
"Dih, ketawa-tawa terus lo dari tadi. Lo ngga lagi narkoba, kan?" tuding Laras sinis.
"Ngga narkoba, tapi kecanduan senyum dia, Mbak."
"Gila lo, Dev!" Laras menabok lengan Devan. "Jangan bilang lo lagi jatuh cinta sama orang sini?!"
double update guysss 🤪🤪
-
”Aku cium tangannya, biar ngga sakit lagi," ucapnya sambil menatap Devan saat menciumi tangannya. Seketika jantung Devan pindah ke ginjal.
Devan tidak berkutik. Pipinya terasa panas, begitu juga dengan hidungnya. Saking saltingnya ... Dia mimisan.
"DEVAN, KAMU NGGA APA-APA?!!"
Devan lari terbirit-birit ke toilet untuk membersihkan darah di hidungnya. Tapi bukannya panik, dia justru jingkrak-jingkrak di toilet karena dicium oleh Meisya.
Astaga, kalau begini ceritanya tidak sia-sia Devan terus berusaha!!
Tok tok tok!
"Ini siapa yang make kamar mandi?" Suara Laras terdengar dari luar.
Devan tersadar dirinya sudah salting cukup lama di toilet, ia pun merapikan rambutnya dan keluar menemui Laras.
"Gue. Sori, Mbak. Hehe," ucap Devan sambil cengar-cengir. Gawat, sifat cool nya hilang gara-gara salting.
"Dih, ketawa-tawa terus lo dari tadi. Lo ngga lagi narkoba, kan?" tuding Laras sinis.
"Ngga narkoba, tapi kecanduan senyum dia, Mbak."
"Gila lo, Dev!" Laras menabok lengan Devan. "Jangan bilang lo lagi jatuh cinta sama orang sini?!"
"Enggak sih, yeee. Orang temen kampus gue."
Laras mendecak. "Ya udah, ngga usah dibawa-bawa ke sini. Nanti mencemarkan nama baik lo. Lo kan masih orang baru. Apalagi tadi gue denger Meisya sama Aindra ngomongin lo..."
Devan tertegun. "Hah? Gimana gimana? Ngomongin apa Mbak?"
"Enggak. Udah ya gue mau—"
Devan cekal lengan Laras yang akan pergi. "Mbak, bentar. Meisya sama Aindra ngomongin apa? Gue ngga akan bilang-bilang mereka."
Gadis itu menoleh kanan dan kiri, memastikan tidak ada Meisya maupun Aindra di sini. Mereka sepertinya sedang melayani tamu.
"Ya gitu deh. Gue denger Meisya ngatain lo lemot, suka salah-salah, letoy lah. Makanya gue ngga mau lo terlalu cengengesan. Lo harus gentle biar orang respect sama lo. Jangan lemah, jangan letoy," ujar Laras menusuk hati Devan.
Rasanya seperti baru saja diterbangkan ke langit ke tujuh lalu dijatuhkan begitu saja. Jadi ... selama hilang ingatan Meisya berpikir Devan cowo lemah? Haha.
"Udah, ya. Gue mau balik kerja. Siap-siap sana lo. Udah mulai rame," suruh Laras namun Devan masih terpaku di tempatnya.
Padahal dia baru saja senang, tapi ternyata Meisya malah...
"Dev, kamu ngga apa-apa?" Tahu-tahu Meisya sudah berdiri di hadapannya sambil membawakan tisu.
Sayangnya Devan sudah tidak ada rasa deg-degan lagi, dia kecewa dan tidak mau melihat Meisya sama sekali. "Engga."
"Ini tisunya—"
"Udah pake sendiri tadi. Ini liat, di hidung aku masih ada darah emangnya?" jawab Devan ketus sebelum pergi meninggalkan Meisya sendirian di ruangan staff.
"Kenapa sih dia marah-marah sendiri? Lagi bokek, ya?" pikir Meisya heran. Karena seingat dia, Ain pernah bilang kalau orang marah-marah itu karena belum gajian dan tidak ada uang.
***
Meisya anggap gue lemah. Meisya anggap gue lemah. Meisya anggap gue lemah. Meisya anggap gue lemah. Meisya anggap gue lemah. Meisya anggap gue lemah.
Entahlah, kata-kata Laras tadi siang membuat mood Devan hancur seharian. Jadwal belajarnya jadi berantakan akibat kebanyakan overthinking. Laptop dan buku paketnya masih terbuka, tapi dia tidak bisa fokus belajar dengan benar.
Namun tak lama, sumber overthinkingnya alias Meisya Ratu Jelita akhirnya meneleponnya juga.
Tunggu. Meisya meneleponnya?! Dia tidak salah lihat kan?!
Devan mengucek matanya dan mengerjap berkali-kali, memastikan dia tidak sedang halusinasi karena mengantuk. Ini sudah jam dua malam dan apapun bisa terjadi.
Dengan tangan gemetaran, Devan mengangkat sambungan telepon dari Meisya. Namun sedetik kemudian langsung diputus sepihak oleh perempuan itu. Apa maksudnya?
meisya: maaf kepencet
Jantung Devan mencelos. Ini pertama kalinya Meisya mengechatnya lagi setelah sekian lamanya ia menunggu.
devan: kepencet???
meisya: aku lagi liat-liat history chat kita terus kepencet telepon
Seketika Devan terlonjak dari kursinya.
Gila! Moodnya langsung membaik lagi dalam sekejap. Dia sama sekali tak menyangka Meisya masih melihat history chat mereka. Berarti masih ada harapan.
meisya: terus aku nemu foto ini

[diteruskan] devan: aku nangis nih :( jangan marah sama aku dong yang :( kamu emang suka nangis dari dulu kah dev? bukannya kamu ketua geng motor ya? tapi kok cengeng?
Senyum di wajah Devan seketika menghilang. Demi apapun, baru moodnya baru saja naik beberapa detik lalu dan sekarang harus hancur lagi? Sialan!
devan: woi!! dari sekian banyak chat banyak chat kita kenapa kamu malah salfok sama yang itu?!!
meisya: terus ada lagi ini. kamu cemberut gara-gara aku ga kirimin pap
devan: udah, udah. ngga usah dilanjutin. tidur sana.
"Fuck!!" Devan memukul mejanya frustrasi. Ini gawat. Kalau Meisya terus-terusan menganggapnya cowok lemah seperti ini, bisa-bisa Meisya ilfeel dan tidak bisa mencintainya seperti dulu lagi.
"Lo harus gentle biar orang respect sama lo. Jangan lemah, jangan letoy."
Tidak ada cara lain. Devan harus melakukan sesuatu agar Meisya melihatnya sebagai pria sejati. Harus.
***
Hari ini, Devan libur part time alias day-off. Kuliah juga libur. Jadi rencananya Devan akan ngegym seharian. Namun nyatanya ekspektasi tidak pernah sesuai realita, Devan justru disuruh ibunya menjemput Shafa adiknya yang masih SMA, lalu ke kantor untuk menggantikan beliau kerja.
"Sini, abang pakein helmnya," ujar Devan sembari memasang pengait helm di kepala gadis berwajah polos dan mungil itu.
"Abang, Shafa mau pulangnya ke markas Revolver aja. Enggak mau ke rumah. Gimana, Bang?" tanya Shafa.
"Mau ngapain ke markas Revolver?"
"Emmm gini, Bang. Anggota geng Revolver tuh ada yang cewe ngga sih, Bang? Kalau belum ada Shafa mau dong jadi anggota baru," tanya Shafa random.
"Ck, kamu aneh-aneh aja. Revolver itu udah mau bubar! Udah langsung pulang aja!"
Shafa terkejut, seketika matanya berkaca-kaca. "B—Bubar?"
"Astaga, nangis lagi," batin Devan panik.
"Kenapa Abang mau bubarin geng abang sendiri? Abang jahat! Terus nanti bebek Becky sama betty si Babinya Bang Raffa tinggal di mana bang?" tanya Shafa dengan suara gemetar.
Devan menghela napas. Adiknya yang satu ini memang agak lain, dikira dia mengkhawatirkan nasib teman-teman Devan. Ternyata malah mengkhawatirkan peliharaan Raffa yang tinggal di dalam markas.
"Kasihan Becky sama Betty, Bang. Nanti mereka jadi gelandangan, enggak punya orang tua," tangis Shafa semakin jadi, ia seka air matanya sendiri yang mengalir deras. "A—Abang tega mereka jadi gelandangan terus m—mati kelaparan? Huhuu..."
Devan lelah dengan drama ini, namun juga tidak pernah tega melihat Shafa menangis. Seperti biasa, ia pun menarik Shafa ke dalam pelukannya agar anak itu berhenti menangis. "Sutt! Udah diem, Capa Cayang jangan nangis cup cup."
"Tapi Abang janji jangan bubarin Revolver ya, Bang?" Shafa menengadah ke wajah Devan sambil sesegukan.
"Iya, janji."
Tiba-tiba, ponsel Devan di saku jaket hitam kulitnya bergetar.
"I—Itu hape abang bunyi," lapor Shafa. Devan pun melepas pelukannya dan mengangkatnya. Raffa yang menghubungi dia.
"Bos, lagi ada acara nih di markas. Ada yang jadian cihuuuyy! Lagi makan-makan kita."
"Hah? Siapa yang jadian?" tanya Devan namun kemudian tersadar, "anj?! Makan-makan kata lo? Siapa yang nyuruh lo buang-buang duit buat hal nggak penting, hah?!!"
"Aduhh sorry banget, Bos. Tapi kan ini cuma sekali dalam seumur hidup. Kasian kalau anggota kita yang satu ini nggak dirayain jadiannya. Dia kan jomblo mulu," sahut Raffa.
Devan mendengus kasar, tapi dia juga penasaran siapa yang jadian. Firasatnya sih Yutha. Karena sejak dulu Yutha selalu friendzone dengan teman dekatnya, Jihan.
"Okelah, gue sekalian mau ajak Shafa. Dia mau ketemu lo pada katanya," ujar Devan lalu menutup sambungannya.
Devan melajukan motor besarnya sambil membonceng Shafa menuju markas Revolver setelah itu. Namun ketika ia sampai di sana, yang jadian ternyata bukanlah Yutha. Tapi ...

"Kwek! Kwek! Kwek!" Terlihat bebek Becky sedang berdiri di samping Betty si babi di atas meja.
"Will you be my girlfriend, Bet?" translate Yutha yang ada di sana.
"Ngok! Ngok!" Betty seolah menggeleng. Yutha langsung menoleh pada teman-temannya dengan wajah pucat.
"Apaan artinya, Bang? Kok ngga lu translate," protes Ain.
"Betty ... Ngga mau jadi pacar Becky katanya," jawab Yutha kecewa.
"Yaaah ditolak, yaaaah! Makanya jadi bebek tuh ganteng! Lu dower sih Bek, kayak Raffa." Gio mulai bebek shaming.
"Kok gue lagi sih yang kena?!!" protes Raffa kesal sambil memajukan bibir dowernya lima meter.
"Kan, kan. Mirip kan?!" Gio tertawa terbahak-bahak. "Udah dah, makanya Betty juga jangan jual mahal. Lu kalau mau lihat fisik, lihat diri lu sendiri dulu. Emangnya lu secantik apa sampe nolak Bebek? Hah?"
"Parah lo, Gi. Ngga boleh babi shaming. Emangnya lo sendiri juga udah sempurna?" tegur Rey.
"Ngok! Ngok! Ngok!" protes Betty seolah marah pada Gio.
"Ooohh... Dia itu bukannya nolak Becky karena Becky jelek. Tapi karena ngga mau pacaran, maunya langsung nikah biar sah," ucap Yutha.
"Weeeh serius lu Yuth? Uhuuuyy! Congratulations Becky dan Bebek!" Raffa tepuk tangan kegirangan.
Devan yang melihat itu dari ambang pintu langsung cengo. Jadi ... Yang dibilang jadian itu ternyata hewan peliharaannya Raffa?
"Bos?" Raffa menoleh ke arah pintu saat mendengar sesuatu yang ambruk. Devan tak sadarkan diri saking syoknya. "Bos!! Sadar, Bos!!"
***
"Hiks, Boss jangan tinggalin gue Bos."
"Bos, please bangun. Kalau lo ngga ada siapa yang mimpin kita? Siapa yang jadi support system kita? Siapa yang kasih nafkah kita buat hidupin Becky sama Betty?"
"Iya, Bos. Kalau nanti lo ngga ada Meimei ditikung Ain, Bos."
"Abaaaang jangan tinggalin Shafa huhu!"
Mendengar tangisan teman-temannya, Devan langsung terjaga dan mendapati dirinya dibaringkan di sofa markas sambil dikipas-kipasi oleh Gio dan Yutha. "A—Apaan sih lo pada?!! Tinggalin apaan? Emangnya gue mati apa?!!"
Raffa terkejut. "J—Jadi lo pingsan doang, Bos? Lo pasti syok ya Bos gara-gara Betty akhirnya resmi dilamar sama Becky?"
"Lo masih nanya? Udah lah, lama-lama gue goreng aja lah tuh dua hewan ternak lo!" semprot Devan frustrasi. Sepertinya dia sudah darah tinggi karena kelakuan teman-temannya ini.
"M—Mereka bukan hewan ternak! Jangan hina mereka kayak gitu dong, Bos!" protes Raffa tak terima. Devan menghembuskan napas kasar seiring bangun dari sofa.
"Woi, Bang! Lo mau ke mana? Baru juga sampe," tegur Aindra saat melihat Devan buru-buru.
"Gue harus ke kantor, jaga Shafa di sini," ujar Devan sembari menarik jaketnya di atas sofa, kemudian mengenakannya sebelum keluar pintu markas.
"Abang, Shafa mau ikut!" Shafa mengekor dari belakang.
"Lah, mau ngapain? Tadi katanya mau di sini aja? Udah di sini aja, nanti Abang jemput lagi—"
Shafa menatap Devan dengan puppy eyesnya. "Kalau Shafa jadi karyawan kantor abang boleh kan, Bang?"
"Ya Tuhaaan, pengen nangis di pelukan Meisya aja boleh enggak, sih?" keluh Devan dalam hati.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
