
Momen panas kasus grup ‘Perkumpulan Calon Pendamping Mr Sasuke’.
Look and Lock 14-16
by
acyanokouji
All Naruto’s characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple, lemon!
.
.
“Tuan, bangunlah.” Seseorang menggoyang-goyangkan tubuh Naruto yang tertidur di atas meja makan. “Hmn...” Naruto bergerak pelan dengan sebelah tangan yang menumpu tubuhnya. “Maaf, Hinata...” racaunya.
Orang yang menggoyangkan tubuh Naruto mengernyit heran mendengar racauan Naruto. “Hinata?” ujarnya bingung. Lalu, tiba-tiba ia mengingat sosok perempuan yang tadi menemani pelanggannya memesan makanan. “Tuan, tolong bangun. Kami sudah akan tutup!” kali ini ia menggoyangkan tubuh Naruto lebih keras.
“Ayame, apakah orang itu belum bangun?”
Mendengar namanya dipanggil, Ayame menghentikan gerakan tangannya. Ia mendongak sebentar pada pria paruh baya yang menyembul dari pintu dapur. “Belum, Paman Teuchi.” jawab Ayame. “Coba kau cek telepon genggamnya. Hubungi saja kenalan atau polisi yang bisa membantu.” Paman Teuchi pergi memasuki dapur, kembali berbenah kedainya.
“Ah, benar.” Ayame segera mencari gawai Naruto yang untungnya sedang tergeletak di samping tangannya yang terulur di atas meja. Mengabaikan racauan Naruto yang terus menggumamkan kata-kata yang sama, Ayame meraih gawai Naruto yang menyala. “Eh, siapa ini?”
Alis Ayame mengernyit. Layar gawai Naruto menampilkan galeri foto seorang perempuan dari samping. Perempuan itu memakai sejenis bikini berwarna hitam. “Bukankah ini perempuan yang tadi?” gumam Ayame. Mengalihkan pandangannya sedikit, Ayame teringat sesuatu. “Baju ini? Bukankah...”
“Hinata, maafkan aku...”
Racauan Naruto kembali terdengar. Ayame melirik wajah mabuk Naruto yang terlihat menyedihkan. “Kasihan sekali.” ibanya. “Yah, bagaimana lagi? Perempuan cantik itu terlihat tidak tertarik padamu, Tuan.” suara helaan napas terdengar darinya. “Apalagi dengan tubuhnya yang seksi bak model ini, sudah jelas banyak lelaki yang mengincarnya.” Tiba-tiba Ayame termangu, mulutnya terbuka sedikit. “Model lingerie?”
“Ayame, kau sudah menghubungi polisi?”
Paman Teuchi kembali menyahut dari dapur, menyadarkan Ayame yang tengah terkejut. “Ya, Paman, sebentar!” balas Ayame dengan suara agak lantang. Dengan sedikit terburu, Ayame mengeluarkan gawainya yang ia sembunyikan di balik apron. Membuka aplikasi kamera dan memotret foto yang terlihat di layar gawai Naruto. Sebelum Paman Teuchi keluar, Ayame segera menghubungi kontak cepat kantor kepolisian dan menaruh gawai Naruto ke tempat semula.
“Dasar, bukankah aku sudah bilang untuk meninggalkan telepon genggammu saat bekerja?” Paman Teuchi melirik Ayame dari ujung matanya. Setelah polisi datang, ia tahu jika Ayame menghubungi panggilan cepat menggunakan gawainya, bukan melalui gawai si pelanggan mabuk.
“Maaf, Paman. Aku tidak akan mengulanginya.” Ayame berkata tanpa menoleh. Matanya fokus memerhatikan Naruto yang tengah mengamuk karena dipaksa ikut ke kantor kepolisian. “Tidak! Aku tidak mau ikut! Aku hanya ingin menemui Hinata!” Naruto berteriak-teriak sembari berusaha melepaskan diri dari tarikan polisi muda yang akan memasukkannya ke dalam mobil.
“Tuan Naruto Uzumaki, tolong bekerjasamalah dengan kami.” Polisi muda bernama Hidan kembali menarik Naruto lebih keras lagi. Sungguh pemandangan yang membosankan untuk pria paruh baya seperti Paman Teuchi.
Paman Teuchi menghela napas kasar. Bukannya tidak biasa, hanya saja ia lelah dengan pelanggan merepotkan yang berulang. Mustinya ia segera sadar saat salah seorang pelanggan memesan sake berbotol-botol di saat yang sama. “Ayame, ayo kembali. Beres-beres kedainya belum selesai.” Paman Teuchi berbalik ketika mobil polisi akhirnya mulai melaju.
“Ya, Paman. Aku segera menyusul.” Ayame menanggapi seadanya. Matanya masih fokus memerhatikan mobil polisi yang perlahan berjalan meninggalkan kedai. “Naruto Uzumaki, ya?” gumamnya pelan.
.
.
Esoknya, saat Ayame mendapatkan jatah liburnya dari kedai tempatnya bekerja, Ayame membuka laptop sembari menikmati salad makan siangnya. Ia membuka browser dan memasuki web facebook. Sambil menyesap teh diet dinginnya, Ayame mengetik menggunakan satu tangan. Naruto Uzumaki.
Begitu menekan enter, muncul satu akun profil dengan nama dan wajah yang persis diingatnya semalam. Menaruh gelas di atas meja, Ayame melihat-lihat beranda profil Naruto. “Aku benar-benar tidak bisa melupakanmu?” kata Ayame membaca salah satu status terbaru dari Naruto. Penasaran, Ayame melihat komentar dari postingan tersebut.
Ada tiga komentar. Pertama adalah komentar dari akun bernama Konan: Kau ingin melupakanmu? Yang dibalas oleh Naruto: Tentu bukan tentangmu, sayang. “Sayang?” Ayame mengernyit sembari menyuap menu makan siangnya. Lalu, matanya membaca komentar di bawahnya dari pengguna bernama Haku: Dasar belum move on! Berhenti memikirkan wanita lain, Naruto! Atau aku akan merebut Konan darimu! Tersemat emoji marah di sana.
Oh, ternyata masalah cinta-cintaan. Ayame membatin dengan mulut penuh. Ia mengedikkan bahu dan mencari daftar teman dari akun Naruto. Mengetik nama Hinata hingga akhirnya muncul satu akun yang langsung Ayame lihat profilnya.
Akun bernama Hinata Hyuuga itu cukup rapi dibandingkan akun Naruto Uzumaki yang banyak mengunggah status dalam waktu dekat. Terakhir postingan fotonya adalah satu bulan yang lalu. Unggahan foto Hinata yang memotret tubuhnya di depan kaca dengan balutan kemeja dan rok span. “Hari pertama magang di perusahaan Uchiha,” adalah tulisan yang mendampingi unggahan foto tersebut.
Ayame hampir saja tersedak salad yang sedang dikunyahnya. Setelah berhasil menelan sayuran, ia segera bangkit dan berlari menuju lemari bajunya. Duk. Ayame sedikit meringis karena kakinya tersandung ujung meja. Tapi, Ayame berusaha untuk mengabaikan rasa sakit di kakinya dan segera membuka lemari, mencari-cari sesuatu. “Sudah kuduga.” gumamnya sembari mengeluarkan lingerie hitam dari dalam lemari.
Sejak melihat foto Hinata semalam, Ayame jadi gundah. Ia adalah satu dari puluhan ribu anggota grup ‘Perkumpulan Calon Pendamping Mr Sasuke’. Jangan bertanya bagaimana Ayame bisa bergabung dan menjadi penggemar bungsu Uchiha yang masih lajang itu. Memangnya siapa di kota ini yang tidak kenal dua Uchiha bersaudara?
Kisah gadis sederhana yang bekerja di kedai ramen. Lalu jatuh cinta pada pengusaha kaya dan maha tampan. Siapa yang tidak ingin hidupnya seperti itu?
“Ini pasti kebetulan.” Ayame berujar, coba berpikiran positif meskipun dahinya sudah berkerut. “Tidak mungkin perempuan lugu sepertinya jadi model lingerie, ‘kan? Apalagi memiliki hubungan dengan Sasuke Uchiha.” Ia manggut-manggut, mencoba menghilangkan kecurigaannya. “Tapi...” Ayame meremas lingerie yang dibelinya bulan lalu. Baju yang sengaja ia beli karena melihat Sasuke Uchiha memegangnya. “Aku harus memastikannya.”
Dan di sinilah Ayame. Minggu depannya ia pergi mengunjungi toko lingerie tempatnya membeli bulan lalu. Meskipun hanya tamat SMA, Ayame tidaklah bodoh. Ia berpikir, “pabrik tidak hanya memproduksi satu baju, ada banyak toko lingerie di Tokyo. Jadi, kemungkinannya sangat kecil kan untuk semuanya terhubung?” gumaman-gumaman memenuhi otaknya. Kendati demikian, ia tetap datang dan memasuki toko tersebut.
“Selamat datang di toko Yama Nyang! Kami memiliki semua barang yang akan menaikkan gairah seksualmu! Silakan melihat-lihat, Nyangh~”
Berbeda dengan bulan lalu, toko lingerie terdekat dari flat-nya lebih sepi sekarang. Hanya ada tiga sampai empat orang. Menutupi kegugupannya, Ayame bertingkah seolah melihat-lihat katalog baju lingerie perempuan. “Oh, mereka sudah mengisi stok lingerienya lagi.” gumam Ayame pelan. Ia melihat rak yang setengahnya terisi lingerie hitam model bikini. Mendongak sedikit, pigura foto model lingerie pun masih terpasang. Samar di telinganya, suara pengeras dari pintu masuk toko kembali terdengar.
“Hinata, kau sudah tiba?”
Mata Ayame sedikit melotot ketika pendengarannya menangkap nama yang tak asing. Dengan cepat ia menoleh, menemukan perempuan pirang panjang yang menghampiri perempuan berambut gelap yang baru memasuki toko. Itu dia, Hinata yang itu.
“Kau ingin mengambil lingerie yang kau bilang, ‘kan?” tanya Ino memastikan. “Kak, pelan-pelan.” Hinata menoleh ke kanan-kiri, memastikan obrolannya tak terdengar orang lain. Sedangkan Ino tertawa pelan melihat reaksi Hinata. “Tenang saja, Deidara sedang pergi.” katanya sembari menepuk pelan bahu Hinata.
“Tunggu sebentar, aku akan mengambilnya di dalam.” Kemudian Ino pergi ke belakang. Hinata yang ditinggal sendirian mulai bergerak gusar. Ia pergi mendekati salah satu rak, melihat-lihat dengan niat agar tidak terlihat canggung. Niatnya memang begitu, tapi ia malah semakin gugup karena tidak sengaja melihat model vibrator yang pernah Sasuke pakai padanya.
Plak. “Sadar, Hinata. Jangan mengingatnya terus!” Hinata menepuk pelan pipinya, mengingatkan diri agar tidak kembali pada hari-hari panasnya bersama Sasuke.
Hinata tidak sadar. Semua gerak-geriknya diperhatikan oleh seseorang. Bahkan, orang itu telah berada di sampingnya, mendengar gumaman pelan Hinata untuk dirinya sendiri.
“Hinata, ini.” Ino kembali dengan tas kain berwarna hijau, menarik perhatian Hinata untuk berbalik ke arahnya. “Aku masih menyimpan lingerie yang kau pakai saat pemotretan. Atau kau mau mengambil stok baru dari pabrik? Kami sudah mengisi ulang stoknya.” tawar Ino sembari mengulurkan tas kain tersebut.
“Ah, tidak usah, Kak. Aku akan mengambil yang ini saja.” Hinata meraih uluran tas dari tangan Ino. Perempuan pirang itu mengangguk sebelum menyeringai ke arahnya. “Mau kau apakan lingerienya, Hinata? Bukannya kau tidak suka memakai lingerie? Atau kau sudah menemukan alasan untuk memakainya?”
Ino menggoda Hinata, ia berbisik pelan dengan tubuh yang dicondongkan. “A-Aku hanya akan pergi berlibur ke pantai bersama Kak Temari.” Hinata balas berucap pelan, agar tak terdengar orang lain. “Benarkah? Hanya dengan Temari?”
Tidak semudah itu lepas dari Ino. Perempuan pirang itu mengangkat sebelah alisnya dengan senyuman culas. Tentu sebenarnya duo Yamanaka memiliki tingkat kemesuman yang tak jauh beda. Sebut saja karena gen, untungnya Ino masih tahu batasan dan sopan santun.
“Hahaha, maaf, Hinata. Aku akan berhenti.” Ino memundurkan tubuhnya. “Yasudah, selamat menikmati liburanmu di pantai ya, Hinata.” Ia memegang kedua bahu Hinata. “Tapi kusarankan, pakai lingerie saat berada di kamar saja bersama pasanganmu. Jangan memakainya ketika pergi ke pantai, Hinata.”
Ucapan Ino memang terdengar seperti nasihat, tapi Hinata tahu betul jika itu hanya godaan lain untuknya. Jelaslah Hinata akan memanggil nama Ino dengan sedikit nada kesal. “Hahahaha, iya, iya. Aku akan benar-benar berhenti.” Ino melepaskan pegangannya di kedua bahu Hinata. “Tapi janji, setelah berlibur kau harus cerita padaku, Hinata! Aku tidak ingin kalah dari Shikamaru!”
Sampai mengantar Hinata ke depan pintu toko, Ino masih berusaha mendesak Hinata agar bercerita. Dari obrolannya dengan Shikamaru minggu lalu, katanya Hinata sudah punya pacar baru. Tentu saja Ino sangat bersemangat. Sosok yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu sangat menyenangkan untuk digoda.
“Permisi, bisa aku bertanya sebentar?” begitu kembali dari mengantar Hinata, Ino dicegat seseorang dengan rambut coklat lurus panjang. Saking asiknya, Ino baru sadar jika ada seseorang di dekat ia dan Hinata tadi berdiri. “Oh, ya, ada yang bisa aku bantu, Nona?” Ino bertanya ramah, kembali ke mode layanan sebagai pemilik butik.
“Aku ingin bertanya, apakah pernah ada laki-laki tinggi berambut gelap dengan gaya rambut agak mencuat datang ke tokomu? Aku mendengar dari sepupuku kalau suamiku membeli lingerie untuk wanita lain.”
Ino mengernyit dalam. Baru kali ini ia tahu lingerie bisa menjadi masalah dalam rumah tangga. “Ah, maaf, Nyonya. Setiap hari kami mendapat pelanggan yang berbeda. Mengenai masalah perselingkuhan suami Anda yang mungkin terjadi, kami rasa itu tidak ada sangkut pautnya dengan toko kami.” Ino berusaha menanggapi dengan sopan agar tidak menyinggung dan tetap meluruskan posisi usahanya. “Oh, begitu?”
Perempuan berambut coklat itu menolehkan kepalanya dan mengangkat tangan. “Atau mungkin kau bisa menjawab saja. Apakah pernah ada lelaki tampan yang membeli lingerie itu bulan lalu?” Ino mengikuti arah telunjuk pelanggannya. Lingerie hitam model bikini, sama seperti lingerie yang ia berikan pada Hinata tadi. Seketika ingatan Ino melayang pada pelanggan pertama pembawa berkahnya. “Ya?” Ino menjawab ragu.
“Baiklah, itu sudah cukup.” Si pelanggan menurunkan tangannya. “Oh, bisa aku tanya nama model yang memakai bikini itu? Kurasa badannya sangat indah. Mungkin ia bisa aku rekomendasikan pada adik iparku yang bekerja di dunia fashion.”
Ino mengangkat alisnya cukup tinggi. Sedikitnya ia merasa curiga. Namun, ini bukan kali pertama seseorang bertanya tentang sang model. “Maaf, Nyonya. Kami tidak bisa memberitahukan identitas sang model karena kami memakai jasa model sekali pakai. Selain itu, merahasiakannya sudah masuk ke dalam perjanjian kami.” Dengan tenang, Ino menjawab seperti biasa. “Begitu, ya? Hanya model sekali pakai?” perempuan berambut coklat menunduk sembari sedikit mengangguk. “Baiklah, kalau begitu aku permisi.”
Ino memerhatikan pelanggannya yang berjalan keluar. Masih dengan tatapan curiga, Ino melihat tubuhnya dari atas ke bawah. Bicaranya sangat tenang dan hati-hati, seperti seseorang yang sudah sering berlatih. Tapi, dari penampilannya sedikit meragukan. “Apa benar ia dari keluarga kaya?” cibir Ino pada sweater dan jeans pendek yang sudah agak luntur.
“Selamat datang di toko Yama Nyang! Kami memiliki semua barang yang akan menaikkan gairah seksualmu! Silakan melihat-lihat, Nyangh~”
Meskipun keluar dari toko, suara dari pengeras di atas pintu tetaplah sama. Ayame pun masih mengingatnya dengan jelas. Setelah sedikit akting untuk mengulik informasi, Ayame memandang seorang perempuan yang menaiki mobil hitam. Oh, tentu kini Ayame sudah tahu jawabannya. Kemungkinan kecil yang terwujud. “Jadi, mereka akan pergi ke pantai?”
.
.
TINNNNNN
Bunyi klakson mobil yang cukup nyaring terdengar. Perempuan dengan hoodie dan masker hitam tampak terkejut ke arah mobil fortuner berwarna hijau tua. “Woy, berengsek! Jangan melamun di tengah jalan dong!” sang pengemudi beralis tebal menyembul dari jendela mobil yang terbuka, membuat si perempuan berhoodie semakin shock.
“Eren, jangan berteriak seperti itu pada orang asing.” Perempuan berambut pendek yang duduk di sampingnya bicara dengan tenang pada di pengemudi. Eren, si pengemudi fortuner hijau, menoleh pada perempuan di sampingnya. “Mikasa, ini salah perempuan berengsek itu yang menyebrang tiba-tiba!” katanya tidak terima.
“Oi, oi, Eren. Watch your language please.” Seseorang menyahut dari kursi belakang. Wajah panjangnya menatap malas pada Eren. “Berisik kau, Jean! Kalau bukan karena alarm sialanmu itu, kita pasti tidak akan terlambat!” kini Eren sedikit berbalik ke belakang.
“Hah? Bangsat, kau masih mau mengungkitnya?!”
Jean ikut tersulut emosi sekarang. Mereka berdua saling melemparkan cacian satu sama lain di jalanan yang lenggang. “Eren!” Mikasa kembali memanggil nama Eren sedikit lantang, memecah keributan antara Jean dan Eren. Sambil berdecak, Eren menatap Mikasa dengan tatapan penuh tanya. “Perempuan itu sudah pergi.” Mikasa bicara lagi dengan suara lebih santai. Setelah menoleh, Eren mendapati di depan mobilnya sudah tidak ada perempuan berhoodie. Masih sembari mengomel, Eren kembali melajukan mobilnya menuju tempat pertemuan.
Sementara itu, si perempuan berhoodie sedikit terengah tiba di bawah pohon tempatnya menginap. Menurunkan tudung hoodie-nya, rambut coklat Ayame sedikit terlihat. “Mataku sakit sekali.” Ayame menutup kedua matanya dengan sebelah tangan selama beberapa detik. Lalu, ia membuka air mineral dingin yang dibelinya dari seberang. Menurunkan masker wajahnya sedikit, Ayame meneguk air sedikit terburu sebelum menghela napas lega.
“Apa mereka belum bangun?”
Ayame menatap kondo yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kemarin, semalaman ia mengintai mobil Sasuke Uchiha. Merelakan waktu liburnya untuk satu bulan, Ayame putuskan untuk menguntit pasangan yang ia harap tidak benar adanya. Saat hendak membuka camilan diet yang dibelinya di supermarket, Ayame bisa melihat tirai kondo lantai dua yang terbuka.
Dengan terburu Ayame segera menaruh camilan yang dipegangnya. Secepat mungkin ia memakai kembali masker dan tudung hoodie untuk menutupi dirinya. Bermodal kemampuan zoom dari gawainya, Ayame mengarahkan pada tirai yang terbuka. “Itu Sasuke!” gumamnya pelan sedikit antusias.
Pria raven itu terlihat tampan di pagi hari. Matanya sedikit menyipit karena silau. Bisa Ayame lihat wajah Sasuke yang sedikit mengernyit. Hampir ia merasa takut dirinya yang ada di pohon halaman ketahuan. Namun, seperti Sasuke tak menyadarinya, pria itu terlihat menoleh ke samping.
Ayame penasaran dengan apa yang Sasuke lihat. Tak berselang lama, ia melihat sosok lain yang ditarik oleh Sasuke. Ayame hampir saja memekik karena menyadari apa yang dilihatnya. “I-itu benar-benar mereka!” hatinya mencelos. Masih sedikit pusing karena tidurnya tidak benar, Ayame disuguhkan pemandangan dua sejoli yang tengah berciuman.
Sedikit gemetaran dengan mata melotot, Ayame mengambil foto jarak jauh dari aktivitas Sasuke dan Hinata. Di balik masker, mulutnya menganga tak menyangka. Sasuke Uchiha, pria idaman yang dikenal dingin dan pendiam itu berciuman dengan orang lain di depan matanya. Tidak benar-benar di depan matanya sih, tapi tetap saja, ketika dilihatnya Sasuke menarik lengan si perempuan menjauhi jendela, ia tahu jelas apa yang akan terjadi.
Ayame tidak tenang selama berhari-hari. Hatinya patah oleh laki-laki yang bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Sambil termenung di minggu tengah malam, Ayame mengusap air matanya yang keluar tanpa suara. Sudah cukup ia melamun, saatnya ia melakukan sesuatu. “Sasuke Uchiha itu, milik bersama.”
Membuka kembali browser web facebook, Ayame masuk dengan akun samaran yang khusus ia buat untuk mengikuti keluarga Uchiha. Di senin subuhnya, Ayame putuskan untuk mengungah sesuatu pada grup ‘Perkumpulan Calon Pendamping Mr Sasuke’. Satu, dua, tiga. Tiga foto dipilihnya untuk disebarkan pada lebih dari dua puluh ribu anggota. Ayame mengepalkan tangan dengan rahang mengeras sebentar. Kemudian, sepuluh jarinya mulai mengetik. “Wakil Direktur Uchiha memiliki hubungan dengan karyawan magangnya. Kalian kenal? Ya, Hinata Hyuuga dari Divisi Keuangan yang ternyata adalah seorang model lingerie.”
.
.
Itachi menegakkan tubuhnya, sedikit membuat kursi kerjanya mundur karenanya. Grup yang iseng dibuatnya ramai, sangat ramai melebihi biasanya. Ribuan komentar tersemat di dalam postingan terbaru tersebut. Dengan terkejut, Itachi membuka komentar-komentar yang muncul.
Pengguna 1: Bohong. Sasuke sudah punya kekasih?! Lalu untuk apa ada grup ini?
Pengguna 2: Aku tidak peduli, tapi model lingerie? Serius? Namanya saja aku tidak tahu. Yakin bukan wanita panggilan?
Pengguna 3: Wow. Bukankah ini terlalu vulgar? Uchiha seperti menggali kuburan mereka sendiri.
Penguuna 4: Haha. Pantas saja Sasuke terobsesi pada lingerie akhir-akhir ini.
Pengguna 5: Mengerikan. Ini sudah tahap penguntitan, ‘kan?
Lima komentar teratas menjadi highlight di mata Itachi. Kelima komentar tersebut memiliki jumlah suka dan balasan yang ramai juga. Tak sedikit komentar lain tentang ketidaklogisan grup yang mereka masuki ini. Sebagian yang lain masih membela Sasuke. Bersimpati karena menjadi korban dari adanya grup dan kasus penguntitan ini. Itachi sendiri, ia mulai merasa kejahilannya terlalu berlebihan.
BRAK
Pintu kerja Itachi dibuka paksa. Dari balik pintu muncul Sasuke yang terengah dengan wajah marah. “Apa ini, Itachi?!” kesal Sasuke. “Karin menunjukkan sesuatu padaku. Bukankah ini ulahmu?!” Sasuke mengangkat ponsel dengan layar menyala. Menyodorkannya pada Itachi yang sedikit tersentak. “Apa ini keisenganmu yang lain?!”
“Sasuke, tenanglah.” Itachi berdiri setelah sekilas melirik layar ponsel yang disodorkan oleh Sasuke. Ya, postingan yang sama dengan yang ia lihat barusan. “Ini bukan ulahku. Aku tidak tahu apa-apa.”
“Tidak tahu?!” Sasuke segera menyahut. “Kau tidak tahu atas grup yang kau buat sendiri?!” wajahnya yang biasa dingin kini sukses mengernyit sempurna. “Bukankah aku sudah bilang untuk berhenti menjahiliku? Aku baru mulai menikmati hidupku, Kak.”
Nada suara Sasuke yang melembut dan sedikit bergetar membuat Itachi merasa bersalah lagi. Entah siapa pelakunya, sudah pasti orang yang paling tidak menginginkan Sasuke bahagia. “Sasuke, bisakah kau tenang? Aku juga baru tahu barusan, tepat sebelum kau masuk.” Itachi bergerak perlahan, menuju sang adik. “Kau harus tenang agar kita bisa membicarakan ini sama-sama.”
“Ah, benar. Kau ingin minum?” tawar Itachi. Pria itu segera bergerak menuju dispenser air khusus di ruangannya. Menyiapkan satu gelas kosong dan mengisinya. Lalu, ia menyerahkan gelas tersebut pada Sasuke. Dengan kasar, Sasuke meraih gelas yang Itachi sodorkan dan meminumnya tak sabaran.
Masih dengan posisi berdiri, Sasuke mengembalikan gelas pada Itachi setelah meneguk habis isinya. “Kalau bukan kau, siapa lagi, Kak?” Sasuke kembali membahas topik pembicaraan. “Lebih penting, kenapa grup konyol itu masih ada? Aku sudah punya Hinata. Kau tahu, ‘kan?”
Benar. Salah Itachi karena pria itu lupa. Mustinya tepat setelah Sasuke mengenalkan Hinata padanya, Itachi langsung menghapus grup yang dibuatnya awal tahun baru itu. Grup yang awalnya ia iseng buat untuk membagikan fakta-fakta tentang sang adik. Siapa tahu bisa menyaring calon adik iparnya, pikir Itachi saat itu. Sembari kembali menaruh gelas di tempat semula, Itachi berpikir, kira-kira kenapa ya ia sampai lupa?
“Kalau itu, aku mengaku. Itu salahku karena lupa menghapusnya. Maafkan aku, Sasuke.” kata Itachi tulus. “Terus terang aku baru tahu dan belum mencari tahu lebih jauh tentang foto yang beredar. Kalau fotomu yang tiduran memang ulahku, aku minta maaf. Tapi soal Hinata, aku tidak tahu menahu.” Itachi mengedikkan bahu. “Aku bahkan tidak tahu soal keberadaanmu di luar rumah, selain kantor. Tidak mungkin aku menguntitmu ‘kan? Kurang kerjaan. Ingat, kakakmu itu seorang direktur.”
Sasuke berdecak sebal. Kakaknya memang banyak bicara, tentu selalu disertai nasihat dan kadang terselip kesombongan. “Lalu kenapa itu bisa terjadi?” Sasuke masih tidak terima. Ia benar-benar marah atas apa yang terjadi. Ia bahkan belum tahu apa yang dilalui oleh Hinata saat ini.
Itachi menggeleng pelan. “Kita cari tahu pelakunya. Lalu, laporkan atas pencemaran nama baik dan kasus penguntitan. Ini bukan hanya soal kau dan Hinata, Sasuke. Ini juga berhubungan dengan perusahaan. Sepertinya kita harus menghubungi Lee.” Itachi menyandarkan tubuhnya pada dispenser. “Apa kau tahu kira-kira siapa pelakunya?” gelengan pelan diterima Itachi. “Yasudah, kita diskusikan dengan Rock Lee nanti. Mengenai Hinata, kau sudah dapat kabar darinya?” gelengan lain diterimanya. Itachi menghela napas pelan.
“Kurasa sebaiknya Hinata jangan tahu. Masalah ini, bisa kau bantu aku menyelesaikannya, Kak?” Itachi mengangkat sebelah alis. “Aku ragu bisa menyembunyikan masalah ini. Hinata itu pasanganmu, kalian harus terbuka satu sama lain. Selain itu...” Itachi menanggalkan ucapannya. Ia menimbang-nimbang, haruskah ia bilang jika para karyawannya kebanyakan adalah anggota dari grup konyol itu?
“Sasuke! Kau di sini?”
Panggilan seseorang dari arah pintu menyelamatkan Itachi. Pria berambut merah berjalan dengan terburu setelah menengok dari pintu yang terbuka. “Gaara?” Sasuke berbalik, ia mengernyit mendapati sahabat merahnya. “Kau sudah tahu? Soal foto...” dari raut wajah duo Uchiha, sudah pasti Gaara tahu jawabannya. “Kacau. Karyawanku sangat gaduh pagi ini. Dan Hinata Hyuuga–”
“Ada apa dengan Hinata?” Sasuke memotong ucapan Gaara dengan terburu. Pria yang baru memasuki ruangan kerja Itachi itu menarik napas dalam. “Magangnya terancam diberhentikan. Ia sekarang dipaksa pulang oleh divisi HR.”
.
.
“Hinata Hyuuga? Bisa ikut ke ruangan saya sebentar?”
Harusnya Hinata tahu, diminta datang ke ruangan HR saat periode magangnya baru setengah jalan adalah sebuah musibah. Terbukti sekarang ia sedang berada di ruang rapat divisi HR di perusahaan. Bukan dalam sembarang posisi, Hinata berasa tengah disidang karena dikelilingi oleh para petinggi manajemen bidang SDM.
“Hinata Hyuuga, saya tidak akan berbasa basi. Apa kau tahu masalah tentang foto ini?” manajer umum bidang SDM menyodorkan gawainya yang menyala. Menampilkan tangkapan layar dari postingan grup facebook yang membuat Hinata melotot. Napas Hinata tiba-tiba tercekat, melihat dirinya sendiri pada foto yang ia tidak tahu dari mana asalnya. Mungkinkah, salah satu foto itu yang dilihat oleh kakaknya?
“Hyuuga?”
Sesama memakai kacamata, manajer SDM kembali memanggil Hinata karena perempuan itu masih mematung. “Ti-tidak.” Hinata menjawab dengan cicitan pelan. Tenggorokannya terasa sakit sekarang. Semuanya terjadi sangat cepat. Rasanya kepala Hinata mulai pening sekarang.
“Apakah benar, sosok perempuan yang ada dalam foto itu adalah dirimu?” Hinata mendongak, menatap mata atasannya. Melirik sedikit melalui ujung matanya, Hinata bisa melihat tatapan tajam dari atasan-atasannya yang lain. Kembali bicara soal foto, jika tidak salah ingat sepertinya salah satu foto adalah saat ia melakukan pemotretan. Sedang foto yang lain, apa itu aku dan Sasuke? Seketika Hinata kembali terkejut. Otaknya memproses rasa takut karena merasa diikuti. “Y-ya...” Hinata kembali menjawab dengan tercicit.
“Nyonya Tsunade, bisa kau lebih tegas padanya? Kalau harus menunggu ia menjawab lama, ini tidak akan cepat selesai.” Seorang pria agak berumur ikut terlibat bicara. Mata coklatnya menatap kesal dan tak sabaran pada manajer SDM yang bersikap lembut pada Hinata. Tsunade Senju, perempuan berusia empat puluh tahunan itu menghela napas dan melepas kacamatanya. “Konan, kau saja yang tanya-tanya padanya.”
Tsunade menatap anggota HR yang Hinata kenal. Itu adalah perempuan yang mewawancarai Hinata dulu, perempuan yang sama yang meminta Hinata datang ke ruangan HR. “Hinata, bisa kami tahu apa hubunganmu dengan Wakil Direktur?” Hinata meremas rok spannya. Meski hubungannya benar-benar baru, ia tidak boleh ragu kan?
“Kami berpacaran.” jawaban Hinata memicu keributan. Lima orang atasannya mulai berbisik-bisik pelan hingga Tsunade berdeham dan menghentikannya. “Benarkah? Sejak kapan kalian berhubungan? Bukankah saat wawancara kau bilang kurang mengetahui perusahaan selain dari senior di kampusmu?”
Sebenarnya Konan sedikit percaya tak percaya saat membaca isi grup whatsapp-nya pagi tadi. Ia ingat betul dengan Hinata, salah satu mahasiswa magang yang ia wawancarai langsung. Jika tidak salah, ketua divisi tempatnya ditempatkan pun sempat memujinya saat bertemu dengan Konan. Jadi berita ini tentu mengejutkan, apalagi dengan wakil direktur.
“Kami...” Hinata menimbang-nimbang dengan jawaban yang akan diberikannya. Ia sadar, masalah ini bukan hanya tentangnya. Masalahnya kini cukup besar, melibatkan Sasuke dan mungkin perusahaan. “Kami memang sudah saling mengenal sebelumnya. Hanya saja belum sedekat itu. Dulu, Wakil Direktur yang merekomendasikan perusahaan ini padaku. Tapi kurasa aku tidak perlu mengungkitnya saat wawancara karena hal itu di luar urusan pekerjaan. Setelahnya kami menjadi lebih dekat dan memutuskan untuk mulai berhubungan serius.”
Benar kata orang tua zaman dulu, sekali kau berbohong, maka kau harus berbohong lagi seterusnya. Istilahnya, satu kebohongan memerlukan kebohongan-kebohongan yang lain untuk menutupinya. Tapi, berbohong di saat seperti ini bukankah diperlukan?
“Tapi seperti yang kubilang, hubungan kami murni terjadi di luar urusan pekerjaan. Selama ini aku melakukan pekerjaanku dengan jujur. Selain itu, masalah ini bukanlah kehendakku ataupun Wakil Direktur. Kami berdua adalah korban. Jadi, kumohon untuk mempertimbangkannya sebelum membuat keputusan.”
Para atasan mulai berbisik-bisik lagi setelah mendengar jawaban berani Hinata. Konan sendiri, ia mulai menoleh pada Tsunade. Meminta pertimbangan pada atasannya. Helaan napas panjang terdengar dari Tsunade. Ia adalah seorang atasan, tapi ia juga seorang perempuan. Pasti tidak mudah di posisi karyawannya itu saat ini. Perlahan, Tsunade kembali memakai kacamatanya.
“Hyuuga, kami akan berdiskusi lebih lanjut mengenai masalah ini dengan para atasan yang lain. Kami akan mempertimbangkan banyak hal untuk menanganinya. Jujur, masalah ini sudah didengar banyak orang dan orang-orang mulai membicarakan nama perusahaan. Magangmu akan kami pertimbangkan. Bisakah kau menyiapkan surat penyataan saat kami minta? Sebaiknya kau pergi pulang untuk hari ini. Kami akan memberimu izin.”
Hinata bisa merasakan tubuhnya bergetar. Ia benar-benar ingin menangis sekarang. Sudah tidak memikirkan apapun lagi, Hinata mengambil tote bag-nya dengan lemas. Panggilan dari seniornya, Kiba dan Matsuri, tak ia hiraukan. Semuanya terdengar samar, termasuk panggilan Sasuke yang secara terang-terangan mengikutinya sejak keluar ruang divisi keuangan.
“Hinata, bisakah kau berhenti? Ikutlah, aku akan mengantarmu pulang.” Sasuke menahan lengan Hinata yang hendak keluar lobby. Tindakannya membuat perempuan itu tersadar. Hinata menatap pelan tangan Sasuke yang menahan lengannya. Kemudian, ia menyentak pelan agar pegangan itu terlepas. “Bisa kau tinggalkan aku sendiri, Wakil Direktur? Aku benar-benar butuh waktu untuk sendiri sekarang. Juga, tolong jangan menambah rumor lain, ini masih di kantor.”
Sorot matanya jelas menyiratkan jika perempuan itu terluka. Sasuke tersentak. Ia marah besar pagi ini, tapi Hinata jelas lebih dirugikan daripada dirinya. Mengepal sebelah tangannya, Sasuke hendak bersuara sebelum gantian disela.
“Hinata!” Shikamaru muncul dengan terburu dari pintu masuk. Lelaki itu buru-buru datang sampai memarkirkan mobilnya di depan pintu. Ah, benar, Sasuke samar mendengar suara deru mobil dan ribut-ribut di luar.
“Kak Shika!” Hinata berbalik dan segera berlari kecil pada kakaknya yang berdiri di pintu masuk. Napasnya terdengar tidak stabil, Hinata menghamburkan diri ke dalam pelukan Shikamaru. “Maaf, maafkan aku, Kak. Maaf. Aku tidak tahu masalahnya akan seperti ini.” Hinata terisak pelan dalam pelukan Shikamaru. Kakaknya membelai pelan Hinata dengan sahutan lembut, berusaha menenangkan adiknya meskipun sudah pasti membuat sosok lelaki di depannya terbakar api cemburu.
“Ssst... tenanglah, Hinata. Kita pulang dulu. Kita bicarakan di rumah, ya.”
Oh, jangan tanya bagaimana Shikamaru bisa tahu. Ia yang bekerja di perusahaan penyedia jasa desainer dan programer komputer, sudah memulai proyeknya bersama perusahaan Uchiha. Jelas salah satu rekannya dari divisi IT perusahaan Uchiha yang heboh mengabarinya. Sebut saja Yamato, pria yang terang-terangan berkata akan menjilat kakinya sebagai calon kakak ipar adalah orang yang paling terkejut dengan masalah ini.
“Sasuke.” Sebuah suara pelan terdengar dari samping, begitu menoleh Sasuke bisa menemukan Gaara yang muncul entah sejak kapan. “Naiklah ke lantai sembilan, di ruang rapat 9E. Para petinggi dan kakakmu menunggu. Kita diskusikan bersama.”
Sasuke bukannya ingin lari dari tanggung jawab posisi kerjaannya. Ia sudah pasti ingin masalah ini cepat selesai. Tapi, sebagai seorang calon suami pun ia harus mendampingi Hinata. “Biarkan dia pergi bersamanya. Hinata pasti akan baik-baik saja.” Bersamaan dengan bisikan lain dari Gaara, Sasuke membiarkan Shikamaru membawa Hinata pergi.
.
.
PLAK
“Bodoh! Berengsek! Tolol! Berengsek!”
Kata-kata umpatan terus terdengar di ruang tengah apartemen Shikamaru. Bukan adik-kakak Hyuuga pelakunya, melainkan bungsu Yamanaka yang memaki kakaknya sendiri. “Aku tidak peduli kalau kau kakakku. Bukankah aku sudah bilang untuk menghapus foto-foto selain yang kita gunakan? Bagaimana bisa kau kecolongan?!”
Setelah mendengar kabar yang pasti sudah tersebar kemana-mana karena membawa nama perusahaan Uchiha, Ino dan Deidara pergi mendatangi apartemen Shikamaru. Mereka mendengar semua cerita yang terjadi, termasuk masalah Naruto yang membocorkan identitas Hinata pada Shikamaru. Dan foto yang tersebar, sudah pasti Ino mengenalinya karena ia melihat hasil jepretan Deidara dulu. Ia juga yang mengingatkan Deidara agar cukup mengambil satu foto saja.
“Ino, hentikan.” Shikamaru menahan lengan Ino yang hendak kembali menampar Deidara. “Lepas, Shika. Lelaki bodoh sepertinya memang pantas dihajar!” Shikamaru mengernyit heran. Sudah lama mereka berkawan tapi Ino tetap saja mengerikan. Memang ia harus berterima kasih kepada Tuhan karena diberikan adik yang lemah lembut seperti Hinata. Yah, meskipun terlewat berhati lembut sih.
“Tapi marah-marahmu tidak akan menyelesaikan masalah. Kita sudah dengar, Deidara tidak terlibat selain tak sengaja membiarkan Naruto melihat komputernya.” Helaan napas kasar terdengar dari Ino. “Lepaskan. Aku tidak akan memukul kakakku yang bangsat itu lagi.” Shikamaru sedikit ragu. Namun, ia putuskan untuk melepas tangan Ino.
Perempuan pirang itu berdecak sebal sembari menatap Deidara. “Sekarang aku harus bilang apa di depan, Hinata?” tanyanya penuh rasa kesal, malu, dan bersalah. Bersamaan dengan helaan napas Ino yang kedua kali, pintu kamar Hinata terbuka. Keluar Sasuke dari dalamnya. Oh tentu, beres rapat dadakan Sasuke segera pergi menyusul Hinata. Membiarkan Hinata menangis selama beberapa saat sebelum ikut masuk ke dalam kamar dan memeluk untuk menenangkannya. Ingat, hanya pelukan.
“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Shikamaru. Sudah lewat tengah hari. Hinata belum makan siang dan baik Shikamaru ataupun duo Yamanaka tidak ada yang bisa memasak. Andai Temari tidak sedang ada pemotretan ke luar kota. “Dia sudah mulai tenang. Aku menyuruhnya istirahat sambil memesan makanan online.”
Sasuke bergabung dengan yang lain. Ia duduk di ujung sofa sebelah Ino, menjadi penghalang agar perempuan itu tak lagi menyerang kakaknya yang duduk di kursi terpisah. “Perusahaan Uchiha, apa pendapat mereka tentang masalah ini?” Shikamaru kembali bertanya, baginya penting perusahaan mengambil posisi untuk masalah ini. Bukan hanya soal nama baik, pekerjaan Shikamaru juga bergantung pada keputusan ini.
“Para petinggi sepakat, ini adalah tindakan kriminal. Perusahaan akan ikut andil mengusut kasus ini. Tapi, yah... Itachi Uchiha kemungkinan akan memundurkan diri dari posisinya sebagai direktur.”
Ino mengernyit bingung sedangkan Shikamaru hanya manggut-manggut. “Apa kalian sudah akan mulai bertindak? Aku bisa merekomendasikan juniorku di perusahaan untuk ikut melacak.” tawar Shikamaru. Inginnya ia sendiri yang melacaknya tapi mendampingi Hinata adalah prioritasnya saat ini.
“Kami akan sangat terbantu. Aku akan menghubungi Rock Lee, salah satu pengacara kepercayaan kami.” Shikamaru berdeham menanggapinya, Deidara hanya terdiam karena masih merasa bersalah, dan Ino mengernyit semakin dalam. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
“Bicara soal pelaku penguntitan dan orang aneh, minggu lalu aku juga menemui orang yang mencurigakan. Seorang pelanggan wanita tiba-tiba tertarik dengan foto yang Hinata modeli. Ia bahkan bertanya soal suaminya yang dicurigai membeli lingerie untuk wanita lain.” Ino menoleh pada Shikamaru yang duduk di sampingnya. “Bagaimana menurutmu, Shika? Haruskah kita mencurigainya?”
Shikamaru tampak berpikir keras. Alis tipisnya menyatu sempurna. “Entahlah, aku bukan seorang detektif. Bagiku akan lebih mudah melacaknya melalui alamat IP akun facebook yang membuat postingan tersebut.” Kali ini Ino yang manggut-manggut. Tak lama, Sasuke berdiri dari duduknya. “Ada yang harus aku lakukan. Tolong jaga Hinata untukku.”
Inginnya Shikamaru balas menanggapi. Hinata bukan hanya milik Sasuke, mereka bahkan belum resmi menikah. Shikamaru juga masih kakaknya. “Ya, ya, pergilah...” Shikamaru menanggapi acuh tak acuh. Sepertinya ia perlu makan siang juga.
.
.
Sasuke menatap pintu rumah yang ada di hadapannya. Setelah mengetuk pintu sebanyak lima kali, sahutan terdengar dari dalam. Lalu, kenop pintu mulai bergerak dan terbuka ke arah luar. “Ya, dengan siapa?” seorang pemuda berpenampilan acak-acakan membuka pintu. Dilihat dari kaos polos dan celana santainya, sepertinya pemuda itu baru bangun tidur beberapa waktu yang lalu.
“Naruto Uzumaki?” sahutan terdengar dari depan Sasuke. “Namaku Sasuke Uchiha. Bisa kita bicara di dalam?”
.
.
“Naruto Uzumaki?” Naruto berdeham begitu namanya dipanggil. “Namaku Sasuke Uchiha. Bisa kita bicara di dalam?” begitu mendengar ucapan pria asing di depannya, Naruto mengernyit heran. Nama pria itu seperti tidak asing, terlebih marganya kalau tidak salah adalah Uchiha. Masih setengah sadar, Naruto memandang curiga. Uchiha? Uchiha yang mana?
“Maaf, ada perlu denganku? Kalau kau ingin menawariku asuransi, aku sudah mempunyainya dari bibiku.”
Naruto menunjuk dengan bahunya, seolah meminta pria asing bernama Sasuke Uchiha untuk segera pergi dari hadapannya. Sementara Sasuke masih berwajah datar meskipun ia merasa heran dan sedikit kesal.
“Aku Sasuke Uchiha, wakil direktur perusahaan Uchiha. Kalau kau lupa, bibimu, Karin Uzumaki bekerja denganku.”
Naruto berdeham heran sebentar. Mencoba memproses informasi sembari menggaruk lehernya. Beberapa detik setelahnya, Naruto membelalak. “Bosnya Bibi Karin?!” teriaknya agak histeris, bahkan mengagetkan anak tetangga yang sedang makan es krim sepulang sekolah. “Si-Silakan masuk, Tuan Uchiha.” Naruto menggeser tubuhnya dan membiarkan Sasuke memasuki kediamannya.
Suasananya sangat canggung. Sasuke dan Naruto duduk berseberangan. Pemuda pirang itu duduk gusar sembari merapatkan kakinya. Ia bingung dan takut di saat yang bersamaan. Bos bibinya datang, bagaimana bisa Naruto tidak berpikiran negatif? Dalam hati ia berdoa kepada Tuhan, katanya ia belum punya keponakan.
“A-Ah, apakah kau ingin meminum sesuatu? Aku tidak bisa menyajikan apa-apa selain soda dingin.” Naruto berusaha untuk mencairkan suasana. Masih dengan kedua kaki yang merapat dan menggaruk belakang lehernya, Naruto tertawa kikuk. “Boleh. Sekaleng soda dingin di siang hari tidak buruk juga.”
Naruto bangkit. Ia pergi ke dapur untuk mengambil dua kaleng soda dingin. Tapi sebelumnya, ia berhenti di kran air untuk membasuh wajahnya yang baru bangun tidur. Setelah kembali, Naruto menyodorkan satu kaleng dingin pada Sasuke. Kemudian, ia mulai membuka dan meminum kaleng soda untuk dirinya sendiri. “Ahhh segarnya!” Naruto menghela napas lega, kesadarannya telah kembali.
Suasananya sedikit lebih santai sekarang, Naruto duduk dengan dua kakinya yang agak berjarak. Di seberangnya Sasuke juga meminum kaleng soda dengan tenang.
“Ah, Tuan Uchiha. Maaf menyambutmu seperti ini. Pamanku sedang tidak di rumah dan bibiku juga seharunya bekerja di perusahaan Uchiha. Boleh kutanya maksud kedatanganmu? Apa sesuatu terjadi pada bibiku?” tanya Naruto setelah menaruh kaleng soda yang sisa setengah di atas meja. Kali ini, ia kelihatan lebih fokus dan serius.
“Tidak ada. Bibimu baik-baik saja.” Naruto menghela napas lega, pikirannya tidak benar. “Aku datang ke sini sebagai kekasih dari Hinata Hyuuga.” pandangan Naruto yang sebelumnya menunduk pun terangkat. Matanya membola, melebihi sebelumnya.
“Aku sudah punya pacar.”
Ingatannya kembali pada ucapan Hinata lalu. Mulut Naruto sedikit terbuka-tertutup selama beberapa saat. “Jadi, itu benar?” gumamnya pelan sembari tersenyum miris. “Aku ke sini untuk menemuimu, Naruto. Kudengar kau adalah mantan pacar Hinata dulu.”
Naruto mengambil napas panjang. Ia balas menatap Sasuke yang ada di depannya. Suasana di antara keduanya kini malah kembali memburuk. Lebih dari canggung, terasa sedikit sengit. Sekilas Naruto mengernyit, bertanya tentang alasan kekasih baru Hinata datang menemuinya. “Juga, kau adalah orang yang mengadukan Hinata pada kakaknya sendiri.”
Mata Naruto membola lagi. Jadi itu? Hinata mengadukannya. Tapi hei, Naruto tidak tahu jika Hinata punya pacar saat itu.
“Dan keperluanmu denganku?” tanya Naruto berani, ini hanya soal mantan pacar dan pacar baru. “Aku sudah meluruskan masalahku dengan Hinata. Kalau kau khawatir, aku berjanji tidak akan mengusik Hinata lagi, Tuan Uchiha.”
Dalam hati Naruto berpikir, keren juga Hinata bisa berpacaran dengan pimpinan Uchiha. Perempuan itu baru magang satu bulan lebih, yang ia dengar dari anak kampus pun katanya Hinata tidak sedang dekat dengan siapa-siapa. Jadi, bagaimana bisa? Apa Hinata magang di sana karena ada kekasihnya?
“Ya, seharusnya memang begitu, Naruto. Tapi kenyataannya tidak semudah itu.” Naruto mengernyit, ditatapnya Sasuke yang mengeluarkan tab mini dari dalam jas kerjanya. “Semuanya menjadi kacau, karena tindakanmu.”
Sasuke memberikan tab mini pada Naruto. Dari layar tab mini tersebut terlihat cuplikan video dari saluran gosip yang tengah ramai. Videonya hanya berdurasi satu menit, tapi jelas mampu membuat Naruto tercengang dengan pemberitaan yang sedang menggemparkan itu. “Ba-bagaimana...” Naruto tercekat setelah melihat berita yang mungkin ia lewatkan selama tidurnya. “Hinata... Bagaimana dia...”
“Seperti yang kau lihat, keadaan sedang kacau saat ini. Hinata tidak sedang baik-baik saja. Sebagai kekasihnya aku sangat marah. Tapi, aku tidak bisa sembarangan menuntutmu.” Naruto meneguk lidah, perlahan menaruh tab mini di atas meja. “Hinata pun sangat membencimu, tapi dia tidak setega itu padamu.” napas Naruto terasa sesak. Selama ini, Hinata selalu mengalah padanya, bahkan saat diputuskan sepihak tahun lalu.
“Aku datang ke sini hanya untuk bicara denganmu. Ketahuilah statusmu. Bersikaplah sebagai seorang pria dewasa. Tolong jangan ganggu Hinata lagi. Berdamailah dengan dirimu sendiri.”
Di depannya Naruto hanya terdiam. Pria itu pelan-pelan menundukkan kepalanya di setiap kalimat yang Sasuke ucapan. “Sekali lagi, lepaskan Hinata, dia sudah menjadi kekasihku.” Sasuke kembali mempertegas posisinya, tak akan ia biarkan lelaki manapun mendekati Hinata hanya untuk menyakitinya.
“Terima kasih atas minuman sodanya. Aku pergi.” tanpa menunggu Naruto menjawab atau sekadar mendongakkan kepalanya, Sasuke bangkit dari duduk. Ia meraih tab mininya dan kemudian melangkah pergi meninggalkan kediaman Naruto.
.
.
Kriet. “Hei,” Hinata menoleh pada sapaan seseorang yang membuka pintu kamarnya. “Boleh aku masuk?” sedikit samar, Hinata mengenali pria yang menyembul dari celah pintu. Seulas senyum muncul di wajahnya. Sedikit mengangguk, Hinata mengizinkan pria itu mendekat padanya.
Setelah menutup pintu kamar Hinata dengan hati-hati, Sasuke mendekati Hinata yang duduk di pinggir kasur. Ranjang sedikit berderit saat Sasuke ikut duduk di samping kekasihnya. “Kau sudah baikan?” ditatapnya wajah Hinata yang sedikit lebih segar dibandingkan beberapa jam yang lalu. Anggukan pelan menjadi jawaban. “Sudah sore, belum mau keluar kamar?”
“Aku...” Hinata menundukkan pandangannya. “Aku masih ingin di sini.” Lalu ia mengangkat pandangannya lagi dan menatap iris gelap Sasuke. “Baiklah, aku akan menemanimu.”
Sasuke menggeser duduknya, lebih mendekat pada Hinata. Ia meraih tubuh Hinata dan memeluknya dari samping setelah membetulkan posisinya. Satu kaki terlipat dengan lutut ke tengah kasur, menarik Hinata agar mendekat untuk menyandarkan kepalanya di puncak kepala Hinata.
“Semuanya akan baik-baik saja.” Sasuke mengelus pelan lengan Hinata. Beberapa kali mengecup singkat puncak kepala wanitanya. “Apa kau tidak marah padaku?” Sasuke berdeham heran sembari menghirup aroma Hinata.
“Aku adalah seorang model lingerie. Meskipun tidak secara resmi, aku memamerkan tubuhku pada orang banyak. Orang-orang bergosip tentang perempuan yang dekat denganmu. Juga...” Hinata menoleh. “Aku membentakmu tadi pagi.”
Sasuke sedikit meregangkan pelukannya, ditatapnya mata Hinata dengan lekat. “Bukankah aku sudah bilang, aku tidak peduli. Malah, berkat model lingerie itu aku mengenalmu, ‘kan? Aku mencintaimu, Hinata.”
Hinata mengangkat sebelah alisnya. “Mencintaiku? Atau tubuhku?” Sasuke terdiam sebentar. “Apa bedanya?” sebuah decakan menunjukkan ketidakpuasan Hinata.
“Hei.” Sasuke membingkai sebelah wajah Hinata. “Kau tidak salah apapun. Aku pun tidak masalah dengan bentakanmu tadi pagi. Aku tahu, kita masih terlalu awal. Terlalu banyak hal yang terjadi. Tapi, kumohon izinkan aku untuk mengenalmu, Hinata.”
Usapan halus dirasakan Hinata di sisi kiri wajahnya. Perlahan, Hinata mengangkat tangannya dan menyentuh tangan Sasuke yang membelainya. “Apakah... tidak apa-apa? Jika aku bersamamu?”
“Tentu. Kita akan melaluinya bersama, oke?”
Senyuman tipis di wajah Sasuke membuat Hinata ikut tersenyum. Beberapa detik mereka bertukar pandangan, kemudian Sasuke sedikit menunduk dan menyandarkan kepalanya di bahu kanan Hinata. Kedua tangannya sudah kembali melingkari tubuh Hinata. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam dan berpelukan hingga mata Sasuke kembali salah fokus.
“Hinata, bisakah kita...” Sasuke menghentikan tangannya yang agak merambat naik. “Kenapa?” Hinata terbingung karena Sasuke menjauhkan tubuhnya. “Tidak. Aku hanya ingin menciummu.”
Mata Hinata sedikit terbelalak, Sasuke kembali blak-balakan. “Di sini?” si laki-laki malah berdeham dengan santai. “Ta-tapi ada Kak Shika di luar.” cegahnya. “Dia di luar, ‘kan? Hanya kecupan singkat, aku janji. Ayolah, Hinata.”
Sasuke sedikit merajuk agak manja. Hinata dibuat gugup sembari berdeham berulang-ulang. “Hanya ciuman singkat, ‘kan?” Sasuke berdeham singkat untuk menanggapinya. Lalu, Hinata mulai menutup matanya. Pelan tapi pasti, Sasuke menundukkan kepalanya pada Hinata yang tengadah. Sedikit demi sedikit mengikis jarak di antara keduanya.
“Hinata! Kau baik-baik –sa...ja?” pintu kamar terbuka tiba-tiba. Sosok perempuan berambut pirang agak ikal datang dengan terburu. Ia terdiam dengan pintu terbuka lebar, melihat sesuatu yang baru saja akan terjadi. “Oh, apakah aku mengganggu?”
Sontak Hinata membuka mata, mendorong tubuh Sasuke yang hampir menyentuh bibirnya. Ia segera menjauhkan diri dan merapikan rambutnya dengan gugup.
“Ada apa, Temari?” Shikamaru ikut menyusul karena melihat kekasihnya berhenti di depan pintu masuk kamar Hinata. “Ah, tidak. Sepertinya aku mengganggu kegiatan Hinata dan kekasihnya.”
“Hah?” Shikamaru melotot, jarak Sasuke dan Hinata terlalu dekat. “Hinata, kenapa kau duduk di ranjang bersamanya? Oi, Tuan Uchiha, menjauhlah! Hinata masih dalam keadaan shock!” agak terburu, Shikamaru berusaha masuk ke dalam kamar Hinata untuk memisahkan dua sejoli itu. Namun, tangannya ditahan oleh Temari yang segera menutup kembali pintu kamar. “Hentikan, Shika. Mereka sudah besar, biarkan saja.”
“Tidak, tidak. Tidak boleh!” sekuat tenaga Temari menahan Shikamaru yang memaksa ingin membuka pintu. “Hinata, kalau sudah selesai bersihkan diri dan keluarlah.” teriaknya sembari menyeret Shikamaru ke ruang tengah.
“Berani kau menyentuh adikku di rumahku, mati kau, Uchiha!!!”
Ribut-ribut di depan kamar membuat Hinata tak nyaman. Ia segera bangkit dari kasur dan merapikan rambutnya. “Aku akan keluar.” katanya sebelum pergi duluan meninggalkan Sasuke yang tengah menggeleng sembari menghela napas panjang.
.
.
Malam ini kedai ramai sekali. Pesanan terus berdatangan. Paman Teuchi tak berhenti memasak dan para pegawai tak berhenti mengelilingi ruangan kedai yang semakin padat. “Ayame, antarkan pesanan ini pada meja di ujung.” Teman kerja Ayame yang berambut gondrong memberikan nampan berisi mangkuk dan gelas.
“Satu porsi miso ramen dan segelas ocha dingin.” Ayame menata makanan di atas meja yang ditunjuk oleh rekan kerjanya. “Silakan menikmati!”
“Terima kasih.”
Ayame menoleh pada pemilik suara berat itu. Saat pandangan mereka bertemu, mata Ayame melotot ketika menangkap iris segelap malam yang tengah menatapnya. Sasuke Uchiha?!
“Kau terlihat sangat ceria dan masih muda.” ucapan Sasuke membuatnya tersadar dari keterkejutan untuk kejutan yang lain. “Maaf?” alis Ayame mengernyit bingung, entah pujian entah apa, jelas ia masih setengah sadar.
“Nona Ayame?” seseorang muncul lagi. Berambut klimis dengan seragam hitam yang sukses membuat Ayame kembali melotot. “Anda ditangkap atas laporan pencemaran nama baik dan penguntitan yang telah Anda lakukan pada Saudara Sasuke Uchiha dan Hinata Hyuuga. Untuk itu, kami akan membawa Anda ke kantor. Anda berhak didampingi oleh pengacara.”
Klik. Dengan cepat polisi bernama Hidan memasangkan borgol pada Ayame. “Eh?” Ayame yang masih terbengong tidak tahu musti bagaimana. Suara nampan yang terjatuh menarik perhatian orang-orang. Para pengunjung mulai ramai berbisik, Paman Teuchi pun mulai menyahut dari arah dapur.
Sambil jalan karena tangannya ditarik, Ayame menoleh pada Sasuke yang menatap dingin padanya. Beginikah akhirnya? Pria yang ia puja sudah pasti kini membencinya. Ayame merasa terintimidasi oleh tatapan tajam si pria raven. Sasuke Uchiha, mimpinya yang tinggal angan.
“Tuan Sasuke, mari ikut kami ke kantor untuk mengurus surat-surat laporan.” seorang polisi lain bernama Haku mendekat. Sebelum Sasuke bicara, pria beralis tebal muncul dengan setelan jas. “Tidak perlu, Tuan Sasuke. Sebagai pengacara, saya yang akan mewakili Anda dan perusahaan.”
Sasuke berdiri dari duduknya, sedikit menciptakan suara. “Tidak papa. Aku akan ikut.” Sasuke merogoh sakunya untuk mengambil dompet. Mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar sebelum pergi dari kedai yang sudah ramai.
“Tuan Sasuke, tolong berikan komentar Anda terhadap kasus yang tengah Anda hadapi.”
“Tuan Sasuke, apakah benar pelaku penyebar foto itu sudah tertangkap?”
“Tuan Sasuke, bagaimana nasib perusahaan Uchiha dari adanya skandal ini?”
“Tuan Sasuke, kapan kau akan mengenalkan pasanganmu pada publik?”
Begitu tiba di kantor kepolisian, wartawan sudah memenuhi pintu masuk. Sebagian sibuk mendokumentasikan penangkapan pelaku dan sebagian lagi sibuk mengincar Sasuke yang baru turun dari mobil.
Rock Lee maju ke depan Sasuke untuk menghalanginya dari desakan para reporter. “Tolong berhenti mendekat. Untuk pertanyaan-pertanyaan kalian, perusahaan Uchiha sudah membuat statement sebelumnya. Bahwa hubungan pribadi pegawai tidak ada sangkut pautnya dengan kinerja perusahaan. Kami akan mendukung Sasuke Uchiha dan Hinata Hyuuga sebagaimana dedikasi Tuan Sasuke dalam pekerjaan. Oleh karena itu, silakan tunggu berita terbaru dari kami dan pihak kepolisian.” Usai bicara, Rock Lee menuntun Sasuke untuk memasuki gedung kepolisian, mengabaikan ricuh para wartawan yang bertanya-tanya.
“Tuan Sasuke, silakan duduk.” Opsir polisi mengantar Sasuke di ruangan tunggu yang sudah disiapkan. “Kami akan mengintrogasi tersangka. Mohon menunggu di sini.” Opsir muda itu menunduk singkat sebelum meninggalkan Sasuke dan Rock Lee.
Sembari menunggu, Sasuke menerima tawaran Rock Lee yang menawarkan diri untuk membuatkan kopi. Lalu, ia mengutak-atik tab mini-nya, membaca dan menandatangani beberapa laporan perusahaan.
“Tuan Sasuke Uchiha?”
Begitu namanya dipanggil, Sasuke menoleh dan menemukan Hidan yang menghampirinya. “Sesuai hasil penelusuran kami, Ayame adalah pelaku yang mengunggah postingan di grup facebook sebelum menghilangkan akunnya. Tapi, ada masalah lain, Tuan.”
Sasuke mengangkat alisnya. Ia menutup layar tab mini dan kembali memasukkannya ke dalam saku jas. “Seorang pemuda mengaku sebagai pelaku dari penyebaran foto Nona Hinata Hyuuga, Tuan.” terang Hidan. Dahi Sasuke mengernyit heran, “siapa?”
“Naruto Uzumaki.”
.
.
BRAK
Suara tumpukan map yang dilempar ke atas meja terdengar. Opsir polisi muda berdecak keras dengan sebal. “Dengar ya, Tuan. Aku memang masih baru menjadi polisi, tapi apakah kau pikir aku ini bodoh?!” bentaknya. “Kau mengaku menyebarkan foto pemotretan Hinata Hyuuga saat menjadi model lingerie?”
Orang-orang di dalam ruangan utama memerhatikan dua pria, satu berambut coklat dan satu berambut blonde. “Namaku Konohamaru Senju, aku adalah seorang polisi dan rekanku di ruangan sebelah sedang mengintrogasi pelaku penyebaran foto Sasuke Uchiha dan Hinata Hyuuga. Jadi, Tuan Naruto Uzumaki, tolong jangan menambah runyam masalah dengan pengakuan palsumu!”
Konohamaru menghela napas kasar. Beberapa hari ia bekerja dengan penuh tekanan. Berusaha memulihkan dan mencari sosok di balik akun facebook bernama ‘Sasu Pyon’ dan berusaha menenangkan wartawan yang terus menunggu di depan kantor.
“Lagipula, bohongmu itu terlalu kelewatan. Rumor model lingerie itu sudah dibantah dan kita tahu siapa model sebenarnya, ‘kan?” Konohamaru terkekeh pelan. Ia tersenyum remeh pada Naruto yang terkejut. “Tapi, aku...”
“Konohamaru!”
Hidan muncul bersama Sasuke dan Rock Lee yang hendak pergi dari kantor kepolisian. “Pemuda ini masih di sini?” tanya Hidan sembar melirik Naruto. Ia berdecak sebentar sebelum berbalik pada Sasuke. “Tuan Sasuke, ini pemuda yang tadi aku bilang. Bagaimana? Anda ingin memprosesnya juga?”
Sasuke memerhatikan Naruto. Sudah empat hari sejak ia mengunjungi rumah si pirang. Dalam empat hari ini, penampilan Naruto terlihat lebih kacau. Wajahnya semakin kusam dengan kantung mata besar. Dalam hati Sasuke menggerutu, mau apa lagi dia ikut campur?
“Tidak perlu. Sudah cukup menghadapi orang iseng yang ingin terlibat.” Sasuke memandang dingin sebelum menatap Hidan. “Tolong kabari timku tentang perkembangan kasus terhadap Ayame.” Kemudian, Sasuke melenggang pergi ke luar gedung diikuti oleh Rock Lee. Sebelumnya Hidan menyahut sopan dengan sedikit membungkuk.
.
.
“Astaga, para wartawan itu benar-benar parah!”
Sakura berdecak saat melihat tayangan berita di televisi. Dari layar terlihat Sasuke yang tengah dikerubungi dan diberikan pertanyaan-pertanyaan. “Padahal Sasuke hanya seorang pegawai kantor biasa, tapi pamornya sudah seperti selebriti saja!” Sakura menggeleng-gelengkan kepala sebelum menoleh ke samping. “Hinata, maaf aku tidak membantu langsung. Aku senang pelakunya sudah tertangkap dan kau mau keluar rumah setelah beberapa hari.” ucapnya sembari tersenyum.
Di samping sofa, Hinata ikut tersenyum lembut. Jumat sore, ia datang ke kediaman Uchiha setelah empat hari terdiam di tempat tinggalnya. Berkat dukungan orang-orang, ia sudah mulai bisa menerima dan beraktivitas seperti biasa, mengunjungi calon ipar contohnya.
“Tidak papa, Kak. Aku tahu kau juga pasti sibuk dengan semua yang terjadi ini.” Sakura tersentuh dengan sifat pengertian Hinata. Padahal selama beberapa hari ini ia hanya mengontrol klinik dan menenangkan Uchiha saat pulang. “Ah, iya. Aku lupa. Sebentar, aku harus mengambil gawaiku dulu.”
Sakura bangkit dan pergi ke arah dapur. Sambil menunggu Sakura kembali, Hinata menatap layar televisi yang tengah menayangkan berita selebriti.
“Sebuah berita pengakuan muncul dari model Temari Sabaku. Melalui akun media sosialnya, model Temari mengaku jika rumor foto studio lingerie yang tengah beredar adalah dirinya. Dalam unggahan status yang dipostingnya, ia mengaku pemotretan lingerie yang dilakukannya memang dilakukan rahasia dan sekadar membantu bisnis usaha teman.”
Ah, iya. Beberapa hari lalu, Temari juga bicara padanya. Menawarkan diri untuk membantu mengatasi rumor tentang Hinata sebagai model lingerie. Hinata sempat menolaknya. Ia tidak mau merepotkan Temari bahkan sampai membuatnya berbohong. Apalagi Hinata tahu, itu pasti hanya akan menambah masalah lagi bagi Temari dan kakaknya. Jadi, setelah Temari memutuskan untuk membantu Hinata, apa sesuatu yang buruk akan terjadi?
“Temari, aku tidak bisa.”
Temari berdeham pada Shikamaru yang duduk di meja makan sementara dirinya tengah memasak di dapur Shikamaru. “Tidak bisa apa?” tanya Temari sembari mengaduk-aduk kari yang tengah ia masak. “Hubungan kita saat ini, aku ingin mengakhrinya.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
