Look and Lock 01-10

3
0
Deskripsi

Sasuke Uchiha TIDAK pernah memohon. Ia-lah yang mustinya dipujak dan dimintain permohonan. Dan Hinata Hyuuga TIDAK semudah itu ditaklukan. Apalagi oleh laki-laki yang sudah melecehkan.

“Kumohon, mendesahlah untukku, Hyuuga.”

“Sinting!”

Look and Lock 01 - 10

by

acyanokouji

.

Summary: Sasuke Uchiha TIDAK pernah memohon. Ia-lah yang mustinya dipuja dan dimintai permohonan. Dan Hinata Hyuuga TIDAK semudah itu ditaklukan. Apalagi oleh laki-laki yang sudah melecehkan.

“Kumohon, mendesahlah untukku, Hyuuga.”

“Sinting!”

.

All Naruto’s characters are belong to Masashi Kishimoto.

Warning:  OOC, typo(s), crack couple, LEMON, PROSTITUTE!

.

.

.

Sekarang adalah hari sabtu, jam delapan malam lewat dua puluh empat menit. Waktu yang tepat untuk bersiap pergi berkencan. Namun, itu adalah hal yang biasa dilakukan para anak-anak muda. Bagi Sasuke Uchiha yang tahun depan akan mencapai usia 30 tahun, mengerjakan laporan di kantor yang batas waktunya masih dua minggu adalah sebuah pilihan terbaik.

Sasuke memerhatikan suasana malam kota dari jendela kantornya yang hampir membingkai keseluruhan ruangan. Matanya terpaku pada lampu pesawat terbang saat gawainya berdering, menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Sasuke meraih gawainya, pesan tersebut dikirim oleh Itachi, kakaknya. Kau di mana? Jangan bilang di kantor. Kau tidak lupa titipanku, ‘kan? Aku menunggu, Sasu! Sasuke berdecak sebal, tahu dari mana sih?

“Tuan Sasuke.” Sasuke menoleh pada suara dari balik pintu. “Apa Anda akan pulang sekarang? Kami harus mengunci kantor sekarang.”

Oh, Sasuke sudah diusir. Dengan berat hati, Sasuke bangkit. Ia mengambil jasnya yang tersampir di kursi, memakainya guna menutupi kemeja putih lengan panjang yang dipakainya. Setelah memastikan tak meninggalkan gawainya, Sasuke keluar ruangan.

“Laporkan pada Itachi, aku sudah pergi.” Sasuke berkata tepat saat keluar ruang kerjanya. Di balik pintu seorang pria paruh baya yang menjadi petugas janitor tersenyum pucat. Dua saudara Uchiha yang sayangnya harus jadi atasannya itu memang sangat mengerikan.

Sepanjang perjalanan pulang, Sasuke mengumpat terus-terusan. Bagaimana tidak? Ia sedang mengemban misi dari kakak kandungnya. Misi konyol karena ia kalah main game online. Bisa bayangkan bagaimana kesalnya Sasuke saat kakaknya minta dibelikan lingerie? Parahnya lingerie itu diperuntukan kakak iparnya yang Sasuke harap terlahir sebagai kakak kandungnya, Kakak Manis Sakura Uchiha.

Menurut Sasuke, permintaan Itachi sangat tidak masuk akal. Sakura itu istrinya, kenapa malah Sasuke yang disuruh membelikan lingerie? Ini lingerie loh, pakaian yang hanya dipakai saat kita bersama dengan pasangan. Ya, ‘kan?

“Itachi berengsek!” Sasuke memukul stir mobilnya. Alisnya menekuk tajam. Besok adalah batas waktu yang diberikan Itachi pada Sasuke untuk membelikan ‘baju lucu’ yang cocok bagi kakak iparnya. Kalau tidak, Sasuke musti pindah ke kantor cabang lain. Bukankah ancamannya terlalu berlebihan? Sialnya, Itachi punya rekaman suara perjanjian yang diambil diam-diam.

“Cih, seperti aku mau saja!”

Sasuke berdecih. Kemudian, tanpa sengaja matanya menangkap sebuah papan LED toko lingerie yang ada di sisi kiri jalan. Ia menimbang-nimbang, haruskah ia mampir? Tanpa sadar, mobil Sasuke sudah ada di depan toko tersebut.

“Selamat datang di toko Yama Nyang! Kami memiliki semua barang yang akan menaikkan gairah seksualmu! Silakan melihat-lihat, Nyangh~”

Sebuah suara menyapa Sasuke ketika ia membuka pintu toko tersebut. Ia mendogak sebentar pada pengeras suara otomatis di atas pintu. Jijik sekali. Suara laki-laki nyentrik.

“Wah, Wah. Ada pelanggan tampan~” Sasuke menoleh dan melihat seorang pria berambut pirang panjang berjalan ke arahnya. Suaranya sama seperti suara rekaman itu.

“Ada yang bisa kami bantu, Tuan? Barang apa yang kau cari?” Sasuke baru membuka mulutnya tapi si laki-laki pirang langsung bicara lagi dengan cepat.

“Apa kau butuh tambahan barang seks dengan pacarmu? Perempuan? Laki-laki? Oh ho ho! Untuk dipakai sendiri?! Kami punya alat yang pas untukmu!”

Pria itu menunjukkan sesuatu yang menyerupai alat kelamin pria berukuran besar dan err... bergerigi? What the –! Milik Sasuke sudah cukup untuk memuaskan semua pasangannya –note, perempuan.

“Bagaimana? Bagaimana? Kau mau beli??”

Sasuke bersumpah seringaian pria pirang itu sangat, sangat, sangat creepy. Sebelah matanya yang tertutupi rambut menambah kesan seram. Sasuke yakin wajahnya sendiri sekarang sudah terkejut dengan menyeramkan.

“Kau menakuti pelanggan kita, Dei!” seorang wanita cantik muncul. Rambutnya sama pirang. Wanita itu menghembuskan napas kesal dan memukul tengkuk si pria yang dipanggil Dei. “Aww!” Dei mengaduh sebentar.

“Pergi sana! Aku yang akan melayani pelanggan kita.” Dei hendak protes tapi si perempuan pirang menatapnya dengan tajam hingga laki-laki pirang itu berbalik lesu.

“Ah, maafkan sikap dia.” si wanita pirang bicara pada Sasuke. “Aku Ino Yamanaka, manajer toko. Yang tadi itu kakakku, Deidara Yamanaka. Dia juga pemilik toko ini tapi dia tidak pandai menyambut pelanggan.”

Ino tertawa canggung, Sasuke sudah kembali ke wajah datarnya. “Apa ada yang bisa kami bantu, Tuan?”

“Aku mencari lingerie perempuan,” kata Sasuke.

“Oh, untuk pacarmu?” Ino sedikit menggoda tapi ia lalu berdeham melihat raut kesal Sasuke. “Baiklah, ikuti aku, Tuan.”

Ino berjalan di depan Sasuke, membawa pria Uchiha tersebut ke ruangan sebelah. Bagian yang memajang berbagai jenis lingerie perempuan.

“Ini semua adalah lingerie perempuan yang kami jual,” kata Ino. “Kau bisa melihat-lihat di rak atau contoh katalog yang kami pajang.”

Sasuke memandang ke sekeliling. Itachi sialan. Bisa-bisanya dia menyuruh adiknya membeli lingerie perempuan. Untung Sasuke pandai menyembunyikan perasaannya. Kalau tidak, sudah pasti wajahnya memerah sekarang.

Di dinding ruangan itu terpajang beberapa bingkai foto perempuan yang memakai lingerie. Mata Sasuke terhenti pada dua buah foto –pertama dan kedua. Matanya sedikit membola karena antusias. Di foto pertama menampilkan badan perempuan yang sedikit menyamping. Ia memakai lingerie warna merah yang membentuk lekuk badannya hingga pangkal pahanya. Juga ada tambahan bulu bulat mirip ekor kelinci di belakang tubuhnya.

Foto kedua menampilkan tubuh perempuan yang menghadap kamera. Model lingerienya berupa potongan bra dan celana dalam hitam yang disatukan beberapa tali tipis penghubung melingkari perutnya. Ujung bra juga memiliki tali yang melingkari leher si model. Persamaan kedua foto tersebut adalah dua-duanya hanya menampilkan badan sang model. Bagian wajahnya terpenggal, jadi yang melihat bisa berfantasi sesukanya.

Sasuke memandang takjub foto kedua. Tubuh perempuan itu menggairahkan. Perutnya memang tidak rata seperti model-model yang lain. Pinggangnya juga tidak seramping wanita bernama Ino Yamanaka yang pamer udel dengan kaos crop topnya. Tapi, ukuran dada, pinggang, dan pantatnya yang sedikit menyembul dari samping, terlihat sangat pas. Entah kenapa Sasuke merasa bergairah memandangnya.

“Aku mau yang itu.” kata Sasuke, ia tidak mengalihkan perhatiannya dari foto.

“Maaf?” Ino menatap bingung. Pelanggannya tidak menunjuk apapun dengan tangannya. Ia akhirnya mengikuti arah pandang Sasuke pada foto lingerie nomor dua di dinding.

“Oh, Anda ingin membeli lingerie yang ada di foto itu?” Ino bertanya retoris. “Ukuran apa yang ada inginkan, Tuan?”

“Berikan yang sama persis seperti foto itu.”

“Eh?” Ino mengerja-ngerjapkan matanya. “Kau yakin, Tuan? Tidak mencocokannya dengan ukuran tubuh perempuan Anda?”

“Tidak. Aku mau...” tubuh “...yang seperti di foto.”

“Baiklah. Aku akan menyiapkannya untukmu, Tuan.”

Ino tidak ambil pusing. Pelanggan tertarik pada barang yang dijualnya, mereka membeli, Ino dapat uang. Simpel. Ino segera membungkus satu lingerie pada pria jangkung berambut raven. Sepanjang transaksi jual-beli, Ino bisa melihat kalau laki-laki itu terus melirik bingkai foto yang tadi ditunjuknya.

.

.

“Sasuke, kau sudah pulang?” Sakura menyapa Sasuke yang baru masuk rumah dengan sebungkus tas belanja di tangannya. Adik iparnya itu menanggapi dengan dehaman. “Kau bawa apa, Sasuke?” Sakura menelengkan kepalanya, mencoba melihat bungkusan yang dibawa Sasuke.

“SA-SU-KE!!!”

Tiba-tiba Itachi berseru dari arah tangga. Laki-laki berambut panjang hitam itu tersenyum lebar dan berjalan cepat menuju adiknya. Sakura mengernyit. Ada apa dengan suaminya?

“Kau membelikan pesananku?” Itachi merangkul Sasuke sambil mesem-mesem. Begitu Sasuke menjawab, ‘ya’, dengan segera Itachi menarik Sasuke menuju kamar adiknya yang ada di lantai satu. Mengabaikan teriakan Sakura yang penasaran.

“Jadi, jadi, kau beli yang model apa?” Itachi bertanya dengan antusias sesaat setelah mereka berdua masuk di kamar Sasuke. Oh, setelah memastikan pintu terkunci juga.

“Lihat saja sendiri.” Sasuke menyerahkan bungkusan pada Itachi. Ia berjalan masuk untuk melepas jas dan dasinya ke tumpukan baju kotor. Di sisi lain Itachi buru-buru membuka bungkusan dan plastik baju.

Itachi melebarkan lingerie yang dibeli Sasuke. “Model bikini, ya?” gumam Itachi. Pria itu menatap Sasuke dengan tatapan cabul. “Jadi, kau suka yang seperti ini ya, Adikku?”

“Bodoh!” Sasuke melempar sebelah sepatunya pada Itachi. Pria berusia tiga puluh tiga tahun itu terkekeh. Lemparan Sasuke tidak mengenainya.

“Tapi, Sasu...” Itachi meneleng-nelengkan kepalanya. “Ukurannya tidak pas untuk Sakura.”

Berengsek. Sasuke memaki dalam hati. Ia lupa kalau niat awalnya adalah membelikan lingerie untuk istri Itachi.

Sasuke bisa merasakan hawa Itachi yang menatapnya lekat-lekat dari belakang. Benar saja, ketika ia berbalik Itachi sedang tersenyum lebar kepadanya. Freak.

“Hahahahaha kau membeli untuk memenuhi fantasimu, ya?” Itachi tertawa puas, mengejek Sasuke yang menggerutu kesal. Sasuke berdecak dan bersidekap. Sudah ia duga kalau Itachi memang hanya ingin mengerjainya sejak awal.

“Sayang sekali aku tidak bisa memberikan lingerie baru lagi untuk Sakura. Tapi aku lega, kau sepertinya tidak tertarik begitu pada istriku.”

Sasuke mendelik kesal. “Kau gila? Kak Sakura itu hanya sosok kakak yang aku idamkan!”

“Iya, iya. My bad.” Itachi mengedikkan bahu. “Tapi, Sasuke, kau beli lingerie ini untuk apa? Kau ‘kan tidak punya pacar.”

Sasuke hendak menimpali tapi Itachi keburu bicara lagi. “Partner seksualmu juga bukannya cuma berhubungan lewat telepon, ya?” Itachi bertanya –sambil mengejek lagi- lenggang. Ia mundur pelan-pelan ke arah pintu. “Kalau begitu, selamat memakainya sendiri, Sasuke!”

Pintu kamar Sasuke terbuka dan tertutup dengan cepat. Itachi kabur keluar dan melemparkan lingerie baru Sasuke sembarang. Lingerie itu mendarat tepat di bawah kaki Sasuke.

“ITACHII!!!!”

.

.

Sasuke benar-benar marah pada kakaknya. Ia mogok makan di rumah. Jadinya, ia tidak punya tenaga saat tiba di kantor hari senin.

Sasuke memegang kepalanya yang terasa nyeri. Elevator yang dinaikinya terbuka di lantai dasar. Seorang perempuan berambut panjang gelap masuk dan sedikit membungkuk pada Sasuke. Sasuke mengabaikan sapaan padanya. Ia menghela napas lelah.

Setelah pintu elevator tertutup dan mereka mulai bergerak ke lantai atas, Sasuke melirik perempuan di samping melalui ekor matanya. Perempuan itu memakai kacamata. Poni di atas alis menghiasi jidatnya. Sebuah amplop besar warna merah berada dalam pelukan di depan dadanya.

“Kau siapa?” tanya Sasuke. Perempuan itu menoleh, menampilkan matanya yang bulat dan besar.

“Ah, maaf, Tuan. Saya Hinata Hyuuga, mahasiswa magang.” perempuan bernama Hinata itu membungkuk sekali lagi pada Sasuke. Si pria yang disapanya hanya menanggapi acuh tak acuh. Pria itu kembali merapikan bajunya dan menatap ke depan, hanya bocah ingusan.

Lift berhenti di lantai tujuh. Pintu lift terbuka. Hinata bergerak maju untuk keluar. Amplop yang dipeluknya kini sudah berada dalam tentengan. Sebelum elevator kembali bergerak, Hinata berbalik dan berpamitan pada Sasuke. Detik-detik pintu lift tertutup, Sasuke melirik sedikit. Tak lama matanya membulat sempurna.

DADANYA BESAR!!!!

.

.

Beberapa hari setelahnya, Sasuke terus memikirkan anak magang di perusahaannya. Tubuh perempuan itu agak pendek, mungkin sekitar 160 sentimeter. Wajahnya juga bulat dan gembil, terlihat masih muda. Tapi, berdasarkan pandangan –tidak senonoh- Sasuke, ia yakin kalau perempuan itu sudah cukup matang, secara usia –mungkin.

Tiba-tiba Sasuke teringat perkataan Itachi tempo hari. Jadilah ia beberapa kali mondar-mandir di lantai tujuh, bagian divisi keuangan. Para pegawai kantor yang mengenalnya bahkan bertanya-tanya. Kenapa wakil direktur berkeliaran di luar ruangannya?

“Aku hanya ingin memeriksa kinerja kalian.” alibi Sasuke saat ditanya Gaara Sabaku, kepala divisi keuangan.

“Saya jelas bilang akan menyerahkan laporan keuangan minggu depan, Pak Wakil Direktur.” sindir Gaara. Ia mendengus karena Sasuke Uchiha sering datang ke ruang kerjanya. Memang sih mereka teman tapi kalau di kantor Gaara merasa diawasi atasan, dan itu membuatnya merasa sangat tidak nyaman.

“Ya, ya. Lakukan saja pekerjaanmu. Aku hanya akan melihat-lihat.” Sasuke berkata lenggang. Ia berjalan menuju tirai di jendela ruang kerja Gaara yang mengarah pada ruang kerja karyawan lain. Sasuke mengintip dari tirai pipih-pipih, memerhatikan karyawan divisi keuangan.

“Kau kenapa sih? Apa aku berbuat salah, Sasuke?” Gaara kesal. Ia paling tidak suka diganggu saat sedang bekerja. Apalagi sekarang yang ditanya malah mengabaikannya. Makin kesalah Gaara.

“Belum ada. Aku hanya ingin bertanya. Apa kau mengenal–”

“Mengenal siapa?” Gaara bertanya karena Sasuke tak kunjung melanjutkan ucapannya.

Ternyata Sasuke sedang tersenyum miring ketika matanya melihat sesuatu. Ia berbalik pada Gaara. “Tidak jadi.” kata Sasuke. Pria itu berjalan menuju pintu. “Dan pastikan kau tidak berbuat salah, Ketua Divisi!” seru Sasuke sebelum pergi keluar ruangan Gaara. Bungsu Sabaku mengangkat sebelah alis tipisnya, Sasuke salah makan ya?

Sasuke menengok ke kanan-kiri. Ia bergerak menuju ruang istirahat divisi keuangan. Pintu ruangan tersebut tidak tertutup sempurna tapi sangat sempurna bagi Sasuke untuk mengintip. Dari celah pintu, Sasuke bisa melihat perempuan yang sedang melepas kacamata dan menaruhnya di atas meja. Perempuan itu mengikat tinggi rambut panjangnya. Lalu, perempuan itu berjalan ke arah cermin dan membuka dua kancing kemeja hitamnya.

Sasuke melotot. Bahu mulus hampir seputih susu itu terpampang di depan matanya. Si pemilik tubuh menyapirkan kemejanya sebelah. Kemudian perempuan itu berbalik, memunggungi Sasuke dan menatap pantulan dirinya di cermin. Si perempuan sedikit meringis. Setelah diperhatikan lagi, ia sedang mengoleskan sesuatu pada pangkal lengannya.

Sasuke meneguk ludah. Matanya berkabut melihat pemandangan sedikit erotis. Lalu, ia menyeringai hampir sama mengerikannya seperti seringaian laki-laki pirang bernama Deidara tempo hari. “Dapat,” bisik Sasuke.

.

.

“Hinata! Sini sini!” seorang wanita berambut pirang panjang memanggil Hinata yang baru masuk ke dalam kedai. Merasa namanya dipanggil, Hinata berjalan mendekat dan duduk di kursi samping yang tadi ditepuk-tepuk si perempuan pirang.

“Maaf, Kak Ino, aku terlambat.” kata Hinata. Perempuan pirang yang bernama Ino itu menggeleng, sebuah senyuman terpatri di wajahnya.

“Tidak papa. Tidak masalah menunggu lama untuk model kita, hehe.” Ino tersenyum sampai deretan giginya terlihat. Hinata hendak menanyakan maksud Ino tapi perempuan yang lebih tua enam tahun darinya itu memanggil pelayan, memesan dua buah minuman.

“Tenang. Aku yang bayar minumannya kok.” Ino mengerling pada Hinata.

“Kak, maksud kakak tadi apa, ya?” tanya Hinata.

“Hm?”

“Kakak bilang menunggu ‘model kita’ itu apa maksudnya?” mulut Ino terbuka, ia hendak menjawab pertanyaan Hinata tapi tiba-tiba seseorang datang menyela.

“Maksudnya, kau akan jadi model lingerie terbaru di toko Yama Nyang, Hinata.” seorang pria berambut panjang yang mirip Ino muncul di depan meja Hinata dan Ino. Ia mengedipkan satu matanya ke arah Hinata.

“A-apa?!”

“Dei!” Ino menggerutu. “Aku yang akan bicara dengan Hinata, ‘kan?”

Deidara mengedikkan bahu. Ia duduk di bangku seberang Hinata dan melihat-lihat buku menu. “Kau terlalu lambat, Adik,” komentar Deidara pada Ino. Ino berdecak sebal mendengarnya.

“Kak Ino, maksudnya bagaimana, ya?” Ino menoleh pada Hinata yang menatap terkejut sekaligus takut padanya. Ino menghembuskan napas pelan.

“Hinata, dengar dulu, ya. Aku tahu kau pasti kaget dan marah. Maaf belum memberitahumu. Aku dan Deidara ingin memintamu jadi model lingerie tebaru kami.” Ino mengatupkan kedua telapak tangannya. Ia memelas pada Hinata.

“Kenapa? Aku ‘kan bukan model.” kata Hinata.

“Soalnya waktu lihat model baju lingerie terbaru, kami memikirkan badanmu.” Deidara bicara dengan lenggang. Ia tersenyum cabul sebelum dengan santainya memanggil pelayan dan memesan satu coklat dingin, tidak memedulikan wajah Hinata yang memerah.

“Dei!” Ino memukul kepala Deidara hingga laki-laki itu mengaduh. “Hinata, maaf, ya. Maaf membuatmu tidak nyaman.”

“Aku berencana ingin memberitahumu jauh-jauh hari tapi kata Shikamaru kau sibuk persiapan daftar magang. Makanya aku baru bisa memberitahumu.” Ino memegang satu telapak tangan Hinata. “Kau ingat waktu SMA? Katanya kau mau jadi model, ‘kan?”

Hinata terbelalak. Itu sudah dua tahun lalu sejak ia membual ingin jadi model seperti pacar kakaknya. “Tapi maksudku model remaja seperti Kak Temari dulu.”

“Iya, aku tahu. Tapi...” Ino meremas telapak tangan Hinata yang ada dalam genggamannya. “Aku benar-benar ingin kau jadi model lingerie untuk kali ini saja.” Ino menggunakan jurus andalannya, puppy eyes.

“Ke-kenapa?”

“Sudah kubilang kalau–”

“Dei!” Ino mendelik tajam pada Deidara yang manyun. Lalu, ia kembali menatap Hinata dengan lembut. “Karena aku percaya hanya kau yang bisa. Kumohon, bantu aku kali ini saja. Aku dan Deidara kesulitan menemukan model yang pas.”

“Benar, Hinata. Dari foto di instagram Tenten yang menandaimu, aku bisa melihat potensi di tubuhmu.” Deidara memajukan tubuhnya, mengatupkan kedua tangannya dan ikut memelas pada Hinata. Raut wajahnya kasihan plus manis sih, tapi kata-katanya sangat tidak senonoh! Hinata jadi bingung musti bagaimana. Ia diapit kakak-beradik yang memohon padanya.

“Tapi nanti Kak Shikamaru...”

“Aku janji tidak akan cerita padanya!” Ino mengangkat tiga jarinya menggunakan tangannya yang lain. Ia melirik Deidara yang dengan cepat mengikuti gerakan berjanji Ino.

Hinata menatap Ino dan Deidara secara bergantian. Bibir bawahnya digigit karena bimbang. Setiap lirikannya pada kakak-adik pirang itu, tatapan mereka semakin memelas. Hinata menghela napas. “Baiklah...” Ino tersenyum riang. “Tapi aku punya syarat...”

.

.

Beberapa hari setelahnya, Hinata datang ke toko lingerie milik kakak-beradik Yamanaka. Sebelum masuk, ia mengeratkan jaketnya di pagi hari. Hinata menghembuskan napas tiga kali. Lalu, ia menguatkan tekadnya dan mendorong pintu masuk toko.

“Selamat datang di toko Yama Nyang! Kami memiliki semua barang yang akan menaikkan gairah seksualmu! Silakan melihat-lihat, Nyangh~”

Hinata bergidik menatap pengeras suara yang ada di atas pintu masuk. Baru kali ini ia mengunjungi toko Ino sejak toko tersebut buka bulan lalu.

“Hinata!” Ino memanggil dari dalam. Ia tersenyum cerah. Hinata benar-benar menyetujui permintaannya. “Kemarilah!”

Hinata berjalan masuk. Ino menarik lengannya setelah perempuan indigo itu cukup dekat. Setelahnya Ino mengajak Hinata untuk melihat-lihat tokonya yang sedang tutup. Jam buka tokonya berbeda dibanding toko-toko biasa. Jam malam, tentu saja.

“Lihatlah! Ini adalah bagian kami menjual bermacam-macam sex toys.” Ino menujukkan sebuah rak penuh benda-benda yang hanya bisa dilihat dalam film dewasa. “Apa kau pernah memakai ini, Hinata?” Ino mengambil sebuah dildo berukuran sedang tepat di depan wajah Hinata.

“Ti-tidak!” Hinata mendorong tangan Ino yang menunjukkan mainan tersebut padanya. Ino tertawa kecil melihat reaksi Hinata. Perempuan itu memalingkan wajah dengan semburat merah tipis di kedua pipinya.

“Baiklah, baiklah. Maaf. Kita lihat ruangan sebelah, ya.” Ino mengajak Hinata berpidah ke bagian di sisi lain toko. “Nah, kalau ini bagian kami memajang pakaian lingerie wanita.”

Hinata melihat ke sekeliling. Banyak pakaian yang tergantung di rak-rak dan beberapa piruga foto yang menempel di dinding. Itu adalah foto para model wanita yang memakai lingerie. Ino menyebutnya sebagai katalog.

“Model-model itu, kau juga meminta mereka untuk bekerja denganmu, Kak?”

Ino menggeleng. “Itu semua foto yang diberi dari pabrik. Makanya foto-foto itu kurang menarik pelanggan. Terlalu biasa.”

“Kau lihat dua pigura itu?” Ino menunjuk pigura pertama dan kedua yang masih kosong. “Kami akan memajang fotomu di sana.” Hinata magut-magut mengerti. “Sekarang, kita pergi ke tempat Deidara, ya!”

Ino dan Hinata berpindah ke ruangan di belakang toko. Ruangan khusus karyawan tempat Hinata akan melakukan pemotretan. Begitu memasuki ruangan, Hinata bisa melihat sebuah kain background berwarna putih dan Deidara yang sedang menyiapkan kamera.

“Oh, Hinata? Kau sudah datang?” Deidara menyadari kehadiran Hinata. Ia berjalan mendekat pada Hinata yang masih di depan pintu. “Tenang saja. Aku akan mengambil fotonya dengan cantik.” Deidara mengerling pada Hinata.

“Hinata, kemari. Ayo ganti pakaianmu kalau kau sudah siap.” Ino melambaikan tangannya pada Hinata. Ia berdiri di dekat tirai ganti baju. Begitu Hinata mendekat, Ino memberikan dua bungkus lingerie pada Hinata. “Ini dua model terbaru dari pabrik yang kami ajak kerja sama.”

“Dua?” Hinata menatap dua bungkusan baju tersebut.

Ino tertawa kikuk. Perempuan pirang itu menggaruk tengkuknya. “Maaf, Hinata. Deidara memaksaku.” Hinata menatap wajah Ino yang merasa bersalah. Lalu, ia tersenyum maklum.

“Baiklah, aku akan mengganti bajuku.” Hinata masuk ke balik tirai.

Ino menunggu besama Deidara di dekat tempat pengambilan foto. Ia memeriksa kamera dan berbincang singkat mengenai pose yang cocok untuk Hinata. Tak lama, Hinata keluar dari balik tirai dengan baju lingerie pertama. Model lingerie menutupi dada Hinata sampai pangkal pahanya. Berwarna merah dengan hiasan berbentuk ekor kelinci di bagian belakang.

Ino menutup mulutnya yang menganga. Hinata terlihat seksi memakai lingerie. “WOW!” di samping Ino ada Deidara dengan mulut terbuka. Matanya menatap takjub. Benar dugaannya. Hinata Hyuuga adalah pilihan terbaik.

“A-apakah aku terlihat aneh?” Hinata memeluk dirinya sendiri. Kedua Yamanaka segera tersadar dan si bungsu meraih Hinata lebih dulu.

“Tidak, tidak. Kau cantik! Sangat.” Ino menuntun Hinata ke depan background, ia sadar Hinata kurang nyaman dan ingin segera menyelesaikan tugasnya. “Dei, ayo! Cepat ambil gambar Hinata!” Ino minggir dari jarak pandang kamera.

“Hah?” Deidara mengedipkan matanya beberapa kali. “Oh, oke.” Ia segera mengambil posisi di depan kamera. Melihat dari lensa kamera ke tempat Hinata berdiri.

Sial. Yang begini kenapa musti disembunyikan sih?

Deidara mengarahkan kameranya agar tidak memuat wajah Hinata. Lalu, ia mundur sebentar. “Hinata, bisa tolong kau gulung rambutmu? Supaya kau tidak dikenali.”

Hinata mengangguk pada perintah Deidara. Dengan cekatan Ino memberikan jepit yang dibutuhkan. Setelah rambut Hinata tergelung, Deidara kembali fokus melihat ke dalam kamera.

“Tolong miringkan badanmu sedikit, Hinata.”

Hinata menuruti perintah Deidara. Ia sedikit memiringkan badannya agar menyamping. Bagus. Lebih terlihat sensual. Ekornya juga kelihatan.

CEKREK

Foto berhasil diambi. Deidara tersenyum puas. Memang tidak perlu sempurna untuk proyek kecil-kecilan ini. Namun, siapa sangka Hinata bisa melakukan pemotretan sekali coba?

“Bagus, Hinata. Fotonya sudah kuambil. Kau boleh mengganti bajumu.”

Hinata mengangguk lagi. Ia segera pergi ke ruang ganti baju dan memakai lingerie kedua. Kali ini yang Hinata kenakan adalah model lingerie menyerupai bikini. Kainnya menutupi payudara dan kemaluannya saja. Ada beberapa tali tipis yang menyatukan potongan tersebut.

“Hi-Hinatah?” Ino menatap takjub. Kali ini ia membiarkan mulutnya menganga. Matanya membesar. Ia yakin kalau Hinata pergi ke pantai memakai bikini pasti semua orang akan menatapnya.

“Apa ada yang salah?” Hinata mengusap tengkuknya.

“Hah?” sekarang Ino yang mengerjap-ngerjap. Perempuan itu menggelengkan kepalanya sebentar. “Tidak. Kau cantik kok. Ya ‘kan, Dei?” Ino menoleh pada kakaknya.

Keadaan Deidara tidak jauh berbeda dari Ino. Kedua mata dan mulutnya terbuka sempurna. “Dei? Dei? Dei!” Ino khawatir karena kakaknya tidak bernapas. Deidara tersadar begitu Ino memukul bahunya.

“Ya, ya. Cantik.” Deidara mengusap wajahnya. “Oke, Hinata. Bisa kau langsung mulai saja?”

Hinata berdiri di depan kamera lagi. Deidara memberikan arahan tanpa melepaskan matanya dari lensa kamera. Ia pun segera mengambil beberapa foto.

CEKREK CEKREK CEKREK

“Hinata! Terima kasih banyak atas bantuanmu!” Ino memeluk Hinata begitu perempuan itu selesai berganti pada baju awalnya. “Kau benar-benar berbakat! Kalau kau mau, aku akan mengirimkan file fotonya padamu.” Ino tersenyum dengan lebar.

“Tidak usah!” Hinata menolak dengan cepat. “Aku hanya minta agar ini menjadi rahasia kita saja. Tolong jangan beritahu siapa pun, apalagi Kak Shikamaru. Aku ingin identitasku tersembunyi.”

Ino mangut-mangut. Ia menyentuh kedua bahu Hinata. “Aku jamin wajahmu tidak akan dikenali oleh siapa pun!”

Hinata tersenyum lembut. Ia menyentuh tangan Ino yang memegangnya. “Terima kasih.”

“Tidak, tidak. Aku yang mustinya berterima kasih. Dei, cepat ucapkan terima kasih juga!” Deidara menengok. Ia sedang sibuk melihat-lihat hasil jepretan fotonya di kamera.

“Ya, terima kasih, Hinata. Aku tahu, aku bisa mengandalkanmu.” Deidara mengedipkan sebelah matanya dan mengayunkan tangannya dari kepala ke arah Hinata, memberi hormat. Tak lama Hinata berpamitan. Ia harus menyiapkan beberapa hal sebelum hari pertamanya magang mulai minggu depan.

.

.

“Selamat pagi.” Hinata menyapa Shikamaru, kakaknya, yang baru terbangun. Pria berkucir itu mengucek matanya sekilas, membalas sapaan Hinata dan duduk di meja makan.

“Mulai hari ini aku akan magang, Kak. Maaf, aku tidak bisa menemanimu sarapan. Tapi aku suka memasak untukmu.” kata Hinata.

Shikamaru menggeleng. Ia meneguk segelas air putih terlebih dahulu. “Tidak papa. Kau tidak harus mengurusiku, Hinata.”

“Tapi kau tidak bisa mengurusi dirimu sendiri, Kak.” Hinata manyun. “Pantas saja ibu sering marah-marah kalau pagi.”

Shikamaru terkekeh. Tak lama ia tersadar sesuatu. “Apa itu kemejamu saat SMA, Hinata?”

Hinata menatap dirinya sendiri. “Tidak. Aku membelinya enam bulan lalu. Tapi, memang sudah lumayan sempit sih.”

Shikamaru menghela napas. Iyalah sempit, badan adiknya itu ‘kan...

“Ganti saja bajumu. Kurang pas untuk bekerja.”

“Aku tidak ada waktu. Ayah juga belum mengirimiku uang.” Hinata mengambil totebag. “Aku pergi dulu, Kak!” Hinata berjalan cepat menuju pintu. Ia memakai flat shoes dan segera pergi.

“Hati-hati!” Shikamaru menyahut begitu pintu apartemen tertutup. “Apa aku belikan dia kemeja, ya?” Shikamaru menggaruk lehernya.

Mustinya Hinata mendengarkan ucapan Shikamaru. Ia merasa semua orang menatapnya pagi ini. Apalagi saat ia mengambil berkas di lantai dasar. Pria yang bertugas di meja depan perusahaan terlihat seram. Rambutnya panjang, matanya sipit, dan senyumnya mengerikan.

Hinata menunggu di depan pintu elevator. Ia menutupi bagian dadanya –yang ia rasa terus dilirik orang-orang- dengan amplop merah besar yang ia bawa. Begitu pintu terbuka, Hinata melihat seorang pria berdiri sambil memegangi kepalanya. Hinata membungkuk sopan. Ia membetulkan kacamatanya yang melorot setelah masuk ke dalam elevator.

Sombong sekali. Hinata mengutuk pria yang berdiri di sampingnya dalam hati. Beberapa saat kemudian, si pria melirik padanya. “Kau siapa?” tanya pria itu. Hinata sempat terkejut. Ia takut ucapannya barusan terdengar.

“Ah, maaf, Tuan. Saya Hinata Hyuuga, mahasiswa magang.” sekali lagi Hinata membungkuk pada pria berambut gelap itu. Hinata kembali terdiam karena si pria menanggapinya acuh tak acuh.

Ketika elevator berhenti di lantai tujuh, Hinata menurunkan amplop yang didekapnya dan berjalan keluar. Sebelum pergi, Hinata kembali berpamitan pada si pria sombong. Ia membungkukkan kepalanya singkat. Saat pintu elevator mulai tertutup, Hinata bisa melihat pria itu melotot. Aneh sekali.

.

.

Hinata sedang mengerjakan laporan keuangan yang diminta oleh atasannya ketika ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Ino. Hinata meraih ponselnya dan membuka isi pesan. Hinata, terima kasih atas bantuanmu waktu itu. Semua stok lingerie yang kau pakai habis terjual!

Wow. Hinata takjub dalam hati. Pesan masuk lagi ketika Hinata hendak membalas. Kalau kau ada waktu, bisa temui aku di toko sore nanti?

Seharusnya Hinata tahu. Tidak akan menjadi hal baik jika Ino Yamanaka memintanya bertemu di toko lingerie. Lihat, perempuan pirang itu –plus kakaknya- sedang berlutut untuk meminta Hinata menjadi modelnya sekali lagi.

“Tidak. Aku ‘kan bilang hanya akan membantumu sekali, Kak.” Hinata bersidekap. Ia merasa dimanfaatkan.

“Hinata, kumohon. Satu kali lagi. Satu kali lagi saja. Tolonglah, Hinata.” Ino menggosok-gosok telapak tangannya.

“Iya, Hinata. Tolonglah. Sekali ini saja lagi. Model baju ini benar-benar cocok untukmu.” Deidara ikut memelas. Ia meneleng-nelengkan kepalanya. Puppy eyes kakak-beradik itu membuatnya jengah.

“Baiklah, baiklah. Tapi ini akan menjadi yang terakhir.”

“Yeay!” Deidara bangun lebih dulu. Tangannya mengepal dan tertarik ke atas. “Aku akan menyiapkan kamera!” Deidara pergi ke ruang belakang dengan cepat.

“Apa? Sekarang?”

Ino bangun dan memeluk Hinata dari samping. “Iya. Sekarang hari kamis, malam jumat. Kau tahu artinya, ‘kan?” Hinata menggeleng, membuat Ino gemas dan mencubit pipinya. “Tidak papa. Kau tidak perlu tahu. Kita langsung siap-siap saja ya, sayang.”

Hinata mengikuti Ino yang menuntunnya ke ruang pemotretan kemarin. “Omong-omong, kenapa penjualannya bisa cepat habis dalam seminggu?”

“Tidak tahu. Sabtu lalu ada seorang pria yang mampir, dan secara ajaib toko kami ramai besoknya. Kau memang membawa keberuntungan, Hinata!” Ino menggosokkan pipinya pada pipi Hinata. “Sekarang, tolong buat keajaiban sekali lagi!” Ino mengedipkan matanya. Saat itulah Hinata tahu harus ganti baju.

“Kau sudah selesai, sayang?” Ino menoleh pada Hinata yang keluar dari balik tirai. Lingerie yang Hinata kenakan kali ini terdiri dari tiga potongan kain. Tube ketat yang menutupi payudara sampai bawah perut Hinata, celana pendek ketat yang hanya berjarak beberapa senti setelah pangkal pahanya, dan stocking yang terikat pada pengait di celana.

“Ya. Tapi, rasanya pakaian ini terlalu ketat.”

Deidara menganga lagi pada Hinata yang sedang mencoba menaik-naikkan tube. Ia harus mengontrol dirinya kali ini. Itu sudah janjinya pada Ino.

“Oh, astaga! Bagian dadanya terlalu sesak? Tapi kalau kuberi ukuran di atasnya akan kebesaran di tubuhmu, Hinata.” Ino menyentuh bahu Hinata. “Tolong tahan sebentar, ya. Deidara sudah berjanji akan mengambil satu foto saja kali ini.”

Memangnya dia mengambil berapa foto sebelumnya? Hinata membantin.

“Hinata, Hinata, tolong pegang ini juga, ya!” Deidara menyerahkan sebuah cambuk pendek mainan berwarna hitam pada Hinata yang sudah berdiri di depan kamera.

“Apa yang harus aku lakukan dengan ini?” Hinata menatap bingung pada cambuk mainan tersebut.

“Pegang saja dengan satu tanganmu dan angkat ke atas. Seperti kau memegang penggaris.” Kata Deidara.

“Begini?” Hinata mempraktikan apa yang Deidara bilang.

“Ya, ya, ya!” Deidara menyahut dengan antusias. Dengan cepat ia beralih ke kameranya, melihat melalui lensa.

“Hinata, tolong renggangkan kedua kakimu. Sedikit berpose. Bisa kau angkat tanganmu ke atas juga? Gulung rambutmu dengan tanganmu sendiri. Oh, tolong naikkan dagumu juga.” Deidara memberikan intruksi dengan semangat. Hanya satu foto, dan Deidara harus membuatnya jadi yang terbaik.

“Sempurna!”

CEKREK

.

.

Lingerie yang terakhir Hinata pakai terlalu ketat. Setelah dilepas, sebuah luka timbul di bagian atas payudaranya, dekat pangkal lengannya. Seharian ini Hinata meringis sakit. Padahal ia sudah memakai kemeja longgar yang dibelikan oleh Shikamaru.

“Matsuri-senpai, boleh aku bertanya?” Hinata memanggil seniornya di tempat kerja. Perempuan berambut coklat terang itu menghentikan langkahnya yang hendak pergi.

“Ada apa, Hinata?” tanya Matsuri.

“Apa kau punya salep untuk luka ringan?”

“Kau terluka? Kenapa?” Matsuri berjalan mendekati meja kerja Hinata.

“Ah, hanya sedikit tergores saja. Sepertinya.”

“Aku tidak punya. Tapi, sepertinya perusahaan punya di rak obat. Ada di ruang istirahat. Kau juga bisa memakainya di sana kalau kau mau.” Hinata mengangguk. Ia berterima kasih pada Matsuri yang sudah beranjak.

Tanpa lama-lama, Hinata segera pergi ke ruang istirahat divisi keuangan. Ia memeriksa kabinet dan mencari salep luka di rak obat-obatan.

“Ini dia!” Hinata membuka tutup salep. Lalu, ia melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di samping wadah salep yang terbuka.

Hinata membuka dua kacing kemeja besarnya sambil berjalan ke arah cermin dan menyampirkannya ke samping kiri. Sambil menghadap cermin dan memunggungi pintu, Hinata mengolesi luka lecet dengan salep yang tadi sudah dicoleknya. Hinata meringis karena rasa perih yang sedikit menyengat-nyengat.

Setelah selesai, Hinata kembali merapikan diri. Menutup dan mengembalikan salep. Tak lupa memakai kacamata minusnya juga sebelum keluar ruangan. Tanpa sadar jika aktivitasnya tadi diperhatikan.

“Hinata Hyuuga?” seseorang berdiri di dekat meja Hinata begitu perempuan itu kembali. Hinata kenal pria itu. Rambutnya yang merah dengan tato di sudut dahinya, sudah pasti itu Gaara Sabaku si ketua divisi keuangan.

“Ya, Ketua?” kata Hinata.

“Kau dipanggil wakil direktur ke ruangannya.”

“Apa?”

.

.

Hinata bertanya-tanya sepanjang perjalanannya menuju ruangan wakil direktur. Ia mengira-ngira apa yang terjadi hingga salah satu atasannya –yang benar-benar atasan- ingin menemui mahasiswa magang sepertinya. Well, jika yang memanggilnya adalah anggota HR mungkin Hinata tahu bahasan tentang kontrak magangnya.

Tanpa sadar, Hinata sudah berada di lantai sepuluh. Lantai tempat ruang para petinggi perusahaan. General manajer, wakil direktur, dan direktur sendiri. Hinata belum pernah ke lantai sepuluh. Ia menoleh-noleh, mencari seseorang untuk ditanyai. Lalu, matanya menangkap sekelebat bayangan dari pintu yang hendak tertutup.

“Permisi?” Hinata menahan pintu yang hampir tertutup. Dari celah pintu terlihat bayangan pria yang memunggunginya.

“Ya?” pria itu berbalik. Hinata bisa melihat pakaian si pria yang berantakan. Kancing kemejanya terbuka beberapa, ikat pinggangnya melonggar, dan tercium aroma parfum perempuan.

Hinata mengalihkan pandangannya, ia berdeham sebentar. “Maaf, saya ingin bertanya. Di mana ruang wakil direktur?”

Mendengar pertanyaan Hinata, si pria tersenyum miring. Ia menarik dagu Hinata agar menatapnya. Raut terkejut terpatri di wajah Hinata berkacamata. “Ada apa kau mencari atasanmu, Nona?” pria berambut panjang itu melebarkan seringaiannya. “Apa kau mau ‘bermain-main’ dengan atasan?” dengan tangannya yang lain, dua jari si pria bergerak-gerak, mengutip ketika ia mengatakan bermain-main.

Hinata bersumpah. Ia baru tahu kalau tempat kerja bisa jadi sangat menyeramkan. Ternyata atasan cabul bukan hanya sekadar rumor. Ia tergagap bergitu wajah si pria semakin dekat padanya.

“Itachi, kenapa lama sekali?!” terdengar suara perempuan dari dalam ruangan. “Apa kau berhasil menemukan stocking-ku yang sebelah lagi?”

Hinata dan si pria yang dipanggil Itachi terdiam pada suara tersebut. Mereka berpandangan sebentar. Lalu, Itachi tertawa kikuk. “Ups, husband duty!” Itachi melepaskan tangan dari dagu Hinata. “Kau bisa terus berjalan lurus sampai ujing koridor, Nona.” Itachi menolehkan kepalanya ke kanan. Hinata mengikuti arahan Itachi.

“Itachi!!! Kau sengaja membiarkanku basah sendirian?!” suara dari dalam ruangan terdengar lagi. Itachi menegakkan tubuhnya dan menoleh ke belakang sesaat. “Coming, Sakura!!” kata Itachi.

Bye, cantik!” Itachi memandang Hinata sekilas. Dengan cepat ia menutup pintu dan menguncinya. Terdengar samar-samar obrolan Itachi dan seorang perempuan yang dipanggil Sakura.

Hinata termangu sebentar. Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya agar segera tersadar. Bukan urusannya. Bukan urusannya. Hinata merapal kalimat dalam hati. Sex at the office bukan hal yang baru, ‘kan?

TOK TOK

“Permisi. Pak Wakil Direktur?” Hinata mengetuk pintu setelah tiba di ruangan ujung koridor. Ada sebuah papan nama bertulisan “Mr. Sasuke Uchiha”. Jujur, Hinata belum mengenal nama-nama atasannya di kantor. Ini baru hari kelimanya di sini.

“Masuklah.” sebuah suara terdengar dari dalam. Hinata memegang gagang pintu dan menariknya. Pintu tersebut terbuka. Hinata masuk perlahan ke dalam ruangan.

“Pak Sasuke Uchiha?” Hinata memanggil ragu, sosok di depannya tak terlihat begitu tua. Ia melihat seorang pria berkemeja garis-garis dengan dasi biru gelap sedang duduk di atas kursi kerja yang besar. Jelas menunjukkan posisi kerjanya.

“Akhirnya kau datang juga.” Sasuke tersenyum miring pada Hinata. “Hinata Hyuuga?”

“Ya, Tuan???”

“Mendekatlah. Duduk di sofa itu.” Hinata menoleh pada sofa yang dimaksud. Seperti sebuah ruangan kecil untuk berbincang dengan tamu sang wakil direktur. Hinata ragu-ragu. Ia ingin bertanya tapi ia memilih untuk mengikuti arahan terlebih dahulu.

“Maaf, Pak, boleh saya tahu kenapa Bapak memanggil saya?” Hinata bertanya tak lama ia mendudukkan dirinya. Setelah menimbang-nimbang, ia beranggapan sosok di depannya memang jauh lebih tua dan berkuasa. Sasuke mengernyit mendengar panggilan Hinata padanya. Ia tidak setua itu.

“Berapa umurmu?” tanya Sasuke.

“Maaf?” menanyakan umur seorang perempuan itu tidak sopan.

“Jawab saja. Kau anak magang, ‘kan?” Hinata mengepalkan tangannya.

“Dua puluh tahun.”

“Oh. Cukup muda untuk bentuk badanmu itu.”

“Permisi?” Hinata berdiri. Apa ia mendengar sesuatu tentang bentuk tubuhnya? Bukankah ini termasuk pelecehan?

“Ah, maaf. Aku tidak akan basa-basi.” Sasuke membenarkan dasi yang dipakainya, menjaganya untuk tetap waras. “Aku ingin kau magang jadi sekretarisku saja.”

“Maaf, Pak, saya tidak bisa. Saya sudah mengurus surat-surat magang sesuai prosedur perusahaan.” Hinata menolak dengan sopan.

“Abaikan saja prosedur tidak jelas itu.” Hinata mengernyit. Apa orang ini benar seorang wakil direktur?

“Maaf, Pak, tapi menurut saya posisi tersebut terlalu berlebihan untuk mahasiswa magang seperti saya. Jika tidak ada yang dibicarakan lagi, saya permisi.” Hinata melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan.

“Oh, apa aku harus mengatakannya dengan gamblang? Kalau aku ingin melihat tubuhmu?”

“Maaf?!” Hinata berbalik dengan kesal. Hinata tersadar lagi. Atasan cabul bukanlah sebuah rumor belaka.

“Buka kemejamu, Hyuuga.” Sasuke memerintah dari kursi duduknya. Ia memandang tajam ke arah Hinata yang sudah berada di depan pintu.

Sinting! Hinata memaki dalam hati. Ini benar-benar pelecehan. Hinata tak kunjung bicara, ia memaki-maki dalam diam. Sasuke bangkit dari kursi dan berjalan mendekat. Saat itulah Hinata mulai tersadar.

“Tolong jaga ucapanmu, Tuan. Leluconmu pada anak magang sepertiku sangat tidak lucu.” Hinata berbalik. Ia hendak melangkah tapi Sasuke menarik lengannya.

“Kau menolak perintahku?” Sasuke mencengkeram lengan Hinata. “Ini bukan lelucon. Kubilang, buka kemejamu.”

Sasuke menarik Hinata mendekat padanya. Hinata terkejut, sangat. Ia merasa dilumpuhkan seketika. Wajah Sasuke menatap tajam padanya, sedang tangan pria itu mulai menarik lengan Hinata. Jadi, seperti ini rasanya? Hinata ingin menangis. Ia merasa lemah sebagai seseorang yang hampir dilecehkan. Secara fisik kali ini.

KRIETT

“Sasuke, kau di dalam?” pintu ruangan terbuka. Itachi muncul dari balik pintu. Seketika Sasuke melepaskan cengkeramannya. Hinata mundur beberapa langkah.

“Oh, hai, cantik! Kau sudah menemukan ruangan wakil direktur?” Itachi menyapa Hinata yang baru mulai bernapas lagi. “Apa aku mengganggu sesuatu?” Itachi menatap Hinata dan Sasuke bergantian.

Hinata segera tersadar. Ia mengelus lengannya, dan menatap tajam pada Sasuke. “Urusan kita sudah selesai, Pak Wakil Direktur. Saya harap Anda berhenti melakukan lelucon tak lucu seperti tadi.” Hinata bicara tajam. Kemudian ia berbalik dengan cepat, meninggalkan lantai paling gila di gedung perusahaan.

“Apa itu?” Itachi menatap bingung kejadian di depannya. “Kau punya lelucon baru, Sasuke?”

Sasuke berdecak sebal. Itachi perusak suasana. Ia hampir saja meraih pinggang Hinata ke dalam pelukannya. “Bisa kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk?!” Sasuke mengetus. Ia berjalan kembali menuju kursi kerjanya.

“Hah? Apa?” Itachi berpikir sebentar. Tak lama sebuah seringaian muncul di wajahnya. Dengan pakaian yang belum rapi sepenuhnya –setelah kegiatan yang kalian tahu apa-, Itachi berjalan menuju sofa. Ternyata dia memang mengganggu sesuatu.

.

.

Mood Sasuke buruk seharian ini, kecuali saat di mana ia bisa melihat Hinata sedikit sensual pagi tadi. Dahinya mengernyit. Ia mendengus berkali-kali. Jika saja Karin, si sekretaris, tidak sedang mengambil cuti, jelas perempuan merah itu akan habis mengeluhkan sikap Sasuke.

Sasuke pulang terlambat dari kantor. Ia baru keluar dari basement pukul delapan malam. Merasa mood-nya tak kunjung membaik, Sasuke meraih gawainya saat ia berhenti di lampu apil. Sasuke menimbang-nimbang, mungkin ia akan mengajak Gaara pergi ke bar malam ini. Namun, entah kenapa dan bagaimana, Sasuke malah sudah berada di toko lingerie yang enam hari lalu dikunjunginya.

“Sial, kenapa aku malah ke sini?”

Sasuke hendak berbalik tapi ia tertangkap oleh perempuan pirang yang melihatnya dari kaca transparan. Oke, Sasuke tidak punya pilihan selain masuk ke dalam toko.

“Selamat datang di toko Yama Nyang! Kami memiliki semua barang yang akan menaikkan gairah seksualmu! Silakan melihat-lihat, Nyangh~”

Sasuke kembali disambut dengan rekaman suara heboh pemilik toko. “Hai, Tuan! Bukankah kau yang minggu lalu kemari?” Ino menyambut Sasuke yang memasuki toko.

Tidak, itu kembaranku. Ingin rasanya Sasuke membual. Masih menjaga citranya, Sasuke berdeham singkat. “Apa kau mencari sesuatu lagi?” Ino bertanya. Sasuke bingung. Ia sebenarnya tidak ada niatan datang ke toko ini.

“Oh, toko kami mempunyai katalog lingerie perempuan terbaru. Apa kau ingin melihatnya, Tuan?” Sasuke berdeham lagi. Ino mengantarkan Sasuke ke depan pigura foto terbaru yang diambil kemarin, berharap Sasuke akan membelinya.

Sasuke melihat foto di pigura pertama. Foto terbaru yang menggantikan foto sebelumnya. Oh, foto lingerie kelinci itu bergeser ke bingkai sebelah begitupun foto lingerie yang Sasuke beli minggu lalu. Total, ada tiga foto berderet yang hanya menampilkan tubuh si model lingerie saja.

Darah Sasuke terasa berdesir. Mulutnya menganga sedikit. Matanya tak lepas dari bingkai foto pertama. Foto tersebut menampilkan badan model yang menghadap kamera. Si model memakai lingerie ketat berwarna hitam. Ia tampak badass dengan campuk pendek di tangan kirinya. Tangan kanannya juga terangkat menampilkan ketiaknya yang mulus, terlihat memegang belakang kepalanya yang sedikit mendongak. Shit. Sasuke mau...

“Bisa kau bungkuskan aku lingerie itu?” Ino mengikuti arah pandang Sasuke. Benar perkiraannya, pria itu akan membeli lagi lingerienya.

Ino tersenyum senang. “Tentu, Tuan. Kau ingin ukuran apa?”

“Berikan aku yang sama seperti di foto.”

Ino tersenyum lagi. Dugaannya benar lagi. “Baik, Tuan, sebentar.” Ino berjongkok sebentar. Ia mengambil lingerie dari rak kecil tepat di bawah pigura foto. Lalu, ia pergi ke belakang meja kasir untuk memproses penjualan. Sasuke pun mengikutinya.

“Oh, apa kekasihmu memiliki tubuh yang mirip dengan model kami?” Ino bicara sambil membungkus pesanan. “Kalau ya, sebenarnya aku lebih menyarankan kau membeli ukuran satu tingkat di atasnya. Model kami sedikit terluka saat pemotretan.”

Sasuke mengernyit tak mengerti. Memangnya ia peduli? Ia sendiri masih bingung untuk apa ia membeli lingerie ini. Tanpa mendengarkan nasihat penjaga toko, Sasuke membayar pesanannya dan pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Sasuke semakin stress. Ia duduk di sisi ranjang kamarnya. Dasi dan sepatu kerjanya sudah terlepas. Kemeja bergarisnya sedikit berantakan dengan satu kancing terbuka. Tak jauh dari tempatnya menutup wajah sambil menunduk, lingerie barunya tercecer di atas kasur.

“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Untuk apa kau menghabiskan uang pada hal tidak berguna itu?!” Sasuke mengusap kasar wajahnya. Ia menyesal sudah menolak semua upaya perjodohan yang pernah ibunya atur.

KRIETT

“Yo, Sasuke! Apa kau mau...” ucapan Itachi terpotong begitu ia melihat adiknya termenung. Quarter life crisis? Tidak, Sasuke sudah terlalu tua untuk itu.

“Kau kenapa?” Itachi memilih bertanya pada adiknya. Ia berjalan mendekati Sasuke yang tak kunjung menjawab. Begitu Itachi mencapai ranjang Sasuke, matanya membola melihat potongan lingerie di kasur Sasuke. “What the –?! Kau membeli lingerie lagi?” Itachi mengangkat celana pendek ketat.

“Apa yang akan kau lakukan pada benda-benda ini?” Itachi meraih tube ketat. Ia mengangguk dalam hati. Ukurannya tidak pas untuk Sakura. “Kau punya pacar, Sasuke?” tanya Itachi lagi.

“Tsk. Bisa tidak sih kau jangan mengganggu?” Sasuke berdecak sebal. Ia melirik Itachi dari lubang kecil di antara jari-jarinya. “Bukankah sudah kubilang untuk mengetuk pintu terlebih dahulu?”

“Oh, santai Sasu–” Itachi melempar potongan lingerie yang tadi dipegangnya. “Kau benar-benar terlihat kacau. Marah-marah pada kakakmu sendiri.” Itachi bersidekap. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Sasuke. “Mungkin kau butuh seks.”

Senyuman cabul Itachi. Sasuke semakin, semakin, semakin... kesal! Ia bangkit dan berkacak pinggang. “Dengar ya, Kak. Aku sudah besar. Kau tidak bisa sembarang masuk ke ruang pribadiku. Bagaimana kalau aku sedang bersama pacarku?”

“Oh hohhh.. Aku sangat senang kalau itu benar-benar terjadi!” Itachi menjentikkan jari. “Mungkin kau memang harus segera mencari pasangan. Ajak saja salah satu penggemarmu di facebook. Mereka pasti akan menggila seperti saat aku menunjukkan fotomu bersama lingerie.”

Sasuke mengernyit. “Foto apa?” –ups, Itachi keceplosan. “Hehe, tidak.” Itachi berjalan mundur. Kedua tangannya terlipat di belakang punggung, menyembunyikan gawainya. “Apa maksudmu, Kakak Bodoh?!” Sasuke menarik lengan Itachi dan mengambil gawai kakaknya dengan cepat.

Sasuke mencari-cari aplikasi berwarna biru. Ia membuka beranda dan melirik ikon pemberitahuan yang menunjukkan banyak angka. Sasuke meng-klik ikon tersebut. Memijit salah satu pemberitahuan yang mengarahkannya pada sebuah postingan salah satu grup bernama ‘Perkumpulan Calon Pendamping Mr Sasuke’.

Postingan tersebut memuat sebuah foto berisikan laki-laki yang tertidur di atas kasur dengan lingerie berupa potongan bra dan celana dalam yang tergerai di samping si laki-laki. Tangan si laki-laki terulur pada bagian kiri cup bra, seolah menangkupnya. Sebuah tulisan singkat tersemat dalam tulisan tersebut, ‘Inilah yang adikku suka. Kalian mengerti kan, ladies?’.

“Berengsek! Apa yang kau lakukan?!” Sasuke menatap nyalang pada kakaknya sendiri.

Itachi mengangkat bahu lenggang. “Hanya memberi petunjuk pada... para calon adik iparku?”

Sasuke mengepalnya tangannya, menggenggam erat gawai Itachi. “Oh owh!” Itachi berjalan mundur perlahan, menuju pintu keluar. Sayonara, gawaiku. Pintu kamar Sasuke terbuka dan tertutup lagi. Sebuah bunyi barang yang terlempar ke arah pintu terdengar. KRAK.

“ITACHI!!!”

.

.

Selasa malam, acara makan malam perusahaan. Tanpa angin, tanpa hujan, Itachi mengadakan makan malam besar yang mengundang seluruh karyawan perusahaan. Seluruh, termasuk anak-anak magang. Beralasan ingin satu meja dengan temannya Gaara, Sasuke duduk satu meja bersama divisi keuangan.

Beberapa karyawan divisi keuangan sudah terbiasa. Mereka tahu kalau ketua timnya punya hubungan personal dengan wakil direktur. Selain itu, minggu lalu mereka juga cukup sering melihat sang wakil direktur lalu-lalang di lantai tujuh. Tentu saja alasannya adalah perempuan di seberang Sasuke yang menatap tak peduli padanya.

“Apa kakakmu sedang mendapatkan hal baik? Tiba-tiba mengadakan pesta begini.” Sasuke menoleh pada Gaara yang duduk di sampingnya. Ia mengangkat bahu tak peduli.

“Hyuuga-san, terima kasih ya, kemarin kau sudah membantuku.” seorang karyawan laki-laki berambut coklat mendekat pada Hinata. Sasuke melirik hal itu dari ekor matanya.

“Sama-sama, senpai. Aku hanya mengerjakan tugasku saja, kok.” Hinata merendah. Laki-laki itu tertawa mendengarnya.

“Hahaha. Dilihat dari dekat, ternyata kau manis juga, ya!” pipi si laki-laki yang memiliki tato segitiga berada di samping wajah Hinata. Kini Sasuke menoleh dan menatap tak suka. “Ini, minumlah bagianku.”

Laki-laki itu menyodorkan gelas besar berisi bir pada Hinata. “Eh, tidak usah, senpai.” Hinata menolak. Ia mengangkat tangannya, menghalau gelas sodoran seniornya.

“Sudah, minum saja.” senior Hinata memaksa. Ia semakin mendorong gelas ke arah Hinata. Terjadi sedikit aksi dorong-dorongan di meja tersebut. “Maaf, senpai. Aku tidak –”

BYURR

Gelas tersebut tumpah ke arah Hinata. Membasahi kemeja putih Hinata. Hampir seluruh orang di meja tersebut terkejut. Sasuke melotot. Kemeja Hinata menjadi transparan karena basah. Branya yang berwarna biru terekspos bersama dadanya yang sedikit menyembul. Sasuke yakin, ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari payudara kiri Hinata yang memiliki luka kecil di sudut dan payudara kanan Hinata yang memiliki... tahi lalat?

DUG

Hinata bangkit dari kursinya. Ia berlari ke luar ruangan sambil menutupi bagian depan tubuhnya. Ia malu, sangat. Ia yakin banyak orang yang melihat kondisi memalukan itu. “Hinata?!” seorang karyawan perempuan berambut coklat terang bangkit. “Kiba berengsek! Awas saja kau nanti!” karyawan perempuan tersebut mengambil jas milik Gaara –yang kebetulan duduk di sebelahnya- dan segera menyusul Hinata.

Sasuke mengerjap-ngerjapkan matanya. Tadi itu, apa? Setelah mendengar helaan napas Gaara, Sasuke tersadar. Ia segera bangkit dan pergi menuju suatu tempat.

.

.

Benar dugaan Sasuke. Ia merasa pernah melihat tahi lalat di payudara kanan Hinata. Sasuke kembali ke toko lingerie. Ia mengarahkan kamera pada foto lingerie ketat di pigura pertama. Menggunakan kecanggihan zoom in, Sasuke menangkap tahi lalat kecil di payudara kanan sang model.

“Maaf, Tuan, ada yang bisa kami bantu?” Ino menatap heran pada pria yang tiga kali ke tempatnya. Pria itu terburu datang dan diam di dekat katalog lingerie yang terakhir dibelinya. “Apa ada yang salah dengan foto itu?”

Sasuke menoleh pada Ino. Tangannya yang lain menunjuk foto kedua. “Apa lingerie itu masih ada? Aku ingin membeli dengan ukuran yang sama persis seperti di foto.”

“Eh?” Ino mengikuti arah penunjuk Sasuke. Lingerie merah dengan ekor kecil yang pernah dipakai oleh Hinata. “Baik... Tuan?” Ino merasa ada yang aneh tapi ia segera menepisnya. “Akan aku bungkuskan.”

Ino mengambil stok lingerie di rak. Ia sedikit mendongak ke arah Sasuke dan melihat laki-laki itu sedang tersenyum miring. “Oh, aku juga ingin izin mengambil foto katalog-katalog itu.” tanpa menunggu sahutan Ino, Sasuke sudah mengambil foto tiga katalog lingerie yang dibelinya menggunakan gawainya.

“Selamat datang di toko Yama Nyang! Kami memiliki semua barang yang akan menaikkan gairah seksualmu! Silakan melihat-lihat, Nyangh~”

Suara dari pengeras suara di atas pintu masuk toko kembali terdengar ketika Sasuke menarik pintu untuk keluar ruangan. Sudah ketiga kalinya ia datang ke toko ini. Mungkin Sasuke akan terbiasa mendengar rekaman tersebut.

Begitu sampai di samping mobilnya, Sasuke melirik bungkusan berisi lingerie barunya –lagi. Ia tersenyum miring. Tak lama, Sasuke mengeluarkan gawainya dan menelepon seseorang.

“Halo?” suara dari ujung panggilan.

“Gaara, laporan keuangan minggu ini, aku ingin Hinata Hyuuga yang mengantarkannya ke ruanganku.”

“Anak magang itu? Kenapa? Bukankah –”

TUTTT

Panggilan terputus sebelum Gaara –yang baru keluar restoran- bertanya lebih lanjut. Sasuke memasuki mobilnya dengan hati gembira. Ia menaruh bungkusan ke kursi penumpang. Sambil menyalakan mesin mobilnya dan tersenyum, Sasuke berbisik pelan, “aku mendapatkanmu lagi, Hyuuga.”

.

.

Setelah momen memalukan di acara makan malam kemarin, Hinata merasa semua orang mulai menatapnya lebih intens lagi. Kini bukan hanya pada tubuhnya, tapi orang-orang juga mulai memerhatikan wajahnya dengan berani. Hinata bergerak gusar di atas kursi meja kerjanya. Ia menatap dengan was-was pada sekumpulan karyawan pria yang berasal dari divisi IT dan entah bagaimana sedang berkumpul di lantai tujuh.

“Hinata Hyuuga?”

Hinata terkejut. Ia segera menoleh ke kiri dan menemukan pria berambut merah yang memanggil namanya. “Y-ya, Ketua?” sahut Hinata dengan ragu.

“Kau baik-baik saja?” Gaara mengernyit. Sedikitnya ia merasa khawatir karena insiden kemarin. Bagaimana pun, Gaara itu adalah seorang atasan.

“Ya, Ketua. Aku baik.”

Gaara mengangguk mengerti. “Aku ingin minta tolong...” Gaara menggantungkan ucapannya. Ia sadar, orang-orang tengah memerhatikannya dengan Hinata. “Tolong datang ke ruanganku. Lima menit lagi.” setelah mengucapkannya, Gaara segera pergi ke dalam ruang kerjanya.

Hinata sekilas menatap bingung pada kepala divisi keuangan. Apa si ketua punya urusan dengannya? Kenapa tidak langsung dibicarakan? Kenapa musti menunggu lima menit? Lebih penting, apa yang mau dibicarakan?

Hinata panik sendiri dalam hatinya yang berisik. Bagaimana kalau gara-gara kemarin? Tapi Matsuri-senpai bilang semuanya akan baik-baik saja. Tapi, bisa saja itu hanya untuk menghiburku, ‘kan?

Hinata terus-terusan bicara sendiri dalam pikirannya. Sudah empat menit. Hinata memilih untuk segera beranjak. Ia lebih suka menunggu satu menit di depan pintu ruangan Gaara. Begitu tepat lima menit terlewati, Hinata mengetuk pintu. Ia masuk dan menutup pintu setelah diberikan izin.

“Ada apa memanggilku, Ketua?” Hinata bertanya pada Gaara. Laki-laki merah itu duduk di kursi kerjanya. Tanpa sadar, ia ikut memerhatikan tubuh Hinata yang berbalik dan berjalan mendekat. Hei, Gaara juga seorang laki-laki normal!

Gaara menggelengkan kepalanya sebentar, untuk menyadarkan dirinya sendiri. “Aku ingin meminta bantuanmu, Hinata Hyuuga. Soal laporan keuangan bulan ini.”

Hinata bernapas lega dalam hatinya. Bukan soal kejadian kemarin.

“Laporan keuangannya, tolong kau serahkan ke ruangan wakil direktur minggu ini, ya.”

Hinata mengangguk cepat. Detik berikutnya, ia tiba-tiba tersadar sesuatu. “Maaf, Ketua. Apa Anda barusan bilang tentang ruangan wakil direktur?”

Gaara mengangguk. “Ya. Apa ucapanku tidak jelas?”

“Ah, bukan begitu, Ketua. Itu...” Gaara menunggu Hinata melanjutkan ucapannya. “Kenapa harus aku?”

Benar, kenapa harus gadis ini? Gaara bertanya dalam hati.

“Aku hanya menerima perintah dari atasan.” Gaara tidak berbohong. Sasuke memang atasannya. Tanpa dijelaskan pun, Hinata sudah cukup mengerti siapa atasan yang memerintah Gaara.

“Maaf Ketua, sepertinya aku tidak bisa melakukannya.”

Gaara mengerutkan dahinya. Apa ia baru dibantah mahasiswa magang? “Maaf, Hyuuga, itu perintah dari atasanmu. Sebagai anak magang, bukankah kau ingin belajar dunia pekerjaan yang sesungguhnya? Aku memberimu tugas untuk menyelesaikan dan memberikan laporan keuangan.”

“Tapi, Ketua, aku...” Hinata meneguk ludahnya sendiri. Gugup karena Gaara memerhatikannya dengan tajam. “Aku belum menyelesaikan laporan yang sebelumnya, Ketua.”

Gaara mengangkat sebelah alis tipisnya. “Kubilang, serahkan minggu ini, Hyuuga. Kau masih punya waktu dua hari.”

Hinata membuka mulutnya lagi, hendak mencari alasan. “Dan aku yakin kau sudah terbiasa mengebut dalam mengerjakan laporan selama kuliah, ‘kan?”

Telak. Hinata tidak bisa membantah lagi. Ia benar-benar kehabisan alasan. Dengan berat hati, Hinata keluar dari ruangan Gaara bersama oleh-oleh di kedua tangannya –beberapa berkas pendukung laporan yang musti dikerjakannya sejak minggu lalu plus tambahan berkas-berkas lain.

Wajah murung Hinata sehabis dipanggil Gaara tak terlewat oleh Matsuri dan Kiba. Dua orang karyawan perusahaan yang menjadi senior Hinata di divisi keuangan. Melihat junior didikannya bersedih, Matsuri ikut tidak enak hati. Ia menyenggol lengan Kiba yang ada di sampingnya. “Kau tidak ingin membantunya? Kemarin itu salahmu, ‘kan?”

Kiba sedikit tersentak. Ia ingin mengelak tapi ia pun tahu kesalahannya. Laki-laki coklat itu menghela napas sebentar. Lalu, ia berjalan pelan menuju meja kerja Hinata.

“Hai, Hinata.” sapa Kiba. Perempuan berkacamata itu mendongak padanya. “Apa kau mendapat masalah dari ketua?”

Hinata tak menjawab. Ia menundukkan pandangan dan sedikit menggembungkan pipinya. Memang sih ia merasa mendapat masalah. Tapi, Hinata jelas tahu siapa pemberi masalah itu, tentu bukan Ketua Panda Merah-nya.

“Ah, kenapa ketua malah memberi hukumannya padamu? Padahal kan aku yang salah.” sesal Kiba. Ia menghela napas lagi, merasa bersalah. “Hinata, apa kau kesulitan? Aku bisa membantumu.”

“Eh, tidak usah, senpai. Aku tidak ingin merepotkanmu.”

“Aku tidak kerepotan. Anggap sebagai permintaan maafku. Juga rasa terima kasihku karena kau sudah membantuku mengopi berkas senin lalu.” Kiba sedikit memajukan tubuhnya. Ia berseru dengan yakin.

“Tidak usah, senpai. Ini sudah menjadi kewajibanku.” Hinata menghalau Kiba dengan kedua tangannya.

“Tidak papa, Hinata. Aku bisa membantumu kok.” Kiba meraih kedua tangan Hinata. Menggenggamnya dengan yakin. Matanya menatap Hinata sungguh-sungguh. Mereka berdua kembali berdebat kecil seperti kemarin malam.

“Ekhem.”

Sebuah dehaman mengalihkan perhatian Kiba dan Hinata. Mereka menoleh ke asal suara. Itu Gaara lagi. Pria bersurai merah itu menatap sedikit ke bawah, pada tangan Kiba yang masih menggenggam tangan Hinata. Cepat-cepat Kiba melepaskan genggamannya.

“Inuzuka-san, kuharap kau bisa lebih mengendalikan dirimu. Ini di kantor, di hadapan rekan-rekan kerjamu. Tolong jangan berbuat hal onar lagi.” Gaara mengingatkan. Dilihatnya Kiba yang sudah menegakkan tubuh dan sedikit menunduk karena menyadari tatapan dari beberapa pegawai lain. Selang beberapa detik setelah ucapannya, Gaara pergi meninggalkan ruang kerja divisi keuangan.

.

.

“Aku yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi.” Gaara bicara setibanya ia di ruangan Sasuke. Dengan santai, Gaara berjalan menuju sofa dan merebahkan diri. “Jadi, kau sudah mau cerita?”

Sasuke menoleh pada Gaara. Alisnya terangkat sebelah. “Cerita apa?” Sasuke kembali menatap layar ponselnya.

“Jangan berpura-pura. Aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi antara Hinata Hyuuga denganmu, Pak Wakil Direktur.” sindir Gaara. Kali ini, ia datang sebagai Gaara Sabaku si sahabat Sasuke Uchiha. Tapi, laki-laki raven itu malah bertingkah.

“Mana laporannya? Perempuan itu belum datang.” keluh Sasuke.

“Aku baru bicara padanya tadi, bodoh! Bagaimana bisa dia menyelesaikan laporannya dengan cepat?” Gaara berdecak sebal. Ia bahkan sudah mulai bersidekap sambil rebahan. “Lagipula, kenapa kau minta dia yang buatkan? Kalau salah, bagaimana?”

“Kalau salah, itu berarti kau tidak becus mengajari bawahan!”

BRUK

Bantal sofa mendarat di sebelah Sasuke. Pria bersurai hitam itu mendelik tak suka. “Berhenti membicarakan laporan. Kau belum cerita padaku soal Hinata Hyuuga.”

Sasuke menghela napas lelah. Ia meletakkan gawainya di atas meja. Layarnya menampilkan sebuah foto baju berwarna merah yang tak lama hilang karena Sasuke mematikan layar ponsel tersebut. “Aku hanya tertarik padanya.” ujar Sasuke.

“Sudah kuduga. Pasti gara-gara kejadian bra biru kemarin.”

Sasuke mendelik tak suka. Ia berdecak sebal pada Gaara. Balas mengambil bantal sofa yang kini berbalik dilemparkan. Sayang sekali, Gaara berhasil menangkap bantal tersebut. Kini ia malah mulai memeluknya.

“Jangan bicara sembarangan. Aku mengenalnya lebih dulu.”

“Benarkah? Lebih dulu dari tim HR?” Gaara bertanya tak acuh. Ia memiringkan badannya guna melihat Sasuke yang makin kesal.

“Aku tidak ingin menceritakan detilnya padamu. Yang jelas, aku tertarik padanya lebih dari yang kau tahu.”

“Sialan! Kau jatuh cinta?”

Sasuke mengernyit. Tidak sejauh itu. “Bukan urusanmu, ‘kan?”

Gaara berdecak. Ia bangkit terduduk. “Jangan bilang kau akan mendahuluiku, Sasuke. Aku masih belum bertemu dengan calon istriku.”

“Tenang saja. Aku akan setia melihat rupa perempuan sial yang dijodohkan denganmu, kok.”

Gaara berdecih, sebuah senyuman kecil tersungging di wajahnya. Kemudian, ia menaruh batal sofa yang ada di pangkuannya ke samping. Sudah cukup lama ia meninggalkan ruangan kerjanya, waktu makan siang sudah akan selesai.

“Omong-omong, Sasuke,” Gaara berbalik sebentar ketika tangannya hendak mencapai gagang pintu. “Tolong jangan berbuat onar di kantor.” Selesai bicara, Gaara menarik gagang pintu, keluar, dan pergi ke kantin perusahaan.

Sedang Sasuke mengangkat sebelah alisnya sambil menatap pintu. Siapa Gaara yang berani-berani memperingatinya? Itachi saja tidak pernah mengomel. Sial, Sasuke semakin ingin berkuasa.

.

.

“Hinata, kau belum tidur?”

Hinata mendongak, mengalihkan konsentrasinya dari layar laptop sebentar. “Ya, Kak. Aku sedang mengerjakan laporan.” Hinata menjawab Shikamaru. Matanya kembali fokus pada berkas-berkas yang diberikan Gaara tadi siang.

“Apa kau perlu bantuan?” Shikamaru yang baru mengambil segelas air dingin di dapur mendekat ke sofa ruang tengah.

“Tidak usah, Kak. Aku bisa sendiri.” Hinata mengetik sesuatu pada keyboard. Lalu, ia menyadari sesuatu. Hinata menghentikan jarinya dan menatap Shikamaru yang sedang meminum air. “Maaf aku mengerjakannya di ruang tengah. Cahaya lampu di sini lebih terang.”

Shikamaru mengedikkan bahu. Ia menurunkan mulut gelas dari bibirnya. “Tidak papa. Kau bisa melakukan senyamanmu. Kalau kau tidak perlu bantuan, aku akan tidur.”

Hinata mengangguk pada kakaknya. Baru satu langkah, Shikamaru sudah menghentikan jalannya. “Hinata...” panggilan Shikamaru membuat Hinata menoleh padanya. Perempuan itu menanti lanjutan ucapan sang kakak. “Tidak. Jangan memaksakan dirimu. Istirahatlah kalau kau sudah lelah. Selamat malam.”

Hinata mengangguk-angguk. Shikamaru mendekatinya dan mengelus puncak kepalanya sebentar. Setelahnya, laki-laki itu kembali ke dalam kamar dan pergi tidur. Sementara itu, Hinata masih harus menyelesaikan tugas dadakan yang diberi oleh atasan –benar-benar atasannya- yang agak sinting itu.

.

.

TOK TOK

Jumat pagi, terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan kerja Sasuke. Pria raven yang duduk di kursi kerjanya dengan gagah itu tersenyum miring. Akhirnya datang juga.

“Masuklah.”

Tak lama dari sahutan Sasuke, pintu terbuka dan tertutup lagi. Dari baliknya, masuklah Hinata dengan amplop merah besar yang dibawanya. Ia maju mendekati meja kerja Sasuke dan menyodorkan amplop merah. “Permisi, Pak. Saya ingin menyerahkan laporan keuangan bulanan dari divisi keuangan.”

Sasuke mengernyit. Ia tak suka dengan panggilan Hinata yang berubah-ubah padanya. “Taruh saja di meja.” Hinata menuruti perkataan Sasuke. Setelahnya ia bergerak mundur, hendak berpamitan.

“Kalau begitu, saya izin pamit, Pak.”

“Tunggu.” Hinata menatap was-was. Takut jika atasannya tiba-tiba menyerang seperti minggu lalu. “Buka tas coklat itu.” Sasuke menunjuk sebuah tas kain berwarna coklat dengan ujung dagunya.

Hinata menatap heran. “Maaf, Pak. Apa maksudnya?” tanya Hinata sopan.

“Buka saja. Nanti juga kau tahu.” Sasuke berujar ketus. Terang sekali nada suaranya sangat memerintah. Hinata ingin memaki mendengar perintah laki-laki itu. Bagaimana laki-laki itu bersidekap sambil tersenyum remeh padanya.

Sambil menghela napas, Hinata meraih tas coklat yang ada di atas meja kerja Sasuke. Ia menarik, merogoh, dan mengeluarkan isian dari dalam tas. Hinata melotot. Apa ia baru saja melihat tiga baju lingerie?

“A-apa ini?” Hinata mundur satu langkah. Kedua matanya membola kaget. Reaksinya membuat Sasuke tersenyum miring. Laki-laki itu bangkit dan berjalan mendekati Hinata.

“Kau tidak tahu? Atau pura-pura tidak tahu?” Sasuke mengambil tiga baju lingerie yang terbungkus plastik bening. “Bukankah kau model dari pakaian-pakaian ini, Nona?” Sasuke menunjukkan ketiga baju lingerie pada Hinata. Perempuan itu terlihat sedikit gelagapan.

“Aku tidak mengerti ucapanmu, Tuan. Maaf, sepertinya aku harus pergi.”

“Mau ke mana?” Sasuke menangkap lengan Hinata yang hendak berbalik. “Aku belum selesai bicara.”

Sasuke merogoh saku celananya. Ia membuka gawainya dengan satu tangan. Menunjukkan layar ponsel yang menyala pada Hinata. “Apa kau benar tidak mengenal tubuh wanita ini, Hyuuga?”

Hinata makin gelagapan. Layar itu menunjukkan foto lingerie hitam ketat dengan cambuk mainan. Sesuatu yang Hinata ingat terjadi minggu lalu. Ia panik, sangat. Bukankah Ino sudah berjanji akan menjaga rahasianya? Lalu, bagaimana pria ini tahu?

“Lalu kenapa?” Hinata mengumpulkan keberaniannya. “Kalau memang benar aku model lingerie itu, apa ada hubungannya denganmu, Tuan Wakil Direktur?”

Sasuke melebarkan seringaiannya. “Jadi, kau mengakuinya, ya?” Sasuke melepaskan tangannya yang menahan lengan Hinata. “Tentu saja ada hubungannya denganku. Kau adalah mahasiswa magang di perusahaan ini. Bagaimana bisa seorang model lingerie bekerja kantoran?”

“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan kinerjaku di perusahaan.”

“Tapi bagaimana kalau orang-orang tahu?”

“Tidak ada yang tahu kalau kau menjaga mulutmu, Tuan.”

Sasuke melebarkan kelopak matanya. Menarik. “Sayang sekali, aku tidak bisa menjaganya. Kecuali kau melakukan satu hal untukku.”

“Melakukan apa?”

Sasuke menyeringai lagi. Hinata memakan umpannya. Sasuke berbalik sebentar, ia mengambil bungkusan lingerie yang tadi ditaruh kembali di atas meja. “Pakailah lingerie ini sekarang.”

Mulut Hinata sedikit menganga. Matanya kembali melotot kesal. “Gila! Apa Anda baru saja melecehkan pekerjamu, Pak?” Sasuke mengedik tak peduli. Ia tidak akan termakan pancingan Hinata. Ini adalah ruangan kuasanya. “Aku tidak peduli.”

Hinata menghempaskan ketiga bungkusan plastik ke lantai. Ia berbalik dengan cepat menuju pintu. Menariknya, hendak pergi. “Kau pikir, kau mau pergi ke mana?!” Sasuke menggeram. Hinata kaget. Bukan karena suara Sasuke, tapi karena pintu ruangan yang tak bisa dibuka padahal tak ada kunci yang menggantung. Perasaannya saja, atau pintu ruangan berubah dari minggu lalu?

“Apa ini?” Hinata bertanya dengan bingung.

“Nah, selamat datang di ruangan pribadiku.” Sasuke mendongak bangga saat Hinata berbalik padanya. Hinata bisa menangkap sebuah remot kecil yang dipegang Sasuke. Entah dari mana dan sejak kapan.

“Pintunya terkunci. Dan hanya bisa dibuka melalui remot ini. Bagaimana, Hyuuga? Kau tidak punya pilihan untuk kabur.”

“Jangan bercanda!” Hinata menggerutu. Pria di hadapannya terlihat sangat menyebalkan. Alisnya terangkat-angkat, seolah mengejeknya.

“Lakukan perintahku. Pakai salah satu lingerie itu.” Hinata menatap tak percaya. Alisnya menyatu sempurna. Tatapannya horor pada Sasuke. “Aku berjanji tidak akan menyakitimu kalau kau menurutiku sekarang, Hyuuga.”

Hinata mendengus. Beberapa detik beradu argumen dengan Sasuke membuatnya kesal tak karuan. Jujur, ia tidak mau. Sangat. “Aku akan melakukannya. Tapi, pastikan tidak ada foto atau video yang merekam!”

“Tenang saja, sayang. Ruangan ini tak memiliki CCTV.” Sasuke meyakinkan. Alisnya kembali terangkat-angkat. Sepuluh detik kemudian, Hinata berjongkok. Ia meraih satu bungkusan plastik. “Ho? Kau pilih yang memiliki ekor, ya?”

Hinata berdecak. Kalimat tak senonoh. “Aku akan berganti baju.”

“Silakan. Kamar mandinya di sana.” Sasuke menunjuk dengan tangannya. Hinata bersumpah. Sehabis ini, ia ingin membuat perhitungan pada Ino.

.

.

Sekitar tiga menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Hinata keluar malu-malu. Bersamaan dengan suara pintu yang berderit, Sasuke menatap ke asal suara dengan cepat. Oh, wow! Sialan!

Hinata masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Lingerie merah membalut tubuhnya, bagin dada sampai pangkal paha. Sasuke mengambil gawainya. Ia mengangkat gawai yang layarnya menyala, membandingkan penampilan Hinata sekarang dengan foto model yang ada di layar ponselnya. Sasuke mengangguk, sama.

“Apa yang kau lakukan? Bukankah kau sudah berjanji tidak ada foto dan video?” Hinata menatap kesal pada Sasuke yang terlihat mengangkat gawainya. Laki-laki itu malah tersenyum miring dan mendekat padanya. Gawat! Hinata harus berlindung.

“Mau ke mana lagi?” Sasuke menahan lengan Hinata yang hendak masuk ke dalam kamar mandi. “Aku tidak memotret tubuhmu. Hanya membandingkannya saja.” Sasuke menunjukkan layar ponselnya yang masih menyala.

Kenapa musti dibandingkan? Hinata merutuk dalam hati.

Matanya bergerak gusar. Ia bisa merasakan tatapan Sasuke yang seolah menelanjanginya. Sungguh membuatnya malu. Laki-laki itu menaruh gawainya ke dalam saku celana. Hinata tersentak begitu tangan kanan Sasuke menyentuh bahunya yang terbuka. Lidah Hinata terasa kelu. Sentuhan Sasuke merambat turun hingga paha kirinya.

“Tolong...” Sasuke menoleh pada Hinata yang menatap takut. “Hentikan, Tuan Sasuke.”

Mendengar namanya disebut, Sasuke membelalak sebentar. Dengan cepat, ia mendorong tubuh Hinata hingga membentur dinding samping kamar mandi. Napas Sasuke terengah di antara perpotongan leher Hinata. Sialan! Sialan! Sialan! Sasuke memaki dalam hati. Ia bernafsu.

“Mungkin kau butuh seks.”

Sasuke teringat ucapan Itachi minggu lalu. Benar, Sasuke butuh pelepasan untuk hasratnya. “Mendesahlah, Hyuuga.” Hinata terperanjat. Sasuke berbisik pelan di telinga kirinya. Bibir Sasuke menempel hingga Hinata bisa merasakan benda lembut itu menggesek cupingnya.

“Ayo, cepat. Mendesahlah.” Hinata menutup mulutnya kuat-kuat. Ia merasakan sesuatu yang basah menyentuh telinganya. Gila! Atasannya sudah gila!

Hinata mendorong tubuh Sasuke sekuat tenaga. “Kau hanya bilang untuk memakai baju sialan ini. Jangan menyentuhku!”

Sasuke mengerjap. Ia kembali memerhatikan tubuh Hinata. Sial, makin diperhatikan Sasuke semakin bernafsu.

“Sasuke, jangan berbuat onar di kantor.”

Tiba-tiba ucapan Gaara tempo hari terlintas. Sasuke mengepalkan tangannya. Apa-apaan nada intiminasi Gaara waktu itu? Lihatlah, karenanya Sasuke segera minta orang untuk memodif pintu ruang kerjanya. Sekarang, Sasuke semakin ingin berbuat keonaran.

“Kenapa? Kalau aku bilang akan menyentuhmu dari awal, kau akan terima?” Hinata menatap nyalang. Mungkin otak atasannya itu sudah eror.

“Hentikan omong kosongmu, Tuan. Kau sudah melihat apa yang kau inginkan, ‘kan? Kalau begitu kita sudah selesai.”

Lagi, Sasuke menahan tangan Hinata. “Aku tidak akan berhenti sebelum...” alis Hinata menyatu, menantikan ucapan Sasuke. “...kau mendesah untukku.”

Sinting! Sekali lagi, Hinata yakin atasannya memang sudah gila. “Tidak! Perintahmu terlalu gila!” Hinata menyentakkan tangannya, berusaha melepaskan diri. “Lepaskan tanganku, Tuan. Kau menyakitiku.”

Hinata terus berontak. Menggerak-gerakkan tangannya agar terlepas. Sasuke masih diam saja. Ia memerhatikan tubuh Hinata yang sedikit bergoyang-goyang. Sialan lagi, Sasuke ingin memeluk tubuh itu.

“Aku akan melepaskanmu asal kau mengikuti syaratku.” Hinata terdiam, ia menghentikan gerakannya. “Selama magang di sini, kau harus makan siang di ruanganku.”

Hinata mengangkat sebelah alisnya. “Aku juga berjanji tidak akan membocorkan tentang model lingerie itu asal kau menurutiku.” Hinata diancam. Ia tidak bisa apa-apa selain menurut, kan?

“Aku akan mengikuti ucapanmu asal dengan satu syarat.” Sasuke mengangkat alisnya. “Jangan pernah menyuruhku memakai pakaian ini lagi, Tuan.”

Sasuke berdecak. Ia melepaskan pegangannya pada lengan Hinata. “Tsk. Sayang sekali, padahal tubuhmu indah.” Hinata melotot tak terima. “Baiklah, terserah. Kalau kau tidak ingin aku melanggar janji, cepat ganti bajumu.”

Sasuke melambaikan tangannya. Ia berbalik arah, menuju meja kerjanya. Hal itu membuat Hinata bernapas lega. Buru-buru ia masuk kamar mandi dan berganti baju.

Hinata menoleh pada Sasuke yang juga menoleh padanya ketika keluar kamar mandi. Sedikit gugup, Hinata berjalan mendekat untuk menyerahkan lingerie kembali pada Sasuke. Ia sempat berpikir sejenak, haruskah ia mencuci lingerie yang barusan dipakainya?

“Ingat, siang ini kau harus mulai datang ke ruanganku, Hyuuga.”

Hinata mendengus. Sasuke bicara sambil membolak-balikkan berkas. Pandangan Hinata sedikit menunduk, ia menggigit bibirnya dengan gusar. “Aku ingin bertanya.” Sasuke mendongak untuk menatap Hinata. “Bagaimana kau tahu jika model itu adalah aku? Apa seseorang memberitahumu?”

Sasuke mengedikkan bahu. “Hanya insting.”

Hinata melotot. Ia tak habis pikir. Apa mungkin bisa begitu?

“Omong-omong, Hyuuga,” Sasuke meraih remot kecil. Memijit salah satu tombol hingga pintu ruang kerjanya sudah tak terkunci. “Laporan keuangannya berantakan. Kerjamu banyak salahnya.” Hinata bersumpah, ia sangat malu dan marah sekarang. Bahkan, rasanya lebih memalukan daripada pelecehan yang diterimanya tadi. Apa kerjanya memang seburuk itu?

.

.

“Hinata Hyuuga?”

Seperti dejavu, Hinata menoleh dan melihat Gaara berdiri di dekat ruang kerjanya. “Aku sudah mendapat ulasan dari wakil direktur. Laporan yang kau buat, masih banyak salahnya. Perbaikilah. Ini panduannya kalau kau membutuhkan.” Gaara menyerahkan sebuah buku pada Hinata.

Perempuan itu menerima buku yang Gaara ulurkan dengan pasrah. “Tengat waktunya sampai senin depannya lagi.” Hinata mengangguk. Ia mengucapkan terima kasih dan berkata akan segera mengerjakan perbaikan laporannya.

Hinata mendesah lelah. Lima belas menit lagi waktu makan siang. Sudah berjam-jam ia membaca buku panduan yang membuat matanya semakin mengabur. Dua setengah tahun kuliah akuntansi membuatnya ingin menangis.

“Hai, Hinata.” Matsuri muncul dari bilik kerja. “Apa kau perlu bantuan?”

Dari samping Matsuri, Kiba ikut menyembul. Mereka berdua terlihat khawatir pada kondisi Hinata yang bekerja keras tiga harian ini. “Tidak papa, senpai. Aku hanya perlu membaca panduan dan mengerjakannya.” Hinata tersenyum lembut. Menolak ajakan Matsuri untuk pergi makan siang di luar perusahaan. Hari ini ia cukup dengan roti lapis dan sekotak susu strawberry dari kantin kantor.

Sesuai dengan perjanjian mereka tadi pagi, Hinata datang ke ruang kerja Sasuke saat jam makan siang dimulai. Ragu-ragu, Hinata cemas selama perjalanan. Ia menengok ke kanan-kiri, takut setengah mati jika dipergoki seseorang. Ketika sudah sampai di depan ruang kerja wakil direktur, Hinata kembali bertanya pada dirinya sendiri, “apa yang aku lakukan?”

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Sasuke menatap Hinata yang masih berdiri di depan pintu. Dari sudutnya, Hinata bisa melihat Sasuke yang tersenyum mengerikan. Memerintahkannya untuk segera masuk.

“Apa yang kau bawa?” Sasuke menghampiri Hinata yang duduk di sofa. Perempuan itu meletakkan susu kotak dan satu buah roti lapis di atas meja. “Makan siang. Memangnya apa lagi?” jawab Hinata sembari mulai membuka bungkus roti.

“Kau tidak membelikannya juga untukku?” gerakan tangan Hinata terhenti di udara. Ia melirik Sasuke yang berdiri di sampingnya, menjulang tinggi. “Anda hanya bilang untuk menemanimu makan siang, Tuan. Tidak memerintahkanku untuk membelikanmu makan siang.”

Hinata menggigit roti lapisnya, di sampingnya ada Sasuke yang duduk sembari menghela napas kasar. Selama beberapa saat Sasuke hanya memandangi Hinata. Perempuan itu makan dengan kedua tangan yang penuh. Lalu, tiba-tiba Sasuke merebahkan diri, tertidur dengan paha Hinata sebagai bantalan.

“Hngh?!”

Hinata memekik kaget. Mulutnya yang penuh membuatnya tak bisa berteriak. Ia nyaris bangkit tapi Sasuke menahan tubuhnya. “Biarkan begini. Aku tidak akan melakukan hal lebih jika kau diam.” Sasuke menyamankan posisi kepalanya. Menyamping ke kanan, memunggungi tubuh Hinata. “Aku akan tidur siang. Lanjutkan makanmu.”

.

.

“Bagaimana bosmu di tempat magang?”

Buruk! Aku mendapat pelecehan! Dia memanfaatkan rahasiaku untuk kesenangannya. Belum lagi atasanku yang lain membebaniku dengan banyak tugas. Aku bisa gila!

Ingin sekali Hinata menjawab secara gamplang di pertemuan jurusannya malam minggu ini. Jumat kemarin Hinata menemani bosnya, Sasuke Uchiha, untuk makan siang. Tapi, nyatanya hanya Hinata yang makan siang. Atasannya itu tertidur selama tiga puluh menit, di pangkuan Hinata, catat! Untungnya, Sasuke Uchiha adalah laki-laki yang memegang omongannya. Pria itu tidak menyentuh Hinata lebih dari bantalan untuk kepalanya.

“Sepertinya kau punya banyak pikiran, Hinata.” seorang pria pirang berjalan beriringan, tepatnya lelaki itu mengikuti Hinata begitu acara makan malam jurusan akuntansi selesai. “Kau mau cerita padaku? Tentang magangmu selama dua minggu ini?” tanya si pria.

Lelaki pirang itu tak berhenti bertanya pada Hinata meskipun perempuan indigo itu tak menoleh padanya sama sekali. “Kalau kau kebingungan mengerjakan tugas, bilang saja padaku. Aku sudah pernah magang tahun lalu. Jadi mungkin saja aku bisa–” Hinata terlihat menghentikan langkahnya, si pria pun ikut berhenti. “Hinata?”

Hinata berbalik, menatap tajam pria yang berhadapan dengannya. “Berhenti bersikap sok ramah padaku, Naruto –senpai.” kata Hinata dengan dingin. “Akhirnya kau bicara padaku juga.” Naruto malah tersenyum lega. Ia mengabaikan tatapan tak suka Hinata. “Kau susah sekali dihubungi sejak akhir musim gugur lalu. Untunglah aku ikut acara makan-makan angkatan kalian.”

Hinata menatap jijik pada Naruto yang terlihat biasa saja. “Aku khawatir padamu, Hinata.”

“Benarkah?” Hinata bersidekap. “Kalau begitu, mustinya kau memikirkanku sebelum kau memutuskanku dan berlibur dengan perempuan barumu ke Kuba, senpai.” Hinata bicara dengan penuh tekanan. Enak sekali jadi Naruto. Memutuskannya begitu terlibat cinta lokasi saat program pengabdian.

Naruto membuang napasnya, ia menundukkan pandangan sebentar. “Maaf, Hinata. Aku memang jatuh cinta pada Konan. Tapi, aku tetap tidak bisa mengabaikanmu.” alis Naruto menyatu, tatapan matanya sayu. “Kumohon, maafkan aku Hinata.”

“Ahahaha!” Hinata terbahak cukup kencang. Mereka berdua bahkan sempat menjadi perhatian bagi para pejalan kaki sekitar. “Meminta maaf memang mudah, senpai. Semudah kau menamai sebuah perasaan sebagai cinta. Terima kasih padamu, aku sudah tidak percaya lagi pada kesetiaan.” Hinata mengutarakan perasaannya selama enam bulan ini. “Tolong jangan cari dan hubungi aku lagi. Selamat tinggal, Naruto-senpai.”

Hinata berbalik. Segera ia berjalan cepat untuk pulang ke apartemennya, tak peduli meski Naruto beberapa kali meneriakkan namanya. Bertemu kembali dengan Naruto benar-benar membuat kondisi mentalnya kacau. Begitu sampai di apartemen, Hinata hanya bisa meringkuk di sofa ruang tengah dengan keadaan laptop yang dibiarkan menyala.

“Apa terjadi sesuatu padamu, Hinata?” Shikamaru yang baru kembali dari apel rutinnya melihat bingung pada sang adik. Di tangannya ada semangkuk puding yang siap santap. “Apa tempatmu magang terlalu menyulitkanmu?” Shikamaru menyuap sesendok puding.

“Ya.” Hinata menyahut lemah.

“Benarkah?”

“Tidak.” Shikamaru mengernyit heran. Jadi iya atau tidak? “Kalau butuh teman cerita, cerita saja padaku. Aku sudah seperti kakak kandungmu, ‘kan?” Hinata akhirnya menoleh pada Shikamaru. Dilihatnya sang kakak yang sibuk menyuap puding coklat berlapis susu vanila. “Apa ayah baik-baik saja?”

Shikamaru menahan gerakan tangannya di udara. Ia memandang Hinata selama beberapa detik. “Ya. Kata ibu, ayah rutin berobat.” Shikamaru memasukkan satu sendok puding lagi ke dalam mulutnya. “Kenapa tiba-tiba bertanya?”

Hinata menatap Shikamaru sebentar, kemudian ia menengadah untuk menatap langit-langit apartemen. “Dulu, kukira ayah sudah mendapatkan karmanya karena pernah meninggalkan ibuku.” ucapan Hinata mengingatkan Shikamaru pada peristiwa tahun lalu. Saat ayah mereka jatuh sakit dan musti berobat jalan. “Tapi akhir-akhir ini, aku jadi semakin yakin kalau karma ayah diberikan padaku.”

Tuk. Shikamaru menaruh mangkuk di atas meja. Ia memiringkan tubuhnya agar menatap Hinata. “Kau kenapa? Jangan bicara begitu. Aku tidak suka mendengarnya.” Shikamaru menepuk bahu Hinata, membuat perempuan itu menoleh padanya. “Apapun yang kau lalui saat ini, itu bukan karma buruk. Ayah memang salah, ibuku juga salah. Tapi, aku yakin Tuhan tidak akan menghukum anak-anak yang tak bersalah.”

“Ingat, Hinata. Kau tidak sendirian. Bagaimanapun, aku adalah kakakmu. Kau punya aku, atau Temari, atau Ino. Jangan menahannya seorang diri.”

Benar, apapun yang Hinata lalui, itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Tapi, rasanya hidup Hinata itu seperti pepatah. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Mendapatkan pelecehan di tempat kerja, dibebani tugas kerja yang berat, bertemu mantan pacar yang berkhianat, dan juga–

“Hinata, barangkali kau butuh waktu kerja tambahan, aku sudah bilang agar anggota HR membiarkanmu ambil lembur.” Gaara muncul, senin pagi di meja kerja Hinata. “Untuk memudahkanmu juga, aku akan memberikan salinan laporan keuangan bulan lalu.” Pria merah itu menyerahkan flashdisk kecil pada Hinata. Sebagai mahasiswa magang, Hinata hanya bisa tersenyum pada perhatian –agak berlebihan- atasannya itu. “Terima kasih, Ketua.”

–juga didesak atasan untuk segera menyelesaikan tugas. Begitu Gaara pergi, Hinata mengambil napas dengan rakus. Rasanya ia tidak dibiarkan untuk bernapas. Tuhan, Hinata butuh pelepasan...

.

.

Tiga hari ini, Hinata merasa seperti mayat hidup. Lembur sampai jam sembilan malam, bolak-balik membuka materi kuliah, buku bacaan, dan contoh laporan yang diberikan atasan terdisiplinnya. Lebih lagi, Hinata menatap sebal pada pria yang empat kali tidur di pangkuannya. Yang lebih butuh istirahat itu, aku... jerit Hinata dalam hati.

“Kau terlalu sering bernapas.” Hinata berdeham bingung pada Sasuke yang masih memejamkan matanya. Pria itu sontak bangun, membuka mata untuk berhadapan dengan Hinata. “Aku bisa merasakan hembusan napasmu dari bawah.”

Hinata mendelik tak suka. Ia menghabiskan susu kotak yang sudah jadi menu hariannya. “Maaf membuatmu tidak nyaman, Tuan. Salahmu sendiri tidur di pangkuan makhluk hidup.”

“Aku tidak bilang tidak nyaman,” koreksi Sasuke. “Kalau begitu aku akan bertumpu pada bahumu saja.” Sasuke menyandarkan kepalanya di bahu kiri Hinata. Hal itu membuat Hinata sedikit terdorong ke kanan karena berat yang menumpu padanya. Bagaimanapun, tubuh Sasuke lebih besar darinya. “Ah, tidak. Jangan seperti ini.”

Sasuke kembali menegakkan tubuhnya. “Kalau begitu, bisa-bisa aku terangsang karena berdekatan dengan dadamu.”

“Uhuk! Uhuk!”

Hinata tersedak susu strawberry. Ia menepuk-nepuk ujung dadanya. Tiba-tiba Sasuke ikut menepuk-nepuk tengkuknya. “Bukan begitu, Hyuuga. Kau harus menekannya di sini.” Hinata terbatuk keras. Sasuke memukul tengkuknya agak kasar, sampai-sampai kacamata yang digunakan Hinata hampir terjatuh.

“Tuan, kau menyakitiku!” Hinata melotot. “Ini namanya kekerasan dalam perusahaan!”

“Aku hanya membantumu.” Sasuke mengedikkan bahu. “Kau tersedak dan aku memberikan pertolongan pertama.”

“Menurutmu, siapa yang menyebabkan aku tersedak, Tuan?” sindir Hinata. “Lagipula kau tidak perlu memukulku dengan keras.” Hinata mengelus tengkuknya, ia meringis nyeri.

“Maaf.” Hinata menajamkan pendengarannya. “Apa? Kau bicara sesuatu, Tuan Sasuke?”

“Maafkan aku, Hyuuga.”

Kelopak mata Hinata terbuka lebar. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Untuk apa kau meminta maaf?” Sasuke mengernyitkan dahinya. “Karena sudah memukulku? Atau karena sudah melecehkanku?”

Alis Sasuke terangkat sebelah. “Aku tidak melakukan pelecehan seksual secara fisik padamu, Hyuuga.”

“Kau mendorongku ke tembok!” bantah Hinata. “Ka-kau juga me.. me.. menempelkan bibir dan lidahmu di telingaku!” Hinata bicara cepat sambil menahan malu dan marah di saat yang bersamaan. Sasuke terkekeh seram. “Tapi aku tidak menyentuh area pribadimu. Payudara dan area pantatmu masih suci, ‘kan?” Sasuke berkata lenggang. Sedang telinga Hinata mulai memerah.

“Pelecehan secara verbal dan pemaksaan kehendak juga tidak dibenarkan, Pak Wakil Direktur.”

Sasuke mengepalkan tangannya. Ia memicing ke arah Hinata, bibirnya masih terkatup rapat. Samar, Sasuke bisa melihat tatapan takut yang terselip di iris perak Hinata. Sasuke meneguk ludahnya. “Maafkan aku,” kata Sasuke lembut. “Aku tahu, ini salah. Tapi aku benar-benar tidak bisa terlepas dari tubuhmu yang menggoda itu.” Hinata melotot lagi, bicara Sasuke terlalu blak-blakan. “Aku juga tidak bisa menyalahkanmu yang menjadi model lingerie. Kuyakin kau pasti punya alasan sendiri. Tapi, kali ini aku akan meminta padamu. Sampai aku bisa mengontrol diri, tolong temani aku makan siang seperti sekarang. Aku akan cukup menatap payudaramu dari bawah.”

Hinata benar-benar hampir akan menampar Sasuke. Ia merasa dilecehkan lagi. Tangannya sedikit bergetar, hendak terangkat. Namun, entah kenapa ia malah merasa kasihan. Sasuke terlihat sangat tersiksa oleh dirinya sendiri. “Bejanjilah untuk tidak menyentuhku tanpa seizinku, Tuan Sasuke.”

“Aku berjanji.” sekilas dan sedikit, Hinata melihat senyuman kecil yang Sasuke sunggingkan. “Jadi, aku boleh tidur lagi di pangkuanmu, ‘kan?” Hinata berdeham untuk menyamarkan semburat merah yang entah bagaimana muncul di pipinya. “Asal jangan terlalu melihat itu-ku, Tuan.”

Sasuke tersenyum, tanpa diketahui Hinata. Ia hampir kembali merebahkan diri ketika tiba-tiba teringat sesuatu. “Ah, omong-omong mulai besok sekre–”

Ceklek Ceklek

Dug-Dug-Dug. Kenop pintu ruangan Sasuke bergerak dua kali, seseorang hendak membukanya. Gedoran pintu pun terdengar karena pintu ruangan yang terkunci. “Tuan Sasuke, kau di dalam?” seseorang memanggil Sasuke dari luar.

“Nah, itu dia. Sekretarisku yang baru kembali dari cuti.” Sasuke bangkit berdiri. Ia mengambil remot di atas meja kerjanya. Menekan tombol agar kuncian pintu terbuka. “Tuan Sasuke?” seorang wanita berambut merah muncul dari pintu. “Sejak kapan pintu ini di-upgrade?”

Sasuke mengabaikan pertanyaan wanita merah itu. Ia berjalan dan duduk kembali di atas sofa. Menyadarkan sekretarisnya jika sang atasan tidak sendiri. “Eh, kenapa kau di sini? Hinata?” sekretaris mengenali Hinata yang segera berdiri. Ia sedikit terkejut dengan mulut terbuka. “Kak Karin?”

Sasuke menatap Hinata dan Karin bergantian. Sepertinya ia dilupakan. Lihat saja Karin yang tiba-tiba menarik Hinata keluar, membuat Sasuke tidak bisa menghabiskan sisa waktu istirahatnya di pangkuan Hinata.

“Jadi, kau magang di sini, Hinata?” tanya Karin. Kini mereka berdua duduk bersisihan di salah satu ruang istirahat. “Iya, Kak. Aku baru tahu kalau kakak bekerja di sini.”

“Aku sekretaris Tuan Sasuke, wakil direktur. Memang tiga minggu kemarin aku mengambil cuti pernikahan. Apa Naruto tidak memberitahumu?” akhirnya Karin menyebut nama itu juga. Adik sepupunya yang tahun lalu mengenalkan Hinata sebagai pacarnya.

“Kami sudah putus, Kak.”

Alis Karin terangkat, merasa bersalah. “Oh, maaf. Aku tidak tahu.” Hinata menggeleng pelan. “Omong-omong kau berlibur ke mana, Kak?”

“Kuba,” jawab Karin dengan semangat. “Negara yang cantik dan romantis. Aku benar-benar menikmati bulan maduku bersama Suigetsu.” Hinata tersenyum kecut, berbanding terbalik dengan Karin yang tersenyum lebar. Kuba lagi...

“Oh ya, kenapa kau ada di ruangan wakil direktur, Hinata?”

Gawat. Hinata baru sadar situasinya tidak menguntungkan. “Kami... kenalan?” Hinata bicara ragu. “Kak Sasuke yang memasukkanku magang di sini. Mungkin karena orang tua kami pernah saling mengenal?” Hinata merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia musti berbohong?

“Oh, begitu? Aku belum pernah mendengar Tuan Sasuke bicara tentang keluarga Hyuuga sebelumnya.” Hinata meneguk ludah, gugup. “Tapi mulai besok aku akan kembali bekerja. Kau bisa bertanya padaku kalau kau kesulitan, Hinata.” Karin tersenyum tulus. Selanjutnya mereka menghabiskan sisa waktu makan siang untuk berbincang. Bertanya mengenai divisi tempat Hinata magang, perkuliahan Hinata, dan liburan Karin di Kuba. Bertemu dengan orang yang ia kenal ‘baik’ di perusahaan membuat Hinata merasa sedikit lebih tenang. Ia tak lagi merasa terlalu terbebani, oleh pekerjaan ataupun oleh Sasuke.

.

.

Rabu malam. Lagi-lagi Sasuke tidak bisa mengindahkan bayangan tubuh Hinata dari kepalanya. Mengingat curahan hati Hinata tadi siang, Sasuke seperti tertampar. Ia harus segera menyadarkan diri dengan mandi air dingin. Namun, ketika membuka lemari baju, mata Sasuke tak sengaja menangkap lingerie merah yang pernah Hinata pakai di kantornya.

“Sialan. Kenapa malah terlihat oleh mataku sih?”

Sasuke menggerutu, tapi ia malah melebarkan lingerie merah itu. Mengamatinya, mengingat kejadian lima hari lalu. Hinata pernah memakai lingerie ini dan Sasuke belum sempat mencucinya. Apa ia seterobsesi itu? Apa Sasuke memang secabul yang kakaknya pernah bilang?

Pelan, tangan kiri Sasuke merambat turun. Menyentuh dirinya sendiri yang masih berbalut celana kerja. Sasuke bisa merasakan dirinya berdesir. “Shit! Bermain solo lagi?”

TOK TOK TOK

“Sasuke? Kau di dalam?”

Sasuke hampir membuka resleting celananya ketika ia mendengar suara Itachi. Memaki dirinya sendiri dalam hati, Sasuke berjalan ke arah pintu sambil membawa lingerie merah itu. Menggunakannya untuk menutupi ‘sang adik’ yang menegang.

“Ada apa sih?” Sasuke merutuk pada Itachi bersamaan dengan terbukanya pintu dari dalam. Terlihat wajah Itachi yang awalnya berseri tiba-tiba mengernyit heran. “Apa yang kau pe –gang?! HAH?!! Kau memegang lingerie perempuan, Sasuke?!”

Itachi berteriak kencang. Sasuke semakin kesal. Ia takut kakak iparnya mendengar jadi ia segera menarik Itachi ke dalam kamarnya. “Kakak bodoh!” maki Sasuke.

Itachi masih menutup mulutnya yang menganga. Matanya tak bisa terlepas dari lingerie merah yang masih dipegang Sasuke di bawah tubuhnya. Kepala Itachi bergeleng-geleng. “Sasuke, kena–”

“Kalau kau akan bertanya tidak penting, lebih baik kau keluar. Cepat katakan apa yang kau mau, Kak?!”

Itachi menurunkan tangannya. Ia berdecak pada Sasuke. “Kau sangat tidak sabaran. Padahal ini berita yang menggemparkan.” Itachi merasa akan kehilangan momennya. “Aku ingin kau bertanya pada Gaara. Siapa yang tiga harian ini lembur di kantor? Kata petugas janitor, ada orang yang memakai gedung lantai tujuh tiap malam.”

“Memangnya kenapa sih kau sangat anti pada kerja lembur, Kak?” Itachi mendesah pelan. “Sasuke, sayang, lembur itu pemborosan. Boros listrik, boros peralatan kantor, dan boros tenaga pekerja. Aku lebih suka pekerjaku menyelesaikan pekerjaannya dengan hati gembira.”

Sasuke mencibir Itachi yang bicara sok bijak. Mentang-mentang direktur perusahaan.

“Jadi, jangan pernah terpikir olehmu atau siapapun, akan menjadikan kantor sebagai tempat persembunyian sambil bekerja.” Itachi menepuk bahu Sasuke. “Sesungguhnya yang kau butuhkan itu hanya seks, Sasuke.”

Sasuke melotot pada Itachi. Bisa-bisanya masih menggodanya. “Kalau sudah selesai bicara, keluarlah, Kak!” usir Sasuke. Itachi tertawa, adiknya memang sangat seru untuk digoda. “Iya, iya, aku pergi. Jangan lupa tanyakan pada Gaara, ya.” Pria berambut panjang itu berbalik, berjalan menuju arah pintu. “Omong-omong Sasuke,”

CEKREK

Kejadiannya sangat cepat. Itachi berbalik dan mengeluarkan ponselnya secepat kilat. Memanfaatkan Sasuke yang tidak fokus, Itachi berhasil mengambil foto bagian bawah tubuh Sasuke yang memegang lingerie. Ingat, lingerie merah itu terbentang lebar menutupi selangkangan Sasuke.

“Kusarankan kau segera mencari wanita untuk pelepasan seksualmu!” Itachi berseru sambil berlari cepat ke arah pintu. Ia melakukan semuanya dengan sangat cepat. Membuat Sasuke terbengong selama beberapa saat. “Itachi sialan!!!”

Sasuke menggerutu di dalam kamar. Sementara Itachi sedang cengengesan di balik pintu. Pria itu segera membuka grup facebook yang dikelolanya. Ia bersiap memposting status. Foto terbaru yang diambilnya beberapa detik lalu dan mulai mengetik sesuatu. “Ladies, adikku suka warna hitam dan merah.” Sent. Satu lagi bahan gosip yang akan meramaikan para penggemar rahasia Sasuke Uchiha. Atau Itachi menyebutnya, ‘Perkumpulan Calon Pendamping Mr Sasuke’.

.

.

Hari kamis ini, seharian Sasuke tidak bisa fokus. Semua kejadian yang terjadi kemarin berputar-putar di kepalanya. Hinata, pelecehan, Karin, Itachi, seks. Semuanya terasa memusingkan tapi lebih memusingkan lagi dirinya sendiri yang benar-benar butuh pelepasan. Sudah Sasuke putuskan, sepulang kantor, malam jumat ini, ia akan pergi ke bar yang menyediakan jasa prostitusi.

“Selamat datang, Tuan.” Seorang pria gagah berambut abu gondrong menyambut Sasuke yang baru masuk ke rumah bordil. Pria gagah itu terlihat sangat berkelas. Rambut gondrongnya disisir rapi, iris matanya kemerahan, senyuman kecil terpatri di wajahnya. Tak lupa balutan yukata modern-nya juga menambah kharisma sang pria.

Sasuke mengedarkan pandangan. Ia bisa melihat orang-orang di dalam ruangan yang rerata memakai yukata. Ia jadi merasa salah abad karena memakai setelan jas kantornya. “Tuan, saya adalah pemilik rumah bordil di bar ini. Nama saya Tengen. Jadi, perempuan seperti apa yang Tuan cari malam ini?” suara pria di sampingnya menyadarkan Sasuke.

“Apa malam ini ada acara cosplay?” tanya Sasuke yang masih terganggung karena perbedaan pakaian mereka. “Hahahaha.” Pria bernama Tengen tertawa. “Betul, Tuan. Hari ini special zaman edo. Maka dari itu, Tuan pun musti mengganti pakaian jika akan memakai jasa kami.”

Tengen menunjuk ke samping pintu masuk. Terdapat sebuah ruangan dengan berbagai model yukata yang bisa dipakai oleh calon pelanggan. “Jadi, perempuan seperti apa yang Tuan inginkan? Kami akan menyiapkannya selama Tuan bersiap-siap.” Sasuke mengalihkan pandangannya. Ia menerawang sebentar.

“Berambut gelap –panjang? Wajahnya agak bulat, berkacamata, dan memiliki iris mata yang unik?”

Tengen tertawa lagi. Sepertinya sang calon pelanggan tengah membayangkan seseorang. “Ah, sayang sekali putri-putriku tidak memiliki gangguan di penglihatan mereka. Juga, konsep hari ini tidak tepat jika memakai kacamata kan, Tuan?” Tengen mengangkat alis, mengingatkan tema zaman edo yang mereka terapkan. “Kalau begitu, Tuan bisa mengganti pakaian terlebih dahulu. Saya akan kembali setelah menyiapkan ruangan.”

Sasuke memasuki ruangan untuk berganti baju. Di dalam ruangan terdapat banyak yukata tergantung. Ada untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Dipilihnya beberapa yukata hingga tangan Sasuke memutuskan untuk mengambil yukata kotak-kotak berwarna biru gelap. Sasuke mulai melucuti pakaian kerjanya, menyisakan celana pendeknya. Setelahnya ia segera memakai yukata tersebut.

Setelah selesai, Sasuke keluar ruangan. Ia merapikan sedikit obi yukatanya. Rasanya Sasuke seperti hendak pergi ke suatu perayaan. “Apakah Anda sudah selesai, Tuan?” begitu mendongak, Sasuke melihat Tengen yang tersenyum padanya. Sasuke hanya berdeham. Ia mengikuti Tengen dalam diam hingga mereka sampai ke sebuah ruangan.

Sasuke mengedarkan pandangan ke seluruh isi ruangan. Sesuai konsep, ruangan ini dimodif menjadi kamar tidur budaya Jepang yang sering ia lihat di dorama-dorama zaman dulu. “Tuan, ini adalah perempuan yang saya pilihkan.” Sasuke menatap seorang perempuan cantik berambut hitam panjang.

Perempuan itu memakai yukata berwarna merah muda dengan motif garis-garis segitiga. Obinya bermotif kotak-kotak putih-merah. “Mohon bantuanmu untuk memuaskan tamu kita ya, Nezuko?” Tengen tersenyum pada perempuan itu. “Baik, Tengen-sama.” Perempuan yang dipanggil Nezuko itu membungkuk hormat.

Dapat Sasuke rasakan sebuah tepukan di bahunya. “Selamat bersenang-senang, Tuan.” Kemudian Tengen keluar dari ruangan kamar dan menutup pintu shouji.

“Tuan, boleh aku tahu siapa namamu?” Nezuko meraih Sasuke dalam pembicaraan terlebih dahulu. “Sasuke.” Nezuko tersenyum. “Sasuke-sama, apa Anda ingin meminum teh?”

Sekitar sepuluh menit, Sasuke dijamu dengan minum teh dan beberapa camilan tradisional yang Nezuko suguhkan. Sasuke bukannya belum pernah mendapatkan pelayanan service dari tempat prostitusi. Ia pernah, dulu, saat jiwa mudanya masih berapi-api. Selama kuliah bahkan ia cukup aktif secara seksual. Tapi, bekerja sebagai wakil direktur di usia muda seperti membuatnya kehilangan selera. Tiba-tiba saja ia jadi lebih suka bermain laptop daripada tubuh wanita.

Tapi yah, seperti yang kita tahu bersama. Entah bagaimana, akhir-akhir Sasuke merasakan gejolak dalam dirinya. Hanya karena melihat tubuh indah yang jadi model lingerie. Iya, tubuh Hinata Hyuuga.

“Tuan?” panggilan Nezuko membuat Sasuke berhenti melamun. Perempuan itu menatap lembut padanya. “Apa kau sudah rileks, Tuan?”

Nezuko mendekat, ia menyentuh kedua bahu Sasuke. Memberikan pijatan di sana. Sasuke merasa darahnya berdesir. Sentuhan Nezuko memanjakannya. Selama beberapa saat, itu terasa seperti pijatan biasa guna melemaskan otot-otot bahu dan lehernya yang keras. “Apa pijatanku sudah pas, Tuan?” Sasuke menyahut lagi dengan dehaman. Detik selanjutnya mata Sasuke terbuka, yang sebelumnya tertutup selama menikmati pijatan di bahunya.

Nezuko berada di belakang Sasuke. Perempuan itu semakin mendekat hingga payudaranya menyentuh punggung Sasuke. “Sepertinya punggungmu juga butuh pijatan, Tuan.” Sasuke menelan ludah. Nezuko menggesek-gesekkan payudaranya sendiri pada punggung Sasuke.

Napas Sasuke kian memberat. Tangan Nezuko pun mulai meninggalkan bahunya. Merabat ke bawah. Menyusuri lengan Sasuke, punggung, berputar ke bagian depan Sasuke. “Jantungmu berdetak dengan kencang, Tuan.” Nezuko memeluk Sasuke dari belakang. Tangannya terdiam di dada bidang Sasuke selama beberapa saat, merasakan detakan jantung pria raven itu.

Kemudian tangan Nezuko merambat ke bawah lagi. Menyusuri perut Sasuke yang masih terbalut yukata. Bisa ia dengar deru napas Sasuke yang memberat. “Ahhhh apa ini, Tuan? Sepertinya ada yang mengeras di sini.” Tangan Nezuko sudah sampai pada titik tubuh Sasuke. Pria itu menghembuskan napas beratnya.

Nezuko tersenyum ketika Sasuke bereaksi pada sentuhannya. Ia menggoda kenjatanan Sasuke sebentar. Lalu, Nezuko melepaskan diri dari Sasuke. Membuat si pria mengernyit heran.

Ternyata Nezuko pergi ke depan tubuhnya. Perempuan itu menyingkirkan meja kecil dengan bekas jamuannya tadi di atasnya. Ia merendahkan tubuhnya hingga setengah merangkak di depan Sasuke yang duduk menggunakan zabuton. “Kau sudah mengeras. Haruskah saya memulainya, Sasuke-sama?”

Sasuke meringis ketika Nezuko menyibak yukata dan menyentuh kejantanannya yang berlapis celana pendek. “Sshhh...” desis Sasuke. Perempuan di bawahnya itu belum berani membuka celananya. Masih menunggu jawaban Sasuke yang sedari tadi diam saja.

“Lakukan.” kata Sasuke akhirnya. Nezuko tersenyum. Ia menurunkan celana pendek Sasuke hingga memperlihatkan kejantanan Sasuke yang sudah menegang. Menyentuh dan memainkannya sebentar, Nezuko memandangi wajah Sasuke yang meringis.

“Ugh...”

Lenguhan Sasuke kembali terdengar. Saat itulah Nezuko meludah dan mengoleskan liurnya pada milik Sasuke. Menciuminya sebentar sebelum mulai memasukkannya ke dalam mulut. Berpengalaman dengan pekerjaannya, Nezuko mengulum Sasuke dengan lihai. Memainkan lidahnya, memaju mundurkan kepalanya yang membuat Sasuke kenikmatan.

Dari atas sini Sasuke bisa melihat surai gelap panjang yang sedang memanjakan miliknya. Permainannya sangat hebat, Sasuke akui itu. Kepalanya naik-turun membuat rambut hitamnya bergerak. Napas Sasuke memburu, ia kemudian menggerakkan tangannya untuk menyentuh surai panjang itu.

Menyisir dan menjambak rambut perempuan itu seiring dengan jilatan yang diterimanya. Sasuke merasakannya, ada yang akan keluar. Lenguhan Sasuke kembali terdengar. “Hinatah,” pangilnya.

Perempuan di bawah Sasuke mendongak. Menampilkan wajah dan matanya yang bulat. Sasuke juga bisa melihatnya. Mata yang menatapnya bukanlah iris perak keunguan yang ia bayangkan. Melainkan iris gelap dengan sedikit warna merah muda. “Shit!” Sasuke merutuk. Tiba-tiba saja nafsunya hilang. Dari dalam mulutnya, si perempuan juga bisa merasakan milik Sasuke yang menyusut. Tidak jadi mengeluarkan cairannya.

Benar-benar, aku hanya ingin dia.

.

.

Lain halnya dengan Sasuke, kamis malam ini Hinata kembali menghabiskan waktunya dengan lembur di kantor. Berkutat dengan materi laporan yang tak kunjung selesai. “Hinata?” merasa namanya dipanggil, Hinata menoleh. Ia bisa melihat seorang pria berjalan mendekat.

“Kiba-senpai? Apa yang kau lakukan di sini?” Hinata melirik kedua tangan Kiba yang menjinjing tas belaja. “Menemanimu.” Kiba tersenyum lembut. Ia menaruh tas belanja di atas meja kantor Hinata. Kemudian ia menarik kursi dan duduk di dekat perempuan indigo itu. “Aku sudah mendengar tentang masalahmu dari Matsuri.” Hinata mengangkat alis. Masalah yang mana?

“Kau lembur untuk mengerjakan revisi laporan keuangan, ‘kan?” Hinata mengangguk lemah. “Ketua Gaara itu...” Kiba mulai membuka tas belanja, mengambil dua minuman dingin dari dalamnya. “Dia memang sedikit terlalu disiplin. Kadang sedikit keras juga jika menyangkut kerjaan.” Kiba mengulurkan dua kaleng minuman dingin pada Hinata.

Hinata meraih kaleng berwarna oranye. Ia dan Kiba mulai membuka tutup kaleng dan menegak minuman. “Hahhh” Kiba menelan air dengan lega. “Karena aku seniormu, aku akan coba membantu meringankan kerjaanmu.”

Kiba tersenyum pada Hinata. Hinata pun ikut tersenyum. Mereka saling melemparkan senyuman sebelum mulai melihat materi dan hasil laporan yang Hinata kerjakan. Kiba bilang, ia memang belum pernah membuat laporan keuangan untuk satu perusahaan. Tapi, ia ikut bantu menyelesaikan bagian laporan keuangan masuk yang menjadi keahliannya.

Kurang lebih satu jam, makanan dan minuman yang Kiba bawa pun sudah terbuka semua. Ia dan Hinata merasa lelah di matanya, apalagi Hinata yang memang memakai kacamata. “Maaf jadi merepotkanmu, senpai.” Kiba menggeleng pelan. “Aku senang bisa membantu. Justru aku yang mustinya meminta maaf.”

“Hm?” Hinata menatap bingung. “Minggu lalu, aku sudah mempemalukanmu di depan umum.”

“Ah, masalah itu, ya.” Hinata kembali teringat momen ‘bra biru’ kata orang-orang. “Maaf sudah melecehkanmu di publik, Hinata.” Kali ini giliran Hinata yang menggeleng pelan. “Tidak papa, aku sudah memaafkanmu, senpai.”

Kiba merasa tercubit karena senyuman lembut Hinata. “Tidak boleh!” Kiba meninggikan suaranya. “Bagaimana bisa kau memaafkanku begitu cepat?”

“Aku tidak perlu memusingkannya. Itu sudah berlalu. Kau juga tidak sengaja kan, senpai?”

Kiba mengangguk lemah tapi ia masih tetap pada pendiriannya. “Kau tidak bisa memaafkan pelaku pelecehan secepat itu, Hinata.” Hinata termangu. Pikirannya tiba-tiba teringat hal lain. Pelaku pelecehan, ya?

Sasageyo Sasageyo

Shinzou wo Sasageyo

Gawai Kiba berdering. Nada panggilan masuknya sempat membuat Hinata terkejut karena berisik. “Ah, sebentar ya, Hinata.” Kiba meraih gawainya. Ada panggilan masuk dari Matsuri. Segera ia menekan tombol berwarna hijau. “Halo? Ada apa Matsu–?”

“SIALAN SIALAN SIALAN. KAU HARUS MELIHAT GAMBAR YANG AKU KIRIMKAN KIBA!!!” Matsuri berteriak dari seberang panggilan.

Kiba merasa telinganya agak sakit. Ia menjauhkan ponselnya sebentar. “Gambar apa?” Kiba menyalakan pengeras suara.

“Sudah lihat saja dulu!”

“Iya, iya.” Kiba mulai membuka aplikasi kirim pesan. Melihat pesan yang Matsuri kirimkan. Di sampingnya Hinata ikut mendekat karena gerakan Kiba yang seolah mengizinkannya. Ketika membuka pesan dari Matsuri, Kiba dan Hinata terbelalak. “Matsuri, i-ini apa?”

“Kau sudah lihat?” Kiba berdeham. “Gila ya, ternyata wakil direktur itu sangat mesum!”

“Hehhh??” Hinata memekik.

“Heee?!” Matsuri ikut memekik. “Kiba, kau dengan siapa?”

“EH??” Kiba dan Hinata bertatapan. “Ekhem.” Kiba berdeham lagi. “Aku sedang di kantor bersama Hinata.”

“Oh... kalian tidak sedang aneh-aneh, ‘kan?” Matsuri bertanya curiga.

“Hah? Aneh-aneh bagaimana?”

“Ya aneh-aneh saja.”

“Tsk. Bicaramu yang aneh, Matsuri,” decak Kiba. “Ada lagi yang mau kau gosipkan?”

Matsuri menggeleng di sana. “Tidak. Nanti saja kita teruskan gosipnya. Aku akan pergi tidur. Kalian juga, segera pulang!”

“Iya, iya. Selamat malam.” Kiba memutuskan panggilan dengan Matsuri. Ia menghela napas. Memang rekan kerjanya di kantor agak heboh. Terlalu mengikuti gosip perusahaan. “Se-senpai, itu apa?” Kiba menoleh pada Hinata yang masih menatap ngeri.

“Ah, ini?”

Kiba memerhatikan layar ponselnya. Gambar berupa tangkapan layar postingan grup facebook. Postingan tersebut dikirim oleh Itachi Uchiha di grup privat bernama ‘Perkumpulan Calon Pendamping Mr Sasuke’. Berisi postingan foto seorang laki-laki yang memegang lingerie merah di bawah tubuhnya.

“Dari yang aku dengar, direktur punya obsesi mencarikan pasangan untuk adiknya, yang juga menjabat sebagai wakil direktur.” Kiba menunjukkan lagi kiriman dari Matsuri dua minggu lalu. Postingan berisi foto Sasuke yang tertidur dengan lingerie hitam di sampingnya. “Menurutku ini cukup mengerikan. Sebagai lelaki, aku paham jika wakil direktur bisa saja punya fetish. Tapi, mustinya Tuan Itachi tidak perlu membeberkan hal itu ke publik, ‘kan?”

Kiba mangut-mangut. Setuju dengan ucapannya sendiri. “E-eh, bukan berarti aku semesum wakil direktur ya, Hinata.” Kiba memperingatkan. Membela diri jika ia tidak semesum itu, mungkin. Sedang Hinata sedang bergelut dengan dirinya sendiri. Jelas ia tahu lingerie yang ada di kedua foto tersebut.

.

.

TOK TOK

“Tuan Sasuke, Gaara-san ingin menemuimu.” Terdengar suara Karin yang menyahut dari balik pintu. Mulai kemarin, perempuan merah itu kembali bekerja. Meja kerjanya ada di seberang ruangan kerja Sasuke. Sedikit tertutup karena berada di ujung. “Biarkan dia masuk.”

Ceklek. Gaara membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. “Ada apa mencari saya, Pak Wakil Direktur?” tanya Gaara sembari menutup pintu.

“Apa Itcahi menghubungimu?” tanya Sasuke santai.

“Direktur Itachi?” Gaara berjalan mendekat ke arah Sasuke yang duduk di kursi kerjanya. “Tidak. Memangnya kena –oh shit!” Gaara terkejut melihat wajah Sasuke. “Kau kenapa, Sasuke?”

Lingkaran bulat gelap samar terlihat di bawah mata Sasuke. Kantung mata lelaki itu sedikit cekung. Sangat menyeramkan. “Apa sesuatu terjadi?” tanya Gaara lagi. Ia sangat terkejut sampai-sampai matanya terbuka lebar. Ia jadi bertanya-tanya, apa Sasuke ingin menyainginya yang memiliki mata panda karena genetik?

“Ya, sangat terjadi.” Sasuke mengusap kasar wajahnya. “Itachi ingin bertanya, sebenarnya kenapa anggota timmu lembur selama beberapa hari ini? Siapa yang bekerja ekstra?”

“Memangnya siapa lagi?” Gaara berjalan santai menuju sofa. “Empat harian ini Hinata lembur.”

“Hinata?” Sasuke mengernyit pada Gaara. “Hinata Hyuuga?” Gaara yang sedang merebahkan diri di sofa mengangguk. “Ya, Hinata Hyuuga. Anak magang kesayanganmu.” katanya lenggang.

“Tapi kenapa dia musti lembur?”

Gaara menghela napas. “Kau tahu? Dia itu potensial tapi kerjanya terlalu terburu dan sering salah.” alis Sasuke terangkat. Potensial dalam hal apa? “Kurasa dia perlu waktu untuk mengasah ilmunya. Pelan-pelan mempelajari materi sampai lembur di kantor.”

“Aku hanya takut ia tidak fokus di rumah. Jadi kuminta ia merevisi laporan keuangan selama seminggu.”

Sasuke memijit keningnya yang terasa pening. “Jadi alasan anggota lembur di –apa?! Kau bilang apa? Kau menyuruhnya merevisi laporan keuangan bulan ini? Kenapa?” Sasuke mengernyit, matanya memicing pada sahabatnya. “Bukannya laporan keuangan sudah kau kerjakan dan serahkan padaku? Bahkan Itachi pun sudah menerimanya.”

Gaara bangkit dan mendudukkan dirinya. “Sudah kubilang, dia itu potensial. Makanya aku percaya dia perlu belajar lebih lagi.”

“Itu terlalu berlebihan bagi mahasiswa magang sepertinya.” Gaara berdecak sebal. Ia dan Sasuke sepertinya memiliki paham yang berbeda. “Bukannya kau sendiri yang minta aku menyuruh Hinata memberikan laporan keuangan minggu lalu?”

“Iya, aku bilang dia yang berikan tapi bukan berarti dia yang harus mengerjakan.”

Gaara menghela napas. “Sudah terlanjur. Mau bagaimana lagi?” dengan santainya ia mengangkat bahu. “Kalau kau terlalu khawatir padanya, bantu saja dia malam ini. Kubilang batas waktunya sampai senin besok.”

Mata Sasuke menyipit. “Bukannya itu seharusnya jadi tugasmu sebagai kepala divisi?” Gaara bangkit berdiri. “Aku mendidik anggotaku untuk belajar mandiri. Memberi referensi, tidak memanjakan mereka.” Tiba-tiba perut Gaara berbunyi. Sebentar lagi jam makan siang. Dia akan pergi ke kantin duluan. Meninggalkan Sasuke yang masih terlihat kacau dua harian ini.

.

.

Hinata mendesah lelah. Ini adalah hari terakhirnya diizinkan lembur oleh Gaara. Laporannya sudah hampir jadi tapi sepertinya ada yang kurang tepat. “Kau masih di sini?” sebuah suara terdengar. Seseorang berjalan mendekat ke arah meja kerja Hinata.

“Tuan Sasuke?” Hinata menatap heran. Wakil direktur yang tak ditemuinya dua hari ini tiba-tiba muncul. “Kudengar ada yang lembur. Dan ternyata itu kau.” Sasuke berdiri menjulang di depan Hinata. “Apa tugasmu belum selesai?”

Sasuke menengok ke arah layar komputer Hinata yang menyala. Merasakan Sasuke yang mendekat, Hinata sedikit bergeser. “Oh, tinggal sedikit lagi.” Sasuke kembali menegakkan tubuhnya. “Mau kubantu?”

“Hm?” Hinata mengerjap bingung. Sesaat kemudian ia melihat Sasuke yang menarik kursi kerja pegawai di samping meja kerja Hinata. Membawanya mendekat. Mereka berdua menatap layar komputer Hinata. “Bagian ini, kau masih keliru.” Sasuke menunjuk layar komputer dengan jari telunjuknya. Lalu, ia mulai mengambil alih kursor komputer.

“Lakukanlah seperti ini. Jadi, aku tidak perlu bekerja dua kali.” Dengan lihai Sasuke menunjukkan bagian-bagian dari laporan yang masih salah. Menjelaskannya dan membantu Hinata untuk memperbaikinya. “Mudah kan?”

Hinata tersenyum senang. Selama dua puluh menit Sasuke membantunya, mengajari trik pengerjaan laporan yang lebih mudah. “Jangan lupa simpan hasil kerjamu.” Hinata mengangguk. Ia segera menyimpan data laporannya yang sudah siap untuk dicetak.

“Akhirnya, aku benar-benar menyelesaikannya!” Hinata berdiri dari kursinya. Ia meregangkan tubuh dengan gembira. Senyuman kecil juga terpatri di wajah Sasuke. Hinata di hadapannya benar-benar terlihat jauh lebih santai, cantik, dan hmm.. menggemaskan?

Bruk. Sasuke menarik lengan Hinata hingga perempuan itu terjatuh di pangkuannya. Mengerjapkan matanya sebentar, Hinata lalu menyadari keadaan. “Tu-Tuan Sasuke? Tolong lepas...” Hinata mencoba bangkit tapi kedua tangan Sasuke melingkari perutnya. Memeluk Hinata dari belakang.

“Biarkan seperti ini,” tahan Sasuke. “Sebentar saja.” Hinata bergerak gusar. Ini sudah jam sembilan lewat. “Aku sudah membantumu. Bukankah aku seharusnya mendapatkan hadiah, Hyuuga?”

Hinata berdecak sebal. Ternyata ada maunya. Ia mengingatkan diri, jangan lagi menerima bantuan dari Sasuke Uchiha. “Kenapa dua hari ini kau tidak datang ke ruanganku? Bukankah kita sudah berjanji akan makan siang bersama?” tanya Sasuke.

Hinata sedikit menoleh, tapi kemudian ia dengan cepat memalingkan wajahnya lagi. Menyadari jika jarang wajahnya dan Sasuke sangat dekat. “Kak Karin mengajakku makan siang.”

“Kak Karin?” Sasuke menyahut dengan nada penuh tanya. Sedang Hinata hanya berdeham sambil menunduk. “Apa hubunganmu dengan Karin?”

“Dia sepupu...”

Sasuke mengangkat alis, sebelum mengernyitkannya. “Benarkah? Bertahun-tahun aku bekerja dengannya, aku tidak pernah dengar ia bicara soal Hyuuga.” Hinata menghela napas. Sebenarnya ia tidak mau bicara begini, “sepupu mantan pacarku.”

“Oh?” Sasuke terdiam begitu mendengar ucapan Hinata.

Hinata kira itu adalah kesempatannya. Ia menggerakkan tubuh bagian bawahnya dengan gusar lagi. Berusaha melepaskan diri dari pelukan Sasuke. Hal lain dirasakan oleh si pria raven. Gerakan Hinata terasa sangat erotis di tubuhnya.

Shit!” Sasuke semakin mendekap Hinata dengan erat. Jantungnya berdegup kencang. “Hinata Hyuuga...” Hinata termangu. Sasuke memanggil namanya dengar suara serak. Bisa Hinata rasakan deru napas Sasuke yang kian memburu. Di belakangnya, Sasuke sedang mengernyit dengan mata terpejam. “Kumohon,” hembusan napas Sasuke terasa meremang di leher Hinata. “Kumohon, mendesahlah untukku, Hyuuga.”

.

.

“Kumohon, mendesahlah untukku, Hyuuga.”

Hinata membelalak. Dengan cepat dan kasar, ia menyentakkan diri, keluar dari pelukan Sasuke. Hinata berdiri agak jauh dari Sasuke. Matanya membola kaget. Di depannya Sasuke masih duduk di atas kursi kerja. Laki-laki itu terlihat hendak bangun tapi tak jadi. Kuat-kuat Sasuke mengepalkan tangannya untuk menahan diri.

“Si-sinting!” maki Hinata akhirnya. “Kenapa kau sangat terobsesi padaku, Tuan?” Sasuke mendongak takut-takut. Benar, mengapa ia bisa begitu terobsesi pada Hinata? “Tidak tahu.” Sasuke menjawab lemah. “Aku juga tidak mengerti. Kenapa bisa aku hanya terangsang kalau mengingatmu? Kenapa, Hyuuga?”

Hinata mengernyit bingung. Kan ia yang bertanya. “Apa maksud semua ini? Apa kau mengincarku dengan membeli lingerie-lingerie itu? Apa kau tahu sejak awal kalau aku model lingerie makanya kau pikir aku akan mudah?” Hinata menumpahkan semua pikiran-pikiran yang mengganggu kepalanya sejak kemarin. Salah satu penyesalannya adalah membantu Ino. Kini ia jadi ketakutan sendiri jika rahasianya terbongkar. Apalagi kalau sampai diketahui oleh kakaknya.

“Tidak. Aku hanya kebetulan membeli lingerie yang kau modeli. Kebetulan bertemu denganmu. Dan kebetulan mengetahui identitasmu.” Iya, itu semua kebetulan. Mana Sasuke sangka hukumannya saat kalah main game dari Itachi akan membawanya pada Hinata. “Aku juga tersiksa, Hinata.” suara Sasuke terdengar bergetar, serak, dan... memohon?

Hinata tercekat. Apa bisa ia anggap jika Sasuke memohon padanya? “Maaf, Tuan. Aku juga sudah tidak bisa seperti ini lagi. Aku tidak bisa meneruskan perjanjian kita. Aku tidak bisa menemanimu makan siang lagi.”

“Tapi, kenapa? Aku kan janji tidak akan menyentuhmu saat makan siang.” mata Hinata menyipit sambil sedikit mencibir. “Kau baru saja menyentuhku, Tuan.” Hinata mengingatkan. “Sedikit, ‘kan?” Sasuke bertanya sok polos.

Hinata menghela napas. Ia menggelengkan kepala. Lalu, ia mendekati komputer kerjanya lagi. Menyalin dokumen yang sudah selesai ke dalam flashdisk. Beres dengan pekerjaannya, Hinata segera berbenah barang-barangnya. Tanpa memedulikan Sasuke yang masih diam sembari memerhatikannya.

 “Kita akan bicara lagi nanti,” Hinata bangkit, menegakkan tubuhnya. Mengambil tasnya dan mulai berjalan keluar ruangan. “Tuan Sa-su-keh~” tepat begitu akan melewati Sasuke, Hinata berbisik pelan di samping tubuh Sasuke. Bicaranya seolah menggoda apalagi dengan tekanan di ujung kata.

Sasuke menegang. Ia termangu dengan mata terbelalak karena mendengar ucapan Hinata. Beberapa detik setelahnya ia baru sadarkan diri. Saat bangun dan berbalik, ternyata Hinata sudah meninggalkan lantai tujuh. “Sialan!”

“Sialan! Sialan! Sialan!” sambil terus memaki, Sasuke berjalan cepat menuju kamar mandi. Masuk ke dalam salah satu bilik toilet pria. Menutup kloset dan duduk di atasnya. Srettt. Sasuke membuka resleting celananya, mengeluarkan miliknya yang menegang. Tanpa bisa berpikir lagi, Sasuke menyentuh dirinya sendiri.

“Tuan Sa-su-keh~”

“Shit! Hinata!” Sasuke bernapas terengah. Alisnya menyatu, menikmati sentuhan yang diberikan oleh dirinya sendiri. Pikirannya kembali mengingat momen saat Hinata berada di pangkuannya. Bagaimana pantat Hinata bergerak gusar ingin melepaskan diri. Tentu saja Sasuke merasakan bokong kenyal itu melalui seragam kerjanya.

“Sa-su-keh~”

Panggilan Hinata tadi seolah terus-terusan berputar di otaknya. Desahan kecil yang mampu membuat Sasuke kalap untuk menyentuh dirinya sendiri. Gerakan Sasuke pada tubuhnya semakin cepat. Ia merasakannya seperti malam kemarin.

“Su-ke-eh~”

“Hi-Hinatahhh”

Akhirnya, runtuh sudah. Sasuke ‘keluar’ sendiri, malam-malam, di bilik toilet kantor. Hanya karena desahan tak sengaja Hinata. Eh, tak sengaja apa sengaja, ya?

.

.

Jujur, Sasuke malu pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia masturbasi di kantor. Ia menggigit bibir bawahnya sembari menghentikan laju mobil di lampu apil. Mengumpat sekali lagi sambil memukul stir mobil. Lalu, seperti sebelumnya, mata Sasuke menangkap lampu LED di sisi kiri jalan yang ia lihat dua minggu lalu. Entah iseng atau sengaja, Sasuke kembali mampir ke toko tempat semua ini bermula.

“Selamat datang di toko Yama Nyang! Kami memiliki semua barang yang akan menaikkan gairah seksualmu! Silakan melihat-lihat, Nyangh~”

Sasuke kembali disambut oleh suara di pintu masuk. Merasa sudah biasa, Sasuke tetap melangkah ke dalam toko. “Ah, Tuan! Selamat datang kembali!” seorang wanita berambut pirang menyambut kedatangannya. Tidak tahu kenapa, Ino merasa akan ada hal baik ketika melihat pria yang tiga kali mengunjungi tokonya.

“Kali ini apa yang kau cari, Tuan?” tanyanya. “Aku hanya melihat-lihat saja.” Sasuke berjalan menuju bagian lingerie perempuan. Kembali menatap tiga bingkai katalog yang masih menggantung. Ino bisa melihatnya, sepertinya sang pelanggan sangat tertarik pada foto-foto itu.

“Apa tidak ada lingerie baru yang dibintangi model itu?” Sasuke bertanya tanpa mengalihkan pandangannya. “Ah, model itu, ya?” Ino bicara ragu. Melihat foto-foto lingerie yang pernah Hinata pakai. “Sebenarnya kami memakai jasa model sekali pakai untuk baju-baju itu.” Sasuke menoleh dengan alis mengernyit. “Benarkah?” perempuan pirang di depannya hanya mengangguk.

“Kenapa, Tuan? Apa tubuh sang model begitu menggoda?” tiba-tiba terdengar suara dari sisi tubuh Sasuke yang lain. Dengan awas, Sasuke menoleh. Dan menemukan seorang pria berambut pirang panjang yang sedang tersenyum cabul padanya. “Ahhh, banyak sekali yang menggemari tubuh model baruku.” Deidara mengibaskan rambutnya. “Sayang sekali kalian tidak boleh tahu sosok di baliknya.”

Deidara merujuk pada Sasuke dan temannya yang berambut klimis. Sasuke mendengus diam-diam. Siapa bilang ia tidak tahu? “Kenapa bisa begitu?” tanyanya penasaran.

“Seperti yang adik cantikku katakan,” Deidara berjalan dan merangkul Ino. “Dia hanya model sekali pakai. Kau hanya bisa menikmati tubuh dan berfantasi melalui foto-foto itu, Tuan.” Ia mengerling pada Sasuke. “Oh?” Deidara membulatkan matanya. “Atau kau sudah berfantasi tentangnya sambil menyentuh tubuhmu ya, Tuan?” seringaian menyeramkan terpampang di wajah tampan tapi berengseknya.

Ino panik. Ia segera melepaskan diri dari rangkulan Deidara. “Tidak usah dengarkan dia, Tuan!” Ino mulai menarik atensi Sasuke. “Mulutnya memang tidak ada filter. Kami tidak menyalahkan fantasi seksualmu.” kata Ino dengan yakin.

“Jadi, kali ini apa yang kau butuhkan?” Ino bertanya lagi.

“Aku ingin membeli mainan seks untuk memuaskan perempuan.”

“Oh-ho-ho! Kebetulan sekali. Kami punya barang bagus.” Deidara menarik Sasuke menuju sisi sebelah. Berhenti di deretan rak berisi mainan-mainan seks. “Yang pernah aku tunjukan. Pengganti milikmu,” Deidara melirik sekilas pada pangkal paha Sasuke. “Yang sudah di-upgrade.” Selanjutnya ia menunjukkan dildo berukuran besar dan bergerigi.

Ino yang mengikuti kedua lelaki itu melotot. Bercandaan Deidara untuk calon pelanggannya terlalu berlebihan. Terlihat dari wajah Sasuke yang menatap ngeri pada Deidara. “Abaikan saja dia, Tuan!” Ino menarik lengan Sasuke hingga berhadapan dengannya. “Kau bisa bicara padaku saja. Aku seorang perempuan. Aku bisa lebih mengerti keinginan perempuanmu.” Ino mangut-mangut pada diri sendiri. “Silakan ceritakan apa yang kau inginkan untuk perempuanmu.”

Sasuke mengalihkan pandangannya, menerawang. “Aku tidak ingin sesuatu yang kasar.” Deidara yang ada di belakangnya mendesah kecewa. “Aku lebih ingin sesuatu yang lembut. Tidak menyakitinya, tapi tetap memberikan rangsangan yang nikmat.” Ino bernapas lega.

“Baik, tunggu sebentar, Tuan.” Perempuan pirang itu mengelilingi rak. Mencari-cari alat bantu seks yang tepat untuk pasangan Sasuke, mungkin. Setelah beberapa saat, ia kembali dengan sebuah kotak bening di tangannya. “Ini, Tuan.”

Sasuke memerhatikan barang yang dipegang Ino. Itu adalah sebuah vibrator berukuran kecil. Warnanya merah muda, melengkung seperti huruf U. Ada satu sisi dengan tonjolan yang lebih besar. “Vibrator ini cukup umum dipakai oleh para wanita.” Ino menyerahkan kotak tersebut pada Sasuke. “Ada remot juga yang bisa kau gunakan untuk mengontrol tekanan getarannya.”

Ino juga menyerahkan panduan, memberikan tips pada Sasuke berdasarkan pengalaman dan cerita dari pelanggan-pelanggannya yang lain. Sasuke hanya diam saja sambil mendengarkan. Deidara yang sedari tadi memerhatikan sedikit terkekeh kecil. Pelanggannya seperti seorang murid yang mendengarkan penjelasan guru. “Jadi, kau akan membelinya, Tuan?”

“Ya, tolong bungkuskan untukku.” Sasuke berkata yakin. Dengan senyuman yang merekah di wajahnya, Ino segera pergi ke balik kasir. Membungkus pesanan Sasuke dan memproses pembayaran. “Sampai berkunjung lagi, Tuan!” seruan Ino mengiringi langkah Sasuke keluar toko. Pria raven itu terdiam dua langkah di depan pintu masuk toko. Kenapa aku beli ini? batinnya.

“Dei!” Ino memanggil Deidara yang sok sibuk dengan gawainya. “Besok malam aku akan pergi dengan Hinata.”

Mendengar nama orang yang ia kagumi –karena tubuhnya sudah memberikan keajaiban pada usahanya-, Deidara menoleh pada Ino dengan cepat. “Jadi, kau akan menjaga toko sendiri. Tolong jangan mengganggu pelanggan seperti tadi!”

“Tsk.” Deidara berdecak sebal. Ia segera mengunci layar ponselnya yang masih berselancar di twitter. “Aku tidak mengganggu, adikku. Aku juga menawarkan barang jualan kita.” koreksinya. “Tetap saja, caramu terlalu berlebihan!” ketus Ino. “Ingat ya, sesuaikan dengan sifat pelanggan. Kontrol jiwa mesummu!”

“Yare yare!” Deidara mengibas-ngibaskan tangannya. Berjalan menuju rak kosong di bagian lingerie wanita. “Apa aku musti minta stok tambahan pada pabrik, ya?”

.

.

“Hinata!” Ino memanggil Hinata yang terlihat turun dari dalam bus. Perempuan indigo itu tersenyum dan segera menghampirinya. “Tumben kau tidak pakai kacamata?” mereka berjalan beriringan memasuki bar.

“Iya, aku pegal kalau harus terus-terusan pakai kacamata.” Hinata memerhatikan seisi gedung. “Lagipula akan terasa aneh kalau aku berpakaian nerd ke tempat seperti ini.” Ino terkekeh pelan. Ia mengangguk setuju. Setelahnya ia mengajak Hinata duduk ke salah satu meja.

Tempat yang mereka kunjungi malam ini adalah sebuah bar kecil tak jauh dari tokonya. Ino memilih lokasi ini agar bisa sewaktu-waktu menyusul Deidara jika ada masalah. Seorang waiter datang dan menerima pesanan Ino dan Hinata. Malam ini mereka hanya akan memesan minuman beralkohol rendah. Tempat ini bertema klasik yang menawarkan tempat menongkrong santai. Tidak ada hingar-bingar seperti club yang saat remaja jadi cita-citanya Ino untuk menjadi bartender.

“Aku tak mengira kau akan menerima tempat ini sebagai pertemuan kita.” Ino mulai bicara lagi. “Kau yakin tidak masalah mabuk malam ini?” Hinata menggeleng pelan. “Aku juga sedang ingin menghilangkan penat. Tapi aku pasti diomeli Kak Shika kalau mabuk di rumah.”

Ino tertawa lagi. Tak lama si waiter kembali dengan dua minuman. “Selamat menikmati, Nona Hinata.” kata si waiter sebelum kembali ke tempat kerjanya. “Oh? Apa dia baru saja memanggil namamu, Hinata?” Ino tak sengaja mencuri dengar.

“Huum.” Hinata meraih gelas miliknya. “Aku cukup sering ke sini, dulu.” mulai menyesap minuman alkohol yang tahun lalu sering ia nikmati. “Oh, aku baru tahu. Kau mau cerita?” Ino juga ikut mengangkat gelasnya.

Setelah meminum beberapa teguk, Hinata kembali menaruh gelas ke atas meja. “Hanya tempat kencanku selama tiga bulan.” Ino menyeringai. “Heee tempat yang unik untuk berkencan. Apa setelah dari sini kalian berakhir di tempat lain?” godanya.

“Ya. Kami berakhir, berpisah.”

“Eh?” Ino menghentikan seringaiannya. “Maaf, aku tidak tahu.” Ia merasa bersalah meskipun Hinata sudah berkata tidak apa-apa. Tiba-tiba suasana terasa canggung. Ino sudah salah bicara. Padahal ia yang mengajak Hinata keluar malam ini, sebagai bentuk terima kasihnya karena kemarin lingerie merah yang Hinata pakai pun kembali terjual habis.

“Omong-omong Hinata, aku ingin berterima kasih lagi.” Hinata bertanya melalui dehaman. Saat ini ia kembali menyesap gelas minumnya. “Lingerie merah yang kau pakai waktu itu, terjual habis kemarin. Para perempuan datang secara berbondong. Kau benar membawa keajaiban lagi bagi kami.” Ino tersenyum sangat tulus. Setelah sebulan penjualan di tokonya semakin meningkat.

Hinata menjauhkan mulut gelas. Ia mengalihkan pandangannya. Mengingat foto yang pernah Kiba tunjukkan. Postingan di grup privat dengan anggota lebih dari dua puluh ribu. Hinata menggigit bibir. Bukan dia penyebab para wanita itu datang ke toko Ino.

“Hanya kebetulan,” kata Hinata. Ino membantah. Ia berceloteh dengan yakin jika Hinatalah pembawa keberuntungannya. Lalu, mereka mulai mengobrol tentang banyak hal. Sesekali mereka tertawa menceritakan kisah memalukan masing-masing. Tanpa sadar, Ino pun malah bercerita mengenai perjalanan seksualnya bersama para partner.

“Kak, jika ada laki-laki yang menjadikanmu sebagai objek seksual, apa kau akan marah?” tanya Hinata.

“Bisa iya, bisa tidak.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Kalau dia hanya menjadikanku sebagai fantasinya saja, tanpa coba melecehkanku, aku tidak akan marah. Kalau dia melecehkanku dan aku terganggu, tentu aku akan marah.” Hinata mengangguk setuju. Marahnya pada Sasuke itu dibenarkan. “Tapi yah, kalau ada pria tampan yang bilang terangsang padaku, aku akan menerimanya dengan senang hati.” canda Ino.

“Meskipun dia bukan pacarmu?” Hinata mengernyit. “Well, selama aku masih single, begitupun dia, aku mau-mau saja. Asal dia meminta dengan baik, memujaku.” Ino tertawa geli sendiri. “Jadi, bagaimana denganmu?” alis Ino terangkat sebelah.

“Aku sudah menceritakan pengalamanku. Kalau kau, sejauh mana kau bermain dengan pasanganmu, Hinata?” Ino bertumpu dengan kedua tangan di atas meja. Menatap Hinata lekat-lekat, siap mendengarkan cerita.

“Aku...” Hinata meneguk ludah. “Aku belum penah benar-benar melakukannya.”

Ino menegakkan diri, terkejut. “Benarkah? Bagaimana bisa?”

“Aku terlalu takut akan melakukannya.” Hinata sedikit meringis. “Mantanku dulu juga tidak terlalu memaksa. Kami hanya sampai ke tahap... fo-foreplay?” Hinata berkata ragu. Ino mengangguk-angguk mengerti. “Yah, aku setuju.” Ino menjentikkan jarinya. “Kau harus benar-benar yakin saat akan pertama kali melakukannya.”

“Tapi, Hinata, kalau kau butuh sosok untuk berkonsultasi, aku ada untukmu. Aku juga tidak akan bicara apapun pada Shikamaru.” Ino berkata yakin. “Sesungguhnya seks dengan orang dan cara yang tepat itu... menyenangkan!” Ino menggigit jari telunjuknya genit. Kedua perempuan itu tertawa. “Seks juga bisa mengurangi stress.” Ino meyakinkan Hinata sekali lagi sambil mengedipkan sebelah matanya. Meski sedikit buram, Hinata bisa melihat wajah cantik di depannya.

.

.

“Hinata Hyuuga?”

Hinata menoleh begitu namanya dipanggil. Itu Gaara sabaku lagi. Hinata merasa sedikit bertanya-tanya, kenapa ketuanya suka memanggil nama lengkapnya sih? “Terima kasih atas perbaikan laporanmu.”

“Ah, iya. Sama-sama, Ketua. Apa ada yang perlu saya ubah lagi?” pagi tadi, Hinata menyerahkan laporan keuangan ke ruangan Gaara. Ia tidak mau mengantar ke ruang wakil direktur. Untunglah Gaara tidak berkomentar apa-apa.

Gaara menggelengkan kepalanya. “Tidak. Sudah cukup.” Hinata mengangguk mengerti. “Kau mau ke mana?” Gaara menangkap dompet dan gawai yang Hinata genggam.

“Ah, saya akan pergi membeli makan siang di luar, Ketua.” Hari ini, ia dan Karin janjian akan makan di restoran sushi dekat kantor. “Kebetulan. Apa kau mau makan siang denganku, Hinata Hyuuga?”

“Eh?” Hinata menatap bingung. Rasanya ia mendengar Gaara yang mengajaknya makan siang bersama. “Aku ingin mentraktirmu. Anggap saja ini hadiah dariku karena sudah bekerja keras.”

Hinata memerhatikan ke sekeliling. Ia bisa melihat beberapa pegawai di dalam ruangan yang menguping diam-diam. Termasuk dua surai coklat yang mengintip dari bilik kerja mereka. “Maaf, Ketua. Aku sudah ada jan–”

“Aku akan memaksamu. Anggap saja ini sebagai tugas dariku untukmu menemani atasan makan siang.” Gaara memotong ucapan Hinata. Ia berjalan duluan. Begitu sadar Hinata tak mengikutinya, Gaara segera memanggil Hinata. Kalau sudah begini? Hinata tidak bisa menolak, kan?

“Padahal aku sedang ingin makan pizza.”

Hinata bisa mendengar Gaara yang berbisik saat mereka kembali dari restoran sushi. “Ah, maaf, Ketua. Kenalanku sudah memesan meja di restoran sushi. Dia juga menitip makanan padaku.” Perempuan indigo itu jadi sedikit merasa bersalah.

Saat keluar gedung perusahaan, Hinata kukuh akan tetap mengunjungi restoran sushi yang sudah dipesannya. Berharap atasannya itu akan mengalah dan tidak jadi makan bersamanya. Tapi, apa yang terjadi? Gaara memilih mengikuti Hinata. Meskipun ujung-ujungnya lelaki itu mendumel juga karena tidak bisa makan pizza.

“Aku maafkan karena ini salahku.”

“Hm?” Hinata mengernyit tak paham maksud Gaara. Apa Gaara merasa itu sudah resikonya? Atau Gaara minta maaf karena sudah seenaknya menyuruh Hinata makan siang dengannya?

“Hinata Hyuuga?” Gaara kembali memanggil Hinata. Berhadapan dengannya sebelum kembali ke perusahaan. “Maaf kalau beban kerja yang aku berikan terlalu berat. Aku melihat potensi pada hasil kerjamu. Aku punya harapan, semoga kau bisa mengembangkan dirimu.”

Ah, ternyata Gaara merasa bersalah karena sudah memberikan tekanan pekerjaan padanya. Hinata tertegun. Hasil kerjanya dipuji oleh sang atasan. Beban di pundaknya terasa lebih ringan sekarang.

“Eh?” hanya perasaannya atau Hinata melihat Gaara tersenyum kecil sebelum lebih dulu masuk ke dalam gedung? Hinata berpikir heran ketika ikut menyusul Gaara yang sudah jauh di depan. “Aku yakin melihat sebuah senyuman,” bisik Hinata. Tanpa menyadari seseorang memerhatikannya dari seberang jalan.

.

.

Hari senin ini, akhirnya Hinata bisa pulang sesuai jam kerja. Pukul lima sore, Hinata keluar gedung. Ia akan pulang segera, menghindari Matsuri dan Kiba yang heboh bertanya soal makan siangnya.

Berbeda dari biasanya, Hinata memilih berjalan agak ke utara. Menuju halte bus yang lain dari rekan-rekan kerjanya. Halte bus ini agak jauh, jadi jarang ada orang yang menaikinya. Hinata berjalan sambil mendengarkan lagu melalui earphone.

Begitu lagu yang didengarkannya sudah selesai, Hinata melepaskan earphone dan duduk di bangku halte seorang diri. “Kudengar kau makan siang bersama Gaara, ya?” Hinata menoleh dan menemukan atasannya sedang bersandar di dekat pohon samping halte bus. “Tuan Sasuke?” dahi Hinata mengernyit bingung. Ia tak sadar diikuti.

Laki-laki raven itu berjalan mendekat. Begitu sampai di hadapan Hinata, Sasuke menyeringai. “Jangan pikir kau bisa lari setelah mendesah padaku, Hinata.”

.

.

Begitu sampai di hadapan Hinata, Sasuke menyeringai. “Jangan pikir kau bisa lari setelah mendesah padaku, Hinata.” Hinata memandang sinis dan bingung. Apa yang atasannya lakukan di sini?

“Maaf, Tuan. Aku tidak mengerti apa yang kau katakan.” Hinata menaruh earphone ke dalam tas kerjanya. Ia berdiri, hendak kembali ke halte bus di sisi barat. Rupanya tempat ramai memang lebih aman. “Mau lari lagi?” terlambat, Sasuke mencekal tangannya.

“Sudah kubilang, kau tidak bisa lari setelah mendesah padaku.” Sasuke menarik pelan tangan Hinata ke arah dadanya. “Aku tidak tahu apa maksudmu.”

Hinata memalingkan pandangannya. Menghindari pandangan iris segelap malam Sasuke. Bisa-bisanya ia takut Sasuke mendengar suara degupan jantungnya yang entah kenapa secara tiba-tiba malah menggila. Iya, sepertinya Hinata gila magang di perusahaan ini.

“Kau yakin tidak tahu? Minggu lalu kau bicara begini,” Sasuke mendekatkan kepalanya ke sisi kepala Hinata. “Kita bicara nanti, Tuan Sa-su-keh~” berbisik di telinga Hinata.

Geli, tubuhnya serasa meremang. Hinata menggeliat sebentar. Kemudian berusaha untuk segera menarik lengannya yang dicekal. “Be-berhenti melecehkanku, Tuan!” Sasuke tersenyum miring. Ia sedikit menjauhkan diri tapi tetap berada di dekat Hinata. “Menarik.” katanya. “Setelah apa yang terjadi, kurasa ini sudah bukan pelecehan lagi.”

Hinata menelan ludahnya gugup. “Oke, aku akan melepaskanmu untuk sekarang. Kita lihat sampai kapan kau akan terus menghindar.” Hinata menghela napas pelan. “Tapi sebelumnya, kau harus mengerti bahwa yang kau lakukan itu,” Sasuke menempatkan telapak tangan Hinata di atas dada kirinya. “Sangat berefek padaku, Hinata.”

Mata Hinata terbelalak. Ia bisa merasakannya. Telapak tangan kanannya bisa merasakan debaran jantung Sasuke yang sangat cepat. Dibalik wajah dingin dan menyeramkan atasannya itu, darah Sasuke benar-benar terpompa dengan heboh. Apakah... Apakah... Hinata bertanya-tanya dalam hati. Begitu pegangan Sasuke pada tangannya melonggar, ia segera pergi tanpa bicara apa-apa lagi.

.

.

Hinata menempelkan sebelah pipinya di atas meja kerja. Ia terlihat seperti mayat hidup. Kelopak mata dan mulutnya terbuka sedikit. Masih kaget dengan apa yang terjadi kemarin. Debaran jantung Sasuke itu... apa dia memang menginginkan aku sebegitunya?

Saat sedang melamun di dekat jam makan siang, gawai Hinata bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari Karin. Hinata, bisa ke basement? Ada yang ingin dibicarakan. Alis Hinata mengernyit. Tumben sekali Karin ingin menemuinya di luar kantor. Setelah menolak ajakan Matsuri dan Kiba untuk makan siang, Hinata pergi menuju basement.

“Kak Karin?” panggil Hinata. Matanya berpedar mencari sosok berambut merah. “Hinata?” sebuah panggilan muncul dari belakang. Namun, bukan perempuan berkacamata yang ditemuinya, melainkan pria bersurai pirang dengan senyuman lebar.

“Naruto senpai?” Hinata mengernyit.  “Kenapa kau bisa ada di sini? Kak Karin–” ia melirik sebuah benda berbentuk persegi panjang yang memiliki gantungan manik-manik. “Kau menjebakku?!” tanya Hinata tak terima.

“Aku tidak menjebakmu, Hinata. Aku mengajakmu bertemu, melalui ponsel kakak sepupuku.” koreksi Naruto. Lelaki itu berjalan mendekati Hinata. “Kenapa tidak bilang kalau kau magang di perusahaan Uchiha?” perempuan di hadapannya berjalan mundur. “Aku bisa menitipkanmu pada Kak Karin.”

Naruto tersenyum sok manis –menurut Hinata. Membuat Hinata kesal melihatnya. Demi Dewa, ia benar-benar tidak ingin terlibat dengan lelaki itu lagi. “Bukankah aku sudah bilang? Jangan cari dan menghubungi aku lagi!” sentak Hinata.

“Aku hanya ingin bertemu dan bi–”

“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.” Hinata memotong ucapan Naruto. “Mengajak bertemu di basement apalagi melalui ponsel orang lain benar-benar tidak sopan! Aku sudah mengucapkan perpisahan padamu minggu lalu. Kumohon, tinggalkan aku.” raut wajah Hinata mulai menyendu. Sudah enam bulan, ia tidak akan kembali. “Aku sudah tidak mencintaimu, Naruto.”

Kalimat terakhir Hinata membuat Naruto membeku. Ia termangu dengan mata yang membelalak. Sebuah penolakan telak. Naruto tidak menahan ataupun menyusul Hinata yang kembali memasuki elevator.

Saat sudah berada di dalam elevator yang pintunya tertutup, Hinata menghela napas lega. Hidupnya akhir-akhir ini sudah cukup kacau. Ia tidak akan membiarkan sang mantan kembali muncul. Apalagi untuk menebar kekacauan yang lebih-lebih. Sembari memijit pelipisnya, Hinata menekan tombol angka tujuh.

Ting. Pintu elevator terbuka di lantai dasar. Rupanya ada orang lain yang akan masuk. Begitu pintu elevator terbuka, Hinata bisa melihat tiga pria yang berdiri di sana. Ketiganya memiliki rambut dan iris mata yang gelap. Pria yang berdiri di sisi kiri –dari jarak pandang Hinata- melirik padanya setelah dua detik. “Hinata?” panggilnya.

Ucapan si pria membuat dua pria lain menatapnya, menyadari kehadiran perempuan di dalam elevator. “Kak Shika?” Hinata membetulkan bingkai kacamatanya.

Pria yang berdiri tepat di samping Shikamaru menoleh heran. “Oh, kau mengenal karyawan kami, Tuan Nara?” tanya pria berambut panjang itu. Shikamaru mengangguk, “dia adikku, Tuan Itachi.”

Sementara itu, pria lain yang berada di sisi lain Itachi mengernyit tak suka. Ia mendelik pada Hinata dan Shikamaru. Nara dan Hyuuga? Bagaimana bisa menjadi adik-kakak? Tatapan tajam dan gaya rambut sedikit emo, sudah jelas itu pria yang sedang tergila-gila pada Hinata Hyuuga.

“Apa yang kakak lakukan di sini?” Hinata berbisik pelan pada Shikamaru saat ia dan dua Uchiha memasuki elevator. “Aku akan punya proyek bersama perusahaan Uchiha. Apa aku belum memberitahumu di rumah?” Hinata menggeleng pelan. Mereka terlibat pembicaraan kecil saat elevator kembali tertutup dan mulai bergerak naik.

Mata pria di sudut elevator –yang kita jelas tahu siapa- melotot saat menyadari pendengarannya. Otaknya tiba-tiba berpikir dengan cepat. Kakak laki-laki dan adik perempuan satu rumah? Incest? No way! Sasuke tidak akan membiarkan kisah ini direbut darinya.

.

.

Sehabis momen penolakan tadi siang, Naruto menghabiskan waktunya di sebuah bar. Meminum beberapa gelas alkohol, melupakan penelitian untuk tugas akhirnya. “Chouji, menurutku kau sangat aneh karena membuka bar di siang hari!” Naruto meracau sembari menatap gelas minumnya yang tinggal setengah.

Di seberangnya berdiri seorang pria gempal yang jadi pemilik bar. Chouji hanya tersenyum maklum. Ini bukan pertama kalinya ia melihat pelanggan yang mampir dan sedang patah hati. “Tumben aku melihatmu lagi, Naruto. Seorang diri. Dulu biasanya kau –”

“Ya, ya.” Naruto menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar pada meja bar. “Ini adalah bekas tempat kencanku. Dan lihat? Sekarang ini juga jadi tempat patah hatiku.” Chouji mengedikkan bahunya. Ia kembali fokus mengelap gelas. “Aku akan pergi.” Naruto merogoh saku celananya. Mengambil dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang, dan segera pergi keluar bar.

Matahari sudah akan tenggelam. Naruto perlu menyegarkan diri dengan cara lain. “Loh, Naruto?” ketika menoleh, Naruto tersenyum lebar pada laki-laki pirang yang menyapanya. “Kak Dei!” Naruto menghambur ke pelukan pria bersurai panjang itu.

Deidara yang sedang berjalan santai di sekitaran tokonya tak sengaja bertemu adik ipar kenalannya. “Eh, eh, apaan? Kau bau alkohol!” Deidara menjauhkan tubuh Naruto. “Tsk. Apa yang kau lakukan mabuk di sore hari?!” omelnya.

“Kakak sendiri, apa yang kakak lakukan di kawasan ini?” Naruto balas bertanya. “Aku?” Naruto mengangguk pada Deidara. “Aku akan pergi ke tokoku.”

Naruto mengejapkan matanya dua kali. “Oh, benar! Aku pernah mendengar Kak Karin dan Kak Sui bilang kalau kau punya usaha, ya?” Deidara tersenyum bangga, ia mengangguk mengiyakan. “Usaha apa, Kak? Apa kau membangunnya bersama Kak Ino?” lalu Deidara merengut kesal lagi. “Kau pasti tidak buka twitter-ku, ya?” Naruto nyengir. Beralasan sudah lama tidak berselancar di media sosial tersebut. “Ayo ikut aku ke toko!”

Ketika sampai ke toko Deidara yang ternyata berada di seberang, Naruto tidak bisa untuk tidak terkejut. Bagaimana tidak? Ia memasuki toko dewasa berisi mainan seks dan lingerie yang tergantung seisi toko. “Holy shit! Apa ini surga?”

Deidara tersenyum miring. Ia belum membuka tokonya untuk hari ini. Sengaja mengajak Naruto mampir saat Ino belum datang. “Kalau tahu kau punya usaha begini, mustinya aku beli untuk persiapan liburan ke Kuba waktu itu!” tiba-tiba Naruto jadi bersemangat.

“Nikmati saja waktumu untuk melihat-lihat. Aku akan ke belakang untuk bersiap. Ingat, jangan ambil tanpa bayar, Naruto!” Deidara menatap tajam Naruto sebentar. Setelahnya ia pergi ke ruangan khusus karyawan. Menuju komputer dan mengerjakan sesuatu.

Selama sepuluh menit Naruto melihat-lihat. Ia berdecak kagum pada pigura yang menempel di dinding. Para model lingerie sangat cantik. Apalagi tiga foto model misterius yang tak menampilkan wajahnya. Seksi. Mata Naruto menatap bingung pada dua rak yang kosong. Apa Deidara belum membeli stok baru?

“Kak Dei?” merasa bosan, Naruto menyusul Deidara ke ruangan belakang toko. Ia mendekati Deidara yang sedang berkutat dengan komputernya setelah mendengar suara dehaman. “Kau sedang apa?” tanya Naruto.

“Aku sedang memilah foto untuk –oh, sebentar!” Deidara mengangkat gawainya yang bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari pabrik penyuplai stok lingerie-nya. “Halo? Ya, Pak?” Deidara berdiri dan pergi menjauh dari Naruto. Membicarakan bisnis.

Ditinggal Deidara, Naruto melihat sekeliling ruangan. Ada sebuah tirai di ujung ruangan, mungkin untuk ganti baju. Padangan Naruto beralih pada layar komputer yang masih menyala saat ditinggal pergi oleh Deidara. Sepertinya tadi Deidara membuka file berisi foto. Mata Naruto memicing saat memerhatikan satu foto yang mirip dengan katalog di depan. “Hinata?” alis Naruto menyatu dengan mata membelalak.

.

.

“Selamat datang di toko Yama Nyang! Kami memiliki semua barang yang akan menaikkan gairah seksualmu! Silakan melihat-lihat, Nyangh~”

Suara heboh dari atas pintu toko Deidara kembali terdengar saat seseorang mendorongnya. Di depan pintu terlihat seorang pria yang datang dengan napas terburu. Matanya berpedar ke seisi toko. Mengabaikan wanita bersurai pirang yang hendak menyambutnya, pria pirang itu berjalan menuju manusia lain di tempat itu.

“Eh, Naruto? Ada apa datang ke mari?” Deidara menatap bingung Naruto yang kembali datang ke tokonya seperti kemarin. Bedanya kali ini Naruto tak diajak olehnya dan datang saat toko sedang buka. “Kak Dei, apa kau punya kontak Kak Shikamaru?” tanya Naruto dengan terburu.

“Shikamaru?” Deidara berpikir sebentar. “Oh, dia teman adikku.” Deidara menunjuk Ino dengan dagunya. “Aku tidak ada kontak personalnya sih, tapi sepertinya aku berteman dengannya di twitter.” Naruto menoleh sebentar pada wanita yang tadi dilewatinya.

“Boleh aku pinjam handphone-mu?” Deidara menyatukan alisnya, “untuk?”

“Aku janji tidak akan melakukan hal kriminal. Aku hanya akan menghubungi Kak Shikamaru saja sebentar.” Naruto memberikan tatapan memohon. Deidara sebenarnya merasa curiga. Namun, ia lebih merasa tidak ingin ikut campur. Sambil mengedikkan bahu, Deidara memberikan gawainya pada Naruto.

Dua hari setelah datang ke toko Deidara, Naruto memutuskan untuk menemui seseorang setelah berkutat dengan pikirannya. “Ada apa mengajakku bertemu, Naruto?” mendongak, di depannya berdiri seorang pria berkucir yang menatapnya malas. Sedikit kesal karena jam makan siangnya musti dihabiskan di luar kantor.

“Kak Shikamaru? Sudah datang?” Naruto tersenyum ramah pada mantan calon kakak iparnya. Shikamaru sendiri keheranan. Seingatnya Naruto adalah teman kencan sekaligus kakak tingkat Hinata yang sempat dikenalkan padanya tahun lalu. Tapi, sepengetahuan Shikamaru, Hinata sudah tidak membicarakan Naruto sejak enam bulan yang lalu. Jelas mereka sudah putus kan?

Kreet. Shikamaru menarik kursi dan duduk di seberang Naruto. Mereka janjian di sebuah kafe dekat tempat Shikamaru bekerja. “Maaf tiba-tiba menghubungimu, Kak. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.” Shikamaru berdeham, “aku hanya terkejut kau mengenal Deidara. Bahkan mengirimiku pesan melalui aku twitter-nya.”

Naruto menggaruk tengkuknya. Menghubungi seseorang melalui gawai orang lain mungkin kebiasaan buruk Naruto. “Yah, aku mengenalnya sebagai teman kakak iparku. Kebetulan aku ke tokonya dan teringat ingin menghubungimu.” alibinya. Shikamaru tak ambil pusing. Tak lama seorang pelayan datang dan menanyakan pesanan kedua pria itu. Karena sudah terlanjur, Shikamaru memesan omurice dan iced americano. “Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Shikamaru to the point. Ia kurang suka berbasa-basi, apalagi dengan orang asing.

“Aku ingin bertanya, kira-kira apa kakak tahu siapa perempuan di foto ini?” Naruto menyodorkan gawainya yang menyala. Tanpa curiga, Shikamaru mengambil gawai itu dan melihat sebuah foto.

“Ini apa?!” Shikamaru mengernyit. Layar tersebut menampilkan sebuah foto yang mem-foto layar komputer berisi foto seorang perempuan. Perempuan itu sedikit menyamping. Yang terlihat adalah setengah wajah dan badannya yang memakai bikini berwarna hitam. Rambutnya digelung ke atas. Sepertinya foto diambil saat si perempuan belum siap. Terlihat dari hasil pemotretan yang sedikit blur dan pose perempuan yang belum siap.

“Itu Hinata, dia bekerja sebagai model untuk toko Deidara dan Ino.”

.

.

“Hinata! Bisa bicara sebentar?” Karin mencegat Hinata yang baru makan siang dari kantin kantor. “Ya, ada apa, Kak?” Hinata menghampiri Karin yang duduk di sudut ruangan. “Aku... ingin minta maaf soal Naruto.” kata Karin sembari menunduk.

Hinata jelas tahu ke mana arah pembicaraan ini. Pasti membahas masalah hari selasa lalu. “Tidak papa, Kak. Pasti itu tidak sengaja, ‘kan?” tanya Hinata. Karin mengangguk-angguk dengan kencang. “Ya, tentu. Adik sepupuku mungkin hanya sedikit frustrasi juga,” belanya.

Hinata tersenyum kecil sembari mendengus. “Kalau begitu sudah jelas, ‘kan? Aku tidak akan mengambil hati selama Naruto senpai tidak menggangguku lagi. Bisakah aku kembali?” mustinya Karin sadar, sejak awal Hinata tak duduk di dekatnya. Perempuan itu sengaja bicara sembari berdiri karena tidak ingin berlama-lama. “Oh? Ya, tentu saja. Silakan lanjutkan pekerjaanmu, Hinata. Semoga sisa harimu menyenangkan!”

“Kau juga, Kak Karin.”

Itu yang Hinata katakan seraya beranjak, tapi dalam hati ia berharap hari Naruto mengalami kesialan entah apa pun itu. “Semoga ia tergelincir atau apalah,” bisik Hinata pelan.

Saat akan berbelok menuju elevator, Hinata harus melewati ruang penyimpanan perkakas kebersihan. Koridor lantai lima sudah mulai lenggang. Orang-orang sudah kembali ke meja kerjanya masing-masing. Jadi, ketika tiba-tiba Hinata tertarik ke dalam ruang perkakas tak seorang pun melihatnya, apalagi menolongnya.

“Hm-hm!”

Hinata berontak dalam kungkungan seseorang. Mulutnya dibekap hingga tak bisa berteriak. Sedang kedua tangannya dicekal ke belakang tubuhnya sendiri sembari disudutkan ke arah tembok.

“Ssst... Jangan berisik, Hyuuga. Aku tidak akan macam-macam asal kau menurut,” kata orang itu. Tentu Hinata tidak percaya. Sudah empat minggu ia magang di perusahaan ini dan cukup baginya untuk memahami watak lelaki itu. “Nah, begitu, menurutlah sebentar.”

Hinata mengalah. Ia sudah tak berontak lagi. Otot-ototnya dilemaskan. Perlahan kungkungan pria itu padanya pun melonggar. Bahkan kini tubuh mereka mulai berjarak. “Apa yang kau inginkan, Wakil Direktur?” tanya Hinata.

Betul sekali. Siapa lagi yang berani mencekal Hinata di kantor jika bukan lakon bungsu Uchiha kita?

“Aku hanya ingin bicara denganmu,” kata Sasuke dengan santai. “Aku yakin caraku memintamu datang ke ruanganku tidak akan mujur lagi. Maaf melakukan hal ini padamu tapi aku benar-benar penasaran.” alis Hinata mengernyit. “Penasaran apa?”

“Waktu itu kau bertemu dengan kakakmu di sini. Tapi, setahuku marga kalian berbeda. Bagaimana kalian bisa menjadi keluarga?”

Kerutan di dahi Hinata kian terlihat. Dia mencegatku untuk bertanya hal itu? “Maaf, tapi apakah ada hubungannya denganmu, Tuan?” tanya Hinata waspada. “Tidak. Aku hanya penasaran saja.” jawab si atasan dengan santai. “Kalau begitu, maaf, aku tidak bisa memberitahumu. Itu privasi keluargaku. Saya permisi.”

Hinata hendak beranjak pergi tapi tangannya dicekal lagi. Sasuke kembali menahannya ke dinding dekat pengepel lantai yang tergantung. Hinata mengaduh, terhimpit antara rak berisi pembersih. “Aku ingin tahu, Hinata. Aku harus tahu siapa sainganku sebenarnya.” Perkataan Sasuke membuat Hinata terbingung lagi. Saingan apa sih?

“Setelah itu aku bisa putuskan akan meneruskan perasaanku atau tidak.”

Perasaan apa?

“Jadi, tolong beritahu padaku, Hinata.”

Selama beberapa detik Hinata termangu. Berusaha mencerna perkataan-perkataan yang ditujukan padanya. Lalu, ia melemaskan tubuhnya, bersandar pada dinding. “Kami bersaudara sejak sepuluh tahun yang lalu,” Hinata berkata pelan.

Mendengar suara dari Hinata, Sasuke mulai mengendurkan tubuhnya dari Hinata, menjaga jarak. Mustinya momen inilah Hinata pergi, tapi nyatanya Hinata malah meneruskan ceritanya. “Ayahku dan ibu Kak Shika menikah setelah ibuku meninggal. Sejak saat itulah kami jadi adik kakak.”

“Tapi kenapa marganya tidak diganti?”

“Marga Kak Shika, ya?” Hinata bertanya retoris. “Entah. Kak Shika belum pernah melihat ayah kandungnya sejak mulai mengingat. Jadi, ia bilang marganya adalah satu-satunya hal tersisa yang ingin ia lindungi.” Hinata tersenyum kecil, mengingat dirinya yang sempat mengagumi sifat berpendirian Shikamaru. “Lalu?” Hinata menoleh pada Sasuke. “Bagaimana hubunganmu dengan Shikamaru Nara sekarang?”

Hinata mengernyit kecil. “Bagaimana apanya? Kami adik kakak, bahkan aku tinggal dengannya sejak kuliah.”

“Nah, itu. Bagaimana bisa kau membiarkan dirimu tinggal bersama lelaki dewasa?”

“Hah?” Hinata mengerjap-ngerjapkan matanya. “Kalian tidak punya ikatan darah, Hinata. Bahkan hubungan sedarah pun tidak bisa mencegah kalian berbuat yang aneh-aneh, ‘kan?”

“Gila!” Hinata sedikit berteriak. Kemudian ia terkejut sendiri dan menahan suaranya, takut ada orang yang mendengar. “Kau berpikiran terlalu liar, Tuan. Hubunganku dengan Kak Shika tidak seperti itu. Tidak mungkin!”

“Benarkah?” Sasuke memicing curiga, memajukan tubuhnya ke arah Hinata.

“Iya. Kak Shika saja sudah mempunyai pacar.” Sebenarnya Hinata bingung, kenapa juga dia harus menjelaskan pada lelaki ini? “Oke.” Sasuke kembali mundur. “Berarti dia bukan sainganku.” Hinata berdecak pada ucapan tak jelas Sasuke.

“Hyuuga, kuputuskan untuk melanjutkan perasaanku. Bersiaplah, aku akan lebih agresif mulai sekarang.” Sasuke mulai membuka pintu ruangan, hendak pergi ke luar. “Oh, tentu, aku akan berusaha agar mengedepankan consent kali ini.” katanya saat berbalik singkat pada Hinata yang masih menatap aneh. “Apa sih? Kata-katanya ambigu sekali!” gerutu Hinata.

.

.

“Itu Hinata, dia bekerja sebagai model untuk toko Deidara dan Ino.”

“Jangan bercanda!”

Shikamaru melempar pelan ponsel Naruto yang ia pegang. “Ti-tidak mungkin adikku...” sambil melotot, dada Shikamaru bergemuruh, tidak bisa melanjutkan ucapannya.

“Itu adalah buktinya. Tidak mungkin kau tidak mengenali adikmu sendiri kan, Kak?” Naruto berkata dengan dingin. Matanya menatap lurus pada Shikamaru. Tanpa senyuman ramah, tanpa pandangan membara, hanya tatapan kosong dan sedikit marah, mungkin.

Setelah berhasil mengendalikan dirinya sendiri, Shikamaru menatap Naruto dengan tenang. Pasti ada alasannya. “Lalu, kenapa kau menunjukkannya padaku?” tanya Shikamaru. “Apa yang ingin kau tunjukan? Karena tidak pernah mendengar tentangmu lagi, kutebak hubunganmu dengan adikku sudah berakhir?” tangan Naruto terkepal erat. “Hinata yang memutuskanku,” cicit Naruto pelan.

“Hm? Kau bilang apa?” samar Shikamaru mendengar ucapan Naruto.

Naruto menghela napas, wajahnya menjadi lebih rileks. “Aku bertanya-tanya tentang kabarnya selama ini. Aku khawatir, bisakah dia hidup dengan baik tanpaku?” Naruto curhat tiba-tiba. “Tapi setelah melihat sikapnya dan mengetahui apa yang ia lakukan, percuma saja aku mengkhawatirkannya.” Terdengar sebuah suara tawa yang kikuk, terdengar dipaksakan dan penuh ironi.

“Yah, mungkin memang sejak dulu dia adalah perempuan yang seperti itu.”

Brak. Shikamaru memukul pelan meja tempat mereka duduk. Alisnya menukik tajam pada pria pirang di seberangnya. Giginya sedikit bergemeletuk, kesal. “Dengar ya, Uzumaki. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi antara kau dan adikku, tapi jangan coba-coba untuk merendahkannya di depanku. Tidak ada seorang pun yang pantas menghinanya!”

Itulah yang Shikamaru ucapkan sebelum ia bangkit tanpa mendengar penjelasan Naruto. Bahkan ia sempat berbalik dan berkata, “Ah, untuk pesananku, aku akan membayar secara virtual padamu nanti. Kirim saja nomor rekeningmu padaku.” Berpisah dengan wajah Naruto yang masih shock, sepertinya lelaki itu sedikit terguncang karena mata dan mulutnya jelas terbuka cukup lebar. Mungkin sempat menahan napas juga.

Lain tadi siang, lain di malam hari. Shikamaru sudah berada di rumah sejak pukul lima sore. Namun, adiknya belum juga pulang padahal sudah jam tujuh malam lebih. Di ruang tengah, Shikamaru menunggu sambil duduk di atas sofa. Kakinya cukup terbuka lebar, kedua sikunya ditumpukan pada masing-masing pahanya. Menyatukan telapak tangan, dan menumpukan dagu padanya.

Shikamaru bergerak gusar, kakinya bergelatukan. Tiba-tiba merasa cemas saat menunggu Hinata. Pukul tujuh lebih tiga belas menit, Hinata akhirnya pulang ke apartemen. “Aku pulang.” terdengar suara samar Hinata yang masuk. “Kak Shika, apa yang kau lakukan?”

Sapaan terdengar, tentu saja Hinata melihat kakaknya yang mematung di ruang tengah. Sambil membawa kantung plastik berisi belanjaannya tadi di supermarket, Hinata berjalan menuju dapur. Menaruh kantung plastik di atas meja makan.

“Hinata.” Panggilan dari Shikamaru membuat Hinata berbalik sembari berdeham. Begitu berbalik, kakaknya sudah berdiri, mendekat ke arahnya dengan wajah lempeng. “Aku baru saja mendengar sesuatu yang mengejutkan.” Hinata mengernyit tak mengerti. Shikamaru bahkan cukup dekat dengannya, mungkin hanya terhalang satu meter.

“Kau membuatku takut, Kak.” Hinata bicara dengan sedikit bercanda. “Benarkah?” tapi Shikamaru menimpalinya dengan nada menyeramkan, membuat adiknya membeku.

“Apa kau bertemu dengan Ino akhir-akhir ini, Hinata?” tanya Shikamaru.

Beberapa detik Hinata melotot. Ia mempunya firasat kurang enak. Diteguknya ludah yang sedikit mengering. “Ya, kami pergi ke bar minggu lalu. Bukankah aku sudah mengabarimu?”

“Bukan yang itu. Sebelumnya lagi. Apa kau pernah diam-diam bertemu Ino tanpa sepengetahuanku?” desak Shikamaru. “Tidak.” Hinata menjawab dengan cepat. Ia merasa terhimpit ke meja makan.

“Benarkah? Tapi aku baru tahu tentang model lingerie toko Yama Nyang yang hanya satu kali pakai. Ada yang bilang itu adalah kau.”

“Hahhh?” Hinata terkejut, sebisa mungkin ia menutupi perasaannya. “Mu-mungkin kau salah dengar.” Ia membetulkan letak kacamatanya dengan gusar. “Oh, begitu?” setiap napas yang diambil Hinata terasa menyesakkan. Pandangannya bahkan mulai gusar, mencoba menghindari mata gelap Shikamaru. “Kalau begitu, mari kita buktikan langsung ke toko Ino, Hinata.”

“Tidak mau!” Hinata menolak dengan cepat. Ia sudah ingin menangis. Bagaimana kakaknya bisa tahu?

“Kenapa? Kau bilang informasi yang kudengar salah, ‘kan? Bagaimana kalau kita bertanya langsung pada Ino dan Kak Dei?”

“Tidak, aku ti–”

“Jadi benar ya?” Shikamaru memotong ucapan Hinata. “Kau memang perempuan itu, seperti yang foto aku lihat tadi. Kau yang memakai lingerie hitam model bikini itu.” Kali ini Hinata benar-benar merasa sesak. Dari raut wajah dengan mata melotot itu, bagaimana Shikamaru bisa menyimpulkan jika Hinata bukan perempuan yang ada di foto?

“Kenapa?” Shikamaru berkata pelan setelah beberapa saat mereka terdiam, tepatnya Hinata yang memilih menutup mulutnya rapat-rapat. “Kenapa kau berbohong, Hinata?” bisa Hinata lihat tatapan tajam yang Shikamaru layangkan padanya.

“Kenapa kau menjadi model itu? Kenapa kau menjadi wanita seperti itu?” Hinata hendak menyanggah, tapi Shikamaru keburu membuka mulutnya lagi. “Kau tahu aku sangat membecinya, Hinata. Sangat! Kau juga akan menjadi pelacur?!” bentaknya marah.

Tubuh Hinata bergetar hebat. Tatapan kebencian yang dilihatnya dari sorot mata Shikamaru benar-benar menakutkan. Melukainya hingga tanpa sadar air mata akan mulai jatuh di pipinya. Namun, Hinata menahannya. “Aku tidak... Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa menjelaskannya. Dan juga, jangan ucapkan kata itu, Kak. Aku bukan pelacur!” akhirnya Hinata membela diri meskipun diselingi isakan.

“Kau berbohong padaku, Hinata. Aku benar-benar marah!” Shikamaru kembali menggeletukkan giginya. “Aku tidak masalah kalau kau ingin memulai karir model seperti Temari, tapi kenapa harus model lingerie? Kau sengaja membiarkan tubuhmu dinikmati dan menjadi bahan onani para pria?” lagi, pemikiran melenceng yang ingin Hinata luruskan.

“Aku tidak suka pada perempuan yang senang menjadi pembangkit nafsu laki-laki. Jika seperti itu, apa bedanya kau dengan pelacur?!”

Hinata membeku. Kata-kata yang diutarakan oleh kakaknya, bukankah itu terlalu jahat? Mati-matian Hinata berusaha meredam suaranya sendiri, membekap mulut. Setelah menenenangkan diri, Hinata mengambil napas pelan dan menunduk. “Padahal pelacur yang menghidupimu selama ini,” bisik Hinata sepelan mungkin, keceplosan.

“Apa kau bilang?!” Shikamaru kembali membentak. Ia lebih marah dan geram kali ini. “Keluar dari tempat tinggalku, Hinata! Kau hanya akan mengotori rumah ini!” usirnya. Runtuh sudah. Hinata dibentak, dimarahi oleh sosok yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri. Inginnya, Hinata menenangkan Shikamaru tapi ia juga tidak sanggup. Air matanya juga sudah mulai berjatuhan. Jadi, tanpa persiapan apapun selain tas selempangnya, Hinata pergi meninggalkan apartemen Shikamaru.

.

.

Sejak pergi dari apartemen, Hinata hanya berjalan-jalan tanpa arah. Menangis sepanjang jalan hingga pandangannya kian mengabur. Ia yakin kini orang-orang mulai memerhatikannya. “Siapa yang, hiks...” Hinata mengusap bawah hidungnya karena sedari tadi diperhatikan seorang anak kecil. “Siapa yang membocorkannya?”

Rasanya Hinata tak percaya. Ia sakit hati dan marah juga. Apa Kak Ino yang melakukannya? Dunia kejam sekali. Padahal minggu lalu mereka menghabiskan waktu bersama. Atau siapa?

Suara gelegar petir mulai terdengar. Memang, tadi sore sudah mulai mendung. Saking sedihnya, Hinata sampai mengabaikan cuaca. Ia baru sadar saat gemericik hujan mulai turun. Tidak membawa payung, pertahanan Hinata hanya tas selempang kecil untuk menutupi kepalanya. Yah, meskipun sia-sia karena gerimis sudah membasahi kemeja kremnya.

“Sekarang aku harus kemana?” Hinata memedarkan pandangan. Ia tertegun sebentar. Baru sadar ia sudah berjalan terlalu jauh sampai-sampai berada di dekat kantornya magang. “Semoga tidak ada orang.”

Hinata berjalan cepat menuju kantor Uchiha. Takut-takut ia melihat sekeliling agar tidak tertangkap petugas janitor. Sempat melembur beberapa saat, ia sudah hapal akan dihalangi petugas janitor jika bukan keperluan mendadak. Titah sang direktur, katanya.

Hinata memijit tombol elevator yang ternyata juga sedang bergerak turun. Sembari mengelus tubuhnya yang mulai terasa dingin, Hinata baru sadar kemejanya juga mulai transparan. Lagi-lagi warna favoritnya, bra biru gelap dipakai Hinata. Meskipun percuma, Hinata berusaha untuk menutupinya.

Ting. Elevator berhenti dan perlahan terbuka. Sialnya, di dalam elevator bukannya tidak ada siapa-siapa seperti yang Hinata harapkan. “Hinata Hyuuga?” panggil sosok di dalam elevator. Seperti dejavu, Hinata kembali berhadapan dengan iris segelap malam itu di depan pintu elevator. Sekelebat mengingatkannya pada iris mata sang kakak yang membuatnya sebal sampai-sampai Hinata menurunkan tangannya dari depan dada. Menghilangkan pertahanannya.

Hinata yakin ia sudah salah langkah. Terbukti dari sang pria yang kini malah melotot menatap tubuh Hinata. Agak ke bawah, mengarah pada sesuatu yang sudah pasti kalian duga. BRA BIRU LAGI?!!

.

.

“Hi-Hinata?” Sasuke meneguk ludahnya gugup. Perempuan di depannya hanya menatap lurus, tak berminat. Pintu elevator mulai menutup setelah cukup lama mereka terdiam. Settt-brak. Sasuke menarik Hinata masuk ke dalam elevator dan mendorongnya ke pojokan.

“Apa yang kau lakukan malam-malam di kantor?” napas Sasuke sedikit terengah dengan suara beratnya yang menahan geraman. Hinata bisa merasakan deru napas Sasuke yang menyapu wajahnya. Baru Hinata sadar saat mendongak, ia terlalu dekat dengan si pria.

Tiba-tiba Hinata jadi merasa malu. Dialihkannya pandangan ke samping dengan semburat merah yang muncul di kedua pipinya. “Tidak ada,” gumam Hinata pelan.

“Tsk.” Suara decakan terdengar, lalu Hinata bisa merasakan dagunya diambil oleh Sasuke. Memaksanya bertatapan dengan pria raven itu. “Sialan. Baru aku pikirkan cara normal untuk mendekatimu, tapi kau malah muncul dengan penampilan seperti ini.” lirikan mata Sasuke merendah, pada bagian dada Hinata yang tercetak. “Senang kau menggodaku, lingerie girl?”

DUG

Hinata mendorong tubuh Sasuke hingga pria itu mencapai sisi lain elevator. Seketika wajahnya berubah menjadi takut dan marah. Setelah mengaduh, Sasuke menatap bingung pada Hinata yang tubuhnya naik-turun. “Kenapa kau mendorongku dengan keras sih? Sakit.” keluh Sasuke sembari mengusap belakang bahunya yang membentur dinding.

“Kau yang kenapa?!” bentak Hinata.

Sasuke menaikkan sebelah alisnya, menatap Hinata yang marah padanya. “Memangnya aku kenapa?” Sasuke mundur, menyandarkan diri pada sudut elevator seberang Hinata. “Apa ini karena kejadian tadi siang?”

“Kau melecehkanku!” suara Hinata bergetar. “Bisa-bisanya kau melecehkanku tapi kau mengingkari janjimu!” Sasuke mengernyit. “Kau yang membocorkannya, ‘kan?!”

“Membocorkan apa sih?”

“Membocorkan identitasku yang menjadi model lingerie!”

Mata Sasuke membola, dilihatnya Hinata yang menatap tajam padanya, sudah akan menangis lagi. Kali ini Sasuke yakin Hinata benar-benar terluka. Entah karena perbuatannya atau apa, tapi Sasuke merasa tidak enak hati. “Aku tidak melakukannya,” bela Sasuke pada dirinya sendiri.

“Bohong!”

“Sungguh, aku sudah berjanji tidak akan membocorkannya kalau kau memakai lingerie di depanku waktu itu, ‘kan?” Sasuke mengingat kembali hari empat minggu lalu. “Lagipula membocorkan hal itu tidak ada untungnya bagiku, malah merugikan.”

Hinata tidak mengerti maksud ucapan Sasuke yang terakhir. “Lalu bagaimana kakakku bisa tahu?” Sasuke mengernyit lagi di sandarannya. “Kakakmu?” tanyanya. Bisa Sasuke simpulkan, sepertinya Hinata merahasikan masalah lingerie itu dari keluarganya.

“Aku tidak tahu tentang hal itu, Hinata. Tapi aku bisa pastikan, kakakmu tidak mengetahuinya dariku. Aku hanya bertemu dengannya selasa lalu. Setelahnya setahuku divisi IT yang berkontak dengannya.” Sasuke menjelaskan dengan rinci. “Apa hal itu menyebabkan kau terlibat masalah?” oh, kenapa Sasuke peduli?

Hinata menunduk, tubuhnya sudah lebih rileks dan bersandar pada dinding. “Aku diusir,” bisiknya pelan.

Sasuke melotot. Kejam sekali. Hubungan adik-kakak beda marga itu untungnya tidak sesuai imajinasinya. Namun, mengusir sosok yang sudah dianggap adik itu berlebihan bukan? Meskipun Sasuke juga yakin Itachi sering memintanya keluar dari rumah sih.

“Aku turut prihatin mendengarnya.” simpati Sasuke membuat Hinata mendongak lagi. “Apa kau punya tempat tinggal lain? Aku bisa membantumu kalau kau mau.” tawar Sasuke.

“Kenapa kau peduli?” mata Hinata memicing. “Apa kau ingin memanfaatkannya untuk mendapatkan tubuhku?” tuduh Hinata dengan suara menaik. Terdengar hembusan napas kasar yang Sasuke buang. Lalu, pria itu berjalan santai ke arah Hinata. Tersenyum miring sembari kembali mengurung Hinata. “Itu salah satunya. Memangnya, siapa yang tidak tergoda jika disuguhkan penampilan perempuan seperti ini?”

Sebenarnya Sasuke ingin sekali menyentuh sesuatu yang berwarna biru tua itu. Namun, setelah menekan egonya, Sasuke putuskan untuk menyentuh bahu basah Hinata dengan telunjuknya saja. Berputar-putar di sana untuk menggoda si perempuan berkacamata.

“Ne, Hinata, aku tahu momennya tidak pas, tapi aku benar-benar ingin mencium bibirmu.” Sasuke berbisik pelan di telinga Hinata dengan napas yang kembali mulai memberat. Hinata dibuat merinding karenanya. Ia memalingkan wajah karena geli, sentuhan kecil di bahunya dan hempusan napas yang menerpa lehernya. “Jadi... bagaimana?”

Meskipun ingin sekali menyerang bibir mungil nan berisi di hadapannya, Sasuke mati-matian menjaga janji dan harga dirinya sebagai seorang pria. “Lakukan.” Jari telunjuk Sasuke berhenti saat mendengar suara pelan. “Lakukanlah, Sa... Sasu–”

Hinata terkejut, belum selesai menyelesaikan ucapannya, Sasuke sudah bergerak cepat. Memalingkan wajah Hinata dan mencium bibir yang sudah ia impi-impikan. Bukan ciuman lembut seperti yang Hinata kira. Sebuah cumbuan yang kasar dan terburu.

“Hhhhh”

Hinata terengah setelah Sasuke akhirnya memutuskan ciuman pertama mereka. “Sial, ternyata memang benar memabukkan!” maki Sasuke. Dibelainya sebelah wajah Hinata, perempuan itu menatap malu-malu padanya. “Saat aku memasukkan lidahku, kau harus menyambutnya dan ikut bermain, Hinata.” katanya.

Tak lama Sasuke kembali mencium Hinata. Menyesap bibir bawah perempuan itu, menggerakkan kepalanya ke kanan-kiri untuk mencari posisi yang pas. Akhirnya Sasuke melesakkan lidah ke dalam mulut Hinata. Awalnya perempuan itu memang masih ragu dan bingung. Namun, tak lama Hinata menyambut lidah Sasuke. Hal itu membuat Sasuke senang, kedua tangannya diarahkan ke pinggang untuk memeluk Hinata.

Tiba-tiba Hinata memutus ciuman mereka. Sasuke sempat mengernyit bingung. Lalu, perempuan itu melepas kacamatanya, memegangnya dengan sebelah tangan dan mengalungkan kedua tangannya pada leher Sasuke. Senyuman miring muncul di wajah Sasuke. “Sial, benar-benar menggoda!”

Tanpa menunggu lama, Sasuke kembali menyerang Hinata. Semakin mendorongnya ke dinding dan merapatkan tubuhnya pada Hinata. “Ngh...” desahan kecil lolos dari mulut Hinata saat kaki kirinya diapit oleh kedua kaki Sasuke. Ciuman mereka rasanya sangat panas.

Ting. Sasuke baru akan memindahkan tangannya pada bagian tubuh Hinata yang lain saat elevator terbuka. Mereka berdua terkejut, Hinata bahkan menyembunyikan wajahnya di pelukan Sasuke. “Ekhem, Tuan Sasuke, maaf mengganggu. Kami akan mengontrol gedung.”

Oh, itu petugas janitor yang biasa menegur Sasuke saat ia lembur di kantor. “Tsk.” Sasuke melepaskan kalungan tangan Hinata di lehernya. Berusaha tetap menyembunyikan wajah Hinata, Sasuke menoleh dan menatap kesal pada petugas janior. “Iya, aku akan pulang sekarang. Jadi, menyingkirlah dulu!” gerutunya.

.

.

Sasuke membawa Hinata ke dalam mobilnya yang terparkir di basement. Memang sih awalnya Sasuke berpikir untuk segera pergi ke hotel terdekat. Namun, siapa sangka mereka malah akan bercumbu di dalam mobil? Dengan jas kerja Sasuke yang terlempar ke kursi pengemudi, dua muda-mudi bercumbu di kursi sebelahnya.

“Ahhhh, Sasuke”

Hinata memekik saat Sasuke meremas payudaranya. Sedang Sasuke merasa senang tak terkira. Akhirnya, batin Sasuke. Sambil menciumi leher Hinata di jok penumpang, Sasuke dengan semangat meremas benda kenyal yang sudah lama ada dalam imajinasinya. Bahkan Sasuke tidak peduli jika kini joknya sedikit basah karena baju Hinata.

“Hmmh... Akh...”

Sasuke meninggalkan tanda kemerahan di tulang selangka Hinata sambil jari-jarinya membuka kancing kemeja Hinata. Setelah tiga kancing, Sasuke bisa melihat payudara berisi Hinata. Mata Sasuke melotot lapar.

“Sial, sial, sial! Kau benar-benar indah!” Sasuke menciumi pangkal dada Hinata dari ujung ke ujung yang lain. Desahan Hinata memenuhi telinganya sampai-sampai nada dering teleponnya yang bunyi sejak tadi jadi tak terdengar. Sudah pasti biang keroknya adalah Itachi. Sasuke lupakan gawainya sejak membuang jasnya sembarang.

Tangan kanan Sasuke merambat ke bawah, berusaha menyentuh pangkal paha Hinata. Namun, tiba-tiba Hinata menahan tangannya. Sukses membuat Sasuke menghentikan semua gerakannya, menatap bingung dan kecewa padanya. “I-Ini akan menjadi yang pertama untukku,” kata Hinata.

Bagaimana Sasuke tidak merasa bahagia? Bisa benar-benar menyentuh sosok yang selalu menggairahkannya, dan bisa menjadi yang pertama untuknya. “Aku mengerti.” Sasuke menjauhkan tubuhnya. “Kita akan melakukannya di tempat yang lebih layak.”

Sebenarnya Sasuke juga bingung akan membawa Hinata ke mana. Deretan hotel cukup menggoda tapi besoknya di mana Hinata akan menenangkan diri? Jadi, Sasuke putuskan untuk membawa Hinata ke rumahnya –bersama kakak dan kakak iparnya.

“Sebentar.” Sasuke membiarkan Hinata masuk ke dalam kamarnya lebih dulu. Sementara ia mengambil kertas dan menempelkannya di depan pintu kamar dari luar. Setelahnya, Sasuke mengunci pintu kamar, melepaskan jas kerja dan memastikan gawainya dalam keadaan mati. Agak masuk ke dalam, Sasuke bisa menemukan Hinata yang sedang memedarkan pandangan ke penjuru kamar. “Hinata,” panggilnya. “Mari kita lanjutkan!”

TOK TOK

Suara ketukan pintu terdengar di pagi hari. Itachi tersenyum geli membaca tulisan yang menempel pada pintu kamar Sasuke. Aku benar-benar sibuk dan tidak ingin diganggu sekarang. Berani kau mengusikku, aku tidak akan segan membocorkan kejahilanmu pada Kak Sakura dan melakukan apapun untuk membuatmu kesal, Itachi!

“Oi, Sasuke! Aku tahu kau mengancamku, tapi ini sudah pagi. Ayo sarapan bersama! Kakak ipar kesayanganmu memasak kari!” teriak Itachi sebelum kembali ke dapur, menemui Sakura. “Tsk, adikku itu. Apa sih yang membuatnya sibuk?!” gerutunya sambil berjalan.

.

.

Hinata sendiri bingung. Semalam, ia sadar sepenuhnya. Ia melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya. Melepas keperawanannya pada sang atasan. Pelecehan-pelecehan itu, kalau Hinata pada akhirnya tidur bersama sang atasan secara sadar, apakah masih bisa diadukan sebagai pelecehan?

Seperti kata Ino. Ia berdesir saat memikirkan ada seseorang yang menginginkannya sebesar itu. Kelakuannya memang cukup nyeleneh tapi Hinata tahu pria itu pun menahan diri sekuat yang ia bisa. Dan semalam, mereka berdua sudah sama-sama memperjelas keinginan itu. Setelah ini, akankah Hinata pada akhirnya membuka diri dan hatinya untuk seorang laki-laki baru?

“Hei, selamat pagi!” sapaan menyapa tatkala Hinata mulai membuka kelopak matanya. Beberapa kali mengerjapkan mata, Hinata memfokuskan pandangan ke arah depannya.

Di hadapannya Sasuke sedang mengambil baju dari lemari. Dari sini Hinata bisa melihat tubuh Sasuke yang menyamping. Meskipun sedikit samar, tubuh bagian atas pria itu terekspos begitu saja. Hanya terlindungi oleh sebuah celana pendek santai yang membungkus bagian bawah tubuhnya. Tangan Sasuke terangkat, berusaha meraih sesuatu di bagian atas dalam lemari yang terbuka. Seketika Hinata teringat kejadian semalam saat melihat otot biseps itu.

“Bagaimana, Hinata? Alat ini luar biasa, ‘kan?” tanya Sasuke sembari memasukkan jari dan vibrator lebih dalam.

“Ada apa?” Sasuke mengernyit pada Hinata yang mengalihkan pandangan sembari meremas selimut di dadanya. “Tidak.” Hinata menjawab cepat, malu dengan pikirannya sendiri. “Apa kau bisa bangun dari tempat tidur? Bersih-bersihlah, kita akan sarapan bersama keluargaku. Yah, meskipun sepertinya mereka sudah menyelesaikan hidangan utama.”

Sasuke memakai kaus polos berwarna hitam. “Kudengar ada beberapa perempuan yang kesusahan berjalan setelah seks pertama kali.” godanya dengan kekehan, sukses membuat Hinata membelalak dan bersemu merah. “Aku bisa bangun kok!”

Hinata memang bilang begitu tadi tapi saat akan keluar kamar –setelah mandi-, ia meminta Sasuke untuk berjalan di depannya. Sedangkan Hinata akan mengikuti dari belakang sembari berpegangan pada belakang baju Sasuke. Seperti anak itik yang mengekor. Karena ternyata, meskipun Hinata menguatkan diri, bagian bawah tubuhnya agak terasa sakit dan pegal.

“Selamat pagi, Sasuke!” sapaan datang dari seorang perempuan. “Aku dan Itachi sudah selesai sarapan, kami akan memakan buah. Apa kau mau aku menghangatkan kari lagi?”

Mendengar suara perempuan, Hinata menyembul dari balik punggung Sasuke. Surai gelapnya menarik atensi si perempuan dan sosok lain yang sedang meminum kopi paginya. “Oh, ada orang?” surai merah muda bicara lagi, Sakura si kakak ipar Sasuke. “UHUK!” kali ini suara batuk terdengar dari pria bersurai panjang. Hinata seperti mengenalnya, Itachi Uchiha, direktur Uchiha yang juga kakak sulung Sasuke.

Itachi mengelap sudut bibirnya dengan tisu yang Sakura sodorkan. “Oh, jadi ini kesibukanmu, ya, Adik?” goda Itachi. Sakura menepuk pelan Itachi agar tidak menggoda Sasuke dengan perempuan asing itu.

“Duduklah di bangku ini, Hinata.” Sasuke menarik satu bangku dan membantu Hinata untuk duduk di atasnya. Sudah pasti tindakannya membuat Itachi menyeringai lebar, bersiap untuk menggoda dan bertanya habis-habisan. Di meja makan bisa Hinata lihat satu piring bersih dan beberapa piring berisi lauk-pauk. Tak lama piring bersih itu Sasuke sodorkan pada Hinata. “Oh, Itachi, tolong ambilkan satu piring lagi.” titah Sakura.

Itachi sempat menoleh kaget. Tapi karena sang istri tercinta memberinya tatapan kasih sayang, Itachi segera bangkit dan mengambil tambahan piring. “Hai! Namaku Sakura Uchiha, istri Itachi Uchiha. Kami adalah keluarga Sasuke. Boleh aku tahu siapa namamu?” Sakura menyapa Hinata lebih dulu. Jarak mereka cukup dekat, Hinata bisa melihat Sakura yang tersenyum lembut padanya. “Namaku Hinata Hyuuga.”

“Oh, aku pernah melihatmu!” seru Itachi yang menaruh piring di dekat Sasuke. “Di kantor. Bukankah kau adik Shikamaru Nara?” tanyanya. “Bukankah kau juga anak magang di perusahaan Uchiha?”

Perkataan Itachi membuat keadaan hening selama beberapa saat. Sakura sampai harus menarik tubuh suaminya untuk duduk di sampingnya.

“Memangnya kenapa? Baru pertama kali melihat skandal pegawai kantor?” tanya Sasuke dingin. Itachi malah tersenyum mesum dan menyeramkan ke arahnya sementara mulutnya mulai dijejali buah-buah oleh Sakura agar tidak bicara lagi.

“Ekhem!” Sakura berdeham untuk memecah keadaan. “Hinata, maafkan suamiku orangnya memang terlalu ingin tahu kehidupan adiknya. Abaikan saja dia. Silakan nikmati sarapanmu!” Sakura memilih untuk menarik Itachi bangun saat pria itu hendak membuka mulutnya yang baru saja menelan kunyahan buah apel, membiarkan Sasuke dan Hinata menikmati sarapan mereka tanpa gangguan Itachi Nakal Uchiha.

.

.

Setelah sarapan, Sakura kembali menghampiri Hinata. Berusaha mendekatinya dengan mencuci piring bersama. Sakura yang mencuci piring-gelas dengan sabun, kemudian Hinata yang membilas dan menaruhnya ke pengering. Sementara itu, para lelaki sedang bicara secara privat di halaman belakang rumah yang menghadap kolam ikan cukup besar.

“Hinata, aku tahu pasti rasanya masih canggung, tapi bagaimana kalau kita berkenalan? Boleh aku tahu berapa usiamu?” tanya Sakura dengan nada bicara seramah mungkin. Hinata ikut tersenyum kecil pada perempuan pink itu. “Dua puluh tahun.”

Gerakan mencuci Sakura terhenti. Matanya cukup membola, menatap tak percaya pada Hinata. “Benarkah?!” kejut Sakura. “Umurku tahun ini tiga puluh tahun. Aku sebenarnya kakak kelas Sasuke saat sekolah dasar. Kebetulan rumah dan keluarga kami dekat, dan aku berakhir menikahi salah satu Uchiha.” kekehan terdengar dari Sakura. Sedangkan Hinata hanya manggut-manggut mengerti. “Kalau kau? Sejak kapan kau mengenal Sasuke?”

“Dua minggu? Tiga minggu? Bulan lalu aku mulai magang dari kampus di perusahaan Uchiha.” Sakura mengangguk paham. “Jadi kau kuliah, ya? Mengambil jurusan apa dan semester berapa?”

“Aku memasuki semester enam, mengambil ilmu akuntansi di Tokyo University.”

“Wow! Keren sekali!” puji Sakura. “Kalau rumahmu di mana?” seketika gerakan membilas Hinata terhenti. Beberapa detik membiarkan air dari keran mengalir tanpa arti. “Aku tinggal bersama kakak laki-lakiku... harusnya.”

“Harusnya?” Sakura mengernyit tak mengerti. Perempuan indigo di sampingnya sudah mulai bergerak lagi. “Ada apa?”

“Aku diusir.”

Kali ini Sakura yang menghentikan gerakannya lagi. Mulutnya menganga dengan tatapan mata tak percaya. “Kau diusir oleh kakakmu? Serius?!” pekikan Sakura terdengar. “Laki-laki macam apa yang bertindak seperti itu? Memalukan!” sumpah serapah mengalir begitu saja keluar dari mulut Sakura. “Hinata, kalau kau butuh, tinggalah bersama kami di sini. Aku jamin Sasuke adalah pria baik. Aku dan Itachi mendidiknya agar menjadi pria terhormat. Kalau terjadi sesuatu, kau juga bisa meminta bantuanku.” Sakura memandang Hinata dengan wajah meyakinkan. Tanpa sadar tangannya yang diselimuti busa menepuk bahu Hinata sampai akhirnya ia meminta maaf.

“Jadi, kau sudah menyalurkan hasratmu sekarang?” cibir Itachi. Ia melirik Sasuke yang duduk di bangku sampingnya dekat kolam ikan. “Cih!” decihan terdengar. “Jangan berpikiran aneh, Kak. Aku dan Hinata melakukannya karena sama-sama mau.” tegas Sasuke.

“Aku tidak bilang kau memperkosanya, ‘kan?” Itachi menaikkan sebelah alisnya. “Diam-diam ternyata kau mengincar daun muda!” ejeknya. “Sejak kapan kalian berhubungan?”

Sasuke sedikit menunduk. “Kami baru memulainya, semalam. Tapi aku sudah tertarik padanya sejak ia magang hari pertama.” Itachi mengangguk. “Great. Jadi kau punya orang untuk memakai semua barang-barang yang kau beli sebelumnya.” sindirnya. “Ah, sayang sekali aku harus membubarkan grup facebook yang aku bentuk untukmu.” Itachi menghembuskan napas kecewa.

“Sepertinya aku akan membiarkan Hinata untuk tinggal selama beberapa saat di sini. Tidak apa?” izin Sasuke pada Itachi. Kakaknya mengernyit, “kenapa? Kau sudah ngebet ingin mengawininya?”

Menggerutu kesal, Sasuke berdecak sebal pada kakaknya. “Ada urusan saja.” alibinya. “Makanya, kubilang beli lah rumah sendiri, Sasuke.” Lagi-lagi Itachi mengejek. “Jangan mau tinggal di rumah warisan.” Sasuke mendengus sebal. Tidak sadar diri!

Itachi berpaling sembari mengedikkan bahunya. “Yasudah, terserah saja. Tapi ingat, bermain-lah dengan sehat. Jangan menyakitinya, bersikap lembutlah, oke?”

.

.

Minggu malam. Shikamaru seperti tersadar akan sikapnya pada Hinata, tentu setelah curhat pada Temari tersayang. Ia jadi merasa bersalah sekaligus khawatir pada Hinata yang tidak pulang dua hari. Telepon genggamnya pun tidak aktif. Makin takutlah Shikamaru dengan hal-hal yang akan terjadi.

Sambil duduk di tepi ranjangnya, Shikamaru menghubungi seseorang melalui panggilan telepon. “Halo, Bu?” panggil Shikamaru saat sambungan telepon terhubung.

“Halo, Shikamaru? Ada apa, Nak?” suara Yoshino Hyuuga, ibu kandung Shikamaru mengalun.

“Bagaimana kabar ibu?” Shikamaru berbasa-basi.

“Ibu baik. Ayah juga sudah mulai membaik. Kau sendiri? Bagaimana kabarmu dengan Hinata di Tokyo?”

“Hinata...” gumaman Shikamaru membuat Yoshino berdeham. “Aku dan Hinata sempat berselisih, Bu. Sejak tadi pagi ia tidak bisa dihubungi.” bohongnya. “Apa Hinata menemui atau menghubungi Ibu?”

“Apa?” terdengar suara Yoshino yang terkejut. “Tidak. Hinata tidak ada menghubungi ibu ataupun ayah. Kenapa kalian bisa berselisih?” tanyanya. “Shika, kau itu kakaknya. Jangan terlalu keras atau sering marah pada Hinata. Dia masih muda, biarkan dia main dengan kawan seusianya.”

Wejangan dari Ibu Yoshino mulai terdengar. Shikamaru tidak membantahnya. Namun, ia juga masih tetap pada pendiriannya. Menahan emosinya, Shikamaru mulai bicara lagi, “Tapi, bagaimana kalau Hinata menjadi seperti Ibu? Wajar ‘kan jika aku marah padanya?” tanya Shikamaru sedikit ambigu.

“Jadi seperti ibu bagaima... na?” Yoshino terdiam, sedikit membelalak di ujung telepon sana. Sebentar ia memejamkan matanya. “Shika, ibu kurang mengerti maksud perkataanmu. Tapi sepertinya masalahmu dan Hinata cukup besar. Perlu ibu menghampiri kalian?”

“Tidak perlu, Bu.” cegah Shikamaru. “Kami baik, akan. Aku harus menghubungi temanku, panggilannya aku matikan, ya. Selamat malam, Bu. Selamat beristirahat, jagalah kondisi ibu dan ayah. Sehat selalu.”

Shikamaru tak membiarkan ibunya kembali bicara. Ia segera mencari-cari kontak Ino dengan terburu. Menebak orang yang mungkin Hinata hubungi di masa seperti ini. Saat panggilannya mulai tersambung, tiba-tiba Shikamaru memutuskan panggilannya.

Bangkit, Shikamaru menyambar kunci mobilnya yang tergeletak. Ia putuskan untuk menemui Ino secara langsung. Namun, saat baru membuka pintu apartemennya, Shikamaru terdiam. “Hinata?” ia melihat adiknya berada di depan pintu apartemen bersama seorang lelaki.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Look and Lock 10.5
10
0
Extended ver dari bagian kesepuluh. Adegan penyatuan Sasuke dan Hinata.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan