LOVESTRUCK: [PART 7] A LITTLE KISS

86
46
Deskripsi

Devan pikir masalah hidupnya selesai setelah ia bebas dari tahanan, tapi ternyata wanita yang dicintainya, Meisya malah hilang ingatan!

Berhasilkah Devan mengembalikan ingatan Meisya dan mewujudkan mimpinya?

“Apa itu ciuman?” tanya Meisya polos.

“Sesuatu yang sering kita lakuin dulu, mau coba?” tantang Devan.

Devan duduk di kursi di samping kusir unit kesehatan tempat Meisya berbaring. Dadanya sesak memperhatikan istrinya itu yang masih tak sadarkan diri sampai sekarang.

"Mei udah sering pingsan kayak gini sebelumnya?" tanya Devan pada teman-temannya yang ikut menemani Meisya di sini.

Yutha menggeleng. "Ini yang pertama kali, biasanya dia cuma kumat terus teriak-teriak kayak tadi."

Devan menghela napas. "Udah pernah dibawa ke psikiater?"

“Udah, Meisya dikasih obat penenang sama dokter pas itu," jawab Rey.

“Iya, Bos. Simsalabim apalah itu nama obatnya ribet. Intinya dokter bilang Meimei ngga boleh stres," tambah Raffa.

"Alprazolam, goblok. Simsalabim pala lo gue ilangin," ujar Gio sambil menoyor kepala Raffa gemas. Raffa hanya cemberut karena Gio selalu marah-marah padanya.

“Eh, udah dulu ini udah mau adzan, Dev. Gue ke musholla duluan," izin Rey.

"Udah tinggalin aja si, Van. Nanti dia juga bangun sendiri. Daripada nanti pas bangun ada lo dia gampar lo." Gio memanas-manasi.

"Ya udah lo pada duluan aja," tolak Devan.

Anak-anak Revolver pun pamit meninggalkan ruang Unit Kesehatan Kampus. Kecuali Devan. Lelaki itu malah berdiri dari kursinya dan menunduk mendekati wajah Meisya yang masih terpejam. Dengan sangat hati-hati, dia bawa tangan kekarnya menyingkirkan helai rambut Meisya yang menutupi sebagian wajah cantik perempuan itu.

Devan merasakan sesak bukan main di dadanya. Jika mereka masih bersama, pasti Devan akan membawa Meisya pulang lalu merawatnya seperti dulu. Menyuapinya, menemaninya dan memeluknya saat tidur sampai dia merasa lebih baik.

Tapi sekarang, Devan sudah tidak bisa melakukan semua itu lagi. Dia hanyalah orang asing di mata Meisya.

"Mei, aku pergi dulu, ya? Jangan sakit lagi. Pas bangun udah harus sembuh, oke?" pesan Devan meski Meisya tidak dapat mendengarnya.

Devan mendekat lagi, ia kecup puncak kepala Meisya untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Kecupan yang begitu lembut agar tidak membangunkan Meisya. "Aku cium kepalanya, biar ngga sakit lagi. Jangan sakit lagi, Mei."

***

Devan masih duduk di pinggir ranjang, matanya tak luput dari Meisya yang kini rebahan sambil memeluk lututnya sendiri di ranjang seperti bayi. Hati Devan mencelos menyadari Meisya terlihat gemetaran. Dia masih menggigil.

"Masih dingin, ya?" tanya Devan khawatir. Meisya mengangguk.

"Mau aku buatin teh?" tawar Devan. Kali ini Meisya menggeleng.

“Kalau gitu susu anget aja ya." Devan berdiri dari ranjang, hendak keluar kamar lagi. "Aku buatin. Sebentar—"

Grep!

Langkah Devan terhenti ketika tangannya ditarik oleh Meisya. Jantung Devan berdegup kencang melihat Meisya yang kini menatapnya dengan wajah memelas, seolah melarangnya pergi. "Ngga usah, Devan..."

“Tapi itu badan kamu dingin banget, Meisya. Kamu butuh yang anget-anget."

"Tapi aku ngga mau minum. Perut aku kembung. Lagian kan tadi udah."

"Kalau makan yang anget mau? Sup deh, aku bikinin."

"Ngga mau, Devan. Perut aku kembung."

"Terus apa yang harus aku lakuin biar kamu ngerasa lebih baik?"

"Aku..." Meisya memalingkan wajahnya yang memerah, ia menggerakan bibir dengan susah payah. "A—Aku mau kamu peluk aja..."

Ah, sial. Pipi Devan jadi ikutan memerah. Tiba-tiba perutnya pun seperti diserang ribuan kupu-kupu. Kenapa jawabannya di luar dugaan sih?

"Devan, ayo..." pinta Meisya malu-malu.

"A—Ayo apa?"

"Ayo peluk aku... ah, aku maluu!!" Meisya menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangan, menyembunyikan semburat merah di pipinya. Ya ampun, lucu sekali istrinya ini. Devan sampai harus menahan diri untuk tidak mencubit pipinya.

Sebuah ide jahil pun mendadak muncul di benak Devan. Dia jadi terpancing untuk terus melihat ekspresi Meisya yang menggemaskan itu.

"Minta dulu yang baik, baru kupeluk," suruh Devan.

Meisya mengintip dari sela-sela jari tangan yang menutupi wajahnya. "M—Minta yang baik?"

"Iya."

"D—Devan, tolong peluk aku... begitu?"

Devan tertawa. "Aku gak nyuruh sopan, tapi baik. Panggil aku kayak manggil ke suami."

Meisya berdehem malu. Sepertinya sudah tau Devan maunya apa. "Uhmm... S—Sayang, peluk aku boleh ngga?"

Gawat deh, ini mah malah jantung Devan yang jedag-jedug jadinya.

“Sayang, ayo peluk aku ih," pinta Meisya lagi membuat Devan benar-benar tidak tahan.

"Oke." Bibir Devan tertarik ke samping. Ia segera merangkak ke atas ranjang dan masuk ke selimut. Berbaring di samping Meisya, merentangkan tangannya lalu mendekap Meisya ke dalam pelukannya. Pelukan itu terasa dingin namun kemudian menghangat ketika Devan mengeratkan pelukan mereka.

Meisya membalas pelukan Devan tak kalah erat. Ia bahkan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Devan. Nyaman. Tubuh Devan begitu nyaman, hangat dan wangi white musk yang menenangkan, seperti dipeluk boneka teddy bear.

"Udah cepet merem, ngga boleh nakal biar cepet sembuh."

Setelah mimpi yang cukup panjang itu, Meisya terbangun dengan wajah bersimbah air mata.

Meisya mengusap wajahnya. Entah kenapa mimpi barusan terasa sangat nyata, seperti Devan benar-benar merawatnya saat dia sakit. Atau mungkin itu kilas balik memori yang pernah dia alami di masa lalu?

Nafas Meisya tercekat. Tiba-tiba dia mengingat kejadian sebelum dia pingsan. Yang dia ingat, dia dipeluk oleh seseorang, digendong, lalu ...

“Aku cium kepalanya, biar ngga sakit lagi. Jangan sakit lagi, Mei."

Jantung Meisya berdegup kencang. Kedua pipinya memerah karena saat mengingat itu Meisya merasakan kecupan yang hangat di puncak kepalanya.

"Devan?" panggil Meisya, namun Devan tidak ada di sana. Hanya dirinya yang berbaring di Unit Kesehatan Kampus ini sendirian.

***

Latte Studio | 15:30 PM

"Aw aw aw!! Atit! Atit!!" Ringisan Aindra menghebohkan satu ruangan staff karena kupingnya dijewer oleh Laras. Sudah bisa ditebak, cowok tengil satu ini pasti bikin ulah.

"Ini liat, dia godain pelanggan," kata Laras membuat karyawan lain ikut membully Aindra.

"Parah lo, Ndra. Parah."

"Masih untung gue yang jewer lo, Ndra! Kalo Bu Mawar yang mergokin, udah didepak lo dari sini," omel Laras.

Aindra memajukan bibir. "Jangan panggil Ndra, Kek. Ain aja. Emangnya gue Mandra?"

"Ya mirip! Banyak ngeles, nyerocos mulu!"

"Kayak lo dong, Mbak. Nyerocos mulu— Eh ampun!"

“Sini, sini. Biar gue yang gantian jewer," sambar Devan membuat Aindra melotot.

"Kok lu ikut-ikutan sih, Bang?!"

"Bocil kayak lo harus dikasih pelajaran. Sini lo, cil." Devan tersenyum miring.

“Ini mah namanya kesempatan lo mau bales dendam, Bang!!"

"Hhh ... Udah ya, pokoknya ini terakhir kalinya gue ngeliat kalian berulah. Kepuasan pelanggan itu nomor satu. Ngga usah ngelakuin hal-hal aneh yang enggak guna selain itu. Apalagi sampai bersikap enggak sopan sama pelanggan," tegas Laras sambil tolak pinggang.

"Tapi kan, pelanggannya puas tadi gara-gara digombalin sama orang ganteng. Berarti gue enggak salah dong?" tanya Aindra memancing emosi lagi.

"AINDRAA!! GUE JAMBAK 5 METER LAGI YA KUPING LO SAMPE CAPLANG!!"

***

"Selamat datang di Latte Studio. Silahkan dipesan menu kami." Meisya menyambut tiga orang pria paruh baya dengan seragam formal yang baru saja duduk.

“Mbaknya baru ya kerja di sini?" tanya salah satu pria itu.

"Iya, Pak."

“Pantesaaan, baru liat saya ada pelayan secantik ini. Kemarin-kemarin perasaan enggak ada hahaha," godanya.

"Hahahah maaf ya, Mbak. Teman saya lagi mabuk. Belum hilang bekas mabuknya dari semalam jadi ngaco ngomongnya. Eh, tapi mbak nya emang cantik, kok!"

Meisya tidak merespon, ia tetap pasang wajah datar hingga membuat om-om itu tambah gencar menggodanya, bahkan berusaha mencolek pinggangnya.

"Kami sedia air mineral, mungkin bisa menetralkan kadar alkohol Bapak." Devan menyambar tiba-tiba. Meisya yang hanya setinggi dada Devan itu menatapnya bingung, namun Devan memberi kode agar Meisya pergi saja.

Apakah Devan baik-baik saja? Meisya melihat rahang Devan mengeras, seolah susah payah menahan amarah.

"Oh, boleh, boleh. Kalau begitu saya pesan tiga gelas air mineral dan mau pizza ukuran jumbo." Pria paruh baya itu mengangguk-ngangguk.

“Baik." Devan mencatat pesanan, lalu menatap ketiganya dengan tajam.

"Mau saya pakaikan serbetnya?" tanya Devan sembari menggenggam serbetnya dengan sangat kuat. Urat-urat ditangannya sampai terlihat. "Biar sekalian saya cekek."

"Tidak usah."

"Baik. Mohon ditunggu." Devan tersenyum, namun di dalam hati sangat ingin menyelipkan cabe rawit level 100 di makanan mereka. "Ditunggu bendera kuningnya."

Saat Devan ke dapur untuk mengambil air mineral, ketiga om-om itu malah memanggil Meisya lagi.

"Mbak, mbak! Sini deh! Saya mau pesan lagi."

"Boleh. Pesan apa, Pak?"

“Pesan hatinya Mbak aja. Hahaha!"

“Kok Mbak datar terus sih mukanya? Senyum dong Mbak! Biar tambah cantik!"

Kurang ajar! Rasanya Devan benar-benar ingin menuangkan segelas air yang dia bawa ini ke atas kepala mereka, tapi untunglah dia teringat ucapan Laras saat menegur Aindra tadi.

"Kepuasan pelanggan itu nomor satu. Ngga usah ngelakuin hal-hal aneh yang enggak guna. Apalagi sampai bersikap enggak sopan sama pelanggan."

Sial, Devan jadi tidak bisa menyiram air pada pria hidung belang itu! Tanpa sadar, Devan jadi mencengkeram gelas beling di tangannya dengan sangat kuat. Begitu kuat sampai gelas tersebut pecah berkeping-keping dan tertancap di telapak tangannya.

"ASTAGA, DEVAN!!"

***

Saking geramnya, Devan sampai tidak merasakan sakit saat beling itu tertancap di tangannya. Ia baru merasakan sakit saat lukanya diobati oleh Meisya sekarang ini.

"Tapi ... Kenapa jadi kamu yang ngobatin luka aku? Padahal kan kamu harus nganterin pesanan— Aw! Aw! Aw!" Devan mendesis perih sebelum menyelesaikan kalimatnya.

"Ada Mbak Laras yang gantiin aku. Udah, jangan banyak omong," ucap Meisya sembari membalut telapak tangan Devan dengan hati-hati.

"Karena kamu udah rawat aku pas pingsan tadi siang, jadi sekarang giliran aku yang rawat kamu," ucap Meisya lagi membuat pipi Devan memerah.

Jadi ... Meisya tahu saat dia membawanya saat pingsan? Jangan bilang Meisya juga tahu kalau dia mencium kepalanya saat pingsan?!!

Seharusnya saat ini Devan jingkrak-jingkrak dan ngereog kegirangan karena akhirnya dia diobati oleh Meisya, namun rasa sakit yang terlalu dalam membuat dia hanya fokus pada keadaan tangannya.

"Tahan, gigit ini kalau sakit," ucap Meisya sembari menyumpal mulut Devan dengan handuk yang sudah di gulung kecil.

Devan menggeram tertahan begitu Meisya mengikat perbannya. Peluh dan air matanya bercucuran, membuat Meisya iba melihatnya.

"Kamu kenapa sampai pecahin gelas?" tanya Meisya setelah selesai merawat luka Devan.

Ditanya seperti itu, Devan jadi ingat lagi kelakuan Bapak-bapak itu barusan. Darahnya pun kembali mendidih sampai keubun-ubun.

"Dev? Kok nangis?" tanya Meisya bingung melihat air mata Devan malah mengalir tambah deras.

"Aku ... Aku kesel lihat orang-orang itu gangguin kamu. Aku ngga suka kamu digangguin cowo-cowo sedangkan aku ngga bisa ngelakuin apa-apa. Aku benci, Mei. Aku benci!" tangis Devan semakin menjadi, kekesalannya meluap-luap.

"Jangan cengeng. Nanti dilihat yang lain," peringat Meisya.

Devan menghela napas kasar. Apa yang dia lakukan? Dengan bilang begitu, Meisya tetap tidak akan tersentuh. Meisya tidak akan pernah peka dengan perasaannya. Meisya akan tetap menganggapnya orang asing yang mengaku-ngaku sebagai suaminya.

"Udahlah! Aku balik kerja lagi," ujar Devan seraya bangkit dari duduknya dan memegang kenop pintu, namun nafasnya tercekat karena tangannya tidak bisa digerakan. Sakit. Rasanya sangat sakit...

"Devan, tunggu!"

Meisya mencekal tangan Devan dan menggenggamnya lembut, membuat Devan mengerenyit bingung tak mengerti apa yang akan Meisya lakukan.

Namun detik berikutnya, Meisya menempelkan bibirnya pada punggung tangan Devan yang sudah diperban itu dengan pelan.

"Aku cium tangannya, biar ngga sakit lagi," ucapnya sambil menatap Devan saat menciumi tangannya. Seketika jantung Devan pindah ke ginjal.

"Habis ini, kamu pulang aja ya? Enggak usah masuk kerja dulu," nasihat Meisya dengan bibir yang masih menempel di tangan Devan.

Devan tidak berkutik. Pipinya terasa panas, begitu juga dengan hidungnya. Saking saltingnya ... Dia mimisan.

"DEVAN?! K—KAMU GAPAPA?!!!"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya LOVESTRUCK: [PART 8] TRAGEDI DI MARKAS REVOLVER
69
33
Dih, ketawa-tawa terus lo dari tadi. Lo ngga lagi narkoba, kan? tuding Laras sinis.Ngga narkoba, tapi kecanduan senyum dia, Mbak.Gila lo, Dev! Laras menabok lengan Devan. Jangan bilang lo lagi jatuh cinta sama orang sini?!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan