
Sinopsis singkat:
Kehidupan pernikahan Sophia dan Albert dipenuhi dengan perang dingin. Mereka tidak pernah memiliki kecocokan terhadap satu sama lain, tapi terpaksa menikah karena dijodohkan. Albert yang terkenal sebagai casanova tampan, ditambah Sophia yang terkenal dengan sikap arogannya.
Namun diam-diam, Sophia jatuh cinta pada Albert. Dan Sophia tahu bahwa Albert juga diam-diam menyimpan hasrat dan gairah tersembunyi padanya.
Lantas, bagaimanakah cara Sophia membuat Albert jujur pada perasaannya...
THE CASANOVA'S WIFE chapter 01 - The Ball
Sophia menatap nanar pada sekelilingnya. Di tengah hiru-pikuk pesta yang meriah, dia berdiri seorang diri di pojokan, berharap tidak seorang pun memperhatikannya berada di sana. Pakaian yang malam ini dikenakannya terasa menggelitik kulit, begitu pun dengan berlian yang menghiasi leher dan tangannya. Tidak ada hal lain yang ingin Sophia lakukan selain melepas semua itu dari tubuhnya dan keluar dari tempat ini.
Aku ingin pulang, batin Sophia berulang kali. Dia sudah muak berada di pesta semacam ini. Tidak ada satupun orang yang memperhatikannya, sekalipun itu yang ia inginkan, Sophia tidak bisa menampik perasaan sedih di dadanya.
Tatapan Sophia kemudian berlabuh pada sosok tinggi Albert Raymond, suaminya, yang saat ini berdiri dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik bak super model yang berlomba-lomba mencari perhatiannya. Sophia mendengus, lalu ketika tatapan Albert teralih padanya, Sophia mengalihkan pandang.
Cukup sudah! batinnya dengan muak. Dia berjalan ke arah meja yang dipenuhi suguhan makanan menggiurkan, lalu mengambil segenggam permen cokelat dari mangkuk dan melangkah pergi.
Sekalipun berita hangat mengenai pernikahannya sebelas bulan lalu sudah berlalu, Sophia masih sering mendengar gosip-gosip tidak mengenakkan dari banyak orang juga artikel-artikel berita di internet.
Hampir semua orang tahu bahwa kehidupan pernikahannya tidak baik, tidak pernah baik, hubungan ini sudah hancur bahkan sebelum dimulai.
Maka dari itu, Sophia memutuskan menghindar lebih jauh dari cahaya, ke sebuah balkon di koridor yang memiliki cahaya minim. Dia tidak punya teman, tidak ada satu pun orang yang dapat dipercayainya, dan tidak ada satupun dari mereka yang juga mau berteman dengannya.
Sophia terkenal sebagai perempuan dingin, ahli waris yang manja dan sombong. Tidak pernah ada satupun orang yang benar-benar dekat dengannya untuk bisa mengungkapkan seperti apa Sophia sebenarnya. Namun, mereka cukup tahu dari kelakuan perempuan itu yang nyaris tidak pernah tersenyum, lebih suka sendiri, dan menatap lawan bicaranya dengan dingin.
Sophia juga pernah beberapa kali membaca tagline di salah satu majalah gosip, yang mengatakan kemalangan Albert Raymond menikahi perempuan sepertinya. Saat itu, Sophia hanya mendengus dan merobek majalah itu menjadi dua lalu membuangnya, karena jika ada yang malang dalam hubungan ini ... itu adalah dirinya sendiri. Albert telah mendapatkan apa yang pria itu inginkan, sedangkan ampasnya yang tidak berarti dia lemparkan pada Sophia.
Malam ini, batin Sophia pedih, Albert mungkin tidak akan pulang ke rumah lagi. Dia melihat wanita cantik berambut pirang, bertubuh seksi, menempeli Albert nyaris sepanjang pesta itu berlangsung, padahal sudah sangat jelas Albert datang bersama istrinya. Tapi karena rumor-rumor sialan itu, Sophia hanya dianggap sebagai serangga pengganggu oleh mereka, yang sangat tidak berarti.
Kau berarti bagi seseorang, kalimat Albert lima tahun lalu yang tiba-tiba saja terngiang di benak membuat Sophia ingin tertawa terbahak-bahak. Setiap perkataan yang Albert katakan pada malam di kapal itu, sekarang terdengar seperti omong kosong.
Aku tidak berarti bagi siapapun, batin Sophia. Bahkan bagi suaminya sendiri, keluarganya, teman-temannya, Sophia tidaklah berarti.
Sophia menggigit permen cokelatnya sambil mendengus, kapan memang hidupnya pernah berarti?
Sementara itu, Albert yang dikenal sebagai playboy, tetap dicap seperti itu dan diperlakukan seperti itu juga. Digilai oleh banyak wanita karena tampang dan hartanya yang melimpah. Wanita datang silih berganti di kehidupannya bahkan sebelum dan sesudah pernikahan ini berlangsung. Sophia tidak bisa menyalahkan Albert sepenuhnya, ini juga salahnya sendiri karena membiarkan sisi dirinya yang lemah terjun dalam kesengsaraan ini.
Orang-orang pernah berharap bahwa kehadiran Sophia di kehidupan Albert dapat merubah tabiat laki-laki itu. Namun, manusia tidak bisa berubah sebesar itu. Terlebih lelaki seperti Albert. Selamanya, dia akan menjadi dirinya yang sekarang, bermain-main dengan wanita dan bersenang-senang dengan uangnya.
Sophia menghela napas, menopang kedua tangannya pada birai balkon, menatap kemerlap lampu warna-warni di taman. Tinggal satu jam lagi pesta ini akan berakhir. Ya, Sophia menghitung dengan muak setiap menitnya. Hanya menunggu sesi dansa dimulai, setelah itu acara inti dan semua orang perlahan-lahan akan kembali ke dalam limusin mereka.
“Kau tidak mau berdansa denganku?” tanya sebuah suara di belakang Sophia.
Sophia tidak menjawab, menggigit satu lagi permen cokelatnya. Kata orang, cokelat dapat membuatmu merasa lebih baik, walau sampai sekarang Sophia belum bisa membuktikan kebenarannya. Dia menikmati cokelat karena rasanya, bukan karena pengaruh yang cokelat berikan padanya.
“Enyahlah, Albert,” cerca Sophia ketika Albert berdiri di sampingnya. Bahkan dengan sambutan yang sangat tidak baik itu, Albert tidak merasa tersinggung dan malah berdiri di dekat Sophia.
Sophia menjauh darinya karena aroma parfum menyengat Albert, tapi Albert justru mendekat padanya, sampai Sophia menghentikan lelaki itu dengan menahan dadanya. “Kenapa kau malah mendekat?!”
“Kenapa kau menjauh?”
“Karena parfum sialanmu!”
Albert mengerti, lalu berdiri sejauh mungkin dari Sophia. “Ini pasti karena si pirang bodoh itu,” gumam Albert, membaui tubuhnya sendiri.
Sophia mendelik padanya. “Jangan mengatai sembarang perempuan bodoh seperti itu. Kalau mereka bodoh, maka kau lebih bodoh karena telah meniduri orang bodoh.”
Albert menatapnya geli. “Sekarang kau tampak seperti istri pencemburu.”
Sophia mendengus dalam hati, karena kenyataannya memang benar, bahwa dia cemburu. Tapi, Albert tidak tahu apa pun. Sejauh yang Sophia ketahui, Albert membencinya, dan sedikit pun tidak peduli padanya. Dan Albert pun hanya tahu bahwa Sophia juga membencinya sebesar dia membenci lelaki itu.
“Kenapa kau di sini?” tanya Sophia. “Bukankah di sana lebih menyenangkan?”
Albert terkekeh. “Suami macam apa aku ini kalau meninggalkan istriku berpesta seorang diri?”
Sophia sedikit pun tidak merasa tersanjung oleh ucapannya. Hatinya semakin mengeras. Karena Sophia sangat mengetahui alasan mengapa Albert memilih mendatanginya ketimbang melanjutkan kesenangannya. Ada dua alasan; Pertama, tidak ada perempuan yang cukup menarik untuk diajaknya bersenang-senang. Kedua, formalitas.
Jadi kali ini, Sophia bertanya-tanya; yang mana?
Mungkin yang nomor dua.
“Aku ingin pulang,” kata Sophia, sebelum berbalik pergi.
Dan seperti dugaannya, Albert sama sekali tidak mencoba menghentikannya. Namun, ketika telah sampai di mobil yang siap membawanya pergi, Albert membuka pintu dan duduk di sebelahnya.
Sophia menatapnya dingin. Dia menambahkan satu lagi alasan, yaitu bosan.
***
THE CASANOVA’S WIFE chapter 02 - Hot News
“Mr. Raymond, Anda memiliki beberapa panggilan beruntun dari Miss Cecilia.”
Albert menjatuhkan pena di tangannya dengan muak, lalu menatap bawahannya dingin. “Maurice, kau berani mengganggu pekerjaanku dengan alasan setidak penting itu.”
Maurice, sekretarisnya, menunduk dalam. “Maafkan saya, Sir, tapi seperti yang saya katakan, panggilannya datang secara beruntun sedari tadi, jadi saya berpikir mungkin ada hal penting yang ingin Miss Cecilia bicarakan.”
“Keluar!” titah Albert dengan dingin.
“Ya, Sir.” Maurice langsung keluar dari ruang kerjanya.
Setelah itu, Albert melepas kacamatanya, menghempaskannya ke meja, lalu memijat pangkal hidungnya sambil menahan rasa pening di kepala dan matanya yang terasa lelah.
Dia baru saja memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang telah menjalin hubungan dengannya selama lima hari. Lima hari yang sama sekali tidak berarti. Albert memutuskan wanita berambut pirang itu sesaat setelah dia menyinggung masalah keseriusan hubungan mereka.
Albert tidak butuh dan tidak menginginkannya sedikit pun.
Hubungannya bersama kekasih-kekasihnya selama ini hanya sebatas seks saja, tidak pernah lebih dari itu. Albert sebagai pria yang prima tentu saja memiliki gairah yang besar. Dan kontrol dirinya nyaris sama besar dengan gairah yang ia miliki itu. Tapi untuk apa dia menahan-nahan diri di saat perempuan-perempuan itu melemparkan diri mereka padanya secara sukarela? Albert tentu saja menyambutnya dengan tangan terbuka, selama yang perempuan-perempuan itu inginkan sama seperti yang Albert juga inginkan. Bahkan juga tidak lupa, Albert menghadiahi perempuan-perempuan itu dengan pakaian dan perhiasan-perhiasan mahal.
Selama empat tahun belakangan, Albert tidak pernah kesusahan untuk menyalurkan gairah seksnya. Dan semenjak kejadian yang membuatnya tidak lagi memandang tinggi kaum perempuan, nama Albert merebak sebagai playboy incaran banyak wanita.
Dan memang benar, dia adalah seorang billionaire playboy, bahkan setelah menyandang status sebagai suami pun, kelakuannya masih sama, dan Albert pun tidak berniat mengubahnya. Terlebih, setelah mengetahui kelakuan istrinya yang super dingin dan sama sekali tidak menaruh perhatian padanya, tekad Albert semakin kuat untuk bermain-main.
Albert menikahi Sophia semata-mata untuk keperluan bisnis yang ayah gadis itu tawarkan padanya. Bisnis dengan keuntungan yang tidak bisa diabaikan. Dan sepertinya, Louis Abraham juga berpikir hal yang sama.
Ketika ayah gadis itu memberikannya si anak bungsu sebagai bentuk pertalian erat perjanjian mereka, Albert tidak menolak. Dibanding kedua kakaknya, Sophia jauh lebih tertutup dan pendiam. Kriteria yang sangat cocok dengan Albert, karena dengan itu dia tidak akan menuntut apa pun seperti perempuan-perempuan yang selama ini bersamanya.
Albert sempat berpikir untuk serius pada pernikahannya, namun setelah malam pengantin mereka di mana Sophia menolaknya secara mentah-mentah, Albert langsung berubah pikiran. Terlebih, setelahnya Sophia tampak tidak peduli dengan apa pun yang Albert lakukan.
Si gadis manja yang sombong, itulah yang Albert pikirkan.
Albert bahkan terkadang lupa bahwa dia tidak sendiri tinggal di rumah. Karena Sophia lebih sering mengurung diri di kamar. Sehingga Albert merasa bahwa kehidupan pernikahannya tidak jauh berbeda dengan masa lajangnya. Sophia sedikit pun tidak berniat melakukan tugasnya sebagai istri, begitu pun dengan Albert. Maka status mereka hanya tercatat di secarik kertas, tidak lebih dari itu.
Malam ini, setelah berhasil keluar dari segala kesibukan pekerjaan, Albert pulang ke rumahnya, di malam Jumat seperti biasa. Dia mendapati keadaan rumah yang sepi dan sunyi. Padahal dari laporan pegawai rumahnya, Sophia tidak pernah keluar kemana pun semenjak pesta itu.
Apa yang perempuan itu lakukan di kesehariannya?
Albert memang tidak terlalu peduli, hanya penasaran.
Dia langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci diri di dalam. Albert melonggarkan dasinya, melepas pakaiannya dan masuk ke kamar mandi. Setelah itu, dia membaringkan tubuhnya ke atas ranjang.
Tatapannya menatap langit-langit kamar, pada coretan-coretan cat yang abstrak. Namun, setelah lama berbaring, Albert tidak kunjung merasa kantuk. Napasnya semakin berat dan dia bangkit untuk menaikkan suhu ruangan. Setelah itu, Albert berbaring, dengan selimut yang ia hamparkan menutupi tubuhnya.
***
Pada Jumat pagi, Sophia keluar dari kamarnya untuk sarapan. Sejenak, dia berhenti di depan pintu kamarnya, menoleh ke kiri, pada pintu cokelat tua yang tertutup rapat. Lalu Sophia melanjutkan langkahnya lagi dan menepis pemikiran tidak perlu di kepalanya.
Albert hanya memperkerjakan satu pengurus rumah, Mrs. Florence, atau Dana. Saat ini, wanita paruh baya itu tengah memasak sarapan di dapur. Sophia pernah berkeinginan untuk membantunya dalam hal memasak dan bersih-bersih, akan tetapi dia tidak pernah berhasil melakukan semuanya dengan benar. Dia tidak bisa memasak. Dia juga tidak bisa bersih-bersih.
Sophia menoleh ke arah tangga, pantas saja Albert tidak pernah menganggapnya, dia tidak cocok menjadi istri. Sophia sangat sadar diri pada kekurangannya itu yang terkadang menjadi sangat memuakkan. Tidak peduli sekeras apa dia mencoba, Sophia tidak pernah bisa melakukannya. Ditambah juga dengan perilaku Albert yang sama sekali tidak mencerminkan seorang suami, melenyapkan motivasi Sophia untuk menjadi seorang istri yang baik.
Sekarang, sembari menunggu Dana selesai membuatkannya panekuk, Sophia membaca artikel berita terkini dan mendapati sebuah berita mengenai tandasnya hubungan Albert Raymond dengan selingkuhannya.
Berita tidak penting, dengus Sophia dalam hati. Namun, dia tidak bisa menyingkirkan perasaan lega di dadanya yang muncul begitu saja setiap kali berita sejenis ini muncul. Akan tetapi, hal itu tidak cukup mampu untuk membuatnya berharap terlalu tinggi. Albert tetaplah Albert. Dalam beberapa hari lagi, gosip dirinya yang telah menggandeng wanita baru akan keluar. Anehnya, berita tidak penting itu, tetap dimuat pada halaman gosip untuk kaum wanita yang dipenuhi rasa penasaran oleh sosok Albert Raymond, si playboy yang paling diminati.
“Kenapa kau membaca berita semacam itu sepagi ini, Dear? Jangan merusak harimu dengan bacaan-bacaan tidak bermutu seperti itu,” komentar Dana yang telah meletakkan sepiring panekuk berlumur sirup bluberi dan segelas jus tomat segar di hadapan Sophia.
Sophia hanya tersenyum membalas ucapan Dana itu. Dia memotong panekuknya dengan garpu dan mulai menyuapkan potongannya ke mulut. “Apa semalam dia pulang?” tanya Sophia, tidak bisa menghentikan rasa penasarannya.
Dana mengangguk sembari berbalik merapikan peralatan masak. “Dia sepertinya pulang pada larut malam,” katanya.
“Hmmm,” sahut Sophia, menyuap potongan yang lain dari panekuk yang lezat itu, lalu menyeruput jus tomat kesukaannya.
“Tumben sekali dia belum keluar di jam segini.” Dana bergumam sembari menoleh ke arah tangga.
Sophia mengedikkan bahu, seolah tidak peduli, padahal di dalam di pun juga bertanya-tanya. Biasanya, Albert sarapan lebih dulu darinya, mungkin untuk menghindar dari keadaan canggung yang tidak mengenakkan. Karena itu juga, Sophia sengaja mengundurkan waktu sarapannya menjadi sedikit lebih siang.
“Apa dia baik-baik saja?” gumam Dana.
Dia baik-baik saja, batin Sophia yakin, terlalu yakin sampai dia nyaris terkekeh oleh ironi. Karena tidak mungkin, kan, seorang Albert Raymond menjadi tidak baik-baik saja hanya karena kandasnya hubungannya dengan sang kekasih gelap?
“Sebentar lagi aku harus pergi, aku memiliki janji dengan suamiku untuk mengambil tomat-tomat segar yang telah dipanennya. Apakah kau mau mengantarkan makanan ke kamar Albert, Dear?”
Sophia menghentikan kunyahannya sejenak, lalu mendongak menatap Dana dan menganggukkan kepala.
“Oh, baiklah, ini nampannya,” kata Dana. Tidak lama setelah itu, Dana pamit pergi.
Kemudian, Sophia selesai dengan sarapannya dan telah menghabiskan jus tomatnya. Dia bangkit dengan membawa nampan itu di kedua tangan.
Ketika sampai di depan pintu kamar Albert, Sophia sempat ragu sejenak. Namun pada akhirnya, dia mengetuk pintu itu perlahan, dan tidak ada sahutan.
Sophia mengetuknya sekali lagi, namun masih tidak ada sahutan. Apakah benar Albert semalam pulang? batin Sophia, mengetuk lagi dengan lebih keras. Masih tidak ada sahutan. Sampai pada ketukan keempat, pintu itu melayang terbuka, menampilkan sosok tinggi Albert berdiri di hadapan Sophia dan menatapnya dengan pandangan sayu.
Sophia mengernyit, menatap lelaki itu dari bawah sampai atas. Tubuh Albert yang tinggi sedikit membungkuk dengan sebelah tangan yang bertumpu pada kusen pintu. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat, bahkan dua kancing teratas baju tidurnya terbuka.
“Apa maumu?” tanyanya parau.
***
THE CASANOVA’S WIFE chapter 03 – Necklace
Sophia mengernyitkan dahi. “Kau baik-baik saja?”
“Ya. Dan kalau kau tidak ada kepentingan datang kemari, sebaiknya jangan menggangguku!” tukas Albert sebelum tangannya bergerak menutup pintu. Namun dengan cepat dicegah oleh Sophia dengan kakinya.
“Aku membawakanmu sarapan,” kata Sophia.
“Ah ya, bilang pada Dana bahwa hari ini aku sepertinya tidak akan turun untuk makan.”
Sophia tidak mau kalah ketika Albert hendak menutup pintu kamarnya lagi. “Ini sarapanmu!” tegas Sophia.
Albert menghela napas, menatap Sophia jengkel, lalu tangannya terangkat hendak mengambil alih nampan itu dari tangan Sophia, tapi Sophia malah menjauhkannya. Albert berdecak semakin kesal.
“Berikan—”
“Tanganmu,” Sophia memotong, menatap tangan Albert yang gemetaran, dia tidak akan mampu mengangkat nampan itu tanpa membuat isinya tumpah.
Albert sekali lagi menghela napas pasrah dan membuka pintunya lebih lebar. “Bawa ke dalam.”
Tanpa disuruh dua kali, Sophia masuk ke dalam kamar Albert dan sedikit terkesiap oleh aroma lelaki itu yang tercium sangat jelas di udara sekitarnya. Sophia mencoba untuk fokus dan menempatkan nampan itu di atas nakas.
Ketika Sophia berbalik, Albert duduk di pinggiran ranjang, menutup mata dengan napas sedikit memburu.
Sophia dengan refleks mendekat, lalu meletekkan telapak tangannya pada kening Albert. Albert tidak menolak, atau membuka matanya karena sentuhan Sophia itu.
“Kau demam,” kata Sophia.
Albert menyahutnya dengan gumaman, lalu tangannya terangkat menangkup tangan Sophia di wajahnya. “Tanganmu terasa dingin,” gumam Albert tidak jelas.
Sophia terkejut dengan sentuhan itu, secara refleks melepaskan tangannya. “Sebaiknya kau berbaring,” kata Sophia, mendorong dengan pelan bahu Albert agar lelaki itu berbaring kembali di ranjangnya.
Albert pasti sangat kesakitan sampai tidak menyadari apa pun. Bahkan ketika Sophia menyeka wajahnya yang berkeringat dengan tangan, Albert tampak tidak terganggu dan tetap menutup matanya. Padahal kalau dalam keadaan normal, Albert mungkin tidak akan sudi untuk disentuh olehnya.
Sophia kemudian pergi dengan nampan sarapan yang tadi telah dia letakkan di nakas.
Jika ada sesuatu yang bisa Sophia masak, itu adalah bubur. Kenapa? Sebab Sophia selalu gagal menanak nasi dan selalu menjadikannya bubur. Jadi Sophia membuatkan Albert bubur dan segelas susu.
Ketika kembali ke kamar lelaki itu, Albert masih berbaring pada posisinya semula. Sophia mencoba membangunkannya agar pria itu makan, lalu setelah itu minum obat. Namun alih-alih bangun, Albert malah mengernyit dan menggeram keras, lalu tangannya menepis nampan yang dibawa oleh Sophia sehingga semuanya berceceran di atas lantai.
Dengan mulut menganga dan mata melebar, Sophia menatap kekacauan itu lalu mendelik tajam pada Albert yang sepertinya tidak sadar pada apa yang telah ia perbuat.
Sophia menenangkan dirinya dan memilih untuk membersihkan lantai yang telah kotor itu dengan penuh kesabaran. Kecerobohannya membuat jari tangan Sophia luka oleh pecahan mangkuk, tapi Sophia bahkan tidak meringis dan lanjut membersihkan lantai itu sampai bersih.
Setelah selesai, Sophia mengambil baskom berisi air dan handuk kecil untuk mengompres Albert.
“Jika kau tidak sedang dalam keadaan sakit, aku tidak akan sudi melakukan semua ini,” gerutu Sophia, memeras handuk itu semakin keras, lalu meletakkannya pada dahi Albert. Melihat wajah tersiksa lelaki itu membuat Sophia semakin tidak tega. Namun perlahan, setelah beberapa kali kompres di dahinya, wajah Albert berubah tenang dan dia akhirnya tertidur.
Sophia dengan setia duduk di sampingnya, menatap wajah lelaki itu. Dalam keadaan damai seperti ini, Albert tidak terlihat seperti sosok suaminya.
Ingatan Sophia kemudian terlempar pada lima tahun silam.
Sophia ingat pada rasa sakit dan keputusasaan yang ia rasakan pada malam itu, sehingga nyaris menceburkan diri ke dinginnya air laut pada malam hari, jika saja Albert tidak datang menginterupsinya dan mengajaknya mengobrol.
Saat itu, Sophia tahu bahwa Albert tengah bosan dan hanya butuh teman mengobrol. Namun, karena saat itu Sophia juga ada di posisi di mana dia tidak pernah diajak mengobrol oleh siapa pun—atau bahkan dipedulikan, dia bahagia dengan kehadiran Albert.
Sophia datang bersama keluarganya, ayah dan ibu, serta dua saudari perempuan dan seorang saudara laki-laki. Akan tetapi, sekalipun Sophia ada bersama mereka, dirinya seolah tidak terlihat dan tidak dianggap.
Dan Sophia tahu alasannya.
Namun kehadiran Albert pada malam itu memberi arti lain pada diri Sophia. Albert mengajaknya mengobrol, bertanya banyak hal pada Sophia. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Sophia didengarkan.
Lalu sebelum berpisah, Albert memberikannya sebuah kotak kecil yang ia selipkan di saku jasnya. Ketika Sophia membuka benda itu, dia terhenyak untuk beberapa saat.
Itu adalah sebuah kalung berbandul bunga dandelion yang sangat cantik.
“Aku melihatnya di toko perhiasan dan langsung tertarik padanya,” kata Albert.
“Aku tidak tahu pria sepertimu memiliki selera pada perhiasan perempuan,” sahut Sophia dengan mata yang sudah berkaca-kaca ketika ujung jemarinya menyentuh bandul dandelion itu.
Albert tersenyum, senyumannya amat sangat memesona. “Ya, tadinya aku hendak memberikannya kepada seseorang yang kupikir spesial, tapi dia tidak cukup mencerminkan keberanian yang seharusnya dandelion miliki.”
Sophia menatap Albert. “Lalu kenapa aku?” tanyanya, menangis.
Albert mengusap air matanya dan tersenyum. “Karena kau hendak melompat,” jawabnya singkat.
Mungkin bagi Albert itu hanyalah sebuah bentuk perlakuan kecil pada seorang gadis kurus kerempeng yang jelek, pucat, dan dipenuhi keputusasaan—siap melompat kapan saja dari kapal. Namun bagi Sophia, perlakuan Albert itu memberi pengaruh besar pada hidupnya.
Sophia menyentuh dada, merasakan bandul dandelion itu menyembul di balik kaos longgarnya. Sampai saat ini, dia tidak pernah melepas kalung itu dari lehernya, membiarkannya selalu tersembunyi di balik setiap pakaian yang ia kenakan, karena Sophia tidak pernah ingin Albert melihatnya.
Kalung itu seolah menjadi bentuk kekuatan Sophia. Dandelion, yang berarti keberanian.
Sophia menatap wajah Albert dengan tatapan sendu, lalu mengusap rambutnya perlahan.
Begitu banyak hal yang berubah dari sosok pria ini sampai Sophia nyaris tidak mengenalnya lagi. Bahkan Albert tidak mengingat pertemuan mereka pada malam itu, di saat Sophia sudah tidak bisa lagi melupakannya.
Dan itulah … itulah kenapa, sekalipun sakit, Sophia memilih untuk bertahan dalam pernikahan ini.
***
THE CASANOVA’S WIFE chapter 04 – Good Food
Sophia terbangun dari tidurnya dengan kesiap, seolah seseorang telah menyadarkannya dari alam mimpi, dia langsung bangkit dari posisinya dan mengedarkan pandang.
Albert tengah bersandar di kepala ranjang, menatapnya datar. Dia tampak lebih baik dari sebelumnya. Sementara itu, Sophia berbaring di sampingnya. Padahal seingat Sophia dia tadi duduk di lantai dan bersandar pada pinggiran ranjang. Kapan dia tertidur dan pindah ke sini?
Sophia berdeham, tidak ingin menerka-nerka kenapa dia bisa ada di atas ranjang ini, tidur di samping Albert.
“Sudah merasa lebih baik?” tanya Sophia pada Albert sambil menurunkan kakinya ke lantai.
Albert mengangguk singkat, menatap setiap pergerakan Sophia dengan raut datar.
“Baguslah,” sahut Sophia, lalu melirik nampan di atas nakas yang entah sejak kapan isinya telah tandas. Dan tidak mungkin orang lain yang memakannya selain Albert, kan? Ketika Sophia menoleh ke belakang, Albert masih menatapnya, lalu dia tidak sengaja melihat buku di pangkuan Albert dan pensil di tangannya, pria itu tengah menggambar sesuatu yang tidak bisa Sophia lihat dengan jelas dari tempatnya saat ini.
Sophia bangkit berdiri. “Maafkan aku, karena sudah lancang masuk ke kamarmu dan tidak kepikiran untuk memanggil seorang dokter sehingga memutuskan untuk merawatmu seorang diri.”
Albert mengangguk, saat itulah dia mengalihkan pandang dari Sophia pada lembaran di bukunya, menggores garis berulang kali dengan pensil.
“Lain kali, jangan pernah melakukan ini tanpa seizinku,” katanya dengan suara yang masih terdengar lemah.
Sophia nyaris menganga tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “You’re welcome, Albert,” sahutnya sarkastik. Lalu tanpa menungu respon pria itu, Sophia berbalik.
“Sophia.”
Di ambang pintu, Sophia berhenti dan menghadap lelaki itu lagi, lalu berkata, “Di lain kali, aku akan membiarkanmu sekarat seorang diri!”
Sekembalinya Sophia di kamarnya, dia buru-buru ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Bersumpah jika sampai dirinya tertular, dia akan mencekik pria tidak tahu terima kasih itu.
Sedangkan Albert, tampak menghela napas kasar setelah kepergian Sophia. Matanya menunduk menatap hasil goresan pensilnya di atas kertas. Seorang perempuan tengah tertidur bersandar di ranjang, itu adalah Sophia. Albert kemudian merobek kertas itu dan meremasnya, melemparnya ke tempat sampah.
Dia membaringkan kembali tubuhnya ke atas bantal, memejamkan mata, dan meresapi denyutan menyiksa di kepalanya.
***
Setelah Dana tahu mengenai keadaan Albert, dia langsung menghubungi dokter keluarga untuk memeriksanya. Sedangkan Sophia memilih untuk menjauh setelah hari itu, dia bahkan hanya keluar kamar jika dirinya merasa lapar saja. Untuk apa? Tentu saja untuk menghindari Albert. Dan untuk menhindari keingintahuan Dana mengenai hari di mana Sophia tanpa pikir panjang merawat Albert.
Hari ini sudah hari Senin, Albert biasanya telah kembali bekerja dan kemungkinan besar tidak akan pulang. Dana keluar untuk membantu suaminya di ladang yang memang dikhususkan hanya untuk keluarga Raymond saja. Dan karena hari ini Sophia berniat untuk memasak makan malamnya sendiri, dia pun meminta Dana untuk pulang.
Artinya, saat ini Sophia seorang diri di rumah. Dia berjalan ke arah dapur dengan senandung pelan sambil menguncir tinggi rambut panjangnya, membuka lemari pendingin dan memilih beberapa bahan yang dia butuhkan. Sophia tidak tahu mau memasak apa, tapi kemarin dia melihat Dana membeli daging dan Sophia tiba-tiba saja ingin memakan tumis daging yang digoreng dengan sayuran-sayuran segar.
Pasti akan lezat, pikirnya penuh optimis.
Namun, dua jam berikutnya, Sophia menatap penuh kecewa pada hidangan di hadapannya. Daging sapi yang dimasaknya dipotong dadu besar dan terasa alot, sayur-sayurannya gosong, tampak kering dan sama sekali tidak menggugah selera. Belum lagi dengan rasanya yang terlalu pedas, Sophia tidak yakin dia bisa memakannya, rasa membakar di lidahnya bahkan belum hilang.
Sophia berdecak setelah menggigit lidahnya cukup lama, lalu melepas kuncir rambutnya dan berbalik pergi.
Persetan dengan masakannya yang gagal!
Lagipula, kenapa juga dia sempat berpikir untuk memasak? Kenapa dia tidak belajar dari kejadian sebelumnya? Dia tidak bisa masak! Itu adalah final. Tidak peduli seberapa keras dia mencoba.
Perasaan Sophia semakin kelabu, dan dia harap air hangat dan aroma terapi dapat membuatnya merasa lebih baik.
***
Berendam, memang pilihan yang tepat.
Sophia kembali ke dapur dengan perasaan lebih baik. Namun perasaan itu tidak bertahan terlalu lama. Wajah Sophia memberengut saat melihat Albert, yang sedetik kemudian berubah terkejut melihat apa yang ternyata sedang laki-laki itu lakukan. Dia tengah mengangkat sesendok penuh masakan Sophia ke mulutnya.
“Jangan dimakan!” cegah Sophia dengan cepat.
Gerakan Albert langsung terhenti. “Kenapa?”
“Pokoknya jangan!”
“Memang kenapa? Apa kau sekarang sudah tidak sudi berbagi makanan denganku?” tanya Albert dengan tatapan jengah lalu menyuap potongan daging itu masuk ke dalam mulutnya.
Tepat pada kunyahan pertama, Albert langsung berhenti dan matanya membelalak.
Sophia hanya bisa meringis. “Aku sudah memperingatimu,” gumamnya.
Albert melanjutkan kunyahannya dan menelan gumpalan daging alot super pedas itu dengan susah payah, lalu meminum segelas air setelahnya dalam sekali tegukan. “Kau memasak ini?!” tanyanya tidak percaya.
Sophia mengangguk perlahan.
“Lain kali, jangan pernah mencoba untuk memasak apa pun!” tukas Albert dengan kejam.
Sophia berdecak jengkel, lalu meraih masakannya dan membuangnya begitu saja ke tempat sampah. Setelah itu, dia berdiri di hadapan Albert, mendongak menatap lelaki itu penuh berani—yang sebenarnya didorong oleh rasa jengkel.
“Aku akan melakukan apa pun yang mau aku lakukan! Besok, aku akan memasak banyak daging lagi dan menjadikannya makan malammu!”
Albert mundur dan menatap Sophia ngeri.
Tersadar dengan amarahnya yang konyol, Sophia pun juga mundur, dan menunduk. Kenapa dia marah-marah dengan bodoh seperti itu? sesalnya.
“Apa aku menyinggingmu?” tanya Albert setelah mereka cukup lama saling terdiam.
Sophia kembali mengangkat wajahnya menatap Albert. “Tidak sama sekali,” jawabnya cepat.
“Sepertinya iya. Kalau begitu, baiklah, aku yang akan memasak makan malam untuk kita.”
Sophia tidak yakin Albert serius, tapi laki-laki itu benar-benar melakukannya.
Dia mulai memasak, mengabaikan Sophia yang hanya bisa menatap lelaki itu tidak percaya.
Tentu saja, karena ini pertama kalinya Sophia melihat Albert memasak dan tahu bahwa ternyata lelaki itu memang benar-benar bisa melakukannya.
Lengan kemeja Albert digelung sampai siku. Dua kancing teratasnya sengaja dibuka, menampakkan kulit kecokelatan yang mulus. Pipi tirus dan rahang tegasnya mengencang dan tatapan matanya yang tajam menatap penuh konsentrasi.
Albert bergerak di dapur seperti seorang profesional, melakukan segalanya dengan cekatan. Dan melihatnya memasak seperti ini benar-benar membaut Sophia kehilangan fokus pada segala hal selain dirinya.
Dan dengan bodoh, Sophia telah berdiri di sana memperhatikan Albert memasak selama hampir setengah jam.
“Kau pandai memasak,” komentar Sophia kemudian.
Albert menoleh padanya sekilas. “Duduklah.”
“Aku jadi tidak enak. Beri tahu apa yang harus aku lakukan.”
Albert berhenti sejenak, tampak berpikir, lalu menunjuk meja makan. “Kau bisa menata meja.”
Dan tanpa banyak tanya, Sophia pun melakukannya. Dia menghamparkan taplak meja, meletakkan semua perlengkapan makan dengan rapi, lalu menaruh sebuah vas bunga sebagai pemanis di tengah-tengahnya. Tidak lupa juga, Sophia menyalakan lilin.
Sophia tahu bahwa Albert tengah memasak sisa daging yang tadi digunakannya, jadi Sophia pergi mengambil wine dan es batu untuk mereka.
Setelah semuanya selesai, Albert membawa dua piring daging panggang dan saos yang ia buat sendiri, ke meja makan yang telah Sophia tata.
“Apa kau tidak perlu mandi? Tubuhmu berkeringat,” kata Sophia, mengutarakan isi kepalanya tanpa berpikir lebih dulu. Dia segera meralat, “Aku tidak berpikir bahwa kau bau, hanya saja ... kupikir mandi akan membuatmu merasa lebih nyaman. Ya, kan? Yah, aku tidak tahu. Terserah kau saja!”
Albert langsung menatapnya dengan tatapan aneh.
Sophia nyaris tersedak dengan ludahnya sendiri. “Ke-kenapa?”
Albert langsung menggeleng. “Bukan apa-apa,” jawabnya, sembari menarik kursi ke belakang dan duduk di sana.
Sophia pun melakukan hal yang sama. Dia mengambil gelas dan menuangkan anggur merah ke gelas Albert, serta ke gelasnya sendiri.
Setelah cairan merah bening itu lolos ke tenggorokannya, Sophia sedikit mengernyit merasakan sisa panasnya. Lalu dia meletakkan gelasnya dan mendongak menatap Albert yang duduk di hadapannya—juga tengah meluruskan pandang menatap balik Sophia.
Tiba-tiba saja, Sophia merasa setiap jengkal kulitnya meremang, dan detak jantungnya melaju semakin kencang. Dia tersadar, ini adalah makan malam pertama mereka.
Makan malam yang benar-benar terasa seperti makan malam, bukan paksaan untuk menelan gumpalan daging ke tenggorokan di restoran bintang lima di mana semua orang mengawasi mereka dengan penuh minat. Makan malam yang mereka lakukan selama ini selalu dipenuhi dengan kepalsuan dan kepura-puraan semata untuk menegaskan kepada media bahwa mereka masih berstatus suami istri. Ya, beberapa orang terkadang memang lupa, Sophia selalu ingin tertawa setiap mengingat alasannya berada di sana dengan gaun mahal dan makeup tebal untuk mempercantik wajahnya.
Sedangkan sekarang, Sophia tidak mengenakan gaun mahal, hanya kaos kebesaran dan jeans pendek. Dia juga bahkan tidak mengenakan sedikit pun polesan makeup di wajahnya. Namun, ini adalah makan malam terbaik yang ia miliki.
Albert tidak banyak bicara, tapi setiap kali Sophia bertanya, lelaki itu selalu menjawab dengan santai.
Hal ini mengingatkan Sophia lagi pada malam di kapal itu. Dan sejenak, dia pikir dia melihat sosok Albert yang selama ini dicarinya. Namun setiap kali hatinya mencoba untuk luluh, akal sehat memperingatinya dengan memperlihatkan kembali foto-foto kemesraan Albert dengan banyak wanita di luaran sana.
Tapi tetap saja, makan malam berjalan dengan baik.
Maksudnya, mereka tidak sedikit pun berargumen atau mengeluarkan kata-kata penuh sinisme. Hanya obrolan biasa. Sophia merasa santai, begitu pun juga dengan Albert. Mereka melupakan sejenak semua urusan di belakang dan hanya berfokus pada apa yang ada di momen ini.
***
THE CASANOVA’S WIFE chapter 05 – The Mother In-Law
Albert tidak pernah membawa teman wanitanya ke rumah. Atau yang lebih suka Sophia sebut secara gamblang, selingkuhannya.
Sophia tahu Albert memiliki unit apartemen mewah di kota, dan Sophia yakin ke sanalah Albert membawa selingkuhan-selingkuhannya singgah. Sophia sama sekali tidak merasa diperlakukan spesial karena hanya dirinya seoranglah yang Albert bawa ke sini. Tentu saja, karena dia istri pria itu.
Tapi sekali lagi, label istri itu tidak membuat Sophia merasa lebih.
Momen makan malam kemarin telah rusak dari pikiran Sophia ketika paginya dia membaca gosip tentang kembalinya si Pirang alias Cecile, ke pelukan Albert Raymond.
Sophia tidak tahu mengapa seseorang benar-benar dibayar untuk menulis sesuatu semacam itu. Tidakkah mereka memiliki topik lain yang lebih bermanfaat untuk disajikan? Apa bagusnya dari mengintili kehidupan hubungan gelap seseorang dan menghardik rumah tangganya?
Well, untuk beberapa orang, atau mungkin banyak orang, hal itu memang menarik untuk diikuti.
Tapi Sophia lebih berharap bahwa dirinya hanya orang biasa saja, yang namanya tidak pernah tertulis di media. Apalagi disangkutpautkan dengan kegiatan bejat sang suami yaitu perselingkuhannya.
Selama ini, Sophia hanya diam, mengorbankan banyak hal dalam hubungan pernikahan busuk ini, termasuk harga dirinya sendiri. Namun, Sophia tidak pernah mengatakan apa pun, dia menerima semuanya begitu saja tanpa syarat, sekalipun sakit.
Dua hari setelah berita itu dirilis, tidak ada lagi berita apa pun tentang Albert. Tidak ada foto yang menampilkan dirinya memasuki sebuah hotel dengan si Pirang, atau foto ketika mereka bersama. Dan siang ini, Albert meminta Sophia untuk datang ke sebuah restauran yang telah ia sebutkan alamatnya.
Sophia tentu tahu untuk apa. Satu dari beberapa hal dirinya bisa dikatakan berguna sebagai istri, yaitu ikut dalam sebuah pertemuan resmi dengan klien. Tidak mungkin, kan, Albert membawa sang selingkuhan secara terang-terangan.
Sophia pun bersiap untuk pergi ke sana. Dia mengenakan gaun selutut berwarna hitam, berkerah tinggi, dan berlengan panjang. Rambutnya yang bergelombang sengaja ia gerai di punggung dengan jepitan kecil sebagai pemanis di atas telinga. Lalu setelah itu memoleskan makeup natural pada wajahnya.
Beberapa saat kemudian, setelah sampai pada tujuan, pintu mobil dibuka oleh sopirnya. Sophia keluar dengan heels setinggi lima sentimeter, diikuti kaki mulus tanpa cela, dan berjalan memasuki restoran dengan raut datar dan tatapan dinginnya yang khas.
Sophia melihat Albert tengah menatap layar tabletnya di meja yang sepertinya terlalu terbuka untuk melakukan sebuah pertemuan, tapi Sophia tidak perlu bertanya alasannya. Dia mendekat dan pandangan mereka bertemu. Sophia ingin tidak merasakan apa pun, tapi tubuhnya justru bereaksi sebaliknya.
Albert tidak tampak seperti pria pemain wanita yang sering ada, pandai merayu dan memiliki tatapan mata menggoda. Karena Albert tidak perlu menggunakan kata rayuan apa pun untuk membuat wanita bertekuk lutut padanya. Tatapan lelaki itu juga tidak tampak seolah ia tengah menggoda, atau jenaka. Sophia mendapatinya selalu intens, tajam, dan misterius. Dia tampak seperti pria gila kerja alih-alih gila perempuan.
Tapi siapa sangka, kan? Dia tidak lebih dari seorang bajingan.
Sophia duduk di hadapan Albert dengan tatapan yang masih tertuju pada laki-laki itu. Akhir-akhir ini, entah kenapa mereka menjadi lebih sering melakukan kontak mata, entah disengaja maupun tidak.
“Jadi, siapa yang akan kita temui?” tanya Sophia, mengalihkan pandang pada buku menu di atas meja.
“Ibuku.”
Sophia langsung berhenti membaca deretan nama makanan itu dan menatap Albert dari balik buku menu.
“I-ibumu?”
Sophia teringat akan pertemuan pertamanya dengan wanita itu di hari pernikahannya dengan Albert. Sebenarnya, wanita yang sepanjang upacara pernikahan menatap Sophia penuh kebencian itu adalah ibu tiri Albert.
Hubungan pria itu dengan sang ibu tiri sangatlah buruk. Dan kalau boleh jujur, Sophia sangat tidak menyukainya. Millie Raymond selalu menatap Sophia dengan tatapan yang selalu membuat Sophia tidak nyaman, dan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya selalu terkesan menghina.
Dan dari apa yang Sophia perhatikan sepanjang upacara pernikahan mereka saat itu, Albert juga tidak menyukai ibu tirinya. Hanya saja sepertinya sang ibu tiri tampak sangat menyayangi Albert dengan cara yang, menurut Sophia, sedikit berlebihan.
“Aku tahu kau tidak menyukainya,” kata Albert, menatap Sophia, memperhatikan perubahan raut wajahnya dengan sangat jelas.
Sophia mendengus, kembali menatap daftar menu di tangannya. “Aku tidak bisa menyangkal,” sahutnya secara terang-terangan, sama sekali tidak peduli jika karena ucapannya itu Albert akan tersinggung.
Albert memang tidak tersinggung, malah menyeringai lebar seolah terhibur oleh respon Sophia itu.
“Akhir-akhir ini, kau tampak semakin menawan saja,” ungkap Albert tiba-tiba.
Sedang Sophia hanya menatapnya sekilas dan melengos begitu saja, seolah tidak terpengaruh sama sekali oleh pujian yang dilontarkan lelaki itu.
Seringaian Albert semakin lebar.
Tidak lama kemudian, Millie Raymond datang. Wanita itu mengenakan jeans panjang, tanktop ketat berkerah sangat rendah yang memberi pemandangan lebih jelas pada payudara besarnya. Wajahnya dipoles makeup berat yang menguatkan kecantikannya. Rambutnya yang lurus dan sangat panjang digerai dan diwarnai pirang terang.
Millie tampak mencolok, dan dia berjalan berlenggak-lenggok dengan sepatu berhak tinggi hitam, mengundang beberapa pasang mata tertuju padanya. Atau pada bokongnya yang seksi?
Untuk seorang wanita yang telah menyandang status sebagai istri dari seorang pria konglomerat kaya raya, Millie tentu saja tampak sangat muda dan modern. Wajahnya cantik dengan tubuh yang berbentuk sempurna. Sophia tidak ingin tahu apakah itu asli atau hanya hasil rekayasa tangan-tangan ahli para dokter kecantikan.
Ketika Millie telah sampai di meja mereka, wanita itu menyapa Albert dengan sangat antusias, lalu merunduk dan memeluk Albert, tidak lupa juga mendaratkan kecupan menggoda di pipinya.
Sophia hanya menatap interaksi ibu dan anak itu dengan tatapan bosan. Bahkan ketika Albert meliriknya setelah Millie duduk di tempatnya, raut wajah Sophia tidak berubah.
“Ah, Sophia, kau juga di sini rupanya.”
Memang sedari tadi dia ada di mana? Apa wanita ini buta?
Sophia tersenyum ramah. “Millie, apa kabar? Ya, aku sedari tadi memang di sini,” jawab Sophia, sedikit sarkas.
Namun sepertinya Millie tidak peduli. Dia kembali kepada Albert dan sepenuhnya mengabaikan Sophia.
“Albert, Sayang, bagaimana kabarmu?” tanya Sophia, menangkup wajah Albert dengan kekhawatiran yang dibuat-buat. “Apa kau makan dengan cukup baik? Oh Tuhan, kau pasti bekerja terlalu keras lagi, wajahmu tampak lelah.”
Ya, lelah karena kehadiranmu di sini, dengus Sophia dalam hati.
Selama mereka berbicara, yang Sophia ketahui bahwa hanya Albert seoranglah yang mencoba untuk fokus pada pembicaraan kerja sama bisnis mereka, karena sedari tadi Millie hanya melakukan hal-hal bodoh.
Sophia mendengus, melihat Millie menyentuh Albert setiap kali dia hendak mengucapkan sesuatu, lalu dengan sengaja melembutkan suaranya seolah dengan sengaja hendak menggodanya.
Sepanjang waktu itu berlalu, kehadiran Sophia sepenuhnya diabaikan, walau sesekali Albert meliriknya—tapi tentu saja Sophia tidak tahu.
Seorang pelayan datang membawakan segelas es krim vanila dan stroberi pesanan Sophia. Sontak Millie dan Albert menatapnya. Lalu entah sampai mana kebodohan wanita itu mempermalukan dirinya sendiri, Sophia berpikir, sampai Millie memesan es krim yang persis sama dengannya dan makanan-makanan manis penuh krim.
Mereka mengabaikan Sophia, Sophia juga tanpa pikir panjang mengabaikan mereka. Dia tengah sibuk dengan ponselnya, membaca-baca artikel berita terkini di internet yang rupanya jauh lebih menarik daripada keadaan sekitarnya.
Bahkan, saking asyiknya dengan ponsel, Sophia sampai tidak menyadari tatapan Albert yang menatapnya jengkel. Albert merasa sudah selesai pada pembicaraannya dengan Millie, masa bodoh dia menyimaknya atau tidak. Sama seperti yang Sophia pikirkan, Albert pun berpikir pertemuan ini sia-sia.
Namun, Albert tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Sophia. Wanita itu dengan santai memakan es krim vanilanya dengan tatapan yang terfokus pada layar ponsel. Apa yang membuat Sophia sangat tertarik pada benda itu? batin Albert tidak habis pikir.
Albert melihat cairan putih es krim di ujung bibir Sophia dan dengan refleks tangannya terulur mengusapnya.
“Kau seharusnya memperhatikan caramu makan,” decak Albert.
Sophia terkejut, tapi dengan cepat menutupinya. Dia segera mengambil tisu dan mengelap mulutnya sendiri untuk memastikan tidak ada lagi bekas es krim tertinggal di sana.
“Apa itu benar-benar lezat?” tanya Albert.
Sophia mengangkat tatapannya menatap lelaki itu, lalu mengangguk. “Kau mau?” tawarnya, mengambil sesendok penuh es krim rasa stroberi kesukaan Albert dan menyuapkannya pada lelaki itu dengan gestur santai seolah apa yang mereka lakukan sudah biasa terjadi.
Sophia mendengar kesiap Millie dan beberapa perempuan di meja di samping mereka, tetapi Sophia mengabaikannya dan tanpa merubah raut wajahnya, dia lanjut memakan es krimnya.
Millie terkekeh. “Ah, ternyata kau memang suka makanan manis ya, Al. Aku tidak salah telah memesankanmu kue-kue lezat ini dan es krim kesukaanmu.”
Cih! Dasar penjilat! batin Albert, menatap Millie dari ujung matanya.
“Millie, sepertinya pertemuan kita hari ini berjalan dengan cukup baik, aku akan mengirim semua datanya kepada sekretarismu agar lebih jelas.” Albert berdiri.
“Kau sudah akan pergi?” Millie bertanya dengan nada manja. Sedangkan Albert sedikit pun tidak terpengaruh.
“Ayo, Sophie.” Albert mengulurkan tangan kepada Sophie, yang disambut cepat oleh perempuan.
“Millie, kami pergi dulu,” basa-basi Sophia kepada Millie, diikuti senyum singkat.
Millie tampak tidak senang, berdecak, lalu bangkit dari duduknya dan mencium pipi Albert mesra.
Sophia lagi-lagi mendengar kesiap kecil dari beberapa wanita yang duduk tidak jauh dari meja mereka. Genggaman tangan Albert pada tangan Sophia mengencang, lelaki itu nyaris menyeretnya keluar dari café dan memasukkannya ke mobil.
“Aku tidak akan pergi bersamamu. Aku sudah memberi tahu Jordy untuk menjemputku,” kata Sophia setelah Albert ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya.
Rahang tegas nan tirus milik Albert yang ditumbuhi sedikit jenggot, mengencang. Dia menoleh pada Sophia dan berkata, “Kau akan ikut denganku!”
Sophia mengernyit heran pada nada berbicara lelaki itu yang seolah mengandung rasa keposesifan.
Atau itu hanya khayalan Sophia saja? Albert tidak akan pernah merasa seperti itu padanya.
“Baiklah,” sahut Sophia, tidak ingin membantah. Atau lebih tepatnya, tidak ingin berargumen apa pun dengan pria ini.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
