NAJWA: Saat Aku Ingin Mengakhiri Hidupku [FULL CHAPTER] | Amaryllis Qiran #MARATON

8
0
Terkunci
Deskripsi

Najwa, seorang perempuan dengan gangguan mental, sebagai mahasiswa tingkat akhir, dari waktu ke waktu, merasa semakin putus asa akan hidupnya. 
Narendra, seorang laki-laki berhati lembut, namun terkesan cuek karena sering menghindarkan diri dari keramaian, enggan berinteraksi dengan teman-teman kuliahnya untuk hal-hal tidak terlalu penting, terutama lawan jenisnya.

***

Najwa tidak pernah membayangkan awalnya, sebuah kepedihan mendalam kembali merubuhkannya, ternyata akan terdapat hari untuknya...

12,324 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
30
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Kategori
Full Chapter
Selanjutnya Maaf, Kami Pernah Berzina [FULL CHAPTER] | Cherrysoda #MARATON
14
0
Tugas pertama Nolan sebagai kakak angkat Nara: menikahi Niken, kekasih Nara karena Niken malah mengandung darah daging Nara sementara Nara sudah telanjur menikah dengan Nada karena dijodohkan. Tugas kedua Nolan sebagai kakak angkat Nara: berzina dengan Nada untuk membuat Nada hamil mengingat Nara tidak pernah bersedia untuk menyentuh Nada dengan alasan tidak mencintai Niken. Bahkan, Nara sampai bersumpah bahwa sampai kapan pun Nara tidak akan pernah mengkhianati Niken. Tapi, apakah Nolan sanggup untuk menodai wanita baik-baik seperti Nada? #1 IZINKAN AKU BERZINA (1-11) #2 JANGAN AJAK AKU BERZINA (12-18) #3 MAAF, KAMI PERNAH BERZINA (19-25) *** BAB 1 - DILANDA DILEMA SAAT sedang lembur di kantor tempat utamaku merancangkan desain-desain bangunan, tanpa sadar setelah aku merilekskan punggungku ke sandaran kursi di belakangku dengan kedua tangan berperan sebagai bantal untuk kepalaku, aku malah merenungkan ucapan adikku kemarin malam: mengenai permintaan adikku kepadaku untuk menyentuh istrinya karena mereka berdua sudah didesak kedua belah pihak keluarga untuk segera memiliki keturunan.   Aku benar-benar galau sekarang. Kenapa aku harus menodai adik iparku? Mungkin, kalau hanya sebatas diminta adikku untuk menikahi kekasih adikku, aku masih bisa menerima, tetapi kalau untuk berzina, bagaimana aku bisa melakukannya—meskipun aku bukan laki-laki alim—sementara perasaan tidak tega kepada adik iparku terus-menerus datang untuk menghampiriku, bahkan di dalam mimpiku?  Di sini, ingatan masa lalu sudah menerobos masuk ke dalam benakku. Pada suatu malam dengan keadaan langit sedang tidak bagus, terus-menerus menangis deras sejak hari masih sore, Niken—kekasih Nara, adikku—harus bernasib malang karena diusir dari rumah setelah terciduk kalau dirinya tengah hamil di luar nikah, adikku benar-benar bingung dan hanya bisa menyuruh kekasihnya untuk menginap di sebuah indekos selama beberapa hari selagi memikirkan solusi, tetapi adikku akhirnya malah memintaku untuk menikahi dan mengakui anak di dalam perut kekasihnya demi nama baik keluarga.   Bulan lalu, di hadapan seluruh penghuni rumah—ayahku, ibuku, adikku, dan adik iparku—aku mengaku kepada mereka semua kalau diriku sudah menghamili seorang perempuan dengan tidak lupa untuk membawa serta kekasih adikku, sekalian memperkenalkan karena adikku sendiri belum pernah mempertemukan kekasihnya dengan keluarga kami.    Keterlaluan!  Usai mendengar pengakuanku, tentu ayahku langsung naik pitam, bahkan tidak segan-segan untuk menghancurkan paras tampan wajahku dengan tinjuannya, secara bertubi-tubi. Bagaimana kamu bisa berbuat begini?! tanya ayahku dengan suara besar dan bernada tingginya, mungkin karena saking kerasnya sampai terdengar hingga ke telinga tetangga.  Ketika ayahku bermain tangan, ibuku memilih untuk duduk diam di sofa di ruang keluarga, menangis dengan isakan pelan, beberapa kali sampai ditenangkan adik iparku. Lepas detik demi detik berlalu, ibuku hanya melayangkan tatapan tidak menyangka kepadaku dan berkata dengan nada sedih luar biasa, Ibu sangat kecewa kepadamu.  Maaf, Yah, Bu, ucapku untuk menanggapi kata-kaya ayah dan ibuku dalam kondisi berlutut di lantai dengan kedua tangan nyaris tergerak untuk meremas kedua pahaku, menahan diriku supaya tidak mengungkapkan fakta sebenarnya. Aku khilaf.  Akhirnya, amarah kedua orangtuaku tetap menghasilkan keputusan positif—terutama untuk adikku—karena selang satu minggu pasca guncanganku di ruang keluarga, aku dan kekasih adikku segera dinikahkan sekalipun acaranya tidak sampai dibuat besar-besaran, asalkan segenap kerabat dan tetangga sudah tahu.    Berhubung malam semakin larut dan suasana di ruangan selama bermenit-menit sudah teramat sepi, keputusanku adalah segera meninggalkan pekerjaanku sebagai satu-satunya mata pencaharianku, setidaknya untuk sekarang.  Pulang ke rumah dengan menggunakan mobil—masih masuk kategori biasa, bukan mewah dengan harga sampai miliaran rupiah—sudah dilakoninya setelah membelinya secara kredit dengan pembayaran dilakukan dalam jangka waktu dua tahun.  Rupanya, sekalipun sudah disengajakan untuk tiba di rumah di jam-jam tidur sehingga terhindar dari adikku, aku malah masih sempat dipertemukan dengan adikku. Parahnya, adikku langsung mengajakku ke ruang baca untuk bicara berdua.  Dari manik mataku, adikku terlihat sedang teramat sedih selagi duduk di salah satu sofa dalam keadaan sedang merokok, suatu kebiasaan buruk dan telah dijalankan dalam kurun waktu lebih dari lima tahun. Dia lagi-lagi mengadu kepadaku karena orangtua dan mertua sudah bertambah menggebu-gebu seiring dengen berjalannya waktu, menuntut adikku dan adik iparku berdua untuk segera memiliki momongan sebelum tahun berganti. Ayolah, Kak, kalau bukan kepada kakak, kepada siapa lagi aku bisa meminta tolong? ucap adikku, masih sangat kukuh dengan kemauannya.  Kau tahu sendiri, bukan? Aku tidak bisa meminta tolong kepada orang luar.   Di seberang sofa tempat adikku duduk, aku hanya mengangkat wajah dengan ekspresi kurang berminat, menatap adikku sebentar sebelum menunduk dan memainkan tangan kananku di atas paha kananku dengan jari telunjuk diketuk-ketukkan ke daerah lutut. Meski tidak sampai harus becermin, aku yakin sekali kalau kerutan halus di atas kedua alisku tampak sangat nyata.   Biarkan aku memikirkannya lagi, kataku kemudian setelah menatap ke arah adikku lagi, tetapi adikku hanya membuang napas dengan kasar, terlihat kecewa dengan responsku barusan, sampai-sampai adikku memilih untuk segera enyah dari hadapanku.  Yang aku lakukan selain mengusap wajah dengan telapak tangan kananku adalah menghela napas. Berat hatiku setelah melihat sikap adikku barusan. Aku tidak mau merusak hubungan persaudaraan kami berdua hanya gara-gara keplinplananku, ditambah jawaban setengah-setengah dariku ternyata cukup memperparah semuanya.  ***  Sarapan bersama sudah merupakan kebiasaan keluarga secara turun-temurun. Meski hanya dihuni enam orang, mereka benar-benar seperti orang besar tetapi terlihat sederhana karena sebagian besar urusan rumah selalu dikerjakan sendiri.   Mungkin, setelah kedatangan adik iparku, ibuku merasa sangat terbantu karena adik iparku selalu ikut turun tangan mulai dari memasak hingga mencuci pakaian. Anehnya, sekalipun adik iparku berasal dari kalangan berada, kenapa seakan-akan dirinya malah terlalu buta dengan kemewahan?  Dia sangat aneh, tamatan sarjana strata 1 bidang komunikasi, malah memilih bekerja sebagai guru di sebuah taman kanak-kanak, kurang peduli dengan merek pakaiannya, tidak seperti istriku, sekaligus kekasih adikku, hanya tamatan SMA, berasal dari kalangan biasa, tetapi memiliki gaya hidup sampai menyaingi langit, teramat malas untuk tidak melakukan apa pun dengan selalu menjadikan kehamilan sebagai alasan.  Baiklah. Poin terpenting dari sejumlah keluh kesahku hanya satu. Aku tanpa sadar telah mengagumi kepribadian dari adik iparku: dapat menjaga martabat dan mampu menutup setiap keburukan suami untuk digantikan dengan kalimat-kalimat bernada bangga.  Nad.  Uang dari suamimu masih cukup, bukan? tanya ibuku setelah adikku sudah berangkat ke restoran, istriku telah masuk kamar, ayahku sedang memberi makan ikan di kolam samping rumah, sementara aku masih berada di meja makan, belum siap-siap bekerja karena kantor tempatku mengais rezeki baru dibuka pukul sembilan nanti, sekitar dua jam dari sekarang.  Wajar kalau ibuku tiba-tiba bertanya begitu. Adik iparku selalu belanja keperluan rumah tangga tanpa perlu menunggu perintah dan uang dari ibuku. Jika sudah waktunya, maka dirinya akan langsung berinisiatif. Dia malah sampai hapal dengan selera setiap anggota keluarga.  Masih, kok, Bu, jawab adik iparku.  Meski adikku tidak pernah memberikan nafkah lahir maupun batin kepada adik iparku karena adikku merasa kalau hanya bisa diberikan kepada istriku, setahuku adik iparku tidak pernah mengeluh, apalagi sampai mengadu dan mengungkit-ungkitnya secara gamblang di depan muka ibuku dan ayahku.  Aku teringat dengan reaksi adik iparku ketika pertama kali tahu bahwa bayi di dalam perut istriku adalah anak suaminya. Tidak ada maksudku untuk menguping pembicaraan antara adikku dan adik iparku. Segalanya terjadi di luar rencanaku. Sebab, kamarku dan kamar adikku hanya bersebelahan dan dihubungkan oleh sebuah pintu sebagai bukti dari kedekatan kami selaku kakak dan adik.    Jika benar kalau anak dalam kandungan Kak Niken adalah milikmu, maka kau tidak boleh sampai lepas tangan. Dia sangat membutuhkanmu sebagai ayahnya, ucap adik iparku ketika malam pertama pernikahanku dengan kekasih adikku.  Ya, aku tahu, jawab adikku untuk menanggapi, sementara aku hanya berdiri dengan punggung tersandar di balik pintu cokelat di belakangku. Untunglah, kekasih adikku masih berada di luar sehingga tidak perlu mendengar perbebatan mereka dan muncul di tengah-tengah mereka untuk selanjutnya berperan sebagai biang masalah untuk membuat keduanya semakin memanas.  Tapi, untuk sementara waktu ... dan tidak tahu sampai kapan, aku hanya bisa mengaku sebagai pamannya.  Nolan, seru ibuku, sungguh membuatku tersentak dan tersadar dari lamunanku, kilas balik mengenai peristiwa di masa lalu buyar seketika.  Iya, Bu, sahutku setelah menatap wajah ibuku. Sungguh, mendadak perasaanku tidak enak, rasa-rasanya ibuku akan segera menyinggung sikap istriku.  Sejak menjadi bagian dari keluarga kita, sepertinya istrimu masih mendirikan sebuah benteng pemisah antara kita. Apakah kau tidak bisa menyuruh istrimu untuk sering-sering keluar kamar dan mengobrol bersama kita?  Ibu tidak ingin apabila kita di sini terkesan mengucilkan istrimu.  Iya, Bu, sahutku dengan memaksakan senyum di wajahku, aku akan bicara kepadanya.  Miris, di dalam hati, aku hanya bisa berkata, 'Maaf, Bu. Dia memang istriku. Tapi, istriku hanya mau mendengarkan anak keduamu, Bu.'  *** BAB 2 - APA AKU TERIMA SAJA, YA? MASIH seperti sebelum-sebelumnya, adikku mengusir istrinya—mungkin, lebih cocoknya adalah kehadiran istriku di kamar adikku telah menggusur istrinya—dan meminta istrinya untuk satu kamar denganku karena rumah kami hanya memiliki tiga kamar, harus melalui sebuah pintu penghubung supaya tidak ketahuan orangtua.Aku masih mengingat dengan jelas. Pada kali pertama, adik iparku sangat ketakutan ketika dihempaskan ke kamarku, sampai memutuskan untuk tidur di balkon daripada harus satu ruangan denganku. Meski aku sudah menjamin kalau aku tidak akan berbuat macam-macam, adik iparku terus bersikeras menolak. Alasannya?Dia pernah mengatakan, Kak, kalau kita sampai hanya berduaan dengan lawan jenis, maka sosok ketiganya adalah setan. Mereka bisa membisikkan kejahatan kepada kita sehingga berpeluang besar terjadi zina.Jawabanku dulu bisa dibilang cukup simpel, Tapi, aku tidak pernah tertarik kepadamu, terlebih kau selalu mengenakan pakaian tertutup, bahkan sehelai rambutmu pun ... aku tidak bisa melihatnya.Entah mengapa, aku semakin tengiang-ngiang dengan momen dahulu sehingga percakapan kami seperti sedang diputar ulang untuk mengingatkan diriku, betapa uniknya sosok adik iparku.   Kak Nolan tidak pernah kelaparan?Pernah.Jika di bumi sudah tidak ada apa pun selain rumput ... masih yakinkah kalau manusia tidak akan menyantapnya?Maksud adik iparku adalah kalau di dunia hanya tersisa dirinya sebagai sebagai satu-satunya wanita, apakah aku masih bisa untuk tidak menyentuhnya?Ha?Tapi, aku tidak akan sampai begitu ... aku mampu mengendalikan nafsuku dengan baik.Semoga.  Alhasil, karena tidak mau turut mempersulit adik iparku, aku selalu menggeser lemari di kamarku untuk dijadikan sebagai dinding pembatas kami, menciptakan ruangan tersendiri, merelakan kasur besarku untuk ditiduri adik iparku sementara setiap malam diriku hanya akan beralaskan sebuah kasur lantai dengan bahan tidak terlalu tebal dan tidak lembut sama sekali. Intinya, aku mengalah darinya.Mungkin, secara tidak langsung kami sama-sama sedang rebahan dalam posisi saling membelakangi. Uniknya, andaikan tidak terdapat lemari di antara kami, maka seperti tengah menggambarkan suatu pasangan suami dan istri setiap sedang dihadapkan dengan keributan besar. Apakah kau membenci suamimu?Ingin sekali tanganku tergerak untuk menampar mulutku, bisa-bisanya malah mempertanyakannya, bagaimana kalau adikku sampai mendengarnya? Ah, tidak, sepertinya adikku sudah berada di alam mimpi. Tiba-tiba, kedua telingaku menangkap suara feminin bernada rendah. Haruskah?Ada kepedihan dalam suara adik iparku. Dia terkesan tidak pernah menginginkan hidupnya untuk berjalan demikian. Tapi, apakah ada pilihan lain? Kenapa kau mau menikah dengan adikku? tanyaku kemudian.Masih bisakah aku menolak?Dua sisi dalam satu irama. Di posisi serba salah. Aku tahu. Dia hanya mau berbakti kepada orangtuanya, tidak mengharapkan orang-orang tercintanya dibelenggu kekecewaan, terlebih ayahnya memiliki riwayat penyakit jantung, teramat susah untuk bisa menolak perjodohan. Kak Nolan sudah pernah mendengar kisah Asiyah binti Muzahim?Kuakui, tawaku nyaris meledak. Akan tetapi, aku mencoba menahannya dengan mulut dibiarkan setengah terbuka, tidak suka berbuat keributan, terutama di malam-malam sunyi. Bagaimana bisa? Bahkan, aku baru mendengar namanya barusan, tanggapku.Kak, kalau mereka tidak dipertemukan, mungkin manusia tidak akan bisa memetik sebuah pelajaran berharga, ucap adik iparku, dari suaranya sungguh menunjukkan kalau pemiliknya sedang tersenyum tipis. Apakah karenaku?Aku yakin, Kak. Dibalik pertemuanku dengan suamiku, tentu ... ada hikmahnya, lanjut adik iparku, entah bodoh atau terlalu baik, dan bukankah seharusnya aku bersyukur karena cobaanku masih tidak ada apa-apanya?Lama sekali aku terdiam, sekitar lima menitan. Meski tidak terluka secara fisik, secara batin adik iparku harusnya sangat menderita gara-gara sikap tidak acuh adikku, tidak pernah dihargai sebagai sebenar-benarnya istri. Aku sangat heran, kenapa adikku malah menyianyiakan wanita nyaris sempurna seperti istrinya?Nad.Apakah kau masih sanggup untuk bertahan dengan kelakuan buruk suamimu?Tidak ada jawaban. Wajar, mungkin karena aku terlalu menyita waktu dalam menciptakan jeda, hingga malam mendadak berubah membosankan dan tanpa sadar adik iparku lantas tertidur dengan sendirinya, tidak menunggu aba-aba dan memberikan tanda. Dalam keheningan, seulas senyum tahu-tahu sudah mekar di wajahku setelah terbayang kecantikan adik iparku hingga menumbuhkan perasaan kagum di dalam diriku.Terus terang, rasa penasaran selalu menghampiriku, kenapa adik iparku tidak pernah melepaskan kerudungnya di hadapanku? Bukankah sekarang mereka berdua sudah menjadi keluarga? Tiap hari, batinku tidak bersedia berhenti untuk bertanya-tanya, adakah rahasia besar dan teramat menakjubkan di balik kerudung adik iparku? Lagi, di dalam kepalaku tiba-tiba terlintas permintaan adikku. Apa aku terima saja, ya?  ***  Makan siang bersama teman sekantor di kantin atau di luar—kalau sempat dan minat—sudah merupakan kebiasaaanku sejak kali pertama tergabung dengan perusahaan tempatku bekerja sekarang. Di kantin, bersama ketiga temanku, aku sudah mulai memanjakan perutku, kami berempat terlihat duduk dengan posisi mengitari sebuah meja di area paling tepi di dekat pintu masuk.Akrab dengan tawa khas masing-masing, seakan bercakap-cakap selagi makan adalah suatu kewajiban. Aktivitasku terhenti sejenak, tetapi tanganku masih memegang sendok. Wajah sudah diangkat, bibirnya mulai terbuka secara perlahan sebagai wujud keragu-raguannya. Aku tidak mengerti. Kenapa sekalipun sudah disakiti suaminya, seorang wanita masih tetap bersikap baik kepada suaminya? tanyaku dengan nada serius sehingga suasana santai sebelumnya langsung tergantikan, terlebih ketiga kawanku secara serentak malah terdiam, sama-sama merenung untuk memikirkan jawaban.Mungkin, jawab Ardi, laki-laki berkumis tipis di sebelah kirinya, tangan kanannya masih memegang sendok dan terlihat setengah melayang di udara, bukan manusia, tapi malaikat.Aku tersenyum tipis setelah tiba-tiba malah terngiang kecantikan paras adik iparku, sebuah keindahan langka dan bersifat candu, semoga dapat kunikmati secara berulang-ulang. Malaikat, ya? Bukan bidadari? tanyaku di dalam hati.Lepas menyaksikan keanehanku, kawan-kawanku tentu akan menganggap kalau diriku sudah sinting atau telah kerasukan makhluk halus? Entahlah. Akan tetapi, meski demikian, tetap tidak bisa apabila terus kutahan-tahan.Lan, tidak biasanya kau bertanya hal-hal begini, kau tidak sedang menyukai istri orang, bukan? tanya laki-laki berkulit paling cerah di antara kami berempat, di seberang meja sedang bermain-main dengan mi dengan menggunakan sumpitnya.Uhuk! Uhuk!Aku tersedak udara. Benar-benar tanpa dapat diduga. Hingga akhirnya, tangan kananku segera terangkat untuk meraih sebotol air mineral di atas meja, cepat-cepat kubuka tutupnya dan kuteguk isinya untuk meredakan jeritan dari tenggorokanku. Jadi, di sini aku belum atau memang tidak pernah berencana untuk memberitahukan kepada teman-temanku mengenai statusku?Intinya, aku tidak akan nyaman kalau sudah membeberkannya, terlebih lagi—seratus persen yakin—pernikahanku dengan kekasih adikku tidak mungkin dapat berumur panjang. Bukankah aku masih memiliki hak untuk menentukan pasangan hidupku sendiri? Tapi, apakah aku berani untuk menyuarakan hatiku? Ah, berbicara soal pasangan hidup, kenapa tiba-tiba aku malah kepikiran adik iparku?*** BAB 3 - HARUSKAH AKU MENUNAIKAN TUGASKU SEKARANG? PADA suatu siang menjelang sore, aku harus ke rumah sakit untuk mengantar istriku, sementara adikku sudah lebih di sana, menunggu kami selagi masih mengantre, terlihat sangat siap untuk menemani istriku periksa ke dokter kandungan. Lepas meninggalkan beranda rumah sakit, tiba-tiba aku teringat sesuatu, sebuah momen singkat pada malam pernikahanku, istriku pernah tersenyum manis kepadaku hanya sebagai salam pembuka sebelum berkata, Kak, terima kasih, ya ... sekarang anakku bisa terus berdekatan dengan ayahnya. Langit berubah mendung seketika, entah karena apa sehingga bisa tersinggung sedemikian rupa. Hujan mulai turun dengan deras. Laksana kejutan tidak terduga di tengah sepinya hari. Di saat-saat aku sedang fokus menyetir, kedua telingaku dapat mendengar suara gemericik air setiap mendarat di atas permukaan bertekstur keras dan manik mataku bisa melihat sejumlah jejak air di kaca depan.Di sebuah halte serba merah, sesosok wanita dengan muka sudah tidak asing di kepalaku terlihat sedang berteduh di antara belasan manusia bernasib malang seperti dirinya, bahkan sampai memeluk tubuhnya sendiri karena merasa kedinginan. Lantas, tanpa menunggu lama, aku segera bertindak untuk menepikan mobilku sebelum bergegas turun dan menembus lontaran anak panah berwujud cair dari atas awan dengan maksud untuk menghampiri adik iparku.Nad, kenapa masih di sini? tanyaku setelah aku sudah tiba di depan tempat adik iparku tengah berdiri. Kau tidak membawa jas hujan?Sepertinya, adik iparku masih tertegun dengan kehadiranku. Buktinya, sudah detik demi detik berlalu, adik iparku baru bisa menjawab pertanyaanku dengan tatapan kaku terarah kepadaku. Bukan, Kak.Dirasa adik iparku terlalu lamban dalam merespons, hanya dalam jeda waktu sebentar aku sudah bertanya lagi, Terus?Ha? Adik iparku tidak sudi untuk menghormatiku? Aku tidak mengerti, mengapa adik iparku sampai harus menunduk untuk menghindari sinar mataku. Bukankah akan dinilai tidak sopan kalau setiap bertukar kata kita tidak berkanan untuk menatap lawan bicara kita? Baiklah, anggaplah seolah-olah aku tidak pernah mempermasalahkan sehingga tidak ada alasan untukku menegurnya. Motorku tidak bisa dinyalakan, jawab adik iparku, akhinya, selepas waktu berhargaku sudah cukup tersita. Mm, kau pulang bersamaku saja, ya, usulku kemudian, tangan kananku sempat terangkat untuk menggaruk salah satu pelipisku, takut apabila sampai ditolak mentah-mentah. Melihat adik iparku mencengkeram kain baju di daerah kedua sikunya, sebelum wanita itu memperoleh keputusan, bibirku cepat-cepat kubuka untuk mengimbuhkan, Nanti, aku akan menyuruh orang bengkel untuk mengambil motormu dan memperbaikinya.Sudah sore, ucapku lagi untuk meyakinkan hingga membuat adik iparku seperti tidak memiliki opsi lain.Jujur, hatiku lebih berbunga-bunga ketika berada dalam satu mobil dengan adik iparku, daripada dengan istriku beberapa waktu lalu. Entah mengapa, rasa-rasanya kedamaian dan ketentraman senantiasa terpelihara dengan baik untuk menyenangkan diriku. Di dalam mobil, ketika aku hendak menyalakan mesin, secara tidak sengaja ekor mata kiriku malah mendapati adik tiriku sedang menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Aku segera berinisiatif dengan melepaskan jasku untuk kusodorkan ke arahnya. Pakailah, kataku, aku tahu, kau kedinginan.Mm, terima kaksih, Kak, sahut adik iparku, tampak kikuk selagi menerima jasku dengan ragu-ragu, seakan-akan sudah dapat menebak kalau aku akan bersikeras memaksa andaikan memperoleh penolakan.Tidak ada obrolan berikutnya. Bibir kami sama-sama terkunci dengan rapat. Aku sedang tidak memiliki topik untuk diramaikan, sementara adik iparku ... kapan pernah terbuka kepadaku? Bukankah dirinya baru akan mengungkapkan sesudah ditanya terlebih dahulu?Tiba di rumah, kami berpapasan dengan ibuku ketika memasuki rumah karena ibuku sedang berjalan dari arah dapur, mungkin akan ke lantai dua. Eh, kok ... kalian bisa barengan begini? tanya ibuku, tidak lama setelah adik iparku sedikit membungkuk dan meraih tangan kanan ibuku dengan daerah punggung ditempelkan sekilas ke salah satu pipinya.Motor Nada mogok, Bu, jawabku, tidak ada kesempatan untuk adik iparku untuk menegaskan ulang karena ibuku terlihat mencari-cari sesuatu sebelum bertanya, Di mana istrimu?Ha? Tidak sampai berselang lama, aku kelabakan seketika, tidak kepikiran kalau akan disambut dengan pertanyaan demikian. Lepas menginstruksikan otak untuk berputar, bibirku baru terasa ringan untuk tergerak dalam rangka menyampaikan alibiku. Mm, aku terpaksa menitipkan istriku di restoran karena ... aku harus segera merampungkan pekerjaanku, sementara istriku sedang menginginkan masakan salah satu koki di sana, kataku, terdengar kurang lancar.Dahi ibuku berkerut samar. Tampaknya, gara-gara aku malah meninggalkan istriku di restoran dengan begitu teganya. Apa mau dikata, adikku dan kekasihnya apabila sudah berduaan di luar tentu akan kelayapan ke mana-mana, sampai tidak mengenal waktu lagi.Lalu, ucap ibuku menggantung, masih dengan kening berkerut dan tatapan heran diarahkan kepadaku, hingga akhirnya ibuku bertanya, Istrimu akan pulang bersama adikmu?Garis senyum di wajahku berfungsi dengan baik sebagai bentuk usahaku dalam menutupi kebohonganku. Begitulah, Bu, jawabku dengan tangan kanan nyaris terangkat untuk menggaruk kepala belakangku.Dari manik mataku, kepala ibuku terlihat terayun pelan ke arah kiri dan kanan sebanyak dua kali selagi bergumam, Ada-ada saja.Dalam hitungan singkat, aku segera memilih untuk cepat-cepat kabur dengan menjadikan mandi sebagai alasan termudah untukku, daripada nanti malah ditanya lebih detail. Ibuku bisa curiga kalau bibirku sampai terbuka untuk memberikan jawaban asal-asalan. Bukankah kalau aku terasa berada di hadapan ibuku sama artinya dengan bunuh diri?  ***  Ketika aku sedang berusaha menyelesaikan desainku di ruang baca, adikku tiba-tiba datang menghampiri, lalu memerhatikan hasil kerjaku sejenak dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan pandangan menilai. Tentu saja, rasa percaya diri tidak akan kubuat dominan karena kehadiran adikku bukan hanya sebatas mau mengomentari kerjaanku, melainkan untuk suatu tujuan tertentu. Bagaimana? Apa kau sudah membuat keputusan? tanya adikku tidak lama kemudian dengan wajah diangkat dan sorot mata mengarah kepadaku. Pedihnya, pertanyaan barusan semata-mata hanya untuk menagih jawabanku atas permintaan adikku sebelumnya, persis seperti dugaanku. Aktivitasku terhenti setelah fokusku sudah sepenuhnya terbagi. Helaan napasku terdengar untuk mengiringi gerakan kedua telapak tanganku pada waktu akan menumpu di atas permukaan meja. Aku tidak bisa, Nara, ucapku dengan berat hati. Dari ekspresi wajahku terbaru, segalanya sudah terwakilkan dengan sangat jelas. Dia terlalu baik untuk disakiti, imbuhku tidak sampai berselang lama.Tapi, Kak. Ibu terus menuntutku, rengek adikku. Dia terlihat kecewa, tidak tahu harus bagaimana lagi untuk merayuku, bisa-bisa ... kami dipaksa bercerai dan merusak hubungan kerja sama antara kedua belah keluarga.Bukan rahasia pribadi, adikku diharuskan memikul beban berupa meneruskan bisnis keluarga. Jika terjadi sesuatu, maka adikku bisa sangat merasa bersalah. Mungkin, kalau hanya sebatas bisnis pribadi, adikku tidak akan sampai dirundung perasaan gelisah tanpa ampun. Berikan aku waktu tambahan, kataku kemudian, entah mengapa seulas semyuman tipis tiba-tiba dikembangkan adikku.Terima kasih, Kak. Aku selalu bisa mengandalkanmu, sahut adikku dengan tangan kanan terangkat untuk menepuk pundak kiriku sebanyak dua kali. Dirasa urusan denganku telah beres, adikku segera pamit untuk keluar dari ruang baca duluan, sementara aku malah memutuskan untuk rapi-rapi sebentar sebelum mengayunkan kedua kakiku menuju kamar dalam rangka mengistirahatkan badan.Lepas balik badan sesudah menutup pintu kamarku, tiba-tiba ponsel di tangan kiriku bergetar. Aku bergegas memeriksa dengan menunduk dan manik mata terarahkan ke layar setelah ponselku berada dalam genggaman kedua tanganku. Ada satu pesan dari adikku melalui sebuah aplikasi percakapan berlogo telepon warna hijau.  Aku sudah mencampurkan obat ke dalam minuman istriku.  Deg.Aku tentu sengaja mendongak untuk menatap sesosok perempuan berpakaian serba tertutup di atas kasur selaku objek pikirku sekarang. Di sana, adik iparku sedang menggeliat aneh, seperti tidak nyaman karena kepanasan. Ah, tidak perlu dipertanyakan terus, aku sudah sangat paham sebabnya. Tapi, haruskah aku menunaikan tugasku sekarang? Terlebih lagi, situasi bisa dikatakan teramat menguntungkan sehingga nanti aku tidak usah kerepotan andaikan memperoleh perlawanan.  *** BAB 4 - AKU HANYA TIDAK TEGA MELIHATMU DI atas kasur, adik iparku terus menggeliat kecil dan terkesan ditahan, tetapi belum sadar dengan kondisinya. Langkahku tetap tersusun untuk mendekatinya. Decak kagum di dalam hati senantiasa tersampaikan kepada seluruh penduduk langit selama pikiranku sibuk menilai pertahanan adik iparku, terlalu luar biasa hingga baju di seluruh badannya masih tetap utuh sampai sekarang. Bukankah kalau wanita lain, kemungkinan besar sudah tanpa sehelai benang?Lepas menaiki ranjang, aku setengah merangkak ke arah adik iparku, kedua tanganku sudah terangkat untuk meraih salah satu lengan adikku, tetapi berakhir gagal karena adik iparku tiba-tiba menyadari kehadiranku, bahkan sudah bangun hingga terduduk dan mundur secara perlahan. Kak Nolan mau apa?! ucap adik iparku dengan kedua tangan terlihat menyilang selama digunakan untuk melindungi tubuh berharganya, tampak waspada terhadapku. Melihat raut cemas di wajah wanita di hadapanku, aku menarik napas dalam-dalam sebelum menatap manik mata hitam kelam adik iparku dan berkata dengan nada rendah, Para orangtua sudah sangat menginginkan cucu darimu dan adikku. Tapi, adikku tidak bersedia untuk menyentuhmu."Maaf, Nad, imbuhku kemudian dengan sebak sudah bersemayam di dada, dengan sangat terpaksa aku harus menggaulimu.Nada berusaha turun dari kasur, tetapi dari kacamataku, kedua kakinya tampak tidak  sanggup untuk menapak di atas lantai sehingga aku bisa memanfaatkan kesempatan dengan semakin bergerak mendekatinya. Jangan, Kak.  Maaf, aku tuli.  Dosa besar!Tiap tutur kata adik iparku bagaikan angin ringan, tidak terasa nyata hingga luput dari perhatianku. Akan tetapi, setelah manik mataku menyaksikan butiran air mata mula turun dari kedua sudut mata wanita di hadapanku, lebih tepatnya sebelum tangan kananku terangkat untuk melepaskan kerudungnya, entah mengapa lembaran dadaku mendadak seperti tengah teriris pisau, terkoyak secara teratur. Kak, aku mohon, ujar adik iparku selama kedua tatapan kami sedang beradu di udara.Lama sekali mode diamku berlangsung. Aku tahu benar bahwa adik iparku dilanda perasaan gelisah karena tubuhnya mengharapkan sentuhan seorang laki-laki, meskipun akal sehat bersikeras untuk menolak. Firasatku mengatakan, apabila hati wanita di depanku sampai remuk, maka hatiku akan bernasib sama.Harus bagaimana aku? Otak berputar ringkas, ujung-ujungnya kedua tanganku tetap terangkat, bukan untuk melepaskan kain sebagai penutup kepala wanita di depanku, melainkan untuk memukul sebagian anggota tubuh atasnya hingga membuat dirinya jatuh pingsan.  ***  Mobil dalam keadaan mati secara mendadak bisa dibilang sebagai alasan dari laki-laki di sebelah kiriku untuk meminta diantarkan ke restoran, tempat adikku bekerja dan menghabiskan banyak waktu selain di rumah. Aku tahu. Laki-laki itu masih sangat kesal kepadaku setelah mendengar kabar buruk melalui lantunan suara bernada rendah dari mulutku. Kenapa bisa gagal, sih? ucap adikku untuk kedua kalinya karena sebelumnya tidak sempat terjawab.Dia sadar dengan cepat. Alibiku benar-benar meninggalkan kesan kalau tidak cukup dipersiapkan dengan matang karena keraguan seperti tersimpan dalam irama alunan suaraku. Aku akan memberikan obat lagi kepadanya, ucap adikku tidak lama setelahnya, sudah memutuskan tanpa berdiskusi dulu denganku.Percuma, Ra, sahutku, rasa-rasanya tebersit keinginan untuk menghantam gagang stir, sepertinya tidak mempan untuknya, atau mungkin ... Tuhan selalu berusaha untuk melindunginya.Sudahlah, akan kupikirkan rencana baru, kata adikku dengan sebelah tangan terangkat untuk meremas-remas pelipisnya, kemungkinan karena diserang pening. Ah, sekarang aku sudah bisa menyetir tanpa gangguan darinya. Syukurlah. Lelahku tidak akan dilipatgandakan.  ***  Sikap adik iparku berubah drastis, selalu berusaha waspada setiap berhadapan denganku. Parahnya, sekadar bertemu pandang denganku pun sudah enggan. Apakah diriku sekarang hanya semacam kotoran ayam hingga adik iparku tiba-tiba bisa merasa sangat jijik kepadaku? Sialnya, usai makan malam, sesuatu di dalam pikiranku masih tidak berhenti menari-nari. Lepas masuk kamar setelah menghabiskan waktu selama dua jam di ruang baca dengan tidak lupa untuk mengunci pintu, lensa mataku menangkap bayangan seorang wanita terlihat sedang beres-beres kasur, sungguh membuat diriku terpikat hingga kedua kakiku tertuntun untuk mendekatinya.Kau masih tidak mau bicara denganku? tanyaku kepadanya, sementara sosoknya tampak bergeser sedikit dengan memeluk sebuah selimut dan bantal berwarna serba abu-abu, tidak mempunyai nyali untuk mengangkat wajah.Nad, aku tidak akan memaksamu, tambahku dengan nada lembut, siapa tahu dapat mengikis gemetar di sekujur bahu adik iparku, semoga saja. Sayangnya, balasan adik iparku malah berupa satu pertanyaan menohok. Apakah kau akan berjanji lagi?Aku terdiam, tentu karena merasa kalau sejak awal adik iparku sudah memiliki jawaban sendiri. Bahkan, meskipun telah diucapkan dengan sungguh-sungguh, setiap janji masih bisa diingkari. Begitulah, kata wanita berhati tegar di hadapanku masih dengan muka tertunduk.Satu kedipan mengiringi tarikan napas beratku. Ada sesal, tetapi hanya sedikit, mungkin kalau diibaratkan tidak akan lebih dari seujung kuku, sebagai laki-laki normal, jelas bukan hal mudah untuknya bisa menolak santapan lezat. Maaf, kemarin ... aku hanya tidak tega melihatmu, ucapku kemudian.Tanpa aba-aba dan pertanda, aku malah terlintas suatu perdebatan antara adikku dan adik iparku tadi, dimana adikku sudah mengakui perbuatannya, tetapi betapa kerdil hati adik tersayangku hingga malah menyuruh istrinya untuk segera berzina denganku, sekalipun sudah sangat paham kalau ujung-ujungnya hanya akan mendapatkan penolakan.  Aku tidak mau, Kak.Dosa besar.Allah akan murka kepadaku.Kenapa harus takut? Bukankah Allah maha pemaaf?Benar, Allah memang maha pemaaf. Tapi, apakah Allah memiliki alasan untuk memaafkanku, sementara sejak awal sudah tahu kalau salah ... malah tetap kulakukan?Bagaimana aku bisa ... memperoleh rahmat dari-Nya dengan keluar dari jalur seharusnya?  Usai sekian detik fokusku terhadap sesuatu di pikiranku telah berkurang, kedua telingaku dalam hituntah singkat sudah menangkap gelombang suara. Aku bisa menuruti apa pun perintah suamiku, Kak. Tapi, ucap adik iparku dengan maksud bukan sebatas untuk memberitahu, tidak kalau untuk berbuat dosa.Garis di sekitar wajahku berubah dingin. Tidak ada niat untuk mengemis pintu ampunan dari adik iparku. Kepalaku berdenyut keras. Dibuat pusing hingga menyiksa batin. Detik terus bergulir dan tidak sampai berselang lama, bibirku sudah terbuka untuk berkata, Masuklah. Biarlah aku tidur di luar. Kau di dalam.Tidak usah, sahut adik iparku, bukan tanggapan dengan sifat aneh. Jujur, aku berani menjamin atas nama baikku, bahwa adik iparku tidak pernah bisa tenang selama berada dalam satu kamar denganku, berbeda sekali ketika adik iparku menuju balkon melalui jendela kamarku sebelum dilanjutkan menggelar selimut—sekaligus dijadikan kasur—dan merebahkan badan dengan kepala diletakkan di atas bantal, raut lega di wajah adik iparku benar-benar membekas di dalam benakku. Meski area balkon termasuk aman dari tatapan mata ayah dan ibuku, terlalu beresiko untuk adik iparku, bisa dilihat tetangga secara tidak terencana—kecuali apabila lampu di sana dibuat mati sepenuhnya, seperti sekarang—dan bagaimana kalau adik iparku sampai jatuh sakit?Bukankah dulu aku sudah teramat sering mengingatkan dirinya kalau sebagai seorang guru harus pintar-pintar dalam menjaga kondisi tubuhnya? Ah, sepertinya ... aku sudah sangat gila sampai tidak bisa berhenti berpikir walaupun hanya sejenak. Omong-omong, sekarang adalah waktunya tidur, semoga angin malam tidak sedang kurang kerjaan dengan terus menghujat diriku gara-gara aku enggan untuk membujuk adik iparku, malah menyerah sebagai sosok laki-laki sejati dengan tidak mengambil tindakan.  *** BAB 5 - KUATKANLAH AKUHARI ini adalah jadwal lemburku di kantor. Entah mengapa, sebelum pulang tanpa sadar diriku malah kepikiran adik iparku. Dulu, kami bertemu untuk kali pertamanya, ketika mobilku sedang berhenti di lampu merah sementara adik iparku—masih calon—tengah mengajar senam di sebuah taman untuk anak didiknya.Tiba di kamar, adik iparku terlihat sedang tidur di balkon, tampak lelap meski harus berperang untuk melawan hawa dingin di sekitarnya. Sejak sekian detik lalu, badanku merendah secara berangsur-angsur untuk membuatku bisa berjongkok di sebelahnya, hendak mengangkat raga adik iparku secara diam-diam, tetapi belum sempat terjadi sentuhan apa pun diriku malah sudah tertangkap basah. Kak Naufal? gumam adik iparku dengan nada terkejut, bahkan hanya berselang sebentar sampai membuat dirinya tiba-tiba mengambil posisi setengah duduk dengan kedua tangan tergerak untuk mencengkeram selimutnya.Lepas kepala ditegakkan sesudah dibiarkan terbungkuk sebentar, bibirku segera terbuka untuk menuturkan, Masuklah. Jika tetangga sampai melihat dan melaporkan kepada ayah dan ibu, maka masalah akan semakin rumit.Aku tidak apa-apa, Kak, ujar adik iparku, masih belum luluh dengan bujuk rayuku selama malam demi malam. Aku menghela napas seketika sebelum menatap wajah adik iparku dengan raut dipenuhi sesal tidak terkira. Maafkan aku, ucapku tidak lama setelahnya.Mungkin, masalah antara kami berdua sudah terlalu pelik dan diriku tidak mampu berbuat hal berguna apa pun sehingga adik iparku hanya sudi untuk menatapku sekilas saja sebelum akhirnya membuang muka dan menyindirku dengan mengatakan, Seribu kata maaf pun akan percuma kalau kakak masih mengulangi kesalahan kakak.Aku tidak ketegangan di antara kami berdua semakin berbuntut panjang sehingga bibirku cepat-cepat tergerak untuk berseru, Aku sudah membeli borgol.Ha?Melihat reaksi tidak mengerti dari adik apirku, caraku menjelaskan tidak lain dengan menambahlan, Aku akan merelakan tanganku untuk diborgol, sehingga kau bisa tenang. Misalkan kalau tanganku hanya diikat dengan seutas tali masih menumbuhkan perasaan khawatir di dalam dirimu. Baiklah. Benarkah? Apakah aku tidak salah dengar? Nyatanya, fakta barusan bukanlah suatu candaan. Entah bagaimana, perasaan lega sudah menyeruak di dadaku, membiusku dengan kebahagiaan sederhana secara total.  ***  Ibuku tiba-tiba meminta pendapat sebelum membuat suatu keputusan. Wanita itu akan menyiapkan tiket bulan madu untuk adikku beserta istrinya. Di luar dugaanku, semangat bisa menggelora dalam diri adikku selama mengatakan, Mm, ide bagus, Bu.Entah mengapa, firasat buruk tahu-tahu sudah berkecamuk. Ingin rasanya untukku segera enyah dari ruang makan dan menghancurkan momen kebersamaan dengan keluarga dalam rangka berkumpul di sana untuk memanjakan perut. Baiklah, Bu. Tapi, beserta kakak dan kakak ipar, ya, kata adikku tidak lama setelahnya, seolah-olah disuguhkan sebagai jawaban atas aneka pertanyaan di dalam benakku.Tapi, Nara, kata ibuku, terdengar logis dan tidak mau apabila sampai terjadi sesuatu, kakak iparmu sedang hamil. Bukankah liburan malah bagus untuk ibu hamil?Apakah aku tidak salah mendengar? Istriku sudah berani untuk membuka suara di meja makan? Aneh, terbiasa dengan dua opsi tanggapan—ya dan tidak—ternyata bukanlah rintangan untuknya meraih kemenangan. Ya, sudah. Ibu mengalah, ucap ibuku, tampak sudah tidak terlalu keberatan, asalkan dapat mendatangkan hasil memuaskan. Ditemani kebisuan dan tanpa tergoda untuk ikut campur, sesuatu berhasil melintas di dalam benakku, apalagi kalau bukan momen ketika diriku beradu mulut dengan adikku, terasa sangat membahana sekalipun masih dalam tahapan ringan.  Apa kau tidak mau memikirkan lagi? Bagaimana dengan perasaan istrimu nanti?Kak, sudah tidak ada pilihan untuk kita.Menurutmu ... apakah kau masih bisa sabar sampai aku berhasil membuatnya jatuh cinta kepadaku terlebih dahulu?Entahlah. Aku tidak yakin. Wanita seperti dirinya tidak akan mempertaruhkan kehormatannya hanya demi cinta.  Moga tidak ada kejadian buruk, desahku sekaligus harapku di dalam hati sebelum memutuskan untuk menanggapi ketertinggalanku dengan segera merampungkan makan malamku.  ***  Pulau Bali terkenal dengan sejuta pesonanya sehingga teramat wajar apabila sering sekali dipilih sebagai destinasi wisata sebagai tempat berlibur, terutama untuk pasangan-pasangan baru. Saat matahari masih berkuasa, kami berempat sudah cukup puas berjalan-jalan ke daerah pantai dan tidak lupa untuk pelesir ke pusat kerajinan. Esok, kami akan terus menikmati alam dan memanjakan lindah dengan mencicipi aneka kuliner khas sana.Alangkah beruntungnya, kami berempat berkesempatan untuk menginap di sebuah vila milik salah satu teman dekat ayah, terlihat luas denga fasilitas lengkap dan memadai. Lepas makan malam, kedua kakiku bertingkah iseng dengan melangkah secara sebarangan, masuk ke suatu ruangan berbeda-beda untuk sekadar melihat isinya dalam rangka menuruti rasa penasarannya.Melesat ke ruangan berisi rak-rak kayu dengan banyak buku, baik tebal maupun tipis, kedua mataku dibuat terperanjat karena menjumpai sesosok wanita di dalam sana, bahkan terlihat nyata ketika kedua tangannya sedang berburu bacaan. Loh? Kau di sini? ucapku tanpa sadar dengan sorot mata mengarah lurus ke kedua mata dari objek pikirku. Wanita itu tiba-tiba menunduk secara perlahan untuk menyembunyikan senyuman tipis di wajah rupawannya, entah karena apa.Apa gara-gara kehadiranku?Bukankah aku terlalu percaya diri?Ya. Akan tetapi, lebih tepatnya harapanku memang demikian.Tanpa mendapatkan bisikan dari siapa pun, langkahku mendadak tersusun untuk mendekatinya dan sengaja berdiri di sebelah kanannya sebelum bertingkah seolah-olah hendak mencari sebuah buku dengan judul tertentu. Jujur, aku tidak mengerti, kataku memecah keheningan, maaf sebelumnya, kalau dilihat dari kacamataku, orangtuamu tidak termasuk dalam golongan orang-orang alim—maksudku tidak teramat paham akan agama.Aku tahu benar, seperti apakah keluarga dari mertua adikku. Bahkan, sebagai seorang wanita muslimah, ibu dari adik iparku masih belum siap untuk menutup auratnya, sampai usia matangnya sekarang. Tapi, bagaimana bisa kau menjadi seperti sekarang? tanyaku setelah sedikit memutar kepala untuk menyaksikan kecantikan alami dari salah satu mahakarya sang pencipta alam semesta dan seluruh isinya.Lagi, aku mendapati seulas senyuman tipis di wajah adik iparku, hingga membuatku benar-benar merasa lega karena artinya wanita di sebelah kiriku sudah memaafkanku, mulai nyaman lagi setiap bertukar frasa denganku. Kak, sejak kapan ketakwaan seseorang bisa diturunkan? tanya adik iparku dengan kepala diangkat sekilas untuk menatap ke arahku sebentar.Jika orangtuanya memiliki sifat baik, maka anak-anaknya akan memiliki sifat sama baiknya? Jika orangtuanya memiliki sifat buruk, maka anak-anaknya akan memiliki sifat sama buruknya?Bisa dibilang, prosesku sangat mudah karena kebetulan ... saat aku kuliah, aku selalu dikelilingi orang-orang berilmu dan berhati mulia, hingga mereka tidak segan untuk membimbingku.Wanita itu kecewa kepada dirinya sendiri! Percayalah. Tebakanku tidak mungkin salah. Dari sorot mata sedih dengan arah direndahkan, segalanya sudah terdeskripsikan dengan sangat nyata. Jadi, tidak salah lagi, adik iparku masih merasa kurang berguna karena belum bisa membawa ayah dan ibunya ke jalur seharusnya, terutama berkaitan dengan masalah ibadah lima waktu, dengar-dengar mereka masih suka lalai, sama seperti kedua orangtuaku, adikku dan diriku sendiri. Begitulah, semua serba seadanya, tidak ada istilah: hiduplah seakan-akan besok adalah hari kematian kami.Tiba-tiba, tenggorokanku mengering dalam waktu singkat, napasku memburu bagaikan habis berlarian memutari lapangan sepak bola sebanyak enam kali, dadaku terlalu bergemuruh, layaknya sesudah diserang degupan tidak terkira. Sial. Ada apa denganku?Nada.Kau?Di dalam kepalaku, kilasan bayangan sosok adik iparku sedang menggodaku untuk menjalani momen romantisme berdua mulai mengambil alih perhatianku, tetapi harus segera kuenyahkan karena rupanya hanya fantasiku belaka. Misalkan, kalau diriku mendadak ditanya sebabnya, sebaiknya bibirku dibiarkan dalam keadaan terkunci serapat mungkin supaya tidak menyebabkan adik iparku resah.Hingga akhirnya, keputusanku adalah segera berpamitan untuk keluar dari ruangan. Akan tetapi, siapa sangka, ketika tanganku terangkat untuk membuka pintu, sesuatu berbahan kuat swcara tiba-tiba sudah bertindak cepat dengan menghalangi untuk didorong. Oh, astaga, gumamku dengan suara terdengar tidak bertenaga, ternyata dikunci dari luar.Adik iparku terlihat menghentikan aktivitasnya, telah mengembalikan buku di kedua tangannya ke tempat semula untuk selanjutnya berpindah kesibukan dengan menghampiriku. Tiba di hadapanku, raut wajah penuh tanya diberikan secara cuma-cuma kepadaku. Mereka sampai berbuat nekat, tegasku dengan suara serak.Dia langsung mengerti akan makna dari penuturanku. Pedihnya, kedua bola matanya dalam hitungan singkat lantas berkaca-kaca dan tampak memantulkan cahaya lampu. Tentunya, ditatap dengan mata tidak penuh derita, diriku ikutan menderita. Kak, tanya wanita di depanku dengan suara bernada rendah, apa salahku?Aku tidak mau, imbuhnya dengan wajah murung, sudah enggan untuk menegakkan kepalanya. Di situasi sekarang, mana mungkin aku menerangkan masalah runyam dari tubuhku, bisa-bisa sikap adik iparku bertambah parah. Tenanglah, aku tidak akan melakukan apa pun kepadamu, kataku berusaha untuk menenangkan dengan menahan hawa panas di sekujur badan.Aku tersadar, dua sosok manusia sedang mengawasi kami berdua di depan pintu. Alhasil, sebelah tanganku segera terangkat untuk menekan saklar lampu, ruangan harus dalam keadaan gelap gulita untuk mencegah mereka supaya tidak dapat melihat posisi dan kegiatan kami secara bebas.Adik iparku terperanjat dengan aksiku barusan, terlalu tiba-tiba dan tanpa didahului pertanda sedikit pun. Suara berisik dari luar terus menarik perhatianku, terdengar sudah sangat menantikan keberhasilan usaha mereka dalam menjadikan diriku sebagai perusak kehormatan seorang wanita. Pintar, gumamku di dalam sanubari. Karena bibirku pernah berkata kepada adik iparku kalau afrodisiak tidak mempan untuk istrinya, obatnya lantas dicampurkan ke minumanku—tanpa sepengetahuanku—dengan harapan bahwa diriku bisa lepas kendali hingga memaksa istrinya. Dalam keadaan napas terengah-engah, masa depan adik iparku berada di tanganku, sudah bergerak lincah di layar ponselku untuk mencari solusi.Tutuplah telingamu, kataku beberapa detik sebelum menaruh ponselku di atas lantai dengan bagian depan dihadapkan ke bawah sehingga cahaya dari layar tidak menguar ke mana-mana. Betapa memalukan, bisa-bisanya aku malah menuruti instruksi otakku dengan memutar suara-suara bersifat tidak senonoh, sementara diriku masih dalam pengaruh obat. Bukankah sama artinya dengan menjemput nyawaku sendiri?Ya, Allah. Kuatkanlah aku.  *** BAB 6 - UCAPAN TERIMA KASIH ADA masalah dengan memoriku, tentu mengenai bagaimana semalam kesadaranku bisa tiba-tiba menghilang. Apakah karena kuasa Tuhan supaya diriku tidak perlu merasa kesakitan? Entahlah. Saat terbangun, tubuhku masih tergeletak di lantai, sedangkan adik iparku sudah dalam posisi duduk dan membaca buku. Tunggu, jam berapa sekarang?Aku segera bangkit, kepalaku sedikit terputar sehingga manik mataku bisa menatap ke arah jam dinding di salah satu sisi ruangan. Ah, masih setengah enam.Apakah Kak Nolan sudah lebih baik? tanya seseorang, hingga membuat pikiranku terbuka, bahwa ternyata tempat adik iparku selama sedang menyelami ratusan huruf sangat berjarak dengan lokasiku.Jujur, sikap adik iparku terlalu sukar untuk dimengerti. Ada sofa di tengah-tengah ruangan, kenapa malah memilih duduk di atas keramik? Mungkinkah ... antara hangat dan dingin, adik iparku lebih suka dingin?Dari tangkapan kedua lensa mataku, mana bisa adik iparku sempat terlelap, tampak sudah bersusah payah terjaga sebagai bentuk kewaspadaannya, seolah-olah sedang berada dalam satu kandang dengan seekor singa.Ya, sahutku dengan mata terkedipkan sebanyak beberapa kali sebagai bentuk usahaku dalam menjernihkan pandangan dengan mengusir keburaman.Akalku bekerja sejenak, termenung sebentar. Berhubung pintu masih dalam keadaan terkunci, sebuah rencana sebagai hasil dari pergulatan serius di dalam benakku mencuat secara tidak sabaran. Lepas menoleh untuk menatap ke arah adik iparku, bibirku langsung terbuka tanpa harus terlalu lama dalam mendengar aba-aba dari kalbu. Nada, seruku dengan suara bernada rendah, sengaja dilakukan supaya tidak memancing keributan. Bisakah ... setiap berada di depan mereka, kau berpura-pura seperti sudah berbuat sesuatu denganku? Saat adik iparku mengangkat wajah dan mencoba menoleh untuk balas menatap ke arahku, bibirku segera terbuka lagi sehingga aku bisa mengimbuhkan, Agar mereka tidak aneh-aneh lagi.Dia sungguh-sungguh berpikir. Dari guratan wajahnya, adik iparku terlihat seperti tengah berpendapat kalau ucapanku barusan ada benarnya, walaupun di sisi lain masih teramat keberatan untuk mengelabui. Ya, Kak. Aku akan berusaha, ujar adik iparku dengan sangat terpaksa.Dalam selang sekian detik, suasana berubah hening, hanya diramaikan sorot lampu dengan sinar terang, sementara kesibukanku tidak lain sebatas memeriksa ponselku. Aku tidak menduga. Rupanya, sebelum melanjutkan aktivitas sebelumnya, adik iparku sudah menatap ke arahku lagi dan berseru, Kak.Hm? gumamku sesudah menoleh dan membalas tatapan murninya, entah mengapa sorot mata adik iparku bisa terlihat sangat jernih. Dia tanpa harus berpikir lama untuk berkata, Terima kasih.Kenapa? Oh, tentu saja karena tidak dinodai. Dari tebakanku, adik iparku tampaknya sudah mengetahui kalau semalam diriku telah dicecoki suatu obat untuk meningkatkan hasrat bercinta. Dalam rangka menanggapi dengan sedikit sikap malu-maluku, aku hanya mampu mengukir senyuman tipis di wajah berminyakku untuk mewakilkan frasa 'sama-sama' di dalam benakku.  ***  Di ruang makan, kami berempat saling diam, seolah-olah tidak terjadi apa pun. Parahnya, adikku bertingkah biasa, tidak menunjukkan gerak-gerik kalau akan meminta maaf kepadaku. Apakah dirinya masih seorang manusia? Tapi, kenapa sekarang dirinya bisa seperti makhluk tanpa hati? Di mana sosok malaikat berwujud bocah terdahulu?Di dalam kepalaku, bisa dikatakan barisan pertanyaan sangat beragam. Aku tidak mungkin melantunkannya secara sebarangan, apalagi di hadapan orangnya langsung. Dari ekor mataku, wanita di sebelah kiriku terlihat hanya memainkan sendok dan garpu di piringnya sejak acara sarapan dimulai, benar-benar tidak selera untuk menggerakkan gigi putihnya. Nada, ucapku, mumpung sedang berani untuk berinisiatif, kenapa denganmu?Maaf, aku tidak nafsu makan, jawabnya. Entah mendapatkan angin dari mana, tiba-tiba adikku mendengus singkat dan menyela, Sudahlah, urusan semalam ... tidak usah terlalu dipikirkan."Bukankah sangat menyenangkan? tambah wanita jelmaan ular di sebelah kanan adikku dengan tidak tahu malu.Apakah mereka sudah gila? Ya. Pantas, mereka bisa serasi sekali sebagai pasangan. Berkat ulah keduanya, wanita lugu di sebelah kiriku lantas berlalu pergi tanpa merasa kurang sopan andaikan tidak berpamitan.Melihat dua manusia di dekatku tertawa bahagia, helaan napas tidak bisa terhindarkan. Aku memutuskan untuk menyusulnya dengan membawa makanan dan mencoba mengabaikan setiap lontaran kalimat dari mulut kotor istriku, bahkan semakin bertambah di luar batas sesudah tubuhku melesat ke dalam kamar adik iparku. Tuh, sudah kuduga, mereka sudah suka berduaan, kakakmu benar-benar ketagihan.Kau tidak mendengar suara mereka! teriak batinku untuk menguatkan diriku sendiri, supaya tidak terbawa emosi dan balas dendam.  ***  Hari demi hari berlalu dengan cepat. Aku sudah bergegas ke rumah sakit, tetapi ternyata aksiku terlalu lambat karena adik iparku telah selesai diperiksa dokter kandungan dengan paksaan. Di koridor dekat pintu masuk ruangan, manik mataku menjumpai wajah adik iparku dipenuhi dengan gurat ketakutan.Tanpa harus dilantunkan, jawaban untuk pertanyaan di dalam kepalaku sudah termpampang nyata. Bahkan, tidak ada keraguan di dalam benakku, tentunya dokter sampai heran, bagaimana bisa dirinya diminta untuk memastikan kehamilan di tubuh seorang gadis?Saat bertemu pandang dengan adikku, tidak kusangka-sangka ketegangan merasuk ke setiap sel darahku hingga membuat saraf-sarafku kaku dan napasku tercekat.Satu. Dua. Tiga. Aku sempat menghitung di dalam hati sebelum kekecewaan di muka laki-laki di hadapanku semakin menjiwai adikku selama mengucapkan, Katakan. Kenapa kalian menipuku? Sungguh, tatapan adikku teramat menusuk, tetapi tidak berkata apa pun lagi. Dia malah menatap istrinya dan menuturkan, Aku akan mendonorkan benihku kepadamu melalui proses inseminasi.Tapi ....Di sini, Niken terlihat keberatan. Nara tidak peduli denga sanggapan dari siapa pun, segera memberikan kepastian dengan menegaskan, Aku tidak menerima bantahan apa pun, keputusanku sudah bulat.Meski terkesan meyakinkan, tahu-tahu aku sudah terjerat dengan suatu firasat tidak baik, terjebak dalam satu pertanyaan mengena di kepalaku. Benarkah adikku akan melakukannya?  *** BAB 7 - HUTANGKU KEPADA ADIKKU TIDAK ada ketenangan. Aku selalu terkecoh dengan rasa penasaranku setiap melakukan aktivitasku, termasuk selama menjalankan rutinitas makan dan mandi. Pada suatu siang di hari minggu, dahaga tiba-tiba melanda tenggorokanku hingga menjadi alasanku untuk ke dapur. Di sana, aku memiliki kesempatan dalam memastikan sesuatu karena kebetulan adikku tengah berdiri di depan kulkas untuk mencari minuman dan buah-buahan segar, sepertinya. Mungkin, adikku sedang dijadikan babu oleh istriku. Apakah kau sungguh-sungguh dengan keputusanmu? tanyaku selagi berdiri di sebelah kulkas dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Laki-laki itu malah tersenyum aneh kepadaku sebelum membalas, Tidak, tentu saja. Kau tahu maksudku, bukan?Dari mimik mukanya, adikku seperti tengah berkata, Aku tidak akan menggunakan benihku. Tapi, benihmu.Sial! Lagi, aku dikorbankan adikku tanpa berkenan untuk menunggu adanya izin dariku terlebih dahulu. Remuk sudah kepercayaanku, semakin ke sini, ternyata adikku justru bertambah tidak menghargaiku. Aku tidak tahu, apakah di kedua matanya ... aku masih dianggap sebagai seorang kakak?Nara, ucapku, tetapi terpotong dengan suara adikku. Laki-laki itu meletakkan sebelah tangannya ke salah satu bahuku selama mengucapkan, Kak, kuharap kau tidak lupa dengan kebaikan hatiku dulu.Bagaimana bisa? Aku tidak mungkin lupa. Hidup dan matiku pernah berada di tangan adikku. Bahkan, segalanya masih terekam dengan jelas di dalam memoriku. Dulu, selama melewati hari-hari sebagai anak jalanan, tanpa keluarga dan belas kasihan dari orang-orang sekitar, selaku raja di wilayahku tinggal, tiga preman memaksaku untuk mengemis hingga berniat untuk memotong kakiku supaya bisa menarik simpati masyarakat. Pasrah, tidak tahu memohon kebantuan kepada siapa, sudah resikoku karena memiliki takdir sebatang kara.Di saat-saat genting dan harapanku hampir habis, Tuhan malah berbaik hati dengan mengirimkan seorang anak laki-laki bersama beberapa orang dewasa ke tempat dimana diriku akan mendapatkan siksaan menyakitkan. Betapa indah masa depanku, karena sesudah bertahun-tahun ditimpa berbagai peristiwa malang, anak laki-laki itu tidak henti-hentinya merengek kepada kedua orangtuanya supaya segera mengadopsiku sebelum diriku diputuskan sebagai salah satu anak asuh di sebuah tempat penampungan.Jadi, apakah aku bisa berkata tidak sedangkan hutangku kepada adikku sangatlah besar?  ***  Sore hari cerah, langkahku tersusun untuk menuju kamarku dengan rasa kesal seperti bertaut di antara katup jantungku. Ingatanku melayang ke beberapa jam sebelumnya, momen-momen ketika istriku meminta ditemani adikku untuk makan siang di hadapan semua orang rumah benar-benar menguras harga diriku. Katanya, gara-gara keinginan jabang bayi di dalam perutnya. Jika diutarakan dengan cara biasa, maka mana mungkin diriku sampai menggerutu di dalam hati.  Pasalnya, wanita menyebalkan itu malah merengek seperti bocah di bawah umur delapan tahun, sungguh kekanak-kanakan. Saat istriku sedang mengoleskan aneka krim ke mukanya di depan meja rias, aku menempatkan bokongku di sebuah sofa tunggal berwarna merah gelap setelah meletakkan tas kerjaku di atas meja di hadapanku. Lirikan bergaya sinis tidak dapat tertahan lamas. Apa kau tidak bisa menahan diri? Bisa-bisa semua orang mengetahuinya, ucapku tidak sampai berselang lama dengan diawali tarikan napas kasar, sebentar-sebentar adikku.Wanita dengan kecantikan serba buatan itu sudah menoleh dan menatap angkuh ke arahku. Dia terlalu tinggi rasa selama bertanya, Apa kau cemburu?Aku sempat berdecih dengan salah satu bibir tertarik ke belakang. Menurutku, istri di atas kertasku hanya sedang melucu, tetapi teramat garing sesudah dieksekusi. Responku berikutnya diwujudkan dengan bibir terbuka—tidak kalah angkuh—dan mengucapkan, Cemburu? Mimpi.Usai menatap fisik istriku dari atas ke bawah, bibirku terbuka lagi untuk melanjutkan, Lihatlah dirimu, sejak kapan layak untuk dicemburui?Lepas membuang muka, tampaknya istriku langsung memanyunkan bibirnya. Aku tidak benar-benar peduli karenanya, masih terganggu dengan sikap tidak hati-hatinya. Asal kau tahu. Aku berkata begini untuk kebaikan kalian, kataku dengan suara terdengar sengit. Tidak usah mengurusiku. Fokuslah dengan tugasmu, sahut istriku dengan nada ketus khas miliknya. Aku merasa sedikit terluka karena hidupku semata-mata hanya untuk membantu orang lain dalam menggapai kebahagiaan mereka, sementara malah berlaku tidak adil terhadap diriku sendiri. Cih, imbuh istriku, sungguh menyebabkanku enggan untuk menanggapi, menyedihkan sekali.Suhu udara semakin meningkat. Tapi, benarkah demikian? Aku tidak tahu. Intinya, tubuhku sangat dan harus cepat-cepat disegarkan sehingga tanpa berlama-lama lagi, obrolan tidak jelas bersama istriku segera kusudahi. Waktuku terlalu berharga kalau hanya dihabiskan untuk meladeni wanita berhati busuk seperti istriku.  ***  Proses inseminasi buatan telah sampai tahap pendonoran embrio. Ibarat perulangan hari, lagi-lagi adikku menolak permintaan istrinya untuk mengantarkan istrinya ke rumah sakit, berdalih seperti biasa, berkata kalau sudah telanjur merajut janji dengan klien penting. Pukul 09.00, aku menunggu di depan pintu kamar adikku. Saat melihat sosok wanita cantik keluar dari dalam sana, senyuman di wajahku terkembang. Sudah siap? tanyaku.Nada mengangguk dan bergumam, Mm.Lagi, senyuman tipis terkembang di wajahku. Tanpa berlama-lama, bibirku segera kubuka untuk berkata, Ayo.Layaknya seorang laki-laki, aku melangkah duluan untuk memimpin. Di dalam mobil, sebelum menyakakan mesin, kepalaku sempat kuputar ke sebelah kiri dengan manik mata digunakan untuk menatap adik iparku. Bolehkah aku bertanya?Ha?Adik iparku kurang dapat memahami ucapanku barusan karena sebelumnya terlalu sibuk selama berusaha untuk mengenakan sabuk pengaman. Daripada berbelit-belit, maka kuputuskan untuk langsung menuju pokok bahasanku. Kau senang?Karena? Aku dapat menyaksikan munculnya kerutan tipis di dahi adik iparku. Dalam diam, napasku nyaris terputus hingga membuatku harus meraup oksigen sebanyak-banyaknya dikarenakan paru-paruku sudah teramat kosong. Tentu saja, ujarku untuk memperjelas maksudku, karena sebentar lagi, kau akan memiliki anak dengan adikku.Jeda sebentar. Nada tiba-tiba menunduk dengan wajah terlihat kurang berseri. Apa karena tidak bahagia sama sekali? A- aku tidak tahu, jawab adik iparku tidak lama kemudian, seolah-olah sesuatu seperti masih mengganjal di dalam pikirannya.Ya, heran bukan main. Mana mungkin segenap rasa penasaran dikepala kubiarkan terlunta-lunta. Tanpa merasa segan, aku segera bertanya, Lalu, kenapa kau bersedia untuk melakukan inseminasi?Entahlah, Kak. Di dalam pikiranku, hanya terlintas satu hal, jawab Nada, enggan menciptakan selang seperti sebelumnya, setidaknya, suamiku akan berhenti mengusik kita sehingga kita sama-sama bisa terhindarkan dari zina.Mn ... cara berpikirku sederhana, bukan? Saat adik iparku tiba-tiba mengutarakan pendapat, aku hanya bisa mengiyakan dengan bergumam pelan, Hm.Rupa ayu adik iparku bertambah memesona ketika diajak untuk memaparkan raut sumringah. Tapi, tutur wanita itu, Jika proses inseminasi kami sukses, maka aku akan sangat bersyukur ... setiap wanita akan merasa hidupnya kalau lebih sempurna setelah menjadi seorang ibu.Kini, aku dibuat bertanya-tanya mengenai masalah tersembunyi, tidak akan mungkin diketahui adik iparku. Sebab, kalau sampai tahu, maka kegagalan sudah tentu berada di depan mata. Oh, ya.Apa hukumnya kalau proses inseminasi dilakukan oleh pasangan tanpa ada ikatan pernikahan? tanyaku sungguh-sungguh.Haram, kata adik iparku dengan mimik muka terlihat sengit. Tanpa mendengar tanggapan dariku terlebih dahulu, wanita itu tahu-tahu sudah menambahkan, Jelas sekali, Kak.Nad.Kenapa kita dilarang berzina? Jujur, aku tidak mengerti, bagaimana bisa satu pertanyaan barusan bisa lolos dari mulutku? Apa karena lidahku sedang diinjak semut? Mana masuk di akal, bukan?Kak, geram adik iparku dengan tubuh sampai diputar hingga menghadap ke arahku dan mata diangkat ke atas sekilas, apakah kau akan rela kalau saudara perempuanmu, ibumu, atau putrimu dizinai orang lain ... begitu saja?Ada suara kepakan sayap kupu-kupu di dalam imajiku. Dadaku mendadak terasa lapang. Tentunya, kukan karena kerelaan diriku misalkan anggota keluargaku dizinai, tetapi gara-gara untuk pertama kalinya, jarak antara aku dan adik iparku bisa berkurang drastis.Kak!Kau benar-benar akan rela?Oh, astaga, lengkingan suara adik iparku sungguh membuatku terguncang. Aku segera meluruskan dengan berkata, Tidak, Nad. Aku mana mungkin bisa merelakan.Lalu, ucap adik iparku, maksud dari senyumanmu?Mn ..., ujarku, tetapi bukan berupa kata-kata, hanya gumaman tidak jelas karena rasa-rasanya kejujuran bukanlah langkah tepat untuk dilakukan sekarang. Pada akhirnya, kabur adalah jalan hidupku. Eh, lebih baik kita berangkat sekarang, seruku sebelum menyalakan mesin mobil untuk segera dilajukan.  *** 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan