
"Aakkh! Masih sakit kepala aku." Devan pura-pura mengerang kesakitan, sengaja membuat Meisya lebih khawatir lagi.
"Aku harus apa?" tanya Meisya bingung apa yang harus dia lakukan.
"Elusin, Meii," pinta Devan modus.
Devan deg-degan luar biasa saat membukakan pintu apartemennya untuk Meisya. Dia langsung sembuh saat melihat perempuan cantik dengan seragam pelayan Latte Studio yang belum diganti itu.
Well, sebenarnya kondisi Devan memang sudah agak mendingan sejak tadi. Bahkan dia sempat live instagram dulu karena gabut. Tapi bisa gawat kalau dia terlihat sehat. Dia harus akting sakit!
"Uhuk! Aku langsung rebahan ya, Mei? Masih lemes banget ini," ujar Devan sambil memegangi kepalanya.
"Iya, iya silakan," jawab Meisya. Mata lentiknya menelisik ke seluruh ruangan apartemen Devan. Familiar sekali. Dia ingat pernah ke sini beberapa kali walau tidak begitu jelas.
Dari belakang, Meisya mengekor Devan yang kini rebahan di ranjang sambil meringkuk dan menggigil, minta diselimuti.
"Kamu udah makan?" tanya Meisya sembari menutup sebagian tubuh Devan dengan selimut. Devan menggeleng lemah.
"Kalau kamu udah makan?" tanya Devan dengan suara serak.
"Udah. Ini aku bawa sup ayam buat kamu," ujar Meisya sembari membuka rantang berisi sup yang dibawanya. Senyum Devan mengembang. Ah, akhirnya dia bisa menikmati sup buatan Meisya lagi setelah sekian lama. Dari wanginya saja sudah enak. Devan sangat merindukannya.
Namun dalam sekejap senyuman Devan menghilang begitu Meisya menyodorkan sup beserta sendoknya pada Devan. "Nih."
Devan membuang muka sambil cemberut. "Aku ngga nafsu makan."
"Tapi kamu harus makan," kata Meisya.
"Aku ngga mau makan, Meisya. Ngga nafsu makan," tekan Devan masih dengan wajah kesal.
"Ya udah kalau gitu aku pulang," ancam Meisya.
"Ya udah iya." Devan menghela napas, lalu menyendok supnya sendiri dengan tangan gemetaran, tapi tidak jadi karena Devan keburu memegangi kepalanya lagi.
Meisya terbelalak. "D—Dev, kamu kenapa?"
"Aku lemes banget, Mei," ringis Devan. "Gimana ini? Aku ngga bisa makan."
"Aku suapin mau?" tanya Meisya membuat Devan diam-diam tersenyum menang. Modusnya berhasil! Gitu kek dari tadi!
Devan mengangguk lemah lagi.
Sambil mengangkat dagu Devan, Meisya mulai menyuapi suaminya itu dengan telaten layaknya menyuapi anak kecil. "Buka mulutnya. Aaaaa..."
"Aaaaam." Devan mengunyahnya seperti anak kecil pula, membuat Meisya merasa sedikit gemas.
"Enak ngga?" tanya Meisya.
Sembari mengunyah, Devan mengacungkan jempol. Kalau soal masakan buatan Meisya, Devan benar-benar tidak bisa bohong. "Sup nya enak banget. Masakan kamu emang selalu enak!"
"Itu masakan Ain," jawab Meisya membuat Devan langsung tersedak dan batuk-batuk.
Demi apapun, rasanya seperti baru saja diterbangkan ke langit ke tujuh dan dijatuhkan begitu saja. Kenapa harus Aindra yang bikin sih?!
"Kenapa enggak kamu aja yang masak?!" protes Devan sebal.
"Aku tadinya mau masak buat kamu, tapi pas aku mau otw ke apart aku buat ngambil baju, Aindra nemuin aku dan bilang aku engga usah masak aja. Dia udah bikinin sup buat kamu. Katanya dia khawatir sama kamu," ujar Meisya membuat Devan tak bisa berkata-kata lagi. "Kamu harus bilang makasih ke dia."
"Untung sayang, Mei. Untung sayang."
"Iya iya, nanti aku bilang makasih ke dia," jawab Devan sambil mencebikan bibir, namun tidak lama karena Meisya langsung menyumpal mulutnya dengan sesendok sup lagi.
"Oh iya ... Aku mau minta maaf buat yang waktu itu," ujar Meisya membuat Devan akhirnya nenoleh.
"Aku minta maaf kalau aku pernah ngomongin kamu dari belakang sama Aindra," tutur Meisya. "Padahal Rey bilang, kamu sengaja kerja part time demi ketemu aku."
Devan melotot mendengarnya. Benar-benar deh, semua anak Revolver tidak ada yang beres! Tadi Aindra, sekarang Rey yang cepu ke Meisya! Benar-benar tidak bisa dipercaya.
"Kalau kamu sakit, tolong berhenti aja kerja di part time nya. Jangan memaksakan diri demi aku, karena aku dengar kamu sebentar lagi skripsi. Sebaiknya kamu fokus sama masa depan kamu dulu," ujar Meisya.
"Kamu juga masa depan aku, Mei," sergah Devan.
"Kamu tau aku ngga akan pernah ngelepasin kamu sampai aku dapetin hati kamu kembali. Meskipun harus dengan cara kayak gini," batin Devan.
"Aku yakin bisa kok bagi waktu. Cuma kemarin aku waktu belajarnya terlalu diforsir, minum kopi kebanyakan juga jadinya drop. Tapi aku bakalan usaha buat jaga kesehatan mulai besok," janji Devan.
"Bener?" tanya Meisya.
Devan mengangguk cepat. “Bener."
"Ya udah. Kalau gitu sekarang kamu istirahat. Nih minum dulu." Meisya memberikan segelas air mineral pada Devan, lelaki itu langsung meneguknya sebelum mengembalikannya pada Meisya.
"Sekarang masih sakit? Yang mana yang sakit?" tanya Meisya sembari membantu Devan bersandar di headboard ranjang lagi dan mengganjal belakang kepalanya dengan bantal.
"Ini, kepala aku sakit. Akkhh..." keluh Devan sambil memegangi kepalanya belakangnya.
"Bantalnya enggak enak?"
"Bukaaan ... P—Posisinya enggak enak."
"Terus maunya di mana?"
"Di situ boleh?" tanya Devan malu-malu sambil melirik paha Meisya.
Meisya mengangguk. Dengan jantung berdegup kencang, Devan memberanikan diri untuk menyandarkan wajahnya di paha Meisya. Meisya sedikit gelisah saat merasakan wajah Devan di tengah pahanya. Ada rasa geli dan aneh, namun Meisya tahan karena ingin merawat Devan.
"Aakkh! Masih sakit kepala aku." Devan pura-pura mengerang kesakitan, sengaja membuat Meisya lebih khawatir lagi.
"Aku harus apa?" tanya Meisya bingung apa yang harus dia lakukan.
"Elusin, Meii," pinta Devan modus.
Tanpa pikir panjang, Meisya langsung menuruti permintaan Devan untuk mengelus-elus rambut lelaki itu dengan pelan. Devan tersenyum menang. Dia langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk mendusel di paha Meisya.

"Udah, kamu bobo aja ya," ucap Meisya setelah memastikan Devan sudah benar-benar nyaman.
“Nggaaa…” Devan menggeleng manja.
“Harus bobo. Kalau engga aku tinggal nih,” ancam Meisya.
“Curang!!”
Senyuman Meisya mengembang untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Melihat Devan yang clingy begini membuatnya gemas.
Meisya memang lebih nyaman dan percaya pada Aindra. Tetapi setelah Devan datang dan selalu berada di dekatnya, Meisya mulai merasakan emosi yang tidak pernah dia rasakan setelah amnesia. Dia mulai bisa merasakan sesak, takut dan senang. Meisya harap suatu saat perasaannya pada Devan bisa kembali lagi.
Setelah memastikan Devan sudah terlelap, Meisya mengganjal kepala Devan dengan bantal lagi sebelum bergegas menuju pintu apartemen. Dia terpaksa meninggalkan Devan karena langit sudah mulai gelap.
Namun langkah Meisya terhenti begitu pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram dengan kuat.
Devan langsung mengunci pintunya dari dalam, menghalangi Meisya untuk keluar dari apartemen. Dada Meisya bergemuruh. Ia merasa seperti dijebak. Terutama saat Devan kemudian menghadapnya dan menatapnya dengan tajam.
"Siapa yang bolehin kamu pulang, hm?" tanya Devan membuat Meisya menelan ludah.
"Aku nggak bisa tidur sendirian. Kamu harus temenin aku malam ini," perintah Devan.
***
Reviewnya dong mochi 😋😋💗 Thankyou sm!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
