Bumble Trouble 08-15

1
0
Deskripsi

Hinata mulai merasa berantakan. Satu per satu manusia pergi dari hidupnya. Tapi kenapa, ada satu manusia yang selalu kembali padanya?

Bumble Trouble 08-15

by

acyanokouji

.

Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?

“Hi, boleh kenalan?”

“Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?”

“Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?”

.

All Naruto’s characters are belong to Masashi Kishimoto.

Warning:  OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s), LEMON!

.

.

.

“Kau habis dari mana?”

Ditodong saat membuka pintu, Hinata menemukan Toneri berdiri di depan pintu flat-nya beberapa jam setelah ia kembali dari Kyoto. “Kamar mandi.” Hinata melengos, masuk ke arah dapur untuk mengambil segelas air dingin.

“Bukan tadi. Maksudku kemarin.”

Toneri mengekor di belakang Hinata. Dari ujung gelas, Hinata mengangkat alisnya pada Toneri. “Kenapa kau tidak membalas pesanku?” Toneri menunggu Hinata menelan air dan menaruh gelasnya di atas meja. “Aku sudah membalas pesanmu tadi.” Hinata mengedikkan bahu.

“Kemarin, Hinata, kemarin.” Toneri menekankan setiap kata yang diucapkannya. “Kenapa tidak dijawab dari kemarin?”

Toneri mendesak meminta jawaban. Hinata mengernyit bingung menatapnya. Tumben sekali Toneri terlihat tergesa. “Kau pergi dengan seorang pria?”

Alis Hinata terangkat sebelah. “Kata siapa?” ia berusaha bicara tenang, duduk di sofa. “Jawab saja. Iya atau tidak?” Toneri menyusul duduk di samping Hinata. “Bukan urusanmu, ‘kan?” Hinata kembali menaikkan sebelah alis sebelum berusaha bangkit karena merasa risih.

Greb. Toneri menahan tangan Hinata agar tidak bangkit berdiri. “Benar, Hinata? Kau pergi dengan seorang pria?”

“Lepas.”

Hinata berusaha meloloskan tangannya dari genggaman Toneri. Namun, lelaki itu seperti bukan dirinya. Ia mencengkeram erat-erat. Dengan alis menukik, menatap tajam pada Hinata yang menggerakkan tangannya tak nyaman, mulai kesakitan.

“Lepaskan aku, Toneri. Kau menyakitiku!”

Baru Toneri tersadar ketika suara Hinata mulai meninggi. Pria itu segera melepas pegangannya. Ditatapnya Hinata yang memegang lengannya dengan tangan yang lain. Ketika Hinata meliriknya, Toneri masih menatap, menunggu jawaban dengan lebih sabar.

“Ya.”

“Siapa?”

“Kau tidak akan kenal.”

“Kenal dari mana?”

Hinata mengernyit. “Kenapa kau sangat ingin tahu?”

“Tentu saja aku harus tahu. Aku temanmu, yang dititipi ibumu untuk menjagamu di Tokyo.” Hinata menggulirkan bola mata, alasan itu lagi. “Jadi, kau kenal dari mana?”

“Bumble.”

“Hah?!” balik Toneri yang mengernyit. Alisnya menukik tajam, sedikit melotot. “Kau benar main bumble lagi?”

“Dengarkan aku dulu, Toneri. Aku –bi”

“Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?!” Hinata mengatupkan bibirnya yang terbuka. Ucapannya dipotong tanpa diberi kesempatan. “Apa kau tidak kapok? Bagaimana kau bisa lupa dengan bajingan yang membohongimu dulu itu?” Toneri terlihat menggebu.

Hinata menarik napas dalam, berusaha tenang meski tersinggung dengan ucapan Toneri. “Aku dan Kiba tidak bertemu melalui dating app.” Katanya menegaskan.

“Bukan si Anjing. Maksudku laki-laki bertindik yang hampir memperkosamu dulu.”

“Bisakah kau berhenti membicarakan masa lalu, Toneri?” Hinata mengurut kepalanya yang tiba-tiba pening dengan mata tertutup. “Aku sudah banyak belajar dari kesalahan. Aku sudah lebih dewasa.”

Hinata membuka matanya. Setelah menurunkan tangan, ia menoleh dan menemukan Toneri yang menatapnya. Wajah pria itu lebih melembut sekarang. “Kurasa kali ini akan berbeda. Dia...” Toneri bisa melihat mata Hinata yang bergerak-gerak, mencari kata yang tepat. “Dia berbeda. Dia sepertinya tahu apa yang dia lakukan.”

“Oke, aku akan cerita padamu.” Hinata bergerak, memiringkan duduknya untuk menghadap Toneri. “Aku dan dia –berte”

“Aku tidak mau dengar.” Toneri bangkit berdiri.

“Kenapa?” Hinata ikut berdiri. Sebagai sahabat, jelas ia ingin Toneri tahu kisahnya.

“Pokoknya aku tidak mau dengar.” Begitu selesai bicara, Toneri segera pergi meninggalkan flat Hinata tanpa berpamitan. Hinata sendiri tidak berniat untuk menyusul. Ia yang bertanya, tiba-tiba ia yang tidak ingin dengar. Hinata gondok dalam hati, tetapi urusannya masih banyak. Apalagi dengan pesan yang baru saja masuk ke gawainya.

“kau benar akan menemui dosenmu sendirian? aku curiga dia ada maksud lain”

.

.

Seperti isi pesan yang diterimanya hari minggu lalu. Hinata pergi ke restoran Hotel Royal saat makan siang. Pengalaman baru dalam hidupnya, bimbingan skripsi di luar kampus. Agaknya sedikit di luar nalar, tapi kapan hidupnya pernah sesuai nalar?

“Hyuuga? Sudah lama menunggu?”

Hinata menoleh dan menemukan dosen pembimbingnya sudah berada di samping. “Baru saja kok, Pak.” Hinata berdiri. Begitu pria paruh baya itu berdiri di sofa seberangnya, si pria memberinya isyarat untuk ikut duduk.

“Ini.” Kakashi menyodorkan lembaran kertas yang sejak tadi dibawanya. “Saya mencetaknya sebelum dibaca.” Hinata meraih sodoran kertas berisi cetakan bab empat tugas akhirnya. “Sudah saya tandai beberapa perbaikan lagi.”

Ah, sudah mulai lagi... Hinata membatin sembari membolak-balik kertas yang penuh dengan coretan.

“Kau bisa baca dulu. Jika ada yang tidak kau mengerti bisa kau tanyakan langsung.”

Hinata membaca catatan-catatan yang Kakashi tulis di lembaran kertas. Beberapa menit waktu berlalu, Hinata rasanya sudah mual membaca tulisan yang ia tulis sendiri. “Sudah, Pak. Berarti seperti yang Bapak tulis, saya harus meminta data tambahan dari pihak perusahaan ya, Pak?”

“Ya. Jika memungkinkan, apa bisa kau dapatkan sampai minggu depan? Waktu kita sudah semakin mepet.” Hinata meremas pelan kertas yang digenggamnya. “Baik, Pak. Saya usahakan.” Ucap Hinata meski batinnya sedikit menjerit.

“Siapa?” Hinata menatap bingung Kakashi yang tiba-tiba bertanya tak jelas. “Siapa laki-laki di meja belakang yang terus memerhatikanmu?”

Hinata menggigit bibir bawahnya singkat. “Kau datang bersama pacarmu? Kenapa? Takut saya apa-apakan?” Kakashi mengangkat sebelah alisnya. Ekspresinya datar menatap Hinata yang malu tertangkap basah.

“Ti-Tidak kok, Pak. Saya hanya kebetulan sedang keluar bersama dia.” Hinata menggaruk belakang kepalanya dengan gugup. Ia coba tertawa yang berakhir dengan kecanggungan.

“Lain kali, kalau kau tidak nyaman, kau bisa menolakku. Kau hanya perlu bilang jika kau sudah punya pacar.”

Ingginnya Hinata membela diri saat tiba-tiba dosennya memberi komentar di luar tugas akhir. Pertama, Gaara bukan –atau belum- pacarnya. Kedua, kenapa dosennya terlihat terganggu? Padahal kan hubungan mereka hanya sebatas dosen dan mahasiswa, kan? Ketiga, Hinata tidak suka karena ia merasa dipojokan. Ia bukannya tidak bisa bersikap tegas, tetapi sikap yang diberikan dosennya pun bisa membuat salah paham.

“Kenapa diam saja?”

Gaara melirik Hinata yang terdiam di kursi samping. Mereka sudah berada di dalam mobil dan hendak menuju tempat makan saat ini. Namun, perempuan itu belum bicara setelah Gaara merangkulnya keluar Hotel.

“Kenapa sih kau harus ikut denganku?” keluh Hinata. Dari samping Gaara menatap bingung. Alis tipisnya menyatu tak suka. “Kenapa? Dosenmu ada bilang sesuatu?” Gaara bertanya balik. Dengan sabar menunggu Hinata untuk akhirnya menoleh padanya. “Aku rasa sepertinya tadi terlalu berlebihan. Pak Kakashi hanya membimbing skripsiku. Dia tidak ada maksud lain.”

“Kenapa kau bisa seyakin itu?!” Gaara mulai sedikit meninggikan suaranya. Dahinya kian mengerut sebal. “Toh aku hanya berusaha melindungimu.”

Hinata juga menatap dengan tak kalah mengernyitnya. Entah apa yang salah. Entah sebal pada siapa. Yang ia tahu, ia hanya kesal dan malu di saat yang sama. Jadi, Hinata memalingkan diri dari Gaara, menghadap ke jendela samping.

Beberapa detik Gaara menunggu sahutan dari Hinata. Namun, perempuan itu hanya berpaling tanpa bicara apapun. Bahkan, Gaara yakin Hinata berusaha mengatur deru napasnya agar tidak terdengar olehnya. Masih tak ada respon, Gaara putuskan untuk mulai menyalakan mesin mobil dan menggerakkannya.

Hatinya sedang dongkol, Hinata tidak paham mengapa Gaara langsung melaju tanpa berusaha menenangkannya terlebih dahulu. Hinata melirik Gaara sekilas dari ujung matanya. Lelaki itu terlihat berwajah datar sambil menatap jalanan.

“Aku sudah tidak ingin makan siang.” Hinata bicara sembari kembali memalingkan badannya. Ia bisa merasakan lelaki merah di sampingnya melirik sekilas. Sangat samar, bisa terdengar kata ‘oke’ dari samping. Lalu sisanya, hanya keheningan yang menemani perjalanan hingga mobil merah itu berhenti di depan flat Hinata.

“Kenapa tiba-tiba ke sini?”

Hinata benar-benar baru tersadar jika Gaara membawanya kembali. Bangun sedikit, Hinata menatap Gaara yang juga menatapnya. Wajah lelaki itu masih datar, terkesan dingin padanya.

“Kenapa? Bukannya kau sudah tidak mau makan?”

Akhirnya Gaara bicara juga. Tapi jauh di dalam hatinya, bukan ini yang Hinata inginkan. Ia hanya sedikit marah, mungkin, dan imajinasinya Gaara akan mencoba untuk merayunya.

Inginnya Hinata bicara, menjelaskan maksud kekesalannya. Berusaha memperbaiki sikapnya. Namun, Gaara lebih dulu memutus pandangan mereka. Lelaki itu menoleh, kembali menatap jalanan dengan tatapan dinginnya.

Tentu Hinata merasa sedikit tersinggung. Ia tahu Gaara bukan tipe yang banyak bicara seperti Sai. Banyak kekesalan melintas di pikirannya. Hinata putuskan untuk merapikan barangnya dan turun dari mobil. “Terima kasih atas tumpangannya.” Dan Gaara benar-benar pergi setelah Hinata berpamitan. Tanpa sapaan perpisahan. Tanpa senyuman, apalagi ciuman.

.

.

“Syukurlah. Kau masih tinggal di sini ternyata, Hinata.”

Hinata menghentikan langkahnya saat menemukan seseorang berdiri di depan pintu flatnya. “Kiba?” Hinata mengernyit heran, sedangkan lelaki itu tersenyum lebar hingga tato taringnya ikut naik. “Aku menunggu balasan pesanmu tapi sepertinya kau tidak ada niat membalasnya. Jadi, aku putuskan untuk coba mendatangi tempat tinggalmu.”

Kiba berusaha untuk mendekat, tetapi Hinata mundur dua langkah. “Mau apa kau kemari?” Hinata bertanya dingin. Suasana hatinya sedang tidak baik sekarang. Ditambah dengan kehadiran Kiba. Sepertinya hanya memperburuk keadaan.

“Aku ingin bertemu denganmu. Sudah lama kita tidak berbincang. Mungkin memang ada banyak hal yang perlu diluruskan, tapi aku ma–”

“Hentikan. Aku tidak ingin berbincang denganmu. Jadi, kau bisa pergi.” Hinata bergeser sedikit. Dengan dagunya, ia memberikan isyarat agar Kiba segera pergi meninggalkannya.

Kiba bergeming. Ia hanya menatap Hinata yang berdiri dengan tumpukan kertas dalam genggamannya. Lalu, Kiba tersadar pada sekantung paper bag yang dibawanya. “Ah, ini. Aku membawa beberapa makanan dan vitamin untuk Kiba, kucingmu.” Kiba mengulurkan tangannya untuk memberi kantung pada Hinata. Perempuan itu melirik uluran tangannya sekilas sebelum berkata, “Aku tidak butuh.”

Hinata berusaha menghindar untuk masuk ke dalam flatnya. Namun, ketika ia baru selesai membuka kunci, tangannya ditarik. “Terimalah, Hinata. Aku memberikannya untuk Kiba kok.”

“Cukup, Kiba.”

Hinata menyentakkan lengannya yang mengepal. “Kubilang, aku tidak butuh.” Hinata berjalan masuk ke dalam flat. Sebelum menutup pintu, ia bicara sekali lagi untuk penekanan. “Pulanglah. Aku sedang lelah. Ingat, kau sudah punya Ayame.”

Brak. Hinata sangat lelah. Seharian ini energinya serasa terkuras. Belum masalahnya dengan Toneri yang masih bersikap dingin selama beberapa hari padanya. Dosennya, Gaara, dan Kiba. Hinata tidak ingin bertemu siapa-siapa sekarang. Iya, itu memang pemikiran yang muncul di otaknya, sesaat. Karena jika tiba-tiba kau diajak makan ice cream besok lusa, tentu kau tidak akan menolak, kan?

.

.

Hinata tidak menyesali keputusannya. Setelah sekitar lima hari dibuat pening dengan keributan yang terjadi, memutuskan bertemu dengan Sasuke adalah pilihan yang tepat menurutnya. Pria itu menjemputnya di flat jumat sore. Sepertinya Sasuke memanglah seorang pekerja kantoran. Hampir sama seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya, lelaki itu masih memakai setelan kemeja dan celana kerjanya yang formal.

“Aku tidak tahu kalau Sasuke-san juga tertarik dengan tempat seperti ini.”

Mata Hinata berpendar menatap restoran yang terkenal menjual makanan manis. Bahkan interiornya pun sangat gemas bertemakan dessert. Rasanya agak berbeda dengan pertemuan sebelumnya yang terkesan mewah dan elegan. Sisi menggemaskan ini baru Hinata tahu.

“Aku tahu dari kakakku yang punya anak kecil.” Hinata mengangkat alisnya sembari duduk di kursi. “Oh? Kau punya keponakan?” seorang pelayan menghampiri di kala Hinata dan Sasuke sedang berada di tengah perbincangan.

“Ya. Satu laki-laki dan satu perempuan.” Sasuke membolak-balik buku menu. “Kau sudah tahu mau pesan apa?” diliriknya Hinata yang mengangguk mantap. Perempuan itu terlihat tak ragu memesan menu yang diinginkannya. Membuat Sasuke menarik simpul ujung bibirnya.

Usai menerangkan pesanan, mata Hinata kembali melihat sekeliling. Resto dipenuhi dengan beberapa keluarga yang membawa anak-anak kecil mereka. “Jadi, keponakan Sasuke-san seperti apa?” Hinata berbalik pada Sasuke dan memancing obrolan. Selama beberapa saat Sasuke bercerita singkat tentang keponakannya yang ngambek minggu lalu. Tak lama, pesanan mereka tiba yang mengalihkan perhatian Hinata.

Si perempuan indigo itu menatap pesanan dengan berbinar. Berbeda dengan Sasuke yang memesan spageti dan iced americano, si lelaki menatap gelas selama beberapa saat. Kemudian ia memantapkan diri menatap Hinata yang berada di depannya.

“Hinata, aku ingin bertanya sesuatu padamu.”

“Hm? Sasuke-san ingin bertanya apa?” Hinata masih menanggapi dengan senyuman semangat. Dua detik menunggu Sasuke memberi isyarat dengan dagunya, Hinata bersiap untuk menyantap kue yang dipesan. Garpu kecil di tangan kanan, Hinata mulai memotong ujung kue strawberry. “Apa kau sedang dekat dengan laki-laki lain?”

Gerakan Hinata terhenti. Masih menggenggam garpu, Hinata sedikit mendongak untuk melihat wajah Sasuke. Tatapan lelaki itu lebih tajam dari sebelumnya. Wajahnya datar dan terkesan lebih dingin. Tatapan yang dua hari lalu Hinata lihat dari lelaki lain.

.

.

.

Iris mereka masih bertubrukan selama beberapa saat hingga Hinata memutuskan untuk mengalihkan pandangan lebih dulu. Tangan Hinata masih terhenti, belum selesai memotong ujung kue strawberry yang hendak disantapnya. Sedikit melirik ke kanan, Hinata bisa melihat seorang anak kecil perempuan yang menatap lugu pada kedua orang tuanya. Lalu, Hinata menarik napas agak dalam dan menoleh. “Ya,” katanya.

Sekilas Hinata bisa melihat Sasuke yang membetulkan duduknya, membuang napas yang ditahan entah berapa lama. “Siapa?” tanya Sasuke. Meski lelaki itu terlihat lebih santai sambil meminum ice americano-nya, nada bicaranya masih dingin seperti minuman yang diteguknya.

“Apa aku harus memberitahu namanya? Kukira Sasuke-san pun pasti paham bagaimana kerja aplikasi kencan, ‘kan?” Hinata meletakkan garpu yang digenggamnya. “Menurutku aplikasi kencan adalah tempat untuk mengenal banyak orang. Bertemu dengan beberapa orang sebagai bentuk seleksi –mungkin? Sasuke-san pun begitu, ‘kan?”

“Tidak.”

Hinata terdiam. Karena jawaban Sasuke, juga karena ia tidak tahu mengapa ia harus menjelaskan hal seperti ini pada Sasuke. Dari cerita teman-temannya di kampus dulu, ia kira seperti ini cara melakukannya.

Trak. Sasuke menaruh gelas minumnya ke atas meja. “Baiklah, aku akan mengganti pertanyaanku. Berapa orang yang mendekatimu?”

“Dua.” Hinata memberi jeda. “Tidak termasuk Sasuke-san?” sebenarnya Hinata sedikit bingung dengan Sasuke. Tidak seperti Gaara yang sangat terlihat mendekatinya, atau Sai yang tiap hari rutin mengiriminya pesan. Sasuke jarang mengabarinya, jarang juga mengajaknya pergi. Jadi, wajar saja ia sedikit merasa tidak didekati kan?

“Baiklah.” Sasuke tak banyak bicara lagi setelahnya. Hinata berusaha mengalihkan pembicaraan dengan membahas keponakan Sasuke, kerjaannya atau hal-hal random yang terjadi di sekeliling. Tetapi, pria itu menanggapi acuh tak acuh. Sedikit banyak Hinata mengutuk pembicaraan canggung yang terjadi bahkan sebelum Hinata menyentuh makanannya. Apa tidak bisa menunggu selesai makan?

Malam itu Hinata pulang bahkan belum sampai di pergantian hari. Kurang dari satu jam, tapi rasanya waktu sangat lambat. Hinata dan Sasuke berpisah tanpa banyak bicara. Lelaki itu bahkan tak mengiriminya pesan saat sampai rumah atau hari-hari setelahnya. Hinata tahu, mungkin hubungannya dan Sasuke akan berakhir begitu saja.

Ting. Hinata buru-buru mengalihkan perhatian dari lemari bajunya yang terbuka. “Hai Hinata. Mau bertemu nanti malam?” satu pesan masuk dari Sai. Hatinya merasa kecewa. Entah karena mengharap pesan dari siapa. Dari Sasuke yang sejak semalam tak kunjung menghubunginya atau dari Gaara yang bahkan tak ada kabar sejak hari rabu.

Hinata menolak ajakan Sai. Usai mengirim pesan penolakan, ia kembali ke depan lemarinya yang masih terbuka. Mengambil sweater untuk menutupi kaosnya, Hinata terlihat siap untuk pergi keluar.

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu terdengar. Setelah menutup lemari, mengambil gawai, dan mematikan AC ruangan, Hinata pergi membuka pintu. “Hey.” Sebuah sapaan terdengar. Di depannya berdiri Toneri yang menatap ragu-ragu. “Bagaimana kabarmu, Hinata?” Toneri memerhatikan penampilan Hinata. Perempuan itu memakai sweater hijau dan tas selempangnya. “Kau mau pergi keluar?”

“Ya. Aku akan mencari makan.” Hinata keluar dari dalam flatnya. Menutup dan mengunci pintu. “Mau aku antar?”

.

.

Toneri memang berinisiatif menawarkan bantuan pada Hinata. Upaya untuk minta maaf, pikirnya. Tapi, Toneri tidak mengira jika suasananya akan secanggung ini. Tiba di sebuah food court tak jauh dari Universitas Tokyo, Toneri dan Hinata memesan lalu duduk di sudut.

“Kukira kau mencari makan?” Toneri melirik Hinata yang membeli satu porsi okonomiyaki. “Ya. Ini makanan, ‘kan?” Hinata menatap Toneri singkat.

“Iya. Tapi, aku pikir kau akan makan berat.” Hinata mengedikkan bahu. “Aku sedang ingin makan okonomiyaki.” Ditatapnya nasi bento yang dipesan Toneri. “Selamat makan.”

Mereka makan dalam diam selama beberapa saat. Toneri bingung mau bilang dari mana. Sedang Hinata juga masih enggan bicara banyak. “Maaf.” Sebuah bisikan kecil terdengar, membuat Hinata melirik Toneri sembari menyuap.

“Maafkan aku, Hinata. Aku sudah keterlaluan minggu lalu.” Toneri mengalihkan pandangan setelah bicara. Bentonya baru dimakan beberapa suap. Setelah beberapa saat menunggu, terdengar suara dari seberangnya. “Tidak papa. Toh sudah berlalu.”

Toneri mengangkat kepalanya, menatap Hinata yang ternyata juga tengah menatapnya. “Kau memaafkanku?” Matanya bertubrukan dengan mata bulat Hinata. “Tidak ada kata maaf dalam pertemanan, ‘kan?” sebuah senyuman mulai terukir, dari Hinata dan menular pada Toneri. Mereka saling bertukar senyum selama beberapa saat, sebelum kembali meneruskan makan.

“Aku... hanya sedikit bingung.” Toneri kembali memulai bicara saat mereka sudah kembali makan. “Kukira kau lanjut dengan temanku.” Suara dehaman terdengar dari Hinata. “Siapa?” tanya Hinata tanpa menatap Toneri. “Shino, temanku yang kukenalkan di acara perpisahan panitia.”

“Shino Aburame?” Hinata menghentikan makannya dan menatap Toneri sebentar. “Tidak. Dia agak membosankan dan juga... dia temannya Kiba.”

“Hah?! Benar?!”

“Iya. Aku pernah bertemu saat ikut Kiba ke acara reuni teman SD-nya. Memang aku tidak tahu namanya tapi aku ingat wajahnya. Dia juga mengingatku. Jadi, saat kau membuat janji untuk kami bertemu tahun lalu, aku sudah tidak pernah menghubunginya lagi.”

“Oh.” Toneri berkomentar singkat. Entah kenapa ada sedikit perasaan lega di hatinya. “Masih mau beli takoyaki dan taiyaki?” pria beriris biru itu menatap bingung Hinata yang memesan makanan setelah mereka selesai makan.

“Ya. Aku takut lapar tengah malam.”

Untunglah Hinata percaya pada instingnya. Ketika tiba di depan flatnya, ia punya alasan untuk menghabiskan makanan yang dibelinya. “Ibu?” Hinata menatap heran ibunya yang tiba-tiba berdiri di depan pintu flat dengan satu tas ransel di sampingnya. “Kenapa Ibu ada di sini?”

Hinata mendekat, memberi pelukan pada ibunya singkat. “Kenapa katamu?” Ibu Hinata berbicara. “Memangnya salah jika Ibu mengunjungi anak Ibu sendiri?”

“Bukan begitu. Hanya saja....” Hinata terdiam. “Aku akan membuka pintu.”

“Halo, Bibi.” Toneri yang ada di belakangnya pun ikut menyapa Ibu Hinata. Membantu membawakan ransel ke dalam flat Hinata dan pergi setelah berbincang-bincang singkat. Membiarkan Ibu Hinata beristirahat setelah jauh-jauh datang ke Tokyo.

Hinata menatap lekat-lekat ibunya yang tengah meminum jus jeruk. Alisnya sedikit mengerut, memikirkan sesuatu. “Ibu datang dengan siapa?” tanya Hinata setelah melihat ibunya selesai minum. “Sendiri.”

“Naik apa?”

“Kereta, dan taksi. Ibu sudah menghubungimu untuk menjemput, tapi kau tidak menjawab telepon.” Oh, Hinata ingat menyalakan mode hening di gawainya. Tapi bukan itu yang terpenting. “Ibu... tidak sedang ribut dengan Ayah, ‘kan?”

“Apa?! Tentu saja. Ibu dan Ayahmu baik-baik saja.” Ibu Hinata berdecak. “Ayahmu sedang ada urusan dan kau tahu adikmu tidak bisa diganggu untuk persiapan lomba. Jadi, Ibu datang sendirian.”

Hinata menghela napas lega mendengar penjelasan ibunya. “Bagaimana tugas akhirmu, Hinata?” sebelum kembali menahan napasnya. “Baik.” Hinata menjawab singkat sembari membuka bungkusan makanan yang tadi dibelinya. “Ibu sudah makan? Aku membeli tayokayi dan taiyaki tadi,” tawarnya.

“Hinata,” panggilan ibunya yang lembut membuat Hinata menoleh. “Ibu tahu, pasti tidak mudah. Ayah dan Ibu juga tidak memaksamu untuk buru-buru menyelesaikan studimu. Tapi, bukankah akan lebih melegakan kalau kau segera menyelesaikannya?”

“Kau masih bekerja bersama temanmu Ino itu?” Hinata mengangguk. “Apa tidak lebih baik kau berhenti bekerja dulu? Uang dari Ibu dan Ayah tidak cukup?”

“Bukan begitu, Bu. Aku hanya... ingin punya kesibukan.” Hinata menggigit bibir bawahnya. Merasa gusar dan sedikit bersalah. “Yasudah, Ibu tidak akan memaksa. Tapi, Ibu ingin meminta hal lain. Kau sudah punya kekasih?”

Hinata mengenyit. Tumben sekali ibunya ingin tahu masalah asmaranya. “Belum?” Hinata menjawab ragu tetapi sebuah kelegaan terlihat dari wajah ibunya. “Syukurlah.”

“Ibu ingin mengenalkanmu dengan anak teman ibu. Sebenarnya ibu mengenalnya karena kakekmu dan ayah teman ibu itu bersahabat. Ibu dengar anaknya sedang mencari pasangan dan tinggal di Tokyo juga.” Ibunya tersenyum, meski Hinata sudah berwajah datar.

“Memang sih anaknya cukup lebih tua darimu. Tapi dari cerita sepertinya kalian akan cocok. Bagaimana? Kau mau coba berkenalan dengannya?”

Hinata berkedip beberapa kali. “Ibu ke sini untuk bicara begitu? Kenapa tidak menelepon saja? Dan ya, aku tidak mau. Apalagi dengan om-om.” Ketus Hinata. Perempuan itu tiba-tiba sebal. Hidupnya sedang kacau dan permintaan ibunya seperti menambah kekacauan yang akan terjadi.

“Bukan om-om, Hinata. Dia hanya beberapa tahun lebih tua darimu. Satu? Dua? Tiga... Empat?” Ibu Hinata mengingat-ingat. “Usia tidak terlalu penting. Dia sudah hidup mandiri. Dari fotonya juga dia terlihat tampan.”

“Tidak, Bu. Aku belum mau berkenalan dengan orang baru.” Hinata menjauh sedikit. “Ibu tidur di kasur saja. Aku akan tidur di sofa.” Hinata bangkit. Masuk ke dalam kamar mandi untuk bersih-bersih sebelum tidur di sofa dengan hati yang sedikit dongkol.

.

.

Dari sabtu malam sampai rabu malam, Ibu Hinata berencana tinggal di Tokyo selama hampir seminggu. Menyiapkan sarapan untuk Hinata setiap pagi dan menghibur hati putrinya yang entah kenapa sedang tidak baik-baik saja.

“Hai, Hinata. Ibu memasak kari hari ini. Kau mau makan sekarang?” Ibu Hinata bertanya saat putrinya keluar dari kamar mandi di pagi rabu. Dengan rambut yang masih basah, Hinata berjalan menuju sofa. “Ya, Bu. Boleh.”

Memeriksa beberapa pemberitahuan di gawainya, Hinata menghapus pemberitahuan-pemberitahun tidak penting. Seperti tanda ia memilik match baru yang ia pun bahkan lupa kapan terakhir kali berselancar di aplikasi kuning itu.

“Hyuuga, bisa bimbingan hari ini? Sudah seminggu. Saya tunggu di kampus jam 10.”

“Oh, sialan!” Hinata menghentikan gerakan tangannya mengeringkan rambut. Seketika panik karena ia lupa dengan tugas utamanya. “Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bagaimana aku bisa lupa?!”

Sembari menyajikan makanan di atas meja makan, Ibu Hinata melihat anaknya yang fokus berkutat dengan gawai di sudut ruangan. Beberapa kali terdengar kata umpatan samar yang membuatnya bertanya keadaan Hinata. Tapi, putrinya hanya bilang ia akan pergi ke kampus usai sarapan. Dengan rambut yang setengah basah, Hinata berangkat berbekal alasan untuk berkilah pada dosennya.

“Kau belum dapat datanya karena pihak perusahaan belum membalasmu? Tapi, bagaimana ini, Hyuuga? Saya tidak janji kau bisa lulus semester depan. Jadi, saya sarankan kau berusaha mengejarnya sebelum tahun ketujuhmu berakhir.”

Tentu saja Hinata tahu konsekuensi dari keteledorannya. Ibunya sedang ada di Tokyo dan Hinata malu untuk mengabari hal ini. Sembari berjalan keluar ruangan dosennya, Hinata menghela napas sembari menahan tangis.

Melewati gedung fakultas, Hinata bisa melihat adik-adik tingkatnya yang sedang ramai bersiap menyambut ujian akhir semester. Enaknya masa muda... Hinata menghela napas saat keluar gedung, tepat ketika gawainya bergetar.

“hinata kau di rumah? kujemput makan siang?”

Hinata terdiam membaca pesan yang masuk. Perasaannya cukup campur aduk. Kaget, senang, bingung, kesal. Sudah satu minggu, apa ini langkah baru untuk hubungannya dengan Gaara?

Semestinya Hinata tidak banyak berharap, meski sudah terlanjur ia lakukan. Siang ini ia dijemput Gaara di kampus untuk pertama kalinya. Tentu saja Hinata semangat. Tapi rasanya, mungkin hanya ia yang merasa demikian. Rasa-rasanya sikap Gaara sedikit... berbeda.

“Apa pekerjaanmu sedang cukup banyak?”

“Hm?” Gaara berdeham dan melirik Hinata di sela kegiatannya melihat gawai. Makan di restoran dekat kampus Hinata, sepertinya Gaara bahkan lupa jika ia yang mengajak.

“Kalau kau sibuk, kau tidak perlu mengajakku bertemu.” Hinata bicara lagi setelah beberapa saat tak kunjung mendengar sahutan dari seberang. Memakan spageti dengan perasaan dongkol, Hinata bahkan tak menutupi kekesalannya.

“Maaf. Hanya sedikit... sibuk?” Gaara menaruh gawainya di atas meja. Mulai kembali menyentuh makan siangnya hingga gawainya berbunyi yang membuatnya kembali melirik layar gawai berkali-kali. “Apa kau sudah punya perempuan lain?”

Oh. Hampir saja Hinata kelepasan bicara. Ia bahkan harus mengeraskan rahang dan menggenggam garpu dengan erat untuk menahannya.

“Kau baik, Hinata?”

Sebelah alisnya terangkat. Hinata pikir, bagaimana bisa ia dan Gaara menjadi secanggung ini? Padahal mereka sudah sedekat itu. “Ya. Hanya saja mungkin aku belum bisa lulus dalam waktu dekat.”

“Oh, begitu? Tidak papa... Hinata... Kau hanya... harus menyelesaikannya. Saat kau siap.”

Gaara bicara terputus-putus. Ia melirik gawainya tiap denting notifikasi terdengar. Hinata benar-benar merasa marah. Ia bahkan mematikan bunyi notifikasi gawainya setiap mereka bersama. “Apa kau masih menyukaiku?” dan Hinata mengutarakan pikirannya kali ini. Dengan berani menatap iris jade yang kini juga fokus padanya.

“Ya.” Cukup lama hingga akhirnya Gaara menjawab. “Kenapa?”

“Tidak papa.”

“Sebentar, aku balas pesan dulu.” Gaara meraih gawainya dan membalas saat pesan masuk kembali diterimanya. “Mau nonton film setelah ini?” tawarnya sembari mengetik.

“Ya. Boleh.” Hinata menjawab tanpa memutus pandangannya pada Gaara. Pikirannya sangat penuh tapi ia lebih banyak diam hari ini. Bahkan ketika Gaara membatalkan ajakannya di tengah jalan karena pesan yang entah keberapa diterimanya, Hinata tidak banyak bertanya. Pun karena lelaki itu tidak banyak menjelaskan, atau sekadar bertanya pendapatnya.

“Terima kasih atas makan siangnya, Gaara.”

Perpisahan mereka siang itu sama seperti minggu lalu. Atau lebih buruk? Atau mungkin lebih baik karena mereka tidak bertengkar? Entahlah. Hinata hanya merasa dipermainkan. Ia pikir Gaara memang orang yang seperti itu. Bersikap berlebihan karena peduli padanya. Ia memang merasa beberapa kali ditarik-ulur, tetapi harusnya mereka kembali dekat setelahnya.

Dibuat jatuh hati, hubungannya sejak bertemu dengan Gaara benar-benar rumit. Meskipun Gaara menjawab demikian, Hinata sudah tidak tahu lagi. Bagaimana bisa semuanya berubah hanya dalam satu minggu?

“Hinata? Sudah pulang? Mau Ibu hangatkan makan siang?”

Suara helaan napas berkali-kali terdengar meski pelan. Putri sulungnya belum berbalik sejak masuk flat. Kedua tangan Hinata terkepal sebelum berpindah memegang ujung tali tas selempangnya. Tak lama Hinata berbalik. Dengan mata sedikit berair, menatap ibunya. “Aku mau berkenalan dengan lelaki yang Ibu sarankan.”

.

.

.

Satu hari. Hinata menunggu, tapi juga tidak menghubungi. Mungkin dia masih sibuk. Itu pikirannya selama beberapa hari ini. Mulai kembali mendesak pihak perusahaan tempatnya mengambil tugas akhir, Hinata berusaha mengalihkan pikiran. Meskipun Hinata tak bohong, ia coba mencari media sosial Gaara. Sialnya, Hinata tidak bisa menemukannya. Entah Gaara yang pandai menyembunyikan atau memang Gaara bukan tipikal orang yang aktif di media sosial seperti Sai. Oh, tentu Hinata mencari tahu tentang pria yang setiap hari mengiriminya kabar itu. Dan ya, Hinata rasa ia belum bisa mengimbangi energinya.

Mungkin dia akan menghubungiku rabu depan. Begitu harapannya selama seminggu. Sampai hari rabu berganti, dan masih tak ada pesan dari Gaara. Hinata bahkan tak sadar waktu berlalu. Ia terus murung hingga hampir dua minggu berlalu.

“Hei, Hinata.”

Panggilan Ino membuat Hinata menoleh. Lalu, Hinata menjawab dengan dehaman sembari kembali menata stok pakaian. “Kau baik-baik saja?” Hinata menghentikan kegiatannya dan berbalik pada Ino. “Aku? Baik. Kenapa?” katanya sebelum kembali melanjutkan kegiatan.

“Kau terlihat... sedih?” Ino bicara ragu. Mencari kata-kata yang sekiranya tidak akan menyinggung. “Apa aku belum bilang? Aku tidak bisa lulus semester depan.”

“Kau sudah bilang. Tapi rasanya, kau jauh lebih sedih. Apa ada masalah lain yang belum aku tahu, Hinata?” Hinata lagi-lagi berhenti dan berbalik pada Ino. Dilihatnya wajah perempuan pirang itu yang menunggu jawaban penuh kekhawatiran. Sedang Hinata menggigit bibir bawahnya. Ia bingung musti cerita dari mana. “Aku...”

“Hinata? Bisa bicara sebentar?” Deidara muncul dari ruang staf. Setelah Ino melepasnya dengan anggukan, Hinata mengikuti Deidara masuk ruangan tempatnya keluar. “Duduklah, Hinata. Ada yang ingin aku bicarakan.”

Hinata duduk gusar di kursi ruangan. Di seberangnya juga Deidara terlihat berpikir banyak. Hinata jadi ikut berpikir. Apa yang akan dibicarakan atasan sekaligus kakak dari sahabatnya itu? Bukankah Ino tidak ada bilang apa-apa?

“Begini, Hinata. Aku tahu kau adalah sahabat Ino. Aku juga senang kau ikut membantu selama setahun ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa bekerja denganmu lagi.”

Keduanya terdiam. Hinata masih memandang Deidara dengan sedikit kebingungan. Apa aku baru saja dipecat?

“Kak Dei, apa aku melakukan kesalahan?”

“Ya. Tentu. Kau...” Deidara membuang napas, berusaha mengatur cara bicaranya. “Kau tahu, Hinata? Akhir-akhir ini kau sering tidak masuk. Oke, Ino bilang alasannya karena kau sibuk dengan tugas akhirmu. Jadi menurutku, bagaimana jika kau fokus menyelesaikan tugas akhirmu dulu saja?”

“Jangan salah paham, Hinata. Aku bukan marah atau membencimu. Tapi sebagai pemilik usaha, aku rasa tidak akan adil untuk karyawan lain. Kau tahu usaha ini bukan hanya milik Ino, ‘kan?” Hinata mengangguk. “Aku minta maaf jika ada kata-kataku yang menyinggung. Terima kasih sudah banyak membantu kami, Hinata. Aku tahu kau akan punya karir yang lebih baik ke depannya. Bisa kau tetap datang untuk seminggu terakhir minggu depan? Sebelum pergantian karyawan dan gajian.”

Hinata hanya bisa menuruti perkataan atasannya. Ia tidak bisa berkilah tentang sikapnya akhir-akhir ini. Bahkan ketika Ino berusaha menghibur dan meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa, Hinata memberi tawa canggung. Mengatakan semuanya baik-baik saja, harusnya.

Jangan lupa, Hinata. Ibu sudah membuat janji dengan keluarga Uchiha. Rabu siang di restoran chinese, ya.

Dan Hinata baru menyadari satu lagi keteledorannya. Saat ia menerima tawaran ibunya untuk berkenalan dengan orang baru, Hinata tidak curiga. Padahal dengan jelas ibunya menyinggung tentang keluarga Uchiha sebelum pulang. Tapi Hinata pikir, memangnya keluarga Uchiha hanya satu?

Tentu saja. Ia hanya mengenal satu Uchiha. Yang sedang menunggunya di balik tirai. Yang lebih dari dua minggu lalu ‘berpisah’ dengannya. Yang sayangnya adalah orang yang akan diajaknya bicara selama satu jam ke depan.

“Hinata? Apa yang kau lakukan di sini?”

Tuh, kan... Sasuke mengernyit ketika melihat Hinata menyibak tirai dan masuk ke dalam ruangan. “Halo, Sasuke-san. Bisa aku duduk?”

“Kau... apa? Kau mau duduk di sini?” Hinata mengangguk. Ia mencoba bersikap lebih tenang dari Sasuke yang tak menutupi keterkejutannya. “Kau anak dari Nyonya Hikari?”

“Ya. Jadi, apa Sasuke-san masih ingin berbincang denganku? Atau Sasuke-san lebih ingin aku pergi saja?” Hinata memberi tawaran. Lebih pada ia pun merasakan canggung. Ia benar-benar mengutuk jalan cerita yang mengejutkan ini.

“Duduklah.” Sebuah suara kecil terdengar dari Sasuke setelah agak lama. Kriet, membuat Hinata menarik kursi yang menciptakan bunyi derit.

Mereka duduk berhadapan dengan canggung. Sasuke memerhatikan Hinata yang berkali-kali membuang pandangan tak tenang. Perempuan itu hanya berdeham terus-terusan. Entah ada dahak atau apa. Tenggorokannya mengering.

“Jadi, kau anak Nyonya Hikari dan cucu Tuan Hoshi?” Sasuke memulai pembicaraan duluan. Sebagai orang yang jauh lebih tua, Sasuke merasa tidak betah dengan suasana canggung yang ada. “Iya,” sementara Hinata sebagai si yang lebih muda menjawab dengan pelan.

“Bukankah mereka... Otsutsuki?”

“Ayahku Hyuuga,” terang Hinata. “Nenekku juga seorang Hyuuga.”

“Baiklah.”

Obrolan mereka hampir terputus. Hinata tahu kalau Sasuke hanya berbasa-basi. Tapi, tidak bisakah pria itu berusaha berbasa-basi lagi? Yah, setelah tertangkap ‘selingkuh’ dua minggu lalu, Hinata tidak bisa menyalahkan sikap Sasuke juga sih.

“Sasuke-san... Uchiha?” Sasuke mengernyit. “Eh, Madara Uchiha. Sasuke-san cucu dari Madara Uchiha?”

“Ya, begitulah.”

“Tapi, bukankah Madara Uchiha itu adalah Madara Uchiha?”

“Hn?”

“Ma-Maksudku...” sret. Ucapan Hinata terpotong karena seseorang memasuki bilik. Pelayan datang menata makanan yang Hinata tidak ingat kapan memesannya. “Aku yang pesan. Kata ibumu, kau tidak ada alergi apa-apa jadi aku memesan duluan.” Tapi mendengar penjelasan Sasuke, Hinata hanya mengangguk. Ia berpikir, haruskah ia cepat-cepat menghabiskan makanan dan pergi saja?

“Kau mau bilang apa tadi?” Sasuke bertanya saat pelayan sudah meninggalkan ruangan, menyadarkan Hinata dengan skenario aneh di kepalanya.

“Setahuku Madara Uchiha itu salah satu pengusaha kondang di Jepang. Aku tidak tahu dia mengenal kakekku yang hanya seorang petani.”

“Memang tidak.” Kini giliran Hinata yang mengernyit. “Yang berteman dengan kakekmu adalah kakekku dari ibuku. Tapi, dia sudah meninggal. Sementara Madara Uchiha adalah kakekku dari ayahku. Lalu, karena kakek khawatir padaku, kakek meminta ibuku untuk –me”

Sasuke menghentikan ucapannya. Ia menghela napas agak kuat. Merasa lelah, kenapa juga dia harus repot-repot menjelaskan?

“Intinya Kakek Madara dan ibuku mengatur pertemuan ini dengan ibumu.” Singkat Sasuke, membuat Hinata kembali mengangguk-angguk sambil berkata, “Oh...”

“Kau putus?” Hinata mendelik, bertanya maksud ucapan Sasuke. “Bukankah ada orang lain yang mendekatimu? Dia sudah men... maksudku, mereka sudah menjauh?” jelas sekali nada sindirannya. “Atau kau memang perempuan yang senang berkenalan dengan banyak lelaki, Hinata?”

Kekehan di ujung kalimat benar-benar membuat Hinata tersinggung. Oke, setidaknya Hinata tahu kalau ternyata Sasuke kesal padanya dua minggu lalu.

“Maaf Sasuke-san, aku tahu kita sudah sempat saling mengenal. Dan pertemuan ini memang sangat canggung, tapi kurasa pertanyaanmu itu terlalu berlebihan.”

Hinata juga tidak ingin kalah. Ia menunjukkan sisinya yang lain. Di tengah letupan amarah dalam dirinya, Hinata berusaha bicara dengan sopan. Silakan saja berpikir Hinata terkejut ternyata Sasuke dari keluarga terpandang. Setidaknya ia harus menjaga nama baik keluarga.

“Katakan apa yang Sasuke-san bilang itu benar, tapi bukankah Sasuke-san sendiri tidak jauh berbeda? Sasuke-san menemuiku di sini, berusaha mengenal diriku.”

“Aku setuju bertemu denganmu, setelah aku memutuskan untuk berhenti menemuimu, Hinata.”

Hinata kembali mengernyit dan berdeham pelan karena bingung. Sasuke sendiri juga bingung dengan apa yang ia katakan. Terlebih dengan apa yang terjadi pada mereka berdua. Satu sisi mereka ingin bertanya tetapi tidak bisa. Sisi ego mereka sudah kadung menang.

Keduanya membuang muka berseberangan. Yang terdengar hanyalah suara deru napas. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing selama beberapa saat. “Terima kasih sudah memenuhi undangan keluargaku, Hinata.” Sampai Sasuke kembali bersuara lebih dulu. “Aku sudah akan pergi. Kau bisa menghabiskan makanan ini dulu kalau kau mau. Aku sudah membayarnya.”

“Dan juga, sebelum lebih jauh dan ada kesalahpahaman, aku ingin mengatakan sesuatu. Aku tidak bisa bersama perempuan yang berkencan dengan banyak lelaki di saat bersamaan.” Sasuke bicara untuk terakhir kalinya siang itu. Pria itu bangkit lebih dulu. Hinata bahkan baru sadar jika Sasuke memakai setelan santai hari ini. Kaus biru gelap dan celana bahan panjang, Sasuke meninggalkan Hinata lebih dulu.

.

.

“Tidak bisa bersama perempuan yang kencan dengan banyak lelaki katanya?!” Hinata membuang napas kasar dengan kesal. “Dia sendiri bukannya menuruti kakek tersayang, kenalan dengan banyak perempuan?!” ketusnya.

Hembusan napas kasar terus terdengar. Hinata memasuki flat sambil menggerutu. Tiap pijakan terdengar seperti debaman. Menyamankan rebahannya di sofa, Hinata mengambil gawai dan menghubungi ibunya.

Bercerita dengan polesan sana-sini, Hinata bilang pertemuannya dengan anak keluarga Uchiha gagal. Bilang saja ternyata mereka sempat berkenalan di komunitas pecinta kucing, Hinata mengadu telah ditolak mentah-mentah. Emosinya meluap, tetapi saat ditanya, tentu saja Hinata menyantap makanan sebelum pulang.

“Memangnya apa hebatnya keluarga Uchiha itu ‘kan, Bu?”

Tentu saja hebat. Setelah telepon yang menggebu-gebu, Hinata cari-cari tentang Sasuke Uchiha di media sosial. “Konglomerat sialan!” umpat Hinata tiap bergulir melihat postingan foto akun SasukeU itu. Foto-foto liburan yang Hinata yakin bukan di Jepang. Berkesan mewah dengan nuansa sok aesthetic dan sok misterius.

“Padahal gayanya tidak semewah itu saat bertemuku. Apa aku tidak sepantas itu diberi impresi?!” Hinata berdecak sebal membayangkannya. Tok Tok Tok. Seseorang mengetuk pintunya. Hinata bangkit, membuka pintu dan menemukan seseorang yang pas untuk diajak bergosip.

“Jadi, kau janjian bertemu anak kenalan ibumu yang ternyata adalah pria yang pernah berkencan denganmu?” Hinata mengangguk pada Toneri. Berteman baik sejak kecil. Jelas Toneri harus tahu cerita menarik ini.

“Belum berkencan.” Hinata memberi penekanan. “Aku hanya beberapa kali bertemu dengannya. Tapi, mungkin kami memang tidak cocok. Dipertemukan bagaimanapun.”

Toneri mengedikkan bahu. Ia memakan cemilan yang menimbulkan bunyi kerenyahan. “Terus bagaimana reaksi ibumu?” Hinata berdecak sebal mengingat kejadian beberapa waktu lalu.

“Ibuku terkejut. Katanya, ‘tidak menyangka, padahal saat kecil dia menggemaskan.’ Tsk! Menggemaskan apanya? Mulutnya terlalu pedas!!!” Toneri tertawa mendengar cerita Hinata di sela-sela kunyahannya.

Pok Pok Pok. Toneri menepuk kedua tangannya, membersihkan bumbu camilan yang menempel di tangan. Ia sudah selesai mengemil. “Lagipula, kau itu kenapa sih, Nat?” Hinata mendelik dengan satu alis terangkat. “Memangnya kau seingin itu punya kekasih? Sampai main bumble lagi.”

“Ya memangnya kau tidak mau? Punya tempat untuk bercerita, bermanja, dan bereksplorasi?” Hinata menerangkan dengan tangannya. “Kita semua kesepian, Toneri.”

“Aku tidak kesepian. Kan ada kau.”

Hinata tersentak. Bibirnya terbuka sedikit. Beberapa detik hening penuh kecanggungan. “Bercanda!!!” hingga Toneri tertawa sembari melambai.

“Ish! Bercandamu aneh sekali!” Hinata berdecak sebal. Ia bangkit dari sofa, berjalan menuju meja makan untuk menuangkan minuman dingin.

“Kalau tidak bercanda bagaimana?”

Hening kembali datang. Hinata tersentak lagi. Yang terdengar hanyalah suara kucuran air ke dalam gelas. Setelah gelasnya penuh, Hinata berbalik tanpa mengambilnya. Ditatapnya Toneri yang juga tengah menatapnya. Kali ini berbeda. Toneri menatap penuh keseriusan, sampai-sampai Hinata bingung akan menanggapi candaan itu bagaimana.

“Bukankah akan lebih menenangkan kalau kau bersama orang yang jelas mengenalmu?” Toneri melanjutkan dialognya sendiri. “Kuakui mungkin aku tidak sekeren laki-laki yang kau temui akhir-akhir ini. Tapi, aku selalu ada untukmu, ‘kan? Aku tidak pernah membuatmu bingung.”

“Toneri, aku...” Hinata menghentikan tangannya yang terangkat ke udara. “Kau bercanda, ‘kan?” jelas keheningan bukan sesuatu yang ingin Hinata dengar. Ia terkejut sekarang. Apa ia baru saja mendengar sebuah pengakuan? “Kita saudara, Toneri.”

“Jauh. Saudara jauh, Hinata,” Toneri mengoreksi. “Jangan bawa-bawa hubungan sepupu kakekmu dan kakekku untuk menolakku lagi, Hinata.”

“Lagi? Maksudmu... kau benar-benar menembakku saat kita masih sekolah dasar dulu?!” Hinata menaikkan nada bicaranya tiap kata. “No way!” menutup mulutnya, Hinata hampir menjatuhkan gelas saat mundur dan terantuk meja.

“Kenapa? Apa salah kalau aku menyukaimu?” Toneri bangkit. Ia berjalan menuju Hinata, berdiri di depannya. “Kau perlu seseorang yang sama sepertimu, Hinata.”

Toneri mengulurkan tangannya, berusaha menyentuh bahu Hinata. Namun, perempuan itu menghindarinya hingga Toneri menjatuhkan tangannya.

“Tidak bisa. Tidak bisa.” Hinata meloloskan diri. Ia menggeleng-geleng sembari bicara. “Aku tidak bisa bersamamu, Toneri. Aku tidak mengerti kenapa kau bicara begitu setelah aku bercerita. Aku hanya... Tidak bisa.”

“Kenapa? Apa salahnya kita coba? Bestfriends to lovers? Teman tapi pacaran? Teman tapi menikah?” Hinata mengernyit pada pemikiran Toneri yang terlalu jauh. “Apa alasannya?”

“Karena kau... bukan orang yang aku cari?” Hinata sendiri bingung, bagaimana caranya menolak tanpa menyakiti? Meski ia tahu penolakan akan selalu menyakitkan sih. “Kau sahabatku, Toneri. Kau dan Ino adalah sahabatku yang berharga. Aku tidak ingin kehilangan persahabatan kita. Jadi, kumohon, bisa kita tetap seperti ini saja?”

Mata Hinata sudah mulai berkaca-kaca. Bagus. Sekarang bahkan emosinya hilang entah kemana. Rasa tidak nyamannya berganti. Begitu Toneri keluar dari rumahnya, Hinata mengambil napas dengan rakus. Sekarang Hinata tidak tahu lagi. Ditolak dan menolak di hari yang sama. Kira-kira mana yang lebih buruk?

.

.

Toneri bergeming di meja kerjanya. Menatap kosong pada layar komputer yang menyala. Pikirannya masih belum bisa lepas. Apa sebaiknya ia menahan diri?

“Oi, Otsutsuki-san?” panggilan berulang membuatnya tersadar. Toneri menoleh dan menemukan laki-laki jabrik di sampingnya. “Ponselmu terus bergetar. Bisa kau angkat dulu?” barulah Toneri melihat gawainya dan menemukan delapan panggilan tak terangkat dari Ino. “Oh, maaf. Terima kasih, Fushiguro-san.”

Toneri berdiri sambil membawa gawainya. Masuk ke dalam ruang istirahat, ia mengangkat panggilan dari Ino saat perempuan itu kembali menghubunginya. “Halo, Ino? Ada apa? Aku sedang di kantor.”

“Akhirnya kau angkat juga!” Ino menghelas napas lega. “Toneri, apa kau tahu Hinata di mana? Dia tidak menjawabku sejak kemarin. Flatnya juga terlihat kosong. Aku khawatir, sudah seminggu kami tidak bertemu.”

“Tidak ada di flat? Tumben sekali.” Toneri melihat jam di pergelangan tangannya. “Biasanya jam segini dia masih tidur.” Terdengar suara decakan dari seberang telepon. “Aku tidak tahu, Ino. Aku juga sudah lama tidak menghubunginya.”

“Berapa lama?”

“Dua minggu?” kata Toneri sembari menggingat-ingat.

“HAH?!!” teriakan Ino memekikkan telinga seberang. “Dua minggu?! Yang benar saja! Kau itu teman macam apa sih? Dua minggu tidak menghubungi sahabat sendiri!”

“Teman yang baru ditolak,” bisiknya pelan.

“Kau bicara sesuatu, Toneri?”

“Tidak.”

“Tsk! Yasudah, jadi kau tidak tahu Hinata ada di mana?” suara dehaman sebagai jawaban. “Yasudah, aku matikan dulu. Semangat untuk kerjamu.”

“Ya. Terima... kasih?” Toneri menatap layar gawai yang terputus panggilan. Wallpaper bertemakan Cinnamoroll terlihat di layar. Begitu layar gawai itu mati, Toneri menatap pantulan wajahnya yang muram. Hinata, kau di mana?

.

.

.

Hinata menatap langit dengan napas teratur. Pagi-pagi begini ia sudah berolahraga, menyegarkan diri. Menaiki bus dari distrik Shibuya ke distrik Koutou. Hinata berjalan dari halte terakhir menuju dermaga dekat Pantai Odaiba. Sedikit ke timur, Hinata pergi menuju bukit yang dulu sering dikunjunginya saat masih jadi mahasiswa baru.

“Rasanya sudah lama sekali,” gumamnya. Hinata memejamkan mata. Menikmati semilir angin yang berdesir. Di bawah pohon rindang, mengarah ke lautan. Begitu tenang selama beberapa saat. “Mumpung di sini, aku akan pergi ke toko seperti waktu itu.”

Klinting. Hinata keluar dari toko kelontong di atas bukit. Membeli es krim lokal yang membuatnya bernostalgia. Senyuman terukir di wajahnya. Hinata memandangi es krim coklat selama beberapa saat.

“Aku harus mengabadikannya.”

Hinata meraih gawai, membuka aplikasi instagram dan bersiap memotret. Cekrek. Mengunggahnya dalam cerita, Hinata sudah siap membuka es krim.

“Jangan mengikutiku, Nanami!”

DUK! Hingga suara gaduh di depannya mengalihkan perhatian. “Jangan sok jadi pahlawan! Kau itu bukan siapa-siapa, Satoru!”

Hinata bergidik melihat pertikaian di depannya. Dua anak kecil di depannya. Keduanya memakai seragam yang sama. Mungkin dari sekolah dekat sini. Satu laki-laki dan satu perempuan. Anak yang berteriak duluan adalah anak laki-laki yang sedang tersungkur di tanah. Sedangkan anak perempuan berambut merah berdiri di dekatnya. Diam-diam Hinata membatin, apa semua yang berambut merah memang suka melukai?

“Kau yang sok jagoan, Nanami!” DUK! Tiba-tiba muncul anak lelaki lain yang mendorong si anak perempuan. Nanami jatuh di dekat Satoru, tapi perempuan itu tak lama bangkit setelah matanya bertabrakan dengan mata Satoru.

“Jangan ikut campur, Koichi!” Nanami memandang sengit anak laki-laki berambut hitam di depannya. “Meski aku perempuan, aku tidak takut padamu. Atau pada keluargamu!”

Pertikaian anak-anak kecil itu semakin menjadi. Nanami kini beradu mulut dengan anak laki-laki berambut hitam agak ikal. Satoru, anak laki-laki berambut hitam klimis, yang terjatuh telah bangkit. Berusaha melerai teman-temannya.

Hinata merasa mendapat tontonan gratis. Di saat yang sama merasa harus berbuat sesuatu. Haruskah Hinata memanggil nenek penjaga toko untuk membantunya? Hinata celingukan, sekolah mereka mustinya ada di sebelah sana, ‘kan?

“Heiiii, anak-anak, hentikan!!!”

Hinata berteriak. Bagus. Anak-anak TK itu berhenti ribut dan kini malah menatapnya. Hinata lega sekaligus bingung. Ia tidak terlalu suka anak-anak. Bingung musti bagaimana, Hinata putuskan untuk menghampiri tiga anak itu.

“Apa yang sedang kalian lakukan?” pertanyaan bodoh. Hinata sukses mendapatkan tatapan tak suka dari ketiga anak yang tingginya kurang lebih sepinggangnya. “Jangan bertengkar ya, adik-adik?” Hinata berjongkok. Menyamakan tingginya dengan anak-anak itu.

“Tante siapa? Ini urusan anak kecil!”

Hinata terkejut. Kali ini ia benar yakin, manusia berambut merah memang pandai melukai. Dengan atau tanpa kata-kata.

“Kalau tidak salah namamu Nanami, ya? Nanami, kau tidak boleh mendorong dan membentak temanmu seperti itu. Tidak baik. Sekarang, hm...” Hinata berpikir, apa lagi yang harus ia lakukan. “Maafan. Ayo, minta maaf pada temanmu.”

“Tidak!” Nanami menyentak tangannya yang berusaha Hinata raih. “Tante pasti orang suruhan Koichi, ‘kan?!” tuduhnya. “Cih! Benar kata ibuku, hati-hati bergaul dengan Uchiha!”

Setelah mengatakannya, Nanami pergi, meninggalkan Satoru dan Koichi ke arah yang berlawanan dari Hinata datang. Lagi-lagi Hinata tersentak. Apa anak kecil bisa bicara seperti itu? Lebih lagi, anehnya Hinata seperti sedikit setuju dengan ucapan bocah perempuan itu.

“Satoru? Koichi? Kalian tidak apa-apa?”

“Ayo, Satoru. Kita pulang. Pamanku sudah menjemput.”

Hinata kembali tersentak. Ia diabaikan? Kali ini oleh anak kecil? Koichi menarik Satoru dan pergi menyusul Nanami, agak jauh di belakangnya. “Apa tidak ada satu orang saja yang ingin mendengarkanku?”

Hinata mengesah. Ia bangkit, kembali duduk di kursi depan toko kelontong. Kembali pada es krim coklatnya yang sudah setengah mencair. Srettt. Usai membuka bungkusan, Hinata benar-benar siap memakannya kali ini.

“Ternyata benar... hah... hah... Kau di sini, Hinata.”

.

.

“Ino?” Hinata menatap bingung sahabatnya yang berjalan mendekat. “Bagaimana kau bisa ada di sini?”

Ino duduk di samping Hinata dengan napas tersenggal-senggal. “Berjalan mendaki bukit?” Hinata mengangkat sebelah alis, bukan itu maksudnya. Lalu, Ino mengangkat tangan kanannya yang menggenggam gawai. “Untung kau posting cerita. Es krim itu,” Ino melirik es krim yang ada di genggaman Hinata. “Juga bukit itu.” Kemudian Ino menatap lurus ke depan. “Sudah jelas Pantai Odaiba, ‘kan?” tanyanya retoris.

“Kenapa kau menyusulku?” tanya Hinata. Lalu, ia mulai menikmati es krimnya yang sudah setengah menjadi air. “Kau tidak membalas pesanku,” rajuk Ino.

Hinata meminta maaf dalam gumaman. Kriettt. Kursi ditarik, Ino membuat Hinata berhadapan dengannya. “Kau kenapa, Hinata?”

“Hu-um?” Hinata menunjuk diri sendiri sambil bergumam. Lalu, Hinata menggeleng, menyiratkan jika ia tidak kenapa-kenapa.

“Bohong!” Ino dengan tegas menentang. Sudah sekitar enam tahun mereka saling mengenal. Ino jelas tahu Hinata yang pergi ke Odaiba sendirian adalah Hinata yang sedang tidak baik-baik saja. “Hinata, dengar. Aku benar-benar minta maaf padamu.”

“Minta maaf? Untuk apa?” akhirnya Hinata menghabiskan es krim dengan cara meminumnya.

“Aku minta maaf jika keputusan Dei membuatmu sedih. Aku berusaha mempertahankannya, tapi Dei benar. Aku lebih senang jika kau segera menyelesaikan tugas akhirmu.”

Wajah Ino menggambarkan kesedihan dan penyesalan. Ia menatap Hinata dengan binar-binar air mata. “Hah...” Hinata menarik napas cukup dalam. “Aku tidak papa, Ino. Aku tidak marah padamu atau Kak Dei. Lagipula aku memang berencana akan berhenti agar bisa sedikit lebih fokus.”

“Kau tidak sedih karena dipecat?”

“Tidak.” Ino menghela napas lega. Ia tersenyum senang karena Hinata baik-baik saja. Maksudnya, baik-baik saja dari tindakan Deidara. “Tapi... Kau benar baik, Hinata?” gumaman terdengar. “Kau yakin?”

Ino menatap curiga. Hinata terdengar jujur saat bilang ia tidak terluka karena dipecat. Tetapi, Ino merasa ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Hinata sedih sampai-sampai pergi tanpa mengabari siapa pun.

“Aku....” Ino menunggu. Dilihatnya Hinata yang beberapa kali menelan ludah dan membuang napas kasar. “Aku patah hati, Ino.”

Suaranya mulai bergetar. Raut wajah Hinata berubah. Matanya sayu dan berkaca-kaca. “Aku sudah berusaha membiarkannya, melupakannya. Aku berusaha melanjutkan hidupku tapi rasanya.... rasanya aku rindu meski kita hanya bertemu untuk bertengkar. Meski dia hanya akan memaksakan pilihannya, aku rindu.”

Isakan terdengar. Hinata bercerita sambil berusaha menahan dirinya sendiri. “Hey, Hinata.” Ino meraih tangan Hinata. Mulai mengelus-elusnya sembari mendengarkan cerita Hinata.

Tentang bagaimana mereka bertemu. Bagaimana hobi mereka sangat sama. Bagaimana kejutan di setiap pertemuan mereka. Bagaimana dia bisa membuat Hinata bingung dan senang di saat yang sama. Bagaimana semuanya begitu membekas.

Hinata menumpahkan semua perasaannya pada Ino. Bercerita di tengah segukan yang mengundang Ino turut menitikan air mata. “Aku harus bagaimana, Ino? Aku benar-benar merindukannya.”

“Kita tidak bisa memintanya kembali jika dia sudah tidak menginginkannya.” Ino bergeleng-geleng. Mengatakan sebuah fakta yang menyakitkan. “Kau tahu? Persetan dengan para lelaki! Kau cantik, Hinata. Kau bisa memulainya lagi. Nanti, setelah kau selesai dengan tugas akhirmu.”

Hinata merengut. Masih saja disindir. Ino membereskan dirinya sendiri. “Liburan kampus sudah akan dimulai, ‘kan?” Hinata mengangguk. “Oke. Malam ini, kita lupakan semua yang terjadi. Kita ke bar yang dulu biasa kita datangi? Kita mabuk sampai menggila!” Ino berseru, diikuti Hinata yang mengangguk-angguk semangat.

“Oh, sialan!” Ino tiba-tiba menghentikan gerakannya yang menarik Hinata untuk bangun. “Tidak. Kau tidak boleh mabuk, Hinata.”

“Kenapa?”

“Pokoknya tidak boleh! Kalau sedih, kau makan camilan manis saja, okay?” Hinata mengangguk dengan belaian di atas kepalanya. Ia tidak banyak protes pada Ino. Kemudian, Ino masuk ke dalam kedai dan keluar dengan setumpuk camilan yang akan mereka habiskan di perjalanan kembali ke Shibuya.

Cekrek. Ino mengambil swafoto bersama Hinata setelah mereka berdua sama-sama membersihkan wajah di toilet umum. Tangan Ino dengan lincah mengetik sesuatu sebelum mengunggahnya ke cerita instagram. “Single Girls Time”, katanya.

“Oh, ya. Kau dan Toneri sedang marahan?” Ino bertanya saat mereka berjalan menuju halte bus. “Tidak. Kenapa?”

“Katanya Toneri tidak menghubungimu selama dua minggu?”

“Ya. Aku dan Toneri tidak bertikai. Hanya saja...” Hinata menunduk sebentar. “Aku menolak Toneri dua minggu lalu.”

Gerakan tangan Ino berhenti berselancar di aplikasi merah muda. Seketika pikirannya melayang entah kemana. Baru ketika Hinata menarik ujung bajunya, Ino menoleh dan melihat bus sudah ada di depan matanya. “Kau melamun? Ayo naik, Ino.”

.

.

Hinata kira, rasanya akan berat. Benar, rasanya memang berat. Liburan sudah dimulai, tapi Hinata tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bimbingannya tertunda. Ia sudah tidak bekerja. Mengisi waktu luang, Hinata coba untuk belajar memasak kue di flat selama liburan.

Satu hari, dua hari. Satu minggu, dua minggu. Benar kata Ino. Hidup akan terus berjalan. Sampai waktu satu setengah bulan terlewati dan Hinata mencapai titik jenuhnya.

Ting

“Hai Hinata? Kau terlihat cantik di foto. Mau bertemu?”

Katanya, cara move on terbaik adalah dengan menemukan orang baru. Hinata patah hati oleh laki-laki bernama Gaara Sabaku. Setelah dua bulan lebih, Hinata putuskan untuk meniatkan diri move on.

Bukan dengan Sasuke Uchiha yang juga ikut menghilang. Bukan dengan Sai Shimura yang terasa tidak cocok untuknya. Bukan juga dengan Toneri Otsutsuki yang selamanya akan Hinata anggap sebagai seorang sahabat. Tapi dengan sosok baru. Sosok berambut pirang dengan senyuman cerah di wajahnya yang memperkenalkan diri sebagai,,,

“Naruto Namikaze!” sapanya dengan deretan gigi yang terlihat di sela senyuman.

Hinata merasa dejavu. Energi Naruto mengingatkannya pada Sai yang banyak bicara. Tawa dan gaya bicaranya mengingatkan Hinata pada seseorang yang ingin Hinata lupakan. Bahkan sikap tegas dan to the point-nya mengingatkan Hinata pada... “Ini jumat malam. Kau tidak ada acara kan, Hinata? Mau ke bar untuk lanjut ngobrol? Aku tertarik padamu.”

“Aku kurang suka minum.”

“Kau tidak perlu mabuk. Lagipula, kan ada aku yang menjagamu.” Naruto meyakinkan dengan kekehannya yang khas... Gaara.

Seharusnya Hinata menurut pada Ino. Persetan dengan semua lelaki! Naruto benar-benar lelaki dengan mulut berbahaya. Merayunya hingga Hinata setuju memesan cocktail yang Hinata sudah lupa namanya.

“Tentu adik-adik tingkatku semua panik. Tapi aku mengusir ular yang masuk ke tenda mereka!” Naruto bercerita dengan semangat. Kisahnya saat kuliah, SMA, SMP, SD, bahkan ketika masih di taman kanak-kanak. Hinata menanggapinya dengan senyuman dan tawa pelan saat Naruto berusaha membanyol. Pertemuan pertama. Hinata sudah yakin tidak akan lanjut.

“Naruto, aku akan pergi ke toilet dulu.”

“Perlu aku antar?” Naruto ikut bangkit dari kursi bar, membantu Hinata berdiri yang terlihat sedikit sempoyongan. “Tidak perlu. Aku aman.” Hinata tersenyum, mengangkat jempolnya.

Byurrr

Hinata membasuh wajahnya di toilet. Memandang wajahnya yang basah di cermin. “Bodoh! Apa yang aku lakukan?” Hinata mengesah. Bisa-bisanya ia membandingkan Naruto dengan Gaara. Lebih lagi, Hinata memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia masih mengingat sosok yang sedang ia coba lupakan?

Usai membersihkan diri, Hinata berjalan keluar toilet. Ia akan meminta diantar pulang. Dirinya merasa sedikit mabuk... atau tidak? Hinata tidak mengerti. Ia mengurut pelipisnya sembari berjalan menunduk.

DUK! Hinata menabrak sesuatu, lebih tepatnya seseorang yang bertanya, “Kau tersesat?”

Hinata mendongak. Saat membuka mata di depannya ada sebuah dada bidang. Lagi, Hinata mendongak lagi guna melihat wajah seseorang yang membuat kelopak matanya terbuka lebih lebar lagi. Surai dan iris itu. Sudah pasti Hinata mengenalnya, kan?

.

.

.

.

“Oi, Toneri!”

Toneri yang baru memarkirkan sepeda motornya berbalik, melihat seseorang berjalan ke arahnya. “Baru pulang?” Toneri mengangguk sambil berdeham. “Ada apa menemuiku, Ino?”

Ino mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sebuah kantung keresek putih terlihat. “Mau ngobrol sambil makan es krim sebentar? Di taman sebelah saja,” ajaknya.

Krit Krit. Bunyi besi dari ayunan yang mulai berkarat terdengar. Ino dan Toneri duduk di ayunan taman samping flat tempat Toneri tinggal. “Aku menemui Hinata tadi siang.” Ino memulai obrolan.

“Oh, ya? Dimana?” Toneri berusaha menanggapi seadanya.

“Pantai Odaiba.”

“Koutou?” suara dehaman terdengar. “Tumben. Sedang apa Hinata ke sana?”

“Patah hati.”

Toneri menghentikan gerakan mengayunnya. Ia menoleh pada Ino yang ternyata sedang menatapnya. “Siapa? Hinata?” anggukan terlihat. “Kenapa lagi dia? Lagipula, laki-laki yang mana?”

“Yah, rumit. Masalah perasaan memang rumit.”

“Dia sudah mendingan?”

“Sepertinya begitu.”

Toneri mengangguk, ia mulai kembali mengayunkan diri. Selama beberapa saat yang terdengar hanya suara besi seperti semula. “Kau sendiri, sudah mendingan?” Ino akhirnya bertanya setelah meyakinkan diri.

“Aku? Aku kenapa?” Toneri mengernyit bingung.

“Kau ditolak Hinata.”

Toneri kembali menoleh pada Ino. Hanya sebentar sebelum ia membuang muka dan menatap ke depan, pada ibu-ibu tukang sapu di ujung taman. “Tidak papa. Seperti katamu, soal perasaan memang rumit, ‘kan?” Toneri tertawa hambar. Menertawakan dirinya sendiri.

“Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?”

“Siapa? Ibu-ibu penyapu jalanan?” Toneri terkekeh menatap ibu-ibu yang berada tepat di depan pandangannya. Tidak lama. Tiba-tiba Toneri terpikirkan sesuatu. Ia menoleh, menemukan Ino yang menatapnya serius. Perempuan itu sudah tidak mengayun, bahkan membiarkan es krimnya sedikit menetes. “Kau bercanda, ‘kan?”

.

.

.

“Kenapa, Sasu? Kau sudah tidak bergairah dengan masa mudamu?”

Sasuke melirik ke kiri, dilihatnya kawan berambut putih dengan gigi runcingnya. “Jangan sembarangan, Sui. Sejak kapan Sasuke pernah bergairah dengan masa mudanya? Bisanya kan cuma kerja, kerja, dan kerja.” Teman Sasuke yang berambut merah menimpali, mengundang tawa teman-teman Sasuke yang lain.

“Tsk.” Sasuke terganggu. Ia bangkit, berjalan menuju pagar teralis. Melihat-lihat ke lantai bawah bar dari lantai dua.

“Kau terganggu dengan ucapan Akashi, Sasu?” teman Sasuke yang lain menyusul. Ia bersandar di teralis dengan gelas berisi minuman di tangan kanannya. “Kau yang menggangguku, Yamato.” Sasuke berdecak, mengalihkan pandangan sementara Yamato terkekeh pelan mendengar ucapannya.

Sasuke mengabaikan apa yang Yamato ucapkan setelahnya. Ia fokus memerhatikan kumpulan orang-orang di lantai bawah. Sebagian duduk di meja dan sebagian lain mendekat ke arah panggung. Lalu, matanya menangkap sesuatu yang tak asing. Sesuatu yang pirang.

“Kau melihat sesuatu?”

Yamato mengikuti arah pandang Sasuke karena pria itu tak kunjung menanggapi ucapannya. Ia celingukan, mencari sesuatu yang mungkin menarik perhatian Sasuke.

“Tidak.” Sasuke hendak kembali duduk di kursinya. Namun, ia merasakan Yamato yang kini fokus menatap sesuatu di bawah sana. “Sepertinya aku melihat seorang kenalan,” kata Yamato sembari menelengkan kepala saat Sasuke menatapnya.

Yamato menyusul Sasuke yang kembali duduk. Ia kembali bergabung bersama dua temannya yang lain. Sementara Sasuke masih menulikan pendengarannya. Sambil menyesap minuman, matanya fokus memerhatikan seseorang yang duduk di meja bar.

“Jadi, kau kalah tender, Sui?” tanya Akashi sebelum melahap buah anggur.

“Begitulah. Perusahaanku tidak jadi dapat proyek untuk liga musim gugur nanti.” Suigetsu mengesah. Masih menyesali kegagalannya.

“Minta bantuan saja pada Shika. Barangkali klub barunya bisa memberi peluang proyek lain.” Yamato mengedikkan bahu, mengambil onion ring untuk dilahap.

“Benar juga. Kemana Shika? Lama sekali dia datang,” keluh Suigetsu. Ketiganya terus mengobrol tanpa melibatkan Sasuke. Yamato sebenarnya sadar, tapi ia membiarkan temannya yang menatap tajam ke lantai bawah. Entah pada apa atau siapa.

Trak. “Aku mau ke toilet.” Sasuke bangun, berjalan turun menuju tangga. Mengabaikan teriakan Suigetsu yang memperingatkannya akan kedatangan Shikamaru.

Sasuke tidak benar-benar ke toilet tentu saja. Ia menunggu di dekat pintu masuk toilet perempuan. Matanya yakin tidak salah lihat. Perempuan berambut gelap, dengan crop top dan hotpants. Sasuke masih belum lupa akan senyumannya.

DUK!

Sasuke sengaja menabrakkan diri. Dilihatnya perempuan itu sedikit tidak fokus. Begitu akhirnya mata mereka bertemu, Sasuke pun mulai bicara. “Kau tersesat?”

“Sasuke-san?”

Jelas Hinata bingung dan terkejut. Berbulan-bulan tidak berkomunikasi, ditambah pertemuan terakhir mereka yang kurang mengenakkan. Bagaimana bisa mereka bertemu lagi?

“Mengapa kau ada di...” Hinata mungkin mabuk, tapi ia cukup sadar untuk tidak mempermalukan dirinya lebih jauh lagi. “Aku baik. Permisi, aku tidak ingin membuat temanku menunggu.” Hinata pergi lebih dulu. Jika mengobrol pun, ia bingung akan bagaimana. Jadi, menurut instingnya, Hinata putuskan untuk menghindar.

“Yakin dia temanmu?” Sasuke berbisik pelan ketika Hinata sudah menjauh. Tak lama, ia pun kembali ke meja tempat teman-temannya berada. Disambut dengan kedatangan bintang utama pertemuan kali ini, Sasuke masih fokus pada Hinata yang terlihat asik bersama ‘temannya’.

Apa senyumannya boleh diumbar begitu saja? Pada siapa saja?

.

.

Bug

“Terima kasih, Naruto. Maaf aku sudah ingin pulang. Maaf juga kau harus mengantarku.”

“Tidak papa. It is my pleasure, Hinata.” Naruto bicara dengan senyuman cerahnya yang khas. Mengundang Hinata untuk ikut tersenyum.

Lima detik, sepuluh detik, tiga puluh detik. Hinata dan Naruto sudah masuk di dalam mobil. Tetapi, Naruto belum juga menjalankan mesin mobilnya dari parkiran bar.

“Aku sedang berpikir.” Naruto mulai bicara, menarik Hinata untuk menoleh. “Daripada mengantarmu, bagaimana kalau malam ini kau menginap denganku? Apartemenku? Atau kau lebih suka kita memesan kamar hotel?”

Hinata mengernyit tak suka. Ternyata memang laki-laki berengsek. “Tidak. Aku ingin pulang.” Hinata menolak dengan tegas.

“Ayolah, Hinata. Kita sudah makan malam, mengobrol dengan seru. Kenapa kita tidak bersenang-senang lebih?”

“Tidak. Aku tidak –ter” Hinata membelalak. Naruto maju dengan cepat, mengecup bibirnya yang sedang berbicara. Napas Hinata tertahan selama beberapa saat. Begitu ia merasakan Naruto berusaha untuk mengulum bibir dan menyentuh pahanya, Hinata menarik diri.

PLAK!!!

“Kau tidak bisa mencium seseorang tanpa meminta izin!”

Seketika pengar Hinata seperti menghilang. Untunglah, Naruto belum mengunci mobilnya. Dengan cepat Hinata keluar dari dalam mobil Naruto. Sambil menggosok-gosokan bibir dengan punggung tangannya, Hinata berjalan menuju pinggir jalan.

“Sialan! Tahun ini pun aku menemui laki-laki berengsek!”

Hinata mengambil napas dengan rakus. Ngos-ngosan karena perasaan kesalnya. Tak berselang lama, Hinata bisa mendengar suara mesin mobil yang keluar dari parkiran bar. Ia melihat mobil itu berjalan mendekatinya. Dalam hati, Hinata mengumpat. Tidak mungkin Naruto bersikukuh untuk mengejarnya, kan?

“Butuh tumpangan?”

Kaca mobil diturunkan. Bukan pirang dan iris biru yang ada di baliknya. Mobil HRV Sand Khaki Pearl. Jelas hanya satu orang yang Hinata kenal memilikinya. Hinata menatap iris gelap Sasuke. Rasanya seperti sudah lama mereka tidak bertemu. Padahal tadi mereka berpapasan di dalam bar.

Hinata baru akan menanggapi ketika ia melihat mobil lain hendak melintas. Itu mobil yang tadi menjemputnya makan malam. Tak sadar, Hinata menahan napas saat mobil Naruto pelan-pelan melintasinya. Ketika Naruto melirik singkat Hinata yang mengobrol dengan seseorang dari dalam mobil HRV, mobilnya melaju tanpa henti.

“Bukankah ini ironi?” Hinata akhirnya bernapas dan mulai bicara pada Sasuke. “Seingatku terakhir kali kau menolakku mentah-mentah, Sasuke-san.” Ia terkekeh mengingat kejadian beberapa bulan lalu. “Tapi sekarang kau malah menawariku tumpangan? Ahahahaha.”

Sasuke diam. Memerhatikan Hinata yang tertawa dengan sedikit sempoyongan. Perasaannya saja atau Hinata terlihat banyak tertawa hari ini?

“Terima kasih sudah mengundangku, Sasuke-san. Tapi aku akan naik taksi saja,” tolak Hinata.

“Ini sudah hampir tengah malam. Akan sulit mendapatkan taksi.”

“Taksi!!!!” Hinata berseru sembari melambai-lambaikan tangan. Dari arah berlawanan, kebetulan melintas taksi yang kini Hinata hentikan. Mungkin Dewi Keberuntungan sedang ada di pihaknya. Hinata lolos menghindar malam ini. “Aku pamit duluan, Sasuke-san.”

Hinata masuk ke dalam taksi dengan sedikit memaksakan diri. Tubuhnya sudah butuh istirahat. Ia bernapas lega karena berhasil menghindari para lelaki. Meskipun Hinata tidak sadar. Mobil HRV diam-diam mengikutinya. Memastikan Hinata benar-benar kembali ke flatnya dengan aman malam ini.

.

.

“Jadi, kau berkenalan dengan seorang perempuan yang membuatmu kecewa tapi kau seolah tidak bisa lepas darinya?”

Yamato memastikan dari cerita yang Sasuke kisahkan dua minggu setelah mereka terakhir berkumpul. “Kenapa? Tubuhnya bagus?” Yamato dan Shikamaru bersiul pada ucapan Akashi. “Mungkin kau hanya suka goyangannya?” gelak tawa terdengar akibat banyolan Shikamaru.

“Demi Tuhan! Apa kalian benar-benar mendengarkanku?!” Sasuke mengerang. Masalahnya menjadi lelucon di tongkrongan. “Aku tidak melakukan hal-hal yang kalian tuduhkan. Aku hanya... Terganggu dengan senyumannya.”

Yamato, Akashi, dan Shikamaru saling berpandangan. “Memangnya senyumannya kenapa?”

“Entahlah. Dia terlihat begitu ceria tapi menenangkan di saat yang sama. Aku hanya merasa dia sepertinya mungkin bisa memahamiku. Bisa menerimaku. Dan segala kesederhanaannya, membuatku merasa tenang.” Sasuke bicara sambil membayangkan ke depan.

“Mungkin kau hanya penasaran karena kau belum benar-benar mencoba dengannya?” Sasuke menoleh pada Shikamaru. Shikamaru Nara adalah kawan SMA-nya yang terkenal paling logis. Sasuke jadi mempertimbangkan.

“Atau mungkin kau jatuh hati padanya?” Yamato mengangkat kedua alis. “Sasuke? Cinta? Yang benar saja!” Akashi memotong. “Apa pria dingin sepertimu bisa jatuh cinta?”

“Kau tidak ingat? Mitsuri, Nobara, Sasha, bahkan perempuan sependiam Suzune pun pernah berusaha mendekatimu saat SMA. Tapi apa?” Akashi mendapatkan atensi ketiga temannya. “Kau mengabaikan mereka semua dan hanya fokus pada dirimu sendiri.”

“Aku bahkan terkejut kau ternyata lebih sering tersenyum di tempat kerja,” timpal Yamato.

“Kalau kau terus kepikiran, temui saja.” Sasuke melirik Shikamaru sekilas. Lalu, ia membuang napas kasar. “Kenapa? Canggung karena keluarga kalian sudah saling mengenal?”

“Menurutku ucapan Shika ada benarnya, Sasu. Mungkin kalian bisa coba mengobrol lagi?” Yamato menyetujui. “Tunggu apa lagi? Sekarang malam minggu. Kontak saja dia,” kata Akashi.

“Tidak bisa. Malam ini keluargaku mengatur pertemuan dengan keluarga Haruno.”

Ketiga teman Sasuke mengesah. Mereka menyerah. Sasuke curhat tapi tidak bisa diberi saran. Jadi, Yamato putuskan untuk mulai membicarakan Suigetsu yang sedang absen. Dilanjut dengan gosip tentang Shikamaru Nara di depan sang atlet langsung.

Seharian Sasuke terus kepikiran. Apa benar yang diucapan Yamato? Sasuke sudah jatuh hati? Pada perempuan yang baru beberapa kali ditemuinya. Padahal Sasuke seharusnya tidak memikirkan perempuan lain saat ini.

“Hai, Uchiha-san. Namaku Sakura Haruno. Mungkin orang tuaku sudah bilang, tapi aku baru kembali dari studiku di Amerika.”

“Kau baru lulus S1?” Sakura mengangguk. “Berarti umurmu berapa?”

“25.”

Setahun di atas Hinata.

“Tapi aku kembali ke Jepang untuk melanjutkan pendidikan spesialisku.”

“Begitu? Kau ambil kedokteran, ya? Mau ambil spesialis apa?”

Sasuke berusaha menanggapi cerita Sakura yang terlihat sangat bersemangat. Akan tetapi, ia tidak bisa fokus. Antara hati dan harga diri. Sebagai seseorang yang jauh lebih tua, seharusnya Sasuke mengalahkan, kan?

“Haruno-san, terima kasih sudah memenuhi undangan keluargaku. Kau pribadi yang menarik. Tapi mendengar ceritamu dan kondisiku, sepertinya hubungan ini tidak bisa dibawa lebih jauh dalam waktu dekat.” Sakura minta dijelaskan, tetapi Sasuke merasa bukan waktunya untuk menjelaskan. “Aku pamit lebih dulu. Kau bisa pulang sendiri, ‘kan?”

Sakura tahu Sasuke hanya berbasa-basi. Jelas sekali pria itu tak ingin berlama-lama dengannya. Meski kecewa, Sakura hanya bisa menerima. Ia menatap kepergian Sasuke yang terlihat terburu-buru dengan helaan napas. “Padahal dia tampan,” ujarnya sebelum mengecek gawai yang berdering.

.

.

Ting

Hinata sedang tiduran di ranjangnya saat tiba-tiba sebuah pesan masuk. Dahi Hinata mengernyit membaca pesan yang diterimanya. Sudah sangat lama sekali. Ia menerima pesan dari aplikasi kuning setelah sempat berpikir untuk berhenti.

“Hinata, bisa keluar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.”

Tentu saja Hinata bingung. Samar-samar ia mengingat obrolan di pertemuan terakhir mereka. Apa Hinata berbuat atau bicara sesuatu yang salah saat itu?

Untuk memastikannya, Hinata segera bangkit dan bersiap. Dengan kasar mengeringkan rambutnya yang masih basah dan terbungkus handuk. Menggelung rambut basah dengan jepit, Hinata mengetuk pintu kaca mobil HRV. “Masuklah, Hinata.”

Begitu diberi izin, Hinata masuk ke dalam mobil Sasuke. Ia menyapa dengan canggung. “Ah, maaf. Karena dadakan, aku belum bersiap.” Kata Hinata ketika ia merasa penampilannya diperhatikan. Tentu saja. Kaus oversized, celana pendek di atas lutut, dan sandal rumahan. Hinata hanya ingat untuk mengoles tipis lipstik di bibirnya. “Apa yang ingin Sasuke-san bicarakan?”

Sasuke terlihat mengambil napas dalam. Pria itu menegakkan duduknya menghadap Hinata. “Hinata, aku tahu sikapku sebelumnya memang tidak sopan dan mungkin menyakitimu.” Memang benar. “Tapi, kali ini aku benar ingin berkenalan denganmu. Jadi, ayok mulai lagi dari awal, dengan benar. Kau bersedia?”

.

.

.

Hinata menatap lekat-lekat iris gelap yang juga memandangnya. Sasuke memandang dengan tekad, meskipun ada setitik keraguan di sana. Hinata pun tidak jauh berbeda. Ia mengernyit bingung mendengar ajakan Sasuke. “Ti... dak?” Hinata menjawab ragu.

“Kenapa?”

Hinata membetulkan duduknya. Mengambil napas dalam, ia berusaha menjelaskan dengan tenang. “Sasuke-san benar. Aku ditinggalkan. Aku... patah hati.” Hinata menggigit bibir bawahnya. Ia menunduk ragu sebelum kembali menjelaskan.

“Mungkin Sasuke-san menganggapku seperti perempuan tak tahu malu yang suka berkenalan dengan banyak lelaki. Tapi menurutku, di usia dan kondisiku saat itu, aku membutuhkannya. Meskipun pada akhirnya aku terluka seperti sekarang. Aku tidak menyesali perbuatanku. Dan bukankah Sasuke-san sendiri bilang, jika Sasuke-san tidak bisa dengan perempuan yang berkenalan dengan banyak lelaki?”

Sasuke sadar, ia memang pernah bicara seperti itu. Seharusnya Sasuke menjelaskan, atau meminta maaf dan pengertian. Tapi, lidahnya terasa kelu. Pikirannya tiba-tiba penuh.

“Untuk sekarang, mungkin aku ingin beristirahat dulu. Atau tidak?” Hinata menelengkan kepalanya. “Entahlah. Aku hanya tidak ingin terluka lagi. Aku... butuh waktu. Juga dengan sikap Sasuke-san yang membuatku bingung. Apa Sasuke-san benar menyukaiku?”

“Terima kasih sudah menghubungiku, Sasuke-san. Tapi mungkin aku bukan perempuan yang baik. Aku jadi teringat untuk segera menghapus akun bumble-ku untuk sementara waktu.”

Hinata terus bicara, tanpa sempat Sasuke menimpalinya. Entah tidak sempat atau Sasuke yang tak menyempatkan diri. Nyalinya seketika menghilang. Ia hanya terdiam mendengarkan curahan isi pikiran Hinata. Sembari fokus pada rintikan air di ujung kaus Hinata akibat rambutnya yang basah, Sasuke membiarkan Hinata pergi malam ini. Mungkin mereka masih perlu waktu untuk berpikir. Seperti kata Hinata.

.

.

“Aku tidak mengerti.” Buk. Ino menutup majalah yang dibacanya sembari tiduran di sofa. “Mengapa kau selalu bertemu laki-laki yang membingungkan?” Ino memiringkan badannya, menatap Hinata yang sedang berdiri di dekat kompor.

“Belum selesai dengan laki-laki bernama Gaara, sekarang ada lagi urusan dengan laki-laki lain. Terlebih dia seorang Uchiha, dan kenalan Ibumu.” Ino mendudukkan diri ketika melihat Hinata mendekat. “Aku sudah selesai dengan Gaara.”

Trak. Hinata menaruh wadah di atas meja. “Jangan terlalu kasar membukanya, majalah ini mau aku bawa ke acara tanda tangan Ravens besok.” Hinata mengambil majalah yang digenggam Ino. “Bisa tolong kau coba kimchi-nya, Ino? Apakah pedasnya sudah pas?”

Ino mengesah. Ia mengambil sejumput kimchi dari wadah dengan enggan. Kres Kres. Ino mencoba kimchi dan mengacungkan jempolnya sambil mengangguk-angguk. “Kau mau bawa kimchi ke acara tanda tangan Ravens besok?” Hinata mengangguk. “Shikamaru-san sedang tertarik dengan masakan Korea,” katanya sembari membereskan wadah untuk dibungkus.

Effort sekali! Kau bahkan memasak makanan yang tidak bisa kau makan untuk idolamu?” tanya Ino retoris. “Kalau ada yang tahu, mungkin mereka akan mengira kau kekasihnya.”

“Apa yang salah? Mengidolakan atlet baseball adalah hobiku. Dan selama ada kesempatan, aku akan mendukungnya.” Hinata membela diri. Ia merapikan bungkusan dan menaruhnya di kabinet dapur. “Tapi, kau serius?” Hinata mengangguk, mendudukkan dirinya di samping Ino.

“Maksudku, kau serius sudah selesai dengan laki-laki bernama Gaara itu?” Hinata menoleh. Seketika ia terdiam selama beberapa saat. Tak lama, Hinata kembali mengangguk. “Kalian sudah bertemu untuk berpisah?” Hinata menggeleng pelan.

“Katanya, tidak ada closure itu berarti closure.”

“Jadi, kau membiarkan berakhir begitu saja tanpa penjelasan apapun?” Ino kembali mengesah saat melihat anggukan dari temannya. “Yasudah. Mungkin memang benar.” Ino mengangguk mantap, “persetan dengan para lelaki!”

Dahinya mengernyit. Hinata memandang Ino dengan bingung. “Kau sendiri bagaimana?” Ino menoleh dengan dehaman. “Kau bilang ingin cerita sebelum datang ke sini.”

Lagi, Ino mengesah. Hinata menunggunya mengambil napas dalam. “Aku... ditolak.”

“Hah?! Siapa yang berani menolakmu?” kesal Hinata. “Laki-laki itu? Laki-laki payah yang kau temui di komunitas pecinta mobil balap? Yang katanya diam-diam menyukai perempuan lain di grup kalian?”

“Tsk.” Hinata berdecak pada anggukan yang diterimanya. “Lupakan. Kau terlalu berharga untuk laki-laki pecundang.”

Tapi, aku masih belum mau menyerah.

“Ya, laki-laki pecundang yang suka mengoleksi mobil-mobilan.” Ino berujar pelan. “Kau bicara sesuatu, Ino?” Ino menggeleng, “tidak.”

Hinata melirik Ino yang menggembungkan pipinya. Perempuan pirang itu terlihat menundukkan padangan. “Well, sepertinya kita punya satu kesamaan. Sama-sama kurang beruntung dengan percintaan,” kekeh Hinata.

“Setidaknya ada orang yang masih menyukaimu, Hinata.”

“Siapa?”

“Sasuke Uchiha?” Ino menaikkan sebelah alisnya. “Setelah kupikir lagi, bagaimana jika dia memang serius ingin mengulang perkenalan kalian? Kenapa tidak kau coba saja? Barangkali Sasuke Uchiha adalah obatnya.”

Kali ini giliran Hinata yang mengesah. Ia membantah setiap nasihat yang Ino berikan. Bukan apa, bohong kalau Hinata tidak sakit hati dikatai sebelumnya. Lebih lagi, Hinata rasa ini bukan saatnya memikirkan Sasuke Uchiha ataupun lelaki lain. Ia bahkan sibuk memikirkan baju apa yang akan ia kenakan besok. Untuk besok saja, satu tiket khusus. Hinata akan memanfaatkan kesempatannya bertemu dengan Shikamaru Nara lagi.

.

.

Minggu siang ini cuaca sangat cerah. Langit berwarna biru, matahari tak begitu menyengat meskipun sudah memasuki musim panas. Semilir angin pun terasa menyejukkan meskipun lapangan dipenuhi oleh banyak orang. Suasana yang sangat mendukung hari penting bagi Hinata.

Perempuan lavender itu memeluk erat wadah makan yang dibawanya. Menatap antrian di depannya, Hinata membuang napas kegugupan. “Selanjutnya.” Begitu suara panitia mengarah padanya, Hinata naik ke atas podium. Menghadap sosok idolanya.

“Shikamaru-san, selamat atas tim barumu.” Hinata memandang iris gelap yang menatapnya. “Kuharap karirmu akan semakin bersinar bersama Ravens.”

Shikamaru tersenyum, ia menerima sodoran majalah yang akan ditandatanganinya. “Terima kasih atas ucapanmu. Aku juga ingin berterima kasih karena kau selalu mendukungku, Hinata-san?”

Tentu saja Hinata senang. Shikamaru mengingatnya. Lelaki itu bahkan membubuhkan lambang hati di samping nama Hinata yang ditulisnya dalam majalah.

Trak. “Ini mungkin tidak banyak. Kudengar Shikamaru-san sedang tertarik pada makanan Korea akhir-akhir ini. Kau bisa menikmatinya bersama rekan timmu, Shikamaru-san.” Hinata menaruh wadah yang sudah ia siapkan. Sekilas Shikamaru memandang bungkusan berwarna hijau gelap. Bergantian dengan wajah pemilik surai ungu gelap itu.

“Terima kasih. Aku akan menikmatinya.” Shikamaru menyerahkan majalah yang sudah ia tandatangani pada Hinata. Kemudian, ia meminta petugas untuk mengambil bungkusan yang diserahkan padanya sebelum tersenyum, mengiringi Hinata yang bergeser pada anggota lain.

Setelahnya Hinata menyapa dan mengucapkan kata-kata semangat pada anggota Ravens yang lain. Tidak setulus itu, pikirannya dipenuhi momen beberapa menit bersama Shikamaru Nara meskipun ia sudah turun dari podium.

Ting

“Hi, Hinata. Aku Sasuke Uchiha. Karena kau menghapus akun bumble-mu, aku mendapatkan nomormu dari Ibumu”

“Kau di flat? Bisa kita bicara lagi?”

Hinata mengernyit. Suasana hatinya sedang baik hari ini. Ia tidak ingin merusaknya. “Ada apa, Sasuke-san? Aku sedang tidak di rumah.” Hinata membalas sambil duduk di kursi, menunggu acara tandatangan selesai.

“Ada yang ingin aku katakan. Kau di mana? Bisa kita bertemu?”

Hinata memandang ke arah podium. Para penggemar masih mengantre untuk mendapat giliran. Lalu, Hinata menaruh majalah dalam pangkuan dan kembali pada gawainya.

“Aku sedang di The Gardens Hotel. Aku bisa menemuimu setelah jam setengah satu.”

Begitulah Hinata akhirnya kembali bertemu dengan Sasuke setelah satu minggu. Pria itu menjemput Hinata di depan The Gardens Hotel setelah acara jumpa penggemar selesai.

Bug. Begitu memasuki mobil, dilihatnya Sasuke yang tersenyum kecil menyapanya. Begitu selesai memakai sabuk pengaman, Hinata bisa merasakan Sasuke menatap kerumunan yang keluar dari The Gardens Hotel. “Kau sedang apa di hotel itu, Hinata?” Sasuke bertanya di perjalanan.

“Aku menghadiri acara jumpa penggemar Ravens.” Hinata menunjukkan majalah yang dibawanya. “Kau penggemar baseball?” Hinata mengangguk. “Apa aku belum cerita?” tanyanya sambil mengingat-ingat obrolan mereka.

“Siapa idolamu di Ravens?” Hinata tersenyum, ia mulai merasa bersemangat untuk cerita. “Aku mendukung Shikamaru-san.”

“Shikamaru Nara?” Sasuke menoleh dengan kerutan di dahinya.

“Iya, kenapa?”

“Kenapa Shikamaru? Bukankah ada Eren Yeager yang seumuran denganmu?”

“Ya. Tapi aku sudah lama mengidolakan Shikamaru-san, sejak aku SMA. Aku sudah mendukungnya sejak dia masih bergabung dengan Tiger,” terang Hinata. “Ada apa?”

“Tidak. Aku hanya... terkejut kau suka baseball.” Sasuke beralibi. Jelas ia mengenal baik idola Hinata. Tapi, mungkin bukan saatnya untuk bergosip. Ia harus fokus pada tujuannya.

Membawa Hinata ke restoran cepat saji, Sasuke menggeser saus cabai agak jauh dari priring Hinata. “Kuingat, sepertinya kau tidak terlalu suka makanan pedas?” Sasuke memastikan. Dalam hati Hinata terkejut. Apa Sasuke memerhatikannya? Dan ia masih ingat meski waktu sudah lama berlalu?

“Terima kasih. Aku memang tidak bisa makan makanan pedas.”

Hinata menaruh tas dan majalahnya di kursi samping. Memasuki waktu makan siang, Hinata melirik Sasuke yang menutup matanya selama beberapa detik sebelum menyantap makanan. Setelah Hinata pikir-pikir, sepertinya ia tidak terlalu memerhatikan Sasuke sebelumnya.

“Jadi, kenapa Sasuke-san ingin bertemu denganku?” Hinata memulai obrolan. Sembari menggigit ayam krispi yang dipesannya, Hinata menatap Sasuke menelan makanan.

“Aku sudah memikirkannya seminggu ini.” Hinata mengangkat alis, menunggu Sasuke kembali bicarara. “Tapi, aku ternyata tidak bisa menghentikannya.”

“Masalah hatimu, itu urusanmu, Hinata. Hatiku juga urusanku. Aku tidak tahu ini penasaran atau benar ketulusan. Jadi, bisakah kau izinkan dan bantu aku mencari tahu tentang perasaanku?”

Hinata terdiam selama dua detik sebelum melanjutkan kunyahannya. “Bagaimana dengan perasaanku? Aku belum sembuh.”

“Kau tidak perlu cepat-cepat membalasnya. Tapi, bisakah kau cukup tidak menolakku? Aku hanya butuh kau menerima perlakuanku. Biarkan aku lebih jauh mengenalmu.”

“Dan jika ternyata sudah jauh mengenal tapi kita tidak cocok?”

“Perpisahan akan lebih mudah diterima setelah semuanya diusahakan, ‘kan?”

“Apa ini karena keluargaku dan keluargamu?” Sasuke mengernyit. “Tidak.” Matanya memandang Hinata lekat-lekat. “Jauh sebelum kenyataan jika keluarga kita saling mengenal, aku memang tertarik padamu. Bukankah kau juga begitu? Sehingga kita bisa match?”

“Kau tahu? Ini juga yang pertama bagiku. Merasa plin plan dengan sikapku, sangat tidak Uchiha. Tapi kali ini aku yakin. Aku benar-benar ingin mencobanya.”

Hinata menatap dalam iris gelap Sasuke. Mencari kebohongan di dalamnya. Namun, semakin Hinata memandang, semakin ia tertarik untuk sama-sama mencari tahu. “Baiklah,” katanya. “Tapi... kita turunkan ekspektasi satu sama lain?” pintanya.

Mungkin tidak ada salahnya. Mengenal Sasuke Uchiha yang terlihat dewasa adalah sesuatu yang menarik. Katakan Hinata sempat ragu karena kehidupan sosial mereka, tetapi tidak ada yang salah dengan mencoba, kan?

“Oh ya, bagaimana ceritanya kau bisa mengidolakan Shikamaru Nara?” Sasuke mengganti obrolan, memancing Hinata untuk kembali bercerita. Langkah baru bagi Sasuke. Mereka mulai saling mengenal lebih jauh. Meskipun sesekali ia ingin membantah dalam hati, apakah Shikamaru Nara memang terlihat sekeren itu?

.

.

“Aku baru selesai bimbingan”

Hinata mengirim pesan pada Sasuke. Dua minggu sudah mereka mulai sering mengirim pesan. Musim panas sudah hampir berlalu. Perkuliahan sudah kembali dimulai. Hinata harus melanjutkan tulisannya, juga hidupnya.

“Hey, Hinata.”

Panggilan membuatnya menoleh. Dari sisi kanan seseorang mendekat. Orang itu berjalan canggung ke arahnya. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya.

Hinata masih diam. Menatap dengan tumpukan kertas dalam pelukannya. “Ah, aku bertanya pada Ino. Katanya kau ada bimbingan hari ini. Jadi, aku menyusulmu di jam istirahat,” terangnya.

“Baik. Bagaimana denganmu, Toneri?”

“Baik, tentu.” Hinata mengangguk-angguk. Berbulan-bulan tak berkomunikasi, kecanggungan terasa di antara mereka. “Kau sudah akan pulang? Atau... mau makan siang?”

“Boleh.”

Hinata kembali mengangguk-angguk. Ia mengikuti Toneri menuju kantin, kembali masuk ke dalam gedung fakultasnya. Dulu mereka, Hinata, Ino, dan Toneri, sama-sama berkuliah di fakultas ini. Meskipun Toneri berada di program studi yang berbeda.

“Aku ingin minta maaf.” Toneri bicara di sela makan. “Maaf karena sudah lama tidak menghubungimu, Hinata. Maaf, aku egois,” terangnya sambil menunduk.

“Kau benar. Aku sahabatmu. Seharusnya aku merasa cukup sampai situ. Kuharap tidak ada yang berubah di hubungan kita, Hinata. Lupakan omong kosongku.”

Hinata menatap dengan kunyahan pelan di mulutnya. Ia mengecap sebelum tersenyum. “Tentu. Tidak ada yang akan berubah.” Mereka saling bertukar senyum. Diam-diam keduanya merasa lega. Mereka akan kembali seperti sebelumnya. “Kau sudah bicara pada Ino?” tanya Hinata seraya menyendok makanan. “Dia juga sedang ada sedikit masalah. Yah, kita bertiga mungkin sama-sama punya masalah dengan perasaan.”

“Soal itu...” Hinata menyuap sambil menatap Toneri yang terlihat ragu-ragu. “Aku bersama Ino.” Hinata berdeham tak mengerti. “Maksudnya, aku dan Ino, kami berpacaran.”

“Uhuk! Uhuk!” Hinata menepuk dadanya sambil terbatuk. Menelan makanan dan minuman dingin yang dipesannya. “Kau tidak bercanda, ‘kan?” Toneri mengangguk. “Bagaimana bisa? Bukankah Ino...”

“Ya, laki-laki pecundang yang suka mengoleksi mobil-mobilan.”

Hinata mengingat-ingat. Ucapan samar Ino. Juga hobi Toneri yang suka memajang series mobil mainan di kamarnya sejak kecil. Kali ini, ia mendapatkan gambarannya.

“Astaga! Bagaimana bisa aku tidak sadar?!” Hinata merutuki diri sendiri. “Sejak kapan?”

“Dua minggu lalu.”

Hinata mengangkat alis. Sepertinya dua minggu lalu banyak hal yang terjadi. “Kau tidak bermain-main dengannya, ‘kan?” Hinata memicing curiga. “Tidak.” Toneri mengelak cepat. “Aku hanya merasa perlu mencobanya. Dia perempuan yang baik.” Hinata mengangguk setuju. “Kami sepakat untuk saling mengenal lebih jauh.”

“Benar. Hanya perlu mencoba dan mengenal,” bisik pelan Hinata. “Kau bicara sesuatu, Hinata?” Hinata menggeleng cepat. “Ha? Tidak. Tapi, aku senang mendengarnya. Sejak lama memang aku berpikir Ino akan cocok denganmu.”

“Benarkah?”

“Tentu saja.” Selanjutnya Hinata bicara dengan semangat. Beberapa mengenang memori saat mereka masih sama-sama menimba ilmu. Mana saja yang membuat Ino Si Pemberani cocok untuk Toneri Si Ragu-Ragu. Siang itu Hinata dan Toneri bicara banyak. Seperti sepasang sahabat yang sudah lama tak bertemu dan menumpahkan cerita di kehidupannya.

.

.

.

Sasuke membuka pintu sambil menguap. Masuk ke dalam kamarnya, ia menelengkan kepala beberapa kali. Mengurut dahinya yang masih pusing karena jetlag, Sasuke menaruh koper dan melepaskan pakaiannya. Ia bersiap untuk memasuki kamar mandi dan menyegarkan diri.

Sore ini Sasuke baru kembali ke Jepang setelah perjalanan bisnisnya di Singapura. Di tengah guyuran air, pikirannya masih penuh dengan kontrak kerjasama yang belum terselesaikan. Selesai dengan sesi mandinya, Sasuke melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya dan keluar dari kamar mandi.

Sasuke mengernyit. Pakaiannya yang berserakan di lantai menghilang. Begitu menoleh, ia malah mendengus. Melihat seseorang yang melakukannya.

“Sudah pulang, Sasu?” orang itu bangkit dari rebahannya di sofa. “Kau harus membiasakan diri tidak menaruh pakaian kotor sembarangan,” katanya.

Sasuke menggulirkan bola mata. Ia berjalan santai dengan air yang masih menetes dari rambutnya. “Apa yang kau lakukan di kamarku, Itachi?” tanya Sasuke sembari membuka lemari, mencari pakaian untuk tidur.

“Menyambutmu, tentu saja.” Itachi mengedikkan bahu. Ia berdecak melihat tetesan air di lantai. “Inilah kenapa Kakek ingin kau segera menikah, Sasuke. Agar saat kau pulang, ada orang yang mengurusmu.”

“Aku tidak akan mencari istri hanya untuk membersihkan lantai kamarku. Aku pun bisa membersihkannya sendiri. Kalau pun malas, itulah gunanya punya asisten rumah tangga, ‘kan?” Sasuke menenteng pakaian. “Sekarang, kalau kau hanya ingin menceramahiku setelah perjalanan panjang, keluarlah. Aku akan memakai baju.”

Itachi tak bergeming. Ia malah bertopang kaki dan memangku dagu, seolah berpikiri. Itachi bisa merasakan tatapan tak suka dari adiknya. Mereka beradu tatapan, tetapi Itachi kembali mengedikkan bahu. “Kau bisa pakai di kamar mandi, ‘kan?”

“Tsk.” Sasuke berdecak sebal. Namun, kakinya melangkah kembali ke dalam kamar mandi. Sambil memakai pakaian dan mendumel, Sasuke semakin sebal begitu keluar dan melihat kakaknya asik bermain gawai di sofa kamarnya.

Bukan, bukan bermain gawai masalahnya. Tapi, Sasuke jelas tahu gawai siapa yang dibuka oleh Itachi. “Apa yang kau lakukan?!” Sasuke berjalan cepat menuju Itachi.

“Mencari adik ipar.” Sasuke mengernyit pada layar gawai yang Itachi tunjukan padanya. “Cara lama sepertinya tidak bekerja untukmu. Jadi, kita coba cara modern. Aplikasi kencan. Kau bisa menyaring perempuan yang sesuai tipemu.”

“Lihat, aku sudah selesai membuat akun untukmu. Ini. Geser ke kiri kalau kau tidak tertarik dan geser ke kanan untuk menyukainya. Jika beruntung, kalian akan terhubung.”

Itachi memberikan arahan pada Sasuke dalam menggunakan aplikasi bernama Bumble. Langsung. Secara praktik menunjukkan penggunaannya.

“Hentikan. Jangan sembarangan menyentuh gawaiku, Itachi!” Sasuke merebut paksa gawainya. Ia mendengus dan berdecak berkali-kali. Mengomeli Itachi hingga suara denting dari gawai menarik perhatiannya.

Sasuke melirik gawainya. Sebuah pemberitahuan muncul. Katanya ia match dengan seseorang dan mendapatkan pesan dari seseorang tersebut. “Halo?” Sasuke membaca pesan yang masuk dengan kernyitan di dahi. Settt. Begitu lengah, gawainya kembali direbut oleh Itachi yang melarikan diri ke ranjang.

“Demi Tuhan, Itachi. Berhenti menggangguku. Aku bukan adik kecilmu lagi!” runtuk Sasuke.

“Oh, ya? Bagiku, berapa pun usiamu, kau tetap adik kecilku, Sasuke. Jadi, sekarang diamlah. Aku akan membuka jalan untukmu. Oke? Percayalah padakku, Adik.” Itachi mengerling. Sambil bersantai di sofa, ia mengirim pesan pada orang pertama yang match dengan akun adikknya. “Hi, boleh berkenalan?”

Sasuke terus-terusan berdecak, menghela napas, dan menggeram menatap kakaknya yang terlihat asik memainkan gawainya. Itachi dan tingkah konyolnya entah yang ke berapa kali. Sasuke putuskan untuk mengambil tab, membaca laporan pekerjaan sambil menunggu. Biar saja. Sasuke yakin sebentar lagi Itachi akan bosan karena ia abaikan.

“Oke, selesai.”

Seruan Itachi membuat Sasuke melirik. Kakaknya terlihat senyum dengan alis yang terangkat. Lalu, Itachi bangkit dan berjalan mendekat.

Puk. Itachi melempar pelan gawai Sasuke ke arah adiknya. “Selasa malam. Kau akan bertemu dengannya. Ingat, kau harus bertemu dengannya, Sasu. Percayalah, ia cantik dan...” Itachi bersiul singkat, “menarik.”

Tak lama Itachi keluar dari kamar Sasuke, masih dengan senyuman konyol di wajah. Sasuke hanya kembali mendengus. Ia membuka gawainya yang tadi dilemparkan. Melihat histori pesan yang Itachi kirimkan. Membuka profil orang yang tak sengaja match dengannya. Sasuke bergulir hingga foto terakhir. “Hinata Hyuuga, ya?” gumamnya pelan.

.

.

“Kau memikirkan sesuatu?”

Sasuke berdeham dan menoleh, ia menemukan Hinata sudah masuk ke dalam mobilnya. “Kutanya, kau sedang memikirkan sesuatu?” Hinata mengulangi pertanyaannya. Dengan alis yang terangkat, ia tadi melihat Sasuke sempat termenung selama beberapa saat.

“Tidak ada.”

Hinata mengernyit singkat, memicing curiga. “Baiklah.” Lalu, ia tak ambil pusing. Hinata mengeluarkan wadah yang dibawanya. “Sebelum kita pergi, aku ingin kau mencoba sesuatu.” Hinata menunjukkan wadah berisi kue. “Aku memasaknya. Cobalah.”

Disodorkan sepotong kue di depan mata, Sasuke tidak punya pilihan selain memakannya, kan? Apalagi dengan tatapan berharap Hinata, laki-laki itu hanya bisa membuka mulutnya dan mengunyah kue masakan Hinata.

“Bagaimana?”

Hinata bertaya penuh harapan. Memerhatikan setiap kunyahan yang Sasuke lakukan. “Enak.” Sasuke berkomentar singkat. “Dan.... manis?”

Hinata terkekeh pelan. “Tentu saja itu manis, Sasuke-san. Itu kue bolu dan seperti yang kau tahu, aku suka makanan manis,” katanya sembari mengangkat alis dan tersenyum.

“Oke. Jadi, kita makan siang dulu?” ajak Sasuke. Hinata mengangguk sembari merapikan wadah kue bolunya. Ia berencana akan mengemilnya selama perjalanan mereka hari ini.

Berjalan menuju distrik Nerima, Hinata dan Sasuke mengunjungi restoran cepat saji khas Brazil. Mereka duduk di tengah. Seolah biasa, Hinata memesan dengan akrab pada pelayan.

“Kau suka makanan cepat saji, ya?” Sasuke memulai obrolan. “Tentu saja. Mereka cepat, ‘kan?” Hinata mengangkat sebelah alis sambil tersenyum pada pelayan yang menaruh pesanan mereka dalam hitungan menit. “Gracias.”

“Dan yang terpenting... ini.” Hinata mengangkat satu hidangan. “Tapioca coklat mereka sangat enak. Dan manis.” Hinata mulai menggigit tapioca, mengunyah dengan lelehan coklat yang membuatnya senang. Dengan mulut yang penuh, Hinata menyodorkan ujung tapioca lain pada Sasuke. Namun, lelaki itu menggeleng dengan cepat.

“Tidak, terima kasih. Aku sudah cukup makan makanan manis.”

“Sasuke-san... tidak suka makanan manis?” Hinata bertanya setelah ia selesai mengunyah. “Aku kurang terlalu suka.”

Trak. “Kenapa?” Hinata bertanya usai menaruh tapioca kembali ke atas meja “Bukankah Sasuke-san beberapa kali mengajakku makan dessert? Juga memberiku cukup banyak coklat sebelumnya.”

“Yah, aku hanya membawamu ke tempat yang kau suka. Dan masalah coklat itu...” Sasuke menghembuskan napas. “Well, sebenarnya aku membelikan oleh-oleh untuk keponakanku. Tapi saat kita bertemu, aku jadi ingin memberikannya untukmu.”

.”Jadi aku second choice?” Sasuke mengernyit tak mengerti. “Maksudnya, pilihan kedua. Awalnya oleh-oleh itu bukan untukku, ‘kan?”

“Ah.... Tidak. Bukan begitu. Aku hanya senang melihatmu senang. Maksudnya. –aku”

“Hahaha. Aku hanya bercanda!” Hinata memotong ucapan Sasuke sambil terkekeh. “Terima kasih sudah memberikannya padaku, Sasuke-san.”

Hinata tersenyum lembut. Senyuman yang terlihat begitu damai bagi Sasuke. Selama beberapa saat Sasuke hanya fokus pada bibir Hinata, meskipun ada coklat yang menempel di ujungnya.

Kres. Hinata melanjutkan makan tapioca, merekomendasikan Sasuke makanan lain yang tidak terlalu manis. “Bisa kau hentikan, Hinata?” Hinata berhenti mengunyah, bingung. Sepertinya ia terlalu banyak bicara. “Bisa kau berhenti memanggil namaku dengan formal? Kurasa sudah saatnya kita bicara lebih santai satu sama lain.”

“Bagaimana kau ingin aku memanggilmu?”

“Sekarang terdengar lebih baik. Mungkin kau juga bisa memanggil namaku tanpa nama keluargaku. Well, apapun yang menurutmu nyaman dan tidak membuat aku merasakan gap usia kita.” Hinata terkekeh pelan. “Baiklah, Sasuke,” ucapnya sembari tersenyum simpul.

“Omong-omong, besok lusa aku akan pergi.” Hinata mendengarkan. “Urusan pekerjaan ke Meksiko. Yah, kebetulan sekali kan kita makan di restoran ala Spanyol?” tanyanya retoris. “Seperti yang pernah aku bilang, kuharap kau dapat mengerti.”

Hinata mengernyit dan berdeham. “Mengerti apa?”

“Mengerti aku.” Belum sempat Hinata bertanya lagi, Sasuke menerangkan. “Mengerti keadaanku yang mengharuskan aku beberapa kali pergi untuk mengurusi pekerjaan. Dan selama itu, mungkin aku akan cukup sulit dihubungi.”

“Kau juga pernah bilang, kau tidak keberatan dengan pasangan yang sibuk, ‘kan?” lagi, Sasuke bertanya padahal sudah tahu jawabannya. “Aku juga akan tetap berusaha mengabari dan meminta pengertianmu. Bagaimana menurutmu?”

Hinata kembali tersenyum. Ia merasa tersentuh, bagaimana Sasuke ternyata cukup dewasa.

“Tentu saja aku tidak keberatan. Aku sadar jika aku bukan anak-anak lagi. Dan melihat usahamu, tentunya aku pun juga harus berusaha untuk kita saling mengenal, ‘kan?”

Itu yang Hinata ucapkan beberapa hari lalu. Tapi, sepertinya perbuatan tidak semudah ucapan. Ia merasa galau. Dikirimi pesan hanya beberapa kali dalam sehari. Sasuke yang lambat membalasnya. Belum lagi perbedaan jam antara Jepang dan Meksiko yang mengganggu. Sudah jelas Hinata kesepian.

“Bisa kau berhenti menghela napas dan membolak-balikkan badanmu terus, Hinata?” suara dari arah kompor membuat Hinata sedikit mendongak. “Kau bilang habis membaca quotes bahwa hubungan itu berdasarkan kepercayaan. Jadi, stop panik begitu!”

Gerutu Ino membuat Hinata berdecak sebal. Mengerucutkan bibirnya. “Lagipula, kau tidak mau coba cari kesibukan? Bekerja mungkin?” Ino dan Hinata berpandangan. “Bukan di tokoku. Cari kesibukan yang lain saja. Membantu mengurus peternakan ayahmu atau panti di Hyougo misalnya.”

Ino berkacak pinggang sembari menatap rebusan mie instan yang dimasaknya. “Ingat, Hinata,” Ino kembali berbalik dan bertatapan dengan Hinata. “Kau juga harus meningkatkan dirimu. Apalagi pacarmu itu seorang Uchiha. He is a fckn Uchiha!” paniknya sendiri.

“Kami belum berpacaran!” Hinata merengut, tapi ia juga bangun terduduk setelah Ino selesai memasak mie instan dan duduk di sampingnya. “Lagipula, bukankah ada hal yang lebih penting?” Ino mengernyit bingung. “Kau! Bagaimana bisa kau berpacaran dengan Toneri?”

“Apa? Itu rahasia!” Ino mengelak. “Oh ya? Aku jujur padamu tapi kau tidak mau?” Ino mengangguk sambil mencebik. “Pelit. Egois. Sahabat macam apa –yang”

TOK TOK

Hinata dan Ino terdiam. Bertatapan karena bingung mendengar suara ketukan pintu. Ketika suara ketukan kembali didengar, Hinata bangkit untuk membuka pintu.

“Hinata Hyuuga?”

Hinata mengernyit bingung menatap seorang pemuda berdiri di depan flatnya. Membiarkan pintu terbuka agar Ino juga dapat melihat, Hinata mulai menanggapi. “Ya. Siapa?”

“Kami dari Oishii Mart. Untuk barangnya bisa kami taruh di mana?” Hinata menunduk, ia baru sadar jika si pemuda membawa dus agak besar dan ada satu kantung belanja di sampingnya. “Aku tidak memesan apa pun.”

“Ini pesanan yang ditujukan untuk Hinata Hyuuga dari Sasuke Uchiha?” si pemuda berambut biru terang itu membaca dokumen yang dibawanya.

Hinata menengok, bertatapan dengan Ino yang memerhatikan. “No way!” pekiknya. “Ia mengirimimu satu dus jus dan sekantung jeruk segar karena kau bilang terbiasa meminumnya setiap hari?!”

It’s a fckn Uchiha’s thing!” Ino mengomel dengan gelengan kepala. Sementara Hinata tersenyum kecil. Mungkin ia tidak terlalu kesepian?

.

.

“Kenapa menatapku seperti itu?”

Sasuke melirik bingung Hinata yang seharian ini menatapnya aneh. Satu setengah minggu akhirnya berlalu. Mereka akhirnya kembali bertemu dan makan malam di kedai kecil sudut kota atas permintaan Hinata. “Tidak papa.”

Perempuan itu berpaling sambil tersenyum-senyum, membuat Sasuke semakin penasaran. “Hinata, ada apa?” Sasuke menyentuh bahu Hinata, meminta si perempuan menatapnya.

“Hah...” Hinata menghela napas. Ia mengambil tangan Sasuke dan menggenggamnya di atas paha. “Aku hanya senang. Kau begitu baik padaku. Meskipun kau jauh, kau tidak melupakanku,” ujarnya sembari menatap tautan tangan mereka. “Terima kasih atas jus dan jeruk yang kau kirimkan, Sasuke.”

Hinata mendongak. Tersenyum lembut yang membuat Sasuke terdiam selama beberapa saat. “Kukira ada apa.” Trak. Sasuke menggeser gelas berisi ocha hangat di depannya. “Jadi, bisa kita kembali bicara?” Hinata mengangkat alis. “Sejauh apa hubunganmu sebelumnya?”

Hinata merengut. Sasuke mulai ingin tahu lebih jauh tentang dirinya sejak bertemu di mobil. “Seingatku dulu kami berpacaran tak jauh beda seperti orang lain. Saling mengirim pesan, makan bersama, saling mendukung satu sama lain.”

“Tidak ada sentuhan seperti ini?” Hinata menunduk, memerhatikan tangan Sasuke yang membelai-belai tangannya dalam genggaman. “Tentu saja ada pegangan tangan.” Sasuke menatap iris Hinata, meminta jawaban lebih. “Dan... lebih, mungkin?”

“Sejauh mana?”

Hinata menggigit bibir bawah, mengecapnya. Ia meneguk ludah sekali. “Rahasia.” Jawabnya cepat sembari melepaskan genggaman tangan mereka dan sedikit membuat jarak.

“Kau sendiri bagaimana? Seserius apa hubunganmu sebelumnya?” Hinata menunggu jawaban. Menunggu Sasuke meneguk ocha dan menaruh gelas hingga menimbulkan bunyi. “Aku belum pernah punya pacar.”

“Serius?” Hinata memicing curiga, tapi gestur Sasuke terlihat meyakinkan. “Sama sekali?”

“Sama sekali.”

Sasuke kembali meminum ocha, menghabiskannya. “Jadi secara teori kau yang lebih berpengalaman, Hinata.”

“Berpengalaman apa?”

“Berpengalaman pacaran, ‘kan?” Hinata mengedikkan bahu. Ia juga ikut-ikutan meneguk ocha dan menyisakan sedikit isinya.

Pemandangan itu membuat Sasuke tersenyum kecil. Kini gilirannya menunggu Hinata selesai minum sebelum kembali mendapatkan atensi. “Karena kau lebih berpengalaman, mungkin kau bisa mengajariku, Hinata.”

“Mengajari apa?” Sasuke mengetukan jari di meja. “Cara berciuman, mungkin?”

Napas Hinata terhenti selama beberapa saat. Ia terkejut dengan ucapan Sasuke yang membuat pipinya sedikit memerah. “Atau kau lebih suka aku yang menciummu lebih dulu?”

Hinata memundurkan badannya ketika Sasuke mencondongkan tubuh ke arahnya. Jantungnya seketika berdegup-degup. “Aku...” Hinata mengalihkan pandangan dan meneguk ludahnya lagi.

Lain halnya dengan Sasuke. Ia merasa kurang nyaman dan penasaran karena Hinata merahasiakan hal darinya. Di depan matanya, ia fokus memerhatikan gerak-gerik Hinata. Bagaimana iris indigo itu memutus pandangan. Bagaimana Hinata meneguk ludahnya. Dan bagaimana bibir merah muda itu menarik atensinya sejak lama.

“Boleh aku menciummu, Hinata?”

Pandangan mereka kembali bertemu. Hinata semakin tegang. Duduk di meja bar kedai, kursi yang didudukinya tak ada sandaran hingga Hinata memegang erat sudut kursi. Di depannya Sasuke terlihat sedang menunggu jawaban. Pelan tapi pasti, Sasuke mendekat setelah mendengar Hinata berdeham.

Matanya tertutup, Hinata tak bisa melihat Sasuke yang sempat ragu untuk menciumnya. Cup. Bibir mereka akhirnya bersentuhan. Sasuke membiarkannya selama beberapa saat sebelum mencoba mengecap bibir atas Hinata. Rasanya waktu seperti terhenti. Begitu dirasakan Hinata berusaha membalas kecupannya, mereka saling memagut lembut selama beberapa saat. Mengabaikan posisi mereka yang berada di kedai kecil sepi, tanpa pengunjung lain.

Malam ini rasanya bintang bersinar lebih terang dan lebih dekat. Hinata terus-terusan tersenyum sejak ia berpisah dengan Sasuke. Saat melihat pantulan wajahnya di cermin, barulah Hinata tersadar jika ia sepertinya sudah mulai gila.

Bruk. Hinata merebahkan diri di ranjang. Masih dengan wajah tersenyumnya, ia meraba pelan bibirnya yang sedikit berantakan.

Ting

Sebuah pesan masuk. Dengan terburu Hinata mencari gawainya yang ada di dalam tas selempang. Membuka pesan dengan harapan tinggi, Hinata kehilangan senyumnya saat membaca.

“Bisakah kau membalasku, Hinata? Kita benar-benar perlu bicara. Aku akan menjelaskan semuanya.”

.

.

.

“Bicaralah.”

Hinata mengabaikan sapaan basa-basi dari Kiba. Kemarin pria itu mengirimnya pesan. Sebenarnya bukan hanya kemarin. Hari-hari sebelumnya pun Kiba rutin mengiriminya pesan. Entah sudah berapa banyak semua pesan itu, dikirim hanya untuk diabaikan.

“Kau terlihat sehat,” kata Kiba. “Kau mau pesan sesuatu? Kopi?”

“Tidak perlu. Terima kasih. Aku sudah ada janji setelah ini,” tolak Hinata. “Jadi, bisa kita segera selesaikan pembicaraan ini?” pintanya dengan terburu.

“Oke, baik.”

Di depannya Kiba terlihat sedikit gelisah. Lelaki itu menggosokkan kedua telapak tangannya pada lututnya sembari membuang napas beberapa kali. Hinata memerhatikan dengan kernyitan di dahi.

“Hinata, aku ingin minta maaf padamu.” Kiba akhirnya menenangkan diri. Ia kini bisa menatap Hinata. “Selama dua tahun ini aku berpikir. Aku melukaimu. Aku telah membohongimu tapi aku tidak bohong jika aku terus memikirkanmu selama ini. Aku sampai-sampai membuka kafe kucing karena teringat padamu. Jadi, bisakah kita kembali berteman baik?”

Helaan napas terdengar. Ia bahkan tidak tahu musti senang atau kesal karena Kiba kembali mengungkit masa lalu. Terakhir kali Hinata ingat, mereka berpisah dengan tamparan dan isak tangis. Hinata bahkan lebih kesal karenanya Hinata jadi berkenalan dengan lelaki asing.

“Selamanya aku tidak akan pernah mengerti jalan pikiranmu, Kiba.” Hinata mulai bicara, menanggapi. “Kau tahu dengan jelas kalau kau akan dijodohkan dengan Ayame seusai studimu selesai. Hal itu bahkan sudah direncanakan sebelum kalian lahir.”

“Tapi, kenapa kau tetap mendekatiku lebih dari seorang teman? Melibatkanku dalam permasalahan yang hanya menyakiti kita semua. Aku, kau, Ayame, dan kedua orang tuamu.”

Hinata mengeluarkan semua isi hatinya yang mestinya ia utarakan dua tahun lalu. Lagi, Hinata menghela napas. “Semenjak memutuskanmu, aku sudah tidak ingin lagi berurusan denganmu. Jadi, aku mohon, tolong jangan hubungi aku lagi, Kiba. Tolong hargai Ayame yang sekarang ada di sampingmu.”

“Dan jika kau akan menggunakan Kiba sebagai alasan untuk menghubungiku, aku bisa mengembalikan dia padamu.”

“Kenapa?” Kiba mengernyit. “Bukankah kau menyayanginya?”

“Aku menyayangi Kiba, kucingku, tapi aku lebih menyayangi diriku sendiri. Aku bisa mengirim Kiba ke kafe kucingmu. Sungguh. Aku hanya tidak ingin terlibat denganmu lagi, Kiba.”

Keduanya terdiam agak lama hingga suara lirihan terdengar. “Aku hanya merindukan kita, Hinata.” Suara decakan terdengar. Jelas emosi Hinata kembali meningkat.

“Hentikan, Kiba. Sudah tidak ada kita di sini. Kau bersama Ayame, dan aku bersama pasanganku. Sudah. Aku sudah menerima permintaan maaf darimu. Aku anggap semuanya sudah selesai. Jadi, bisakah aku pergi? Aku sudah ada janji.”

Hinata sebenarnya bisa saja pergi begitu saja tanpa berpamitan, seperti dua tahun lalu. Namun, Hinata rasa ia tidak perlu lagi menanggapinya dengan menggebu. Maka dari itu, Hinata bangkit setelah mendapatkan anggukan dari Kiba. Semuanya sudah usai. Permintaan maaf sudah diterimanya. Jadi, semuanya sudah usai.

“Aku tidak mengerti kenapa dia harus repot-repot mengajakku bertemu.”

Memang sudah usai. Namun, Hinata tetap merasa perlu meluapkan kekesalannya pada seseorang. Dan seseorang yang kini ada di sampingnya harus rela mendengarkan keluh-kesahnya selama acara makan siang mereka.

“Yah, mungkin dia juga berusaha mengakhirinya dengan baik.” Hinata menoleh. “Kau pikir begitu, Sasuke?” pria yang ada di kursi pengemudi itu mengangguk. Ia mengambil satu tangan Hinata ketika mobilnya berhenti di lampu apil. “Setidaknya kini semua menjadi lebih jelas. Ia sudah mengutarakan perasaannya, begitu pun kau. Kalian tidak saling memendam lagi. Dan seperti katamu, semuanya sudah usai.”

Hinata baru sadar. Senyuman Sasuke terlihat sangat menawan. Sangat lembut dan menenangkan. Entah karena pembawaan usianya atau karena usapan pelan di tangannya, Hinata ikut tersenyum dan menjadi lebih tenang.

“Mau pergi mencari dessert? Gelato? Untuk membuat suasana hatimu jadi lebih baik.” Hinata mengangguk dengan semangat. “Oke. Tapi kita mampir ke pom dulu, ya. Aku perlu mengisi bensin dan ke toilet.”

Sasuke mengisi bensin mobilnya dan pergi memarkirkannya di dekat toilet. Keduanya sama-sama turun dari mobil. Lalu, mereka berpisah sebentar. Begitu selesai, Sasuke melihat Hinata sedang bermain dengan kucing di bangku dekat pintu toilet.

“Kau suka kucing?” Hinata menoleh sebentar pada Sasuke. “Ya. Mereka menggemaskan meskipun hewan liar,” jawabnya sembari membelai kepala kucing liar berwarna hitam.

“Aku punya satu kucing di rumah.” Hinata mulai bercerita ketika merasakan Sasuke duduk di sampingnya. “Namanya Kiba,” lanjutnya. “Yah. Dia kucing jantan yang Kiba, mantanku, hadiahkan padaku. Tapi sepertinya aku harus mengirim Kiba pada pemilik aslinya.”

“Kenapa? Bukankah dia sudah diberikan padamu?”

“Aku tidak ingin menyisakan apa pun dari hubungan lamaku.” Tangannya berhenti membelai kucing liar. Membuat kucing liar itu beranjak dan mendekati Sasuke.

Hinata tersadar setelah beberapa detik. Ia menoleh dan melihat Sasuke ikut bermain dengan kucing liar itu. “Kau juga suka kucing?” Sasuke berdeham sembari mengusap kepala si kucing hitam. “Yah, lumayan. Aku suka hewan peliharaan secara keseluruhan.”

Tidak tahu musti bereaksi apa selain ber-‘oh’ ria, Hinata hanya tertawa pelan melihat interaksi Sasuke dan kucing liar hitam. “Oh ya, omong-omong...” Sasuke memutuskan sentuhannya pada kucing liar, membiarkannya menggesekkan tubuh di kakinya. “Mau bertemu Hiiro?”

.

.

BIP BIP BIP BIP KLAK

“Guk! Guk!”

Suara gonggongan terdengar begitu Sasuke membuka pintu apartemennya. Lalu, muncul seekor anjing husky berwarna putih yag mendekat. “Hei, Hiiro!” Sasuke berjongkok. Menyambut anjing bernama Hiiro yang ia ceritakan. Sedang Hinata yang mengintil di belakangnya hanya kembali tersenyum.

“Tuan Sasuke.” Seorang pemuda berambut putih, dengan sedikit rambut hitam di tengahnya, muncul. “Saya baru selesai memandikan dan memberi Hiiro makan.”

“Terima kasih, Sasaki. Kau sudah boleh pulang.”

Si pemuda bernama Sasaki itu mengangguk sebelum pamit pergi. Selama itu Hinata masih diam. Matanya berpendar melihat sekeliling apartemen Sasuke yang dua atau tiga kali lipat flatnya.

“Kenapa diam saja, Hinata? Kau hanya suka kucing?” akhirnya atensi Hinata kembali pada Sasuke yang sudah berdiri. “Tidak. Aku hanya... tidak tahu kau tinggal di Koutou.”

Well, aku jarang ada di sini. Masih sering tidur di rumah keluargaku, di Shibuya. Makanya aku mempekerjakan Sasaki untuk mengurus Hiiro. Keluargaku kurang suka hewan, apalagi aku punya dua keponakan sejak tahun lalu.”

Hinata kembali menanggapi dengan satu kata simpel, oh. Setelah diizinkan, ia berjalan masuk ke dalam apartemen. Melihat ruang tengah yang luas dengan smart tv, dapur yang bersih, taman luar ruangan yang hijau, dan beberapa pintu rungan.

“Guk!”

Sesuatu menabrakkan dirinya ke belakang kaki Hinata, membuatnya hampir terjatuh. “Kau ingin perhatianku?” Hinata berbalik dan berjongkok, mulai meladeni Hiiro yang bertubuh gempal di usianya yang kedua tahun. “Kau tidak mau lepas dariku seperti seseorang,” sindirnya.

Sasuke berdeham mendengarnya. Menaikkan sebelah alis meskipun Hinata hanya tertawa menanggapinya. “Aku juga menyukaimu, Hiiro. Tapi aku harus mencari toilet.” Hinata bangkit, memutus kontaknya dengan Hiiro. Lalu, meminta sang tuan rumah menunjukkan arah menuju toilet seperti yang ia katakan.

Selesai bersih-bersih, Hinata melihat Sasuke berdiri di dapurnya. “Sudah selesai?” suara dehaman terdengar. “Di mana Hiiro?” Hinata mendekat ke arah dapur, berakhir duduk di salah satu kursi bar.

“Dia tidur di kandangnya. Ada di luar.” Sasuke menunjuk taman dengan dagunya. “Dan kau, apa yang kau lakukan?”

“Karena kita tidak jadi mencari dessert, aku mengecek kulkas dan menemukan stok es krim yang biasa keponakanku makan,” terang Sasuke sembari menunjukkan mangkuk yang sedang ia isi.

“Wow! Luar biasa! Kau pria yang berpenghasilan, punya tempat tinggal sendiri, penyayang hewan, dan sangat perhatian pada keponakan. Katakan, apa kekuranganmu, Tuan?”

Hinata mencondongkan tubuhnya ke arah Sasuke, melintasi meja bar dapur yang menghalangi. “Bukankah seharusnya itu kalimatku?” Sasuke menaikkan alisnya, mengundang gelak tawa dari keduanya.

“Jika harus menjawab tentang kekuranganku,” Sasuke menyerahkan satu mangkuk berisi es krim pada Hinata. “Hanya kau dan orang lain yang bisa menilainya.”

“Tugasku adalah melanjutkan hidupku dengan baik. Dan... menyediakan dessert untuk kau nikmati sembari menikmati tayangan di tv?” ajaknya.

Lagi, Hinata terkekeh pelan mendengarnya. Ia tersenyum sembari menggelengkan kepala, berjalan menuju ruang tengah dan duduk di sofa. Tak lama, Sasuke pun menyusul dengan dua gelas berisi air putih. Trak. Menaruhnya di meja dan duduk di samping Hinata.

“Mau menonton film komedi?”

Layar menampilkan cuplikan film komedia lawas. Hinata dan Sasuke menontonnya bersisihan. Sesekali Sasuke menoleh untuk melihat wajah tertawa Hinata di sela kegiatannya makan es krim. Hanya duduk bersisihan hingga Hinata selesai menghabiskan es krimnya.

Trak. “Filmnya lucu sekali!” Komentar Hinata. Usai memakan es krim, ia meneguk air yang Sasuke siapkan untuknya. “Terima kasih banyak, Sasuke.”

“Sama-sama.”

Mereka bertatapan, saling bertukar senyum. “Oh, ada es krim di sudut bibirmu.” Tanpa ragu Sasuke mengusap sudut bibir Hinata. Menghilangkan noda es krim yang kini berpindah ke jempolnya. Sasuke sempat berniat untuk bangkit, mengambil tisu untuk mengelapnya. Namun, Sasuke putuskan untuk menjilat noda itu. Mengecupnya dengan gerakan yang cukup sensual di mata Hinata.

Tentu saja Hinata terkejut. Ia bahkan membuka sedikit bibirnya ketika menyaksikan itu. Bingung akan berkomentar apa. “Sasuke, aku –ma”

CUP

Sasuke tidak ragu-ragu seperti kemarin. Ia dengan cepat mencium bibir Hinata. Bahkan perempuan itu tidak sempat menutup matanya.

Hinata terkejut dan sempat menahan napasnya selama sesaat. Namun, tak lama ia menutup matanya, membalas kecupan yang diterimanya. Sementara Sasuke menjadi lebih berani. Ia meraih kepala Hinata dengan satu tangannya, memperdalam ciuman mereka. Tangannya yang lain menggenggam satu tangan Hinata. Membelai, mengelus, dan meremasnya dalam ciuman yang lebih dalam.

Settt. Sasuke menarik Hinata agar duduk di pangkuannya. Ciuman mereka terputus, tetapi mereka menjalin pandangan satu sama lain. “Kau manis, Hinata.” Sasuke menyatukan kepala mereka. Kedua tangannya berpindah untuk memeluk punggung Hinata.

Sedang Hinata berusaha mengatur napasnya agar teratur. Tangannya berada di depan dada Sasuke. Detik demi detik berlalu. Ketika pandangan mereka kembali bertemu, bibir keduanya kembali bersatu. Memagut dengan perasaan yang lebih menggebu.

Tangannya berpindah. Melingkari leher Sasuke dan meremas pelan pangkal rambut Sasuke saat ia merasakan sentuhan di dadanya.

“Hhn...”

Desahan pelan terdengar. Mereka sudah tak peduli dengan tayangan yang ada di televisi. Sasuke semakin berani. Satu tangannya bergerak ke depan, menyentuh payudara Hinata. Bohong jika Sasuke tidak pernah membayangkannya. Mau ditutupi bagaimana pun, ia jelas tahu Hinata punya aset yang indah.

“Akh!”

Hinata memekik saat Sasuke meremas payudaranya. Ia memutuskan ciuman mereka, menatap penuh keraguan. “Maaf, Hinata.” Sasuke menyentuh sisi wajah Hinata. “Kita berhenti kalau kau tidak mau,” ucapnya sembari mengusap pelan wajah Hinata.

“Bukan begitu. Aku hanya....” Hinata menggigit bibir bawahnya. Ia menundukkan pandangan, berpikir sebentar. “Hmph.” Sebelum akhirnya ia memulai ciuman lebih dulu. Meremas rambut Sasuke, Hinata sedikit memajukan tubuhnya semakin merapat.

Sasuke kembali memainkan payudara Hinata dari luar. Meremas-remasnya sedikit terburu. Meskipun ini adalah momen yang ditunggunya, Sasuke berusaha untuk bersikap selembut yang ia bisa.

Desisan dan decakan terdengar terus menerus. Sasuke sudah pasti ingin lebih. Tangannya merambat turun, menuju hotpants yang Hinata gunakan. Tak. Melepaskan knotnya.

Hinata terkesiap. Dengan cepat ia menarik diri. Bangkit dari pangkuan Sasuke dan duduk di sampingnya seperti semula. “Tidak,” ujarnya pelan. “Kenapa? Kau ragu?” Sasuke menatap dengan kecewa. 

“Aku... belum pernah melakukannya.”

Kali ini, giliran Sasuke yang terkesiap. “Kau serius?” anggukan terlihat. “Kau bilang kau melakukan lebih dari pegangan tangan. Jadi, kukira kau sudah melakukan semuanya. Pelukan, pegangan tangan, –ciu”

“Tidak sampai benar-benar memasukkannya.” Hinata memotong ucapan Sasuke. “Aku... takut.” Kepalanya tertunduk. “Aku ingin melakukannya setelah menikah... mungkin?”

“Hei,” Sasuke meraih tangan Hinata. “Tidak papa. Kita tidak akan melakukannya kalau kau belum siap. Oke?” matanya bertubrukan dengan amethyst yang penuh keraguan. “Kau percaya padaku, ‘kan? Aku tidak akan menyakitimu.”

Cukup lama bagi Hinata hingga akhirnya ia mengangguk. Kemudian Sasuke kembali menariknya. Tidak seperti sebelumnya. Sasuke menarik Hinata dalam pelukan tanpa memindahkan tubuh perempuan itu. Mereka kembali bercerita. Menceritakan pengalaman seksual masing-masing untuk lebih mengenal. Mungkin memang begitu. Mereka cukup berbicara tanpa perlu mempraktikannya secara langsung. Mungkin.

.

.

“Cukup. Tugas akhirmu sudah cukup, Hyuuga. Sudah layak untuk diujikan.”

Rasanya Hinata berhasil mengangkat satu batu besar dari hidupnya. Akhirnya. Setelah berbulan-bulan ia mendapatkan izin dari dosen pembimbing untuk mengajukan sidang bagi tugas akhirnya.

“Kau hanya perlu mengumpulkan persyaratan administratif dan pihak akademik akan menerbitkan jadwal sidang untukmu. Jangan lupa buat ringkasan isi tugas akhirmu dalam bentuk power point juga.”

Hinata mendengarkan penjelasan Kakashi dengan saksama. Ia berulang kali mengucapkan, “Baik, Pak,” atau “Terima kasih, Pak,” atau “Saya mengerti, Pak.” Satu langkah lagi dan semuanya akan selesai, batinnya.

“Oh, ya, jika kau perlu latihan presentasi, kau bisa menghubungi saya, Hinata. Saya bisa menemani dan memberikan masukan,” tawar Kakashi.

“Baik, Pak. Terima kasih atas tawarannya. Nanti saya akan pertimbangan, Pak. Saya permisi.”

Hinata memang berkata demikian. Tapi ia tidak benar-benar menerima bantuan yang ditawarkan. Menurutnya, ia sudah cukup dengan dirinya sendiri. Apalagi ia merasa memiliki teman cerita, partner yang bisa ia hubungi jika perlu bantuan menyiapkan sidang tugas akhirnya jika diperlukan. (Note: Bukan bantuan seperti di ‘Look and Lock’ 17.5, ya)

Pikiran Hinata saat ini hanyalah bagaimana untuk segera menyelesaikan urusan akademiknya dan pergi berlibur setelahnya. Jadi, selama seminggu penuh ia bersiap. Berlatih dan menyelesaikan persyaratan yang diperlukan.

Hingga semuanya terbayar. Di penghujung semester, akhirnya Hinata benar-benar menyelesaikan studinya. Begitu para penguji menyatakan kelulusan tugas akhirnya, Hinata bisa keluar ruang sidang dengan perasaan lega.

“OMG! Selamat, Hinata! Akhirnya kau sidang juga!”

Sambutan Ino terdengar begitu Hinata keluar ruangan. Pelukan hangat dan senyuman diterimanya. “Selamat, Hinata. Kau hebat!” Komentar lain terdengar dari Toneri yang juga datang. “Ini. Kami membelikanmu bolu kukus coklat kesukaanmu.” Toneri mengangkat tangannya yang membawa satu bungkusan, menyerahkannya pada Hinata.

“Terima kasih banyak, Ino, Toneri. Aku senang ada orang yang datang ke sidangku.”

Ketiganya bertukar senyuman. Tak lama setelah melihat para dosen keluar ruangan dan pergi ke sisi gedung yang lain, mereka bercerita seputar sidang tugas akhir Hinata yang tertutup. Beberapa saat kemudian, Toneri menunjuk dengan dagunya ke arah belakang Hinata.

“Hei,” Hinata berbalik. “Selamat sudah merampungkan tugas akhirmu, Hinata. Aku tidak tahu kau suka atau tidak, tapi aku ingin memberikannya padamu.”

Sasuke datang membawa buket bunga. Ia menyerahkannya pada Hinata. Dihirupnya bunga itu oleh Hinata. Ia tersenyum seusainya. “Terima kasih, Sasuke. Aku senang kau menyempatkan datang di sela kerjaanmu.”

“Tidak papa.”

Hinata dan Sasuke berbincang berdua. Membuat Ino dan Toneri berbisik di belakang. “Hey, Hina!” panggilan Ino meminta perhatian. “Kau sudah mengabari keluargamu?”

“Ah, ya. Aku belum mengabari mereka,” rutuk Hinata. Ia segera bergerak menuju barang-barangnya yang ditaruh di kursi koridor. Mengambil gawai yang rupanya bergetar karena ada panggilan masuk. “Halo? Hanabi? Aku baru selesai keluar –ru”

“Kak.... Hiks.... Kak.... Kiba mati.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bumble Trouble 16 | Extended ver
5
0
SasuHina di Paris. Sebuah momen bergairah yang mengalahkan panasnya tenggorokan tersiram campuran gin dan tonik.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan