyesuaian, Hinata.”
“Kami hanya akan mencobanya.” Sasuke bicara, mendului Hinata yang sepertinya hendak membalas Hanabi.
“Paman Hiashi memintaku untuk menjaga Hinata. Jadi, kami putuskan untuk coba menjalaninya dulu. Kalau memang tidak bisa, Hinata sudah tahu resikonya.” Hinata mengernyit, ia tidak pernah bicara begitu sepertinya. Sedangkan Hanabi mengernyit juga untuk alasan yang lain. Sejak kapan Sasuke jadi sepupunya?
“Begitu? Itu memang urusan kalian berdua tapi kalau kau dan Hinata perlu sesuatu, kalian bisa menghubungiku. Aku harap itu memang benar-benar yang kalian inginkan.”
“Aku ingin makan malam di kamar.” Hinata berdiri tepat saat Matsuri menyajikan makanan di meja. Ia melirik Matsuri sekilas untuk memberinya kode sebelum pergi memasuki kamarnya.
“Lihat, dia pergi lagi seperti anak kecil.” Hanabi berdecih melihat tingkah Hinata. Lalu, ia menoleh pada Sasuke. “Aku benar-benar penasaran tentang kesepakatan kalian, yang sebenarnya.”
Sasuke menatap bingung pada Hanabi. Apa lagi sekarang? Tidak cukup Hinata membuatnya gelisah, kini kembarannya ikut mencari pertikaian. Oh Tuhan, Sasuke akan kembali repot seperti mereka kecil dulu.
.
.
Suara ketukan pintu terdengar. Hinata berteriak dari ranjang untuk membiarkan orang yang mengganggunya masuk. Terlalu malas untuk bangkit, Hinata duduk di atas kasur.
“Kau sudah bangun, Hinata?” Neji masuk sambil tersenyum. Pakaiannya rapi, sepertinya Neji hendak pergi bekerja.
“Ya. Ada apa?” tanya Hinata. Neji berjalan mendekati Hinata.
“Tidak ada. Aku hanya ingin menemuimu.” Neji ikut duduk di samping ranjang Hinata. “Jangan sering marah padaku dan Hanabi, Hinata. Kau tahu dengan jelas kalau aku ingin kita berbaikan.”
Ceramah di pagi hari? Yang benar saja? Hinata tidak butuh.
“Cobalah untuk lebih sering keluar kamarmu. Ini rumahmu, tempat kau dibesarkan. Jangan merasa kalau kau dikucilkan.”
“Aku tidak merasa dikucilkan. Aku hanya malas. Kau tahu, ‘kan? Aku pengangguran sekarang.” Neji terkekeh. Kalau Hinata tidak salah dengar, tawa kakaknya hampir seperti tawa ayahnya.
“Kau bisa mengontrol club-mu dari sini, Hinata.” Neji mengacak pelan rambut Hinata. “Mandilah. Kau akan lebih segar. Jangan lupa sarapan juga. Matsuri sudah menyiapkannya di dapur untukmu.”
Serius? Neji datang pagi-pagi ke kamarnya hanya untuk itu? Hinata merasa seperti anak kecil yang dibangunkan ayahnya sebelum berangkat kerja.
Hinata memutar bola matanya kesal. Ia ingin malas-malasan lagi hari ini. Toh tanpa ia melakukan apapun waktu terus berputar hingga tak terasa satu minggu mereka tinggal bersama. Niatnya Hinata hendak lanjut tidur tapi sebuah pesan membuatnya bangkit dan segera mandi seperti perintah Neji.
.
.
“Sekarang kau mau menemuiku?” Hinata menatap tajam pada pria yang duduk di depannya.
“Hei. Duduklah, Hinata.” kata si pria. Hinata menghela napas sebentar sebelum akhirnya duduk di kursi seberang.
“Kau ingin pesan sesuatu? Apa aku mengganggu waktumu?” tanya si pria.
“Aku sedang di tengah-tengah kemalasanku dan hendak tidur saat kau menghubungiku, Kiba.” Hinata menatap tajam pria di depannya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Seminggu lebih Kiba pergi dan tidak bisa dihubungi. Sekarang tiba-tiba muncul lagi. Mengajaknya bertemu di salah satu kafe dekat rumahnya.
“Maaf.” kata Kiba pelan. “Aku tidak seharusnya bicara begitu padamu. Maafkan aku, Hinata. Kau benar. Akulah yang membutuhkanmu. Kumohon, maafkan aku.”
Kiba meraih tangan Hinata. Ia menggenggamnya pelan. Matanya menatap Hinata dengan lembut. Ia tidak ingin ditinggalkan oleh perempuan yang bersamanya sejak delapan tahun lalu. Meskipun ia sempat berpikir untuk meninggalkan.
“Kenapa? Perempuan lain tidak bisa menghukummu dengan benar?” sindir Hinata.
“Ya. Kau satu-satunya yang bisa menghukumku, Hinata.” Kiba mengelus pelan tangan Hinata. Tak lama terdengar helaan napas dari perempuan di depannya.
“Aku lapar. Aku akan memesan dulu.” Kiba tersenyum pada Hinata yang kini terlihat lebih santai. Perempuan itu memanggil pelayan dan memesan makanan.
“Apa seminggu ini kau berdiam di Tokyo?” tanya Hinata.
“Tidak. Aku kembali ke Okinawa dan baru ke Tokyo kemarin.” Hinata menaikkan alisnya. Repot sekali.
“Aku akan tinggal di Tokyo, Hinata.”
“Kenapa?”
“Aku tahu kau pasti menerima permintaan Neji. Aku akan menemanimu selama kau di Tokyo.”
Hinata terdiam mendengar penjelasan Kiba. Delapan tahun mereka kenal, sejak Hinata pergi ke Okinawa. Kalau digambarkan, sekarang Kiba adalah laki-laki yang selalu ada di sisinya. Hubungan mereka seperti... partner in crime, mungkin? Kiba menemaninya selama kekosongan hati Hinata. Ia juga membantu Hinata dalam membangun usaha.
“Aku bertunangan dengan Sasuke.” kini Kiba yang terdiam. Matanya sedikit membulat sebentar.
“Kenapa?”
“Itu yang diingkan ayahku.”
Suasana hening. Bahkan saat seorang pelayan mengantarkan pesanan Hinata pun mereka masih terdiam.
“Bukan karena kau masih mencintainya?” Kiba benar-benar hampir mengutarakan apa yang dipikirkannya. Ia meneguk ludah dengan keras, menelan ucapan yang sudah berada di ujung lidahnya.
“Kalau itu yang terbaik menurutmu, aku akan mendukung.” Kiba tersenyum. Tangannya kembali mengelus tangan Hinata. Lalu, ia mempersilakan Hinata untuk makan. Tak lupa ia memesan es krim sebagai menu penutup untuk gadisnya(?)
“Kalau kau di sini, bagaimana dengan club di Okinawa?” Hinata menyendok es krim vanilla.
“Aku menitipkannya pada Hidan.”
“Kau yakin ia tidak akan berbuat onar, ‘kan?” Hinata menatap Kiba sambil menyatukan kedua alisnya.
“Aku membiarkan Konan tinggal. Tidak papa, ‘kan?” Hinata berdeham. Kalau ada perempuan itu, ia sedikit tenang. Setidaknya ada orang yang mengawasi Hidan agar tidak mencari masalah. Apalagi kalau sampai terlibat dengan polisi.
“Omong-omong, apa yang akan kau lakukan selama setahun di sini, Hinata?” Hinata mendengarkan pertanyaan sambil menyuap es krim. Ia tampak berpikir sebentar.
“Entahlah. Membiarkan waktu berlalu, mungkin?”
“Aku ingin memberi saran.” Hinata menunggu Kiba melanjutkan ucapannya. “Apa kau tidak ada niat membuka cabang club-mu di Tokyo? Kau tahu, jaga-jaga seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan.”
Hinata ingin membantah. Ia tidak akan menyerah pada club-nya di Okinawa. Itu adalah hasil jerih payahnya selama lima tahun ini. Meskipun ia harus berkelahi dengan Neji dan Hanabi nantinya, Hinata tidak peduli.
“Aku kenal seorang bartender hebat di sini. Ia baru dipecat dua hari lalu.”
“Kalau hebat kenapa dia dipecat?” tanya Hinata.
“Ia sedikit cekcok dengan bosnya. Tapi kurasa kalian berdua akan cocok.”
“Siapa namanya? Kenapa kau berpikiran begitu?”
“Kau akan tahu setelah kalian bertemu.”
.
.
Sekitar lima hari kemudian, Kiba mengajak Hinata bertemu dengan bartender yang dibicarakan sebelumnya. Aneh, mereka janjian bertemu di sebuah bar untuk merekrut bartender. Lebih aneh lagi saat Hinata melihat si bartender yang katanya hebat itu adalah perempuan modis dengan tubuh langsing yang sangat cantik.
“Hinata, kenalkan, ini Ino Yamanaka. Bartender yang aku ceritakan padamu.” Kiba mengenalkan perempuan yang duduk di seberangnya.
“Terima kasih sudah mengenalkanku, Kiba.” Ino mengerling pada Kiba. “Salam kenal. Namaku Ino Yamanaka. Orang yang diceritakan Kiba padamu tapi kuharap kau tidak terlalu memercayai ucapannya. Senang bertemu denganmu, –Hinata? ”
“Hyuuga. Namaku Hinata Hyuuga.” ucap Hinata. Ia menyambut uluran tangan Ino padanya. Mereka berjabat tangan sebentar.
“Oh, kau mirip perempuan yang dekat dengan temanku.”
“Siapa?”
“Adalah. Dia seorang detektif di Tokyo. Well, kami cukup bersebrangan.” Ino tertawa pelan.
Hei, cerita ini tidak akan mengganggu keberadaan dunia paralel, ‘kan?
“Jadi, apa kau sedang mencari pekerjaan, Nona Yamanaka?” tanya Hinata. Ino tersenyum miring. Seperti yang diceritakan Kiba, Hyuuga sangat serius tentang pekerjaan.
“Ya. Apa kau membutuhkan seorang pekerja, Bos Hinata?” Hinata menyeringai. Kiba benar, sepertinya ia dan Ino akan cocok.
“Tentu. Aku butuh orang yang akan membuatku bangga dengan bisnis usahaku.”
“Kalau begitu, kau datang ke orang yang tepat, Bu Bos!”
“Bagus. Karena aku tidak suka kegagalan saat memulai sesuatu.” Hinata dan Ino saling menatap. Mereka tersenyum satu sama lain. Insting wanita, hanya berkumpul dengan orang yang sejenis denganmu.
.
.
“Belum tidur, Matsuri?” Matsuri yang sedang duduk di meja makan terkejut.
“Ya, Neji-sama.” Matsuri bangkit dari duduknya.
“Menunggu Hinata lagi?” Neji mendekat. Akhir-akhir ini ia jarang melihat Hinata. Menurut laporan Matsuri, adiknya yang itu sering pulang larut malam dan makan malam sendirian.
“Kenapa kau menunggunya? Biarkan saja. Dia sudah besar, pasti bisa cari makan sendiri.”
“Kemarin Hinata-sama memintaku memasak kari. Katanya ia rindu masakan Nenek Chiyo.”
Neji menghela napas. Antara kesal tapi lega sekaligus. Hinata sudah mulai membiasakan diri di rumah ini lagi. Meskipun ia merepotkan Matsuri terlalu banyak.
“Jangan menunggunya lagi. Biar saja dia panaskan sendiri makanannya.” Neji menyentuh pundak Matsuri.
“Neji-sama?” sentuhan Neji pada pundak Matsuri semakin menjalar kemana-mana.
“Hinata bisa memanaskan makanannya sendiri.” kini Neji sudah menempel dengan Matsuri. “Bisakah kau yang panaskan aku sekarang?”
“Akh!” Matsuri terkejut saat Neji menyentuh pantat sintalnya.
Jangan salah paham. Ini bukan pelecehan. Sebenarnya mereka sudah terlibat hubungan sejak... kapan ya? Matsuri masuk SMA? Sekitar tujuh atau delapan tahun lalu? Ya, benar. Delapan tahun lalu memang keadaan yang kacau bagi Hyuuga.
“Hmph!” Neji mencium Matsuri. Mereka terlibat dalam ciuman yang dalam. Tangan Neji tidak diam. Di tengah malam, ia menyentuh tubuh Matsuri. Mulai dari pipi, leher, bahu, dada, perut, dan pangkal pahanya.
“Boleh aku memasukimu sekarang?”
Matsuri mengelus pipi Neji. Lalu, ia berkata sambil tersenyum. “Lakukanlah.”
Neji mendudukkan Matsuri di atas meja makan. Ia menyibak celana dalam Matsuri yang memakai seragam maid-nya. Lalu, pelan-pelan Neji memasuki Matsuri. Menyatukan tubuh mereka di tengah tidurnya orang-orang Hyuuga.
“Ahnn, Neji-sama.”
Matsuri mendesah. Ia mengikuti gerakan Neji yang menyodoknya.
“Kau mengapitku dengan erat, Matsuri.”
Neji meringis. Ia mendekap Matsuri lebih erat. Tangannya tidak bisa diam. Berpindah-pindah dari pantat, perut, dan payudara Matsuri. Nikmat. Matsuri memang selalu ada untuknya saat ia butuh breather dari bebannya sebagai penerus keluarga. Saat Neji hampir mencapai puncaknya, ia yakin melihat seseorang melewati dapur. Siapapun orang itu, Neji harus bicara dengannya.
.
.
.
Kesibukan Hinata dalam mengurusi usaha barunya di Tokyo cukup menguras waktu. Bagus, sekarang dia sudah tidak menjadi pengangguran seperti dua minggu lalu. Tapi, badannya cukup lelah. Beberapa hari terakhir ini ia pulang larut malam. Di saat orang rumahnya yang bekerja kantoran mungkin sudah tidur lelap, Hinata bahkan belum makan malam.
Hinata berniat pergi ke dapur dulu. Mengambil beberapa makanan yang disisakan Matsuri untuknya sebelum bersih-bersih. Tapi, langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu dari dapur.
“Ahnn, Neji-sama.”
“Kau mengapitku dengan erat, Matsuri.”
Shit. Ada yang bercumbu di dapur rumahnya. Bukan sembarang orang. Kalau Hinata tidak salah lihat dan dengar, itu kakaknya dengan Matsuri? Pelayan rumahnya sendiri? The hell, apa yang dipikirkan Neji? Setidaknya mereka bisa melakukan di kamar, ‘kan?
Hinata mematung selama beberapa saat. Ia tidak tahu musti bagaimana. Haruskah ia tiba-tiba muncul dan mengejutkan kedua orang yang ada di dapur? Konyol. Hinata tahu betul sebagai pemilik club, jangan mengganggu orang yang sedang bercinta. Saat sedang bergelut dengan pemikirannya sendiri, tiba-tiba Hinata merasakan tarikan di tangannya.
“Sasuke?”
“Ssstt.. Jangan bicara terlalu keras.” Sasuke menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri. Ia memojokkan Hinata ke dinding luar dapur.
“Apa yang kau lakukan?” Hinata bertanya dalam bisikan.
“Aku? Menyelamatkanmu.” Hinata mengernyit.
“Maksudmu –ap”
“Sudah kubilang jangan bicara terlalu keras.”
Sasuke membekap mulut Hinata. Tubuhnya semakin merapat pada Hinata. Damn. Dada mereka hampir bersentuh. Tunggu, bukan saatnya Hinata berpikiran begitu. Tapi, di balik dinding tempatnya bersandar, ada orang yang sedang bercumbu dengan desahan yang terdengar menggaung di telinga Hinata. Duh, gimana?
“Ayo ke kamarmu. Ingat, jangan terlalu berisik.”
Sasuke mundur. Ia menuntun Hinata berjalan perlahan untuk menuju kamarnya yang memang berada di lantai satu, tidak terlalu jauh dari dapur. Sasuke membuka dan menutup pintu kamar dengan sangat perlahan.
“Apa yang kau lakukan?” Hinata mengulangi pertanyaannya.
“Bersembunyi sampai mereka selesai.”
“Tsk. Lagian kenapa sih mereka melakukannya di sana?”
Hinata berdecak. Ia menaruh tas yang dibawanya dan melepas jaket yang dipakainya, menggantungkannya di balik pintu. Saat melewati Sasuke, pria itu terlihat membuang muka.
“Apa?” tanya Hinata tak acuh.
Double shit. Hinata pakai tube top sampai pertengahan perutnya.
“Jadi, apa yang kau lakukan tengah malam begini, Sasuke?” Sasuke menoleh pada Hinata yang bersandar di sofa.
“Aku mendengar suara mobilmu dari kebun.”
Sasuke? Di kebun? Malam-malam? Aneh.
“Aku tahu Neji dan Matsuri belum tidur. Untuk berjaga-jaga, makanya aku mengikutimu yang berjalan menuju dapur.”
“Kak Neji dan Matsuri.” Hinata memberi jeda. “Apa mereka sudah lama berhubungan seperti itu?”
“Begitulah.” Sasuke mendekat dan ikut duduk dengan Hinata di sofa.
“Kenapa? Maksudku, bagaimana bisa? Bukankah Matsuri sudah seperti adik kita?” Sasuke hendak menimpali tapi Hinata keburu bicara lagi.
“Kudengar juga Kak Neji akan bertunangan dengan Sakura Haruno yang dulu jadi penggemarmu.” Sasuke mengedikkan bahu. Mereka berdua diam sebentar, berkutat dengan pemikiran masing-masing.
“Hinata, kalau kau merasa hidupmu kacau, kau tidak sendirian. Kami pun di sini merasakan hal yang sama setelah kepergian Nyonya Hikari.” Hinata menoleh saat nama ibunya disebut.
“Aku bahkan selalu merasa tidak tenang saat memikirkan kebun. Aku selalu mengingat beliau yang mengajariku cara berkebun.”
Sasuke menunduk. Hinata bisa melihat aura kehilangan dari pria itu.
“Tetap saja mereka berdua seharusnya tidak melakukannya sembarangan. Di rumah ini ada orang lain.”
Duh, Hinata salah menangkap poin dari pembicaraannya.
“Ah, sudahlah, terserah.” Hinata menggerutu sebentar. Ia melirik jam dinding yang menujukkan pukul satu lewat dua puluh tujuh menit.
“Sepertinya mereka sudah selesai. Kau bisa kembali ke kamarmu, Sasuke.” tanpa bicara lagi, Hinata masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan wajah dan tubuhnya. Sasuke yang diperlakukan begitu hanya bisa menghela napas dan menuruti perkataan wanita itu.
.
.
Pagi harinya, putra-putri Hyuuga dan Sasuke sarapan bersama. Hari yang langka mereka akhirnya bisa makan di satu meja lagi. Faktanya, semalam yang makan bersama hanya para pria.
Saat ketiga manusia lain sedang makan dengan lahap, Neji bergerak gusar. Matanya memerhatikan gerakan Hinata dan Hanabi yang sedang makan. Neji benar-benar penasaran dan takut aktivitasnya dengan Matsuri diketahui orang lain.
“Akhir-akhir ini aku jarang melihatmu di rumah, Hinata. Kenapa? Kau sudah tidak kuat tinggal bersama kami selama sebulan?”
Hinata yang sedari tadi diam dan memikirkan kejadian semalam, tersadar saat Hanabi bicara padanya. Syukurlah Hanabi menghentikannya dalam mengingat bagaimana Neji mencumbu Matsuri di sini, di meja ini.
“Aku sibuk mempersiapkan usaha baruku.”
“Benarkah? Kau akan membuka usaha di Tokyo, Hinata?” kali ini Neji yang bertanya dengan semangat. Sesaat ia melupakan pemikiran gusarnya.
“Ya. Kiba membantuku.” Sasuke menoleh pada Hinata. Kiba itu temannya Hinata di Okinawa, ‘kan?
“Kiba siapa? Laki-laki?” Hanabi mendelik pada Hinata. “Kau menghabiskan banyak waktu bersama laki-laki lain.”
“Apa sih maksudmu?” Hinata menghentikan tangannya yang menyodok makanan. Kini ia ikut menatap pada Hanabi. Perang dingin lagi.
“Maksudku, kau itu sangat tidak berpendirian. Kau yang memutuskan untuk bertunangan dengan Sasuke tapi malah sering pergi dengan laki-laki lain!”
“Kiba itu rekan bisnisku sejak di Okinawa asal kau tahu!”
“Benarkah? Tapi aku belum pernah melihatmu dan Sasuke berduaan sejak pindah ke sini tuh!”
“Memangnya apa masalahnya?”
“Artinya, kalian berdua berarti tidak benar-benar menjalin hubungan. Kutebak, pasti kalian belum pernah berkencan!”
Pertikaian Hanabi dan Hinata mendominasi meja makan. Sepertinya misi Neji lebih utama untuk menyatukan kedua adiknya daripada mencari pelaku yang mengintip semalam.
“Aku dan Hinata berencana pergi kencan nanti sore.” ucapan Sasuke membuatnya menjadi pusat perhatian. Hinata mengernyit karena semalam mereka tidak ada bicara apa-apa soal kencan.
“Oh, benarkah? Tapi semestinya kalian melakukan itu jauh-jauh hari. Tidak menunggu lebih dari sebulan!” ketus Hanabi.
“Aku dan Hinata sibuk, Hanabi. Kau dengar, ‘kan? Hinata sedang mempersiapkan usaha barunya.” Hanabi berdecak. Entah kenapa Sasuke malah membela Hinata. Laki-laki itu sepertinya sudah mulai ikut terlibat dalam pertikaian Hanabi dan Hinata.
Sarapan selesai dalam keadaan hening. Hinata memutuskan untuk pergi mandi. Sasuke pergi ke kebun. Entah mau apa. Hanya tersisa Neji dan Hanabi di meja makan.
“Hanabi.” panggilan Neji membuat Hanabi menoleh. “Kenapa kau tiba-tiba marah pada Hinata?”
Hanabi berdecak lagi. Kakaknya juga ikut membela Hinata. “Tidak ada. Aku hanya mengingatkannya untuk belajar bertanggung jawab.”
“Kau cemburu pada Hinata? Atau pada Sasuke?”
“Yang benar saja! Aku nomal, dan aku sudah punya calon pasangan kalau kau mau tahu!”
Neji menutup telinga saat mendengar Hanabi berteriak. Ia mengalah dan hanya mengiyakan ucapan Hanabi.
“Omong-omong, semalam kau pulang jam berapa, Hanabi?” oh, Neji tidak lupa misinya yang lain.
“Setengah dua.” jawab Hanabi cepat. “Aku juga melihat Hinata masuk kamarnya.”
Hanabi dan Hinata pulang bersamaan? Sebenarnya Hanabi juga tidak yakin sih itu Hinata masuk atau keluar kamarnya. Yang jelas pintunya terbuka saat Hanabi lewat.
“Cih, anak itu pergi bersama laki-laki tidak jelas sampai larut malam.” Hanabi berbisik pelan.
.
.
Hinata sedang memakai skincare rutinnya saat pintu kamarnya diketuk. Setelah diberi izin, seseorang masuk ke dalam kamar Hinata. Itu Neji lagi.
“Kau sedang apa, Hinata?” Neji berjalan mendekat.
“Bersiap. Kalau kau tidak dengar, aku dan Sasuke punya kencan hari ini.” Hinata menjawab dengan nada menyindir.
“Kau dan Sasuke benar akan berkencan?” Neji mengernyit.
“Seperti yang kau dengar, Tuan.” Hinata mengaplikasikan sunscreen ke wajahnya.
“Kau tidak harus mendengarkan Hanabi. Hubunganmu dan Sasuke bisa berjalan perlahan sesuai keinginan kalian.” walaupun Neji juga penasaran dengan akhir kisah mereka sih.
“Aku sedang tidak ingin mendengar ceramahmu. Kalau kau sudah selesai, mending kau pergi saja.”
Hinata sangat sensitif. Sepertinya ia sedang PMS.
“Omong-omong, aku ingin bertanya sesuatu.” Hinata menatap Neji melalui cermin.
“Semalam kau pulang jam berapa, Hinata?” bagus, pertanyaan yang membuat Hinata sedikit gelagapan.
“Satu.... mungkin? Atau lebih. Entahlah, aku tidak ingat.” jawab Hinata. Ia mati-matian besikap seperti tidak tahu apa-apa. “Kenapa memang?”
“Tidak papa. Aku hanya khawatir karena akhir-akhir ini kau sering pulang malam.” alibi Neji.
“Jangan terlalu sering pulang malam, Hinata.”
Jawaban Hanabi dan Hinata memiliki kecocokan. Berarti mereka berdua tidak berbohong, ‘kan? Jadi, Neji merasa tidak bisa mencurigai mereka lagi. Kalau bukan kedua adiknya, lalu siapa? Hanya tersisa Sasuke sekarang.
“Kau sedang apa, Sasuke?” Neji menghampiri Sasuke di kebun.
“Melihat-lihat saja. Sepertinya aku akan mulai menanam bulan depan.” Sasuke berjalan menuju arah Neji. Ia sudah selesai mengurusi kebun.
“Ada apa Neji?” tanya Sasuke. Pria berambut coklat di hadapannya terlihat sedikit gelisah.
“Apa semalam kau keluar kamarmu?” tanya Neji to the point.
“Ya. Aku memeriksa kebun.” Neji menjawabnya dengan ‘oh’.
“Kalau kau khawatir, aku tidak akan memberitahu orang lain tentang kau dan Matsuri.”
Tuh ‘kan, benar. Sasuke yang mengintipnya.
“Kita sesama lelaki. Aku mengerti. Tapi, lain kali kusarankan untuk melakukannya di kamar. Atau setidaknya pastikan orang lain tidak bisa melihat.”
.
.
Kencan pertama Sasuke dan Hinata. Hinata pikir Sasuke akan mengajaknya ke tempat-tempat romantis untuk membuktikan pada Hanabi. Tapi, tempat ini tidak ada romantis-romantisnya.
“Penyimpanan mayat abu? Serius? Kau tidak punya ide lain apa?” Hinata menatap heran pada Sasuke. Laki-laki itu malah menarik lengannya, memaksanya masuk.
“Paman Hiashi dikremasi.” sebelum Hinata bertanya lebih lanjut, Sasuke bicara. Benar saja, Hinata diam. Ia mengikuti Sasuke yang berhenti di sebuah rak.
“Kau belum bertemu dengannya, ‘kan?” Sasuke menoleh, ia melihat Hinata menunduk.
“Kenapa kau mengajakku ke sini?” Hinata bertanya lirih, masih sambil menunduk.
“Kau pasti rindu padanya.” Hinata masih terdiam. “Apakah aku salah?”
“Bisa kau tinggalkan aku sendiri?” Hinata mendongak. Sasuke bisa melihat mata Hinata yang sedikit bergetar.
“Tentu.”
Sasuke pergi ke luar. Meninggalkan Hinata sendiri di depan rak penyimpanan abu Hiashi Hyuuga. Sepertinya perempuan itu akan menangis.
“Kenapa kau pergi?” suara Hinata bergetar. Air matanya turun tak lama setelah Sasuke pergi.
“Kau tahu ‘kan kalau aku masih marah?”
“Kenapa tidak membujukku lagi, ayah?”
Hinata memandang foto yang berada di dalam rak. Itu adalah foto keluarganya saat ia masih kecil. Ada ayahnya, ibunya, Neji yang berusia sepuluh tahun dan kembar putri Hyuuga yang berusia tujuh tahun.
“Aku tidak terima karena kau begitu cepat menyerah pada kepergian ibu. Dia sakit, aku tahu. Tapi kematiannya terasa tidak adil.”
Isakan Hinata memenuhi lorong rak yang masih kosong. Mungkin sudah di pesan oleh keluarga Hyuuga.
“Kalian terlalu cepat melupakannya. Itu tidak adil. Bagaimana bisa kau melupakan perempuan yang sudah lebih dari dua puluh tahun bersamamu dengan cepat?”
Hinata menumpahkan semua kekecewaannya pada sang ayah.
“Bahkan kau sekarang ikut meninggalkanku. Lihat? Mereka juga dengan cepat melupakanmu ‘kan, ayah?”
Hinata merasa marah. Beberapa hari lalu, atau minggu, entahlah Hinata lupa. Ia mendengar pembicaraan Neji dan Hanabi tentang desakan orang-orang Hyuuga mengenai hubungan bisnis dengan keluarga Haruno. Pernikahan bisnis untuk meningkatkan hubungan dan kepemimpinan perusahaan. Yang benar saja. Bahkan ayahnya belum ada sebulan pergi.
“Setelah kau pergi pun, kau masih mau mengaturku ya, Ayah?”
Sasuke menoleh saat mendengar suara derap langkah. Hinata sudah keluar dari gedung setelah sekitar sepuluh menit di dalam. Persis seperti Hanabi dan Neji dulu. Ada jejak-jejak air mata di kedua pipi perempuan itu yang sedikit menghapus makeupnya.
“Sudah selesai?”
Sasuke diabaikan. Hinata berjalan melewatinya, duluan menuju mobil.
“Oh shit!” Hinata terdiam beberapa langkah di depan Sasuke. Apalagi sekarang? Padahal Sasuke kira ia sudah memberikan ‘kencan pertama’ yang cukup baik untuk Hinata.
“Sepertinya aku menstruasi.”
.
.
.
Sasuke tidak pernah membayangkan ia akan pergi ke supermarket untuk membeli pembalut wanita. Sasuke bukannya seorang patriarki. Ia hanya merasa bingung karena ini kali pertama untuknya. Apalagi saat mendapatkan tatapan aneh dari si penjaga kasir. Rasanya Sasuke ingin mengutuk laki-laki berambut bob itu karena sudah merendahkan.
“Ini. Seperti yang kau pesan. Tidak ada sayapnya.” Sasuke menyerahkan sebuah kantung belanja pada Hinata saat sudah tiba di dalam mobil.
“Apa kau akan diam saja?” Sasuke mengernyit pada Hinata. “Tidak mungkin ‘kan aku pakai ini di sini?”
“Oh.” Sasuke baru sadar. Ia mulai menyalakan mesin mobil.
“Kita akan kemana?” Sasuke bertanya, ia juga bingung musti kemana.
“Berapa lama lagi untuk sampai rumah?”
“Sekitar satu jam, mungkin.”
Siapa sih yang memilih lokasi kremasi Hiashi Hyuuga? Kenapa harus jauh dari rumah?
“Mustinya aku titip beli celana tadi.”
Sasuke diam mendengar Hinata. Celana? Hinata butuh celana? Kalau tidak salah, ia masih menyimpan celana olahraganya di mobil –yang rencananya akan ia pakai untuk melawan Naruto main tenis setelah dari pabrik senin besok. Mungkin bisa ganti jadwal saja.
“Apa yang kau lakukan?” Hinata menatap bingung pada Sasuke yang menghentikan mobil. Pria itu juga terlihat mencari-cari sesuatu di jok belakang.
“Ini. Kau bisa pakai celana olahragaku.” Sasuke menyerahkan celana olahraga panjang berwarna hitam.
Hinata memandang celana olahraga yang diberikan oleh Sasuke. “Tunggu apa lagi? Ayo carikan aku toilet.”
Sasuke mampir di salah satu pom bensin. Hinata turun dari mobil menuju toilet wanita. Jalannya terbata-bata. Sambil menutupi belakang celananya, Hinata pergi dengan waspada.
Sasuke menunggu sekitar lima belas menit. Hinata kembali memakai celana olahraga Sasuke. Lucu sekali. Atasannya yang memakai kemeja crop top terlihat kontras dengan celana yang digunakannya.
“Kenapa ketawa?” Hinata mendelik pada Sasuke saat memasuki mobil.
“Aku hanya teringat masa lalu.” mata Hinata menatap Sasuke seolah meminta penjelasan lebih lanjut.
“Kalu ingat? Sekitar sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, kau mendapatkan menstruasi pertamamu.”
Oh cerita yang memalukan itu, ya?
“Aku masih ingat betul kau menangis diam di dalam kamar seharian. Saat kutemui, kau menangis dan berkata kalau kau merasa akan segera meninggal.” Sasuke terkekeh, Hinata menatap kesal.
“Sampai sekarang aku bingung kenapa kau malah cerita padaku, bukan pada Nyonya Hikari.”
“Aku masih mending daripada Hanabi yang berteriak heboh!” Hinata berdecak kesal.
Benar juga. Sasuke jadi ingat tak lama setelah Hinata mengalami menstruasi pertamanya, Hanabi juga mengalami hal yang sama. Bedanya kembaran Hinata itu memilih berteriak dari arah kebun dan membuat seluruh keluarga khawatir. Sepertinya Neji benar. Mereka memang butuh mengingat momen-momen indah saat masih bersama dulu.
.
.
Hanabi menatap heran saat Hinata dan Sasuke kembali dengan cepat. Apalagi saat melihat pakaian Hinata. Kenapa pakaiannya sangat tidak matching?
“Kau kenapa, Hinata? Terjatuh di selokan?” sindiran Hanabi hanya ditanggapi Hinata dengan decakan sambil berlalu. Perutnya mulai merasa kram sekarang.
“Sopan sekali!” Hanabi menyahut lagi. Kesal karena diabaikan oleh Hinata.
“Hanabi, apa kau punya obat pereda nyeri?” Sasuke mendekati Hanabi yang hendak berjalan menuju dapur.
“Untuk apa? Kau terlihat sehat.” bukannya menjawab, Hanabi malah bertanya balik.
“Kau tahu? Pereda nyeri yang biasa digunakan oleh para wanita.” Hanabi mengernyit. Untuk apa Sasuke meminta obat khusus wanita padanya? Lalu, seketika ia teringat pada penampilan Hinata saat tiba di rumah. Ia tersenyum miring dan berbalik pada Sasuke.
“Meh.. Kencan kalian gagal karena tamu bulanan, ya?” Hanabi tersenyum mengejek. Sebelum Sasuke menasihatinya, Hanabi memilih pergi ke dalam kamar. Membantu ‘calon adik ipar’, mungkin?
Hinata yang tengah bergelung di atas ranjang berdecak sebal mendengar ketukan pintu kamarnya. Siapa sih yang ganggu Hinata saat ia sedang sakit perut? Neji lagi kah?
“Masuk saja, pintunya tidak aku kunci!” teriak Hinata.
Tak lama Sasuke masuk dari balik pintu. Aneh, ini kali pertama lagi Hinata melihat Sasuke di kamarnya.
“Kenapa kau kemari?” Hinata berusaha mendudukkan dirinya, kram perutnya cukup menyiksa.
“Ini. Seingatku kau sering mengalami nyeri saat menstruasi. Apakah kau masih mengalaminya?” Sasuke mengulurkan sebutir obat dan segelas air pada Hinata.
Hinata terdiam sebentar. Sudah delapan tahun dan Sasuke masih ingat? Bagaimana bisa? Cukup lama Hinata berpikir hingga akhirnya mengambil dan meminum obat yang Sasuke berikan.
“Terima kasih.” kata Hinata. Ia coba menyandarkan diri pada kepala ranjang.
“Kenapa kau ke sini?” Hinata masih curiga. Tidak mungkin Sasuke menghampirinya hanya untuk memberi obat, ‘kan?
“Tidak papa. Apa kau sudah mendingan?” Sasuke menaruh gelas di atas meja kecil samping ranjang Hinata. Sementara itu, yang ditanya malah mengernyit.
“Tidak mungkin efeknya langsung terasa, ‘kan?”
Sasuke mengangguk. Benar juga.
“Apa kau senang pergi denganku, Hinata?”
Hinata terkejut. Pertanyaan macam apa? Maksudnya juga senang bagaimana? Karena bisa mengetahui makam ayahnya?
“Tidak mungkin aku menangis kalau aku senang.”
Jadi, Sasuke salah pilih tempat kencan, ya?
“Apa senin kau sibuk?” Sasuke bertanya.
“Ya. Aku akan melihat lokasi tempat pembukaan usahaku nanti.”
“Kau akan pulang jam berapa?”
Kenapa Sasuke peduli?
“Tidak tahu. Mungkin jam delapan atau sembilan.”
“Boleh aku menjemputmu? Aku ingin mengajakmu nonton film.”
‘Tidak.” Hinata menjawab tegas.
“Kenapa?”
Kenapa katanya? Tentu aku tidak mau mengunjungi tempatku patah hati.
“Aku tidak ingin menonton di bioskop. Terlalu banyak orang.” alibi Hinata membuat Sasuke tampak berpikir.
“Bagaimana kalau menonton di apartemenku?”
“Kenapa?”
“Kalau di rumah ini aku takut ada yang mengintip.”
Pfft. Hinata ingin tertawa. Tiba-tiba ia teringat kejadian semalam. Bukannya Sasuke yang malah mengintip? Lagian, kenapa harus takut? Mereka ‘kan cuma nonton film.
“Maksudku, kenapa kau ingin mengajakku menonton, Sasuke?”
“Sepertinya aku salah memilih tempat kencan untuk kita. Aku ingin menebusnya.”
Hinata mengernyit. Kenapa Sasuke musti berusaha begitu? Dari awal ‘kan ide kencan muncul karena ledekan Hanabi saja.
“Kau mau, Hinata? Kita hanya akan menonton kok.”
“Bukankah kita tidak boleh menginap di tempat lain? Si panda merah nanti marah.” Sasuke berpikir sebentar. Panda merah siapa?
“Aku akan bicara pada Neji.”
Hinata menggigit bibir bawahnya. Sasuke kukuh sekali.
“Baiklah. Tapi aku yang akan menghampirimu ke apartemen. Kau tidak boleh menjemputku.” Sasuke hendak bertanya alasannya tapi Hinata keburu melanjutkan bicara. “Sekarang lebih baik kau keluar dari kamarku! Aku mau tidur.”
Hinata bergerak untuk menidurkan badannya. Memunggungi Sasuke, ia menyembunyikan wajahnya yang masih terheran-heran.
.
.
Seperti yang dikatakan oleh Sasuke, Neji mengizinkan mereka berdua menginap di apartemen Sasuke. Hinata heran, kok bisa kakaknya membiarkan ia tidur berduaan dengan orang lain? Yah, meskipun Hinata memang beberapa kali melakukannya sih.
Kalau kalian bertanya bagaimana Sasuke mendapat izin, tentu dengan permohonan dan sedikit ancaman. Bukan ancaman nyawa. Hanya ancaman tentang membocorkan informasi –yang kalian tahu apa-.
“Jadi, kita akan nonton apa?” Hinata tiba di apartemen Sasuke pukul sembilan lewat lima belas menit. Kalau ada yang tanya, tentu saja di malam hari.
“Aku berlangganan netflix. Kau mau nonton apa?”
Sasuke duduk di samping Hinata setelah menaruh popcorn, ayam goreng, dan dua gelas minuman soda. Well, yup. Persiapan yang matang hanya untuk menonton film, ya?
“Entahlah. Aku kurang update.” Hinata berpikir. “365 Days: This Day, mungkin?”
Sasuke terkejut. Tentu. Ia berdeham karena gugup.
“Bukankah itu tontonan untuk pasangan?” Hinata menoleh dan menatap lekat pada Sasuke yang juga menatapnya dengan gusar. Lalu, Hinata tersenyum miring sambil mendekati Sasuke.
“Kenapa? Bukankah kita juga pa-sa-ngan?”
Setiap kata yang Hinata keluarkan dari mulutnya penuh dengan tekanan. Ditambah tangannya yang menyentuh-membelai lengan Sasuke.
“Kurasa...” Sasuke meneguk ludah. “Ini belum saatnya.”
“Tsk. Kau memang tidak asik.” Hinata menjauhkan diri. Ia mengambil popcorn dan mulai memakannya.
“Kenapa diam saja? Tolong pindahkan ke film barbie. Bebas series mana saja.”
Hinata sudah asik makan popcorn sedangkan Sasuke masih diam saja. Merasa tak ada gerakan dari Sasuke, Hinata menoleh. Tak lama pria itu bergerak dan mengambil remot.
“365 Days?? Bukankah kau tidak mau menontonnya?”
“Aku tidak bilang begitu.” Sasuke mengambil ayam goreng dan kembali bersandar pada sofa setelah tayangan film mulai muncul.
Sekarang giliran Hinata yang terdiam. Ia terkejut dan bingung dengan sikap Sasuke. Lagaknya seperti pria dewasa, sok bijak. Tapi ujung-ujungnya dia menuruti permintaan Hinata juga. Kenapa?
Hinata hanya berdoa semoga kegiatan menonton film ini tidak berakhir menjadi ‘netflix and chill’. Masa dia yang jadi tontonan film? Semoga saja tidak. Apa semoga iya, ya?
.
.
Saat itu sudah menjelang liburan tahun baru. Tahun pertama Hinata dan Hanabi sebagai seorang siswa SMA. Sementara itu, Neji sudah menyusul Sasuke yang kini memulai tahun ketiganya sebagai mahasiswa di universitas.
“Neji, bagaimana tahun pertamamu sebagai mahasiswa?” Hiashi bertanya pada putra sulungnya yang kini sedang menemaninya minum teh.
“Cukup baik. Kurasa aku melalui ujian semester pertamaku dengan baik.”
“Kak Neji, apa di universitas banyak orang-orang hebat? Kudengar ada banyak anak konglomerat di sana.” Hanabi yang ikut bergabung menatap kakaknya dengan berbinar.
Neji tersenyum pada Hanabi. Adiknya itu memang cukup ambisius. Selama ini yang ada dipikirannya adalah menjadi dan bersanding dengan yang terbaik. Bagus, darah Hyuuga-nya sangat matang.
“Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa masuk ke sana, ‘kan?” Neji berkata dengan bangga. Membuat ayah dan adiknya terkekeh.
Sasuke yang sedang lewat tak sengaja melihat interaksi itu tersenyum. Hiashi dan kedua anaknya terlihat sangat hangat. Mereka bahagia dengan sederhana meskipun ia tahu, keluarga kecil itu masih berkabung karena ibu mereka yang meninggal beberapa bulan lalu. Saat hendak mendekati meja, tangan Sasuke tiba-tiba ditarik.
“Hinata?”
Sasuke terheran saat Hinata menariknya menuju kebun yang sekarang tertutup salju.
“Ada apa?” Sasuke makin heran karena Hinata yang di depannya masih menunduk saja.
“Hei, kau tidak apa-apa?” Sasuke akan mendekati Hinata saat perempuan itu mendongak. Menampilkan wajahnya yang terlihat gusar.
“Cium aku.”
Sekarang Sasuke terkejut setengah mati. Hinata bilang apa tadi?
“Apa?”
“Kubilang, cium aku, Sasuke.”
Sasuke menatap Hinata sambil mengernyit. Mata Hinata terlihat sedikit berkaca-kaca. Rahangnya mengeras dengan tangan terkepal.
“Kau kenapa, Hinata? Apa ada yang mengganggumu?”
“Jangan alihkan pembicaraan, Sasuke!” Hinata sedikit berteriak.
“Aku cuma memintamu untuk menciumku. Apa tidak bisa?”
Cuma katanya? Apa Hinata tidak sadar kalau perkataannya membuat Sasuke ikut gusar? Bagaimana bisa ia mencium perempuan berusia lima belas tahun itu?
“Aku tidak mau.” kata Sasuke tegas.
“Kenapa?” Sasuke diam. “Apa karena aku kurang cantik?”
Hinata menatap Sasuke semakin tajam. Ia melangkah mendekati Sasuke.
“Jangan mendekat, Hinata.”
“Memangnya kenapa?” Hinata tidak mendengarkan.
“Kau itu seperti adikku. Kita tidak boleh begini.”
“Omong kosong! Kau bukan kakakku!”
Hinata sudah berada tepat di depan Sasuke. Badannya yang hanya setinggi dagu Sasuke membuat ia musti mendongak.
“Kau sudah lima belas tahun, Hinata. Kau seharusnya paham kalau kita tidak boleh begini.”
“Justru karena aku sudah lima belas tahun makanya aku mengerti!”
Sasuke mengernyit. Hinata kenapa sih?
“Aku akan menganggap kau tidak pernah bicara seperti itu. Aku akan masuk duluan.” Sasuke berbalik hendak masuk ke rumah. Tapi, jarinya ditahan oleh Hinata. Tanpa berbalik, Sasuke menunggu Hinata bicara.
“Kalau situasinya berbeda, apa kau mau melakukannya?” Hinata bertanya pelan. Bahkan suaranya terdengar lirih dan sedikit bergetar.
Hinata hanya butuh Sasuke berbalik. Tidak apa kalau laki-laki itu tidak menjawabnya. Tidak apa kalau laki-laki itu tidak memeluk atau mengikuti keinginannya. Sasuke tidak perlu bicara apapun. Tapi, kenyataannya Sasuke memilih pergi. Meninggalkan Hinata sendirian saat salju mulai turun di penghujung tahun.
.
.
.
Selama film berlangsung, Hinata dan Sasuke terdiam. Mereka mencoba untuk menikmati tontonan yang lebih banyak adegan mesum itu. Mungkin mereka tidak sadar, tetapi keduanya bergerak gusar hingga menciptakan jarak antar ujung sofa.
“A-Apa...” Sasuke berdeham guna membersihkan tenggorokannya. “Apa kau menikmati film-nya?”
Hinata menoleh pada Sasuke. Ia takjub, bagaimana bisa Sasuke bertanya di tengah film begini?
“Menurutmu bagaimana?” Hinata bertanya pelan.
Sasuke diam sebentar. Bagus, mulai ada konflik di film itu. Beberapa menit telah berlalu, Sasuke akhirnya ikut menoleh dan menemukan Hinata yang sedang menatapnya lekat.
“Apa sekarang kau bisa menjawabnya, Sasuke?”
“Menjawab apa?”
“Aku tanya, apa kau mau melakukannya kalau situasinya berbeda?”
Sasuke diam lagi. Hinata ikutan diam. Mereka saling bicara melalui tatapan.
“Tidak ada yang berubah, Hinata.” Sasuke menyerah lebih dulu. Ia memalingkan wajahnya.
“Kenapa?” Hinata mendekat dan menarik wajah Sasuke agar menoleh padanya. “Apa kau masih akan menolakku?”
Sasuke tahu ada yang berbeda tentang perasaannya pada Hinata sejak usianya masuk lima belas tahun. Perasaan yang membuatnya ingin selalu berada di sisi Hinata, ingin selalu melindunginya, ingin Hinata bergantung padanya.
Sasuke juga merasakan ada perbedaan antara ia dan Hinata yang baru berusia sepuluh tahun. Sasuke mengalami mimpi basah untuk pertama kali. Ia dua tahun lebih cepat mengalami pubertas dari Hinata. Akhirnya, ia mengerti, Hinata cukup kecil untuknya. Tapi, Sasuke semakin paham, ia yang sudah masuk bangku SMA tidak boleh terlalu dekat dengan Hinata. Apalagi dengan perasaannya.
“Aku...” Sasuke memandang wajah Hinata yang seolah siap menerimanya. “Aku akan tidur di kamar tamu. Kalau kau mau tidur, kau bisa pakai ranjang di kamarku.”
Sasuke pergi lagi. Meninggalkan Hinata yang masih bertanya-tanya. Sebenarnya, apakah mereka masih merasakan hal yang sama? Mereka tahu, dulu mereka merasakan getaran yang sama. Tidak ada yang bisa memungkiri itu. Tapi, bagaimana cara untuk mengutarakannya dengan benar?
.
.
Setelah kencan pertama part kedua itu, Hinata dan Sasuke malah menjaga jarak. Hinata kembali disibukkan dengan persiapan club-nya. Sedangkan Sasuke masih bekerja sebagai orang kantoran biasa. Sejauh yang Hanabi hitung, ini sudah hampir dua bulan dari kencan Hinata dan Sasuke yang gagal itu.
“Bagaimana –ka” Neji menghentikan ucapannya saat ditatap tajam oleh Hanabi. Ia lalu berdeham dan memutuskan untuk kembali makan.
“Kalau kalian ingin tahu, aku menjual habis kimono edisi musim semi tahun ini.” Hanabi berucap dengan bangga. Neji ikut tersenyum bangga atas pencapaian perusahaan. Sasuke juga diam-diam tersenyum kecil. Hinata? Ia tidak paham tentang perusahaan. Jadi, ia diam saja.
“Serius? Tidak ada yang mau menyelamatiku?” Hanabi menatap Neji, Sasuke, dan Hinata secara bergantian.
“Kau pamer pada orang-orang perusahaan yang jelas tahu kabarnya.” Hinata bicara tak acuh. Ternyata Hanabi sama payahnya dengan Neji dalam berbasa-basi.
“Biar kuberi pengumuman yang mengejutkan.” Hinata memberi jeda. “Club-ku akan resmi buka minggu depan.”
“Wow! Kau serius benar buka usaha di Tokyo?” bagus, Hanabi kaget. Hinata lebih pandai memberi kejutan.
“Apa? Kau buka club lagi, Hinata?” Neji bertanya heran. Hinata yang ditanya makin heran.
“Memangnya kau mengira usaha apa yang bisa Hinata rencanakan?” Hanabi berdecak pada Neji. Sepertinya Neji jadi yang paling tidak memahami alur cerita ini.
“Kukira kau akan membuka usaha berupa bisnis butik atau guci hias Hyuuga.”
“Itu bukan passion-ku.” Hinata mengedikkan bahu.
“Tak kusangka kau sebodoh ini, Kak.” Hanabi geleng-geleng kepala. “Tapi kurasa lebih payah lagi dia.”
Sekarang Hanabi menatap Sasuke, membuat lelaki bermata hitam itu kebingungan. Kenapa sih Hanabi suka menariknya saat kehabisan bahan ribut dengan Hinata?
“Aku? Kenapa?”
“Dari reaksimu sepertinya kau tidak tahu rencana Hinata. Bagaimana bisa? Kau ‘kan tunangannya.”
Duh, Hanabi mending diam saja deh daripada membeberkan cerita.
“Kutebak, kalian tak bicara sejak insiden gagal kencan itu?”
Tuh, ‘kan. Tebakan Hanabi tentang asmara Hinata dan Sasuke memang sering tepat sasaran.
“Hanabi, hentikan. Mereka sudah dewasa. Biar mereka selesaikan sendiri.” dan Neji masih jadi tim netral, yang percaya Hinata dan Sasuke bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri.
“Jadi, Hinata, kau bicara di sini, itu artinya kau mengundang kita ke acara pembukaan usahamu, ‘kan?”
Hinata mengernyit. Ia tidak bermaksud begitu. Ia tahu kalau keluarganya bukan pecinta alkohol sepertinya. Inilah kenapa mereka cukup bertolak belakang.
“Kalau kalian ingin.” Hinata menanggapi pertanyaan Neji dengan acuh tak acuh.
“Bagus. Aku akan datang dengan Sakura.” Hanabi mendelik pada Neji. Apa ia tidak salah dengar?
“Tunggu, kau akan pergi bersama Sakura Haruno? Apa ada yang aku lewatkan?” Hanabi mengangkat tangannya. “Kau tidak serius menerima saran orang-orang Hyuuga itu, ‘kan?”
“Sakura adalah temanku saat SMA. Kita juga jadi rekan bisnis sekarang. Memangnya ada yang salah?”
Mulut Hinata sangat gatal ingin ikut nimbrung. Ada sesuatu yang ingin ia konfirmasi. Tapi, ia bisa melihat mata Sasuke yang seolah memintanya untuk tidak ikut campur.
“Kau juga bisa mengajak calon pasanganmu, Hanabi.”
Berita mengejutkan lagi. Hanabi sudah punya pasangan?
“Wow, sekarang kau berhasil mengejutkanku, Hanabi.”
“Tsk. Aku hanya bertukar pesan melalui aplikasi dengannya. Bukan berarti aku benar-benar tertarik padanya.” Hanabi berdecak kesal pada Sasuke.
Hinata baru tahu, ternyata banyak hal tersembunyi yang cukup mengejutkan di keluarganya. Selain Sasuke, ia bingung musti bergosip dengan siapa. Mungkin setelah pekerjaannya sedikit longgar, ia akan mulai bicara dengan Sasuke lagi.
.
.
Hinata selesai membersihkan diri. Ia mengganti pakaiannya dengan piyama tidur berlengan panjang. Saat ia sedang merawat kulit wajahnya, suara ketukan pintu terdengar. Mungkin mulai sekarang ia harus terbiasa dengan hal itu.
“Hei.”
Sasuke masuk setelah mendengar suara Hinata. Ia berjalan mendekat dan sedikit mengernyit saat melihat Hinata. Piyama berwarna ungu muda dengan motif kepala kelinci. Imut sekali.
Hinata menatap Sasuke melalui cermin di depannya. Ia bisa merasakan tatapan yang Sasuke berikan juga padanya. Lalu, Hinata berdeham sebagai kode bertanya maksud kedatangan Sasuke.
“Selamat untuk usaha barumu.” Sasuke tersenyum pada Hinata melalui cermin.
“Terima kasih.” Hinata menanggapi seadanya, kembali mengaplikasikan skincare rutinnya.
“Kapan acaranya? Aku boleh datang, ‘kan?”
“Tentu, seperti yang kubilang tadi.”
“Sebagai pasanganmu?”
Hinata terdiam. Gerakannya terhenti. Ia kembali menatap Sasuke melalui cermin.
“Maksudmu?”
“Aku ingin datang ke acara itu bersamamu, sebagai pasanganmu. Kau benar, mungkin aku yang beruntung bisa berpasangan dengan perempuan sehebat dirimu.”
Keh, hebat apanya?
“Hinata.” Sasuke bicara lagi karena Hinata masih diam. “Aku ingin kita mencobanya dengan benar. Kita sudah memutuskan untuk bertunangan, ‘kan? Artinya kita adalah pasangan. Aku akan melakukannya dengan baik kali ini.”
“Hanya karena itu?” Hinata berbalik, menghadap Sasuke. “Hanya karena kita sudah terlanjur bertunangan?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa?”
Memang benar. Kita semua memerlukan validasi.
“Aku masih menyukaimu.”
.
.
Hanabi bergerak gusar. Ia beberapa kali menghembuskan napasnya sebelum masuk ke dalam kafe. Terima kasih pada ejekan Neji. Ia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan teman kencan online-nya(?)
Bila musti diceritakan, Hanabi iseng main aplikasi anonim sejak satu setengah tahun lalu. Saat ia akhirnya lulus dari universitas. Nama samarannya adalah brown pearl. Beberapa bulan berselancar di aplikasi, ia bertemu dengan chubby panda. Mereka mulai sering berkirim pesan. Bercerita tentang keseharian mereka tanpa pernah bertukar foto.
Hingga akhirnya hari ini tiba. Hanabi dan si chubby panda memutuskan untuk bertemu. Alibinya Hanabi ingin mengajak laki-laki itu ke acara pembukaan usaha saudaranya. Tentu ia belum bilang kalau dirinya adalah Hyuuga. Jangan bilang acaranya di club juga. Bagaimana kalau ia dihakimi sebagai perempuan ‘nakal’.
“Aku ingin pesan es cappucino satu.” Hanabi berkata pada kasir. Membayar pesanannya dan mulai mencari tempat duduk.
“Hyuuga-san?” Hanabi menoleh saat ada yang memanggil nama keluarganya. Ia menemukan pria bersurai merah di kursi dekat kasir.
“Sabaku-san?” kebetulan sekali. Neji bilang besok lusa Gaara Sabaku akan berkunjung ke rumahnya. Seperti yang pernah dibilang, pengacara itu akan mengawasi kehidupan keluarganya.
“Kenapa kau di sini? Bukankah distrik ini cukup jauh dari rumahmu?” Hanabi mengambil kursi di depan Gaara. Menumpang sebentar.
“Ada urusan.” jawab Hanabi. “Kau sendiri?”
“Bertemu teman.”
“Oh.”
“...”
“Mengenai kunjunganmu ke rumah Hyuuga, menurutku kau tidak perlu melakukannya, Sabaku-san. Kuberi tahu, kami berempat berhasil hidup bersama selama lebih dari tiga bulan ini. Meskipun Hinata dan Sasuke sempat menghilang di satu malam, tapi aku menanganinya dengan baik.” Hanabi tersenyum bangga.
“Hinata-san dan Sasuke-san menghilang?” Hanabi diam. Apa ia mustinya tidak cerita?
“Pergi berkencan.” Hanabi bicara dengan gugup. Ia mengambil gawainya dan memeriksa sesuatu. Lalu, pelayan datang dengan membawa pesanannya.
“Sepertinya aku harus pindah. Apa temanmu sudah datang, Sabaku-san?”
Gaara dan Hanabi terdiam. Mereka berpandangan sebentar. Hanabi kembali mengecek gawainya. Kaos putih polos, kemeja kotak-kotak yang digunakan sebagai luaran, celana jeans, dan jam tangan hitam di tangan sebelah kanan.
“Chubby panda?!!”
.
.
Hanabi pulang ke rumahnya dengan perasaan kesal. Ia menghentak-hentakan kakinya saat berjalan menuju kamarnya. Bahkan, ia pun mengabaikan panggilan Neji dari ruang tengah.
“Anak itu kenapa sih? Jangan-jangan dia terlibat masalah lagi dengan orang lain.” Neji menghela napas lelah.
“Biarkan saja, Neji. Hanabi pasti bisa menghadapinya.” sebuah suara membuat Neji menoleh. Ah, iya, Sakura Haruno ada di rumahnya.
“Tapi dia terlalu sering bertikai dengan orang lain. Aku sedikit khawatir.”
“Dan dia selalu bisa memperbaikinya. Aku kenal Hanabi dengan baik.” Sakura mendekat, ia menyentuh bahu Neji.
“Maaf merepotkanmu, Sakura.” Neji mendesah. “Hyuuga dan permasalahannya memang sangat memusingkan.”
“Haruno juga bukan keluarga yang sempurna. Kita semua belajar dari masalah.” Sakura tersenyum sambil mengelus bahu Neji. Lalu, mereka kembali melanjutkan pembicaraan mengenai bisnis dan persiapan pergi ke pesta Hinata nanti malam. Memunggungi perempuan coklat yang menatap dari jauh.
“Kau tidak cemburu, Matsuri?” Sasuke muncul dari balik dapur.
“Apa aku punya hak untuk cemburu?” Matsuri berkata lirih.
“Tentu saja. Aku mengetahui hubungan kalian. Kau mencintainya dan dia membutuhkanmu. Kau berhak atas perasaanmu, Matsuri.”
“Membutuhkan tubuhku, yang kebetulan selalu ada di dekatnya.” Matsuri meralat ucapan Sasuke dan tersenyum kecut.
“Kau bisa pergi kalau kau mau.” ucapan Sasuke membuat Matsuri menoleh padanya. “Kau masih sangat muda, Matsuri. Kau berhak bahagia. Meskipun tidak bersama Hyuuga.”
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Sepertimu, aku juga ingin di sisinya. Mencintainya, membantunya semampuku. Hyuuga bukan hanya sebuah keluarga untukku.”
“Tapi kau tahu kalau kau tidak bisa bersamanya, ‘kan? Neji punya banyak beban yang ia tanggung. Termasuk Sakura. Ia harus berhasil sebagai penerus keluarga.”
“Kau benar. Mereka tidak menganggapku anak seperti dirimu, Sasuke.” Matsuri tersenyum pilu. Isakannya hampir lolos dari mulutnya. “Tapi aku tidak akan pergi.”
“Aku akan mendukungnya meski hanya menjadi pelayannya. Aku tidak akan pergi. Kecuali dia yang memintaku atau dia yang memilih untuk pergi.”
Hati Sasuke mencelos mendengar perkataan Matsuri. Sungguh, ia tidak bermaksud menyinggungnya. Matsuri juga sudah seperti keluarganya. Sejak kecil mereka mengabdi untuk keluarga Hyuuga. Sasuke hanya tidak ingin Matsuri bertingkah bodoh sepertinya. Mencintai seseorang yang tidak boleh kau miliki itu sangat menyakitkan, ‘kan?
.
.
.
Finally, club baru Hinata resmi dibuka. Lokasinya di dekat taman dan sebuah gedung yang biasa dipakai untuk pameran. Club itu memakai bangunan bekas supermarket yang gulung tikar. Well, modal yang besar untuk menghabiskan tabungan Hinata. Setelah ini ia harus benar-benar bekerja keras bagai Hyuuga.
“Selamat atas pembukaan club-mu, Bos!” Ino memeluk Hinata dari samping. Akhirnya ia akan mulai bekerja.
“Terima kasih, Ino. Kau banyak membantu.” Hinata tersenyum pada Ino. “Oh, sampaikan terima kasihku pada temanmu juga. Polisi yang bantu mengurusi masalah administrasi, yang pasangannya mirip sepertiku.”
Ino tertawa pada Hinata. Ia masih ingat bagaimana Shikamaru, teman detektifnya, terkejut saat bertemu Hinata. Wajah Hinata mirip seperti pacarnya. Tentu wanita Shikamaru bukan bermarga Hyuuga, kali ini.
“Dengan senang hari. Mungkin kapan-kapan aku akan mengundang Shika dan pacarnya. Kalian akan terkejut saat bertemu satu sama lain.” Hinata menggeleng, mungkin sebaiknya tidak usah.
“Jangan terus menempel padanya, Ino. Hinata punya banyak urusan.” Kiba muncul, memisahkan Ino dan Hinata.
“Oh, anjingmu sangat pencemburu, Hinata.” Ino mendengus, Kiba mendelik kesal.
“Apa kau mau jadi pasangan dansaku, Hinata?” tanya Kiba.
“Musiknya belum mulai dimainkan, ‘kan?”
“Ya. Hanya persiapan.” Ino tersenyum meremehkan.
Bicara soal pasangan, Hinata sepertinya melupakan sesuatu. Atau seseorang atau juga sekelompok orang.
“Hinata.” sekarang Sasuke yang muncul.
“Hai, tampan! Kau sendirian?” Ino tersenyum genit. Pria jangkung di depannya oke juga.
“Jaga matamu, Ino! Dia tunanganku.” Hinata mengangkat alisnya pada Ino sebentar. Lalu, ia mendekat pada Sasuke dan membawanya pergi.
“Kalau kau bosan, kau bisa memberikannya padaku, Bos!” Ino sedikit berteriak agar Hinata bisa mendengarnya. Sambil mengedikkan bahu, ia meninggalkan Kiba yang ditinggalkan.
“Ada apa kau mencariku?” tanya Hinata. Kini ia dan Sasuke sudah menjauh dari ‘pengganggu’.
“Neji mencarimu.” setelahnya Sasuke dan Hinata pergi menuju meja keluarga Hyuuga berada.
“Hinata!” Neji tersenyum senang. Akhirnya adiknya muncul.
“Selamat atas usaha barumu. Meskipun aku lebih senang kau bisnis butik saja sih.” Sakura menyenggol Neji.
“Jangan dengarkan dia, Hinata. Kau berhak melakukan apapun yang kau mau. Omong-omong, selamat ya!” Sakura ikut menyelamati.
“Aku yakin darah Hyuuga masih mengalir dalam tubuhmu. Kau harus berhasil dengan bisnismu ini, adik!” Hinata mengernyit. Hanabi kenapa? Sudah mulai mabuk?
“Ya, ya, ya. Terima kasih atas ucapan kalian. Tapi...” Hinata menoleh. “Siapa yang mengundang pengacara ke sini?”
Hinata heran. Kenapa si panda merah ada di acaranya? Perasaan inspeksi masih dua hari lagi. Hinata juga belum butuh bantuan hukum karena melanggar peraturan tuh.
“Dia pasanganku!” Hanabi merangkul Garaa. Bahkan kembaran Hinata itu kini malah mencubit pipi Gaara.
“Mungkin sebaiknya jangan biarkan dia terlalu banyak minum.” Hinata menatap geli pasangan aneh itu. “Aku percayakan dia padamu, Kak Sakura.”
“Kau bisa mengandalkanku, Hinata.” Sakura mengedipkan sebelah matanya pada Hinata yang sekarang mulai pergi sambil menarik Sasuke.
“Mau kemana?” Sasuke menahan tarikan Hinata.
“Berdansa, denganmu.” jawab Hinata enteng. Kini mereka sudah berada di lantai dansa bersama orang-orang.
“Aku tidak –pan”
“Ikuti saja tubuhmu.”
Musik mulai dimainkan. Orang-orang yang ada di lantai dansa mulai menari sesuai dentuman lagu. Sasuke bingung musti menari bagaimana. Ia jarang ke club. Paling-paling hanya minum alkohol di apartemen atau bar santai dengan Naruto.
Lain dengan perempuan yang ada di depannya. Hinata menari dengan lincah. Mengangkat kedua tangannya, menggoyangkan pinggulnya, dan sesekali merapat pada Sasuke. Hinata dan mini dress adalah perpaduan yang berbahaya. Apalagi bagi laki-laki –yang mencoba- baik-baik seperti Sasuke.
“Sasuke, kau bilang kau menyukaiku, ‘kan?” Hinata mengalungkan kedua tangannya di leher Sasuke. Badannya kian merapat pada Sasuke. Demi mending Mama Mikoto, Sasuke meneguk ludahnya.
“Apa kau bisa menciumku sekarang?”
Sekali lagi, Hinata dan rasa penasarannya yang berbahaya. Kenapa perempuan itu suka sekali menggoda Sasuke sih?
“Baiklah. Kalau kau tidak bisa, aku yang akan melakukannya.”
Sasuke terbelalak. Hinata menciumnya. Mereka benar-benar menempelkan bibir satu sama lain. Tak hanya itu, Hinata lebih dulu menjilati bibirnya. Gawat, sasuke musti berhenti sekarang.
“Jangan, Hinata.” Sasuke mendorong pelan tubuh Hinata hingga terlepas darinya. Suaranya pelan dibandingkan dentuman musik.
“Kenapa?”
“Kita... tidak boleh.” Sasuke pergi ke toilet. Menenangkan diri meskipun membuat Hinata tidak tenang.
.
.
Hinata menghempaskan tubuhnya ke sofa sambil menghela napas kesal. Sasuke Uchiha benar-benar menguji kesabarannya. Eh, sebenarnya siapa yang menguji siapa di sini?
“Kau kenapa, bos? Tidak menikmati pestamu sendiri?” Hidan menatap heran pada Hinata. Sebuah informasi, club di Okinawa akhirnya libur selama dua hari. Semua anggota fokus meramaikan cabang baru di Tokyo.
“Hanya sedikit haus.” Hinata mengambil gelas yang tergeletak di meja dan meminumnya.
“Tapi itu bukan air dingin biasa, ‘kan?” semua tatapan tertuju pada laki-laki berambut merah. Mirip si panda merah.
“Apa?” laki-laki bernama Sasori Akasuna itu mengedikkan bahu. Mengabaikan tatapan kesal para rekan kerjanya.
“Apa ada yang mengganggumu, Cantik?” Konan mendekati Hinata. Membawa perempuan itu dalam rangkulannya.
“Aku tidak mengerti. Dia bilang kalau dia menyukaiku. Tapi, kenapa dia menolak menyentuhku?”
Kini semua mata menatap pilu pada Kiba yang sedari tadi diam saja. Semua juga tahu kalau perasaan Kiba pada atasannya bukan hanya sekadar pekerjaan. Sayangnya mereka juga tahu kalau Hinata selalu membuat batasan pada Kiba. Berarti orang yang dibicarakan Hinata itu bukan Kiba.
“Mungkin dia hanya sedikit.... bingung? Ya, ‘kan?” Konan menatap rekan-rekannya, mencari dukungan.
“Iya, Hinata. Tidak usah dipikirkan. Bersikap seperti biasanya saja. Kau pandai menghukum kalau sesuatu tidak berjalan sesuai kemauanmu, ‘kan?” ucapan Hidan sukses membuatnya mendapatkan delikan dari seluruh mata yang ada di meja.
“Apa kau membawanya, Hidan?” tanya Hinata.
“Apa?”
“Permen strawberry. Aku ingin memakannya sekarang.” hening, semua juga tahu permen yang dimaksud Hinata.
“Hahaha.” Hidan tertawa kikuk. “Apapun untukmu, ‘kan? Bos?”
Hidan memberikan beberapa butir permen pada Hinata. Sisa bekalnya di Tokyo. Jelas saja ia seperti dikuliti oleh tatapan menusuk rekan-rekannya setelah Hinata pergi.
“Permen itu salah satu penjualan tertinggi di club, kalau kalian lupa.” Hidan berkata gugup. “Aku akan menjual dan menitipkannya pada bartender baru kita juga.”
Ino yang baru hendak bergabung hanya mengernyit aneh pada Hidan. “Ada apa sih?”
.
.
Sasuke menyadari Hinata yang sedari tadi diam. Ia juga sadar kalau mungkin Hinata tersinggung. Lalu, ia semakin sadar saat Hinata malah mengikutinya naik ke lantai atas. Menuju kamar Sasuke, bukan malah berhenti di kamar Hinata yang ada di lantai bawah.
“Apa kau perlu bicara sesuatu padaku, Hinata?” Sasuke berhenti sebelum membuka pintu kamar. Ia berbalik dan berhadapan dengan Hinata.
“Tentu. Kita perlu bicara.” Sasuke menghela napas. Ia belum bisa berpikir jernih sekarang.
“Ada apa?”
Bukannya menjawab, Hinata malah memakan permen. Aneh. Apa Hinata bisa bicara dengan lancar kalau sambil makan permen begitu? Detik selanjutnya Sasuke kembali terbelalak untuk kedua kalinya. Hinata menciumnya lagi. Kali ini Hinata menggigit bibir bawah Sasuke hingga laki-laki itu harus membuka mulut untuk meringis.
Kejadian selanjutnya hampir membuat Sasuke tersedak. Lidah Hinata sudah masuk ke dalam mulutnya, diikuti dengan permen yang kini juga berpindah pada mulut Sasuke. Rasa strawberry. Sial. Kenapa Sasuke merasa gerah begini?
“Hinah–”
Hinata semakin merapatkan tubuhnya pada Sasuke. Bahkan kini payudara perempuan itu sudah menempel padanya. Bahaya, Sasuke musti mendorong Hinata. Tapi, kenapa tangannya malah bergerak-gerak mengelus punggung Hinata?
Astaga, Sasuke mulai mengikuti permainan ciuman Hinata. Gila, kini malah Sasuke sendiri yang menarik Hinata ke dalam dekapannya. Membelai belakang leher, punggung, dan pantat Hinata yang dibalut mini dress berwarna ungu gelap.
“Akh!”
Double sialan. Sasuke tersadar saat mendengar Hinata mendesah karena tangannya yang meremas pelan pantat Hinata. Mereka harus sembunyi. Sasuke segera membuka pintu di belakangnya dan menarik Hinata masuk, sebelum sosok berambut coklat melihat lebih jauh lagi.
“Apa yang kau lakukan, Hinata?” Sasuke melepaskan Hinata dari pelukannya.
“Kau menerima sentuhanku.” Hinata mengelap bibirnya yang basah karena saliva.
“Serius, kenapa kau senang mengujiku, Hinata?!”
“Kau yang mengujiku!”
“Hah?”
Hinata mendekat lagi. Kali ini mendorong Sasuke hingga terjatuh di atas ranjang.
“Kau bilang menyukaiku tapi malah menjaga jarak denganku. Kau sebenarnya kenapa sih?” Hinata setengah berbaring. Menatap tajam pada Sasuke.
“Kau lima tahun lebih muda dariku, Hinata. Ini seharusnya tidak terjadi.”
“Omong kosong! Aku sudah dewasa, Sasuke. Kita, sudah dewasa.” Hinata berkata tepat di depan wajah Sasuke. “Nikmati saja hadiahmu.”
Hinata berbisik pada telinga Sasuke. Lalu meniupnya. Beranjak mencium dan menggigit telinga Sasuke. Membuat laki-laki itu menahan erangannya.
“Apa aku harus selalu memakai perangsang padamu?” Sasuke menoleh, ia menatap Hinata yang memandang sayu. Tidak, tidak, sepertinya ada yang salah.
“Kita bisa melakukannya dengan perlahan, Hinata.” Sasuke meraih kepala Hinata dan mencium kening perempuan itu. Mereka bertatapan sebentar.
“Dan kau bisa meredam egomu dulu sebelum itu!” Hinata bangkit. Gairahnya sudah hilang. Ia memilih untuk meninggalkan Sasuke yang masih bergelut dengan gairahnya sendiri.
.
.
Hinata mengernyit. Ia yang sedang mengoleskan saos pada toast isi daging dan sayur-nya terheran melihat Neji celingukan. Seperti mencari seseorang.
“Hinata, hari ini kau akan bekerja?” tanya Neji.
“Ya.” Hinata mengangkat bahu, ia bersiap akan makan. “Club-ku buka mulai jam sepuluh kalau kau mau datang.” lanjut Hinata.
“Apa hubunganmu dan Sasuke sudah membaik?” Neji bicara dengan cepat. Ia langsung menggigit toast dan mengunyahnya, sedikit gugup.
“Tidak. Sangat memburuk!” Hinata mendengus. Mood untuk sarapannya hampir hilang tapi dia lapar. Kenapa Neji tiba-tiba bertanya soal Sasuke sih? Yasudahlah, tanpa peduli apapun Hinata mulai menggigit toast dengan sedikit kasar.
“Benarkah? Bagaimana bisa? Bukankah semalam –kalian”
Bagus, Neji keceplosan. Hinata sedikit tercekat karena terkejut dan hampir tersedak makanan. Sasuke benar, orang-orang di rumah ini suka mengintip. Siapa yang sangka kalau kakaknya yang sangat penyayang itu balas mengintip Hinata dan Sasuke?
“Semalam apa?” Hinata bertanya lenggang, mencoba untuk tidak peduli.
“Aku tidak sengaja melihat kalian melakukan itu semalam.”
“Itu apa?”
“Itu...”
“Iya, apa?”
“Itu...”
“Apa?”
“...”
“...”
“Seks?”
Hinata ingin terbahak. Neji bicara seperti orang sok suci. Peringainya yang lembut dan sopan pada adik-adiknya seperti mencegahnya untuk bicara hal kotor. Padahal mereka sudah sama-sama dewasa. Toh Hinata juga tahu kalau Neji aktif secara seksual. Atau setidaknya pernah melakukan aktivitas seksual. Eh?
“Kami tidak melakukannya kalau kau mau tahu.” Hinata tersenyum kecil. Toast-nya tinggal setengah. Sarapan berdua dengan Neji ternyata seru juga. “Kalau pun kami melakukannya, setidaknya kami masuk kamar semalam. Tidak sepertimu.”
Hinata melotot sekarang. Ia ikut-ikutan keceplosan. Sebelum akan ada banyak pertanyaan dan pertikaian yang terjadi, Hinata segera bangkit berdiri. Ia sedikit berlari masuk ke kamarnya. Kali ini, Hinata memastikan pintu kamarnya benar-benar terkunci.
“Hinata?!!”
Dan suara teriak Neji mengagetkan Hanabi yang baru bangun sambil memegang kepala. Ternyata hangover itu menyakitkan. Ditambah suara Neji dari dapur membuat telinga Hanabi yang berada di ujung tangga makin kesakitan. Parahnya, Hanabi tidak mampu balas teriak saat ia merasa akan marah.
.
.
.
Pukul enam pagi. Hinata baru kembali ke rumah setelah club-nya tutup. Saat baru tiba, ia melihat mobil sport asing di pekarangan rumahnya. Hinata ingin tidur. Hidupnya akan kembali menjadi kelelawar sekarang.
“Hinata, baru pulang?”
Duh, ada Neji. Dua puluh dua jam yang lalu, Neji dan Hinata sama-sama keceplosan untuk hal yang sedikit memalukan.
“Ya. Aku bantu beres-beres dan sedikit berbincang dengan pegawai.”
“Ayo ikut sarapan dulu.” Neji terlihat seperti dua puluh tiga jam yang lalu. Sikapnya biasa saja seolah tidak ada yang terjadi antara ia dan Hinata.
Hinata ikut Neji ke meja makan. Saat tiba di dapur, Hinata menemukan semua orang sudah berkumpul. Ada Matsuri dan seorang pelayan lain yang sedang masak di dekat kompor, ada Sasuke dan Hanabi yang duduk di meja makan, dan ada panda merah yang ikut duduk di samping Hanabi. Oh, iya. Inspeksi Gaara Sabaku.
“Waw, kalian semua berkumpul.” Hinata menyapa seadanya. Ia mengambil kursi duduk di samping Sasuke, berhadapan dengan Gaara.
“Apa kau mau ikut peran dalam keluarga Hyuuga juga, Sabaku-san?” Hinata menyindir pada si panda merah.
“Tidak. Tapi mungkin mulai sekarang kita akan sering bertemu, Hinata-san.”
Ucapan Gaara membuat Hinata mengernyit. Sering bertemu? Kenapa? Lalu, Hinata melirik pada Hanabi yang masih menunduk di samping Gaara.
“Kau dan Hanabi berkencan?” tanya Hinata.
“Tidak!!” Hanabi menjawab sambil berteriak.
“Kami akan membicarakannya secara privat.” Gaara bicara lenggang setelah keadaan hening selama beberapa saat karena teriakan Hanabi. Hinata takjub, bagaimana bisa wajah Gaara tetap datar padahal Hanabi teriak tepat di samping telinganya. Dipikir-pikir lagi, apa benar Gaara dan Hanabi akan terlibat dalam hubungan? Aneh tapi keadaan yang terjadi selama ini memang sudah aneh, ‘kan?
Selama sarapan, Hinata sadar jika ia diperhatikan. Sasuke tepat berada di sampingnya. Beberapa kali Hinata bisa melihat Sasuke yang melirik melalui ekor matanya. Belum lagi Neji yang duduk di samping Gaara. Jelas Hinata menangkap tatapan Neji yang sulit diartikan.
“Aku sudah selesai. Terima kasih atas makanannya.” Hinata berdiri. Makanannya baru habis setengah tapi ia sudah merasa harus berhenti. Tak tahan dengan kecanggungan yang melanda.
Meskipun ia menjadi pusat perhatian karena pergi duluan, Hinata tak mengindahkan tatapan itu dan pergi menuju kamarnya. Saatnya tidur dan melupakan masalah sejenak.
“Sebentar, Hinata.” Sasuke menangkap lengan Hinata yang hendak membuka pintu kamar. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Sasuke.
Hinata membuang napas kasar. “Menurutmu?”
Sasuke memerhatikan penampilan Hinata. Blouse merah muda dan rok hitam selutut. Parfum wangi Hinata masih tercium meskipun pasti sudah tercampur bau alkohol di club semalam. Riasan Hinata juga hanya pudar sedikit. Bagi Sasuke, Hinata terlihat cantik selain sedikit lingkaran hitam di bawah matanya.
“Aku butuh tidur, Sasuke. Aku kerja semalaman jadi sekarang waktunya aku tidur. Permisi.” Hinata berbalik tapi lagi-lagi Sasuke menahannya.
“Apa kau marah padaku?”
“Kau pikir saja sendiri.” Hinata menarik lengannya dan langsung berbalik. Setelah memasuki kamarnya, Hinata mengunci pintu. Jangan ada yang mengganggu untuk sekarang. Tuan putri benar-benar harus tidur kalau tidak ingin semakin mirip dengan Gaara Sabaku.
Sasuke sempat termangu di depan pintu kamar Hinata yang tertutup. Ia ingin sekali mengetuk pintu Hinata. Memaksa Hinata keluar dan menjawab pertanyaannya. Tapi, sebagai lelaki paling dewasa –dengan arti sebenarnya- di rumah ini, Sasuke memutuskan untuk membiarkan Hinata tidur.
“Kemana Hanabi dan Gaara?” Sasuke bertanya saat ia kembali ke dapur dan orang-orang sudah mulai kembali.
“Mereka perlu bicara berdua katanya.” jawab Neji. Sasuke kembali duduk di kursinya tadi. Jauh berseberangan dengan Neji yang ada di sebelah kirinya. Saat Sasuke mulai menyantap sarapannya lagi, Matsuri dan seorang pelayan lain terlihat pergi keluar dapur. Meninggalkan dua pria tertua di rumah ini.
“Sasuke, aku ingin bertanya sesuatu.” Sasuke menoleh pada Neji sambil menyuap makanan. Memberi izin agar Neji melanjutkan ucapannya. “Apa waktu itu kau sedang bersama Hinata?”
Sasuke mengunyah dan menelan makanannya. “Waktu apa?”
“Waktu kau melihatku dengan Matsuri di dapur.”
Rasanya Sasuke tersedak ludahnya sendiri, padahal ia yakin kalau ludahnya sudah tertelan bersama makanan.
“Memangnya kenapa?” Sasuke berdeham.
“Kemarin Hinata tidak sengaja keceplosan.”
“Kalau dia yang bilang sendiri, berarti dia juga tidak sengaja melihatmu, mungkin.”
Tidak mungkin Sasuke menjelaskan secara rinci pada Neji kalau ia yang memergoki Hinata saat mengintip, ‘kan? Biar saja Neji berspekulasi sendiri. Buktinya laki-laki itu hanya berkata ‘oh’ dan kembali makan.
“Kau tidak ingin tahu kenapa Hinata bisa keceplosan?” Sasuke melirik Neji. Ia yang sedang minum air putih mulai mengernyit. Apa itu penting untuk dijelaskan?
“Aku melihat kalian berciuman dua hari lalu.”
“Uhuk!”
Sasuke benar-benar tersedak kali ini. Hidungnya perih karena air masuk ke tenggorokan. Sialan. Jadi, intinya mereka saling mengintip satu sama lain?
Neji khawatir pada Sasuke yang memegangi hidungnya. Mengambil inisiatif, Neji menyodorkan kotak tisu pada Sasuke. Laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya itu mengambil selembar tisu dan mengelap mulut serta hidungnya.
“Kuharap kita bisa saling menjaga rahasia, Neji.” kata Sasuke setelah keadaannya membaik.
“Kuharap juga begitu. Kau bisa pastikan kalau Hinata tidak cerita pada Hanabi?”
Sasuke kembali mengernyit. “Yang kau pikirkan benar-benar hanya itu?”
“Aku hanya tidak ingin keadaan menjadi lebih canggung.” Neji mendikkan bahu.
Sasuke menghela napas. “Baiklah. Nanti akan aku bicarakan pada Hinata.”
Neji mengangguk. Memang seharusnya Sasuke bisa berperan sebagai tunangan yang baik.
“Kau dan Hinata...” Neji terdiam sebentar. “Hubungan kalian baik-baik saja, ‘kan?”
“Baik.” jawab Sasuke cepat.
“Seperti katamu. Kami sudah dewasa dan bisa menyelesaikan masalah sendiri.”
Neji angguk-angguk lagi. Ia kembali diingatkan pada ucapannya sendiri. “Kau harus lebih memberanikan diri, Kak Sasuke.”
.
.
“Aku tidak ingin bicara apapun denganmu!” tegas Hanabi.
“Kita harus bicara, Hanabi. Dua hari lalu kau mabuk berat dan kemarin kau mengabaikan pesanku selama seharian.” terang Gaara. Di hadapannya Hanabi masih membuang muka sambil melipat kedua tangan di bawah dadanya.
“Aku tahu, rasanya pasti canggung bertemu pasanganmu secara langsung. Kita hanya perlu penyesuaian, pearl.”
Hanabi menoleh pada Gaara. Matanya membulat karena terkejut.
“Kita belum benar-benar jadi pasangan, Sabaku-san!”
“Kenapa kau memanggilku begitu?” Hanabi menautkan alis. Itu kan memang namamu, batin Hanabi.
“Dulu kau selalu memanggiku panda-ku.”
Hanabi melotot. Itu ‘kan dulu! Waktu ia belum bertemu secara langsung dengan teman onlin-nya.
“Jangan membahas hal itu lagi! Itu ‘kan sudah berlalu dan hanya terjadi di aplikasi sialan itu!”
“Apa kau menyesal bertemu denganku, Hanabi?” Gaara sedikit menunduk. Matanya menatap ke arah lain dan rahangnya sedikit mengeras.
Gaara kembali menatap Hanabi. “Aku tidak menyesal mengenalmu, apalagi bertemu secara langsung denganmu. Bagiku, satu tahun yang kita lalui bersama adalah nyata, meskipun kita melakukannya secara daring.”
Ucapan Gaara berhasil membuat Hanabi menoleh dan ikut menatapnya juga.
“Kalau kau tidak keberatan, boleh aku mengenalmu dari awal lagi? Kalau kau ingin melupakan panggilan konyol yang kita berikan di masa lalu, aku tidak masalah. Ayo mulai lagi sebagai Gaara Sabaku dan Hanabi Hyuuga.”
Hanabi tertegun. Apa tidak apa-apa kalau mereka bersama?
“Oh, dan saat kita memulainya, mari lupakan tentang pekerjaanku ataupun masalah wasiat itu.”
Hanabi tersenyum kecil. Statusnya dan Gaara sebagai pengacara dan klien memang cukup mengganggu hatinya.
“Salam kenal, Hanabi-san. Namaku Gaara.” Hanabi menatap uluran tangan Gaara. Ia kembali menoleh dan melihat iris jade si chubby panda.
Hanabi mengabaikan uluran tangan Gaara. Daripada menerima jabatan tangan, Hanabi memilih untuk memeluk Gaara. Sambil berbisik, “salam kenal.”
.
.
.
“Nona Hinata, ada yang mencarimu di meja bar.” seorang pegawai berbisik pada Hinata saat perempuan indigo itu sedang menemani tamu. Untungnya, Hinata berdiri di dekat pintu ruangan jadi mereka bisa curi-curi obrolan.
“Siapa?” tanya Hinata sambil berbisik.
“Laki-laki yang berdansa dengan Nona waktu itu.”
Hinata mengerutkan dahinya. Dansa dengannya waktu kapan? Selama menjalankan bisnisnya, Hinata tidak bisa menghitung berapa kali berdansa dengan laki-laki. Tentu untuk pekerjaan.
“Baiklah, terima kasih. Kau bisa –pergi” Hinata melihat papan nama yang tergantung, “Hashibira... chan?”
Sebenarnya Hinata lupa dengan jenis kelamin pegawai yang ada di depannya. Wajahnya cantik dengan mata yang indah, tapi dadanya terlalu... datar? Oke, Hinata bukan maksud sombong apalagi menjelekkan. Namun, saat pegawai itu hanya mengangguk dan pergi, Hinata anggap itu bukan masalah yang besar.
“Kiba, bisa kau temani mereka dulu?” Hinata berbisik pelan setelah menarik Kiba yang sedang bicara di tengah untuk menyambut rombongan tamu.
“Ada yang mencariku di depan.”
“Siapa?” Hinata menggeleng. “Baiklah, aku bisa memandu tamu ini.”
“Terima kasih. Ingat, no drugs. Mereka aparat kepolisian di Tokyo.” Hinata mewanti-wanti. Setelah menerima acungan jempol dari Kiba, Hinata pergi keluar ruangan.
Hinata tiba di bagian depan club-nya. Ia bisa melihat punggung tegap laki-laki berambut raven yang memakai kemeja biru gelap. Sekali lihat saja, Hinata bisa tahu siapa laki-laki itu. Sebagian dari dirinya menyesal tetapi sebagian yang lain ingin merasa senang.
“Kau yang mencariku?” Hinata berjalan mendekat dan duduk di kursi bar samping Sasuke.
Tentu saja Sasuka Uchiha yang berdansa dengannya waktu itu.
“Ya. Sulit menemuimu di rumah, jadi aku ke sini. Apa kau ada waktu?” Sasuke mengangkat gelas kosong. Hinata melirik sebentar.
“Tidak. Aku sibuk di rumah, apalagi di sini. Kami sedang menyambut tamu.”
“Apa tidak bisa kau titahkan pada pekerjamu saja?”
“Tidak. Tamu kami sangat special hari ini.” tiba-tiba Kiba datang menginterupsi obrolan yang baru dimulai. Sasuke mendelik tak suka sedangkan Hinata mengernyit kesal. Bisa-bisanya Kiba meninggalkan tamu seperti itu.
“Kau mendengarnya, ‘kan? Aku sibuk, Sasuke. Kuharap kau bisa mengerti.” Hinata berdiri, ia menghampiri Kiba dan berjalan beriringan kembali ke ruangan vip tadi. Sasuke melihat dari belakang, bagaimana Kiba merangkul Hinata dan meletakkan tangannya di bawah perut wanitanya. Kalau dilihat begini, sepertinya bukan Sasuke yang jadi tunangan Hinata.
“Jadi, kau mau pesan apa, Tuan?” Sasuke balik menoleh ke depan. Ino mengetuk-ngetukkan jari ke meja bar, menunggu pesanan Sasuke.
“Mocktail.” Sasuke menyodorkan gelas kosong pada Ino.
“Kau yakin? Tidak akan menyesal tak coba ramuan alkoholku?” tawar Ino.
“Aku harus menyetir. Segelas mocktail saja, margarita.”
“Baiklah.” Ino mengedikkan bahu. Ia mengambil gelas kosong yang disodorkan Sasuke. Kemudian, ia berbalik dan mulai menyiapkan pesanan Sasuke.
“Omong-omong, apa kau kenal tamu Hinata hari ini?” tanya Sasuke.
“Kau ingin tahu?” Ino tidak berbalik.
“Kalau aku bertanya, berarti aku ingin tahu.” Ino tersenyum miring mendengar ucapan Sasuke. Ia menghentikan kegiatannya dan berbalik pada Sasuke.
“Tamu hari ini adalah rombongan yang membantu peresmian usaha ini. Salah seorangnya cukup dekat dengan Hinata.”
“Siapa? Pria?” anggukan Ino membuat darah Sasuke berdesir. “Apa hubungannya dengan Hinata?”
“Special. Seperti... pacarnya?”
“Hah?!”
Reaksi Sasuke membuat Ino tertawa. Wajah terkejut, kesal, dan bingung pria itu jadi hiburan untuknya.
“Maksudku, pacar dari tamu hari ini sedikit mirip dengan Hinata.” dua jari Ino membentuk huruf C. “Tapi kau tenang saja. Temanku pria yang loyal. Dia tidak mungkin merebut Hinata hanya karena wajahnya mirip kekasihnya.”
Ino mengedipkan matanya pada Sasuke. Lalu, ia kembali berbalik untuk melanjutkan kerjaannya. Selama menunggu, Sasuke melihat-lihat sekeliling. Padahal sekarang masih rabu malam tapi club tetap penuh orang. Tak lama, seorang pemuda berambut Mohawk mendekat, tepat di samping kanan Sasuke. Pemuda itu menaruh uang ke sebuah kotak dan mengambil dua buah permen dari dalam sebuah wadah besar.
“Itu apa?” Ino menengok lagi saat mendengar suara Sasuke. Mengikuti arah pandang pria tampan itu, Ino menyeringai. Ia memasukkan tangannya ke dalam sebuah wadah dan mengambil sesuatu.
“Permen.” Ino menunjukkan beberapa butir permen yang diambilnya pada Sasuke.
“Aku tahu. Tapi, lima ribu yen untuk sebuah permen, bukankah terlalu berlebihan?” Sasuke menatap papan kecil berupa penunjuk harga yang menempel pada wadah bening besar.
“Itulah keuntungan bekerja di industri hiburan.” Ino tersenyum simpul. “Mau mencobanya, tampan?”
Ino mengayun-ayunkan bungkusan permen di depan wajah Sasuke. Lalu, ia mengerling, “ini adalah permen special racikan club kami.”
.
.
Sudah hampir satu bulan, Hinata terlihat menghindari Sasuke. Bukan hanya karena jam kerja mereka yang berbeda, Sasuke yakin jika Hinata sengaja tidak ingin bertemu dengannya. Setiap kali Sasuke menyapa, Hinata akan menanggapi seadanya. Lebih-lebih saat Sasuke datang ke club, Hinata hanya akan menyapanya sebentar kemudian kembali pergi bersama laki-laki dengan dua tanda lahir besar di wajahnya. Sasuke? Ia ditinggal bersama bartender pirang bernama Ino Yamanaka, seperti dua hari lalu.
Sasuke tidak bisa tinggal diam. Ia harus benar-benar bicara dengan Hinata. Bermodal keinginan yang kuat, Sasuke menunggu kepulangan Hinata di depan kamar perempuan itu sejak jam dua pagi. Satu, dua, tiga, empat, lima. Sasuke sudah menunggu selama lima jam tapi Hinata belum muncul juga. Padahal, biasanya Hinata akan tiba sekitar jam lima sampai jam enam pagi.
Menyerah, Sasuke pergi ke dapur dulu untuk minum air.
“Kak Sasuke, kau sudah bangun?”
Sakura Haruno? Sasuke tidak sadar kalau perempuan itu tiba di kediaman Hyuuga. Padahal sejak lima jam yang lalu Sasuke berada di dekat pintu masuk.
Menanggapi seadanya, Sasuke mengambil gelas. Ia mengisinya dan menegak air putih dingin.
“Kau kurang tidur, Sasuke? Kau hampir mirip seperti pacar Hanabi.” entah Neji bertanya atau mengejek, Sasuke sedang tidak mau ambil pusing.
“Neji?” Sakura memanggil Neji dengan nada kesal. “Kau mengerjai Hanabi lagi.”
“Aku tidak bicara di depannya, ‘kan?” elak Neji.
“Tetap saja. Kita sudah sepakat tidak akan mencampuri hubungan Hanabi ataupun Hinata terlalu jauh.”
“Iya, tapi aku tetap khawatir pada adikku.”
Oke, Sasuke invisible sekarang. Neji dan Sakura asik berbincang berdua, melupakan keberadaan Sasuke. Merasa dilupakan, Sasuke menoleh ke dekat kompor. Terlihat Matsuri yang sedang memasak, ternyata ada yang lebih duluan terlupakan.
“Kau masak apa, Matsuri?” Sasuke mendekat pada Matsuri. Sambil membawa gelasnya yang sudah kosong, Sasuke berniat mengisinya dengan susu hangat yang kebetulan terletak di meja dapur dekat Matsuri.
“Omurice.”
“Oh, ya? Tumben.” Sasuke melihat-lihat bahan masakan yang tergeletak dekat kompor. “Kenapa ada kotak rumput laut?” Sasuke bertanya sambil mengisi gelas dengan susu panas.
“Itu pesanan Hanabi-sama. Dia ingin belajar masak nasi kepal untuk bento.” Sasuke magut-magut. Punya pasangan ternyata bisa merubah seseorang.
Setelah gelasnya penuh, Sasuke kembali duduk di meja makan. Bangku ujung keempat, berseberangan dengan Neji dan Sakura yang ada di sisi sebelahnya.
“Tetap saja aku cemas dan ingin menjaga mereka, Sakura.” Sasuke melirik Neji sambil mulai menegak susunya. Masih meributkan masalah Hanabi.
“Aku mengerti. Maksudku, kau tidak perlu terlalu memikirkannya seorang diri. Aku juga bisa jadi sosok kakak perempuan untuk Hanabi dan Hinata.” Sakura mengambil satu tangan Neji, mengelusnya pelan sambil tersenyum lembut.
“Kalau kau lupa, orang tuaku ingin pernikahan kita dipercepat sampai bulan depan, Neji.”
“Uhuk-uhuk!!”
“Aaaaww!!”
Sasuke tersedak, bersamaan dengan suara teriakan dari Matsuri. Setelah berhasil menenangkan diri, Sasuke menoleh ke belakang dan bisa menemukan Matsuri mengangkat jarinya yang berdarah.
“Matsuri, kau tidak apa-apa?” Sakura berdiri duluan. Ia mendekati Matsuri yang meringis.
“Kau terluka, Matsuri?” Neji menyusul Sakura. Merasa tertinggal, Sasuke juga ikut-ikutan berdiri dan menghampiri kerumunan.
“Ti-tidak apa-apa. Aku hanya tidak sengaja mengiris jariku, Neji-sama.” Matsuri menutupi jarinya yang terluka dengan tangannya yang lain.
“Kau berdarah, Matsuri.” kata Neji.
“Ini hanya luka kecil, Neji-sama.”
“Tidak. Maksudku, kau berdarah dari sela kakimu.”
Matsuri menunduk. Melihat ke arah kakinya sendiri. Lalu, matanya membulat karena terkejut. Dari celah seragam pelayannya, darah mulai merembes keluar. Sudah pasti ini memalukan sebagai perempuan, ditatap oleh dua laki-laki bahkan yang satunya hanya bisa diam.
“Hei, apa kau tidak menghitung periodemu?” Sakura bergerak duluan lagi. Ia merangkul Matsuri, membawa perempuan muda itu pergi keluar dapur. Saat Neji hendak ikut menyusul, dengan tegas Sakura berbalik sebentar dan berbisik, “ini urusan perempuan.”
“Maafkan aku, Sakura-sama.” Matsuri bergetar dalam pelukan Sakura. Mereka sudah keluar dapur tapi rasanya darah tetap mengalir keluar dari dalam tubuhnya.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti sebagai perempuan. Apa kau perlu obat? Sepertinya aku masih punya pereda nyeri. Sebentar, aku ambil dulu di mobilku.” Sakura melepas rangkulannya pada Matsuri selama beberapa detik, bermaksud pergi mengambil obat di pekarangan rumah.
‘BRUK’
.
.
Sakura memutuskan untuk membawa Matsuri ke rumah sakit. Meskipun ia tahu wajar merasa sakit saat sedang datang bulan, tapi pingsan jelas perlu perawatan yang serius. Neji yang bersikukuh ingin ikut akhirnya pergi naik mobil Sakura juga.
Selang satu menit setelah mobil Sakura pergi dari rumah Hyuuga, sebuah mobil putih bergradasi ungu muda muncul. Sasuke masih menunggu di depan rumah saat mobil itu berhenti di pekarangan. Dari dalam mobil, seorang perempuan keluar disusul seorang laki-laki dari pintu seberangnya. Si pria terlihat memeluk dan mencium kening si wanita sebentar, sebelum kembali masuk mobil dan pergi meninggalkan kediaman Hyuuga.
“Apa?” Hinata bertanya sinis saat menemui Sasuke di pintu masuk.
“Kenapa dia membawa mobilmu?” Sauke ngintil di belakang Hinata yang masuk rumah.
“Aku memintanya men-service mobilku.”
“Kenapa?”
“Karena sudah waktunya dirawat rutin.”
“Maksudku, kenapa harus dia yang melakukannya?”
Hinata berdecak sebal. Ia hendak berbalik dan mendebat Sasuke, tetapi Hanabi muncul dari bawah tangga dengan terburu-buru.
“Kau mau ke mana, Hanabi?” tanya Hinata.
“Kantor. Menggantikan Kak Neji rapat.” Hanabi menjawab sambil berdecih. Kemeja putihnya terlihat belum rapi dalam balutan blazer coklat tua.
“Memangnya Kak Neji ke mana?” Hinata bertanya tepat saat Hanabi keluar rumah dan buru-buru masuk ke dalam mobilnya.
“Neji dan Sakura mengantar Matsuri yang pingsan ke rumah sakit.” Hinata menoleh pada Sasuke.
“Kau tidak ikut?”
Sasuke menggeleng. “Ini hari jumat.”
Hinata menanggapinya dengan satu kata, oh. Lalu, ia memilih masuk kamarnya dan mandi. Beres mandi, Hinata pergi ke dapur untuk makan sarapan yang kini serasa jadi makan malamnya. Di dapur, Hinata menemui Sasuke yang duduk di meja makan dengan kaos dan celana panjang rumahannya.
“Kenapa kau di sini? Tidak ke kantor?” Hinata mendekat, ia melihat-lihat ke atas meja makan.
“Aku bolos. Musti jaga rumah.” Hinata mengernyit tak mengerti pada Sasuke. Pandangannya kembali berputar ke sekeliling dapur.
“Matsuri belum selesai masak saat ia tiba-tiba pendarahan dan pingsan.” terang Sasuke. Pria itu sadar dengan mata Hinata yang berpedar sejak tadi.
“Apa ada pelayan lain?”
Sasuke mengedikkan bahu. “Setahuku mereka sedang belanja bulanan.”
“Well, sepertinya aku akan melewatkan makan malam.” Hinata berbalik.
“Kenapa kau tidak masak seperti dulu, Hinata?”
Hinata menahan gerakannya, ia mendelik pada Sasuke. “Dulu kapan?”
“Saat kau masih remaja dan tinggal di sini?”
Hinata memutar bola mata kesal. Ia membuang napas dengan kasar.
“Matsuri sedang masak apa tadi?”
“Omurice.”
Hinata menoleh ke arah kompor. “Kalau kau mau makan, tunggu di sini.”
Hinata pergi menuju kompor. Ia mengamati sebentar lalu mulai melanjutkan masakan Matsuri yang tertunda. Sekitar dua puluh menit, Hinata menyajikan dua piring omurice ke atas meja.
“Kau benar-benar memasaknya?” Sasuke terpukau.
“Menurutmu?” Hinata menaruh sekotak rumput laut kemasan yang sudah dibuka bungkusannya.
“Kata Matsuri itu rumput laut milik Hanabi.” Hinata menghela napas lelas kali ini.
“Aku tidak peduli. Aku lapar dan aku ingin memakannya. Kalau kau tidak ingin melewatkan sarapan, sebaiknya kau mulai makan sekarang.”
Hinata memelototi Sasuke. Beberapa kali menundukkan pandangannya pada piring makan Sasuke. Merasa tidak ada pilihan, Sasuke mulai menyendok dan makan omurice masakan Hinata.
“Ini... enak!” Hinata tersenyum sinis mendengarnya. Ia mulai menyuap beberapa omurice sambil menyemil rumput laut.
“Kau tahu? Di pabrik ada koki yang jago masak omurice.” Hinata terganggu dengan perkataan Sasuke. Tadi memujinya, sekarang malah memuji orang lain.
“Lebih enak masakannya atau masakanku?”
Sasuke menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap. Ia melirik Hinata yang sedang menatap tajam padanya. “Tentu masakanmu lebih enak,” kata Sasuke.
Setelahnya Hinata tidak bicara apa-apa lagi. Sasuke mendapati Hinata tersenyum kecil, tanpa sadar ia pun ikut tersenyum.
Sasuke menatap bungkusan rumput laut yang tergeletak. Tangannya tiba-tiba mengambil bungkusan tersebut. Gerakan tiba-tiba itu tak luput dari pandangan Hinata. Ia memerhatikan pria yang duduk di seberangnya dengan seksama.
Sasuke mengambil dua lembar rumput laut berbentuk persegi panjang. Lalu, ia menempelkan kedua rumput laut tersebut pada dua sisi pipinya. Hinata yang menatap mengernyit bingung dengan tindakan Sasuke.
“Apa kini kau bisa melihatku seperti kau melihatnya?”
Hinata membelalakkan matanya sebentar. Ia bukan tidak mengerti maksud ucapan Sasuke. Ia hanya tidak menduga kejadian ini. Hinata meneguk ludah. Kemudian ia berdiri dan bergerak menuju kursi Sasuke.
Hinata menekan badan Sasuke yang terlihat hendak ikut berdiri. Ia sedikit menundukkan badannya, kepalanya mendekat pada pipi Sasuke. Bisa Sasuke rasakan hembusan napas dan lidah Hinata yang menempel di pipinya. Lidah itu bergerak, mengecap rasa rumput laut yang tak lama digigit Hinata. Tindakan itu membuat Sasuke sedikit mengerang tertahan, geli.
“Kau ingin aku memakanmu dalam kondisi saat ini?” Hinata berbisik pelan di telinga Sasuke.
Tangan Sasuke mendahului akal dan mulutnya. Ia segera menarik Hinata agar duduk di pangkuannya setelah dengan cepat mendorong piring makannya menjauh, mencegah agar Hinata tidak terluka.
Hinata baru akan protes ketika Sasuke mencium bibirnya. Menekannya dan mulai beradu lidah setelah Hinata membuka mulutnya. Rasanya agak aneh. Mereka masih sarapan tadi. Ciuman mereka terasa seperti saus tomat, bawang, telur dadar, dan sedikit asin dari rumput laut. Sungguh tidak romantis, tapi anehnya malah menggairahkan bagi Sasuke dan Hinata.
“Hmnh!”
Desahan Hinata tertahan. Ia sedikit terkejut mendapati Sasuke yang meremas payudaranya. Sasuke sudah tidak memedulikan apapun. Tangannya yang lain mendorong punggung Hinata agar semakin mendekat padanya.
“Kau mau di sini? Seperti Neji dulu?” tanya Sasuke setelah ciuman mereka terlepas. Hinata memukul pelan bahu Sasuke, malu pada kenangan memalukan.
Hinata bergerak-gerak dalam pangkuan Sasuke. Pria itu terlihat sedikit meringis. Oh, adik Sasuke sudah bangun.
“Gendong aku ke kamar.” Hinata siap-siap memosisikan kedua tangannya dalam lingkaran leher Sasuke.
“Kamarku? Atau kamarmu?”
“Terserah. Yang penting, kita harus melakukannya di kamar.” tangan Hinata sudah melingkar sepenuhnya pada leher Sasuke. Dadanya juga sudah menempel pada dada Sasuke.
“As you wish, Hime.”
Sasuke berdiri dengan Hinata dalam gendongannya. Hinata melingkarkan kakinya ke perut Sasuke ketika pria itu berdiri. Saat keluar dapur, Sasuke kembali mencium Hinata. Ia berjalan menuju kamar Hinata. Tinggal berbelok, mereka sudah akan sampai ke tujuan.
‘BRAK’
Pintu depan rumah tiba-tiba terbuka dengan kasar. Ciuman Sasuke dan Hinata terlepas. Keduanya terbengong menatap pintu masuk, masih dengan posisi Hinata yang digendong. Di depan pintu, seorang wanita berambut merah muda berdiri dengan napas terengah. Matanya membulat sempurna tapi bukan terkejut karena melihat Hinata dan Sasuke.
“Hi-Hinata.” suara perempuan itu bergetar. Matanya terlihat berkaca-kaca, tak lama setetes air mata jatuh di pipinya.
“Matsuri hamil.”
.
.
“Berengsek!!!” suara teriak terdengar bersamaan dibukanya pintu rumah dengan kasar. Hanabi muncul dari balik pintu. Alisnya menekuk dengan tajam, napasnya terengah, kemeja putihnya terlihat acak-acakan, blazer coklat digenggamnya dengan erat.
Setelah menutup pintu, Hanabi melirik ke kanan lalu ke kiri. Ia berhenti saat matanya menangkap tiga orang yang duduk di ruang tamu. Dengan tergesa, Hanabi mendekat dan duduk di salah satu sofa. Ia bisa melihat Neji yang menunduk sambil mengepal. Di seberangnya ada Hinata yang sedang memeluk dan mengelus-elus Sakura.
“Sakura, dengarkan aku...” Neji mengangkat kepalanya, menatap Sakura yang menangis.
“Kubilang, aku belum mau mendengarmu bicara ‘kan, Neji?” Sakura bicara, suaranya serak disertai isakan. Ia menoleh dan tersenyum getir pada Neji. “Tolong biarkan aku menangis dulu sebentar.”
Perempuan berambut merah muda itu kembali memalingkan wajahnya. Bersandar pada Hinata yang masih setia menenangkannya. Kalau seperti ini, rasanya malah Hinata yang jadi kakaknya.
“Well, kalau begitu, biar aku yang bicara.” Hanabi menarik napas dalam sebanyak tiga kali. “Kau itu bajingan, Kak! Bagaimana bisa kau menghamili Matsuri padahal kau sudah terikat dengan Kak Sakura?!”
Mata Hanabi melotot, ia mengacak rambutnya kasar. “Kau sudah berjanji akan coba mengenalnya sejak dua tahun lalu. Kau bilang pada ayah akan menjaga hubungan baik Hyuuga dan Haruno. Meskipun kalian tidak memutuskan untuk bertunangan, bukankah hubungan kalian sudah bisa dikatakan seperti itu?!”
Neji diam, tidak menimpali. Rahangnya mengeras, ia mengigit bagian dalam bibirnya sendiri. Hanabi memang benar, ia yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kerja sama Hyuuga dan Haruno. Ia juga yang beberapa waktu lalu meyakinkan Sakura jika perempuan itu akan aman bersama Hyuuga. Tapi, lihat sekarang, tanpa disentuh Sakura sudah tersakiti.
“Terlebih aku tidak menyangka kau melakukannya dengan Matsuri. Maksudku, dia itu seperti adik kita ‘kan, Kak?”
“Memangnya kenapa?” tangisan Sakura terhenti, ia menatap Neji yang mulai bicara. “Kalau Hinata boleh melakukannya, kenapa aku tidak?”
Hinata ikut menoleh pada Neji. Ia membulatkan matanya kesal, kenapa ia ikut dibawa-bawa? “I’m sorry?” katanya.
“Dia bukan benar-benar adikku seperti kau dan Hinata. Kalau Hinata dan Sasuke bisa bertunangan, apa salah aku menyayangi Matsuri?”
Hati Sakura mencelos. Ia mengepalkan tangannya untuk menahan tangisan. Telapak tangannya sedikit sakit karena kuku-kuku panjangnya.
“Dengan menidurinya?!” Hanabi berteriak, urat-urat di lehernya menonjol serasa akan keluar. “Kau, meniduri Matsuri, yang sejak lahir sudah tinggal di rumah Hyuuga. Cucu Nenek Chiyo, kepala pelayan keluarga Hyuuga. Dan kau, masih menidurinya setelah kau bertekad pada seseorang? Apa yang bisa membuatmu menolak dipanggil berengsek, Kak?!”
Setiap kata yang diucapkan oleh Hanabi penuh dengan tekanan.
“Aku setuju.” Hinata ikutan bicara. “Kau sangat tidak bertanggung jawab, Kak. Kau juga malah mengungkit hubunganku dengan Sasuke yang tidak sepenuhnya kau ketahui. Kau terdengar seperti seorang pecundang.”
Neji merasa ditekan dari berbagai sudut. Ketiga perempuan di ruangan ini memojokkannya. Ia sudah tidak ada lagi pertahanan. Sakura yang menangis semakin membuatnya merasa sesak.
Tak lama pintu rumah kembali terbuka. Kali ini yang masuk adalah Sasuke. Pria itu baru pulang dari rumah sakit, menjenguk Matsuri. Sasuke menutup pintu dan berjalan mendekat, ia berdiri di dekat sofa.
“Bayinya meninggal. Matsuri keguguran.”
Sakura menahan napasnya. Semua orang jelas terkejut. Wajah Neji semakin tertekan dengan adanya kabar dari Sasuke.
“Matsuri harus dirawat karena pendarahan hebat. Aku akan menemaninya.” setelah bicara, Sasuke naik ke lantai atas. Ia masuk kamarnya dan menyiapkan bekal untuk menginap. Seseorang harus menemani Matsuri. Tapi, dilihat dari kondisinya tidak mungkin putra-putri Hyuuga yang melakukannya.
Sepeninggal Sasuke, ruangan kembali hening. Sakura merasa pusing, Neji merasa sulit untuk bernapas. Seperti terpojok dengan lima mata pedang di sekelilingnya, Neji sudah tidak bisa berkutik.
“Aku benar-benar kecewa pada semua lelaki Hyuuga.” Hanabi yang pertama berdiri. Ia berjalan menuju kamarnya, memutuskan untuk mandi sekali lagi. Pagi ini ia dipaksa ikut rapat, rapatnya selesai di tengah jalan, sedangkan Neji berbuat masalah besar yang mengancam nama baik keluarga dan perusahaan. Bisakah Hyuuga dipermalukan lebih parah lagi?
.
.
Sasuke memeriksa lemari pakaiannya. Ia mengambil dua buah kaos dan memilah beberapa celana panjang. Saat tangannya menyentuh celana bahan berwarna hitam pekat, ia bisa merasakan sesuatu yang lengket dan basah. Damn, Sasuke melupakan sesuatu.
Setelah mengurus sesuatu, Sasuke segera mengambil beberapa keperluannya yang lain dan pergi ke rumah sakit. Saat tiba, ia bisa melihat Matsuri yang tertidur menghadap jendela.
“Matsuri? Kau tidur?” Sasuke menutup pintu ruang inap.
“Sasuke?” Matsuri menoleh, ia bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala kasur. “Kenapa kau di sini?”
“Aku akan menemanimu menginap.” Sasuke mengambil kursi dan duduk di samping ranjang. Setelah menaruh tas ransel di lantai, Sasuke memosisikan duduknya lebih nyaman. “Kau sudah mendingan?”
“Ya, pendarahanku sudah berhenti.”
Sasuke memerhatikan penampilan Matsuri. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan badannya terlihat sangat kelelahan.
“Sudah tiga bulan.” Sasuke berkata pelan. “Apa kau menyadari kehadirannya?”
Matsuri membuang muka, menatap ke depan untuk menghindari pandangan Sasuke. “Aku menyadarinya bulan lalu. Padahal kami sudah lama tidak melakukannya. Tapi, aku memang bodoh. Memangnya apa yang aku harapkan dari berhubungan intim?” Matsuri tersenyum getir. “Atau mungkin aku sedikit mengharap sesuatu. Mengikatnya denganku.” lanjutnya.
“Anak itu seperti sadar kalau dimanfaatkan, makanya dia memilih untuk pergi.” Matsuri meraba bawah perutnya.
Sasuke memerhatikan tindakan itu. Ia memalingkan wajah sebentar. “Itu sudah menjadi tanggung jawab kalian. Kau dan Neji sudah dewasa, kalian seharusnya sudah mengerti. Meskipun aku tetap ikut prihatin karena kau kehilangannya.”
Matsuri tersenyum pucat. Untung saja anak itu tidak lahir. Ia terlalu bodoh dan licik untuk jadi seorang ibu. Matsuri menatap ke luar jendela, menyaksikan daun yang bergoyang-goyang di musim semi.
“Aku akan pergi.” Sasuke mengernyit mendengar ucapan Matsuri. “Aku tidak bisa tinggal dengannya lagi, Sasuke.”
“Kau mau pergi ke mana?”
“Entahlah.” Matsuri menghela napas. “Aku memang menyedihkan. Padahal aku pernah bilang tidak akan pergi kecuali ia yang memintanya.”
Guratan kesedihan terpancar dari wajah Matsuri yang menyamping. Perempuan itu lalu menoleh lagi pada Sasuke. “Pulanglah, Sasuke. Kau bukan kakakku, bukan juga saudaraku. Kau tidak harus menemaniku.”
“Kau sudah seperti saudaraku, Matsuri. Kau –butuh”
“Aku butuh sendirian sekarang.” Matsuri memotong ucapan Sasuke. “Tolong, pulanglah.”
Sasuke sangat ingin memaksa untuk tetap tinggal. Namun, tatapan Matsuri benar-benar meminta padanya. Sasuke harus menghargai perempuan itu. Ia kembali mengambil tas ranselnya dan bangkit berdiri.
“Istirahatlah dengan baik, Matsuri.”
.
.
Sasuke baru kembali dari kebun saat ia melihat Hinata yang keluar dari dapur. Setelah mengunjungi Matsuri yang berujung pengusiran secara halus, Sasuke menenangkan diri dengan merawat tanaman.
“Baru bangun, Hinata?” tanya Sasuke.
Hinata menatapnya sekilas. Sasuke memakai kaos hitam dilapisi kemeja motif berwarna biru muda yang lengannya digulung sampai siku. Celana jeans-nya sedikit kotor karena tanah. Bagi orang yang tidak tahu, Sasuke memang terlihat seperti tukang kebun.
“Ya. Menghabiskan sarapanku.” Hinata pergi menuju ruang tengah. Ia duduk di sofa dan menyalakan televisi dengan volume kecil.
Sasuke terdiam sebentar. Sarapan di jam lima sore? Ia lalu ikut duduk di samping Hinata.
“Kau akan pergi ke club?” Sasuke bertanya lagi, membuat Hinata mengalihkan pandangannya dari televisi sebentar.
“Tentu saja. Aku akan bersiap setelah doramanya selesai.”
Keadaan jadi canggung lagi. Terkadang, Sasuke merasa heran dengan hubungannya dan Hinata. Mereka bisa merasa sangat dekat tapi menjauh lagi entah karena apa. Bahkan, tadi pagi mereka sudah sama-sama bergairah tapi keadaan malah memutus mereka.
“Apa Matsuri baik-baik saja?” Hinata bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.
“Tidak. Tentu ia merasa sakit, tapi dia sudah baikan. Dia memintaku pergi karena dia perlu waktu sendiri.” Hinata menimpali seadanya. Matanya terlihat masih menatap televisi tapi yang sebenarnya ia sedang tidak fokus.
“Kak Neji memang berengsek.” kata Hinata. “Bagaimana bisa ia melakukannya pada Matsuri? Dia sudah seperti adikku dulu.”
“Menurutku perasaan mereka tidak salah.” ucapan Sasuke membuat Hinata menatapnya. “Matsuri mencintai Neji, sedang Neji entah menyayangi Matsuri seperti apa. Itu tidak salah. Yang salah adalah ketika mereka melakukannya tanpa pertanggungjawaban. Apalagi kini ternyata mereka menyakiti Sakura.”
Sasuke menunduk, ia menggigit bibir dalamnya sebentar. “Aku merasa bersalah karena membiarkan itu semua terjadi. Jelas aku tahu tentang hubungan Neji dan Matsuri tapi aku tidak menghentikannya.”
Hinata menatap Sasuke. Mendengar ucapan pria itu, Hinata jadi ikut merasa bersalah. Padahal Sakura sudah seperti kakaknya sendiri. Hinata ingat saat ia yang masih duduk di bangku menengah sering bermain dengan Sakura yang jadi teman SMA Neji. Meski Hinata tahu Sakura sempat memanfaatkannya agar bisa dekat dengan Sasuke.
“Menurutmu, apa hubungan kita salah seperti Kak Neji dan Matsuri?” Sasuke menoleh pada Hinata. Ia tahu, perihal Neji dan Matsuri membuat Hinata ragu, sepertinya.
“Tidak?” Sasuke jadi ikutan ragu. “Aku menyukaimu, Hinata. Bukan, aku mencintaimu mungkin? Sejak dulu. Makanya, waktu Paman Hiashi memintaku untuk menikahimu, aku senang. Tentu saja, tapi...”
“Tapi?” Hinata menunggu Sasuke.
“Tapi aku tidak tahu tentang perasaanmu. Aku mencintaimu sampai aku tidak ingin menyakiti ataupun berbuat hal yang membuatmu tersakiti. Aku tidak ingin memaksamu.”
Payah. Sasuke tahu, bukan saatnya mengungkapkan perasaannya di saat keadaan sedang begini.
“Kalau aku tidak ada rasa padamu, tidak mungkin aku memintamu menciumku dulu.”
“Hn?”
Sasuke bukannya tidak mendengar, ia hanya meragukan pendengarannya.
“Aku juga mencintaimu... dulu? Entahlah, semuanya terasa memusingkan sekarang.” Hinata berdecak sebal. Tidak seharusnya ia ikut-ikutan payah.
“Aku kira kita punya hubungan yang special, tapi saat masuk kuliah kau malah dekat dengan perempuan lain.” Sasuke berpikir sebentar, perempuan lain siapa?
“Aku hanya dekat sebentar dengannya. Aku juga sudah menjauh dengannya saat kau mogok tidak ingin ikut studi lapangan.”
“Hah?”
Sial, Sasuke keceplosan. Tuh kan, keadaan malah semakin canggung.
“Tapi kalian terlihat dekat di media sosial. Kau juga seperti menghindariku dulu. Aku kesal.”
“Aku memang harus menghindarimu, Hinata.”
“Kenapa?”
Fokus Hinata sudah benar-benar terlepas dari dorama favoritnya. Badannya menyamping, menatap Sasuke lekat-lekat.
“Aku mencintaimu. Tapi saat itu aku sudah dewasa, Hinata. Sedangkan kau masih duduk di bangku SMP. Aku tidak bisa bersamamu. Aku tidak boleh merusakmu. Kita harus menjauh karena kau belum mengerti.”
“Tapi kau tidak perlu melakukannya. Kau berubah tanpa bicara apapun. Bagaimana bisa aku mengerti?”
Benar. Sasuke memang tidak pernah menjelaskan. Tidak ada yang menjelaskan pada Hinata remaja soal hubungan orang dewasa dan anak-anak. Semuanya hanya menganggap kalau perasaan Hinata pada Sasuke bagai ketergantungan adik pada kakaknya. Padahal, Hinata sudah punya Neji.
“Maaf, sepertinya aku memang salah.” Sasuke menunduk, ia tidak berkata apa-apa lagi. Membuat Hinata menghembuskan napas kasar.
“Hah, sudahlah. Itu sudah berlalu. Aku tidak ingin merusak mood sebelum bekerja.” Hinata berpaling sambil berdeham, tenggorokannya terasa kering.
“Apa kau ingin minum sirup, Hinata? Aku akan membuatkannya?” Hinata melirik Sasuke dari ekor matanya. Mungkin laki-laki itu ingin menebus kesalahannya.
“Ya.”
Sasuke berdiri, ia pergi menyiapkan sirup untuk Hinata yang kembali fokus pada doramanya. Tanpa Hinata tahu, Sasuke pergi ke kamarnya sebentar. Lima menit kemudian, Sasuke kembali dengan segelas sirup berwarna merah yang diserahkan pada Hinata.
Hinata meihat penampilan Sasuke yang sedikit berubah. Kemeja biru muda Sasuke terlepas, ia hanya memakai kaos hitam. Celana jeans Sasuke juga sudah berganti dengan celana santai panjang. “Terima kasih.” Hinata meraih gelas yang Sasuke sodorkan.
Hinata meminum beberapa teguk sirup yang dingin. Lalu, menaruhnya di atas meja. Lumayan, mendinginkan keadaan rumah yang memanas. Iya, mustinya minuman dingin itu mendinginkan tapi kenapa Hinata malah merasa panas?
Hinata bergerak dengan gusar. Duduknya tidak nyaman. Napasnya terdengar memberat dan tidak stabil. Pandangannya juga sedikit mengabur. Ia sudah tidak bisa mendengar dialog dorama yang sedang tayang. Badannya terasa gatal di beberapa bagian, apalagi di bagian bawah tubuhnya. Hinata menggigit bibir bawahnya. Sasuke masih berdiri di samping sofa sambil menatap Hinata lekat-lekat.
“Kenapa, Hinata? Kau tidak suka ramuan yang kau jual sendiri?” Hinata mendelik. Sasuke memasukkan obat perangsang?
“Apa yang kau lakukan?” Hinata bergeser hingga badannya mencapai ujung sofa ketika Sasuke berjalan mendekat.
Pria itu berhadapan dengan Hinata. Sebelah kakinya naik dan menekuk di atas sofa sedang kakinya yang lain masih menginjak lantai. Kedua tangan Sasuke bertumpu pada lengan sofa, mengurung Hinata yang sedang terengah.
“Membalasmu yang pernah merangsangku juga?”
.
.
“Hah?”
Napas Hinata terengah. Sasuke semakin mendekat padanya, membuat Hinata merasa sesak. Apalagi tubuhnya semakin panas. Sasuke menyentuh dagu Hinata dengan satu tangannya. Hinata merasa seperti tersengat, tubuhnya sangat sensitif.
“Apa kau menginginkan sentuhanku, Hinata?” Sasuke berbisik di depan bibir Hinata, membuat telinga Hinata memerah karena malu. Hinata ingin menghindari tatapan dengan Sasuke tapi tangan pemuda itu menahannya.
“Lepashhh” Hinata menggapai lengan Sasuke di dagunya sambil menahan desahannya. Sialan, ia akan minta Ino berhenti menjual obat-obatan dari Hidan, mungkin. Entahlah, bisnisnya perlu bertahan tapi kadang senjata memang bisa makan tuan.
“Aku belum mencumbumu, Hinata.” Sasuke menekan setiap kata yang diucapkannya pada telinga kiri Hinata. Napasnya yang berhembus membuat Hinata sedikit memekik.
“Hmph!”
Mata Hinata membulat saat Sasuke mencium bibirnya. Pria itu menjilati bibir Hinata, seperti yang Hinata lakukan pagi tadi. Hinata mencoba bertahan dengan tidak membuka mulutnya. Dengan sisa tenaga yang sebenarnya tidak ada, Hinata mendorong pelan dada Sasuke.
“Kenapa?” Sasuke melepaskan ciumannya. Ia menatap Hinata dengan kecewa.
“Jangan...” Hinata memalingkan wajahnya yang memerah. “di sini.”
Sasuke tersenyum. Ia sedikit menjauh dari Hinata. Lalu, tangannya melingkari perut Hinata. “Pegangan.” Sasuke menarik Hinata dalam gendongan. Hinata yang sadar segera melingkarkan tangannya pada leher dan kakinya pada perut Sasuke. Ia digendong seperti tadi pagi.
Sama seperti sebelumnya, Sasuke mencium Hinata. Perempuan itu ikut dalam ciuman Sasuke. Jalan mereka sedikit melambat karena Sasuke berhati-hati ketika menaiki tangga. Kali ini, tujuan mereka adalah kamar Sasuke.
Saat tiba di kamarnya, Sasuke segera membawa Hinata ke ranjang. Ia duduk di samping ranjang sambil bercumbu. Tangan kanan Sasuke masuk ke dalam kaos oversize warna hijau Hinata. Tangannya yang sedikit kasar menyentuh sisi perut Hinata, memberikan sengatan pada perempuan itu.
Tangan Hinata juga tidak bisa diam. Sejak di pangkuan Sasuke, Hinata meraba-raba bagian depan tubuh Sasuke dengan gelisah. Berpindah-pindah dari dada, perut, kembali ke dada bidang pria itu. Hinata sedikit berdenyit ketika Sasuke meraba dan menyentuh payudaranya.
Tangan kiri Sasuke menarik lengan Hinata dan mengarahkannya menuju bagian bawah perutnya. Hinata bisa merasakannya, sesuatu menonjol di balik celana Sasuke. Hinata menyentuh dan meremas tonjolan itu beberapa kali.
Sasuke melepaskan ciuman mereka. Selain karena butuh oksigen, Sasuke ingin menatap wajah Hinata. “Apa tidak masalah kalau kita melakukan ini?”
Hinata mencubit perut Sasuke, membuatnya sedikit meringis. “Bisa tidak sih kau berhenti bertanya dan mematikan gairah lagi?!” Hinata memanyunkan bibirnya, terlihat gemas di mata Sasuke.
“Baiklah.” Sasuke mencium Hinata lagi, kali ini benar-benar tidak melepaskannya meskipun mereka sudah pindah ke tengah ranjang. Pakaian keduanya sudah tanggal entah bagaimana. Hinata sudah berada di bawah Sasuke. Keduanya sedikit meringis saat penyatuan mereka.
“Apa kau membenciku, Hinata?” Sasuke bertanya saat ia sudah ada di dalam Hinata.
Perempuan indigo itu mengaitkan kedua kakinya yang terbuka lebar ke pinggang Sasuke. Sasuke merasa miliknya semakin terjepit. “Sangat. Sampai-sampai aku tidak akan mengizinkanmu terlepas,” kata Hinata.
Sasuke sedikit merasa tersinggung dengan ucapan Hinata. Tapi, ia sudah tidak ingin memikirkannya. Sekarang, hanya ada ia dan Hinata. Sambil mencium bibir Hinata dan memainkan payudaranya, Sasuke mulai bergerak maju-mundur.
“Ahn, Sasukeh~”
.
.
Hanabi sudah capek marah-marah di kamarnya. Ia turun ke lantai bawah untuk mengambil minum. Ketika akan berbelok ke dapur, matanya menangkap gelas yang terletak di meja ruang tengah. Hanabi mendekat dan mengangkat gelas berisi cairan berwarna merah itu.
“Minuman siapa?” Hanabi membaui gelas, tercium wangi pandan tercampur wangi strawberry. Sangat manis. Saat Hanabi mendekatkan gelas tersebut ke bibirnya, terdengar suara pintu yang terketuk.
Hanabi kembali menaruh gelas pada meja dan berjalan ke depan rumah untuk membuka pintu. Dari balik pintu, berdiri Gaara dengan setelan kerjanya.
“Hai.” sapa Gaara. “Boleh aku masuk?”
Tunggu sebentar, rasa-rasanya pengacara yang kembali muncul di depan pintu rumah terdengar familiar.
“Kau mau bertemu dengan siapa?” Hanabi menghadang.
“Denganmu.”
“Pekerjaan?” Gaara menggeleng.
“Ikut aku.” Hanabi berjalan menuju ke belakang rumah. Ia duduk di salah satu kursi dekat kolam ikan, diikuti Gaara yang duduk di kursi sebelahnya.
“Aku membaca pesanmu.” Gaara memulai pembicaraan. “Tidak kusangka Neji-san bisa begitu.”
Hanabi tidak menoleh. Ia masih sibuk menatap ikan-ikan yang berenang. “Ya, dia memang mengecewakan. Seperti laki-laki yang biasa duduk di sini.”
Gaara tidak paham dengan ucapan Hanabi. Ia hanya memandang Hanabi sambil pelan-pelan melonggarkan dasinya. Poor Gaara, bekerja di penghujung minggu memang menyebalkan.
“Itulah kenapa aku tidak setuju dengan seks sebelum menikah.” Hanabi berkata lagi. Perkataannya membuat gerakan tangan Gaara di dasinya terhenti.
“Kau belum pernah melakukannya?” Hanabi menoleh.
“Tentu saja. Aku tidak seliberal saudara-saudaraku.” mata Hanabi memicing. “Kau sudah pernah melakukannya?”
Gaara meneguk ludah, “beberapa kali?”
“Bahkan saat kau dan aku mulai berhubungan?” badan Hanabi agak condong ke arah Gaara. Membuat laki-laki bersurai merah itu mengalihkan pandangannya karena merasa terintimidasi.
“Ya-ya? Itu dan itu berbeda, ‘kan?”
“Itu dan itu apa?” desak Hanabi. Gaara tidak bisa menghindar. Ia berdeham dan menarik dasinya semakin longgar.
“Maksudku, saat itu kau dan aku hanya berkomunikasi melalu telepon. Kita belum memutuskan untuk terikat, apalagi kita juga belum bertemu. Jadi... aku memenuhi hasratku dengan yang lain?”
Hanabi mendesah mendengarnya. Ia menegakkan duduknya dan kembali menatap ke arah kolam ikan. Ia sadar, zaman sudah semakin maju, tentu orang-orang semakin bebas. Ia juga sudah memperkirakannya tapi tetap saja ada sedikit rasa kecewa.
“Kenapa tidak bermain solo saja sih?” Hanabi berujar pelan.
“Yah, kadang-kadang aku ingin merasakan vagina juga.” Hanabi menatap tajam Gaara yang terlalu jujur. Padahal Hanabi lebih suka Gaara tidak menimpalinya.
“Aku kasihan pada Kak Sakura.” Hanabi menunduk sedih. “Dia sudah seperti kakakku. Dia orang yang sangat berkeinginan kuat dan pekerja keras. Tapi, sebenarnya dia adalah sosok perempuan yang lembut. Aku banyak belajar darinya.”
Oh, jadi Sakura yang mengajari Hanabi?
“Kak Sakura memang lebih menyukai Sasuke sampai ia lulus SMA. Tapi mulai kuliah dan sering menemaniku yang waktu itu ditinggal ibu dan Hinata, dia dan Kak Neji jadi semakin dekat. Waktu itu Hyuuga dan Haruno juga mulai kerja sama bisnis. Jadi, kukira Kak Neji hanya ber-ramah-tamah.”
Gaara diam, ia membiarkan Hanabi bicara.
“Sebenarnya aku memang tidak mengerti Kak Neji sama sekali. Bahkan ketika ia berjanji akan menjaga hubungan Hyuuga dan Haruno, kukira ia tidak serius. Toh, kerjaanku hanya menjual barang di butik saja.” Hanabi mengangkat bahu.
“Sampai bulan lalu aku masih mengira kalau Kak Neji hanya orang yang mengikuti arus. Ia hanya menerima saja saat orang-orang Hyuuga berharap hubungan dengan Haruno lebih dari rekan bisnis.” Hanabi menendang kerikil kecil ke dalam kolam renang, membuat ikan-ikan di sekitarnya berenang menjauh. “Sejak kapan Kak Sakura jatuh hati padanya? Kalau tahu begini, aku pasti akan menjauhkannya dari kakakku sendiri.”
“Apa kita bisa tahu kapan kita jatuh cinta?” Hanabi menoleh pada Gaara.
“Menurutku, kita tidak bisa tahu kalau kita jatuh cinta sampai kita merasa benar-benar bahagia, atau benar-benar tersakiti karena orang itu, Hanabi.”
Gaara bicara dengan wajah serius, membuat Hanabi terkekeh pelan. Cahaya matahari terbenam menyorot emosi yang dipancarkannya. “Ternyata kau orangnya puitis juga ya, Pak Pengacara.”
.
.
Beberapa hari setelahnya, putra-putri Hyuuga jarang bertemu di rumah. Mereka sengaja menghindari satu sama lain saat sarapan ataupun makan malam. Hal itu membuat pekerjaan para pelayan jadi bertambah, kini mereka musti menghangatkan makanan beberapa kali.
Di hari sabtu depannya, Hanabi menemukan Hinata dan Sasuke yang sedang sarapan bersama. Dua orang itu memang terlihat lebih dekat dan sering terlihat sarapan bareng. Baguslah, Hanabi suka Hinata dan Sasuke yang bertanggung jawab dengan hubungan mereka. Tidak seperti orang itu.
Ketika Hanabi ikut bergabung sarapan dan menelan makanannya tiga kali, Neji muncul di dapur. Pria itu duduk dua bangku samping Hanabi. Melalui ekor matanya, Hanabi bisa melihat penampilan Neji yang terlihat kacau. Seketika suasana menjadi hening.
“Aku akan pergi dari rumah ini.” ucapan Neji menarik atensi ketiga manusia yang ada di meja makan.
“Kenapa, Kak?” tanya Hinata.
“Bukankah jelas terlihat kalau kalian tidak nyaman denganku?”
“Lalu bagaimana dengan surat wasiat ayah? Kau itu pemegang warisan utama, yang benar saja!” gerutu Hinata. “Aku tidak ingin lima bulan ini sia-sia.”
“Hanabi, bisa kah kau membujuk Sabaku-san?” pinta Neji.
Hanabi mendelik, alisnya menukik dengan tajam dan dahinya mulai berdenyut. “Hah?!! Yang benar saja!! Kau ingin memanfaatkan hubunganku dan Gaara?! Tidak etis sekali! Aku menentang!!”
Hanabi tidak habis pikir. Selama ini Neji terlihat baik-baik saja mengurus perusahaan. Kesalahan Neji memang fatal, memalukan. Tapi entah bagaimana kabar itu tidak tersebar. Jadi, semustinya Neji cukup diam saja dan melanjutkan perannya, ‘kan?
“Aku benar-benar kecewa. Terima kasih sudah menghilangkan selera makanku!” Hanabi berdiri, ia menghentakkan kakinya dan pergi keluar dari dapur. Selamat tinggal, kari.
“Apa kau ingat, Kak?” Hinata bicara setelah keadaan hening selama beberapa detik. “Aku bisa ada di sini karena kau membujukku. Kau bilang, ingin lebih lama melihatku dan Hanabi tinggal bersama, berbaikan. Tapi, kenapa kau tidak kunjung menunjukkannya?”
Sasuke yang duduk di samping Hinata bisa melihat kedua tangan Hinata terkepal di pangkuannya. “Aku kecewa. Rasanya sama saja tinggal di sini ataupun di Okinawa. Aku akan pergi tidur.”
Hinata bangkit. Ia berbisik pada Sasuke sebentar dan mulai meninggalkan ruangan.
Setelah kembar Hyuuga pergi, hanya ada Sasuke dan Neji. Atmosfer antara kedua pria itu juga kurang baik. Sasuke juga marah dan kecewa seperti kembar Hyuuga. Tapi, ia sudah terlanjur bilang kalau ia mengerti.
“Kemarin, Matsuri memintaku membawakan semua barangnya.” kata Sasuke. “Dia memilih pergi. Apa kau tahu?”
Neji tidak menjawab dengan gamblang tapi dari sorot matanya, Neji sepertinya sudah tahu.
“Kesalahanmu fatal. Kau merusak Matsuri, membuatnya mengandung benihmu dan membiarkannya keguguran. Apa dia hanya mainanmu? Perempuan itu masih muda, setahun lebih muda dari Hinata. Bukankah aku sudah menunjukkannya dengan baik padamu tentang aku dan Hinata?”
Neji mendongak menatap Sasuke. Benar, meskipun bukan anak kandung, Sasuke yang tertua di rumah ini. Neji tersenyum kecut, andai ia bisa mengendalikan diri seperti Sasuke. “Sakura terlalu baik untukku.”
Sasuke mengernyit. Kenapa malah bahas Sakura?
“Dia perempuan yang tegas. Aku memang binatang yang tidak bisa mengendalikan nafsuku sendiri. Sayang sekali ada kelinci tak berdaya yang terjebak dan aku manfaatkan. Menurutmu, kalau dulu aku meminta pada Sakura, apakah ia akan mengizinkanku?”
Alis Sasuke menukik dengan tajam. Mencerna perkataan abstrak Neji. “Tidak?”
“Ya. Tentu saja tidak. Sepertimu, aku hanya melindungi diriku sendiri.”
Sasuke mengela napas lelah... atau mungkin kesal? Entahlah, Sasuke sudah tidak habis pikir. Masalahnya sendiri sudah cukup memusingkannya.
“Kau menyakiti dua perempuan. Itu benar terjadi dan sudah tak bisa terhindarkan. Aku hanya memberi saran, perbaiki saja sikapmu di masa depan. Jangan mengecewakan dua perempuan lain, Neji. Mereka adalah saudaramu, sesuatu yang bahkan tidak aku miliki.”
Sasuke membereskan bekas makannya dan Hinata. Untunglah mereka sempat menghabiskan sarapan. Ia berdiri dari kursi dan bersiap pergi ke kamar. Sasuke juga akan tidur sebentar. Mengisi energi sebelum... apa ya?
.
.
Hinata bilang dia akan pergi tidur. Namun, kenyataannya ia malah pergi ke arah kebun saat melihat bayangan Hanabi. Dari pintu, Hinata bisa melihat Hanabi yang duduk dan bersandar di salah satu tiang gazebo di kebun.
Hinata berjalan mendekat. Hanabi yang memunggunginya belum sadar sampai Hinata duduk di sampingnya. Hinata sekilas melihat Hanabi yang buru-buru mengusap wajahnya dengan kasar.
“Apa kehadiranku mengganggumu?” tanya Hinata.
Cukup lama Hanabi tidak menjawab. “Tidak.”
“Aku mengerti perasaanmu, Hanabi. Rasanya seperti tidak ada lagi lelaki yang bisa kita percayai.”
“Kau percaya Sasuke. Aku juga masih punya Gaara.” elak Hanabi.
Hinata menoleh. Ia tersenyum pada Hanabi. “Kenapa kau tersenyum?” tanya Hanabi.
“Benar. Kita hanya kecewa pada Hyuuga, ‘kan?” Hinata menunduk. “Sebenarnya kejadian Neji malah mengingatkanku pada mendiang ayah. Ayah memang tidak pernah melakukan kesalahan sememalukan itu. Tapi, ketidaktegasan mereka membuatku kesal.”
Hanabi memerhatikan Hinata dari samping. Benar. Terlahir jadi Hyuuga memang mengesalkan.
“Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku masih kesal karena tidak bisa bertemu dengan ayah di saat terakhirnya.” Hanabi mengernyit. Hinata datang untuk menenangkan atau membuatnya makin kesal sih?
“Apa kau membenciku, Hanabi?”
“Ya. Aku kesal. Aku marah. Kau meninggalkanku dengan semua beban Hyuuga sendirian. Apa kau tahu bagaimana rasanya ditekan para lelaki kolot, Hinata?” Hinata tersenyum kecil, ia menggeleng.
“Berkali-kali aku ingin menyalahkanmu. Ini terlalu berlebihan bagiku tapi entah bagaimana aku malah bisa melaluinya sampai sekarang.”
“Kau hebat, Hanabi. Aku tahu, sejak kecil kau memang yang paling cocok mengurus Hyuuga. Itu sudah seperti takdirmu.”
Hinata dan Hanabi berpandangan sebentar. Beberapa detik keduanya saling memalingkan wajah dan menunduk.
“Ayah...” Hanabi bergumam. “Aku juga melihatnya terakhir kali adalah tiga hari sebelum ia meninggal. Aku tidak sempat berpisahan dengannya. Obrolan terakhir kami pun tidak jauh dari Hyuuga dan perusahaan.”
Hinata menatap wajah Hanabi dari samping. Matanya terlihat terluka.
“Kau masih mending. Aku melihatnya terakhir kali saat awal desember.” Hinata menengadahkan kepala, menatap langit-langit. Ia memejamkan matanya yang terasa perih.
“Aku menolak menemuinya saat itu. Bisa kau bayangkan? Bagaimana orang-orang akan bergosip saat aku menemui pria paruh baya di dalam club?” Hinata tersenyum simpul tapi sudut matanya mulai basah. “Andai aku tahu, aku pasti akan menerima hadiah ulang tahun darinya secara langsung.”
Hinata mengangkat tangannya menuju kepalanya. Ia menyentuh sebuah jepit kecil sederhana berwarna ungu muda. Hanabi baru sadar kalau ia sering melihat Hinata memakai jepit tersebut. Ia kira itu hanya aksesoris koleksi Hinata saja. Soalnya, dilihat dari manapun jepit-jepit tipis yang agak panjang dan sedikit bergelombang itu terlihat seperti jepit rambut murah di pinggir-pinggir jalan.
“Hei.” panggilan Hanabi membuat Hinata membuka mata dan menoleh padanya. “Terima kasih sudah mengajakku bicara duluan, Hinata.”
Hanabi tersenyum lembut. Hinata ikut tersenyum. Rasanya hangat. Apa karena sudah akan masuk musim panas, ya?
“Sama-sama. Itu yang seharusnya dilakukan seorang kakak, ‘kan?”
“Hah? Kau? Kakak?” Hanabi mengernyit.
“Iya. Kalau kau lupa, kata ibu aku lahir lima menit lebih dulu.” Hinata berkata dengan lenggang.
“Yang artinya kau itu adik! Ibu ‘kan juga bilang kalau kakak selalu mendahulukan adiknya. Makanya aku mendorongmu duluan ke luar.”
“Ah, itu sih cuma mitos saja.”
“Benar kok!” Hanabi berdecih. “Sudah diputuskan kalau aku kakak dan kau adiknya, Hinata!”
Hanabi menggerutu kecil pada Hinata yang menggodanya. Mereka bertikai konyol pagi-pagi di kebun. Pemandangan itu tidak luput dari sosok beriris amethyst yang memerhatikan dari depan pintu. Sasuke benar, ada hal lain yang musti dijaga.
.
.
.
To be continue...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰